Imam Berambut Merah
Disclaimer: Naruto copyright Masashi Kishimoto, Imam Berambut Merah copyright Sabaku No Maureen.
.
.
.
Perempuan yang menjadi kepala keluarga secara ekonomi melakukannya karena keterpaksaan. Ada beberapa faktor yang menyebabkan perempuan mengemban amanah sebagai kepala keluarga. Pertama, suami jatuh sakit atau mengalami kecelakaan kerja sehingga tak mampu menghidupi keluarga. Kedua, para janda yang ditinggal mati suaminya. Ketiga, para perempuan yang suaminya kehilangan pekerjaan akibat PHK efek pandemi.
Sering kali perempuan kepala keluarga mendapat diskriminasi di lingkungan. Mereka kesulitan memperoleh permodalan untuk membuka usaha. Ada kalanya fasilitas pelatihan keterampilan dari pemerintah daerah tidak mereka dapatkan. Para perempuan tersebut pun jarang diundang dalam rapat-rapat di lingkungan tempat tinggal mereka. Kesulitan besar lainnya yang dihadapi perempuan kepala keluarga adalah mengenai akses pinjaman. Mereka kesusahan mendapat akses pinjaman kredit lunak. Dampaknya, banyak di antara mereka yang terjerat pinjaman online dengan bunga tinggi.
Tangan Hinata berhenti mengetik. Demi robot-robot Gundam, dia lelah harus menulis dengan bahasa formal seperti ini. Laporan penelitian sungguh kaku. Gadis bermata lavandula itu lebih suka menulis novel ratusan lembar tenimbang berjibaku menyelesaikan tesis dengan bahasa super formal begini. Dosen pembimbingnya tegas melarang penggunaan bahasa populer. Lihatlah, di paragraf berikutnya dia bersiap menuliskan 'berdasarkan uraian di atas, bla bla bla'. Itu sangat menjemukan bagi gadis Hyuuga.
Topik tesis Hinata cukup unik. Dia membuat penelitian tentang kelompok perempuan yang menjadi kepala keluarga. Secara ekonomi, merekalah yang menanggung kehidupan suami dan anak-anak. Penghasilan mereka jauh lebih besar dari sang suami. Rerata responden penelitian Hinata berasal dari kalangan menengah ke bawah. Pendidikan mereka pun rendah.
Jujurly, Hinata bukan aktivis kesetaraan gender. Dia bahkan tidak begitu suka isu feminisme. Alasannya mengambil topik tesis ini hanya dua: agar cepat lulus dan mendapat IPK bagus. Menurut dosen pembimbingnya, ulasan mengenai feminisme sama seksinya dengan body Tsunade sang Hokage kelima dalam serial animanga kesukaan Hinata. Riset semacam ini akan potensial untuk melahirkan teori baru, proyek baru, inovasi baru, dan semuanya yang serba baru. Dari pada cari ribut dan dipersulit, Hinata putuskan untuk manut saja dengan supervisornya.
Prediksi dosen bergelar guru besar itu tepat. Baru setengah jalan melakukan riset, Hinata telah dihadapkan pada tantangan dan dukungan. Tantangan datang dari kalangan patriarki. Mereka menganggap bahwa perempuan tak pantas menjadi kepala keluarga. Secara agama, keputusan fundamental tetap dipegang suami. Tak peduli, gadis berambut panjang sepunggung itu tetap melaju terus dengan risetnya. Di lain sisi ia memperoleh dukungan dari sebuah lembaga riset dan investasi ternama. Support tersebut berbentuk dana penelitian. Jadilah penelitian yang awalnya hanya untuk tesis diperbesar skalanya.
Didampingi beberapa orang terpercaya, Hinata berbaur dengan para perempuan kepala keluarga. Ia bukan hanya mewawancarai mereka tetapi juga memberikan bantuan. Bantuan tersebut berbentuk pendampingan menjalankan UMKM dan pelatihan kecantikan gratis. Pelatihan itu dinamainya BFBL (Beauty for Better Life). Para ibu-ibu hebat itu diajari merias wajah, menata rambut, magang selama seminggu di salon milik teman Hinata, dan macam-macam lagi. Emak-emak itu senang sekali dengan eksistensi putri Hyuuga. Sudah cantik, baik hati pula. Hinata adalah bidadari di komunitas perempuan kepala keluarga.
