Gaara=Inspirasi

Disclaimer: Naruto copyright Masashi Kishimoto, Gaara=Inspirasi copyright Sabaku No Maureen

.

.

.

Dalam sejarah Yunani kuno, ungu adalah warna kedaulatan dan kebangsawanan. Hanya keluarga kerajaan yang boleh memakainya. Raja Sulaiman/Solomon menggunakan warna ungu pada tirai di kuil suci. Konon, Yesus dijubahi warna ungu saat disiksa tentara Romawi.

"Hail, King of Jews!" sorak mereka. Para bentara kaisar itu menari-nari di atas penderitaan juruselamat.

Sejarah tinggal sejarah. Di zaman 4.0, warna ungu kerap kali diidentikkan dengan warna janda. Hinata sendiri bingung mengaitkan entitas janda dengan warna favoritnya. Apa yang salah dengan warna ungu? Apa salahnya dengan janda? Ungu adalah warna yang indah. Perlu perpaduan warna merah dan biru untuk mendapatkannya.

Sekali lagi, ungu warna yang indah. Salah satu warna pelangi. Dengarlah singkatan ini: mejikuhibiniu. Bayangkan bila warna ungu absen dari kelompok pelangi. Maka singkatannya hanya akan menjadi: mejikuhibini. Kurang lengkap, kurang indah.

Secinta-cintanya Hinata dengan warna ungu, warna itu telah mengkhianatinya bulat-bulat. Ia membuat Hinata terdepak dari audisi model iklan. Sambil berjalan menyusuri pelataran mall yang ramai, Hinata merekam kembali ucapan pedas juri audisi itu.

"Warna matamu mengerikan. Biru jauh lebih indah dan menarik," ketus Tsunade, model berambut pirang yang masih seksi di usia kepala lima. Warga urban angkatan 80-an taka sing dengan model senior itu. Dulu, potretnya keluar-masuk majalah mode.

"Ano, memangnya warna mata saya kenapa?" Tanya Hinata dengan kebingungan yang santun.

"Kau itu bodoh atau tuli! Matamu mengerikan! Aku sendiri bingung mau menyebutnya putih atau ungu pucat! Sangat tidak cocok untuk produk softlens klien kami!"

Gertakan Tsunade cukup menjadi alasan bagi Hinata untuk angkat kaki. Ia ambil langkah seribu dari kantor agensi model. Air mata masih bisa ditahannya. Dinding hatinya runtuh sesampai di mall terdekat.

Hinata takut pulang. Belum kuat mentalnya menghadapi seringai Neji, raut kecewa Hanabi, tatapan menuduh Hikaru-ibunya, dan nada merendahkan Hiashi. Tak satu pun anggota Keluarga Hyuuga mendukung mimpinya menjadi model. Hiashi dan Neji kompak menyuruh Hinata untuk focus dengan sekolahnya. Hanabi dan Hikaru lebih menantikan novel terbaru karya Hinata ketimbang kesuksesannya di dunia modeling.

"Untuk apa ikut-ikutan casting dan masuk agensi segala? Lebih baik kamu tingkatkan nilaimu. Contoh kakakmu, Neji belajar mati-matian sampai akhirnya diterima di universitas top," koar Hiashi membandingkan anak sulung dan anak tengah.

Urat kepekaan ayah tiga anak itu mungkin telah putus. Tak tahukah kalua Hinata mengalami sindrom anak tengah? Perasaan yang identic menjangkiti anak tengah. Ketika orang tua sibuk membanggakan kesuksesan si sulung dan memanjakan si bungsu. Apa pun yang dilakukan anak tengah sia-sia belaka. Teringat hal itu, hati Hinata puspas. Sedih dan meradang bergumul jadi satu. Sampai detik ini, ia masih cukup derana menerima berbagai bentuk ketidakadilan di dalam dan luar rumah. Tapi mau sampai kapan? Kesabaran juga ada limitnya.

Menahan tangis hanya membuat dada Hinata mau meledak. Senandika memerintahkannya untuk mencari sudut sepi. Spot sepi, di mall begini? Jangan bercanda. Gadis bergaun selutut warna ungu itu celingukan. Toilet beberapa meter jauhnya. Hanya tempat itu yang bias mengakomodir tangisan tanpa mengundang atensi. Sepasang kaki terbalut flat shoes biru gelap itu pontang-panting menuju toilet. Dibukanya pintu bilik yang kosong.

Bunyi klik menandakan pintu terkunci sempurna. Tubuh padat berisi khas remaja 17 tahun itu merosot ke ubin. Air mata meledak dari pelupuknya. Hinata sesenggukan. Getaran dari kedua bahunya mempertegas kesedihan mendalam.

Keputusasaan berkelindan di benaknya. Banyak hal yang Hinata ratapi. Bukan hanya komentar tajam Tsunade dan keluarganya yang nyaris toksik. Ia juga terkenang kisah cintanya yang amburadul. Toneri, pria yang diharapkannya dapat menjadi pelabuhan terakhir, justru hanya menjadikan Hinata tempat transit. Toneri singgah sejenak sebelum mengepakkan sayapnya ke hati Shion. Lengkap sudah. Hinata merana, sungguh merana.

