Bunga di Pekarangan Uchiha
Disclaimer: Naruto copyright Masashi Kishimoto
.
.
.
Pengumuman Konoha Netra End Year Festival
Pemenang lomba resensi buku
Juara 1: Aburame Shino
Juara 2: Mitzashi Tenten
Juara 3: Akimichi Chouji
Juara favorit: Nara Shikamaru
Sampai di sini, Sasuke berhenti membaca. Telunjuknya menekan tombol ctrl di keyboard-nya. Mengisyaratkan aplikasi pembaca layar untuk berhenti bersuara. Minatnya untuk membaca sisa pengumuman ambyar. Padahal kompetisi yang diadakan tak hanya resensi buku. Untuk apa membaca sampai selesai? Event yang diikutinya hanyalah resensi.
Pemuda 25 tahun itu terlalu meremehkan kompetitornya. Dia piker kemenangan akan diraih sebab saingannya hanyalah sesame penyintas kelainan penglihatan. Ya, sepasang onyx indah itu tak mampu melihat dengan sempurna. Kelemahan Sasuke yang terekspos dengan amat jelas.
Kesal dan kecewa, ditutupnya laptop. Pukul berapa sekarang? Jemari lentiknya menekan tombol pada jam tangan hitam yang melingkari pergelangan sebelah kiri.
"It's five O clock," sahut jam tangannya.
Arloji Sasuke memang lain dari yang lain. Ia bias bicara. Tiap satu jam sekali, si jam tangan akan menyuarakan waktu. Kalau ingin tahu jam berapa sekarang, tinggal pencet tombolnya. Sasuke suka jam ini. Dia lebih berharga ketimbang Rollex, Swiss Military, Guess, American Time, Titoni, Casio, Gucci Dive, atau jam tangan branded mana pun.
Ah, sudah jam lima rupanya. Sebentar lagi kakaknya akan pulang. Tergesa pemuda setinggi 173 senti itu mengayun langkah ke kamar mandi. Terkadang pinggangnya terantuk meja rendah atau perabot di lorong rumah besar itu.
Ada beberapa kamar mandi di kediaman Uchiha. Tiap kamar memiliki ruang khusus untuk membilas diri. Lantaran malas naik-turun tangga, teruna berambut chicken butt itu memilih menggunakan kamar mandi tamu. Dindingnya sewarna tanah dan terbagi dua ruangan: ruang basah dan kering. Zona kering berisi kloset, flush, dan meja panjang dimuati wastafel serta cermin. Ruangan basah digantungi shower. Sasuke menyalakan keran air hangat dan melangkah ke bawah tirai air. Tubuh idealnya bagai dipijiti tangan-tangan tak kasat mata. Mandi air hangat sedikit banyak memperbaiki mood-nya yang hancur berantakan.
Usai mandi dan berpakaian, Sasuke melangkah ke luar rumah. Bajunya santai saja. Celana jeans biru gelap, sandal gunung, dan t-shirt biru bertuliskan The Ministry of Tourism and Creative Economy. Asal saja menyambar pakaian bersih, nampaknya Sasuke telah memakai pakaian hasil salah satu kegiatan yang pernah ia ikuti di instansi pemerintah itu. Walau agak cuek dengan penampilan, Sasuke tetap menawan dalam pakaian apa pun.
Kompleks perumahan tempat tinggalnya sesunyi Pulau Bali kala hari raya Nyepi. Kesunyian yang lumrah, sebab tiap penghuni sibuk dengan urusan masing-masing. Para tetangga tak saling kenal satu sama lain. Interaksi cukup dilakukan lewat grup WA bila ada keperluan. Mengingat elitenya tempat tinggal Sasuke dan kakaknya, jangan heran kalua mereka bertetangga dengan orang kaya atau terkenal. Rumah di depan hunian mereka ternyata diisi oleh Prof. Dr. Jirayya, rector Konoha University. Dua blok dari situ, tinggallah penyanyi legendaris nan seksi yang layak disebut diva: Senju Tsunade. Sutradara ternama Orochimaru jarak rumahnya hanya sepelemparan batu dari kediaman Uchiha. Kabarnya, rumah pribadi salah seorang menteri juga terletak di sini. Hanya saja sang menteri meniru Bang Toyib alias jarang pulang sebab ia punya rumah dinas di kompleks khusus pejabat negara.
Bagi Sasuke dan Itachi, bertetangga dengan orang penting taka da pengaruhnya. Bagaimana mau berpengaruh jika bertetangga tanpa saling sapa? Kini Sasuke tiba di ujung jalan. Ia berdiri tepat di samping kiri pos satpam. Dua sekuriti berwajah ramah menyapanya.
