January 1st, 2022

Alhamdulillah, akhirnya fanfic (super)panjang ini bisa terselesaikan juga setelah bertahun-tahun. Mudah-mudahan endingnya nggak begitu mengecewakan, walaupun aku ngerasa beberapa part agak cringey.

Please enjoy the last chapter!


Disclaimer: Naruto belongs to Masashi Kishimoto-sensei

L'amis Pour Toujours: Final Chapter

.

.

Halaman samping Konoha High sudah ramai ketika Sakura dan ibunya tiba di sana. Area luas berumput yang biasanya kosong itu, kini berdiri sebuah panggung berukuran cukup besar dengan podium di atasnya. Sementara di depan panggung berjejer ratusan bangku-bangku yang sudah lebih dari setengahnya terisi oleh para wisudawan yang mengenakan toga hijau lumut.

Pemandangan yang biasa terlihat setiap akhir tahun ajaran sebenarnya. Namun, mengalaminya sendiri jelas berbeda dengan ketika kau hanya melihatnya dari jendela gedung sekolah seperti yang Sakura lakukan setiap tahun sebelumnya. Dan itulah yang Sakura rasakan sekarang. Jantungnya berdebar-debar, telapak tangannya terasa dingin dan berkeringat. Ia gugup, tapi juga bersemangat.

Akhirnya. Setelah semua kerja keras selama tiga tahun … Tentu saja Sakura tidak menganggap hari ini adalah akhir. Justru ini adalah titik awal perjalanannya menghadapi 'dunia nyata'—ketika mereka sudah dianggap sebagai orang dewasa yang bertanggung jawab atas pilihan mereka sendiri pada akhirnya.

Sakura bergegas menuju ke bangkunya setelah berpisah dengan ibunya yang berjalan menuju tempat yang disediakan untuk tamu dan wali wisudawan. Gadis itu menyapu pandangannya di antara bangku-bangku wisudawan yang sudah terisi dan menemukan wajah-wajah yang ia kenali. Seperti Ino Yamanaka, yang menempati deretan bangku belakang—tempak duduk mereka sudah diatur sesuai abjad nama keluarga—tampak asyik mengobrol dengan beberapa temannya. Dan hanya berjarak beberapa deret bangku di depan mereka, duduk dua cowok yang sudah menjadi orang terdekatnya selama dua tahun belakangan di ujung dalam barisan.

Sai, yang duduk menyamping menghadap ke belakang bangkunya, yang melihatnya lebih dahulu.

"Ah, itu Sakura," katanya pada cowok berambut hitam yang duduk di belakang bangkunya, sambil melambaikan tangan pada gadis yang baru datang.

Sasuke, yang duduk membelakangi arah datang Sakura, menoleh begitu gadis itu menghampiri mereka.

"Hai," sapa Sakura, agak terengah. "Kalian berdua sudah lama?"

"Aku baru sampai," jawab Sai sambil tersenyum. "Sasuke sudah di sini sebelum aku datang, seperti patung David yang sedang duduk."

Sasuke mengabaikan komentar Sai. Cowok itu bergeser dan memberi isyarat supaya Sakura duduk di sampingnya. "Pidatomu sudah siap?"

"Tentu saja." Sakura lalu duduk di bangku Sasuke, berusaha tidak terlalu lama menatap cowok itu. Sakura sudah lama mengakui bahwa Sasuke memang memiliki paras di atas rata-rata, tapi hari ini ia terlihat lebih tampan dari biasanya. Barangkali karena toganya. Atau rambut hitamnya yang disisir ke belakang alih-alih dibiarkan jatuh ke depan seperti biasa, menampakkan dahinya. Entahlah. Yang jelas, ketika mata hitam yang tajam itu menatapnya, Sakura merasakan jantungnya berpacu lebih cepat dan tidak ada kaitannya dengan upacara kelulusan. "Aku bahkan sudah menghafalnya di luar kepala."

