Afirmasi Positif
Disclaimer: Naruto copyright Masashi Kishimoto, Afirmasi Positif copyright Sabaku No Maureen
.
.
.
Gawat.
Hinata disergap panic. Ada yang lebih gawat dibanding kelangkaan minyak goreng atau kenaikan harga kedelai. Bagi Hinata, melihat pria pendamping hidupnya terlalu memforsir diri dalam berkegiatan sudah menjadi kegawatan tersendiri.
"Gaara, istirahat ya. Jangan terlalu lelah," mohon Hinata untuk kesekian kali.
Lantai ruang tengah pavilion kediaman Hyuuga bersih mengilap. Meja marmer setinggi pinggang orang dewasa berkilau tanpa setitik pun noda. Lemari-lemari kaca berisi pajangan Kristal tak menyisakan senoktah pun kotoran. Siapa yang membersihkannya? Tak lain pemilik paras tampan dengan ukiran cinta di keningnya.
"Hinata, ini 'kan hari libur. Kamu …." Gaara ingin mendebat, tetapi dipotong sang istri.
"Hari libur bukan berarti berlelah-lelah, Sayang. Lagian kamu aneh. Di saat orang lain manfaatin hari libur buat rehat, kamu malah beberes."
Gaara mendesah tak kentara. Pria berambut semerah bata itu menjatuhkan diri di sofa putih dekat buffet. Hinata menyusul di sisinya. Tangan mungilnya melingkar di pinggang pria yang telah membuatnya berganti marga.
Pemandangan ruang duduk yang rapi menyapa bilik mata mereka. Gaara lebih terampil melakukan pekerjaan domestic ketimbang istrinya. Jemari Hinata lebih luwes menari di kibor laptop alih-alih mengolah bahan masakan. Hinata lebih piawai memotivasi orang dalam seminar ketimbang membersihkan rumah. Buah pemikiran Hinata di bidang toleransi beragama, modeling inklusif, dan bisnis lebih bagus hasilnya tenimbang hasil masakan atau baju yang ia cuci. Intinya, wanita bersurai indigo itu tak mahir dalam tugas-tugas rumah tangga.
Label pria paling pengertian sedunia layak disematkan untuk Gaara. Selain pintar cari uang, ia juga dengan senang hati meringankan kewajiban sang istri di rumah. Tiap hari libur, komisaris utama Sabaku Group itu akan turun tangan mengurus rumah. Apa pun yang dihasilkan oleh tangan Gaara selalu optimal. Masakannya selezat buatan Hyuuga Hikaru-ibu Hinata. Dan lihat saja lantai ruangan tempat mereka duduk sekarang.
"Gaara, kadang aku malu denganmu. Kamu lebih pintar dalam urusan …."
Kalimat Hinata menggantung seperti akhir novel Maryamah Karpov. Gaara keburu mendaratkan kecupan di dahinya. Mata jadenya yang memikat menatap intens ke dalam telaga sejernih mutiara milik Hinata.
"Tak perlu menjadi sempurna, Princess. Aku suka dirimu yang sekarang," bisik Gaara. Ia meniup pelan telinga Hinata.
Ah, andaikan semua lelaki di dunia seperti Gaara. Tak'kan ada lagi perempuan yang stress lantaran tidak bisa memasak atau kurang telaten mengurus rumah.
"Tapi kamu jangan kecapekan, ya. Ingat paru-parumu."
Nada bicara Hinata lembut saja. Namun, efeknya menikam. Gaara paling benci kalau diingatkan masalah kesehatan. Dia merasa kuat. Tidak ada yang salah dengan tubuhnya. Semua baik-baik saja. Cuma Hinata yang berlebihan. Tapi, itu 'kan persepsi Gaara.
"Ingat pas kita nonton di XXI semalam? Ruangan penuh orang, oksigen yang menipis."
Diingatkan begitu, Gaara hanya bungkam. Terlalu lama berada di ruangan penuh entitas bernama manusia membuatnya sesak. Ia harus berebut oksigen dengan yang lain.
"Gimana tesisnya? Udah nggak ada kesulitan, 'kan?" Sengaja Gaara mengalihkan pembicaraan.
Wajah cantic Hinata diliputi mendung. Jika Gaara benci diingatkan soal kondisi tubuhnya, calon penerus PT. Hyuuga Mitra Sejati TBK itu sebal ditanya tentang tesis. Syarat wajib mendapat gelar S2 itu bagai hantu yang menerornya. Gegara tesis, wanita bermata bulan itu jadi sering bermimpi buruk. Suatu malam ia pernah mimpi diancam Profesor Jirayya, dosen pembimbingnya. Profesor Jirayya bilang jika riskan bagi Hinata untuk merampungkan tesisnya.