"Selamat sore, Sasuke-Sama," sapa Izumo dan Kotetsu.
Sapaan itu hanya berbalas senyum kecil. Belum lama Sasuke berdiri di situ, Nampak sebuah Mini Cooper berwarna biru mendekat. Mobil berbandrol harga Milyaran itu berhenti di hadapan Sasuke. Pintu pengemudi terbuka.
"Hai, My Lovely Brother." Itachi berjalan cepat menghampiri adiknya, memeluk pundaknya penuh kehangatan.
"Aku tidak terlambat," gumam Sasuke.
Itachi tersenyum. "Tentu saja tidak. Ayo, pulang."
Uchiha sibling naik ke mobil. Mereka menuju rumah tepat ketika senja menyemburat di cakrawala. Begitulah rutinitas yang berulang tiap harinya: Sasuke akan menunggu Itachi di ujung jalan, lalu mereka pulang bersama. Sebentuk kebiasaan sederhana yang membuat Itachi makin cinta pada adiknya semata wayang.
Mobil menepi di pekarangan yang luas. Itachi urung memarkirkannya ke garasi. Ia malah menatap langit oranye kemerah-merahan. Seakan ingin mematri senja dengan kedua obsidiannya. Di sampingnya, Sasuke ikut melihat langit walau hanya sedikit keindahan yang dapat ia nikmati.
Ketika langit makin redup, keduanya berpindah ke dalam rumah. Itachi membilas tubuhnya yang lelah setelah seharian berkutat dengan urusan bisnis. Sementara itu, Sasuke menyalakan televise. Memindah-mindah asal salurannya. Bingung lantaran nihil acara bagus, Sasuke melempar remote ke sofa. Sekarang posisi ditukar: bukan Sasuke yang nonton tv, tapi tv yang nonton Sasuke.
"Wah, kamu lagi suka nonton Fox Movie, ya?"
Suara baritone Itachi mengembalikan perhatian Sasuke. Sesaat tadi ia melamunkan sesuatu. Mengingat apa saja yang telah dilakukannya hari ini selain membaca pengumuman menyebalkan itu.
"Nggak juga. Ganti aja kalua mau nonton yang lain," sahut Sasuke pendek.
Itachi yang telah mengganti jasnya dengan pakaian santai, mendaratkan tubuh di sisi adiknya. Ditelitinya wajah Sasuke yang agak murung.
"Adikku ini kenapa? Mau cerita sama kakaknya?" Tanya Itachi penuh perhatian.
"Aku nggak menang."
Kerutan samar muncul di kening Itachi. Sesaat pria berparas tampan itu kebingungan sebelum akhirnya paham duduk perkaranya.
"Oh, kompetisi resensi itu. Tidak semua event yang kamu ikuti harus berhasil, Sayang. It's ok."
Sasuke manyun. Dia dapat dikatakan ambisius. Selalu ingin terpilih dan menjadi yang terbaik dalam tiap kesempatan. Mahasiswa tingkat akhir sekolah pascasarjana itu tidak suka dikalahkan. Terlebih dia tahu track record pesaingnya.
"Kakak tahu? Aburame Shino yang juara 1 itu, pernah bilang di milis Konoha Netra untuk memundurkan deadline-nya. Aku yang submit naskah tepat waktu malah nggak kepilih."
"Yah begitulah kompetisi, Sasuke Sayang. Selera juri sangat berpengaruh. Mungkin bukan tulisanmu yang mereka suka. Tapi bias saja tulisanmu disukai di tempat lain."
Sejurus kemudian Sasuke menyambar bantal sofa dan menempelkan separuh wajahnya di sana. "Mungkin aku terlalu menganggap remeh kompetitorku."
Itachi mengangguk. "Ya, maybe. Sudahlah, toh kamu masih bias mengakses buku-buku digital di Konoha Netra."
Konoha Netra adalah lembaga nirlaba yang concern membantu tunanetra. Mereka menyediakan buku Braille, buku bicara, dan buku digital. Institusi yang didirikan Sarutobi Hiruzen itu juga memberikan pendampingan bagi para tunanetra untuk sekolah, kuliah, dan berkarier. Mereka memiliki banyak program untuk membantu penyintas disabilitas sensorik netra. Dua program inovatif Konoha Netra di antaranya "Reader" dan "Bioskop Berbisik".
Ketika Sasuke mulai tenang, Itachi mengajaknya makan malam. Sasuke manut saja diajak makan di luar. Kakaknya itu tak sempat memasak. Mereka pergi ke tempat yang dekat-dekat saja. Perkomplekan ini punya sejumlah restoran di dalamnya. Pihak pengembang sengaja membangun perumahan dengan konsep kota mandiri sehingga banyak fasilitas public di dalamnya.