"Oh, ya?" Sasuke memicingkan matanya. "Kuharap kau tidak mengacaukan pidatomu. Kalau kau mengacaukannya, berarti aku dan Sai tidak perlu membayar taruhannya."

"Enak saja! Yang seperti itu tidak ada dalam kesepakatan, ya!" protesnya keras sambil menyikut lengan Sasuke agak keras. Kemudian gadis itu tertawa, teringat taruhan konyol yang mereka buat tahun lalu. "Omong-omong, aku sudah tidak sabar melihat aksi kalian."

Sasuke berdecak. "Aku lebih suka tidak melakukannya sama sekali," gerutunya, sambil melipat kedua lengan di depan dada.

"Kalau begitu, lain kali jangan membuat taruhan sekalian," Sai menyela Sakura yang hendak protes. "Apalagi tanpa persetujuan subjek taruhannya. Benar, kan?"

Sakura meringis, merasa bersalah. Sai masih memasang senyum di wajahnya, tapi Sakura tahu cowok itu masih kesal perkara taruhan itu. Seharusnya mereka menanyai Sai dulu sebelum membuat taruhan, tapi ia dan Naruto kepalang panas oleh 'pancingan' Sasuke.

Sementara itu, Sasuke memutar bola matanya mendengar perkataan Sai. Ini bukan kali pertama Sai berkata begitu, terlebih semenjak pengumuman kelulusan keluar. Awalnya ia memang agak merasa bersalah, tapi lama-lama jadi menjengkelkan juga. "Kau tidak perlu melakukannya kalau tidak mau. Aku tidak akan memaksamu," ujarnya malas.

"Aku tidak bilang tidak mau melakukannya, kok." Sai mengangkat bahu. "Lagipula kita kan sudah latihan keras untuk ini."

"Kalian latihan?" Sakura tercengang.

Sasuke menghela napas sambil membuang pandang ke langit cerah di atas mereka. Ia lebih suka tidak mendiskusikan ini.

"Sebenarnya ini ide Naruto. Katanya akan seru kalau menggunakan gerakan yang semua orang tahu. Menurutku lumayan juga idenya. Kalian tahu, kan, wisudawan tahun lalu ada semacam paduan suara dadakan di akhir prosesi—semacam flash mob, tapi direncanakan. Kita bisa membuat hal yang sama, hanya saja dengan tarian," kata Sai dengan nada serius.

"Yeah … hanya saja peserta flash mob-nya hanya Naruto," gumam Sasuke pelan, jelas-jelas meragukan kata-kata Sai. Hanya orang gila yang mau berjoget tidak jelas di depan umum—terlebih di depan para wali siswa dan guru-guru!—Dan yah, ia termasuk di dalamnya.

Selama beberapa saat Sakura tidak tahu harus berkomentar apa, sebelum kemudian berkata, "Oke … sepertinya seru. Omong-omong, Naruto belum datang?" Gadis itu lantas mengedarkan pandangannya berkeliling, mencari-cari sosok Naruto di antara para wisudawan yang baru datang. Akan tetapi yang dicari belum terlihat batang hidungnya.

"Seperti tidak tahu Naruto saja. Dia pasti datang kalau upacaranya sudah selesai," kata Sasuke cuek, disambut kikikan Sakura.

"Jahatnya."

Sayangnya obrolan mereka tidak berlangsung lebih lama lagi. Wisudawan yang berdatangan semakin banyak memenuhi deretan bangku yang masih kosong, termasuk siswa yang tempatnya diduduki Sasuke. Mau tak mau Sakura harus pergi ke bangkunya sendiri di deretan depan. Namun sebelum Sakura melangkah pergi, Sasuke menangkap tangan gadis itu.

"Hm?" Sakura berkedip.

"Good luck—dengan pidatomu."

Sasuke mengulum senyum. Tangannya yang meremas tangan Sakura lembut terasa hangat dan menenangkan.

"Trims."