Remaja cantic itu menyesali hidupnya. Pertama kalinya Hinata ingin menjadi orang lain. Mengapa ia tak secantik Shion? Dengan begitu, Toneri tak'kan minggat. Ia juga mau sekuat Kurotsuchi. Akan dihajarnya Toneri andai tangannya sekuat tangan maut gadis berambut hitam itu. Jika dia seseksi Mei Terumi, tak'kan ada agensi model yang menolaknya. Untuk kali pertama, Hinata ogah menjadi Hinata.

Mengapa dia harus terlahir sebagai Hyuuga? Punya mata aneh begini. Tubuhnya tidak selangsing teman-teman perempuan di sekolah lamanya. Hinata hanya bias menjadi penulis novel, bukan model professional seperti yang diimpikannya sejak kecil.

Bukannya Hinata tak berusaha. Belasan komunitas modeling telah berusaha ia masuki. Puluhan casting telah ia jajal. Nihil, semua berujung kata gagal. Pernah Hinata diterima di sebuah agensi. Nyatanya, agensi itu abal-abal. Si gadis Hyuuga tertipu. Alhasil Hinata hanya menjadi model freelance dan hanya berkesempatan mempromosikan produk fesyen dari jenama kecil. Brand yang mempercayakannya menjadi model tidaklah besar. Bahkan bias dibilang pekerjaan modeling itu tidak berbayar. Betapa menyedihkan nasib Hinata di kancah modeling.

Ingatan menyakitkan ini hanya memperparah tangisnya. Air mata Hinata mengucur deras seperti Citarum di musim hujan. Biarlah, biarlah ia habiskan air matanya di sini. Bila nanti tiba saatnya pulang ke rumah, tak perlu ada tangisan lagi.

Asa menjadi model masihlah aksa dalam genggaman. Pesimistis mengurung hati. Hinata piker kesedihan akan amerta dalam hidupnya. Dia keliru besar. Tidak ada yang abadi, termasuk kesedihan.

Puas menangis, Hinata beringsut berdiri. Dinyalakannya keran wastafel. Hinata mengusap sisa air matanya. Tasnya ia buka. Dari dalamnya, dia keluarkan alat make up. Touch up sedikit, berseri kembali parasnya. Orang dengan mata setajam biakugan sekalipun mustahil tahu kalau Hinata habis menangis.

Dilangkahkannya kaki ke luar toilet. Lantai tiga mall itu masih seramai sebelumnya. Nuansa Imlek begitu kentara. Lampu, dekorasi, kertas dinding, bahkan pakaian pramuniaga, semuanya dominan warna merah. Lampion besar menyala di atrium. Seorang pria bertopi merah baru saja memainkan alat musik tradisional Tiongkok. Stan yang menjual pernak-pernik Imlek disesaki pengunjung.

Tahun Baru Lunar sebentar lagi. Hinata menarik napas panjang. Barangkali ia terpapar nasib sial gegara tahun ini sama dengan shionya. Bila shio di suatu tahun sama dengan shio kita, bukan keberuntungan yang dating menghampiri. Melainkan sebaliknya. Hinata pernah diberi tahu oleh Mei.

Belum jauh dari toilet, Hinata berpapasan dengan seseorang. Orang itu merebut perhatiannya dalam sekejap. Ia tinggi, berambut merah bata, dan bermata hijau. Bukan ketampanan pemuda itu yang mencuri atensi Hinata. Kalau soal fisik, Hyuuga Neji juga rupawan. Keadaan laki-laki itu yang menarik mata Hinata untuk mengikutinya.

Remaja lelaki itu puny acara berjalan yang aneh. Nampaknya ia kesusahan melangkah dengan kaki kanan. Apakah anggota gerak sebelah kanannya lumpuh? Seolah tengah kerasukan malaikat, Hinata memburu sosok itu dan menawari bantuan.

"Permisi, boleh aku bantu?"

Si rambut merah menoleh. Sedikit tercenung mendapati gadis imut berdada besar di sisi kirinya. Manik jadenya bertubrukan dengan lavender Hinata.

"Aku … tidak bermaksud jahat. Hanya ingin membantu. Sepertinya kamu kesulitan berjalan," kata Hinata hati-hati.

Betapa leganya dia kala si pemuda menyunggingkan senyum tipis. Syukurlah ia tidak dianggap jahat.

"Boleh. Tolong antar aku ke lantai 45."

"Oke. Sini."

Hinata meraih tangan si teruna dan menggandengnya. Keduanya berjalan menuju lift.

"Lantai 45nya dimana persisnya … mmm …." Hinata menggantung kalimatnya, tersadar kalau ia belum tahu nama sosok tampan itu.

"Gaara. Panggil aku Gaara."

"Oke, Gaara."

