Kursi Roda Kenangan dan Undangan Webinar

Disclaimer: Naruto copyright Masashi Kishimoto, this fict copyright Sabaku No Maureen

.

.

.

Sepasang kekasih itu berjalan bertautan tangan meninggalkan kediaman Uchiha. Mereka pergi ditingkahi lambaian tangan sang tuan rumah. Uchiha Sasuke, masih dengan sisa-sisa demam dan bertelanjang kaki, mengantar dua besty-nya sampai ke pekarangan.

"Cepat sembuh, Sasuke," ujar Hinata tulus.

Sasuke mengangguk. "Pasti. Kalian jaga prokes."

Pandemi mengubah segalanya. Pukul dua siang di hari yang normal, seharusnya mereka masih berada di kelas. Mendengarkan uraian Yamato Sensei tentang sejarah perang dunia kedua, berkutat dengan eksperimen kimia bersama Orochimaru Sensei, berdiskusi tentang virus ditemani guru cantic nan seksi Tsunade Sensei, atau dibuai bait-bait haiku yang disenandungkan Iruka Sensei dalam pelajaran sastra. Semua itu sirna tak berbekas. Virus sialan bernama Coro dan Rona alias Corona membuat segala kegiatan dialihkan secara daring. Sekolah resmi ditutup sebulan lalu. Kini para siswa Konoha High fully belajar di rumah.

Baru sebulan mendekam di rumah, Sasuke malah jatuh sakit. Wakil ketua kelas itu tepar dan sempat mengira dirinya terinfeksi Covid-19. Sakitnya Sasuke tentu menghebohkan grup kelas. Para fangirls bungsu Uchiha itu beramai-ramai mengirimkan ucapan lekas sembuh diselipi emoticon wajah menangis keras. Naruto, Shino, Shikamaru, dan anak-anak lelaki di kelas menyarankan berbagai hal mulai dari tes usap hingga donor plasma konvalesen. Saran yang terakhir ini berlebihan. Kondisi Sasuke tidak parah-parah amat. Itachi membawa adiknya melakukan tes PCR. Hasilnya negative, Sasuke hanya demam biasa.

Di antara teman sekelas, taka da yang lebih perhatian dibanding Gaara dan Hinata. Dua sejoli yang makin cinta dari hari ke hari itu menjenguk sahabat baik mereka. Keluarga Sabaku dan Hyuuga tentunya akan kehilangan muka bila dating dengan tangan kosong. Tengoklah ke meja ruang tamu rumah Sasuke. Bertumpuk-tumpuk buah segar, biscuit, kue, roti, dan makanan ringan menggunung di sana, cukuplah untuk memberi makan warga sekecamatan.

"Udah pesan taksi online belum?" Hinata lembut menanyai Gaara.

Sebagai jawaban, Gaara menunjukkan layar iPhone-nya. Tampak aplikasi taksi online yang sedang terbuka. Di sana, tertera pula jenis mobil dan nomor platnya. Tangan kiri Gaara yang sehat meremas lembut jemari mungil Hinata.

"Maaf ya," gumamnya.

Kedua alis Hinata bertaut. Rasanya Gaara tak melakukan kesalahan apa pun.

"Aku bukan Sasuke yang bisa bawa mobil kemana-mana. Makanya itu aku harus sembuh serratus persen biar bi …."

Ucapan Gaara terpotong. Detik berikutnya, Hinata berjinjit dan mengecup pipi kanan belahan jiwanya. Sedikit terkejut Gaara karenanya. Gadis Hyuuga yang berpembawaan anggun dan lembut ini bisa memulai juga.

"Itu bukan masalah," bisik Hinata halus.

"Aku menghargai semangatmu dan pilihanmu untuk mandiri. Kamu luar biasa, Sabaku Gaara."

Hari ketika Gaara menyatakan cinta, Hinata tahu konsekuensi yang harus dihadapi saat memutuskan bersama pemuda itu. Salah satu konsekuensinya ya begini ini: tidak aka nada perlakuan gallant ala-ala prince charming yang membukakan pintu mobil untuk putri cantic. Bukan, bukannya Gaara tergolong sobat misqueen. Dia justru anak sultan. Sabaku Rasa yang notabenenya arsitek ternama dan pemilik mall takkan membiarkan anak-anaknya terlantar tanpa fasilitas. Gaara hanya ingin mandiri, sesederhana itu.

