a/n

Tolong jangan tinggalkan review aneh-aneh yang menjurus pada seks di ceritaku. Semalam aku post fanfict. Aku dapat review. Bukannya komen tentang cerita, itu orang malah kasih info tentang pedofil di review-nya. Kurang ajar. Semua ceritaku nggak ada unsur seksnya. Dan aku nggak tertarik, bahkan cenderung benci dengan seks. So, jangan kotori ceritaku dengan review seks. Aku bikin cerita bukan untuk dikomen seks. Lebih baik nggak direview dari pada dapat review kayak gitu.

.

.

.

Pandemic Talks

Disclaimer: Naruto copyright Masashi Kishimoto, Pandemic Talks copyright Sabaku No Maureen

.

.

.

Konoha High adalah sekolah terbaik yang pernah dijumpai Hinata. Bukan hanya fasilitasnya yang super lengkap. Ia bertemu teman-teman sekelas yang berpikiran terbuka. Buktinya, mereka memilih ketua kelas berkebutuhan khusus. Tanda keterbukaan pikiran seseorang adalah menerima keragaman.

Sekolah di bawah pimpinan Sarutobi Hiruzen ini mengutamakan pendidikan karakter. Lembaga pendidikan itu sudah dikenal dengan pendidikan humanisnya yang kuat. Jangan harap perundungan akan ditolerir di sini. Sanksinya tak main-main: langsung didepak dari sekolah. Praktik intoleransi pun sangat minim. Sebutlah berbagai agama resmi yang telah diakui negara: Katolik, Protestan, Hindu, Buddha, Konghucu, Shinto, hingga Yahudi dan Islam. Siswa-siswi Konoha High dari berbagai agama saling berbaur. Sekolah mengakomodir pelajaran agama dari berbagai keyakinan. Mereka bahkan mendatangkan guru terbaik untuk setiap agama.

Ribuan terima kasih Hinata titipkan untuk Hiashi dan Hikaru yang telah mendaftarkannya di sini. Terlebih gadis bermanik lavender itu mendapat bonus: belahan jiwa. Ya, di Konoha High, Hinata temukan tulang rusuknya.

Gaara-Hinata, best couple di Konoha High. Ketua kelas berparas setampan dewa Yunani terpikat murid baru cantic jelita. Hari ketika Hinata jadian dengan Gaara diresmikan sebagai hari patah hati Konoha High. Banyak perempuan mulai dari teman seangkatan, kakak kelas, adik kelas, hingga guru dan karyawan gigit jari. Salah satu idola sekolah telah mengubah status dari single jadi taken.

"Yah, setidaknya masih ada Sasuke," bisik beberapa murid perempuan penuh harap.

Tentu saja Sasuke masuk hitungan sebagai high quality jomblo. Meski sangat ramah dan baik hati, nyatanya Sasuke masih ingin sendiri. Jabatannya sebagai wakil ketua kelas sekaligus pengurus OSIS telah menyingkirkan prioritas untuk mencari pasangan kekasih.

"Aku sibuk, nggak ada waktu cari pacar." Begitu selalu dalihnya tiap kali ditagih soal wanita.

"Sibuk atau belum move on dari Sakura?" ledek Naruto seraya menjawil dagunya. Sasuke berkelit dengan raut wajah sebal. Hinata yang menyaksikan dari bangkunya, tersenyum geli. Senyuman Hinata sukses membuat Gaara terpana.

Amat disayangkan, kesenangan Hinata di Konoha High terancam lenyap. Apakah prestasi belajar gadis Hyuuga itu begitu bobroknya hingga ia berpotensi di-DO? Tidak, sama sekali tidak. Nilai akademiknya meningkat pesat. Apakah ayah-ibunya berencana memindahkannya lagi ke sekolah lain? Dibayar pun Hinata ogah angkat kaki dari Konoha High. Bukan, bukan factor internal yang mendasari. Penyebabnya tak lain tak bukan karena sebuah virus.

.

.

.

"Hai, Coro."

"Hai, Rona."

"Pssst, di sini banyak mangsa empuk. Ayo kita patroli. Kita makan satu-satu."

