Disclaimer: Naruto copyright Masashi Kishimoto, Social Experiment copyright Sabaku No Maureen
.
.
.
Kapan menikah?
Demi Tuhan, Hinata benci pertanyaan itu. Kemana pun ia pergi selalu saja kalimat dengan dua kata it uterus menghantui. Apa salahnya kalua belum menikah saat usia mencapai seperempat abad?
Susah payah Hinata menghindari acara keluarga. Di sanalah tanda Tanya itu paling sering terlontar. Reuni dan kumpul-kumpul bersama teman juga masuk daftar hitamnya. Mata bulannya akan disajikan pemandangan pengantin baru atau bahkan ibu muda dengan bayi mungil yang lucu. Hinata iri, sungguh iri. Oh ayolah, gadis Hyuuga itu masih manusia.
Ketika dulu ia menjadi bridesmaid dalam pernikahan Neji dan Tenten, Hinata yakin sekali kalua jodohnya sudah dekat. Teman-teman kakaknya banyak yang rupawan dan jomblo menahun. Asumsi tinggal asumsi. Dara bermanik lavender itu belum juga punya belahan jiwa.
Pada pertengahan November yang berhujan, Hinata menghadiri pernikahan lain. Acara ini masih tergolong perhelatan Keluarga Hyuuga. Tubuh mungilnya telah berdiri paling depan, ancang-ancang menangkap bunga. Payah dalam berolahraga membawa efek buruk. Tangan putih pucat itu gagal menangkap bunga yang dilemparkan. Helai mahkota putih itu malah terkulai ke lantai. Hati Hinata lunglai.
"Mungkin jodohmu baru lahir," kelakar Neji suatu kali.
What? Jika lelucon itu benar adanya, butuh sekitar dua puluh lima tahun lagi bagi teruni berambut indigo itu untuk bertemu tulang rusuk. Aduh malangnya. Gegara candaan tak tahu adat itu, Neji mendapat omelan gratis dari ibu suri alias Hyuuga Hikaru.
Bicara soal jodoh yang baru lahir, Hinata jadi ingat sebuah komik. Kalau tidak salah judulnya For The Rose. Komik itu mengisahkan kisah empat anak dari ibu yang sama tetapi beda ayah. Si bungsu Aoi yang awalnya menyukai Sumire, kakaknya sendiri, diprediksi kalua jodohnya baru lahir. Merinding tengkuk Hinata. Apakah nasibnya akan sepahit itu? Untung dia tidak menyukai Neji.
Rupanya Hinata keasyikan melamun. Sampai-sampai ia tak mendengar keliningan lonceng di pintu apoteknya. Ada pembeli baru dating.
"Hinataaa!"
Makhluk pirang cantic itu melesat secepat roket. Sepasang lengan mulusnya terentang. Mata biru aquamarine-nya bercahaya saat tubuhnya bertubrukan dengan Hinata. Dua perempuan sebaya itu saling peluk. Tak lupa cipika-cipiki.
"Ino, apa kabar?" sapa Hinata dengan suara halusnya.
"Sangat baik! Aku baru pulang dari Paris. Biasa, pemotretan."
Derit kursi berkaki empat terdengar. Ino baru saja mendudukinya. Lihatlah dua wanita jelita duduk bersisian di meja kasir. Kalau taka da kilatan emas di jari kelingking Ino, para pecinta yuri bisa salah persepsi melihat mereka.
"Apotekmu makin maju, ya." Ino tersenyum memandangi ruko dua lantai yang disulap Hinata jadi toko obat. Terukir dua huruf H besar berwarna emas di pintu masuknya. Di antara dua huruf H itu, mencuat sebuah logo berbentuk mangkuk dan bunga.
"Syukurlah. Berkat doa baik dari orang-orang yang mendukungku," ujar Hinata kalem.
Ino lalu berceloteh tentang lawatannya ke Paris. Hinata takzim mendengarkan, sesekali tertawa merdu. Semesta membiarkan dua sahabat itu melepas rindu. Hampir setengah tahun mereka tak saling bertemu.
"Dan kamu tau? Sehari sebelum aku pulang ke Konoha, Sai menyusulku ke Paris. Aduuuh, suami penuh kejutan. Senang sekali aku didatangi suami tercinta," cerocos Ino kegirangan. Rona merah di pipinya menyamai seberkas warna merah oranye di langit sana.