"Ah, itu dia. Taksinya sudah dating."

Dari kejauhan, Nampak sebuah Mitsubishi Xpander berwarna merah mendekat. Warna mobil itu hamper mirip dengan merahnya rambut Gaara.

Hinata dan Gaara bersiap naik ke mobil. Namun, saat kaca mobil terbuka dan driver melihat Gaara, ia sontak memacu mobilnya kencang-kencang. Sekilas Gaara dan Hinata masih sempat melihat penampilan si sopir taksi sebelum ia kabur.

"Kenapa … kenapa begitu?" Hinata patah-patah meminta penjelasan entah pada siapa.

Raut wajah Gaara setenang Laut Kaspia. Dia tampak tidak terpengaruh dengan kelakuan sopir taksi bernama Hoshigaki Kisame jika dilihat dari akun drivernya.

"Gaara, kenapa dia begitu?" tuntut Hinata.

"Sudah pernah terjadi," sahut pemuda tanpa alis itu kalem.

"Maksudnya?"

"Driver yang tiba-tiba cancel dan pergi begitu saja setelah tahu keadaanku."

Seperti ada bongkahan batu bata yang memaksa masuk ke dada Hinata. Sesak dan menyakitkan mendengarnya. Gaara, penyintas aneurisma dengan tubuh sebelah kanan yang belum pulih, didiskriminasi oleh layanan taksi. Dicengkeramnya tangan Gaara erat. Tahu begini, lebih baik sejak awal Hinata bawa mobil saja. Hinata dengan senang hati mau mengantar Gaara. Hal yang seharusnya dilakukan seorang teruna pada pasangannya.

"Sini, biar aku aja." Hinata menawari. Cekatan ia buka tas Hermes-nya. Mengeluarkan ponsel pintar dan membuka aplikasi taksi daring.

Gaara menyerah, membiarkan gadisnya membantu. Siang di penghujung musim gugur Nampak mendung. Awan hitam terhuyung-huyung keberatan di panggung langit. Tak tahan lagi dengan beratnya muatan air yang mereka pikul. Cuaca yang suram membuat Gaara khawatir. Bagaimana jika gadisnya sampai kehujanan? Tekadnya untuk sembuh terus membesar. Ia tidak boleh lumpuh separuh tubuh seperti ini terus. Ia harus bisa menyetir dan menggambar lagi. Bukankah cita-cita lamanya ingin menjadi arsitek seperti sang ayah?

"Nah, dapat!"

Suara ceria Hinata memulangkan Gaara ke realita. Tangan putih berjari lentik milik Hinata mengacungkan ponsel. Tak kurang dari sepuluh menit, sebuah taksi biru meluncur menghampiri mereka. Kaca mobil diturunkan. Seseorang berambut pirang panjang tersenyum ramah kea rah mereka. Sesaat Hinata dan Gaara sangsi akan jenis kelamin orang itu.

"Atas nama Hyuuga Hinata?"

Oh, rupanya dia lelaki. Terbukti dari suara maskulinnya.

"Iya benar," jawab Hinata. Ia lalu masuk ke mobil bersama Gaara. Tangan kanan Gaara dituntunnya sampai pemuda tampan itu duduk.

Taksi melaju di sepanjang ruas jalan raya. Para pengguna jalan mendadak kesetanan. Pengendara motor, mobil, dan pejalan kaki bersicepat demi menghindari sambaran hujan yang bisa datang kapan saja. Namun, sopir taksi separuh pria separuh wanita ini tidak terpengaruh. Dia menjalankan kendaraan roda empatnya dalam kecepatan normal.

Hal pertama yang dilakukan si pengemudi adalah menyapa ramah dua penumpangnya. Gaara dan Hinata membalas keramah-tamahan tersebut dengan tulus. Sapaan berkembang menjadi obrolan. Nama sopir taksi itu adalah Deidara. Gaara dan Hinata saling pandang. EEkspresi geli tak dapat terhindarkan. Orang ini benar-benar cocok kalau jadi transgender. Penampilan sudah abu-abu, ditambah lagi dengan kata 'dara' pada namanya.