Diiringi dentingan, kisi-kisi lift membuka. Gaara dan Hinata menunggu pengguna lift berjalan keluar sebelum mereka sendiri masuk ke dalamnya.

"Akum au ke kantor Papa. Chargerku ketinggalan." Giliran Gaara yang menatap Hinata dengan sorot tanda Tanya.

"Hinata. Hyuuga Hinata." Gadis berambut indigo itu menyebut namanya sambal mengukir senyum.

Gaara manggut-manggut. Suara indah gadis itu bergema di lokus-lokus otaknya. Ia mencatat nama gadis itu. Hyuuga Hinata.

"Papa kamu kerja di sini?" Tanya Hinata ketika lift bergelinjang ke tingkat yang lebih tinggi.

"Iya. Dia perancang sekaligus pemilik mall ini."

Wow, ternyata Gaara anak Sabaku Rasa. Di kota Konoha, siapa yang tak kenal arsitek merangkap pebisnis top itu? Sejumlah gedung jangkung yang menjulang menusuk langit telah dibangunnya. Karya-karya arsitekturnya memenangkan sejumlah penghargaan. Sabaku Rasa dikenal menaruh kepedulian terhadap orang berkebutuhan khusus. Semua bangunan yang dirancangnya ramah disabilitas. Kini Hinata sedikit banyak mengerti alasannya.

Sepuluh menit berselang, mereka tiba di lantai 45. Hinata ragu saat hendak memasuki ruang kerja direktur mall. Tatapan teduh Gaara melindapkan keraguan.

Kantor berkarpet kelabu dan dijejali lukisan indah di dindingnya itu kosong. AC di dalam sini jauh lebih dingin daripada di bagian lain mall. Meja besar berlapis kaca dan kursi putar bersandaran tinggi menegaskan kewibawaan. Persis di samping meja kerja, tergeletak sebentuk kursi roda.

"Itu punyaku," tunjuk Gaara kea rah kursi roda elektrik.

"Kenapa tadi nggak pakai itu aja?" selisik Hinata.

"Aku coba nggak selalu bergantung sama kursi roda. Kapan kaki kananku dilatih kalau terus-terusan bergantung?"

Pasir kekaguman berdesir di pantai hati Hinata. Beberapa menit bersama Gaara, ia tertular spirit positif dari pemuda itu. Gaara yang terbatas secara fisik, terus berjuang dengan kakinya sendiri tanpa bergantung dengan alat bantu.

"Ada kaca nggak?" Tanya Hinata tetiba.

"Itu, dekat pintu keluar."

Beberapa inci Hinata menggeser tubuhnya hingga menghadap kaca yang ditunjuk Gaara. Refleksi dirinya terpantul jelas: imut, manis, dan sempurna anggota badannya. Baru ditimpa kegagalan saja Hinata sudah ambruk mentalnya. Bandingkan dengan Gaara. Hidupnya jauh lebih susah. Nampaknya cowok itu nggak kenal kata menyerah.

"Nah, ketemu. Ayo kita keluar," ajak Gaara setelah menemukan chargernya.

Hinata memutar badan. Kini Gaara telah menggunakan kembali kursi rodanya. Mungkin dia tak mau merepotkan gadis yang belum lama dia kenal.

Ingar binger mall kembali menyambut. Mereka kembali ke lantai tiga. Gaara berkeras mentraktir Hinata sebagai ucapan terima kasih. Gadis itu sama kerasnya menolak. Dia serratus persen ikhlas menolong Gaara.

"Sabaku tak menerima penolakan," tegas Gaara.

Maka Hinata tak punya pilihan lain. Dia dan Gaara memasuki restoran bergaya vintage. Lantai, meja, dan kursi terbuat dari kayu ek yang harum. Lilin aroma terapi diletakkan di sudut-sudut strategis. Dinding resto dicat cokelat keemasan. Restoran ini terbagi dalam dua zona: ruangan pertama berisi meja-kursi, ruangan kedua digunakan bagi pengunjung yang ingin duduk lesehan. Gaara dan Hinata memilih ruangan pertama.

"Apa kau mentraktir semua yang menolongmu?" Hinata tak tahan untuk melontar Tanya.

"Menurutmu?" Gaara bertanya balik.

Hinata mengangkat bahu. Mana ia tahu? Kenal Gaara saja belum satu jam. Nuraninya berkata tidak. Tidak semua orang yang pernah menolong Gaara mendapat kesempatan lebih banyak berdua dengannya.

Pramusaji menyodorkan buku menu. Sedang malas makan makanan berat, Hinata menjatuhkan pilihan pada cinnamon roll. Gaara memesan red velvet. Hinata tersenyum kecil. Kue pesanan Gaara senada dengan warna rambutnya.

"Boleh aku Tanya sesuatu?" Hinata angkat bicara ketika pesanan mereka diantar.

"Dari tadi kamu sudah bertanya."

Mengumpulkan segepok keberanian, Hinata meletuskan kalimat. "Sejak kapan kamu pakai kursi roda?"