Senyum Hinata memudar. Suami. Lagi-lagi tunggal Yamanaka itu menyentil area sensitif. Betapa tidak pekanya Ino. Hinata, 'kan, jadi baper.
"Ngomong-ngomong soal suami, kamu udah punya calon belum?" Ino sedikit merendahkan suara. Ia mencondongkan tubuhnya kea rah sahabat lavendernya.
Kepala Hinata tergeleng-geleng. Belum, belum ada hati yang tertaut dengannya. Ino menepuk-nepuk pelan pundaknya.
"It's ok. Nanti juga ketemu Mr. Right-nya," hibur model majalah ternama itu.
Tetiba rasa enggan meluap ke hati Hinata. Keengganan untuk memperpanjang obrolan dengan sobat pirangnya. Dia sama saja seperti yang lain. Hanya gaya bahasanya yang dibedakan. Kapan nikah diganti jadi sudah punya calon?
"Atau mungkin kamu belum membuka hati," sambung Ino, belum mau melepas topik menyebalkan ini.
Alis Hinata bertaut. Dasar Ino sok tahu. Seolah ia cenayang saja, bisa membaca pikiran sesama perempuan.
"Makanya, move on dong, dari Naruto. Dia udah happy-happy sama Matsuri. Masih kamu tangisin aja."
Fitnah, ini fitnah. Fitnah lebih kejam dari pembunuhan. Mana pernah Hinata meratapi makhluk berisik dari Keluarga Namikaze?
Hinata si stalker mantan, julukan itu layak dicopot darinya. Dua tahun lalu, okelah dia masih sering mengorek-ngorek luka lama dengan stalking Instagram Naruto dan Matsuri. Cemburu menguras hati memandangi potret lamaran, pernikahan, hingga kelahiran baby Boruto.
Tapi sekarang?
No way! Hinata binti Hiashi serratus persen move on!
"Trus kenapa kalo bukan susah move on dari si blonde jabrik?" selidik Ino.
"Yaaa, belum ketemu aja. Aku kepingin punya suami yang baik hati."
Gemas jemari bermanikur milik Ino mencubit pipi chubby Hinata. "Duileeeh, kayak lagu aja. Tuhan kirimkanlah aku kekasih yang baik hati."
"Bukan kekasih lagi, Ino. Aku udah nggak punya waktu buat pacar-pacaran nggak penting."
Ino manggut-manggut. Kini ia mengelus dagunya pertanda sedang berpikir keras.
"Aha, aku punya ide!" serunya seraya menjentikkan jari. Refleks Hinata memundurkan kursinya sedikit. Ogah wajah cantiknya disambar kuku tajam milik sang peragawati.
.
.
.
Apotek Hinata Healthcare masih sepi pagi ini. Papan bertanda 'tutup' baru saja diganti dengan papan satunya yang bertuliskan 'buka' Gadis manis beryukata biru muda itu mondar-mandir sambal bersenandung lembut. Dia memeriksa stok obat. Mana yang masih utuh dan mana yang sudah habis.
Betadine tinggal dua. Parasetamol masih tersisa beberapa strip. Rak kondom sudah kosong. Cepat sekali pengaman itu menghilang. Datang dan perginya mirip jelangkung. Masker dan hand sanitizer tak kalah larisnya. Pil kina, minyak zaitun, bio placenton, terra f, dan prednisone masih aman.
Tengah sibuk mengecek persediaan obat, Hinata menepuk dahi. Dia melesat ke lemari pendingin. Mengusung konsep apotek ritel, Hinata Healthcare juga menjual produk-produk non-obat seperti makanan ringan, test pack, tisu, berbagai jenis minuman, dan es krim. Keputusannya menjual barang-barang tersebut sangat tepat. Buktinya, apoteknya makin ramai dan Berjaya.
Lulusan Magister Ilmu Gizi itu bernapas lega. Ditutupnya kembali pintu kulkas. Stok minuman cukup aman.
Lonceng di pintu apotek berdenting. Seorang pria jangkung, bertubuh atletis, dan berambut sehitam malam melangkah masuk. Iris onyx-nya menyapu deretan etalase. Inner Hinata bersorak. Pria ini tampan juga. Dia jadi ingat ide yang dibisikkan Ino tempo hari.
"Selamat pagi," sapa lelaki berjas abu-abu itu ramah.
"Pagi. Caria pa, ya? Bisa saya bantu?" tawar Hinata ramah.
