Konoha Disabled Act
Disclaimer: Naruto copyright Masashi Kishimoto, Konoha Disabled Act copyright Sabaku No Maureen
.
.
.
Betapa menyenangkannya menjadi warga Konoha City. Tiap hari raya keagamaan tiba, tandanya libur panjang. Ied Mubarak saja yang hanya dirayakan segelintir penduduk bisa dijadikan libur seminggu penuh. Hokage, sebutan untuk wali kota, memang penyuka hari libur tampaknya. Silakan saja asalkan warga Konoha jangan sampai bernasib seperti penduduk Planet Camoca dalam salah satu film Doraemon.
Hari libur menjadi agenda kumpul keluarga untuk Keluarga Hyuuga. Siapa sangka, tak semua anggota senang dengan acara kumpul keluarga. Gadis berambut indigo sepunggung itu salah satunya. Kumpul keluarga menjadi agenda kegiatan yang sangat dihindarinya. Sebagai anak tengah, Hinata mengalami sindrom anak tengah. Individu yang terjepit di antara kesuksesan anak sulung dan kemanjaan anak bungsu.
Hinata terpagut sepi di tengah keramaian. Para Hyuuga telah berkumpul lengkap. Neji bersama Tenten, istrinya, dan putra mereka yang lucu, Hyuuga Orion. Hanabi yang dimanjakan para orang dewasa dan dibangga-banggakan prestasinya. Ternyata prestasi akademik dan atletik lebih membanggakan di tengah keluarga pebisnis itu tenimbang novel yang telah dihasilkan Hinata atau portfolionya di bidang modeling.
Waktu, tolong bergeraklah lebih cepat. Izinkan matahari berkolaborasi dengan bulan demi mempercepat malam. Dengan kurang ajar, Hinata berpikir agar para Hyuuga bermata mutiara segera angkat kaki saja dari rumahnya. Benaknya rindu kesunyian. Sebagai persona yang menyukai ketenangan, keramaian sama sekali bukan hal yang menyamankan gadis Hyuuga.
"Orion lucu banget, ya. Kapan mau nambah anak perempuan, Neji?"
Bibir Hyuuga Hikaru, sang maharani di rumah utama, meletuskan tuntutan. Dengusan keluar dari hidung panjang Hinata. Alisnya bertaut. Manusia memang selalu dikejar dengan kata tanya 'kapan'. Kapan menikah? Kapan lulus? Kapan punya pekerjaan? Kapan punya anak? Dan kapan mati? Jika Hinata menjadi Hikaru, dia tak akan melontarkan pertanyaan semacam itu pada anak dan menantunya.
Neji dan Tenten hanya tersenyum canggung ditanya begitu. Obrolan terus berlompatan dari bibir-bibir yang tak kenal kata pegal. Riuh perbincangan diselingi kunyahan dan denting sendok. Selera makan Hyuuga cantik telah lama lesap. Puding, tiramisu, brownies, cup cake, dan aneka kue manis lain yang biasanya ia sukai tak lagi membuat liurnya menari.
"Hinata udah punya pacar belum?"
Uh, siapa lagi itu yang usil? Emak-emak lain dari kalangan Hyuuga seenaknya saja melontar tanya. Hinata enggan menjawab.
Selidik punya selidik, gadis berambut gelita itu belum memperkenalkan Gaara pada keluarga besar. Kalau keluarga inti sih, sudah. Sejauh ini mereka oke-oke saja. Status Gaara sebagai bungsu Sabaku, murid berprestasi, dan putra arsitek tajir melintir sudah cukup membuat Hiashi, Hikaru, Neji, dan Hanabi bertoleransi dengan kekurangannya. Mereka tak mempermasalahkan Gaara yang lebih banyak duduk di kursi roda.
Ngomong-ngomong soal si rambut merah, Hinata jadi kepikiran sesuatu.. Kenapa dia tak mengunjungi Gaara saja? Memberi waktu yang berkualitas dengan kekasih hati tentunya lebih melegakan.
"Maaf, aku harus pergi," pamit Hinata tergesa.
Langkahnya terkayuh ke pintu utama. Dihiraukannya decak sebal dari para Hyuuga senior. Kelakuannya saat ini sangatlah tidak Hyuuga. Unggah-ungguh atau tata krama dalam keluarga konservatif ini masih sangat dijunjung tinggi.