"Udah masuk bab 4. Tapi Profesor Jirayya minta aku bikin table buat instrument penelitian," sahut Hinata enggan.
"Mau aku buatin? Tinggal bilang aja isi kolom dan barisnya," tawar Gaara.
Sudut bibir Hinata terangkat. Sebaris senyum memperindah pipi ranumnya. Selama bersama Gaara, ia akan baik-baik saja.
"Udahlah jangan mikirin tesis. Libur-libur ngomongin gituan. Akum au nyanyi buat kamu."
Setelah berkata begitu, Hinata loncat berdiri. Kaki jenjangnya terayun cepat ke arah piano putih yang berdiri anggun di samping jendela. Manik sehijau rumput itu lekat memerhatikan belahan jiwanya menekan tuts hitam-putih.
Teringat awal jumpa 'ku di waktu itu
Tak pernah terbayangkan 'ku akan jatuh
Ternyata pandanganku pun tak lepaskan jua
Hangatnya tatapanmu temani hari-hariku
Khayalku melambung setiap kujumpa dirimu kala itu
Akankah oh mungkinkah
Jiwa ini 'kan bersatu
Di balik senyummu
Adakah hasrat cinta akan menyatu
Akan kupersembahkan kasih sayangku
Segenap jiwa ragaku
Dulu, kini, dan nanti aku tetap di sini
Biar cinta mengalir
Buktikan hati ini (Jessica Januar-Tetap di Sini).
Ada yang memeluk dari belakang. Hinata menutup permainan pianonya dengan manis. Wangi maskulin menyambar hidungnya. Gaara mendekapnya kencang-kencang. Jiwa mereka ikut berpelukan. Rengkuhan lama dan panjang itu membuat hati mereka berlayar dalam lautan ketenangan.
Acara pelukan mereka terpaksa bubar. Salahkan si apel kepunyaan Hinata yang tiba-tiba berteriak. Pemiliknya pun ikut menjerit kaget seolah tersiram air keras. Gaara senyum-senyum saja menyaksikan wanitanya begitu panic hanya karena hal kecil. Hinata mengerucutkan bibir mendapati nama 'mantan pantat ayam' menari di layar.
"Sasukeee! Kalo mau telpon jangan pas aku lagi pelukan sama My Lovely Husband, dong!" omel Hinata, tak mengizinkan Sasuke sekadar menyapa atau menyampaikan maksudnya.
"Hei, mantan yang tidak terindah! Memangnya aku pasang CCTV di rumah mantan calon mami mertua? Mana kutahu kamu lagi mesra-mesraan sama panda kurang tidur itu?" Sasuke balik menyergah dengan gusar.
Hidung bangir Hinata bergerak naik-turun memasukkan oksigen sekaligus mengeluarkan karbon dioksida. Percuma saja memarahi Sasuke.
"Ada apa?" Tanya Nyonya Sabaku dengan nada melunak.
"Aku mau kamu jadi narasumber buat seminarku dua minggu lagi."
"Oke. Tentang apa materinya?"
"Tips trik melawan rasa takut."
Ekspresi horor menyapu wajah Hinata. Sepertinya Sasuke salah sambung. Dia harus mencari narasumber lain. Hinata saja masih sering ketakutan jika suaminya keletihan sedikit saja. Ketakutan itu beralasan tentunya, karena sang suami punya riwayat NSCLC atau kanker paru-paru sel kecil.
Bicara tentang Gaara, pria itu baru saja meremas dadanya. Efek terlalu lelah. Seharusnya dia mendengarkan Hinata. Butuh tiga tahun lagi sebelum Gaara bisa memastikan tubuhnya bersih serratus persen dari kanker. Baru dua puluh empat purnama dia terbebas dari kemoterapi, radiasi, dan obat-obatan yang memualkan.
"Kamu kok maksa sih, Sas? Aku nggak bisa. Melawan rasa takut sendiri aja masih susah." Gaara dapat mendengar Hinata berkelit.
"What? Flyer-nya udah jadi? Sas, santet bisa dikirim lewat telpon nggak? Kamu minta disantet, ya."
Tersenyum geli Gaara mendengar celotehan istrinya. Pastilah ada yang sedang direncanakan oleh sahabat sekaligus mantan kekasih Hinata. Selang beberapa menit, Hinata menutup sambungan telepon. Raut wajah ngerinya berganti mimik cemberut yang lucu.
"Kenapa lagi, Princess?" Tanya Gaara lembut. Satu tangannya mengelus rambut panjang kandidat magister itu.
"Sasuke rese. Masa dia nyuruh aku jadi pemateri di seminarnya tentang tips trik melawan rasa takut? Mana posternya udah jadi, 'kan aku jadi nggak bisa nolak."