Sasuke melepaskan tangannya, dan Sakura bergegas pergi ke bangkunya. Senyumnya lebar. Tiba-tiba saja perasaan gugupnya sedikit terangkat.

Sakura baru saja duduk di bangkunya ketika terdengar suara teriakan yang tidak asing. Bukan Naruto Uzumaki namanya jika tidak membuat kehebohan dengan kedatangannya. Suara riuh anak-anak menyoraki Naruto yang berlari tunggang-langgang menuju lapangan. Toganya berkibar di belakangnya. Tangannya memegangi topinya yang hampir terbang. Napasnya tampak tersengal, meski begitu wajahnya yang berpeluh diliputi kelegaan saat menyadari dirinya belum terlambat. Bahkan ia sempat-sempatnya membuat pose kemenangan dan ber-tos heboh dengan siapa saja yang mengulurkan tangan padanya.

Sebelum kegaduhan itu kemudian disela dengan pengumuman dari pengeras suara yang memberitahu bahwa acara akan segera dimulai.

Suara dengung obrolan di bangku wisudawan dan para tamu mereda ketika protokoler membuka acara tak lama kemudian. Upacara berlangsung dalam suasana hikmat. Hampir tak ada suara yang terdengar kecuali dari pengeras suara. Agak aneh sebenarnya, mengingat remaja-remaja ini biasanya tak bisa menutup mulut mereka jika sedang berkumpul. Tiba-tiba saja hari ini mereka semua menjelma menjadi manusia-manusia beradab.

Shino Aburame jadi wisudawan pertama yang dipanggil namanya untuk naik ke panggung untuk menerima tanda kelulusan dan ucapan selamat dari kepala sekolah dan jajarannya, diiringi tepuk tangan dari para hadirin. Kemudian disusul satu demi satu teman-temannya sesuai abjad, sampai akhirnya giliran Sakura. Ia tak bisa berhenti tersenyum ketika dirinya bergabung dengan yang lain berjabat tangan dengan kepala sekolah, termasuk ketika ia sekali lagi dipanggil ke atas podium untuk membacakan pidato kelulusan mewakili teman-teman seangkatannya.

Rasanya seperti ikut pementasan drama untuk pertama kalinya. Sedikit gugup, namun bersemangat dalam waktu yang bersamaan ketika ia memandangi wajah teman-temannya, yang sudah bersama-sama selama tiga tahun terakhir di Konoha High. Menimba ilmu bersama, melewati banyak momen bersama, membuat banyak kenangan bersama, entah itu baik, buruk, menyenangkan, menyedihkan, memalukan, sampai yang konyol sekali pun.

Sakura mengakhiri pidatonya diiringi gemuruh tepuk tangan dari seluruh hadirin. Euphoria kelulusan berada pada puncaknya saat upacara resmi berakhir dan tempat itu meledak dalam sorak-sorai dan tepuk tangan sekali lagi.

.

.

Sakura bergegas berlari menghampiri ibunya setelah turun dari podium. Azami langsung memeluk dan mencium putrinya itu penuh suka cita. Matanya berkaca-kaca. Sakura tak bisa berhenti tersenyum saat Kakashi bergabung bersama mereka tak lama kemudian, membawa seikat karangan bunga sebagai ucapan selamat pada sang keponakan.

Agak jauh dari mereka, Sakura bisa melihat Sasuke bersama keluarganya. Sasuke yang biasanya bersikap sok cool itu kini wajahnya merah padam ketika dihujani ciuman oleh ibunya. Ia terlihat malu. Terutama karena Kiba Inuzuka dan kakak perempuannya, Hana, juga berada di sana bersama mereka. Kiba terlihat mati-matian menahan tawa. Meski demikian, Sasuke tidak berusaha menampik ibunya.

