Meminjam Papa
Disclaimer: Naruto miliknya Masashi Kishimoto, Sasuke miliknya Sakura, Gaara miliknya Hinata *yeee*
Warning: au, ooc, setting Indonesia, Sasuke dibuat menderita *wuuu*
.
.
.
Surat untuk Luka Batin
Dear, luka
Selamat sore, luka. Aku nggak tau di tempat kamu sekarang jam berapa. Yang jelas, aku nulis surat ini saat langit berwarna kirmizi. Laporan pandangan mata sayu dari jendela kafe Letters and Music.
Luka, aku pengen ngobrol sama kamu. Banyak yang mau aku obrolin. Pertama-tama, duh kaku amat, ya. Pertama, aku barusan dapat permintaan absurd dari Gaara dan Hinata. Aku diminta jadi Papa sementara buat anak mereka. Menurutku ini gila. Aku nggak kenal Monic. Tau-tau aku diminta jadi Papa sementara buat dia.
Cuma dikit yang aku pahami tentang Monic. Dia pemeluk Katolik kayak Papa dan Yune. Yah, kayak aku juga sih, waktu masih SD. Hanya itu yang aku tau. Selebihnya, aku nggak kenal-kenal amat sama anak sahabatku.
Gaara ngotot banget pengen pinjam aku untuk jadi Papanya Monic. Aku heran, luka. Why should I? Kenapa bukan Yune? Nggak kok, luka. Nggak ada maksudku buat mendiskriminasi karena beda keyakinan. Aku akan merawat siapa pun dengan senang hati tanpa memandang apa agamanya. Mau dia Islam kayak aku, Katolik, Protestan, Calvinist, Hindu, Buddha, Tri Darma, Taoisme, Konghucu, Yahudi, Kejawen, Barmalim, Sunda Wiwitan, Alukta Dalo, atau Kaharingan sekalipun, aku akan terima. Dan nggak akan keberatan asalkan ada kemauan dari dalam hatiku.
Fyi, lima agama terakhir yang kusebut itu agama lokal asli Indonesia. Kaharingan itu agama yang berkembang di suku Dayak. Kejawen? Tau sendirilah dari namanya. Sunda Wiwitan pastinya di Jawa Barat dan Banten, dong. Barmalim itu sebutan buat orang Batak yang beragama lokal. Salah satu penganut Malim adalah pahlawan Sisingamangaraja. Kalo Alukta Dalo, setahuku agama di Toraja. Cmiiw ya, luka.
Yap, kurasa surat ini makin nggak fokus aja. Aku malah ngomongin agama asli Indonesia. Tapi itu juga bagian dari kegelisahanku. Udah ah, kembali ke MacBook. Kalo bilang kembali ke laptop, itu udah biasa.
Back to focus. Gaara dan Hinata pengen pinjam aku sebagai Papanya Monic. Alasannya karena Monic punya DPD. Eits, Monic itu masih kecil banget. Dia belum cukup umur buat jadi wakil rakyat. DPD itu singkatan dari dependent personality disorder atau sederhananya gangguan kepribadian ketergantungan berlebihan pada orang lain. Mudah-mudahan kamu nggak bingung, ya.
Si Monic ini bergantung banget sama Gaara. Sedangkan untuk sekarang, sahabat baikku itu lagi kurang sehat buat jagain Monic penuh waktu. Aku harus gimana, luka? Di sisi lain akum au tolong mereka. Satu sisi lagi, luka batin ini masih terlalu besar. Makanya kamu jangan ganggu aku terus. Maksudnya, gara-gara kamu, aku jadi trauma sama beberapa hal. Salah satunya nggak pengen punya anak.
Luka, aku dibesarkan oleh ayah kandung yang buruk. Figur ayah justru kutemukan dalam diri Ayah Hizashi dan Daddy Minato. Mereka itu bokapnya besty-bestyku. Literaly, aku nggak punya hubungan darah sama mereka. Etapi Gaara sama Hinata juga nggak punya, ding. Mereka cuma anak adopsi. Bedanya, mereka udah dirawat sama duo ayah ideal ini dari masih berupa bayi merah.
Keluarga Uchiha bukanlah keluarga yang demokratis. Satu-satunya sikap demokratis mereka adalah ketika aku dibebaskan memeluk agama yang sesuai dengan hatiku. Sebenarnya, waktu itu aku udah dibaptis bayi dan dapet Komuni pertama. Seru banget pokoknya pas aku ikut seremoni Krisma gitu. Bahkan aku sempat jadi misdinar alias putra altar. Pas kelas lima SD, aku mutusin convert ke Islam, ikut agama Mama. Soal pindah keyakinan ini, Keluarga Uchiha sangat membebaskan. Yeah, hanya itu sikap demokratis mereka ke aku.