"Saya cari vitamin."
Mulailah Hinata membantu teruna itu. Hinata berdebar saat menyerahkan bungkusan berisi bitamin berikut struknya.
"Terima kasih."
Apa? Barusan jejaka tampan ini bilang apa? Secepat kilat Hinata mengetikkan sesuatu di iPhone-nya.
Eksperimen social pertama: berhasil
Ciri-ciri: rambut emo, tinggi sekitar 173 senti, mata hitam.
Status: kandidat
Batinnya tergelitik untuk melakukan eksperimen kedua.
"Sama-sama. Anda kerja di dekat sini, ya?"
"Iya. Kantorku dua blok dari apotekmu."
Tunggu, dua blok dari sini? Itu berarti ….
"Uchiha Enterprise?"
Pria berwajah ramah itu mengangguk. "Betul sekali. Aku kerja di situ."
Wah, wah, wah boleh juga. Setahu Hinata, gaji karyawan marketing di sana saja setara penghasilan manager madya di Jakarta.
Nampaknya, kakak Hanabi itu tak perlu repot menyusun rencana eksperimen kedua. Customer rupawan itu baru dua langkah menuju pintu saat seorang gadis kecil terjatuh di trotoar depan apotek. Anak perempuan berbaju lusuh itu nampaknya pemulung. Terlihat dari karung kecil yang tersampir di punggung rapuhnya. Hinata dan Sasuke, pria yang bekerja di Uchiha Enterprise itu, berseru kaget.
"Huaaaa!"
Tangisan bocah malang itu terdengar hingga ke dalam apotek. Hinata beringsut dari meja kasir hendak menolong. Namun, ada yang lebih cepat darinya. Sepasang sepatu hitam melesat cepat. Lengan-lengan kuat menggendong tubuh kecil kumal itu.
"Kamu nggak apa-apa? Mana yang sakit?" Tanya Sasuke dengan kecemasan yang tulus.
Kanak-kanak itu tak menjawab dan terus menangis. Sasuke urung menuju kantornya. Dia masuk kembali ke apotek dan membeli obat merah. Dengan hati meleleh, Hinata memandangi Sasuke yang mengobati luka pemulung cilik itu.
Tergesa Hinata menambahkan catatan di gawainya. Catatan tentang eksperimen sosial kedua. Pria baik hati. Diakah Mr. Right?
Beberapa waktu Hinata habiskan untuk mencari tahu tentang pembeli limited edition itu. Makin terpesona saat dia mengetahui nama dan posisi laki-laki itu: Uchiha Sasuke, CEO Uchiha Enterprise. Oh my goodness, ternyata dia pimpinan perusahaan itu. Humble, bukankah waktu itu dia hanya bilang kalau dia bekerja di Uchiha Enterprise? Ternyata lagu Pacar Lima Langkah benar-benar mewujud nyata. Buktinya, calon jodoh Hinata cukup digapai dengan jalan kaki saja dari apotek.
Minggu berikutnya, Sasuke dating lagi ke apotek. Hinata berseri-seri menyambutnya. Mengapa oh mengapa, barang-barang yang dibeli Sasuke aneh sekali?
"Kenapa beli ini, Sasuke? Buat kakak ipar kamu, ya?" Hinata dengan sok tahunya mulai berasumsi. Jemari lentiknya sibuk mengemas test pack.
Sasuke tersenyum. Sejurus kemudian dia bergerak ke arah rake s krim. Sejenak memilih-milih, pengusaha itu mengambil dua cup es krim rasa green tea.
"Aku baru tahu kamu suka rasa green tea," komentar Hinata.
"Oh, bukan. Ini buat …."
"Sasuke-kun."
Dari pintu apotek, muncul penampakan wanita berambut merah muda dan bermata giok. Senyum manis memulas bibirnya.
"Iya, Honey. Bentar, ya."
Honey? Kepala Hinata bagai dipukuli martil. Dia memohon ampun pada Tuhan dalam hati. Hampir saja Hinata bernasib seperti Karin Hello Kitty di CHSI atau Danira di Layangan Putus.
.
.
.
Semangat, Hinata. Jangan pantang menyerah. Anggap saja Tuhan sedang memberi petunjuk kala itu. Status Sasuke dicopot dari kandidat.