By the way, sejak tadi Hinata hanya menulis kata 'perempuan' di draf tesisnya. Rasanya terlalu membosankan. Tidak adakah sinonimnya? Hinata mengaduk-aduk rambutnya kebingungan. Manik mutiaranya berlabuh ke jendela kamar yang memampangkan pemandangan langit sore sewarna lazuardi.
Ah, iya. Wanita. Mengapa tak memakai saja kata wanita? Tapi, tepatkah penggunaan kata itu pada tesis yang membahas tentang kesetaraan gender? Ditilik dari sejarahnya, arti kata wanita adalah berani ditata atau berani diatur. Maknanya sangat tidak mencerminkan kesetaraan.
Kenapa tidak tanya Gaara saja? Hinata, kan, punya calon suami yang lebih pintar darinya. Panjang umur, pekik Hinata dalam hati ketika si apel tergigit bernyanyi. Itu pasti si panda merah. Tanpa melihat nama yang tertera di layar, Hinata menjawab telepon dan berseru nyaring,
"Hai, Gaara!"
"Tante bukan Gaara."
O-ow, rasanya Hinata mau melompat ke Planet Jupiter saking malunya. Ini efek kurang teliti saat menjawab telepon. Dikira calon suami, ternyata calon bumer alias ibu mertua.
"Ah, ahaha halo Tante Karura." Hinata tertawa canggung.
Karura terkikik di seberang sana. "Kangen sama anak Tante, ya? Dia lagi jadi pejuang tesis, tuh. Sama kayak kamu."
Kepala bersurai indigo itu terangguk pelan. Sadar kalau Karura tak dapat melihatnya, Hinata hanya ber-oh ria.
"Hinata, Tante pengen curhat."
Mendengar itu, Hinata siap siaga. Laptop ia setel dalam mode tidur. Punggungnya bersandar di kepala ranjang. Kaki selonjor, siap mendengarkan calon mami mertua berceloteh.
"Tante senang sekali baju-baju koleksi Tante diperagakan oleh model berkebutuhan khusus. Itu impian Tante sejak dulu, dan sekarang terwujud … Puji Tuhan. Dari usaha butik, kost-kostan dan kontrakan, Tante juga bisa bikin rumah penampungan ABK yatim-piatu. Tante juga bisa bangun sekolah khusus untuk penyandang autis. Tapi ada aja yang iri sama Tante. Mereka menuduh Tante dapat uang dari pemerintah. Padahal demi Isa Al-Masih, Nak, Tante lakukan semua itu pakai uang pribadi. Nggak ada donatur. Palingan donaturnya ya Om Rasa, suami Tante sendiri. Kamu tahu itu, kan?"
Curhatan panjang lebar itu ditutup isak tangis Karura. Hinata ikut sedih mendengarnya. Dia sangat tahu sepak terjang Karura. Ini pula yang membuatnya mengagumi ibu dari pria yang dicintainya. Selepas menjadi model, Karura membaktikan hidupnya untuk menolong orang berkebutuhan khusus.
"Hinata mengerti, Tante. Hinata paham banget pasti Tante sedih. Kalau Hinata jadi Tante, Hinata nggak akan dengerin tudingan mereka. Mereka, kan, nggak tau yang sebenarnya. Tante yang paling tau."
Sepertinya Karura salah sambung. Hinata bukan psikolog. Namun, kakak Hanabi itu berusaha sebaik mungkin mendengarkan dan menanggapi curahan hati Karura.
"Iya, Darling. Kamu benar. Tante nggak seharusnya patah semangat hanya gara-gara Gaara, ups itu nama anak Tante. Maksudnya, Tante nggak harus patah semangat gara-gara tuduhan mereka. Ah, kamu udah bikin Tante semangat lagi. Terima kasih, ya, Sayang."
"Alhamdulillah kalau Tante udah semangat lagi. Sama-sama, Tante Karura."
Saat Karura bersiap menutup telepon, Hinata mencegatnya. Dia berniat menanyakan sesuatu.