Itachi membawa Sasuke ke restoran Instagramable yang sedang hype. Bangunannya bergaya art deco. Setiap meja dimuati pot bunga mungil dengan bunga hidup yang diganti tiap hari. Uchiha sibling kebagian meja yang ada bunga lily putihnya. Restoran ini menyediakan fasilitas "all you can drink". Pengunjung bebas menambah minuman tapi tak boleh membawanya pulang.
"Oh, rupanya mereka masih trauma dengan pandemic," komentar Itachi. Manik hitamnya terpancang kea rah tanda silang merah besar yang tertera di beberapa meja. Peringatan untuk tidak terlalu berdekatan.
"Bukankah pandemic sudah habis? Virus Corona sudah jadi endemic," timpal Sasuke.
"Iya, benar. Tapi …."
Perkataan Itachi terhenti ketika seorang pelayan berseragam merah menyala membawakan buku menu. Kakak-beradik Uchiha kompak memesan steak. Mereka tahu wagyu steak di resto ini sangat enak. Saat pesanan mereka diantar, pelayan yang mengantarkan berkata dengan nada mencela.
"Jaga jarak, Tuan. Kenapa masih duduk semeja?"
Itachi tak menanggalkan keramahannya. Dia tetap tersenyum saat membalas ucapan pramusaji.
"Kalau adik saya duduk sendirian, siapa yang akan membantunya?"
Gadis berkuncir kuda itu tampak malu. Dia baru sadar keadaan Sasuke. Seolah tak terjadi intervensi, Itachi sibuk memotong steak untuk adiknya. Dipotongkannya daging sapi kualitas terbaik itu dalam potongan kecil-kecil agar memudahkan Sasuke untuk memakannya. Dressing-nya ia tuangkan sekalian. Itachi sangat mengerti bagaimana cara memperlakukan Sasuke.
"Ini … dimakan ya, udah aku potong-potong." Sambil berkata begitu, Itachi menyorongkan piring berisi steak ke hadapan Sasuke.
Kakak yang manis sekali. Ia tahu cara memperlakukan adik dengan kondisi istimewa. Sikap lembut Itachi pada Sasuke menarik perhatian seorang wanita berambut cokelat dan berparas jelita. Wanita berjas putih dengan logo Konoha Hospital tersulam di bagian dada itu berjalan anggun menghampiri Uchiha sibling.
"Sasuke," panggilnya.
Si pemilik nama amat mengenali suara perempuan itu. "Kak Hana, 'kan?"
Hana Inuzuka melebarkan senyumnya.
"Iyaaa, senang ketemu kamu di sini. Dan ini …?"
Sedetik. Tiga detik. Lima detik, mata coklatnya bertubrukan dengan obsidian milik Itachi.
"Itachi Uchiha, kakaknya Sasuke."
Rambut panjang. Wajah menawan. Suara baritone yang amat menenteramkan. Berbagai frasa berdesakan di kepala Hana untuk melukiskan kakak dari orang yang sering dibantunya. Uchiha memang memesona. Kakak dan adik sebelas dua belas.
"Bagaimana kalian bias saling kenal?" Itachi menanyai Hana dan Sasuke.
"Kak Hana ini relawan tetap di Konoha Netra. Dia contributor untuk program Reader dan Bioskop Berbisik."
Entah mengapa, Itachi mematri kuat-kuat penjelasan Sasuke. Teruni secantik ini dan sesukses ini (bila dilihat dari pakaian khas dokter yang dikenakannya), masih mau berlelah-lelah menjadi voluntir.
"Ah, maaf. Aku permisi. Mejaku di sana," tunjuk Hana kea rah meja di dekat pintu masuk.
Itachi mendadak sebal sendiri. Ia sendiri juga bingung dengan perasaannya. Hana mau duduk sendiri di mejanya, kenapa dia yang jengkel? Apakah dia menginginkan perempuan itu bergabung dengannya? Kalau tak ingat peraturan konyol di restoran ini, dapat dipastikan Itachi akan mengajaknya bergabung.
Mata Sasuke memang error. Tapi tidak dengan batinnya. Dapat dia rasakan kalua Itachi ingin lebih dekat dengan Hana.
"Nanti aku kasih nomor WA-nya."
.
.
.