"Dulunya aku manager di perusahaan investasi," tutur Deidara.

Hinata melipat dahi. Seorang manager beralih mengukur jalan? Gaara sendiri tidak heran. Keseringan bepergian dengan moda transportasi satu ini membuatnya berkenalan dengan banyak orang. Tidak sedikit di antara para pengemudi taksi online yang bukan orang sembarangan. Pernah satu kali Gaara diantar seorang sopir taksi yang merupakan mantan direktur BUMN. Pensiun sebagai petinggi perusahaan negara, ia putuskan untuk mengantar jemput orang-orang dengan taksi daring. Alasannya simple: ingin hidupnya lebih berguna.

"Lalu, kenapa Anda malah resign dan jadi driver?" selisik Hinata.

"Waktunya lebih fleksibel. Aku cenderung pembosan. Nggak betah lama-lama duduk manis di kantor," seloroh Deidara santai. Ia menekan rem saat lampu lalu lintas menyala merah.

"Kamu keliatannya heran, Princess. Banyak kok, driver taksi online yang bukan orang biasa," timpal Gaara.

Kepala berambut indigo itu tertoleh ke arah pemilik mata azure. "Benarkah?"

"Iya. Aku pernah diantar driver yang dulunya direktur BUMN, banker, dan investor saham yang sukses."

Lampu berkelip hijau. Deidara kembali melajukan mobilnya. Dia menatap Gaara tertarik.

"Kamu sering naik taksol, ya?" tebaknya.

Bukannya menjawab, Gaara malah balik melontar Tanya. Pandangannya tertumbuk pada pigura foto mungil yang tersandar di dasbor. Foto di dalamnya menampakkan bocah perempuan berambut blonde. Tangan dan kaki gadis cilik itu memiliki ukuran tak normal.

"Siapa anak kecil di foto itu?"

"Dia keponakanku. Lumpuh sejak lahir. Tangan dan kakinya sangat kecil."

Keterangan Deidara mengusik hati Gaara. Tiap kali berurusan dengan hal yang menyangkut kelumpuhan, seakan ada makhluk aneh yang terbangun di dasar pikirannya. Anak perempuan itu lumpuh, hamper sama seperti dirinya. Manik amethyst Hinata memandang Gaara lekat-lekat. Isi kepala pemuda itu terbaca jelas olehnya.

"Boleh aku beri kursi rodaku untuk keponakanmu?"

Baik Hinata maupun Deidara sama-sama kaget. Malang melintang di sector transportasi, belum pernah Deidara bertemu penumpang seaneh ini. Aneh bila tak mau dikatakan baik hati dan peduli. Gaara mau pakai apa kalau kursi rodanya diberikan untuk keponakan Deidara? Batin Hinata menggurat Tanya.

"Kursi roda lamaku akan berguna, Hinata. Lagi pula, aku ingin cepat sembuh." Gaara berujar, menghapus kekhawatiran Hinata.

Setengah jam kemudian, mereka tiba di kediaman Sabaku. Properti mewah berlantai tiga itu suram dan hening seperti biasa. Sabaku Rasa hanya menjadikan rumah itu layaknya hotel. Hanya disinggahi jika ingin tidur. Temari, kakak sulung Gaara, sibuk berkarier di luar negeri. Begitu juga Kankuro yang siang-malam berkutat dengan pabrik mainan miliknya.

"Ini untuk keponakanmu." Gaara berkata seraya memberikan kursi roda kenangannya untuk Deidara.

Kursi roda berwarna hitam itu teman pertamanya di kala kelumpuhan menyerang. Kini dia akan berpindah majikan. Deidara mengelus kursi roda itu. Sejurus kemudian ia menjabat erat tangan Gaara. Sewaktu Deidara sibuk memasukkan kursi roda ke bagasi, Hinata memberi Gaara pelukan erat. Dua insan yang saling cinta itu berpelukan panjang. Jiwa mereka ikut berpelukan.