Hening agak lama. Gugup Hinata meneguk ludah. Mungkin saja pertanyaannya terlarang. Ia merutuk dalam hati. Lancang sekali kepo pada hal semacam itu.

"Dua tahun lalu," sahut Gaara singkat.

Urung Hinata menyentuh cinnamon roll-nya. Masih terselip satu tanda Tanya. Namun ia sungkan. Kekepoan Hinata terbaca amat jelas oleh pemuda bertato ai di dahinya.

"Aneurisma."

Sendok kecil diremasnya kuat. Tidak perlu juara kelas untuk mengakrabi istilah kesehatan. Hinata memang malas belajar, tetapi dia senang membaca. Ia tahu bahwa aneurisma adalah kelainan pembuluh darah yang cukup berbahaya.

"Kelainan bawaan, pembuluh darah otakku sangat tipis. Pecah dua tahun lalu. Otak kiriku terendam darah 20%. Sebuah keajaiban aku tidak mati. Hasilnya ini …." Gaara menyentuh tangan kanannya yang cacat dengan tangan kirinya.

Hampir Hinata tersedak makanannya. Dia baru ngeh. Bukan hanya kaki kanan, tetapi tubuh sebelah kanan Gaara bermasalah. Sebisa mungkin ditahannya air mata. Menangis di depan penyintas aneurisma bukanlah hal bijak. Perasaan ingin menangis memudar dengan cepat. Lokananta kekaguman mulai mengalun.

"Well, Gaara, aku … aku terinspirasi olehmu."

Ku terpikat pada tuturmu

Aku tersihir jiwamu

Terkagum pada pandangmu

Caramu melihat dunia

Kuharap kau tahu

Bahwa ku terinspirasi jiwamu (Raisa-Jatuh Hati).

Gaara tersenyum dikulum. "Kita baru saling kenal. Nanti kamu menyesal sudah bilang begitu."

Kepala Hinata tergeleng-geleng. Seorang Hyuuga tidak akan menyesali ucapannya sendiri. Satu hal yang Hinata percayai: bukan kuantitas, melainkan kualitas yang mempengaruhi sebuah relasi. Dia dan Gaara belum lama bertemu. Singkatnya pertemuan dan perkenalan mereka telah membawa Hinata dalam lautan inspirasi.

"B-bagaimana rasanya, Gaara? Bagaimana rasanya otak terendam darah?" gagap Hinata. Pertanyaan super sensitive, tapi Hinata kadung penasaran. Dia masih ingin tidur nyenyak nanti malam.

"Enam bulan pertama, aku belajar hidup. Layaknya bayi, aku mengulang dari awal. Aku belajar bicara, menulis, dan berhitung. Terapi sepanjang hari. Makan adalah derita karena hamper semua makanan yang masuk tersesat ke saluran napasku. Aku dibully karena kekuranganku. Tapi aku tak menyerah. Hidup adalah pilihan. Aku memilih untuk sembuh."

Otak Hinata mengkalkulasi dengan cepat. Enam bulan pertama, pemuda yang dikaguminya belajar hidup. Kini dua tahun berlalu. Kemajuan Gaara amat pesat dalam pandangan Hinata.

Kelak Hinata tak'kan pernah melupakan hari ini. Hari dimana malaikat menaburkan inspirasi ke kepalanya. Inspirasi itu bernama Sabaku Gaara.

.

.

.

"Hinataaa, bangun! Nanti telat ke sekolah barunya!"

Suara siapa yang mengganggu lelapnya? Sepasang amethyst itu membuka dengan malas. Samar-samar korneanya menangkap seraut wajah cantic. Ibunya berdiri di kaki Kasur, masih berusaha membangunkan anak keduanya.

"P-pagi, Mama." Hinata bergumam mengantuk.

"Cepat bangun, Hinata-chan. Masa hari pertama di sekolah baru malah telat?" desak Hikaru.

Nyawa Hinata terkumpul seutuhnya. Ya, hari ini dia pindah sekolah. Hiashi dalang di balik pindahnya sekolah Hinata dari Iwa Gakuen ke Konoha High. Segera ia meluncur ke kamar mandi setelah menyambar handuk dan setumpuk pakaian yang telah disiapkan sang mama.

Mandi kilat, dilanjut touch up seadanya. Hinata mendarat di meja makan selang seperempat jam. Hikaru telah menunggu. Neji, Hanabi, dan kepala keluarga mungkin telah berangkat lebih dulu.

"Semangat sekolahnya ya, Sayang. Lain kali jangan tidur kemalaman biar bangun pagi." Hikaru lembut mengingatkan. Tersenyum memandangi putrinya yang menghabiskan sarapan dengan terburu-buru.

Sambil menyantap roti berlapis selai coklat, Hinata mengingat kembali alasannya tidur larut malam. Inspirasi tengah berlarian di kepalanya. Sayang sekali bila tidak terlanjur ditulis. Hinata takut lupa. Dia lebih rela waktu tidurnya terkorupsi ketimbang kehilangan ide. Pertemuan dengan Gaara dua hari lalu melahirkan ide segar untuk tulisan baru. Mungkin saja calon buku baru.