Sakura juga melihat Naruto sedang mengobrol penuh semangat dengan ayahnya, Iruka Umino. Guru Kebudayaan Dunia, Anko Mitarashi, juga ada bersama mereka, tergelak dengan wajah merona merah. Sudah menjadi rahasia umum bahwa dua orang dewasa itu sedang menjalin hubungan, dan sepanjang tahun ini Naruto terus saja berkoar kepada siapa pun yang mau mendengar tentang usahanya memanas-manasi sang ayah supaya segera menikah lagi.

Sementara itu, Sai dan kakeknya, Danzo Shimura, terlihat berdiri agak terpisah dari kerumunan. Yuugao Uzuki, asisten kakek Sai, juga ada bersama mereka. Sai kerap bercerita bahwa ia mencemaskan kesehatan kakeknya akhir-akhir ini, tetapi hari ini pria itu tampak sehat walaupun harus berjalan menggunakan tongkat. Dan sekarang ia sedang berbicara pada ayah Hinata, Hiashi Hyuuga dan seorang laki-laki muda yang tadinya ia kira adalah Neji—tapi ternyata bukan. Ia adalah sepupu Hinata yang pernah ditemuinya di Kiri musim panas lalu, Tokuma.

Perhatiannya kemudian teralih oleh Ino dan orangtuanya yang menghampiri mereka untuk memberinya ucapan selamat dan mengajak berfoto bersama. Ibunya dan ibu Ino adalah teman lama semasa sekolah dulu, dan segera saja mereka terlibat obrolan seru tentang masa lalu. Azami juga mengajak orangtua Ino untuk mampir ke restoran setelah ini untuk merayakan kelulusan anak-anak mereka. Sementara itu Sakura disibukkan oleh Ino yang tak bisa berhenti mengoceh tentang rencana mereka untuk prom besok malam. Setidaknya sampai perhatiannya teralih oleh junior-juniornya di tim cheerleaders yang menghampirinya untuk mengucapkan selamat.

Setelah memastikan semua orang sibuk dan tidak memerhatikannya, Sakura menyelinap pergi.

.

.

Sakura memandang kertas di tangannya dengan puas. Dengan hati-hati, dilipatnya kertas tersebut dan dimasukkannya ke dalam amplop terakhir. Ia menoleh ketika mendengar seseorang memanggilnya.

Naruto melambaikan tangan padanya. Rambutnya yang pirang tertutup topi toga. "Di situ kau rupanya! Ayo, kita foto angkatan!" serunya.

"Sebentar, aku datang, Naruto!" balas Sakura seraya buru-buru memasukkan suratnya dengan aman ke dalam saku. Sakura beranjak dari duduknya di rumput halaman yang memang agak jauh dari kerumunan orang dan menepuk-nepuk bagian belakang toganya. Gadis itu berlari-lari kecil bergabung dengan Naruto dan yang lain untuk berfoto bersama.

Naruto segera menarik tangannya ketika Sakura sudah mendekat dan membawanya menerobos anak-anak yang sudah berbaris rapi di depan juru foto. "Minggir-minggir! Kasih tempat untuk lulusan terbaik kita!" serunya. Beberapa anak menggerutu dan melempar pandang mencela sebelum memberi jalan.

"Tidak perlu begitu, Naruto," sengal Sakura agak malu tapi senang. Gadis itu menggumamkan maaf pada semua orang yang diterobos sahabatnya itu. Senyum tak lepas dari bibirnya.

Sasuke dan Sai sudah menunggu mereka tepat di tengah-tengah barisan. Keduanya tampak keren dengan toga masing-masing.

"Dari mana saja kau?!" hardik Sasuke yang sudah menunggu mereka tepat di tengah-tengah barisan. Ekspresinya mencela.

Sakura cemberut. "Aku ada sedikit urusan."

"Ibumu tadi bingung kau tiba-tiba menghilang. Membuat orang cemas saja," tegur Sai dari samping Sasuke.