"Menurut Tante, kata wanita pantas nggak dituliskan dalam tesis yang membahas tentang kesetaraan gender?" tanya Hinata serius.
"Enggak. Lebih cocok penggunaan kata perempuan," jawab Karura mantap.
Yes, batin Hinata girang. Dia pun kembali membuka laptopnya. Ponsel ia posisikan di antara telinga dan pundak.
"Oh iya, Tante. Hinata mau tanya satu hal lagi. Menurut Tante, apa urgensinya perempuan harus bekerja?" tanya gadis 25 tahun itu lagi.
"Hinata Sayang, perempuan itu tetap perlu bekerja meski suaminya kaya. Misalnya sang suami jatuh sakit atau bangkrut, perempuan sudah siap dan nggak akan kaget." Karura sabar menjelaskan.
Setuju sekali Hinata dengan poin satu ini. Perempuan tetap perlu bekerja. Dua belas detik berselang, sambungan telepon berakhir. Hinata kembali meneruskan menulis tesis dengan riang.
Baru menulis beberapa paragraf, si apel memekik. Otak Hinata mungkin mulai error karena overload. Alhasil ia kembali mengangkat panggilan tanpa melihat layarnya.
"Ada apa lagi, Tante?" sapanya super lembut.
"Sejak kapan aku jadi tante-tante?" balas suara berat di ujung telepon.
"Waaah!" Hinata menjerit dan hampir jatuh dari kasur.
Pemilik suara bas di ujung telepon tertawa merdu. Wajah Hinata berubah semerah tomat kesukaan Sasuke.
"Gaaraaa, jangan ketawa! Nyebelin nyebelin nyebelin!" teriak Hinata dengan tidak Hyuuga-nya. Papi Hiashi bisa semaput kalau mendengar putri sulungnya bertingkah begitu.
"Abis telponan sama tante yang mana? Tante Karura, Tante Mikoto, atau Tante Kushina?" selisik Gaara.
Hinata berdecak sebal. "Ngapain, sih, ibu sahabat dan mantan dibawa-bawa? Sama Mama kamu, lah!"
"Ok. Mama curhat apa memangnya?"
"Dih, kepo! Urusan cewek!"
Dapat Hinata dengar desahan napas di seberang sana. Haha, perempuan dilawan. Mulai lelah dia.
"Yah, terserahlah. Gently reminder aja, Hime. Sana siap-siap. Bentar lagi aku ke rumahmu," titah Gaara.
"Mau ngapain? Mau bukber sama mami mertua dan calon adik ipar? Papi lagi dinas ke luar kota," terka Hinata.
"Kayaknya nulis tesis bikin kamu amnesia jangka pendek. Hinata, kamu lupa ada acara apa kita hari ini?"
Acara apa, ya? Seingatnya tidak ada agenda apa-apa. Calon magister itu berusaha mengingat. Sedetik, lima detik, tujuh detik ….
"Astaghfirullah! Bukber lintas agama di gereja!"
Dengan tidak romantisnya, Hinata menekan tombol akhiri panggilan. Dara berponi rata itu blingsatan memilih baju. Mandi kilat, lalu menyisir rambut indahnya di depan cermin. Jemarinya hendak meraih bedak ketika bel pintu berdentang. Itu pasti Gaara. Ah, sudah tak ada waktu lagi untuk berdandan.
Di ruang tamu, Gaara telah menanti Hinata. Ia punya teman ngobrol yang asyik selama menunggu. Siapa lagi kalau bukan mami Hikaru tersayang? Hinata turun dari lantai atas dengan muka kusut.
"Kok cemberut gitu, Sayang? Calon suaminya datang malah mukanya kayak baju nggak disetrika," tegur Hikaru pada putrinya.
"Hinata nggak sempet dandan," adu Hinata sambil menggembungkan pipi.
Gaara meleleh di tempatnya. Bersama Hinata tak pernah membosankan untuk pria berambut merah bata itu. Selalu saja Gaara merasa jatuh cinta berkali-kali pada Hinata Hime-nya. Melihat raut muka lucu ditambah pipi gembil itu, Gaara sekuat tenaga melawan dorongan hati untuk tidak menciumnya sekarang juga.
.
.
.