Tegukan susu coklat menjadi penanda akhir sarapan. Hinata melesat ke garasi. Sedan ungu kesayangannya ia kebut agar cepat sampai di sekolah baru.

Bukan sekali-dua kali hal ini terjadi. Keasyikan menulis hingga larut malam dan berujung bangun kesiangan. Hinata toh menikmatinya. Menulis adalah pekerjaan yang dapat dilakukannya secara meraki. Selain modeling, Hinata cinta menulis. Terlebih menulis novel.

Bolehlah si rambut indigo bernapas lega. Dia tiba di sekolah tepat ketika bel masuk berdentang. Konoha High jauh lebih megah dari Iwa Gakuen. Sekolah ini bertingkat tujuh. Gedungnya full ac dengan lift dan escalator. Laboratoriumnya lengkap. Kantin sekolah lebih pantas disebut kafe saking lengkap menunya. Terdapat lapangan olahraga, kolam renang, gym center, perpustakaan dengan ribuan koleksi buku, dan ruang pertemuan. Tiap kelas diisi dua puluh siswa. Seorang guru berwajah ramah dengan kulit cokelat dan kodet melintang di dahinya mengantar Hinata ke kelas. Rupanya kelas belum memulai pelajaran. Sayup terdengar keriuhan yang ditimbulkan dari obrolan para penghuninya.

Saat Hinata dan guru pria itu masuk, kelas langsung hening. Guru tersebut, yang diketahui bernama Mr. Iruka, memperkenalkan Hinata.

"Anak-anak, kita kedatangan murid baru. Silakan perkenalkan dirimu, Hinata."

Rasanya bagai berjalan di bawah lampu sorot. Dua puluh pasang mata berbagai warna terarah padanya. Para siswi memandang iri. Para siswa kelihatan mupeng. Hinata tersenyum tipis dan mengenalkan dirinya.

"Hai Hinataaa," koor seisi kelas serempak.

"Nah, Hinata, duduklah di …."

Sesaat Iruka tampak bingung. Belum ada kursi kosong.

"Gaara, bisakah kamu bantu teman baru kita?"

Apa Hinata tak salah dengar? Ia mengangkat kepala. Di barisan tengah, tampaklah pemuda itu. Rambut merahnya amat mudah dikenali. Darah Hinata berdesir hebat. Luar biasa, dia akan sekelas dengan Gaara! Gaara, Sabaku Gaara inspirasinya.

"Sebentar," kata Gaara kalem. Ia menggerakkan kursi rodanya keluar dari barisan tengah. Sesosok pemuda berambut raven dengan model pantat ayam bangkit menghampiri Gaara.

"Aku bantu, ya. Kamu mau ngapain? Mau ambilin kursi buat murid baru?" cecar si pemuda berambut emo. Tampangnya cool, tapi banyak bicara juga.

"Nggak usah, Sasuke. Aku bias sendiri. Kelas ini, 'kan, tanggung jawabku," tolak Gaara halus.

Oh, jadi dia ketua kelas. Hinata membatin kagum. Sasuke berdecak. Ia tetap berdiri di tempatnya. Iruka pun begitu, mengawasi murid bermata pandanya penuh perhatian. Bukan tak mau membantu. Iruka sedang memberi kepercayaan pada Gaara.

"Yo, Teme! Ngapain masih di situ? Jadi patung selamat dating? Sana, duduk lagi!" Seorang siswa berambut blonde dan bermata biru cerah setengah berteriak pada Sasuke.

"Nanti dulu, Naruto. Takutnya Gaara perlu bantuan. Aku wakilnya, 'kan?"

Ketua kelas dan wakilnya sungguh solid. Belum apa-apa Hinata sudah merasa klik dengan kelas ini.

Terlihat Gaara menggerakkan kursi rodanya ke pintu. Ia menghilang sebentar. Tak lama ia kembali bersama satu set kursi meja. Semacam kursi yang menyatu dengan meja sekaligus. Ukurannya tak terlalu besar. Bobotnya pun ringan saja. Kursi meja itulah tempat duduk para siswa di Konoha High. Jadi, tak ada istilah teman sebangku. Model tempat duduk seperti ini mirip bentuk kursi di kampus.

"Terima kasih, Gaara." Hinata tersenyum setelah duduk manis di tempat duduknya. Ia memposisikan kursinya di antara Gaara dan Sasuke.

Ucapan terima kasih Hinata hanya dibalas senyum tipis. Makin besar kekaguman Hinata padanya. Suara dehaman terdengar dari samping kiri. Hinata menolehkan kepala.

"Kamu kenal Gaara?" Sasuke menyelidik, onyxnya memandangi Hinata.

Kepala berambut gelap itu terangguk otomatis. "Dua hari lalu aku bertemu dengannya di mall."

"Hn." Sasuke bergumam ambigu. Hinata yang belum kenal Sasuke hanya pasang tampang bingung.