Sebuah virus ganas yang rajin sekali membelah diri itu sibuk berpesta pora. Mereka beterbangan kemana-mana, menginfeksi organ pernapasan. Siapa saja dapat mereka serang mulai dari bayi tak berdosa hingga pejabat yang gemar memakan uang rakyat. Kabarnya, awal mula virus ini berasal dari sebuah kota di Tiongkok bernama Wuhan. Masih berasal dari konon katanya, virus ini dipicu kebiasaan penduduk kota itu yang doyan makan makanan ekstrem. Sekali lagi, itu semua masih praduga.

Pesta para virus merugikan makhluk Tuhan paling sempurna bernama manusia. Mereka kelabakan. Masker yang awalnya hanya dipakai orang sakit, kini menjadi trend fesyen. Banyak kegiatan dibatasi, tak terkecuali kegiatan sekolah. Lambang supremasi pendidikan macam Konoha High bahkan dibuat bertekuk lutut oleh virus laknat ini.

"Panggilan pada seluruh ketua kelas dan pengurus OSIS, ditunggu kehadirannya di ruang kepala sekolah."

Suara mezosopran Shizune mengudara, dipantulkan oleh intercom. Kelas Hinata yang semula adem ayem saat belajar Fisika sontak gaduh. Para murid bertukar pandang. Hanya ada dua kemungkinan bila ada panggilan untuk ketua kelas dan pengurus OSIS di tengah jam pelajaran: kabar gembira atau kabar buruk.

"Wah, sekolah kita mau pesta lagi!" Naruto berkoar senang.

"Jangan senang dulu, bodoh! Bisa saja itu alamat berita buruk!" sergah Kiba.

Di pojok kelas, Shikamaru menguap. Tangannya bertopang dagu.

"Ayo, Gaara," ajak Sasuke seraya bangkit berdiri.

Sang ketua kelas bergerak pelan keluar dari lingkaran mejanya. Tubuh Gaara yang lumpuh sebelah kanan bergerak amat pelan. Hinata ikut bangkit, memegang lengan kekasihnya. Begitu Gaara berhasil keluar dari barisan meja, giliran Sasuke yang menggandeng lengannya.

"Hati-hati," ujar Hinata lembut.

Gaara mengangguk, melempar senyum menawannya pada sang pujaan hati. Sasuke berpamitan pada sensei mereka lalu melenggang pergi bersama Gaara.

Ruang kepala sekolah hamper penuh kala mereka tiba. Wajah Mr. Sarutobi menyiratkan derana. Lain halnya dengan paras Ms. Shizune yang menampakkan gundah. Gaara dan Sasuke tiba paling akhir. Firasat kurang menyenangkan melesak ke dalam batin mereka.

"Duduklah." Mr. Sarutobi menunjuk dua kursi kosong di seberang meja. Dua pemuda ganteng maksimal itu menempati dua kursi yang tersedia.

"Kami sedang mempertimbangkan untuk menutup sekolah."

Oh, rupanya berita buruk. Sekuat tenaga Sasuke dan Gaara menahan diri untuk tidak berpandangan.

"Kenapa harus ditutup, Mr. Sarutobi?" Tanya Gaara sopan.

"Virus Corona sudah ditetapkan sebagai pandemic global. Berbahaya sekali kalua sekolah berlangsung seperti biasa. Perlu ada penyesuaian."

Kata 'penyesuaian' terdengar tidak terlalu baik. Sebagai kepala sekolah demokratis, Mr. Sarutobi melibatkan perwakilan siswa dalam diskusi ini. Semua staf guru setuju sekolah ditutup hingga pandemic berakhir. Kini saatnya mereka meminta pendapat para ketua kelas dan pengurus OSIS.

"Kalau sekolah ditutup dan kami belajar di rumah, ada kemungkinan kami akan ketinggalan pelajaran." Kabuto, pemuda berkacamata yang merupakan ketua kelas 12 A, mengutarakan pendapatnya.

"Belajar daring dan luring sangat jauh berbeda," timpal Nagato.

Sasuke dan Gaara belum bersuara. Bila diminta berpendapat, hati mereka berdilema. Kesehatan civitas academica Konoha High sangat penting. Namun, mereka pun setuju dengan opini Kabuto dan Nagato.

Mr. Sarutobi mengangguk-angguk. Kedua tangannya menangkup seolah sedang berdoa. Nampak jelas beban seorang kepala sekolah yang berat untuk mengambil keputusan. Kesehatan dan keberlangsungan pendidikan sama krusialnya.