Hari ini Itachi wfh. Efek pandemic, kewajiban dating tiap hari ke kantor bias digugurkan. Banyak urusan kantor yang dapat dihandel dari rumah. Itachi membebaskan karyawannya untuk memilih tetap wfo atau bekerja secara remote. Sejumlah karyawan perempuan, apa lagi yang berstatus ibu muda, rerata memilih wfh. Mereka jadi leluasa mengurus batitanya yang butuh banyak perhatian.
Sasuke senang kakaknya ada di rumah. Ia jadi punya banyak waktu berkualitas bersama kakaknya. Saudara laki-laki yang telah mengurusnya sedari kecil tanpa pernah mengeluh. Kakak baik hati yang mengantarkan Sasuke meraih banyak prestasi akademik dan nonakademik. Kakak yang telah menggantikan sosok orang tua dengan amat sempurna.
Itachi dan Sasuke sengaja membawa laptop mereka ke halaman. Mereka beraktivitas di ruang terbuka. Hangatnya sinar matahari dan langit sebiru mata Fleur Delacour amat disayangkan jika terlewati begitu saja. Itachi sibuk rapat virtual via Zoom sedangkan Sasuke berkutat dengan bab pertama tesisnya.
"Gimana tesisnya, Sayang?" Itachi melemparkan Tanya setelah menutup rapat direksi.
"Lumayan. Sekarang aku masuk ke tahap definisi operasional."
"Bagus. Semoga lulus tepat waktu, ya."
Sasuke mengernyitkan dahi. "Kalau nggak tepat waktu gimana?"
"Nggak apa-apa. Tiap orang punya kecepatannya sendiri."
Teduh hati Sasuke mendengar suara lembut Itachi. Kakaknya memang lembut hati dan tutur kata. Siapa pun yang menjadi istrinya kelak akan sangat beruntung. Ngomong-ngomong soal istri, Sasuke jadi teringat Hana.
"Kakak udah kontak Kak Hana?"
Itachi menggigit bibir bawahnya. Nomor putri sulung Keluarga Inuzuka itu memang telah tersimpan aman di ponselnya. Namun, ia tak tahu harus memulai dari mana.
"Kakak bingung ya, gimana mulainya?"
Sialan, kenapa isi kepalanya terlalu mudah terbaca? Sulung Uchiha itu tertawa gugup. Betapa menyedihkannya ia dalam urusan wanita. Tiga puluh satu tahun umurnya, sukses kariernya sebagai pengusaha, tetapi suram kisah cintanya. Itachi baru satu kali berpacaran. Izumi, mantan kekasihnya, malah menikahi Shisui yang masih tergolong kerabat.
Tepukan pelan Sasuke di pundaknya memulangkan Itachi kea lam nyata. Di saat begini malah teringat Izumi. Lagu 'Ditinggal Rabi' milik Nella Karisma nampaknya cocok untuk menggambarkan kisah cinta pertama yang gagal total.
"Tiap orang punya kecepatannya sendiri." Sasuke mengulang perkataan kakak lelakinya.
"Termasuk kecepatan untuk menikah."
Sebuah suara ramah mencampuri konversasi mereka. Pagar hitam berderit. Menampakkan sosok pria separuh baya bertubuh jangkung dan berambut gelap. Mata hitamnya sangat khas Uchiha sekali.
"Paman Obito?" sambut Itachi dan Sasuke.
Tiga pria tampan maksimal itu berangkulan. Hampir dua minggu Obito tak beranjangsana ke kediaman keponakannya. Kini direktur bank swasta itu menyempatkan waktu. Sambil mendudukkan dirinya di rumput, Obito berujar.
"Pekarangan rumah Uchiha butuh bunga. Gersang sekali."
Kontan Uchiha bersaudara melipat dahi. Nampaknya paman mereka perlu ganti kacamata. Jelas-jelas pelataran rumah mereka ditumbuhi barisan pepohonan dan bebungaan. Mulai dari bunga aster, anyelir, marigold, nolina, mawar putih, lily, hingga anggrek bulan.
"Kalian pasti mengerti maksudku. Rumah Uchiha krisis perempuan," seloroh Obito.
Lipatan di kening terurai menjadi raut pemahaman. Obito serratus persen benar. Taka da perempuan dewasa yang menghangatkan hari-hari seorang Itachi dan Sasuke. Mikoto terlalu sibuk berpindah ke pelukan satu pria dengan pria lainnya. Hal itu pula yang menyebabkan Fugaku menjatuhkan talak tiga.
Perpisahan orang tua secara tidak langsung membentuk pemikiran Itachi dan Sasuke. Itachi takut membangun pernikahan. Sasuke, dengan kondisi istimewanya, lebih takut lagi. Jangan-jangan taka da wanita yang menerima dan tulus mencintainya.