Pelajaran dimulai. Hinata mengikuti dua jam pelajaran Kimia diikuti dua jam pelajaran Bahasa Inggris dengan lancer. Cukup cepat ia berbaur dengan seisi kelas. Banyak anak yang ingin berkenalan dengannya. Mereka memanfaatkan menit-menit kosong di antara pergantian pelajaran untuk saling berkenalan.

"Aku Sakura. Salam kenal, Hinata," kata seorang gadis cantic berambut sewarna gula kapas.

"Sakura, siswi paling jago bela diri. Hati-hati aja sama dia," tukas Ino, gadis berambut pirang dengan bola mata aquamarine. Sengaja betul dia meledek Sakura.

Hinata tertawa kecil menyaksikan dua teman barunya saling lempar pelototan. Bel istirahat menyudahi kerumitan otak setelah berjibaku menghadapi empat jam pelajaran. Hanya sebagian siswa yang melewatkan istirahat di luar kelas. Sebagian lainnya cukup betah menghabiskan waktu luang di ruang kelas yang kelewat nyaman. Mereka yang keluar kelas sebentar kemudian telah kembali. Ada yang membawa buku dari perpustakaan, ada pula yang menenteng bungkusan makanan. Hinata, Gaara, dan Sasuke termasuk kelompok kedua. Waktu istirahat dihabiskan di kelas saja.

"Jadi," kata Gaara membuka obrolan. Emeraldnya menatap Hinata intens.

"Kita ketemu lagi."

Hinata mengangguk, tersenyum bungah. Dia sungguh bahagia dipertemukan kembali dengan sosok inspiratif. Sasuke yang melihat gelagat dua orang itu, hanya memperhatikan tanpa banyak bicara.

"Kamu hebat, Gaara. Bisa jadi ketua kelas," puji Hinata tulus.

"Wakilku jauh lebih hebat." Gaara mengerling ditatap hanya melempar senyum tipis. Ketertarikan Hinata bangkit. Kelas ini luar biasa. Bagaimana tidak, mereka mempercayai orang berkebutuhan khusus sebagai pemimpin. Sasuke pun, Hinata yakin, juga limited edition.

"Aku hanya coba membantu," ucap Sasuke merendah.

"Coba cerita suka-duka kalian memimpin kelas ini," pancing Hinata. Naluri penulisnya meronta.

"Sasuke sangat mengerti kelebihan dan kekuranganku. Dia adalah tangan kananku, bukan dalam arti harfiah. Tangan kanan Sasuke dia berikan untukku. Kalau aku kesulitan menulis, dia …."

Penuturan Gaara terputus. Terdengar bunyi baku hantam di pintu. Tampak seorang siswa berkacamata hitam memiting temannya yang berambut nanas. Melihat siswa berkacamata hitam itu, Hinata jadi ingat community tukang pijit. Mereka identic dengan kacamata hitam.

"Kurang ajar kamu, Shikamaru! Ngapain kamu pasang foto telanjang teman kamu sendiri dan bilang yang nggak-nggak tentang aku!"

"Shino, berapa kali aku bilang aku nggak lakuin itu! Ini pasti ada yang bajak handphone aku!"

Atmosfer ketegangan menggantung di penjuru kelas. Sasuke melompat bangun. Gaara meluncur dengan kursi roda. Keduanya bersicepat mendatangi Shikamaru dan Shino. Pemandangan yang tercetak detik berikutnya adalah Sasuke dan Gaara yang berebutan mendamaikan dua teman sekelas mereka.

"Gaara, minggir. Nanti kamu bias kena pukul mereka. Lihat, mereka sedang emosi!" Sasuke setengah berteriak.

"It's a class leader's job, Sasuke."

"Bua tapa ada vice?"

Susah payah ketua kelas dan wakilnya melerai Shikamaru serta Shino. Sebagian besar anak mengerumuni mereka. Masalah satu anggota kelas adalah masalah mereka juga. Kelas ini ibarat satu tubuh. Hinata bergabung dengan kerumunan di mulut pintu. Posisi berdirinya dekat sekali dengan Sasuke dan Gaara.

"Shikamaru, Shino, pulang sekolah temui aku. Kita bicara," tegas Gaara.

Shikamaru menggeleng kuat. Shino memberengut. Keduanya ogah berada di satu tempat yang sama. Melihat situasi yang keruh, Sasuke mengambil jalan tengah.

"Shino, nanti ngobrol sama aku di belakang sekolah. Gaara, kamu handel Shikamaru. Ini anak dua ada kemungkinan rebut lagi."

Sang wakil benar adanya. Shikamaru dan Shino pun tak keberatan kali ini. Mereka kembali ke bangku masing-masing tanpa protes. Gaara berpaling pada Hinata.

"Hinata, maaf. Kamu harus melihat ini di hari pertamamu. Tapi nggak biasanya, kok, ada masalah begini," sesal Gaara.