Tanpa bisa menahan diri, Gaara tertawa kecil. Terbatuk di sela tawanya. Hinata manyun ditertawakan pria yang tiap malam terlelap di sampingnya.
"Bukannya bagus? Kamu jadi harus berpikir untuk melawan rasa takutmu sendiri. Tapi Princess." Gaara menghentikan sejenak ucapannya.
"Rasa takut hadir untuk melindungi diri. Dan pilihan kita untuk mengafirmasikannya secara positif atau negatif."
Hinata manggut-manggut. Pandangannya berpindah dari jendela kaca yang disinari cahaya mentari sore lalu ke wajah rupawan suaminya.
"Jika rasa takut bisa diafirmasikan secara positif, itu akan menjadi rasa takut produktif."
Mendengar itu, Hinata mendengus. Mana ada rasa takut produktif?
"Eits, jangan salah. Misalnya ada seorang mahasiswa magister penerima beasiswa berprestasi. Pemberi beasiswa memberi tenggat waktu untuk mahasiswa itu segera menyelesaikan studinya. Karena takut, si mahasiswa segera menggarap tesis agar cepat selesai."
Kedua pipi putih Hinata langsung berubah semerah tomat kesukaan Sasuke. Mungkinkah Gaara sedang menyindirnya secara halus? Kenapa dia tidak membuat ilustrasi yang lain saja?
Bibir tipis Hinata membuka untuk melayangkan protes. Gawainya kadung berbunyi. Ada WA dari Sasuke. Sebuah flyer terkirimkan. Flyer itu berisi nama-nama para pembicara berikut foto mereka. Ada juga info acara lengkap dengan waktu dan link pendaftarannya. Gaara ikut melihat dari balik bahu Hinata. Dalam hati, Gaara dan Hinata setuju pada foto pilihan Sasuke.
Hinata tidak sendirian. Ia akan sepanggung dengan Miss Indonesia dan Putri Sumatra. Merinding disko wanita seperempat abad itu melihat fotonya disandingkan dengan dua pembicara hebat. Dalam potret itu, Hinata mengenakan gaun merah. Gaun itu semerah rambut Gaara. Riasan minimalis di wajahnya membuat menantu kesayangan Karura itu tak kalah menawan dari dua pemateri lainnya.
"Sasuke kampret. Kenapa dia nggak bilang kalo aku bakal sepanggung sama duo wanita cantic itu?" maki Hinata dengan suara lembutnya.
Sejak tadi Sasuke dibicarakan dan dimaki. Sudah berapa kali dia tersedak, ya? Inner Hinata jail mempertanyakan.
.
.
.
"Gaara …."
Seberkas cahaya kuning menyembul dari jendela kaca yang telah dibuka gordennya. Hinata, masih berselimut, menggeliat gelisah. Tersadar saat tangan putihnya hanya menyentuh kekosongan di permukaan ranjang king size-nya. Gaara tak ada. Dimana Gaara?
Spontan Hinata bangkit duduk. Rasa pusing menghajar kepalanya sebab berubah posisi terlalu cepat. Sebelum dia memutuskan apa yang akan dilakukan, sepasang tangan menahannya lembut.
"Sayangku, tenang dulu, ya. Ada Ibu di sini."
Suara soprano nan halus milik Hyuuga Hikaru menyapa telinga Hinata. Dia menoleh tergesa pada wanita paro baya berambut keunguan tersebut. Matanya menyampaikan kode-kode SOS.
"Dimana Gaara, Ibu?" Hinata serak melontar Tanya.
"Gaara di rumah sakit."
Hampir copot jantung Hinata. Kelopak matanya bersiap menghamburkan telaga. Hikaru merengkuh pundaknya penuh kasih.
"Jangan khawatir, kesayangannya Ibu. Gaara janji akan berusaha pulang ke rumah untukmu. Dia tidak mau rawat inap," tutur Hikaru menenteramkan.
Hinata menutup wajahnya. Isakan kecil keluar dari kerongkongan. Mengapa di saat dia sungguh-sungguh membutuhkan Gaara, suaminya malah sakit? Dan … oh, Gaara sangat memahami trauma istrinya pada opname.
Dua kata yang membuat Hinata trauma di masa dewasa: bayi dan opname. Penggagas gerakan modeling inklusif itu enggan melahirkan bayi. Ia melihat sendiri bagaimana Tenten, kakak iparnya, kerepotan mengurus makhluk kecil yang bisanya menangis dan mengompol itu.
Soal opname, ini cerita tentang Hiashi. Hyuuga Hiashi adalah ayah yang buruk. Sewaktu muda, ia sering membuat Hinata menyingkir ke pojok rumah dan menangis. Saat batang usia meninggi, Hiashi menaburkan bubuk trauma di benak Hinata karena sering keluar-masuk rumah sakit. Saban insiden rumah sakit terjadi, pastilah Hikaru pergi lama sekali dari rumah untuk menjaga kepala keluarga.
