disclaimer(s): Tears of Themis belongs to HoYoVerse, but this story is purely mine.
warning(s): typo(s), no-plot/plotless, and other stuff(s).
note: this is a cross-post from my AO3 account because i just want to fill the Tears of Themis archive in here :p
don't like? don't read.
selamat membaca!
.
jangan khawatir, aku baik-baik saja.
.
.
Luke hampir gila dengan rasa sakit yang menggerogoti sekujur tubuhnya sejak beberapa menit yang lalu.
Ia baru saja akan meraih gagang pintu tokonya untuk keluar ketika badannya oleng ke kiri tanpa kendali. Ada pusing yang begitu hebat menyerang kepalanya dalam hitungan detik sesaat sebelum tubuhnya limbung. Sebelah tangannya berusaha untuk menyambar tiang rak di dekat pintu—
BRAKK!
—namun, gagal.
Luke terjatuh dengan suara yang begitu nyaring; sisi kiri tubuhnya menghantam rak penuh barang antik itu dengan keras hingga beberapa lampu hias tua dan piringan hitam berjatuhan tanpa permisi. Satu buah dus cokelat berisi prangko-prangko kuno menimpa kepala pria itu sebelum isinya berhamburan ke lantai.
Ia terbaring dengan sebelah siku menopang tubuhnya. Tangan kanannya mencengkeram dada erat-erat dengan napas terengah, mencoba meredam rasa sakit mengerikan yang berpusat di tengah dadanya. Keringat dingin mengalir banyak dari pelipis dan leher pucatnya, kemudian mulai membasahi kaos oranye yang ia kenakan. Sekujur tubuhnya gemetar hebat; Luke tak bisa mengontrol tubuhnya sama sekali.
Ia menggigiti bibir.
Luke berusaha untuk bangkit dari posisi terbaring, mencoba untuk duduk dan sekadar menyandarkan punggung pada pintu kayu di belakangnya. Tak ada yang bisa Luke lihat dalam pandangan matanya selain buram-buram abstrak yang semakin menguasai pandangan.
"Ughh…."
Luke mendongak dengan mata terpejam rapat; satu erangan parau menyelip keluar dari bibirnya dengan sebelah tangan masih terus mencengkeram dada erat-erat hingga buku-buku jemarinya memutih. Raut kesakitan terpeta begitu jelas pada wajah tampannya.
Menyedihkan.
Luke merutuki diri sembari berusaha mengabaikan bunyi-bunyi bising yang berdenging menyebalkan di dalam kepala. Ia mulai mencoba merogoh saku celana dengan susah-payah, mencari botol kecil yang biasa ia simpan di salah satu saku depannya.
Namun, gagal, lagi.
"Ughh—!"
Ia terbatuk keras setelahnya.
Luke bersandar sepenuhnya pada pintu di belakangnya. Sekujur tubuhnya gemetar hebat dengan napas tersengal; dadanya naik-turun dengan aliran napas yang tak beraturan.
Di mana… di mana ia letakkan botol kecil berisi analgesik itu? Luke yakin sekali botol itu ada di saku depan celananya, namun ia tak berhasil menemukan apa pun di sana selain kekosongan belaka. Ia mencoba membuka mata untuk mengedarkan pandang ke seluruh sudut ruangan. Pening pada kepalanya semakin menjadi akibat ia yang memaksakan diri untuk mencari. Dalam buramnya pandangan, Luke berhasil menangkap satu bayangan botol kecil di atas meja kerja sekitar dua meter dari tempatnya sekarang.
Di sana. Botol analgesik itu ada di sana. Namun… mengapa botol itu ada di sana?
Entahlah. Luke tak lagi sanggup berpikir dengan baik; ia tak peduli mengapa botol itu bisa ada di sana, bukan di saku celananya. Satu-satunya hal yang terus-terusan muncul dalam kepala Luke adalah mencari analgesiknya yang bersembunyi entah di mana.
Menghilangkan rasa sakit mengerikan yang muncul bertubi-tubi adalah prioritas Luke saat ini.
Ia tak tahu sampai kapan dirinya mampu untuk bertahan lebih lama dari ini lagi.
Luke mencengkeram sebelah lutut, berusaha untuk bangkit dari posisi duduk dengan pandangan berputar hebat—
BRUK.
—hanya untuk kembali terjatuh dengan bunyi debuman kayu; punggungnya menabrak pintu lagi.