Sebab undur diri dengan kurang sopan, Hinata tengsin kalau harus memakai fasilitas keluarga. Dia pergi ke rumah Gaara dengan taksi online. Hitung-hitung belajar menyesuaikan diri dengan gaya hidup pemuda itu. Menjadi mandiri boleh juga.
"Atas nama Hyuuga Hinata?" Sang driver memastikan saat Honda Civic abu-abunya menepi di depan gadis beryukata biru.
Kepala Hinata meliuk dalam anggukan. Dia merayap masuk ke dalam taksi. Mobil jadul itu mendesau meninggalkan perkomplekan.
Lavandula mengamati sopir bernama Hidan yang mengantarkannya. Lelaki berambut perak itu sangat kurus. Ia seperti tulang berjalan. Mengherankan perewa sekurus itu masih bisa menyetir mobil. Hidan melajukan kendaraannya dalam kecepatan normal. Ia pengemudi yang taat lalu lintas. Musik yang menyala di audio mobil pun menawarkan tembang-tembang yang enak didengar.
"Udah berapa lama jadi sopir, Pak Hidan?" Hinata mengikuti jejak Gaara: mengajak sopir taksi online berbincang.
"Hampir sepuluh tahun. Saya menghidupi anak istri dari mobil tua ini," papar Hidan.
Mata Hinata membola kagum. Naluri novelisnya meronta. Dia sangat penasaran kenapa Hidan sekurus itu. Sepertinya upah menarik taksi cukup mampu menghidupinya dengan layak. Adakah penyakit tertentu yang diidapnya? Busung lapar mungkin, atau ada cacing-cacing kremi yang mengisap sari-sari makanan dari lambungnya. Ah, Hinata kebanyakan nonton film medis.
"Senang jadi driver, Pak?" tanya dara indigo itu lagi.
"Ada senang, ada sedih juga. Saya pernah diserang sama penumpang. Waktu itu, saya jalan malam-malam. Ada penumpang yang merampok saya. Uang dan barang berharga diambil. Perut saya ditusuk. Saya harus dioperasi. Sampai sekarang saya hanya bisa makan bubur."
Hidan tertawa pahit di ambang kalimat. Miris Hinata mendengarnya. Dahaga keingintahuannya telah terjawab.
Pekerjaan sebagai pengemudi taksi memang penuh risiko. Itulah sebabnya Hidan menolak orderan dari penumpang pria saat malam tiba. Kisah horor sopir taksi malang itu terus menggentayangi Hinata hingga ia sampai di kediaman Sabaku.
"Wah, kebanyakan." Hidan mengernyit kebingungan menerima dua lembar uang merah dari tangan putih penumpangnya.
"Ambil semua kembaliannya," sahut Hinata manis.
Ia turun dari mobil ditingkahi ucapan terima kasih berkali-kali. Roman muka Hidan yang menyiratkan kegembiraan menularkan senyum di bibir tipis Hinata. Memberi memang membuat hati bahagia.
Senyum Hinata luntur seketika setibanya di rumah Gaara. Pintu utama terpentang lebar seperti mulut raksasa yang mencoba menelan bulan. Beberapa serpihan kristal berserakan di lantai marmer. Kesunyian menekan indera pendengaran Hinata. Dimanakah Gaara-nya?
"Gaara, Gaara! Kau dimana?" panggil Hinata. Hatinya menggigil dalam panik.
Diperiksanya ruangan demi ruangan di lantai dasar. Ruang tamu? Kosong melompong. Ruang tengah? Hanya ada furnitur mewah yang membisu. Garasi? Ia malah disapa oleh dua mobil keluaran terbaru dan tikus-tikus yang berlari. Putus asa, teruni berkaki jenjang itu mulai menapaki anak tangga.
"Gaara!"
Suara serak-serak basah Hinata meninggi dalam pekikan. Di puncak tangga, netranya menangkap sosok berambut merah yang terduduk lunglai. Tangan pasi milik Gaara melayang ke railing tangga dan berusaha mencengkeramnya. Hinata tahu, Gaara menggunakan tangan kanannya yang setengah lumpuh. Otak encer Hyuuga manis mencoba merangkai skenario. Kemungkinan besar kekasih special needs-nya baru saja jatuh saat hendak meniti tangga.
Tanpa tunggu lama, penulis 15 novel itu melompati anak tangga dua-dua sekaligus. Dibantunya Gaara berdiri. Tubuh jangkung atletis di sisinya oleng. Gaara berpegangan erat pada Hinata, mengumpul-ngumpulkan keseimbangannya yang ambyar.
"Hinata," lirih Gaara.