"Dua murid hebat kita ini belum berbicara. Bagaimana menurut kalian, Sasuke, Gaara?" Ms. Shizune menatapi duo pemuda kece itu.

Tiba juga giliran mereka. Sasuke dan Gaara menghela napas berat.

"Keselamatan teman-teman kami sangat penting," kata keduanya hamper bersamaan.

.

.

.

Gaara meletakkan vas bunga di meja guru. Bunga mawar hidup yang baru diganti menguarkan harum menyegarkan. Aneh juga ia mengganti bunga. Padahal siang ini adalah hari terakhir Konoha High beroperasi sebelum ditutup untuk sementara waktu.

Beberapa meter di dekat Gaara, Sasuke sibuk membenahi spidol, penghapus, dan peralatan kelas. Ia menatap sedih layar infokus sebelum mematikannya. Entah kapan peralatan ini berikut kelas super nyaman ini dapat dijumpainya lagi.

"Jadi, sekolah kita beneran mau ditutup? Huaaa, tidaaaak!" teriak Naruto dari bangkunya.

"Ini hari terakhir kita." Tenten meratap.

Shikamaru dan Shino, yang belum lama berbaikan, saling tatap dengan ekspresi menyesal. Mereka telah membuang waktu untuk mempertengkarkan hal kurang penting. Mulai besok, mereka tak dapat lagi bertemu di kelas yang sama.

"Kita masih bisa ngobrol di grup," hibur Sasuke.

"Japri aku dan Sasuke kalua kalian mau curhat. Seperti biasa, 'kan? Cuma bed acara komunikasi." Gaara menimpali.

Hari terakhir yang suram. Seisi kelas bergandengan tangan dengan wajah sendu. Gaara, Hinata, dan Sasuke yang selama ini duduk bersebelahan, bertatapan lekat-lekat. Seolah saling mematri wajah dalam benak.

"Aku akan merindukanmu, Princess." Gaara berbisik di telinga Hinata. Lembut tangan kirinya yang sehat membelai rambut indigo itu.

Hinata mengerjap. "Kita masih bisa bertemu, Gaara. Rumah kita berdekatan."

"Betul," sambar Sasuke sigap.

"Rumah Sabaku, Hyuuga, dan Uchiha tidak terlalu jauh."

Trio menawan ini membuat siapa pun iri. Gaara-Hinata dengan status mereka sebagai pasangan terbaik nan serasi. Sasuke dengan keramahan, keterbukaan hati, dan sikap bersahabatnya.

Tepat pukul tiga sore, seisi kelas mengakhiri kebersamaan. Mereka melangkah berat meninggalkan sekolah. Hinata mendorong kursi roda Gaara di sepanjang koridor.

"Kita pulang sama-sama, ya," pintanya.

Gaara bergumam mengiyakan. Derap langkah cepat menjajari mereka.

"Gaara, Hinata, aku antar kalian pulang. Jangan ada penolakan," tukas Sasuke sedikit terengah.

Sepasang kekasih itu mengangguk. Sasuke memimpin jalan menuju parkiran. Dibukanya pintu Mini Cooper-nya. Ia membantu Gaara duduk, lalu kursi roda milik pemuda bersurai merah itu dimasukkannya ke bagasi. Hinata menyusul masuk ke mobil. Tubuh rampingnya ia dudukkan di sisi Gaara. Setelah kedua sahabatnya duduk manis di dalam mobil, Sasuke berjalan memutar ke bangku pengemudi.

Mobil melaju selambat siput. Gaara mengernyit. Sejak kapan Sasuke menyetir gaya kura-kura begini? Bukankah dulu dia yang membuat Naruto muntah-muntah karena ngebut?

Hanya Tuhan yang tahu isi kepala berambut jengger ayam itu. Sengaja Sasuke memperlambat laju mobil agar dapat berlama-lama bersama dua sohibnya. Kalau dia menyetir dengan kecepatan normal, tentu lebih cepat baginya berpisah dengan Gaara dan Hinata.

"Sas, mobilmu rusak, ya?"

Ups, gawat. Hinata mulai mempertanyakan.

"Um …." Sasuke memainkan jarinya. Persis seorang gadis yang sedang gugup. Kali ini mobil berhenti sebentar di lampu merah.

"Mungkin Sasuke ingin lebih lama bersama kita," terka Gaara kalem.