Konoha adalah kota toleransi. Sebuah lembaga survei pernah melakukan riset terhadap kota-kota di Negara Hi. Hasilnya, Konoha menempati peringkat pertama sebagai kota toleran dan harmonis. Warganya hidup rukun berdampingan di atas perbedaan keyakinan. Tidak pernah ada cerita pelarangan pembangunan rumah ibadah, pembubaran aktivitas peribadatan, maupun persekusi atas nama agama. Pemerintah dan masyarakat menjamin kebebasan beragama bagi setiap individu. Pernikahan antar agama juga menjadi hal biasa di sini. Lihat saja Keluarga Sabaku atau Keluarga Uchiha.
"Yo, Gaara."
Teruna berbadan tinggi dan berpotongan rambut mirip bokong ayam menepuk pundak Gaara. Dia baru saja turun dari mobil hitam yang dikemudikan pria keriputan tapi tampan.
"Tumben telat, Sas? Biasanya on time," sahut Gaara datar.
"Nungguin Kak Itachi. Dia tadi doa Kerahiman Illahi dulu."
Pelataran gereja sudah ramai oleh eksistensi muda-mudi berbagai agama. Ada beberapa gadis yang mengenakan hijab. Ada pula sekumpulan gadis lainnya yang menjadikan rosario sebagai gelang di tangan. Gaara mengajak Sasuke bergabung dengan Hinata dan yang lainnya.
"Sasukeee, mamen! Blazer baru?" sapa pemuda berambut blonde sambil menunjuk blazer abu-abu yang dikenakan Sasuke.
"Yep. Gaara, kamu sama Hinata janjian?" Onyx Sasuke melirik ke arah sepasang kekasih itu yang kompak mengenakan baju merah.
"Nope," jawab Gaara dan Hinata kompak.
"Cieee, ngomongnya aja barengan!" seru si blonde heboh.
"Nar, bisa nggak sehari aja nggak berisik?" desis bungsu Uchiha sebal.
Tunggal Namikaze itu menepuk dada dengan jumawa. "Eits, jangan panggil aku Naruto kalo nggak ekspresif."
"Terus mau dipanggil apa? Paijo?" Hinata nimbrung.
Hasilnya, Hinata dikejar-kejar Naruto di sepanjang halaman gereja. Gadis itu baru saja merusak nama indah pemberian Ayah Minato dan Bunda Kushina. Sasuke dan Gaara geleng-geleng kepala melihatnya.
"Calon istrimu itu, ya …." Sasuke mengembuskan napas, membenamkan tangan ke dalam saku.
"Karenamu, dia jadi bisa move on dari Naruto. Tuh liat, dia nggak canggung lagi sama si Dobe."
Gaara hanya diam mendengar perkataan Sasuke. Hinata adalah cinta pertama Gaara. Dan bungsu Sabaku itu ingin menjadikannya sebagai cinta terakhir. Apa pun akan dilakukan Gaara untuk membuat Hinata tertawa ceria seperti sekarang ini.
Setengah jam berselang, mereka telah duduk rapi di dalam gereja. PDT. Hashirama selaku ketua pelaksana acara lintas agama ini, sedang memberi sambutan. Ia menekankan pentingnya toleransi dan inklusivitas dalam beragama. Ajakannya tentang menghargai keragaman begitu menyejukkan. Para radikal, ekstrimis, dan orang-orang yang mabuk agama mungkin tak akan senang mendengarnya. Buka puasa di gereja saja sudah merupakan ide gila yang belum tentu diterima setiap kalangan. Namun Konoha berbeda. Baik orang tua maupun anak-anak mudanya sangat mendukung pluralisme agama.
Warga Konoha sudah terbiasa melakukan acara semacam ini. Bila Ramadan tiba, pendeta atau warga Nasranilah yang akan menginisiasi acara buka bersama lintas agama. Sebaliknya, saat Natal menjelang, anak-anak muda yang beragama Islam seperti Gaara, Hinata, dan Sasuke akan mengadakan acara Natalan. Perayaan agama yang dinikmati bersama dan diorganisir pemeluk agama lain makin mengeratkan persaudaraan sesama warga kota.