"Iya, Gaara. Aku di sini, aku di sini. Ayo kita turun."
Pelan dan hati-hati, perempuan muda bermata lavandula itu memapah Gaara turun dari tangga. Matanya jelalatan mencari kursi roda elektrik milik sang pujaan hati.
"Kursi rodaku mati."
Terheran Hinata mendengarkan genahar Gaara. Bagaimana mungkin kursi roda sebagus itu mati? Bahkan Gaara sering menyebutnya kursi roda ajaib.
"Aku juga tak tahu kenapa. Berjam-jam aku charge. Karena risih dengan keadaan rumah yang kotor, aku mencoba berbenah. Aku jatuh saat mengepel lantai atas," tutur Gaara.
"M-mengepel?" gagap Hinata.
Kepala berselimut rambut merah bata itu terangguk. Hinata menenggak saliva. Andai menangis diwajarkan, sedu-sedannya sudah meledak dari tadi. Tapi Hinata sadar, Gaara tak butuh air mata. Alih-alih mengisak, Hinata merengkuh Gaara erat.
"Aku akan selalu ada untukmu, Gaara. Kamu tidak sendirian."
Nyaman ini, tenang ini, hanya bisa Gaara dapatkan dari pemilik manik lavandula. Lengannya terkalung di leher Hinata. Dahinya yang berhiaskan kanji cinta tersandar di kening mulus novelis cantik itu.
.
.
.
Jatuh bagi orang normal mungkin tak terlalu berdampak. Lain halnya dengan penderita lumpuh tubuh separuh seperti Gaara. Badan yang ambruk mengempas keramik membuatnya syok. Nyeri di punggung menjadi pelengkap penderita. Tawaran Hinata yang ingin mengantarnya ke rumah sakit ditampiknya.
Gaara mencoba bangkit dengan cepat. Sebentar lagi dia akan memulai satu langkah baru. Gerakan itu dinamainya Konoha Disabled Act. Sebuah inovasi yang digagasnya bersama IAK (Ikatan Arsitek Konoha) dan teman-teman sekelasnya. Lihatlah, ketika sinar terakhir lazuardi menghentak langit, seluruh personel Konoha Disabled Act telah berkumpul di teras mansion Sabaku.
Sasuke datang paling awal. Dia cemas mendapati sahabat merahnya terduduk di kursi roda cadangan dengan wajah pucat dan punggung memar.
"Gaara, kau kenapa? Ini luka dari mana?" tanya Sasuke protektif. Tubuh jangkungnya membungkuk, memberi usapan di memar Gaara.
"Tadi jatuh," jawab Gaara singkat.
Helaan napas berat dari hidung mancung Sasuke membuat Gaara jengah. Dia benci dikasihani. Hinata saja sudah cukup memahami. Ternyata sahabatnya belum.
"Kenapa nggak telpon aku? Aku, kan, bisa bantu kamu," kecam pangeran sekolah itu halus.
"Tadi aku sampai ke sini dan membantu Gaara." Hinata nimbrung. Ia muncul untuk membuat Gaara nyaman.
Bungsu Uchiha itu berangsur lega. Sejumput nasihat telah ia siapkan. Ingin ia memberi tahu Gaara agar jangan mengerjakan semuanya sendirian. Seharusnya Gaara manfaatkan saja beberapa ART yang dipekerjakan Rasa untuknya. Mandiri boleh saja, tapi ada kalanya manusia butuh pertolongan orang lain.
"Jangan lakukan semuanya sendirian, Gaara." Sasuke berujar lembut.
"Kamu punya ayah, ART, Hinata, dan aku. Jangan ragu meminta bantuan."
Suara bariton Sasuke turun dua oktaf. Nada bicaranya seperti seorang dokter yang menasihati pasien rumah sakit.
"Aku harus mandiri," tegas pemuda bermanik emerald.
"Mandiri boleh saja. Tapi kamu tetap perlu bantuan."
Bibir Gaara membuka hendak mengeluarkan bantahan. Namun, ia diinterupsi oleh kedatangan teman sekelas yang lain.
Dan … voila, dimulailah Konoha Disabled Act. Mereka konvoi mobil dari rumah Gaara menuju pusat kota. Kursi roda, tongkat alumunium, selotip, dan seperangkat kamera mirrorless telah siap. Sabaku Rasa bersama anggota IAK sudah menanti di Hotel Meridian. Hotel bintang lima itu disepakati menjadi titik kumpul mereka.