"Kapan kamu akan menghiasi pekarangan Uchiha dengan bunga, Itachi?" Obito mengusik, tersenyum penuh arti.
Itachi mengangkat bahu. "Aku … tidak tahu."
"Apa lagi yang kamu pikirkan? Sasuke sudah hamper selesai S2. Perusahaanmu maju pesat. Aku yakin banyak wanita yang mau hidup seatap denganmu."
Itachi menghela napas berat. Kerling matanya mengarah pada sang adik.
"Siapa pun wanita yang akan kunikahi, dia haruslah menyayangi Sasuke," lirih Itachi.
Perasaan ganjil memberati hati Sasuke. Ternyata dialah yang menghalangi kakaknya membangun keluarga. Betapa tak bergunanya dia.
.
.
.
Gedung bioskop yang biasanya hanya diisi suara para actor kini berbeda. Bisikan-bisikan terdengar jelas kendati pelan. Bukan hanya antara dua penonton saja, tetapi hamper semua penonton berbisik-bisik.
"Aaah!" Gadis berambut coklat berseru dalam bisikan.
"Kenapa?" Tanya Sasuke.
"Hantunya lewat." Hana mendesah.
Sasuke hanya ber-oh pelan lalu tergelak. Satu-satunya penonton yang tidak ikut berbisik hanyalah Itachi. Sejak tadi focus perhatiannya terpusat hanya untuk Hana seorang. Film horror yang sedang berlangsung kalah menarik dengan dokter cantic itu.
Program "Bioskop Berbisik" kembali diadakan. Para tunanetra dapat menonton film dengan bantuan relawan. Para voluntir akan membisikkan adegan yang berjalan tanpa dialog. Tiap tunanetra didampingi satu pembisik.
Tak bosan-bosan Itachi memandang Hana. Setiap detail dalam diri teruni itu menempel lekat dalam dinding ingatan. Rambut sewarna kopi yang tergerai indah, mata teduh, wangi mint segar dari tubuhnya, dan suaranya yang lembut. Oh, jangan lupakan betapa saying dan perhatiannya Hana pada orang berkebutuhan khusus. Hati Itachi berdesir tak keruan.
Tangan Hana melayang ke kotak pop corn. Pada saat bersamaan, Itachi juga ingin mengambil camilan berbahan dasar jagung itu. Jemari mereka bersentuhan. Dua jantung jumpalitan. Itachi merasakan kulit Hana yang menempel dengannya sedingin es. Mungkinkah gadis itu gugup?
Susah payah Itachi menelan pop corn-nya. Akibatnya ia tersedak. Celaka, minuman di gelas kertas yang ia pegang sudah habis.
"Kamu bias minum punyaku," tawar Hana peka, menyodorkan gelas plastic berisi boba.
Apa-apaan ini? Minum dari gelas yang sama berarti ….
"Pakai sedotanmu kalua tak mau itu … itu …." Hana tergagap-gagap persis Profesor Quirrel.
Alhasil Itachi meneguk teh boba milik Hana. Degup jantungnya masih tak normal. Perlukah ia berkonsultasi pada dokter pribadinya? Ah tidak, gadis di dekatnya juga seorang tenaga medis. Apakah gangguan irama jantung ini hanya terjadi saat berada di dekat Hana? Entahlah.
Film selesai. Lelampu kembali dinyalakan. Satu per satu tunanetra bersama pembisiknya melangkah meninggalkan teater sinema. Itachi meraih tangan kiri Sasuke, Hana menggandeng tangan kanannya. Bertiga mereka menuju pintu keluar.
Sasuke tak dapat berhenti tersenyum. Bukankah ini yang diharapkannya? Berjalan bersama kakak dan wanita dewasa yang peduli pada mereka. Terbit keyakinan di hati Sasuke kalau kakaknya tak'kan berubah meski sudah menikah nanti.
Pikiran Itachi bercabang. Apakah Hana jawaban atas keraguannya? Lihatlah Hana begitu sayang dan perhatian pada Sasuke. Dia bahkan telah lama menjadi relawan di Konoha Netra. Tapi bagaimana kalua Hana ternyata sudah punya calon suami? Merinding disko Itachi membayangkan kemungkinan rejeksi.
Di pintu keluar, tanpa diduga mereka berpapasan dengan Obito. Lelaki berjas abu-abu itu menggamit tangan Sasuke.
"Udah selesai? Pulang bersamaku, ya." Ia menawari.
"Iya. Kurasa kita harus memberi kesempatan."
Sengaja Sasuke melempar kalimat tak lengkap. Tanpa meminta persetujuan Itachi, ia melenggang pergi bersama Obito. Tinggallah Itachi dan Hana berdua saja.