Gaara dan Sasuke tahu persis rasanya terlahir di keluarga beda agama. Sabaku Rasa yang beragama Islam memperistri Sabaku Karura yang merupakan pemeluk Katolik taat. Begitu juga Uchiha Fugaku yang beragama Kristen menikahi wanita Muslim bernama Uchiha Mikoto. Awalnya duo pria tampan ini bingung harus memilih agama apa. Sejak kecil, mereka diperkenalkan dengan masjid dan gereja, tasbih dan rosario, salat Jumat dan sekolah Minggu. Sasuke sempat memeluk Katolik, bahkan menjadi putra altar seperti Itachi kakaknya. Akan tetapi, calon CEO Uchiha Healthcare itu memutuskan menjadi mualaf saat kelas 5 SD. Sedangkan Gaara mantap memilih Islam tanpa melalui proses menjadi Katolik sebelumnya.
Terkadang Hinata iri dengan Gaara. Keluarga Hyuuga semuanya Muslim. Gadis cerdas itu ingin merasakan pahit-manisnya terlahir di keluarga dwiagama. Rumput tetangga selalu lebih hijau ternyata.
Acara buka puasa lintas agama berlangsung menyenangkan. Hanya ada insiden kecil ketika Naruto mem-prank Sasuke. Lihatlah dia bersikap manis sekali dengan mengambilkan minuman untuk besty-nya sejak kecil.
"Ini jus tomat kesukaan kamu," ujar Naruto dengan senyum tulus.
Sasuke menerima gelas yang diulurkan Naruto dengan sangsi. "Perasaan dari tadi gue nggak liat ada jus tomat di sini."
"Makanya jangan pakai perasaan terus. Cukup pakai perasaan kalo sama Sakura aja. Ini spesial buat kamu."
Kalau sudah berurusan dengan tomat, peraih IPK 3,98 saja bisa sebegitu bodoh. Langsung saja Sasuke menenggak isi gelas itu. Tak sadar bila sejak tadi Gaara dan Hinata menatap curiga. Belum sempat mereka memperingatkan ….
Plush!
Sasuke menyemburkan minumannya tepat ke wajah Naruto. Pemuda blasteran yang awalnya ingin mengusili sahabatnya itu misuh-misuh. Dia merasa wajah tampannya telah ternoda. Minuman yang diberikan Naruto tadi bukanlah jus tomat, melainkan susu yang dicampur dengan saus.
"S-Sasuke, maaf. Tadi kami sudah curiga tapi …." Hinata tergeragap seraya menyerahkan sapu tangannya. Sasuke membersihkan sudut bibir dan bagian depan pakaiannya.
Kegaduhan di meja mereka sontak terhenti saat Kyai Sarutobi menghampiri. Sasuke yang berniat membalas Naruto terpaksa menunda sejenak keinginannya. Tanpa basa-basi, kyai sepuh berambut putih itu berkata,
"Gaara, nanti jadi Imam salat Tarawih, ya."
Hati Gaara mencelos. Mengapa jadi mendadak begini? Menjadi imam salat Tarawih di Konoha berarti beberapa tugas tambahan: menyampaikan khutbah sebelum Tarawih dan mengajak anak-anak kecil bermain sesudah salat sunnah itu. Kyai Sarutobi menganggap diamnya Gaara sebagai persetujuan. Dia berbalik dan pergi.
"Kamu pasti bisa, Gaara. Pasti," kata Hinata menenteramkan. Lembut tangannya menggenggam jemari Gaara yang terasa dingin.
"Itu tugas mulia, loh. Nggak boleh nolak," timpal Naruto.
"Gue nggak nolak. Cuma bingung mendadak gini. Mana belum persiapan." Gaara membelalak pada Naruto. Kesal karena teman pirangnya itu terkesan menggampangkan urusan.
"Gampang, ntar khutbahnya bahas tentang toleransi beragama aja. Kan pas tuh sama acara kita sekarang."
Praktis Gaara melewatkan sisa waktu dengan browsing kilat. Ia mencari-cari materi tentang toleransi beragama dibantu Hinata. Sasuke dan Naruto cukup membantu dengan doa.
.
.
.