Untunglah ada Gaara. Tak pernah dia memaksa Hinata mengandung dan melahirkan. Ia juga bersedia tinggal di rumah keluarga Hyuuga agar Hinata tetap bisa dekat dengan ibunya setelah menikah. Kalau biasanya istri yang ikut suami, Gaara kebalikannya. Toh ia lakukan itu bukan tanpa alasan. Kendati begitu, tak a da gading yang tak retak. Sesempurna-sempurnanya Gaara, dia toh punya kekurangan juga. Kelemahan Gaara Nampak dalam bentuk penyakit.
Sepanjang hari itu Hinata habiskan untuk menangis. Dia tak tahu keadaan suaminya. Dia pun tidak dapat mengontak Gaara. Menunggu, hanya itu yang mampu dilakukan. Kelihatannya si rambut merah sengaja membuat Hinata tidak perlu bersentuhan dengan urusan rumah sakit. Menurut keterangan Hikaru, Gaara ke rumah sakit ditemani Temari dan Kankuro.
Mesin mobil menggerung halus di halaman depan jelang pukul empat sore. Hinata melompat berdiri dari sofa ruang tamu lalu lari ke pekarangan. Ia luruh melihat pria yang paling dikasihinya turun dari mobil. Mahasiswa S2 yang juga penulis buku itu menghambur memeluk Gaara. Air mata meledak dari manik mutiaranya.
"Hei, aku kembali. Masa penulis buku, model, dan calon magister menangis begini? Jangan nangis, ya, kalau pematerian nanti," hibur Gaara lembut. Ia menidurkan bibirnya di dahi Hinata.
"Kamu penyebabnya. Kamu bikin aku takut."
Temari dan Kankuro yang masih stay di dalam mobil, hanya terpaku menyaksikan pemandangan bak opera sabun di balik kaca. Sungkan mereka turun dari mobil dan menginterupsi.
Malamnya, Hinata mulai mengetik bahan presentasi untuk seminar 2 minggu lagi. Gaara rebahan di sampingnya. Mengerling dari layar laptop hingga wajah cantic Hinata. Wajah Gaara masih pucat. Namun, binary matanya memancarkan semangat hidup dan keinginan kuat untuk selalu membersamai Hinata.
"Gaara, bagaimana ceritanya sampai kamu dibolehkan rawat jalan?" selisik Hinata di sela kesibukannya mengetik.
"Karena afirmasi positif."
Kepala berambut gelap itu tertoleh kea rahnya. Mungkinkah Gaara juga ketakutan di rumah sakit dan mengubah rasa takutnya menjadi afirmasi positif?
"Aku kuat karenamu, Princess. Aku ingat jika kamu trauma dengan hal itu. Tiap setengah jam dokter memantauku. Menjelang sore, tubuhku terasa lebih kuat dibandingkan pagi tadi. Dan aku …."
Belum sempat Gaara menuntaskan ceritanya, Hinata bangkit dari kursi computer. Ia naik ke kaki ranjang dan meletakkan kepalanya di dada Gaara.
"Jangan pergi-pergi lagi," bisik Hinata parau.
"Tidak akan."
Hinata menghidu banyak-banyak aroma parfum favorit Gaara. Di saat yang sama, lelaki itu pun merasakan wangi lavender yang menenangkan dari badan sintal perempuannya. Perempuan yang membuatnya kuat di unit gawat darurat sepanjang hari ini. Perempuan yang dia pilih untuk terlelap dan terjaga di sampingnya setiap hari.
"Jadi …." Gaara menatap lurus sepasang danau bening milik Hinata.
"Siap membawakan materi di seminar tips trik melawan rasa takut?"
.
.
.
THE END
.
.
.
A/N
Wkakakakak, cerita apa ini? Aku kayak lagi curhat wahahaha. Ini pertama kalinya aku post fict di sini dengan cover. Apa yang tertuang dalam kisahku pure dari perasaan dan apa yang sedang aku hadapi. Ketakutanku juga keliatan banget di cerita, waduuuh. Aku pengennya kalo akhir minggu dipakai buat nulis ff, setelah Senin-Jumat berjibaku dengan tesis yang memusingkan. Oh iya, modeling inklusif itu suatu gerakan yang sedang aku perjuangkan. Aku merasa industri modeling di Indonesia masih belum ramah untuk orang berkebutuhan khusus. Anw, aku lagi suka bikin one shoot ketimbang multichapter. Soalnya kan kalo cerpen langsung kelar ya. Kalo multichapter harus mikir lagi buat updatean part berikutnya. Dan GaaHina as always. Aku jatuh cinta banget sama couple ini.