Di pagi pertengahan Februari yang berkabut, Hinata kedatangan pelanggan tampan. Rambutnya merah bata dan matanya berwarna hazel. Parasnya yang imut membuat Hinata terkecoh akan usianya. Hari itu Hinata Healthcare sudah ramai sekali sejak pagi. Berniat meminimalisir kesalahan, Hinata meminta para customer menuliskan obat berikut nama mereka.
"Akasuna Sasori?" Hinata membaca nama di kertas catatan itu.
"Terima kasih." Sasori berucap, melempar senyum mautnya.
Hinata balas tersenyum. Sasori punya catatan baik di ponselnya. Saat mengantre tadi, dia mendahulukan seorang lansia.
Sayangnya, Hinata tak dapat memanjangkan ekspektasi. Ekor matanya menangkap sosok pria berambut pirang panjang di pintu masuk. Pria berwajah blasteran itu menghampiri Sasori dan memeluknya. Tak masalah bila pelukan itu murni pelukan persahabatan. Indera pendengaran Hinata yang cukup tajam mampu menangkap sebaris kalimat yang diucapkan pria bule berambut blonde itu.
"Kamu lama banget sih, Dear."
Ups, rupanya kandidat kedua ini pendukung bendera pelangi. Layar ingatan Hinata memutar ingatan. Teman kuliahnya di Jurusan Psikologi pernah membuat penelitian untuk tugas akhir. Ia meneliti tentang kecenderungan gay di kampus. Hasilnya, setengah kuesioner yang disebar berisi pengakuan mahasiswa pria jika mereka adalah gay. Namun, para penyuka sesama jenis ini menutupi identitas mereka dengan memacari wanita. Sasori adalah pengecualian. Dia terang-terangan menunjukkan orientasi seksualnya.
"Kenapa nggak diterusin aja? Paling nggak, dia bukan suami orang kayak Sasuke itu," tegur Ino saat dirinya bertandang lagi ke Hinata Healthcare.
Wajah Hinata tersembunyi di balik lututnya. "Kamu ini gimana, sih? Yang ada, aku harus usaha dua kali. Ya dapetin dia, ya balikin dia jadi hetero. Itu pun kalau dia mau. Kalau udah nyaman sama orientasi seksualnya gimana?"
"Hmmm, iya juga sih. Mending nggak usah."
Gagal dua kali sedikit banyak mempengaruhi mental Hinata. Dia jadi takut akan kesempatan ketiga. Bagaimana jika dapat yang aneh-aneh lagi? Ino tak lelah mendukung Hinata. Meyakinkan bahwa tiap perjalanan ada ujungnya. Perjalanan Hinata mencari Mr. Right pasti akan berakhir indah.
Musim semi menyapa. Kuntum-kuntum bunga sakura bersolek sebelum akhirnya memekarkan diri. Kesuraman khas musim dingin hilang, tergantikan suasana cerah penuh harapan. Hinata pun berharap jodohnya hadir bersamaan dengan mekarnya kuncup sakura.
Tak sampai April, keberuntungan menjemput. Apotek Hinata Healthcare tambah ramai saja. Produk yang banyak diburu orang adalah suplemen. Hinata terus membiasakan para pelanggan menulis obat yang mereka butuhkan beserta nama.
Dan … voila, radar Hinata menemukannya. Seorang pria berambut merah darah berdiri di ekor antrean orang yang menyemut. Lengan kokoh teruna muda berjas marun itu menggendong anak kecil berambut cokelat. Orang itu mendahulukan seorang customer penderita lumpuh. Dari balik meja kasir, Hinata terpana.
"Sabaku Gaara," gumam alumnus Konoha University itu membaca nama yang tertera di kertas.
Obat yang dibelinya bukan sembarang obat. Dia membeli Trastuzumab. Tentunya dengan resep. Tanpa resep dokter, Hinata dan apoteker di sini tak'kan memberikan. Sebab obat itu banyak dipakai untuk penderita kanker.
Bocah laki-laki dalam gendongan Gaara mengerang pelan. Terlihat Gaara membelai surai cokelatnya, berbisik menenangkan.
"Sebentar ya, Shinki. Iya iya, sebentar lagi kita pulang. Shinki anak hebat, anak kuat. Anak yang kuat pasti bisa tahan sakitnya."
Betapa lembut nada bicara Gaara. Betapa sabarnya ia menenangkan anak bernama Shinki itu. Mendadak Hinata ingin menjadi Shinki. Agar bisa digendong olehnya, dibelai tangannya yang hangat. Pikiran melankolik itu mendesak tanpa permisi.