Masjid Al-Konoha dibangun dengan bentuk menyerupai kapal. Ruang utamanya mirip kabin kapal yang mewah. Di bagian belakang, terdapat ruang khusus mirip ruangan nahkoda lengkap dengan tombol-tombolnya. Terima kasih pada Hatake Kakashi sang arsitek nyentrik yang telah merancang konsep bangunan seperti ini. Istimewanya, Masjid Al-Konoha berdampingan dengan gereja. Dua tempat ibadah itu seperti saling memeluk bila dilihat dari kejauhan.
Jujurly, Masjid Al-Konoha sudah punya Imam tetap. Jabatan itu dipegang oleh Ustadz Hidan L.C. Beliau lulusan Universitas Al Azhar. Terkadang beliau digantikan oleh Kyai Sarutobi. Khusus bulan suci, ada kebijakan tersendiri. Para anak mudanya didapuk bergantian menjadi Imam. Sasuke sudah pernah menjadi Imam di minggu pertama Ramadan. Hasilnya, jamaah wanita membludak. Ketika Naruto mengimami salat Tarawih, jamaah pulang lebih cepat karena ia hanya membaca surah-surah pendek di tiap rakaatnya.
"Semangat, calon Imamku. Kamu pasti bisa." Hinata berkata menyemangati sebelum mereka berpisah di dekat tempat wudu.
Sebagai sahabat yang baik, Naruto dan Sasuke menemani. Mereka duduk di barisan saf terdepan. Posisinya amat dekat dengan tempat Imam.
"Assalamualaikum warahmatullahi wa barakatuh." Gaara membuka khutbah sebelum Tarawih dengan sedikit canggung. Manik jadenya jelalatan ke arah barisan jamaah. Tersadar jika jumlah jamaah wanita entah kenapa jauh lebih banyak.
Seisi masjid serempak membalas salamnya. Semua mata tertuju padamu, eits ini bukan kontes Miss Indonesia. Semua mata tertuju pada Imam salat Tarawih malam ini yang luar biasa tampan.
"Saya mau cerita sedikit."
Mendengar kata cerita, atensi jamaah terpusat sepenuhnya pada Gaara. Cerita memang lebih menarik dibandingkan tausyiah bagi kebanyakan orang.
"Hari-hari saya terasa lebih berwarna karena dilahirkan di keluarga berbeda agama. Rumah saya seperti disinggahi pelangi. Saya jadi mengenal Nabi Isa atau Yesus dari kacamata dua agama. Alquran dan Alkitab sama-sama mencintainya."
Dengan prolog itu, Gaara merasa semangatnya bangkit. Dia meneruskan pemaparannya. Audience terhanyut dalam materi toleransi beragama yang ia bawakan. Di samping kirinya, Sasuke menyeka ujung mata. Sesosok gadis bermukena biru tua baru saja menghapus likuid bening dari mata mutiaranya. Sasuke dan Hinata menitikkan air mata untuk alasan berbeda. Hinata terharu dan bangga dengan Gaara. Sasuke teringat keluarganya yang juga berbeda keyakinan.
Usai khutbah yang menggugah jiwa, para jamaah bangkit untuk melaksanakan salat Tarawih. Suara merdu Gaara melantunkan al-Fatihah dan ayat-ayat bermakna dari Alquran. Ia membacakan beberapa ayat dari Surah Yusuf, ayat 284-86 dari Surah Al-Baqarah, ayat 10-13 Surah Al-Hujurat, dan banyak ayat indah lainnya. Sengaja Gaara memilih ayat yang memiliki makna mendalam tentang kisah Nabi, doa kepada Tuhan, dan toleransi beragama. Hinata berkaca-kaca dalam salatnya. Ia amat tersentuh, kagum, dan bangga dengan calon pendamping hidupnya. Tak sabar ia mengganti nama Hyuuga Hinata dengan Sabaku Hinata.
Salat Tarawih berakhir. Anak-anak kecil berlari riang ke taman di sisi masjid. Gaara lekat mengiringi. Ia bermain bersama Konohamaru, Mogi, dan banyak bocah lainnya. Menjadi Imam salat Tarawih masjid Al-Konoha berarti siap mengajak bermain anak-anak. Satu lagi keunikan masjid satu ini dibanding masjid lainnya. Pihak masjid ingin anak-anak senang beribadah. Mereka ingin anak-anak menjadikan masjid sebagai tempat yang nyaman selayaknya rumah atau tempat bermain.