"Tepat sekali. Ini hari terakhir kita bertemu di sekolah. Pandemi mungkin akan berlangsung lama sekali. Aku senang kalua bisa mengantar kalian pulang. Apa lagi kamu, Gaara."

Hinata manggut-manggut. Hatinya menghangat. Ketulusan Sasuke dapat dia rasakan seutuhnya. Tidak ada unsur jahat atau bibit boys love dalam diri adik Itachi itu.

"Kenapa memangnya denganku?" selisik Gaara.

Sasuke menghela napas. Jemarinya mengetuk dashboard.

"Yah, selama ini kamu sering pulang pakai taksi online. Aku, 'kan, khawatir."

Hal itu benar adanya. Sebelum berpacaran dengan Hinata, Gaara lebih suka memanfaatkan jasa taksi daring ketimbang mobil pribadi. Dia hanya ingin mandiri. Barulah setelah penulis novel itu menjadi bagian hidupnya, Gaara memakai fasilitas mobil lengkap dengan sopirnya pemberian dari sang ayah.

"Pakai taksi online nggak buruk juga. Drivernya baik-baik semua. Bahkan ada yang lumpuh separuh tubuh sepertiku," tutur Gaara.

"Syukurlah kamu selalu dipertemukan dengan orang baik, Gaara. Tapi yang namanya hidup … nggak semuanya sebersih yang kamu kira."

Jemari Hinata meremas lembut jari-jari Gaara. Waswas hatinya membayangkan belahan jiwanya pergi sendirian naik taksi online. Bagaimana kalua drivernya jahat? Bagaimana kalau pemuda bermata sehijau giok itu dirampok? Ah, Hinata kebanyakan nonton film action.

.

.

.

Ting ting ting

Ponsel Sasuke dan Gaara tak pernah sepi dari notifikasi. Kalau bukan ratusan pesan di grup, mereka mendapat japri berupa curhatan kawan sekelas. Tugas sampingan mereka sebagai pengurus kelas adalah sebagai konselor untuk teman sendiri. Lama-kelamaan Sasuke dan Gaara terpikir juga untuk kuliah Psikologi.

From: Shino

Sasuke, Gaara, aku nggak tahan belajar daring. Mataku pedih kebanyakan liat layar. Pusing karena banyak tugas.

From: Shion

Sasuke, Gaara, aku benci di rumah. Tiap hari dengar tangisan keponakan jelek yang masih bayi. Dikiranya aku nggak punya kehidupan lain apa, harus terus urus itu bocah?

From: Lee

Semangat masa mudaku hilang gara-gara pandemic sialan. Pemasukan Papa Gai di gym center-nya turun drastic. Aku bingung gimana bayar uang sekolah.

Dan masih banyak lagi japri yang berebutan masuk ke ponsel mereka. Sasuke dan Gaara menyimak curhatan kawan sekelas mereka dengan sabar. Tak jarang mereka menelepon rekan yang sedang putus asa untuk menguatkan.

Puncaknya, suatu sore Tenten dating ke rumah Gaara sambal menangis. Mata hazelnya bengkak persis petinju kena hantam. Terang saja Gaara terkejut dengan kehadiran gadis tomboy itu.

"Hei, kenapa?" Tanya Gaara keheranan melihat Tenten terduduk di selasar rumahnya dengan separuh wajah terbenam di lutut.

"Mereka menghina keluarga kami, Gaara," isak Tenten. Rambutnya yang diikat ponytail bergerak naik-turun seirama sedu sedan.

Gaara berjongkok di samping Tenten. Dengan canggung dielusnya punggung pemegang sabuk hitam itu. Ia harus berhati-hati dalam berinteraksi dengan lawan jenis. Selain karena Gaara sudah punya pacar, ada rumor kalua Tenten sedang dekat dengan kakak Hinata.

"Siapa yang menghina keluargamu?" Si rambut merah mengajukan pertanyaan.

"Tetangga. Kamu tahu, 'kan, Gaara? Keluargaku ada keturunan Tionghoa. Kami dituduh membawa virus. Kami disalahkan dengan adanya Virus Corona ini."

Mestinya para tetangga Tenten bersekolah di Konoha High. Dengan begitu, mereka akan mendapatkan penguatan karakter. Tega sekali mereka mengaitkan virus dengan rasisme.

Sejurus kemudian, Gaara mengajak Tenten masuk ke rumahnya. Dibuatkannya secangkir macha untuk dara berambut coklat itu.