"Siap, anak-anak?" Rasa tersenyum, menatap wajah-wajah antusias di depannya.
"Siap," sahut Sasuke dkk minus Gaara dengan kompak.
"Saya bangga pada kalian. Kalian mau membantu anak saya mewujudkan Konoha Disabled Act," ungkap Rasa sembari membagikan beberapa properti yang harus digunakan.
Anak-anak sekelas menyebar. Naruto mengambil kruk. Shino dan Shikamaru menyambar dua pasang penutup telinga. Mereka sedapat mungkin tidak mengambil penutup telinga berwarna mencolok. Sasuke menduduki kursi roda. Hinata, Ino, dan Sakura mengambil penutup mata. Beberapa anak melapisi bibir mereka dengan selotip.
"Oke. Kita masuk lift. Itu titik pertama," titah Gaara.
Berduyun-duyun mereka menuju elevator. Terdapat sepuluh lift dengan masing-masing kapasitas untuk sepuluh orang. Gaara, Hinata, Sasuke, Naruto, dan Sakura memasuki lift yang sama. Tiap rombongan ditemani videografer.
"Kalian lihat lift ini?" Gaara membuka penjelasan, sekali-dua kali iris zamrudnya mengerling kamera. Lampu kamera berkedip merekam.
"Sekilas tak ada yang salah. Liftnya bagus, tapi …."
Sasuke memajukan kursi roda. Tangannya susah payah menjangkau tombol lift yang terlalu tinggi. Di dekatnya, Hinata dan Sakura meraba-raba tombol dengan wajah kebingungan. Gaara bergeser dan menekan tombol lantai yang mereka tuju.
"Nah, tombol lift ini terlalu tinggi untuk pengguna kursi roda. Dan tidak ada penanda huruf Braille. Artinya, lift ini belum ramah untuk penyintas tunadaksa dan tunanetra."
Senyum tipis terkembang di bibir ranum Hinata. Sasuke menahan diri untuk tidak melemparkan serengit. Ekspresi tenang ia pertahankan pada romannya.
Diiringi bunyi denting, pintu lift menganga. Mereka beramai-ramai keluar dari ruang stainless itu. Lantai teratas hotel tersambung langsung dengan jembatan cantik yang diberi nama Jembatan Phinisi. Jembatan tersebut menghubungkan hotel dengan halte bus.
Mereka menyusuri jembatan. Naruto dengan kruknya, Sakura dan Hinata dengan penutup mata, dan Sasuke dengan kursi roda. Muda-mudi ini sedang mencoba memposisikan diri mereka sebagai orang berkebutuhan khusus. Untuk bisa memahami, mereka harus merasakan sendiri.
Gaara dan para kamerawan lekat mengekori. Walau belum menjadi arsitek, dia sudah tahu letak ketidakramahan infrastruktur kota untuk orang berkebutuhan khusus. Teruna yang dipilih sebagai ketua student council Konoha High itu sedang menyuarakan aspirasi sebagai orang berkebutuhan khusus.
Dari jembatan Phinisi, mereka berpindah ke halte. Bus datang dan pergi. Lagi-lagi pemuda dengan lingkaran hitam membingkai kedua netranya itu menunjukkan bagian halte dan pintu bus yang sulit dijangkau pengguna kursi roda. Sasuke tampak kesusahan menaiki bus dengan kursi roda. Seorang wanita berbaik hati membantu.
"Harusnya itu dilakukan kru bus," bisik Naruto.
Sakura yang berdiri di sebelahnya, memukul tangan Naruto gemas. "Diamlah, Naruto! Kau bisa mengacaukan videonya!"
"Tapi dia benar." Gaara balas berbisik.
"Semestinya hal ini dilakukan kru bus."
Sasuke dan kursi rodanya berhasil dinaikkan ke bus. Pengambilan gambar dihentikan sejenak. Sebab ini hanya untuk konsep video. Setelahnya mereka beralih ke tempat lain.
Mereka memasuki sebuah mall. Eskalator menjadi titik atensi pertama. Pegangan tangga begitu licin. Hal ini membahayakan bagi pengunjung mall yang berkebutuhan khusus. Lift di dalam mall juga belum dilengkapi tombol Braille dan suara yang memberi tahukan posisi lantai tujuan. Jika lift dilengkapi dengan tombol berhuruf Braille dan suara penunjuk, para tunanetra akan terbantu. Mereka bisa naik lift sendiri tanpa perlu didampingi orang lain.