"Ehm …." Itachi canggung membersihkan tenggorokannya.
Hana menoleh, memberikan senyum tipis. Aduh senyumnya ….
"Kamu bawa mobil?"
Selamat untuk Itachi. Ia membuka dengan pertanyaan yang memungkinkan kesempatan baru.
"Nggak. Mobilku dipakai adikku. Tadi aku ke sini naik taksi."
Pada siapa pun adik Hana, Itachi ingin menjabat tangannya. Ia pun mengajak gadis itu pulang bersama.
"Tidakkah merepotkanmu?" Hana menanggapi tawaran itu.
"Sama sekali tidak. Lagi pula, ide buruk kalua perempuan pulang sendirian."
Katakanlah ini hari keberuntungan Itachi dan Hana. Dua sejoli yang amat serasi itu berjalan menuju rubanah. Tiba di tempat parker, Itachi membukakan pintu mobilnya dengan gallant untuk Hana.
"Terima kasih." Hana tersenyum manis, lalu masuk ke mobil.
Itachi bergetar. Hana berdesir. Begini ya, rasanya semobil bersama. Berdua saja.
"Well, nggak ada yang marah, 'kan, kalua aku antar kamu pulang?" Itachi mulai santai membuka obrolan. Ini caranya mengetahui status Hana sebagai single or taken.
"Nggak kok, santai aja. Aku belum punya pacar."
Oh leganya, leganya hati ini. Itachi riang mengemudikan mobil. Jalannya lebih mulus untuk menggaet calon Nyonya Uchiha.
.
.
.
Salak belasan anjing menyambut Mini Cooper biru itu. Itachi berjalan memutar lalu membukakan pintu mobil untuk Hana. Sudut matanya melirik anjing-anjing berbulu beraneka warna di halaman rumah Keluarga Inuzuka.
"Tenang saja, mereka jinak, kok. Mereka tidak akan menyerangmu." Hana berkata menenteramkan.
"Keluargamu penyuka …."
Belum sempat Itachi menyelesaikan kalimatnya, terdengar suara tenor meneriaki Hana dari arah beranda.
"Kak Hanaaa! Kenapa baru pulang jam segini? Liat udah hamper jam sepuluh!"
Pemuda berambut coklat dengan tato segitiga merah di pipinya berlarian ke dekat Hana. Itachi malah salah focus pada anjing berbulu putih yang bertengger di bahu pemuda itu. Secinta itukah Hana dan keluarganya pada anjing?
"Ah sorry, Kiba. Tadi jalanan macet dan Kakak makan malam dulu dengan …." Kalimat Hana menggantung, lirikannya terarah pada Itachi.
CEO Uchiha Healthcare itu mengulurkan tangan. Disalaminya adik Hana dengan keramahan yang tulus.
"Itachi Uchiha. Kamu adiknya Hana, ya?"
Kemarahan Kiba mereda. Dia bahkan mengembangkan senyuman.
"Iya. Kakak pacarnya Kak Hana?"
Detik demi detik berlalu dalam kecanggungan. Hana berdebar, Itachi pun begitu.
"Aku berharap lebih dari itu kelak."
Jawaban macam apa itu? Kiba menyeringai seraya menggesek-gesekkan pipinya ke tubuh anjing berbulu putih. Hana merona hebat. Itachi sendiri terlihat tenang. Bukankah ucapan adalah doa?
Dan waktu pun berlari. Taka da hari tanpa Itachi dan Hana saling berkomunikasi. Walau tidak bias setiap saat bertemu, mereka bias menyiasatinya dengan chatting berjam-jam via Whatsapp. Itachi makin banyak tahu tentang Hana. Hana makin banyak memahami Itachi.
Angka 31 menjadi amat penting bagi Itachi. Firasatnya mengatakan dia tak boleh terlalu banyak membuang waktu. Bukan masanya lagi lama-lama berpacaran, terjebak dalam romantisme ala anak muda. Itachi membutuhkan komitmen dan hubungan jangka panjang yang hanya akan terpisah oleh ajal. Tapi kapan dan bagaimana caranya? Berminggu-minggu Itachi memikirkan langkah yang tepat untuk melamar Hana.
Itachi melamar Hana.
Itachi melamar Hana.
Sekali lagi, Itachi melamar Hana.
Kedengarannya indah sekali, bukan? Terlebih bila lamaran berujung pernikahan.
Namun, semua bayangan indah itu harus sirna hari ini. Itachi akan bersiap berangkat ke kantor saat ia mendapati ….
"Sasuke, kamu kenapa, Sayang? Are you ok?" Itachi bertanya panic menjumpai adik satu-satunya tergeletak di sofa kamar dengan hidung berdarah.