"Kau lelaki terbaik yang pernah aku kenal, Gaara."

.

.

.

Esoknya, Gaara dan Hinata kembali bertandang ke rumah Sasuke. Kali ini Gaara naik mobil pribadi diantar oleh sopirnya. Semangat persahabatan membuat ia dan Hinata untuk sesaat mengesampingkan aturan physical distancing.

Sasuke kesal sekali mendengar kejadian yang dialami Gaara dan Hinata hari sebelumnya. Dia menyayangkan sikap sopir taksi yang meninggalkan mereka begitu saja.

"Diskriminatif sekali. Harusnya orang itu belajar di sekolah kita," ucap pemuda berambut emo itu kecewa.

Gaara dan Hinata diam saja. Mereka sibuk mengupaskan apel untuk Sasuke. Hinata yang mengupaskan, Gaara yang meletakkan di piring kecil dan memberikannya pada mantan kekasih Sakura itu. Sasuke menggigit sebutir apel dan melanjutkan,

"Harusnya kemarin aku saja yang antar kalian pulang."

"Mau antar pulang gimana, sih? Kamu aja masih demam."

Sebuah suara soprano dari pintu kamar menginterupsi. Sasuke terbatuk. Apel yang baru setengah jalan dikunyahnya terhambur keluar. Ia terbelalak memandang pintu seolah baru saja melihat hantu.

"S-Sakura?" Ia tergagap, sangat tidak Uchiha sekali.

Yang dating bukan hantu tentunya. Justru dua gadis tercantik di Konoha High yang menjenguk sore ini. Merekalah duo putri kece badai alias Sakura Haruno dan Ino Yamanaka. Hinata minggir, memberi jalan bagi sepasang dara super cantic itu. Dia melirik canggung pada Sakura yang tampil memesona dalam balutan dress selutut sewarna rambut gulalinya. Iris bulannya berpindah ke samping kiri, pada Ino yang begitu girly mengenakan maxi dress berwarna biru muda. Tanpa sadar Hinata membandingkan dengan dirinya sendiri. Ia hanya mengenakan camisole berwarna putih berbahan chiffon. Taka da kalung Kristal seperti yang berkilauan di leher Sakura atau gelang mutiara yang melingkar manis di tangan Ino. Sadar Hinata sedang insecured, Gaara memeluk pundaknya lembut.

"Ngapain kalian ke sini?" Tanya Sasuke dengan ekspresi terganggu yang sangat tidak natural. Aslinya, jantungnya sudah berlompatan ingin keluar dari tulang rusuknya.

"Nengokin kamu, lah. Sekalian ketemu Hinata," cetus Sakura.

Hinata gelagapan mendengar namanya disebut. Ada urusan apa Miss Konoha dan Putri Pariwisata dengan murid baru seperti dirinya?

"Hai, Hinata." Sakura memutar badan, tersenyum ramah pada teman sekelasnya.

"Halo, Sakura-san." Hinata balas menyapa.

Sakura tertawa merdu. Saat tertawa pun dia sangat cantic. Hinata jadi iri. Alumni kontes kecantikan memang beda. Tiap kali berada di dekat Sakura dan Ino, Hinata merasa terlalu gendut, terlalu jelek, dan terlalu-terlalu lainnya yang cenderung merendahkan diri.

"Sudah lama kami ingin bikin acara denganmu." Ino Angkat bicara.

"Acara?" ulang Hinata dengan tampang polos yang membikin Gaara gemas.

"Iya. Kamu tuh hebat banget, loh. Penulis buku, model, dan orang yang nggak pernah menyerah meraih mimpi. Kami mau bikin webinar sama kamu. Kita bertiga jadi pembicaranya. Temanya tips trik melawan rasa takut."

Tertegun Hinata mendengarnya. Mungkin setelah ini dia harus periksa ke dokter THT. Memastikan telinganya tidak bermasalah. Masa, sih, primadona sekolah macam Sakura dan Ino mengajak model kurang terkenal seperti dirinya untuk ikut menjadi pembicara di webinar?

"Ide bagus. Hinata pasti mau. Iya, 'kan, Princess?" sambut Gaara.