"Iya iya, maaf..." Sakura nyengir minta maaf. "Ada sesuatu yang ingin kuberikan pada kalian bertiga nanti," lanjutnya pada ketiga pemuda itu. "Kalian jangan kabur dulu, ya!"

"Apa? Apa?" tanya Naruto penuh semangat.

"Sudah. Nanti saja bicaranya!" tukas Sasuke sambil menarik tangan Sakura agak kasar, membawanya berdiri di sampingnya. Naruto mengangkat bahu sebelum menempatkan diri di sebelah Sakura. Sai berdiri di sisi lain Sasuke.

"Oke? Semua siap?" seru si juru foto bertubuh ceking di depan mereka.

"YOOOO...!" semua anak berseru serempak, merapatkan barisan.

"Siap!" si juru foto memberikan aba-aba. "Semua say cheese!Oke? Tiga ... dua ... satu!"

"CHEESE...!"

Begitu shutter ditekan dan sang kameramen mengacungkan ibu jarinya, serta merta terjadi ledakan sorak-sorai. Seakan dikomando, semua wisudawan kompak melemparkan topi toga mereka ke atas dan berteriak penuh haru, saling berpelukan, saling menepuk bahu.

"Group hug!"

Sakura mendengar Naruto berseru di sampingnya, dan saat berikutnya lengan cowok itu menariknya ke dalam rangkulan, sementara lengan yang lain meraih Sasuke dan Sai sekaligus. Sakura memekik tertawa ketika merasakan tubuh-tubuh lain menubruk mereka dari segala penjuru, bergabung dalam lingkaran kecil itu. Ino, Chouji, Kiba ... entah siapa lagi, Sakura tak tahu lagi siapa yang menepuk bahunya, atau mengacak-acak rambutnya. Yang ia tahu bahwa perasaan bahagia membuncah di dadanya, sehingga tak ada tempat lagi untuk protes atau keberatan dengan semua pelanggaran personal space itu.

Wajah gadis itu memerah, berurai air mata ketika ia membalas pelukan sahabat-sahabatnya.

Sakura mengerjap kaget ketika tiba-tiba Sasuke mengulurkan tangan ke arahnya melewati Naruto dan menyeka basah di wajahnya dengan ibu jari. Bibirnya berkedut menahan senyum.

"Cengeng."

Terkejut dengan gestur lembut yang begitu mendadak itu, sesaat Sakura tak bisa berkata-kata. Ia hanya menatap Sasuke yang balas menatapnya.

Naruto berdehem, mengalihkan perhatian mereka. "Bisa kita tunda itu untuk nanti? Karena sekarang waktunya BAYAR TARUHAN!" teriaknya penuh semangat sambil meninju udara, kemudian berseru pada anak-anak di sekeliling mereka, "Teman-teman, jangan pulang dulu! Ada pesan sponsor dari Sasuke dan Sai!"

Anak-anak yang mengetahui taruhan mereka itu bersorak girang, sementara yang lain tampak bingung sekaligus penasaran. Sisanya, yang sudah bosan dan ingin cepat-cepat pulang, mencemooh keras-keras.

Sasuke menghela napas seraya memijat-mijat pangkal hidungnya. Rasanya ia ingin menghilang dari sana saat itu juga. Di sampingnya, Sai tampak lebih kalem—entah memang tidak peduli atau hanya pura-pura. Ia bahkan masih sempat menebar senyum.

Naruto tertawa, lalu menggiring keduanya menuju panggung yang sudah hampir kosong. Sakura bersama anak-anak lain yang penasaran mengikuti mereka. Tak lama kemudian mereka sudah berkerumun di depan panggung yang hampir kosong—hanya ada beberapa panitia yang sedang merapikan bangku-bangku dan podium—Beberapa anak perempuan bersorak-sorai heboh ke arah Sasuke dan Sai ketika keduanya didorong naik ke atas panggung.

"Jadi, saatnya pertunjukan," gumam Sai ketika ia dan Sasuke sudah berdiri di atas panggung.