"I'm fine," dusta Sasuke yang jelas-jelas tak dipercaya Itachi.
"Kenapa bias mimisan begini? Mana yang sakit?"
Kata Sasuke dan sakit telah lama bersanding. Pemuda tampan itu sering sakit-sakitan. Itachi makin cemas saat meletakkan tangan di kening adiknya. Panas merambat ke telapak tangan.
Apa yang terjadi kalau Sasuke sakit? Jelas Itachi tak'kan masuk kantor. Sakitnya Sasuke sudah seperti peringatan SOS untuk bersiaga di rumah. Peduli setan dengan jadwal rapat, pertemuan dengan relasi bisnis, tender, mega proyek, atau dokumen yang menuntut tanda tangan.
Sepanjang hari Itachi habiskan untuk merawat Sasuke. Ia kompres dahi yang menghangat itu. Bubur tomat dibuatkannya. Itachi sabar membelai rambut Sasuke dan membersihkan tempat tidur ketika Sasuke muntah. Sialnya, dokter pribadi mereka sedang seminar ke luar kota.
Demam Sasuke tak juga turun hingga malam menjelang. Itachi hamper putus asa. Masih ada satu cara lagi. Bila gagal, ia akan membawa Sasuke ke rumah sakit.
"Kak, Kakak mau ngapain?" Sasuke berkata lemah dari atas ranjang.
Terlihat Itachi membuka atasannya. Perut six pack dan kulit putihnya terekspos amat jelas. Dia peluk Sasuke erat.
"Semoga sakitnya pindah padaku," ucap Itachi penuh perasaan.
Cara tradisional dan nekad Itachi lakoni. Bisa-bisa dia ketularan. Mana ia peduli? Sasuke adalah segalanya.
Terlalu lemah Sasuke untuk memprotes. Sekian menit dalam posisi begitu, mereka berdua tersentak oleh dering bel pintu. Jarang sekali ada tamu di rumah mereka kecuali Obito.
"Kak, itu siapa?" bisik Sasuke parau.
"Entahlah. Biarkan saja. Kesehatanmu yang utama, My Lovely Brother."
Dering bel terhenti. Itachi piker sang tamu telah menyerah dan beranjak pulang. Nyatanya, pintu kamar bernuansa merah dan hitam itu terbuka lalu ….
"Waaaah!"
Ada yang berteriak. Dari decibel dan tone-nya, jelas itu suara perempuan. Itachi terlonjak bangkit. Sasuke tertegun di tempatnya.
Hana berdiri memblokir ambang pintu. Matanya melebar shock. Perlahan jari-jari lentik itu menutupi kedua pupilnya, berusaha tak melihat pemandangan yang membikin wanita berpotensi mimisan berjamaah.
Itachi gegas mengambil pakaiannya. Terlambat, Hana telah melihat tubuhnya yang topless. Sebutlah Itachi konservatif. Tapi ia pernah berjanji pada diri sendiri bahwa hanya istrinya yang boleh melihat tubuhnya tanpa sehelai benang pun. Itachi termasuk penganut prinsip pantang bercinta sebelum menikah.
"M-maafkan aku … sungguh aku minta maaf." Hana patah-patah mengungkapkan rasa bersalahnya.
"Kak Hana? Itu Kak Hana, 'kan?" Tanya Sasuke lirih.
Perlahan Hana berjalan memasuki kamar. Sekali pandang saja, ia tahu kalua Sasuke sedang kurang sehat.
"Tadi aku sudah bunyikan bel. Tapi kalian tak membuka pintu. Karena khawatir, aku masuk saja dan … ah, aku ke sini karena dari tadi pagi kamu tak membalas pesanku, Itachi," tutur Hana.
Refleks Itachi menepuk kening. Terlalu sibuk mengurus Sasuke, dia tak sempat mengecek handphone.
"Boleh aku periksa Sasuke?"
Lidah Itachi seakan terkunci. Sedari tadi Hana hanya bermonolog. Bodoh, kenapa dia lupa kalau calon istrinya seorang dokter?
Dari dalam tasnya, Hana mengeluarkan peralatan kedokteran. Itachi menyingkir guna memberi ruang gerak bagi wanita itu. Hana cekatan menangani Sasuke. Tak hanya peralatan, ia juga membawa obat.
"Dia akan baik-baik saja, hanya demam." Hana menjelaskan. Sepenggal senyum menenangkan ia lemparkan untuk Uchiha sulung.
"Syukurlah. Kamu malaikat penyelamat kami, Hana."