Hinata mafhum. Tak ada kelas yang sempurna. Ada saja masalahnya. Dia bahkan penasaran bagaimana aksi Gaara menyelesaikan masalah anggota kelasnya siang nanti.

.

.

.

Pemimpin yang hebat adalah pemimpin yang tetap tenang di bawah masalah dan tekanan. Lihatlah raut tenang berwibawa di wajahSasuke dan Gaara. Bahkan Sasuke tetap rileks menerima telepon dari kakaknya begitu jam pelajaran berakhir.

"Hai Kak, sorry ya, aku pulang telat. Oh gitu … baguslah, aku setuju banget Kak Hana jadian sama Kakak. Oke oke, bye."

Sekilas Hinata mendengar potongan konversasi itu. Ekor matanya menangkap sudut bibir Sasuke terangkat. Dialihkannya pandang dari remaja tampan itu ke remaja tampan satunya. Gaara terlihat sibuk membereskan barang-barangnya dengan kedua tangan. Satu-dua bolpoin terjatuh dan tak dapat diraihnya. Hinata membantu tanpa diminta. Gaara pelan menggumamkan terima kasih.

"Kenapa nggak pakai kursi roda, Gaara? Aku temani, ya." Hinata menawari dengan lembut.

Gaara menggeleng tegas. "Aku bias sendiri. Dan lagi, kamu tahu apa yang kuinginkan."

Dua telaga jernih milik Hinata terpagut ke punggung Gaara yang kian menjauh. Rasa penasaran bergolak di dada. Ingin sekali dia menyusul teruna itu. Tiga menit selepas kepergian Gaara, Sasuke juga meninggalkan kelas. Ia melambai pada Shino. Mengisyaratkannya langsung ikut dengannya.

Rasa penasaran tak dapat dibendung lagi. Hinata mengayun langkah. Diikutinya Gaara dalam jarak aman. Tapak demi tapak kaki membawanya ke belakang sekolah. Halaman belakang Konoha High dikelilingi tembok tinggi. Rumput manila terbentang bagai lautan hijau. Pohon plum memayungi pekarangan dengan lengan-lengannya yang kokoh. Tempat yang sempurna untuk mencari ketenangan. Hinata mencari posisi yang enak untuk bersembunyi sekaligus memperhatikan.

"Jadi, ada apa? Mau cerita sama aku?" Tanya Gaara pada Shikamaru.

Pemuda bertampang mengantuk di sisinya menguap lebar. "Aku juga nggak tau siapa yang lakukan. Tau-tau di blog aku muncul foto Shino dalam keadaan ehm … yah you know-lah, dan ada cerita nggak benar tentang dia. Tapi itu bukan aku, Gaara. Ngapain juga aku berbuat hal merepotkan kayak gitu?"

Senyap. Gaara memandang lurus ke mata Shikamaru seakan berusaha mendeteksi kebohongan. Shikamaru membalas tatapan kawan baiknya.

"Aku percaya padamu," ujar Gaara.

Punggung Shikamaru tersandar ke batang pohon. Ia bersedekap.

"Bisa saja ini ulah orang yang tidak menyukaimu. Sadar atau tidak, kamu punya pengaruh di sini. Siswa dengan IQ tertinggi seangkatan," tutur Gaara.

Dari tempat persembunyiannya, Hinata terkagum-kagum. Takjub pada Shikamaru. Biarpun penampilannya mencerminkan kemalasan tingkat akut, otaknya boleh juga. Terkesima pada Gaara yang mampu membuat teman sekelas nyaman curhat dengannya. Cukup lama Gaara berbincang dengan Shikamaru. Tertangkap di telinga Hinata tentang dugaan peretasan, ajakan berdamai, dan bicara baik-baik. Ketika Shikamaru pamit pulang, gadis bermata pucat itu melangkah keluar dari balik semak.

"Hinata?" panggil Gaara tak percaya.

Si pemilik nama hanya melipat tangan di depan dada. Ekspresi wajahnya mencerminkan permintaan maaf karena telah mengintip.

"Kamu mengagumkan, Gaara."

Berapa kali gadis ini melayangkan komplimen padanya? Gaara merasa dia jauh dari impresi itu. Tidak ada yang mengagumkan dari pemuda difabel sepertinya.

"Kalau tidak hebat, lengkara kamu dipilih teman-temanmu jadi ketua kelas," tambah Hinata.

Dersik angina sore menggerakkan tepi baju mereka. Blazer abu-abu berlambang Konoha High melambai dibelai terpaan bayu. Hinata menjatuhkan diri di tempat yang tadi diduduki Shikamaru. Tak sadar kalua pria di sampingnya mulai berdebar.

"Boleh kutahu cita-citamu, Gaara?" Hinata mengalihkan pembicaraan.

"Aku ingin jadi arsitek seperti ayahku. Membangun Konoha, mendesain infrastruktur ramah disabilitas. Tapi entahlah … aku belum tahu apakah bias menggambar dan mendesain dengan tangan seperti ini."

"Pasti bias, Gaara. Kamu telah banyak menaklukkan kesulitan sebelumnya."