"Hinata, itukah namamu?"
Si empunya nama terkesiap. Gaara memang tidak mengucap terima kasih, tetapi dia menaruh rasa ingin tahu tentang Hinata. Jelas sekali perbedaan antara dirinya dengan Sasuke dan Sasori. Dua kandidat sebelumnya hanya ramah saja. Tidak ada yang mencoba mengulik tentang pemilik apotek ini.
"Benar, itu namaku."
"Nama yang indah. Apa kau masih akan lama di sini?"
Darah Hinata berdesir. Kepalanya terangguk pelan. Gaara melengkungkan bibirnya dalam senyuman tipis lalu gegas meninggalkan apotek.
Beberapa sekon lamanya Hinata menyentuh dadanya. Merasakan aliran listrik sekian volt menyengat di sana. Interaksi yang ditawarkan Gaara sungguh berbeda. Siapakah pria itu sebenarnya? Apa kaitan Shinki dengannya? Belum pernah Hinata sekepo ini. Dia harus tahu, dia harus tahu.
Seperempat jam sebelum apotek tutup, Gaara dating lagi. Kali ini dia sendirian. Jas merahnya telah dilepas berganti dengan kemeja casual sewarna rambutnya.
"Apa mau beli obat lagi?" Hinata berbasa-basi, walau firasatnya mengatakan bukan itu tujuan Gaara.
"Aku hanya ingin bertemu owner apoteknya," balas Gaara kalem.
Kursi berkaki empat yang biasa diduduki Ino kini bersorak kegirangan. Bagaimana tidak, badannya yang ramping itu tengah menopang berat tubuh pria yang amat tampan. Lihatlah kini Gaara dan Hinata duduk bersebelahan.
"Anakmu nggak apa-apa kamu tinggal sendirian?" Seperti dulu dengan Sasuke, Hinata menggunakan jurus tebak no jutsu untuk mendapat informasi.
"Maksudmu Shinki? Dia bukan anakku."
"So ….?"
"Shinki salah satu anak di rumah singgah penderita kanker milikku."
Detik berikutnya, hal yang dirasakan Hinata adalah kagum. Gaara kelihatannya hanya sedikit lebih tua darinya. Namun ia sudah punya rumah singgah khusus penderita kanker. Jiwa sosialnya jangan dipertanyakan lagi.
"Oh wow, r-rumah singgah khusus penderita kanker? K-kamu sendiri yang mengurusnya?"
Aduh, kenapa Hinata jadi gagap begini? Gadis Hyuuga yang begitu elegan mempresentasikan tesisnya di depan professor dan guru besar, berubah gugup hanya karena seorang pria.
"Kadang aku dibantu kakakku. Tapi lebih sering sendirian. Yah mau bagaimana lagi? Aku belum punya teman hidup."
Apakah ini semacam kode? Sebagai penikmat cerita romance, Hinata hafal di luar kepala tentang frasa itu. 'Teman hidup' identic dengan partner, pernikahan, dan semacamnya.
"K-kenapa kamu t-tertarik mendirikan rumah singgah untuk p-pengidap kanker?" Penyakit gagap Hinata belum hilang juga. Gara-gara Gaara dia jadi gagap begini. Hinata tsaja jika kegagapannya yang natural begini kawaii sekali menurut si mata jade.
Wajah tampan itu berubah sendu. Manik hijaunya memandang Hinata sejenak sebelum dia menyahuti.
"Itu karena … aku pernah jadi bagian dari mereka."
"M-maksudnya? K-kamu pernah cancer j-juga?"
Gaara mengangguk. "Sudah sembuh, ketahuan saat stadium dua. Jadi lebih cepat ditangani."
Hinata sedikit menundukkan wajah cantiknya. Rasa apa ini yang tetiba menyandera hatinya? Bukan, bukan rasa iba. Ini seperti … tidak rela. Tidak rela mengetahui pria setampan ini pernah diuji sakit kanker.
Entah apa yang mendorongnya, Hinata menggenggam tangan Gaara. Jemari mereka bertaut. Gaara pun membalas genggaman gadis itu, bahkan lebih erat.
"Gaara, kamu akan dan selalu sehat. Dia tidak akan kembali," kata Hinata lancer. Kali ini tanpa gagap.