Iris koralnya berkunang-kunang; ia berkedip berkali-kali, berharap buram pada mata lenyap sedikit, walau nihil. Napasnya terengah lagi, kali ini, lebih intens. Rasa-rasanya, Luke ingin menyerah saja dan membiarkan Aaron menemukannya di sini besok hari daripada harus melangkah sejauh dua meter untuk mengambil botol analgesik di atas meja.
Di antara dengung-dengung bising yang memenuhi kepala, Luke mendengar satu dering ponsel berbunyi dengan nyaring di saku jaketnya.
Si … apa….
Satu tangannya mulai merogoh bagian dalam jaket hijau yang ia kenakan, mencari-cari di sebelah mana ponsel itu terselip.
DRRT— DRRRT!
Dering ponsel yang terdengar semakin nyaring, hanya menambah dengung-dengung menyebalkan bercampur lagi di kepala Luke. Tangannya berhasil menyentuh benda pintar tersebut lalu menariknya keluar—
TRAKK!
—hanya untuk terlepas begitu saja dari pegangannya.
Ponsel hitam itu jatuh ke lantai dengan layar yang terus menyala, serta satu nama yang begitu familiar, muncul dalam panggilan.
"... Wat… son?"
Luke merasakan napasnya berhenti sesaat. Itu Rosa. Watson-nya.
Watson-nya menelepon lebih dari lima kali.
Luke tak ingat kapan empat panggilan pertama berbunyi. Mungkin tadi, ketika ia sedang meringkuk kesakitan, dan ia tak mendengarnya sama sekali. Satu hal yang Luke takutkan saat ini adalah tak mampu mengangkat panggilan telepon dari wanita itu.
Rosa pasti akan datang ke sini bila ia tak segera mengangkat panggilan kelima tersebut.
Maka, dengan tangan kiri mengalami tremor hebat; tangan kanannya sudah tak terkontrol lagi, Luke mencoba mengambil ponsel hitam tersebut sembari meredam erangan-erangan kesakitan yang berkali-kali ingin keluar dari bibirnya. Sorot matanya semakin memburam ketika ia mulai menggeser layar ponsel ke atas.
Klik.
"LUKE!"
Suara lembut Rosa terdengar panik dengan satu seruan tinggi dari seberang telepon.
Luke menarik napasnya beberapa kali. "Ah, Watson? Ada… apa?" Ia mengujar dengan suara lebih parau dari biasanya.
Ada jeda sejenak dari sana.
"Luke? Kau baik-baik saja?"
Gema-gema khawatir terdengar begitu jelas dari suara wanita itu.
Luke terdiam sejenak; ia tengah mencoba mengatur napasnya sekali lagi. "Tentu, tentu saja. Aku… baik-baik saja. Ada apa menelepo—"
"Baik-baik saja apanya?! Suaramu terdengar lemah dan serak sekali, tahu! Kau juga tak mengangkat teleponku sampai lima kali!"
Rosa menyadarinya. Wanita itu menyadari perubahan pada suaranya.
Luke tertawa kecil setelahnya. "Tidak, tidak. Aku baik-baik saja, Watson. Aku baru saja bertemu dengan klien yang memintaku… untuk menyelidiki tingkah aneh adik perempuannya akhir-akhir ini."
Luke berhenti sejenak; sebelah tangannya menekan dada kuat-kuat, sakit. Dadanya terasa sakit sekali. Namun, pria itu berusaha untuk tetap memegang ponselnya dengan stagnan.
Ia menarik napas panjang sebelum kembali melanjutkan. "Orangnya agresif sekali. Ia terus marah-marah padaku lalu menarikku… keluar sambil berlari ke kafe di ujung jalan sana. Aku bahkan tak sempat membawa ponselku. Adiknya ada tepat di depan kafe. Kau tahu apa yang terjadi setelahnya?"
Luke memejamkan matanya rapat-rapat. Ia mendongak sembari menyandarkan punggung dan kepalanya yang pusing sekali pada pintu di belakangnya. Ada mual yang terasa semakin bergejolak di perutnya.
"Memangnya apa yang terjadi? Adiknya tidak tiba-tiba melemparimu dengan benda-benda aneh, 'kan?"
Rosa terkekeh di seberang sana.
Luke menggigiti bibir, mencoba menelan kembali rasa sakit yang semakin menggila.