Luka, intinya aku nggak mau merepotkan hidupku dengan anak. Hatiku sakit tiap kali melihat bayi dan mendengar tangisannya yang keras. Menurutku, makhluk Tuhan bernama bayi dan anak adalah pribadi yang egois, mau menang sendiri, mendominasi, dan mengakibatkan derita tak berkesudahan untuk orang tuanya. Aku sudah lelah, luka. Aku lelah dengan luka batin yang kutanggung hamper sepanjang hidupku. Aku nggak mau merawat anak dengan hati yang masih terluka.
Tapi, rasanya nggak enak juga nolak permintaan Gaara dan Hinata. Mereka sobat terdekatku. Yah walaupun Gaara pernah menikung jodoh aku. Keduanya tetaplah berharga dalam hidupku.
Luka, kalaupun akhirnya aku harus merawat Monic, aku harus menyiapkan beberapa hal. Aku mau rumahku nyaman untuk ditempati dua orang yang berbeda keyakinan. Aku juga perlu tau dimana gerejanya, jadwal Misanya, dll. Biar aku bisa temenin dia kalo waktunya ibadah. Oh ya, jangan lupakan juga waktu bermain dan hari libur. Inginku, Monic merasakan apa yang kurasakan: tayangan film kartun di Minggu pagi, banyak bermain, mengenal banyak teman yang beragam, mengunjungi rumah ibadah agama lain, pokoknya hal-hal yang menyenangkan. Masa anak-anak adalah masa emas, waktu terbaik untuk mengenal banyak hal termasuk mengenal keragaman. Ya ampun, kamu pasti mau ngetawain aku. Orang yang nggak pengen punya anak malah bikin perencanaan tentang mendidik anak.
Luka, meski kamu masih meneror hatiku, aku punya tutur batin. Tutur batinku tak akan salah. Loh, itu kan lirik lagu. Aku punya intuisi. Aku memang nggak sempurna, luka. Tubuh dan hati ini tak lagi utuh. Aku pernah kehilangan penglihatan, mencoba bunuh diri sebanyak tiga kali, masuk panti khusus tunanetra dan rumah pemulihan jiwa, tapi aku akan merayakan ketidaksempurnaanku dengan penerimaan. Aku ya aku. Ayo kenalan lagi sama aku. Salam kenal, aku Sasuke Ernesto Uchiha. Bungsu di keluarga, even kakak kembarku beda 20 menit aja dari aku. Aku dibesarkan oleh ayah kandung yang buruk, aku seorang mualaf, keluargaku dwiagama, mantan tunanetra, pernah jadi model, pemilik apotek, dan sekarang lagi jadi kandidat Papa titipan buat seorang anak perempuan. Gimana profilku, luka? Menarik nggak?
Btw, aku nulis surat ini ditemani lagu Tutur Batin punyanya Yura Yunita. Lagunya bagus. Mau aku tulis liriknya? Atau mau aku nyanyiin aja?
Aku tak sempurna
Tak perlu sempurna
Akan kurayakan apa adanya
Tutur batinku tak akan salah
Silakan pergi ku tak rasa kalah
Namun percayalah sejauh mana kau mencari
Takkan kautemukan yang sebaik ini (Yura Yunita-Tutur Batin).
Luka, sebenarnya masih banyak yang pengen aku diskusiin sama kamu. Tentang kehidupan toleransi di negara ini, tentang agama local/penghayat kepercayaan, bahkan tentang perang Rusia vs Ukraina dan problema minyak goring yang nggak beres-beres. Tapi tanganku sakit, luka. Ini pasti efek bekas luka dari percobaan bunuh diriku yang ketiga. Udah dulu ya, luka. Sampai ketemu lagi.
Salam sayang,
Sasuke Uchiha
Dua pria dan satu wanita berpakaian santai tercengang membaca surat Sasuke. Ruangan berbentuk persegi dengan karpet tebal dan fitur kedap suara itu mencipta sunyi amat lama. Tim pembaca dan pembalas surat dari kafe Letters and Music membeku. Otak cerdas mereka mendadak korslet. Hei, pembalas surat di sini bukan pegawai biasa. Hinata selaku pemilik kafe meminta bantuan psikolog dan konselor professional. Tidak sedikit surat yang masuk dari pelanggan berisi ungkapan dari hati yang gulana. Bila tak hati-hati menanggapi, bukan mustahil para penulis surat itu akan bertindak gegabah. Betapa dahsyat kata-kata mempengaruhi pikiran orang lain.
"Menarik, ya," desah konselor pertama. Ia anggota tim paling senior. Tipikal pria berambut coklat dengan tato segitiga merah di pipinya.