Akhirnya Itachi buka suara. Cukup lama mereka menemani Sasuke. Kala pemuda itu jatuh tertidur akibat pengaruh obat, Itachi menyelimutinya. Diciumnya kening Sasuke dengan lembut. Meleleh hati Hana.
Tanpa suara, mereka angkat kaki dari kamar Sasuke. Itachi mengajak Hana ke ruang tengah. Sebentuk ruangan panjang berkarpet biru dengan tiga sofa empuk, pesawat tv, dan piano putih.
"Biar kubuatkan teh. Wait."
Mengabaikan penolakan Hana, sang tuan rumah ngeloyor ke dapur. Lebih tepatnya ia ke halaman belakang dulu sebelum membuat teh. Ada sesuatu yang ingin diambilnya.
Hana terduduk di sofa hitam. Batinnya memahat Tanya mengapa Itachi lama sekali. Akhirnya yang ditunggu balik juga. Itachi meletakkan nampan berisi dua cangkir porselen. Cairan hangat kecoklatan mengepul dari kedua cangkir itu.
"Terima ka … loh, apa yang kaulakukan?"
Terheran-heran Hana. Tetiba Itachi berlutut. Sebelah tangannya meraih jemari Hana. Meletakkan beberapa kuntum bunga mawar putih di telapaknya.
"Hana, sejak awal aku ragu untuk menikah. Mungkin aku tak'kan kesulitan jika dan hanya jika mencari pendamping hidup untukku. Tapi dunia tidak berputar hanya untukku. Siapa pun yang aku nikahi, dia harus menyayangi Sasuke dengan tulus. Sasuke adalah belahan jiwaku, bagian hidup yang riskan terpisah dariku."
Nurani Hana masih diselipi kebingungan. Namun ia dengarkan curahan hati pria tampan itu sepenuh hati.
"Bayang-bayang menakutkan berkejaran di benakku. Bagaimana kalua kelak istriku bersikap buruk pada Sasuke? Bagaimana bila dia baik di depanku tapi berbuat jahat pada Sasuke saat aku tak ada? Kamu adalah jawaban atas segala keraguanku, Hana. Kamu bahkan lebih dulu mengenal dan menyayangi Sasuke adik kecilku sebelum mengenalku."
Sekujur tubuh Hana gemetar. Mungkinkah Itachi sedang melamarnya?
"Maaf, aku belum menyiapkan cincin karena ini terlalu mendadak. Tapi … Hana Inuzuka, maukah kamu menghabiskan sisa usia bersamaku?" Itachi bertanya lembut, menatap tepat ke dalam dua danau jernih kepunyaan Hana.
Semenit, dua menit, tiga menit. Itachi meremas tangannya. Lututnya sakit. Namun ia akan bertahan di sini selama Hana belum menjawab.
Betapa kagetnya Itachi ketika Hana bangkit dari sofa. Ia berjalan melewati Itachi begitu saja seolah pria itu hanya guci selamat dating. Fix, Hana pasti menolaknya. Sebentar lagi ia akan berjalan anggun bagai belalang sembah ke pintu keluar dan mengacuhkan lamaran ini.
Spekulasi Itachi meleset. Hana tidak mengarahkan kakinya ke pintu. Jalannya terarah lurus menuju piano. Dibukanya tutup piano dengan elegan. Tak disangka, Hana memainkan melodi dan melantunkan lirik.
Kata penuh cinta terucap
Detak jantungku tak berhenti
Jiwa pun aku berikan
Selangkah aku berjalan
Tak kan pernah henti
Ku kan tetap cinta
Seakan tak pernah ada
Badai yang menghalang
Aku disini
Disini tetap cinta (Mark Pattie ft Ria Prawiro-Tetap Cinta).
Lepas menyanyikan lagu, Hana menutup kembali piano. Ia memutar tubuhnya layaknya seorang peragawati di atas catwalk dan berjalan kembali ke samping Itachi. Hana merendahkan tubuhnya. Berjongkok di sisi Itachi, direngkuhnya lelaki penyabar itu penuh cinta.
"Aku bersedia menjadi bunga di pekarangan Uchiha. Akum au melihatmu pertama kali saat aku bangun dan terakhir kali sebelum terlelap. Aku ingin melihat Sasuke sukses menggapai cita-citanya. Apakah itu sudah cukup mewakili jawabanku, Tuan Itachi Uchiha?" ujar Hana dengan senyum manisnya.
Mulai sekarang, pekarangan rumah Uchiha akan ditumbuhi bunga-bunga cantic. Selamat tinggal pekarangan gersang. Selamat dating kuntum-kuntum nan indah.
.
.
.
FIN