Senyum itu, mata mutiara yang memancarkan sorot lembut itu. Gaara terhipnotis olehnya. Siapa bilang hanya Hinata yang mengagumi Gaara? Pemuda bersurai merah itu pun menaruh rasa yang sama. Ia mengagumi kecantikan nonik itu. Jatuh hati pada tutur katanya yang halus dan pembawaannya yang kemayu.

.

.

.

Hinata mensyukuri keputusan Hiashi untuk memindahkan sekolahnya. Ia ditempatkan di kelas berisi orang-orang yang berpikiran terbuka. Suasana belajar yang sangat kondusif. Ditambah lagi, inspirasi dari sang ketua kelas. Gaara membuat Hinata bersemangat pergi ke sekolah.

Waktu mendekatkan Gaara dan Hinata. Dimana ada Gaara, di situ ada Hinata. Anak sekelas mulai bertaruh tentang kapan tepatnya dua sejoli itu bersatu. Mereka pantas disebut sebagai best couple Konoha High. Tak hanya di sekolah, di luar sekolah pun mereka amat dekat. Malam-malam seorang Sabaku Gaara kini dilewatkan sambal berbalas pesan dengan gadis Hyuuga. Sedikit banyak Hinata mulai membuka diri dengan Gaara.

"Kenapa menangis, Hinata?" Tanya Gaara pagi itu.

Langit biru lazuardi di Minggu pagi menertawakan Hinata. Di antara lalu-lalang orang yang sibuk berolahraga atau sekadar jalan pagi, hanya Hinata yang menitikkan air mata. Bulir bening bertaburan dari kelopak mata, menyelip di antara senyum lebar dan sapaan pengguna pedestrian.

Bukan kebetulan Gaara dan Hinata bertemu di sini. Keduanya telah berjanji semalam untuk menghabiskan Minggu pagi bersama. Ini pertama kalinya Gaara melihat gadis berkardigan ungu cerah itu tersedu.

"Hinata, cerita sama aku." Gaara sabar membujuk. Tangan kirinya menyibak sejumput rambut yang menghalangi pandangan.

Hinata mengangsurkan iPad-nya. Iris hijau Gaara menginspeksi layar. Sebuah akun Instagram terbuka. Dari namanya, Gaara bias menebak kalua itu akun komunitas fesyen. Komunitas tersebut sedang menyiarkan peragaan busana secara langsung. Nampak para model berpakaian serba merah berlenggak-lenggok di halaman kelenteng. Tema Imlek diusung dalam peragaan busana tersebut.

"Ini fashion show," pungkas Gaara kebingungan.

"Aku sedih hanya jadi penonton. Kapan aku punya kesempatan?" adu Hinata. Suara soprannya timbul tenggelam di antara kebisingan kendaraan dan ingar-bingar obrolan.

Sebentuk kesadaran menyentil hati Gaara. Dia merasa belum mengenal Hinata sepenuhnya. Dalam hitungan detik, tubuh mungil Hinata telah direngkuh Gaara.

"Fokus dan komitmen, Hinata." Gaara berbisik lembut di telinga gadis itu.

Hinata bergetar. Hangat napas dan wangi mint segar dari raga yang memeluknya begitu kuat terasa. Gaara sendiri mulai merasakan efek seduktif kala menghidu wangi vanilla dari tengkuk putih mulus Hinata.

"Kamu ingin jadi model, 'kan? Hidup itu pilihan, 'kan, Hinata? Makanya itu, focus dan komitmen."

Belaian hangat Gaara berikan di helai mahkota indah milik Hinata. Likuid bening yang membanjiri mata Hinata dihapusnya dengan lembut.

"Oh Gaara, kamu tahu saat pertama kali kita bertemu?" isak Hinata.

"Sebelum aku bertemu denganmu, aku hancur sehancur-hancurnya karena direndahkan agensi model. Aku rasa taka da satu pun yang mendukung mimpiku. Lalu aku bertemu denganmu. Aku malu karena kamu begitu tegar."

Tirai kejujuran telah disingkap. Senyum kecil menghiasi wajah tampan Gaara. Dengan sabar ia usap air mata yang tersisa.

"Mulai sekarang, aka nada yang mensuportmu," janji Gaara yakin.

"Siapa?" usut Hinata sengau.

"Mudah-mudahan kamu tak keberatan ditemani penyintas aneurisma dengan tubuh sebelah kanan yang terbatas."

Sepasang telaga jernih milik Hinata bertemu manik pencair tembaga Gaara. Apakah pemuda Sabaku itu tengah menyatakan cinta?

"Tentu, tentu aku tak keberatan," sambut Hinata, dan ia benar-benar berhenti menangis.

Cinta jatuh pada jiwa yang menginspirasi. Hinata tak pernah menyangka bahwa figure yang menginspirasinya juga akan menjadi belahan jiwanya. Mulai hari ini, Gaara dan Hinata lebih dari sekadar teman dekat yang saling mengagumi.

.

.

.

FIN