"Jangan dengarkan mereka," saran Gaara setelah Tenten meneguk tehnya.

"Itu semua tidak benar. Bukan salah etnismu virus ini ada. Alam sedang bersih-bersih."

Setengah jam lamanya Gaara memberi peneguhan untuk teman sekelasnya. Tenten berjalan pulang dari rumah Gaara dengan ekspresi wajah lebih cerah. Dia berjanji pada diri sendiri untuk tidak lagi mendengarkan cacian para tetangga.

.

.

.

Bagiku kamulah duniaku

Semua kuberikan hanya untukmu

Aku menyayangimu

Apa kau tak saying aku

Kau tak pernah menyadari itu

Cinta ini kuberi hanya untukku

Tapi semudah itu

Kautinggalkan semua dan lukaiku

Kau tutup kisah cinta kita

Saat ku sedang sayang sayangnya

Apa ada dia yang lain

Yang beri semua yang ku tak punya (Mawar de Jongh-Sedang Sayang Sayangnya).

Sasuke memainkan piano. Isi hatinya tercurah dalam tuts hitam-putih dan lirik yang ia senandungkan. Memang tidak enak kalua punya kisah cinta seperti itu. Sasuke ditinggalkan saat sedang sayang-sayangnya. Sakura mematahkan hati Sasuke dengan berpaling pada pria lain. Mungkin saja si rambut merah dan penyuka boneka itu jauh lebih baik dari Sasuke, ah entahlah.

Lelah galau sendirian, Sasuke menyambar dompet dan mengenakan masker. Dia berniat jalan-jalan sebentar. Terkurung di rumah membuatnya penat.

Pemuda berpostur bagai model itu menyusuri trotoar. Pikirannya berkelana. Bagaimana keadaan teman-teman sekelasnya? Bagaimana Gaara dan Hinata? Berjauhan begini, Sasuke tak dapat banyak menolong Gaara. Sasuke sudah sangat terbiasa dengan teman yang berkebutuhan khusus. Bungsu Sabaku itu sama sekali tak merepotkan baginya.

Nampaknya bukan hanya Sasuke seorang yang jenuh. Lihatlah banyak juga remaja seumurannya di jalan. Mereka mengunjungi taman dan berkumpul sembunyi-sembunyi di sudut jalan. Ada juga yang membawa anjing piaraan. Kebosanan milik siapa saja. Tak kenal status social, agama, maupun ras.

Ketika berbelok ke jalan yang lebih kecil, Sasuke berjumpa pedagang sayuran. Penjual itu sudah sangat tua. Wajahnya dipenuhi keriput. Rambut abu-abunya ditumbuhi uban. Cara jalannya yang bungkuk makin menegaskan usianya yang uzur.

Dengan ramah, Sasuke menyapa pedagang itu. Dibelinya semua sayuran si pedagang. Melihat wajah pedagang sayur yang berseri-seri, hati pemuda tampan itu senang tak kepalang. Dia pun berjalan pulang dengan sekantong penuh kentang, wortel, tomat favoritnya, dan berbagai jenis sayuran lainnya.

"Pulang-pulang kok bawa sayuran?" tegur Itachi ketika adiknya baru saja melepas sandal.

"Kasihan, aku beli semua biar pedagangnya cepat pulang. Dia udah tua banget," papar Sasuke seraya meletakkan belanjaannya di meja dapur. Dicomotnya sebutir tomat dan digigitnya. Tomat ini sudah tidak segar.

Itachi membuka kantong sayuran. Banyak kentang yang telah keriput dan kotor. Perlu dipilah dulu sebelum memasaknya.

"Kamu nggak butuh-butuh amat sayuran ini, 'kan sebenarnya?" Tanya Itachi lembut.

Sasuke menggeleng.

"Tapi aku suka caramu, My Lovely Brother. Kamu pengen bantu pedagang itu. Yang penting kemanusiaannya."

Esoknya, Sasuke merasakan sekujur tubuhnya kedinginan. Padahal cuaca hari itu panas. Dadanya terasa sakit. Ia menelepon Gaara.

"Gaara, aku takut terinfeksi virus," kata Sasuke, terbatuk di sela kalimatnya.

Di seberang sana, ekspresi Gaara berubah horror.

Ketua kelas dan wakilnya juga manusia, 'kan?

.

.

.

FIN