"Diamlah," gerutu Sasuke.

Matanya memandang kemana saja kecuali pada kerumunan anak-anak di bibir panggung. Wajahnya menghangat. Ini tidak sama seperti memberikan pidato di depan umum sebagaimana yang sering dilakukannya saat masih menjabat menjadi ketua organisasi sekolah dulu. Dan Sasuke dengan sepenuh hati berharap kedua orangtuanya tidak melihatnya sekarang. Tetapi tentu saja itu tidak akan terjadi.

Naruto sudah menyambar mic yang tergeletak di atas podium dan menyalakannya, mengetuknya dua kali untuk memastikan pengeras suaranya masih berfungsi.

"Test ... test ... one two ... oke. Ehem! Mohon perhatiannya, teman-teman sekalian," Naruto melambai-lambaikan tangannya. "Para junior juga boleh mendekat ke panggung, jangan malu-malu. Kalau dari jauh tidak kelihatan dong senior-senior gantengnya. Gimana, sih?"

Anak-anak perempuan cekikikan meneriakkan nama Sasuke dan Sai, sedangkan anak laki-laki riuh mencemooh, mengacung-acungkan ibu jari ke bawah.

Ingin sekali rasanya Sasuke menendang bokong Naruto saat itu juga.

"Kau bakal terlihat konyol," gumam Sai lagi, sementara Naruto mengocehkan omong kosong tentang saat-saat terakhir sebagai siswa dan persembahan dari mantan ketua organisasi sekolah melalui pengeras suara.

Sasuke meliriknya sengit. "Kaupikir kau tidak?"

Sai memasang senyum menyebalkan di bibirnya. "Setidaknya kali ini tidak ada seseorang yang ingin kubuat terkesan—kalau kau mengerti maksudku," sahutnya seraya mengerling Sakura. "Dan kupikir aku mau gila-gilaan di hari terakhirku sebagai siswa di sekolah ini."

Sasuke mendengus, "Kau terlalu banyak bicara."

Tepat saat itu sebuah intro lagu yang sedang populer menggema di penjuru lapangan, menarik perhatian semua orang yang tadinya tidak memerhatikan ke atas panggung. Sasuke bisa melihat anak-anak tertawa, menunjuk-nunjuk dirinya dan Sai. Beberapa bersorak dan bersuit-suit. Sasuke mengumpat dalam hati. Naruto benar-benar tahu bagaimana caranya menghancurkan image cool -nya di depan anak-anak.

"Kau tahu, Sasuke? Gadis seperti Sakura biasanya menyukai seseorang yang berani melakukan hal yang gila-gilaan untuknya. Anggap saja ini untuk Sakura." Sai mengedip padanya. Detik berikutnya ia sudah mengeluarkan kacamata hitam dari balik toganya, memakainya dan dengan cuek mulai melakukan gerakan koreografi yang tak kalah populer dari lagunya—dan tentu saja sudah mereka hafalkan sebelumnya.

Seisi lapangan langsung riuh. Beberapa menertawai, tapi lebih banyak lagi yang menyoraki.

Selama beberapa saat Sasuke hanya terpaku seperti orang bodoh di tempatnya dan menatap Sai hampir takjub. Di pinggir panggung, Naruto memelototinya, mengendik-ngendikkan kepalanya dengan heboh untuk menyuruhnya mengikuti gerakan yang dilakukan Sai. Sasuke mengerjap, lalu menyapukan pandangannya pada kerumunan yang menonton mereka. Ia mendengar namanya diteriakkan, dan Sakura adalah salah satu di antara yang berteriak paling heboh.

Masa bodohlah ...