"Naruto, lepaskan krukmu. Kamu ganti peran," suruh seorang videografer.
Pemuda blonde membuang napas lega. Dia menyingkirkan kruknya sambil mengomel,
"Benda merepotkan!"
"Jangan begitu, Naruto. Kamu belum tahu rasanya menjadi tunadaksa yang kemana-mana pakai tongkat," koreksi Hinata kalem.
Tunggal Namikaze itu nyengir. "Iya. Maaf, maaf."
Kali ini Naruto dan Sasuke melakukan scene berdua. Letaknya di toilet. Toilet merupakan infrastruktur di dalam mall yang masih belum banyak sentuhan untuk orang berkebutuhan khusus.
Konsis mempertahankan wajah tenangnya, Sasuke menggerakkan kursi rodanya ke dalam bilik toilet. Dia men-charge kursi roda elektrik itu. Gaara sudah pernah mengajari cara mengisi baterai kursi roda. Bukan itu yang menjadi sorotan. Sekejap kemudian, terdengar gedoran di pintu bilik.
"Hei, keluar! Ngapain aja kamu di dalam, Teme?" seru Naruto tak sabaran.
Sasuke diam saja. Onyx-nya terus memandangi kursi roda dan charger-nya. Alat bantu itu sedang mengisi daya.
"Teme! Kamu pingsan, ya? Cepat keluar!"
Klik
Pintu bilik menguak. Naruto menyeruak. Keningnya berkerut mendapati kursi roda yang sedang diisi dayanya.
"Aku sedang mengisi daya untuk kursi rodaku, Dobe." Sasuke berkata. Nadanya sedatar layar televisi flat.
"Oooh, aku baru tahu kalau di toilet bisa sambil charge kursi roda," komen Naruto.
Mall ini merupakan salah satu mega proyek yang dikerjakan ayah Gaara. Sebagai perancang dan pemilik, ia leluasa menambahkan fasilitas ramah disabilitas di mallnya.
Lokasi demi lokasi telah didatangi. Saatnya membuat closing. Kini Gaara cs berdiri saling menyebelahi di tingkat tertinggi mall. Sambil menyilangkan tangan di depan dada, Gaara mengatakan kalimat penutup.
"Infrastruktur ramah disabilitas akan menjadikan sebuah kota inklusif. Inklusif bukan berarti memanjakan. Fasilitas yang ada berfungsi memudahkan orang berkebutuhan khusus agar mereka mendapat akses yang sama dengan orang normal."
Video berakhir. Ini hanya langkah pertama. Usai libur hari raya, kelompok penggagas Konoha Disabled Act berencana membuat serangkaian gelar wicara terkait kota ramah disabilitas.
"Horeeee!" sorak seluruh teman sekelas Gaara.
Sorak-sorai menjadi instrumen yang menyudahi kegiatan mereka malam ini. Berdua atau bertiga, mereka gegas turun dari rooftop. Sakura bergandengan tangan dengan Sasuke. Di antara pawana yang berdesir, gadis berambut gulali itu berbisik,
"Kamu luar biasa. Kamu perhatian pada orang berkebutuhan khusus."
Tinggal Gaara dan Hinata yang tersisa. Masih ada rasa enggan untuk turun. Hinata menoleh, mempertemukan paras jelita dengan elok wajah Gaara.
"Aku bangga padamu," desahnya.
Gaara tersenyum. Ia menyelipkan jemarinya dengan milik Hinata. Ucapan Rasa terputar di benaknya bagai gulungan film.
"Gaara, kamu tahu? Ada tiga macam arsitek: arsitek lurus, arsitek komersial, dan arsitek humanis. Arsitek lurus itu yang melakoni profesinya biasa-biasa saja. Kuliah, lulus, bekerja sebagai arsitek, lalu menikah. Arsitek komersial hanya mementingkan bisnis, bisnis, dan bisnis. Segala proyek mereka terima tanpa memikirkan dampak lingkungan dan inklusivitas. Arsitek humanis adalah arsitek yang berani menolak proyek bila bertentangan dengan aspek ekologi dan tidak inklusif. Golongan terakhir ini harus siap tidak punya apa-apa."
Wicara sang ayah amat membekas dalam pikiran Gaara. Ia membulatkan tekad untuk menjadi arsitek suatu saat nanti.
"Hinata, aku harus bisa menjadi arsitek. Aku ingin mewujudkan kota ramah disabilitas," tekad Gaara.
"Dan aku akan mendukungmu, Gaara. Selalu."
FIN