"Belum pernah aku dapat surat se … ah, aku pun nggak tau harus bilang apa untuk menyebut surat macam ini," timpal jejaka kedua, kali ini jebolan S2 dari universitas negeri ternama. Ia memilin ujung celana jinsnya.
Satu-satunya hawa dalam tim pembalas surat, terus saja membolak-balik surat Sasuke. Wanita ini luar biasa cantic. Kulit putihnya berpadu dengan hidung bangir, dagu lancip, dan kening luas yang menandakan kecerdasannya. Pipinya ranum meski tanpa pulasan pemerah. Bibir tipisnya hanya menyisakan sapuan lipstick super tipis. Perempuan ini mengepang rambut merah muda indahnya. Dengar-dengar ia seorang importir sukses. Psikolog dan pembalas surat hanya menjadi pekerjaan sampingan.
"Dia bilang dia mantan tunanetra." Sakura, nama perempuan itu, bergumam sendiri.
"Kenapa, Sakura? Naksir CEO Uchiha Healthcare, ya?" terka konselor senior sok tahu.
Sakura menganggapnya angin lalu. Gadis dari keluarga Eleanor itu melipat surat Sasuke. Ia masukkan kertas putih itu ke dalam tas Gucci-nya.
"Sakura, suratnya belum kita bales! Kok udah dicomot aje? Bentaran deh, kalo kamu mau dapet tanda tangan itu CEO!"
Mengabaikan protes psikolog alumnus kampus negeri, Sakura bangkit. Dia mengayunkan rambutnya ala iklan shampoo sambil berujar tenang.
"Aku ingin balas suratnya."
Sasuke mondar-mandir di depan gerbang Thomas Persada Primary School. Satu tangan terbenam di saku jas. Bagaimana caranya mendekati Sabaku Monic? Anak itu saja kemana-mana nempel Gaara persis lokomotif dengan gerbongnya. Dalam hati Sasuke merutuki Gaara yang kurang tegas pada putrinya. Kalau tak ingin penyakit psikologis putrinya bertambah parah, dia mestinya bisa lebih keras dari ini.
Yayasan Thomas Persada tergolong cukup lengkap. Ia mempunyai lembaga pendidikan dari jenjang playgroup hingga perguruan tinggi. Biaya SPP-nya bisa membuat sobat UMR menjerit, tetapi kualitas yang dijanjikannya jangan ditanya. Enam juta per bulan telah mencakup semuanya, mulai dari transfer ilmu pengetahuan, pendidikan karakter, hingga ekstrakurikuler. Sasuke tahu betul karena di sinilah dia dan ketiga sahabatnya mengenyam bangku sekolah.
Gaara dan Hinata telah memilih sekolah yang benar. Masalahnya sekarang bukan sekolah. Melainkan bagaimana cara melakukan pendekatan pada Monic?
Pukul dua belas siang, muazin berlagu dari masjid sekolah. Lonceng gereja berdentang memanggil umat Katolik melakukan doa Malaikat Tuhan. Sasuke gegas menuju masjid. Satu-dua kali ia berpapasan dengan jemaat gereja. Biarlah akan ia pikirkan sambal jalan. Siapa tahu setelah menghadap big boss alias kakak alias Tuhan yang Maha Asyik, ia dapat wangsit.
Di masjid, Sasuke berjumpa dengan Gaara. Rona pucat menepi di paras tampan pria itu. Hati Sasuke berdenyut cemas. Apakah tubuh Gaara tengah memberi perlawanan?
Tempat wudu mereka berdekatan. Samar-samar Sasuke mendengar Gaara terbatuk. Apa lagi sekarang? Belum usai tanda Tanya, muncul lagi pertanyaan yang baru.
"Gaara, are you ok?" Tanya Sasuke seraya menghampiri sahabat baiknya sejak kecil.
Pria jangkung itu menegakkan tubuh. Hidungnya mengalirkan telaga. Bukan ingus, sebab warnanya semerah rambut pemiliknya.
"Pakai ini."
Sigap Sasuke mengulurkan sapu tangannya. Seperti dulu, saat Gaara mengobati lukanya di sekolah.
"Thanks," lirih Gaara setelah mengusap bersih darahnya.
Tanpa bicara, Sasuke merangkul Gaara ke ruang utama masjid. Bergabung dengan jamaah lainnya yang telah merapatkan saf. Damainya salat di masjid milik Thomas Persada. Di masjid lain, apa lagi musala pinggir kota, kerap kali Sasuke dan Gaara dihujani tatapan aneh. Pernah mereka berdua diusir dari tempat wudu. Keduanya disangka bukan Muslim. Perlakuan rasis yang sulit terlupa.