Apa-apaan Gaara ini? Dia menyatakan persetujuan bahkan sebelum Hinata sendiri bereaksi. Pada saat bersamaan, Gaara memberikan pandangan paling menenteramkan untuk Hinata. Tatapan mata teduh yang membuat Hinata tanpa sadar mengangguk dan bilang "iya".

Sakura dan Ino bersorak kegirangan persis supporter sepak bola yang merayakan kemenangan timnya. Mereka lega sekali Hinata mau menjadi pembicara.

"Nah, kami juga butuh bantuan kalian." Sakura menatap Sasuke dan Gaara penuh harap. Dua cowok tampan itu salting juga dipandangi pemenang Miss Konoha.

"Kami ingin Sasuke jadi MC dan Gaara moderatornya," sambung Ino. Nadanya lebih terdengar seperti perintah ketimbang permintaan.

"Baiklah. Dengan senang hati." Gaara langsung menerima tawaran itu. Lain halnya dengan Sasuke.

"Mmm, gimana ya?"

Hening agak lama. Sakura memulai kontak mata dengan Sasuke. Menyampaikan telepati pada orang yang pernah memiliki hatinya. Jujur saja, berpandangan dengan Sakura membuat Sasuke tak tahan. Innernya berbisik lirih memohon gadis pinky itu untuk kembali. Aduh malangnya Sasuke. Sudah terserang demam, masih mengharapkan mantan, diminta jadi MC pula.

Hati berbisik lirih

Mengharapmu untuk kembali

Ku paham, kamu takkan bisa

'Kan kusimpan segala angan (Kaleb J-Kebutuhan Hati).

"Kapan acaranya? Dan untuk siapa webinar ini?" Tanya Sasuke tenang. Buru-buru ia membuang angannya tentang kembalinya Sakura.

"Dua minggu lagi. Terbuka untuk public. Sasuke mau, ya? Yay a yaaa?"

Satu anggukan kecil dari Sasuke sukses membuat Sakura excited. Biarpun tak dapat hatinya lagi, dapat suaranya saja sudah cukup. Sasuke akan jadi MC di webinarnya.

Dalam perjalanan pulang, Hinata menyandarkan kepala ke pundak Gaara. Dia sangsi akan pilihannya.

"Gaara, aku bukan model terkenal. Aku juga bukan finalis beauty pageant seperti mereka," desahnya.

Gaara melarikan jemarinya ke rambut Hinata. Dibelainya helaian indah beraroma vanilla itu penuh kelembutan.

"Kamu adalah inspirasi. Tak perlu menjadi seperti mereka. Cukup menjadi dirimu sendiri, Hinata. Kamu adalah putri, putri penggerak yang menginspirasi," ujar Gaara, tersenyum lembut.

Ah tenangnya berada di sisi Gaara. Makin nyaman Hinata manakala Gaara merengkuhnya. Nanti malam Hinata akan mulai membuat materi untuk webinar dua minggu lagi.

.

.

.

END

.

.

.

A/N

Halo semuaaa. Aku selalu ingin kembali ke rumah besar ini: . Tempat aku bisa nulis sepuas-puasnya tentang GaaHina, pair favoritku dan nggak akan pernah berubah. Aku bikin cerita ini di sela kepenatan menulis tesis yang sekarang masuk bab 4. Ternyata kuliah S2 gini amat ya. Perjalanan menjadi calon magister. Aku masih suka baca ff tentang Hinata. Dan menurut pengamatanku, nggak banyak yang setia dengan pair GaaHina. Maksudnya, kalo ada yang nulis tentang GaaHina, banyak di antara mereka yang juga nulis cerita dengan pair SasuHina atau yang lainnya. Kebanyakan sih SasuHina ya. Nggak banyak yang pure nulis GaaHina. Aku sendiri suka pair lain di luar GaaHina kecuali NaruHina. Tapi sebatas suka, bukan ingin menulis tentang mereka. Pair yang ingin kutulis ya tetap GaaHina.

Oh iya, kalo kalian pengen ngobrol sama aku tentang melawan rasa takut, kita ketemu yuk 3 hari lagi. Info selengkapnya ada di cover cerita ini dan di instagramku maurinta. See you.