"Watson! Tebakanmu tak sepenuhnya salah. Adiknya benar-benar melempariku dengan piring dan gelas, kautahu? Gila, bukan? Aku harus berkali-kali menghindari… lemparan-lemparan aneh yang semuanya akurat itu. Klienku semakin marah-marah, aku bahkan masih bingung dengan apa yang terjadi." Luke menghela napas panjang; kedua lututnya mulai gemetar.
"Semua kejadian itu menghabiskan waktu lebih dari satu jam untuk bisa kuselesaikan, dan aku baru saja kembali ke tokoku lagi." Ia melanjutkan.
"Ah, jadi itu yang membuat suaramu terdengar lemah begini, huh?"
Rosa percaya. Wanita itu benar-benar percaya dengan cerita bodohnya.
"Benar." Luke mulai merasakan pandangannya menggelap.
"Luke, aku sudah bilang berkali-kali, 'kan? Jangan terus-terusan memaksakan diri begitu, tahu. Sejak kecil, kau selalu saja keras kepala begini."
Rosa mulai mengomel, namun panik pada suaranya mulai menghilang.
Luke semakin merasakan dunianya berputar hebat. Beberapa kata dalam ujar-ujar Rosa barusan tak lagi mampu ia dengar.
"Ini sudah pukul tiga. Pasti kau belum makan siang, 'kan, wahai Sang Detektif Hebat? Aku ke tempatmu, ya. Biar kubawakan makan siang ke sana."
Rosa hampir saja menutup telepon; wanita itu tak mau mendengar bantahan, kalau saja Luke tidak berseru setelahnya.
"Ah, Watson! Tidak, tidak perlu. Aaron akan tiba… di sini lima menit lagi. Ada misi. Aku akan makan siang dengan Aaron setelah ini—"
Luke berhenti lagi, ia mulai kesulitan hanya untuk mencoba menggerakkan bibir.
"—jadi, jangan khawatir! Aku baik-baik saja, hanya sedikit lelah akibat insiden… dengan klien tadi. Aku akan istirahat setelah membicarakan misi dengan Aaron, jadi, jangan… khawatir!" Luke berusaha mengujar dengan suara lebih ceria.
"Hmm, baiklah, kalau begitu. Jangan lupa makan siang, ya. Kaudengar, 'kan, Luke?"
Rosa mengujar dengan rasa jengkel berbalut afeksi di seberang sana.
Luke hampir tak mendengar apa pun lagi.
"... Ya, tentu."
"Baiklah. Sampai jumpa besok, Sherlock!"
Klik.
Rosa memutuskan sambungan telepon.
Dan ponsel di tangan Luke terlepas sepenuhnya dari dalam genggaman.
"... Uhuk— Urghh…!"
BRUK.
Ia jatuh terbaring setelahnya.
Luke tak lagi sanggup hanya untuk sekadar tetap duduk dan bersandar saja. Tubuhnya sudah mencapai batas maksimal untuk mampu menahan rasa sakit yang begitu menyiksa. Luke bilang, ia memang memiliki daya tahan yang tinggi terhadap rasa sakit. Hanya saja, Luke tetaplah manusia biasa.
Ia juga memiliki batas yang sanggup ia tahan.
Luke mengerang keras lagi setelahnya, dengan tubuh gemetaran hebat, serta peluh-peluh yang semakin membasahi jaket yang ia kenakan.
Sorot matanya mulai menggelap, binar-binar cahaya pada iris koralnya sudah menghilang seluruhnya. Cengkeraman eratnya pada dada, lambat laun mulai mengendur. Embusan napasnya semakin berat dan tersendat-sendat. Pusing yang mendera di kepala, mulai menyusut sedikit demi sedikit. Kelopak matanya mulai terasa semakin berat; ia tak lagi melihat apa pun selain gelap gulita yang mulai menyelimuti perlahan-lahan.
"Wat… son…, ma… af…."
… karena telah membohongimu….
Adalah satu kalimat terakhir yang berhasil terucap sebelum kesadaran Luke menghilang sepenuhnya.
.
.
end.
another note:
terima kasih sudah membaca sampai di sini :3
fiksi ini saya tulis untuk kepuasan pribadi semata, tidak ada keuntungan apa pun yang saya raih selain kepuasan pribadi.
fiksi ini merupakan cross-post dari akun AO3 saya demi menuh-menuhin fandom Tears of Themis di ffn yang super berdebu ini.
sincerely,
Aosei RD.