Di sini, mereka bebas dari perlakuan rasis atau pandangan ganjil. Dua anak Adam yang pernah mencuri hati Hinata itu salat dengan tenang. Warga lingkungan sekolah tidak asing dengan keragaman. Agama adalah sesuatu yang inklusif bagi mereka. Satu keyakinan tidak lantas identic dengan ras tertentu.
"Monic nggak nyariin kamu?" Sasuke menanyai Gaara selesai salat.
"Masih di gereja kayaknya. Ikut doa Angelus," jawab Gaara kalem.
"Kamu mau ketemu dia sekarang?" sambungnya penuh harap.
Kepala Sasuke bergerak dalam gelengan. Selintas ekspresi kecewa merayapi wajah Gaara.
"Belum waktunya," tegas Sasuke.
Gaara mengangguk mengerti. Sejurus kemudian, mereka berdua keluar dari masjid. Gaara kembali ke depan kelas Monic. Sementara itu, Sasuke stay di dekat pagar.
Punggung tegap berbalut setelan Armani itu tersandar di kap mobil. Mercedes Benz C180 hitam itu telah membersamai Sasuke sejak ia naik takhta sebagai CEO. Bisa saja dia ganti mobil dengan tipe lebih baru, tetapi Sasuke kadung nyaman dengan kendaraannya yang sekarang. Mobil ini saja sudah cukup. Bicara tentang kendaraan, saku ingatannya memungut kartu kenangan. Memori selama di sekolah: pulang pergi naik bus, bergandengan tangan dengan Hinata, berbagi headset dan mendengarkan lagu sepanjang perjalanan.
"Permisi."
Suara mezosopran seorang wanita menyapanya. Tentu saja wanita. Tak ada jenis suara mezosopran untuk pria.
"Hinata?" Sasuke yang salah fokus, bergumam tanpa sadar.
"Permisi, saya mencari Sasuke Uchiha."
Vokal jernih mezosopran itu mengudara lagi. Bukan, itu bukan Hinata. Sasuke mengutuki dirinya sendiri. Ia memutar tubuh. Persis di sebelahnya, berdiri sesosok wanita tinggi semampai dengan gaun model kamisol sewarna coklat susu. Sasuke tertegun. Rasanya dia belum pernah bertemu orang ini.
"Siapa kamu? Kenapa tahu saya ada di sini?" sergah Sasuke waspada. Bahaya juga kalau dia mata-mata dari competitor Uchiha Healthcare.
"Tenang, aku bukan saingan bisnis. Cuma mau jawab surat kamu. Tadi aku ke kantormu. Kata Karin, sekretarismu, kamu di sini."
Tuturan noni-noni cantic itu, yang tak lain adalah Sakura, membiaskan lega di hati. Tak pernah Sasuke duga suratnya akan ditanggapi seserius ini oleh kafe Letters and Music. Pikirnya, tim pembalas surat hanyalah para pekerja kafe.
"Aku tidak ingin membalasnya dengan tulisan, tapi langsung bicara denganmu." Sakura menyambung perkataannya.
"Kenapa nggak lewat tulisan aja? Repot amat."
"Karena suratmu sangat menarik. Membuatku ingin bicara mendalam dengan penulisnya."
Ini bukan modus, kan? Terlahir tampan menjadikan Sasuke kenyang pahit-manisnya berinteraksi dengan fangirls. Bibir Sakura membentuk sabit.
"Aku bukan fangirls-mu. Paling tertarik sama luka batin, toleransi beragama, dan anak."
Berhati-hatilah, Sasuke. Tampaknya Sakura cenayang terselubung. Sudah dua kali dia membaca isi kepala Sasuke.
FIN
.
.
.
A/N
Halo, Minna-san. Balik lagi sama aku. Ini bukan cerita baru. Meminjam Papa sebenarnya adalah novel yang aku tulis cantik untuk produk penelitian tesisku. Ini aku bikin versi fanfictionnya. Tapi sebenernya, tokoh-tokoh Meminjam Papa juga based on chara favoritku sih, di Naruto even nggak 100%. Ada inspirasi dari tokoh nyata juga. Di sini aku lukiskan masa lalu Sasuke dark gitu. Aku bosan dengan penokohan Sasuke yang terlalu sempurna. Btw, nama-nama tokoh di Meminjam Papa versi novel adalah Yuke, Garry, dan Nata.
Tesisku memang unik. Kalo yang lain produk penelitiannya semacam buku teks atau buku ajar gitu, aku malah bikin novel cantik. Metode penelitiannya pun masih jarang digunakan di Indonesia yaitu fbr atau fiction based research. Semoga kelak makin banyak penelitian berbasis fiksi lainnya. Doain ya, guys, biar aku segera lulus S2 dan meraih gelar master.