Jade bertemu lavender. Merah bertemu indigo. Sabaku bertemu Hyuuga. Pengusaha dan pemilik rumah kanker bertemu pemilik apotek.
"Kamu tahu apa yang selalu menjadi kekhawatiranku," lirih Gaara.
Sendu di paras menawan itu perlahan terurai. Ada tenang yang tercipta. Ada kekuatan yang ditransfer lewat tautan tangan.
Tadi siang Hinata ingin menjadi Shinki. Kini Hinata berubah pikiran. Hatinya memalarkan untuk menjadi penopang Gaara. Aneh, mereka baru pertama kali bertemu. Akan tetapi rasa ini telah hadir dengan kuatnya. Hinata mau menjadi penopang Gaara.
.
.
.
Teringat awal jumpa 'ku di waktu itu
Tak pernah terbayangkan 'ku akan jatuh
Ternyata pandanganku pun tak lepaskan jua
Hangatnya tatapanmu temani hari-hariku
Khayalku melambung setiap kujumpa dirimu kala itu
Akankah oh mungkinkah
Jiwa ini 'kan bersatu
Hangatnya tatapan Gaara di perjumpaan pertama mereka akan selalu terpatri di hati Hinata. Suaranya yang lembut, kisah hidupnya yang menginspirasi. Apa pun, apa pun tentang Gaara sangat dicintai Hinata. Hanya butuh beberapa jam bagi gadis itu untuk jatuh ke hati Gaara.
Di balik senyummu
Adakah hasrat cinta akan menyatu
Akan kupersembahkan kasih sayangku
Segenap jiwa ragaku
Dulu, kini, dan nanti aku tetap di sini
Biar cinta mengalir
Buktikan hati ini (Jessica Januar-Tetap di Sini).
Dan di sinilah mereka setahun kemudian. Hinata berdiri di samping Gaara lalu memeluknya. Paket-paket berisi pakaian baru untuk para penghuni rumah kanker berserakan di dekat kaki mereka.
"Sudah kubilang jangan terlalu capek." Hinata lembut mengingatkan. Tangan kanannya yang berhias cincin mengelus rambut Gaara.
Cincin? Ya, cincin itu menjadi tanda Hyuuga Hinata telah menjadi Sabaku Hinata.
"Ini sama sekali tidak melelahkan. Ayo berangkat."
Gaara dan Hinata gegas menuju mobil. Hinata sengaja membawa paket lebih banyak dari suaminya. Benar-benar menjaga lelakinya agar tidak keletihan. Tak Nampak pancaran lelah di matanya. Wanita cantic itu justru tersenyum. Sejak dinikahi Gaara dan ikut membantu mengurus rumah kanker, Hinata berkali lipat lebih bahagia.
Lexus merah itu melaju di sepanjang ruas-ruas jalan kota Konoha. Awan putih memayungi langit dan seisi kota dari jilatan sinar matahari musim panas yang garang memanggang. Dalam perjalanan, Hinata bernostalgia. Menceritakan kembali kekonyolan eksperimen sosialnya dengan Sasuke dan Sasori.
"Jadi, aku lebih baik dari Sasuke dan Sasori, 'kan?" Gaara tersenyum simpul, pandangannya tetap focus ke jalanan.
"Tentu. Paket komplet. Dan yang pasti … kamu menginginkanku."
Mobil menepi di rumah kanker. Gaara dan Hinata bermain sebentar bersama anak-anak. Setelahnya mereka meluncur ke apotek.
Hinata tersenyum-senyum sendiri memandangi Gaara yang tengah sibuk melayani customer. Begitulah kelakuan Gaara saat senggang: membantu istrinya mengurus apotek. Kala malam, Gaara akan memeluk Hinata erat sekali di ranjang sambal bercerita apa saja. Ucapan Gaara di awal pernikahan mereka begitu menenteramkan hati.
"Tak perlu ada anak dalam pernikahan kita, Hinata Sayang. Cukup kita berdua. Anak-anak di rumah kanker adalah putra-putri kita."
Inilah yang dicari Hinata. Suami baik hati, yang tulus mencintai, tidak menganggapnya sebagai alat pengurus rumah atau mesin penghasil bayi.
Pelukan hangat Gaara memutus lamunan Hinata. Dia balas memeluk. Ciuman lembut Gaara berikan di kening istrinya.
.
.
.
THE END