"Boleh main apa pun, tapi jangan petasan, ya." Gaara lembut mengingatkan.
"Siap!" Sekumpulan pemuda dan gadis cilik itu menyahut kegirangan.
Hinata yang memperhatikan dari kejauhan, jadi tergetar hatinya. Gaara begitu penyayang pada anak kecil. Beruntungnya Hinata yang menjadi calon istrinya.
"Hei, berhenti lo! Lo udah ngerjain gue pakai jus tomat palsu!"
Dua sosok tinggi tegap berlarian ke taman. Sasuke rupanya masih ingin membalas kelakuan Naruto. Dia berniat menukar sandal kekasih Matsuri itu dengan sandal yang lebih jelek. Naruto selangkah lebih maju. Dia lebih dulu mengerjai Sasuke dengan menukar sandalnya juga.
"Ya, ampun. Jangan liatin KDRT di depan anak-anak," gerutu Gaara. Tak habis pikir dengan tingkah polah Tom and Jerry versi Konoha.
"What? KDRT? Ogah gue jadi suaminya dia!" Naruto dan Sasuke protes hampir bersamaan.
"Kak Gaara, Kak Gaara." Seorang bocah tampan berambut cokelat menarik-narik lengan baju Gaara.
"Ya, Sayang?" Gaara membungkuk, mensejajarkan wajahnya dengan anak itu.
"Kak Naruto sama Kak Sasuke kayak Baby Huey dan The Red Fox."
Spontan pria yang hampir tak punya alis itu tertawa. Naruto dan Sasuke bete disamakan dengan tokoh kartun 90-an itu.
.
.
.
"Aku bangga padamu, sungguh."
Hinata dan Gaara berdiri bersisian di depan pagar cokelat kediaman Hyuuga. Berat bagi mereka berdua untuk berpisah. Hampir pukul sembilan malam. Langit menjelma serupa tumpahan tinta.
"Tadi kamu begitu lembut dan penuh kasih sayang pada anak-anak." Hinata menyambung perkataannya.
Senyum tipis bermain di bibir Gaara. Ia merunduk, mencium pelan dahi gadisnya.
"Hinata, aku ingin kamu tahu. Setelah kamu jadi Sabaku Hinata, ada atau tidaknya anak dalam hidup kita tidak akan masalah untukku," tutur Gaara.
Mata Hinata membulat tak percaya. Gaara memang edisi terbatas. Di saat pria lain kebanyakan mendamba sesuatu dalam diri wanita yang ingin dinikahinya, Gaara tidak seperti itu.
"Karena aku tahu." Gaara menarik napasnya sebelum melanjutkan.
"Beban memiliki anak lebih banyak dirasakan perempuan. Dan aku tak mau kamu merasa terbebani."
Inikah yang namanya pembicaraan mendalam sebagai marriage preparation? Hati Hinata berdesir hangat. Pilihannya pada Imam berambut merah ini sudah sangat tepat. Tak perlu lagi mencari-cari ke hati yang lain.
END
.
.
.
A/N:
Wahahahaha, fict apa iniii? Tapi aku memang lagi pengen bikin ff yang ada Islamic content-nya. Kayaknya aku terinspirasi sama cerita lama Kak Madam Vain yang judulnya Let The Story Begin. Duh, mudah-mudahan itu cerita bakal dilanjut ya suatu hari nanti. Aku nggak tau apa masih ada yang baca ceritaku apa enggak. FFN sepi banget. Udah hampir 2 bulan nggak bikin fict GaaHina, sibuk jadi pejuang tesis. Kalian nyadar nggak petunjuk kecil yang aku sebar di cerita? Tentang Karura yang bilang Puji Tuhan dan Hinata yang bilang Alhamdulillah. Aku lagi cerita tentang potret keluarga beda agama. Fyi, doa kerahiman Illahi itu doa Katolik ya.
Walaupun udah telat banget, aku tetap mau ngucapin selamat beribadah puasa buat minna-san yang menjalankannya. Dan selamat menyambut Lebaran. Minal aidzin, maaf lahir batin. Bye semuanya, sampai ketemu di fict selanjutnya.