Self Harm
Disclaimer: Naruto copyright Masashi Kishimoto, Self Harm copyright Sabaku No Maureen
.
.
.
Bertambah lagi satu penghuni kediaman Uchiha. Belum lama ini, Itachi memboyong Hana untuk tinggal bersamanya dan Sasuke. Pasangan suami-istri itu sedang euphoria pasca pernikahan mereka tiga bulan silam.
Terkadang Sasuke merasa bagai pengganggu. Hatinya bimbang. Haruskah dia mulai belajar hidup mandiri, tinggal terpisah dari kakaknya? Itachi sudah mempunyai keluarga baru. Mungkin sebentar lagi rumah ini akan diramaikan oleh tangis Uchiha junior.
"Jangan pernah berpikir untuk pergi, My Lovely Brother," larang Itachi pada satu sore berkabut.
Saat itu Itachi, Hana, dan Sasuke sedang bersantai di beranda. Tiga cangkir ocha terhidang di hadapan mereka. Setoples kastengels tergeletak manis di meja marmer.
"Sasuke-kun, aku akan sedih sekali kalua kamu pergi," tukas Hana penuh perasaan.
Sasuke mengisi paru-parunya dengan oksigen sebelum menyahuti. "Aku merasa menjadi orang ketiga. Bagaimana kalua kalian mempunyai bayi?"
"Oh, jelas sekali keponakan-keponakanku ingin tinggal bersama Uncle Sasuke," senyum Itachi.
Keponakan? Paman? Kepala Sasuke berputar cepat. Perasaan hampa mengulitinya hidup-hidup. Dia berputih mata untuk memiliki apa yang Itachi miliki. Tambatan hati saja tak punya.
Perasaan insecured berpadu dengan kehampaan. Bila dipikir-pikir, hanya Sasuke yang belum punya gandengan di antara teman seumurannya. Coba lihat. Gaara sudah punya Hinata. Naruto menautkan hatinya dengan Matsuri. Si pelukis nyentrik a.k.a Sai berhasil menggaet pendatang baru di dunia model bernama Ino Yamanaka. Deidara yang berjibaku melawan gosip gay, kini mendeklarasikan relasinya dengan Shion. Bahkan Shikamaru yang tukang tidur itu meluluhkan desainer secantik Temari. Hanya Sasuke yang masih sendiri.
"Sasuke, are you ok?" Lembut Itachi bertanya. Di mata hitamnya, terpancar kecemasan yang tulus.
"I'm fine," jawab Sasuke pelan.
Mengabaikan cangkir minumannya yang tersisa separuh, Sasuke berlalu menuju kamarnya. Itachi dan Hana saling pandang. Nurani mereka berebut menyampaikan SOS. Sasuke dengan wajah sendu seperti itu sangat layak diwaspadai.
.
.
.
From:
To: uchihasasuke
Subject: konfirmasi lokakarya Alkisah
Halo, Uchiha Sasuke
Terima kasih untuk kesabarannya menunggu pengumuman dari kami. Kami sangat tertarik membaca cerita dan ketertarikanmu. Bersama surel ini, kami sampaikan bahwa kamu terpilih sebagai peserta lokakarya Alkisah yang akan diadakan pada
Hari, tanggal: 12 Februari-12 Agustus 2022
Tempat: Goethe Institute, Jerman
Pada lokakarya ini, kamu akan diberi kesempatan mengembangkan ceritamu menjadi sebuah karya. Karya tersebut akan ditampilkan dalam pameran internasional bertajuk 'Sekutu Tidak Berkata Tidak'. Akomodasi selama kegiatan ditanggung pihak penyelenggara. Kami tunggu konfirmasinya paling lambat pada Jumat, 11 Februari pukul 17.00.
Salam,
Katya dan rekan penyelenggara
Rentetan kata itu berhasil memagut Sasuke dalam kekagetan. Dirinya berhasil diterima di lokakarya yang sangat bergengsi. Kabarnya, ribuan pendaftar yang berusaha memikat penyeleksi. Namun hanya sepuluh orang yang terpilih. Sasuke menjadi salah satu orang pilihan itu.