Sorakan dan teriakan bergaung semakin keras ketika Sasuke—seperti yang dilakukan Sai—mengeluarkan kacamata hitam, mengenakannya dan mulai bergoyang. Tepukan tangan mengikuti irama musik terdengar dari segala penjuru. Beberapa anak kelas satu dan dua yang penasaran dengan kehebohan itu ikut berbaur dengan kerumunan bertoga di lapangan untuk menonton. Di pinggir lapangan, para orangtua dan keluarga wisudawan yang belum pulang ikut menonton. Sasuke bahkan berani bersumpah melihat kakak laki-lakinya tak jauh dari panggung, merekam aksinya dengan kamera sambil tertawa-tawa dengan Hana.

Sial.

Wajahnya terasa panas, menjalar sampai ke telinga dan lehernya. Pastilah ia terlihat sangat konyol sekarang. Sasuke membuang pandangnya ke langit, berusaha tidak melihat ke arah orang-orang yang menontonnya.

Di sampingnya, Naruto juga sudah mengeluarkan kacamata hitam dan ikut berjoget heboh. Seakan mengomando yang lain, satu demi satu orang-orang yang tumpah ruah di lapangan itu mulai ikut berjoget. Dan saat berikutnya lapangan sudah dipenuhi oleh aksi flashmob para siswa dan wisudawan Konoha High.

Sasuke tidak tahu apakah Naruto diam-diam merencanakan ini dengan anak-anak lain atau murni spontanitas—yang rasanya sangat mustahil. Mereka pasti sudah merencanakan semuanya di belakangnya. Sialan—tapi ... ini tidak buruk kok.

Memalukan.

Tapi tidak begitu buruk.

.

.

Acara kelulusan beserta segala kehebohannya akhirnya usai menjelang tengah hari. Sakura berpisah dengan teman-temannya dan pulang bersama ibunya untuk menyiapkan acara barbeque di rumah yang sudah mereka rencanakan jauh-jauh hari sebagai perayaan kelulusan. Mereka sudah membeli gading, sosis, sayuran, minuman ringan dan yang lainnya untuk acara tersebut, dan tentu saja Sakura juga mengundang teman-temannya.

Ino, yang memang berencana menginap di rumah Sakura sampai prom, datang lebih dulu dan membantu mereka mempersiapkan makanan. Naruto dan Sai datang tak lama setelah Ino, membantu menata meja lipat dan bangku di halaman belakang. Kemudian satu demi satu teman-teman yang Sakura undang datang—Hinata, Shikamaru, Chouji, juga beberapa teman klub dramanya.

Acara berlangsung meriah. Mereka menyetel musik, memanggang daging, membuat permainan, menertawakan kejadian saat wisuda tadi pagi. Sampai menjelang sore, tiba-tiba bel pintu depan berbunyi dan Sakura dikejutkan dengan kemunculan Sasuke. Gadis itu jelas tidak menyangka cowok itu akan datang, mengingat orangtuanya datang jauh-jauh dari Oto dan Sasuke juga mengatakan mungkin ia tidak bisa ikut.

Tetapi bukan hanya kemunculan Sasuke yang membuat Sakura terkejut, melainkan kehadian perempuan paruh baya berambut hitam anggun yang datang bersamanya. Rasanya Sakura hampir pingsan saat itu juga ketika Mikoto Uchiha menyapanya—dan ia benar-benar berharap saat itu tubuhnya tidak berbau seperti daging panggang ketika Mikoto mengulurkan tangan untuk memeluknya. Dan kemunculan Sasuke dan ibunya tentu saja tidak hanya mengejutkan Sakura. Azami ikut heboh menyambut tamu yang tak terduga itu—ia bahkan mengeluarkan anggur terbaiknya untuk menjamu Mikoto.

Ini bukan kali pertama Sakura bertemu dengan ibu Sasuke, tentu saja. Lebih dari satu tahun yang lalu sejak mereka pertama kali bertemu di rumah sakit ketika Sasuke menjalani operasi usus buntu, ini adalah pertama kalinya Sakura benar-benar 'berinteraksi' dengan Mikoto. Berbeda dengan kesan kaku yang dibuat oleh penampilannya yang anggun dan berkelas, Mikoto cepat berbaur dengan teman-teman putranya. Terutama dengan Naruto yang memang mudah akrab dengan orang baru, dan tentu saja Hinata—karena mereka memang sudah kenal lama. Jujur saja Sakura agak iri melihat Mikoto dan Hinata bisa mengobrol dengan begitu lancar.