Melompat kegirangan, berteriak "eureka!", attau salto bukanlah gaya Sasuke dalam mengekspresikan kebahagiaan. Dengan sisa penglihatannya yang terus menipis, Sasuke memandang langit berselimut lembayung di atasnya. Langit identic dengan Tuhan. Mungkinkah Sasuke tengah berdialog transcendental dengan Yang Mahatinggi?
Ya, betul. Hati Sasuke melagukan mada syukur. Di sisi lain, ia pun tengah membisikkan kecemasan tanpa suara padaNya. Kecemasan tentang nasib keikutsertaannya di kegiatan prestise ini.
"Wah, Sasuke. Terpilih event Goete?"
Hampir saja laptop Sasuke tercebur ke kolam ikan di hadapannya. Pemuda berambut melawan gravitasi itu gelagapan. Uchiha Obito dengan sangat sopan telah bertamu ke rumahnya.
"Apa kau akan ikut, Sasuke?" Tanya Obito sambal tersenyum.
"Tentu saja."
Obito mengangguk sambal mengelus-elus dagunya. Firasat Sasuke tak enak. Pamannya itu mendaratkan tubuh di hamparan rumput. Korneanya memindai bebungaan yang tumbuh subur di pekarangan Uchiha.
"Pekarangan Uchiha tak lagi gersang, ya," komentarnya.
Sasuke hanya bergumam tak jelas. Pastilah maksud sang paman adalah metafora. Bukan bunga dalam arti harfiah yang menjadi objek pembicaraannya.
"Sasuke, kamu yakin mau ke Jerman?" selisik Obito.
Sasuke berpaling dengan sedikit gusar. "Iya. Kenapa tidak?"
"Bisa pergi sendiri? Setahuku, kakakmu yang over protektif itu belum memberikan surat izin pergi sendiri pada adiknya."
Rahang Sasuke mengeras. Wajah tampannya yang biasanya teduh menyenangkan berubah keruh.
"Aku akan mengikuti lokakarya …."
"Saranku jangan." Obito memotong.
Calon magister itu mengertakkan gigi. Ini kesempatannya, ini salah satu lembaran cerita hidupnya. Dia berhasil menyingkirkan ribuan pendaftar dengan talentanya. Mengapa Obito yang repot-repot melarang?
"Dunia tidak hanya berputar untukmu, Sasuke. Bayangkan kalua kau memaksakan diri ikut program Goethe Institute."
Bayangkan, apa yang harus dibayangkan? Sasuke akan mengikutinya dengan senang hati. Anggap saja ini kesempatannya go internasional. Sebelum lulus S2, ia sudah punya karya di kancah internasional.
"Itachi akan repot. Kemungkinan besar dia mau mendampingimu ke Jerman mengingat kamu adalah belahan jiwanya. Tapi, coba pikirkan perasaan Hana. Belum enam bulan menikah, sudah ditinggal suami tercinta dalam waktu lama."
Ujaran direktur bank swasta itu cukup rasional. Akan sangat egois bila Sasuke membuat Hana dan Itachi terlibat LDM (long distance marriage) di awal perkawinan mereka.
"Sadarkah dirimu kalau kau ini merepotkan, Sasuke?"
Apa? Obito bilang apa barusan? Kalimat itu bordering di kepala Sasuke persis telepon rusak. Sejak kapan Obito mengadaptasi kelakuan pewaris klan Nara? Itachi saja tak pernah menggunakan kata itu di depan adiknya.
"Paman Obito sebenarnya mau apa ke sini? Mau ketemu Kak Itachi? Aku panggilkan, ya."
Demi Kami-sama, saat ini yang diinginkan Sasuke adalah menyudahi konversasi. Terburu dia berjalan menuju rumah. Peduli amat dengan notebook-nya yang tertinggal.
.
.
.
Merepotkan.
Merepotkan.
Merepotkan.
Kata dengan sepuluh huruf itu berdengung menakutkan di otak Sasuke. Dirinya merepotkan. Uchiha Sasuke merepotkan.
Kamar tidur seluas 5x9 meter itu serasa mengecil. Warna merah dan hitam yang biasa menebarkan kesan elegan berubah monokrom di mata Sasuke. Orang galau memang berbahaya. Galau tak harus karena cinta, 'kan?
Sasuke mengubur diri di bawah selimut. Dia telah memberikan konfirmasi ketidaksanggupannya mengikuti lokakarya pada pihak Goete. Menyesal? Sudah pasti. Frustrasi? Seratus persen benar. Sasuke merasa gagal. Sebongkah kesempatan besar dibuangnya percuma.
Andai saja dia mampu pergi sendiri. Jika mata ini normal dan mampu menuntunnya pergi kemana pun yang ia sukai. Sasuke merutuki indera penglihatannya yang tak sempurna.
Dan lagi, mengapa Itachi tidak pernah membiarkannya pergi sendiri? Itachi memperlakukannya bagai porselen yang mudah rapuh dan pecah.
Tuhan seolah menutup pintu bagi Sasuke untuk sukses. Sasuke hanya punya jalan semulus jalan tol di bidang akademik. Bidang lainnya, Tuhan enggan merestui.
Lelah ditimbuni gulana, bungsu Uchiha itu melempar selimut tebalnya. Dia menyeret langkah ke kamar mandi. Pintu berat dari kayu warna krem itu dibantingnya.
Kamar mandi adalah tempat paling privat bagi Sasuke. Di sana dia bisa melakukan apa pun, apa pun termasuk melukai diri. Sepasang tangan putih itu bergerak menyalakan shower. Keran wastafel dihidupkannya pula. Dengan begini, suara-suara keputusasaan dapat tersamarkan.
Buk! Buk!
Sasuke membenturkan kepala ke dinding berulang kali. Ikatan kencang di hatinya perlahan mengendur. Lega, lepas, bebas. Sensasi yang sama tiap kali ia selesai melukai diri.
Masih belum puas, Sasuke menghantamkan sikunya ke permukaan lantai yang keras. Darah mengucur. Luka-luka kecil mulai bertimbulan.
Mengapa sebagian penglihatannya harus lenyap? Mengapa ruang geraknya harus terbatas? Bila alam menyajikan rangkaian pilihan, Sasuke lebih memilih tak pernah dilahirkan. Dengan begitu, usahlah dia merasakan pahitnya menjadi orang berkebutuhan khusus.
Sasuke terus dan terus melukai diri. Kegagalan dan keterbatasan fisik mengikis rasa saying pada tubuh sendiri. Lihatlah Sasuke yang rupawan mencipta cacat baru pada badannya.
Tuhan tak cinta Sasuke. Buktinya, Ia lenyapkan penglihatan Sasuke. Ia batasi ruang gerak Sasuke. Sasuke terbatas, amat terbatas. Likuid bening mengambang di kelopak mata pria 25 tahun itu.
Aku tak sempurna
Tak perlu sempurna
Akan kurayakan apa adanya
Sasuke tak sempurna, memang tak sempurna. Lagi-lagi sikunya menghantam keramik.
Tutur batinku tak akan salah
Silakan pergi, ku tak rasa kalah
Namun percayalah sejauh mana kau mencari
Takkan kau temukan yang sebaik ini (Yura Yunita-Tutur Batin).
Senandika Sasuke menyuruhnya untuk merayakan ketidaksempurnaan dengan luka. Biarlah, biarlah luka-luka ini yang berbicara.
.
.
.
"Sasuke, Sasuke. Kamu kenapa, Sayang?"
Suara lembut Itachi terdengar sayup. Terlalu letih Sasuke untuk membuka mata. Sesuatu yang lembut mengelus-elus dahinya. Bukan tangan, tetapi kain halus.
"Sasuke … ada apa, Sayang? Cerita sama aku dan Hana," mohon Itachi sekali lagi.
"Sasuke-kun, kamu ditemukan pingsan di kamar mandi oleh kakakmu. Ya, Tuhan, jantungku hamper copot beberapa saat lalu. Tolong katakana pada kami apa yang terjadi."
Hingga bibir mereka berbusa, Itachi dan Hana tak'kan mendapat informasi yang mereka butuhkan. Sasuke mengunci hati dan lisannya rapat. Cukup luka-luka ini menjadi tutur batinnya saja.
.
.
.
FIN
.
.
.
Ditulis cantik dalam keadaan tidak baik-baik saja.