Namun itu sebelum Mikoto mengikutinya ke dapur saat Sakura mengambilkan air mineral untuknya dan mereka hanya berdua saja untuk pertama kalinya. Mereka bicara cukup banyak—atau Sakura merasa demikian karena ia terlalu sibuk bersikap canggung. Meski demikian, sikap Mikoto yang hangat dan atentif ketika bicara padanya membuat gadis itu merasa nyaman. Tanpa sadar saat berikutnya ia mulai menyerocos seperti keran bocor. Topik pembicaraan mereka tentu saja tidak jauh-jauh dari Sasuke. Mikoto memberitahunya tentang Sasuke yang sudah bercerita banyak tentang dirinya, bertanya padanya bagaimana Sasuke selama di sekolah, pendapatnya tentang putra bungsunya itu, dan topik lain yang Sakura yakin Sasuke bakal sangat malu jika mendengarnya.

Hingga kemudian komentar Mikoto membuat Sakura kehilangan kata-kata.

"Apa katanya?" tanya Ino penasaran ketika Sakura menceritakan kejadian sore itu padanya malam harinya. Saat itu mereka sedang duduk di sofa ruang keluarga, bersantai sambil marathon serial kriminal di saluran tv kabel—tadinya. Sebelum perhatian keduanya teralih sepenuhnya.

Sakura menarik napas dalam, lalu menghembuskannya perlahan sebelum berkata, "Dia bilang dia bersyukur karena Sasuke memiliki seseorang sepertiku. Dia juga bilang terima kasih sudah menjaga Sasuke. Dan—" Sakura mengambil jeda untuk menarik napas lagi, sementara di depannya Ino menatapnya dengan alis terangkat tinggi. Menunggu. "Dan dia bilang akan menyenangkan jika kami bersama Kak Hana bisa menghabiskan waktu bertiga."

"Kak Hana—Hana Inuzuka, kakaknya Kiba Inuzuka?"

"Yeah."

"Tunangannya Kak Itachi? Calon menantunya?"

"Yep."

Ino menatap Sakura selama beberapa saat dengan mulut menganga—sebelum kemudian perlahan berubah menjadi senyum lebar, dan ia mulai memekik kegirangan. Sementara Sakura menutupi wajahnya yang sudah bersemu merah.

"Kalau kau tanya aku, menurutku itu artinya ibunya Sasuke sudah menerimamu. Paham maksudku, kan? Dia menanggapmu sama seperti dia menganggap Kak Hana—calon menantunya!"

"Aku tidak tahu, Ino …" suara Sakura sedikit melengking. Kedua tangannya kini menangkup kedua pipinya.

"Lalu kau bilang apa?"

Sakura menggeleng pelan. "Aku tidak sempat bilang apa-apa, karena waktu itu ibuku masuk ke dapur."

"Ah," Ino tampak agak kecewa. Gadis itu menghela napas, menyadarkan kepalanya ke punggung sofa. Mata birunya menatap Sakura yang masih tersipu-sipu sendiri selama beberapa saat, sebelum mendengus pelan, "Sialan Si Sasuke itu. Bisa-bisanya membuat kesan seolah-olah berkencan denganmu di depan semua orang, padahal tidak. Bahkan bisa membuat ibunya sendiri salah paham."

"Dia tidak membuat kesan seolah-olah berkencan denganku, Ino," kata Sakura membantah, meskipun ia juga penasaran apa yang dikatakan Sasuke tentangnya sehingga membuat ibunya salah paham begitu. Atau sebetulnya malah Sakura sendiri yang terlalu percaya diri sehingga keliru menangkap maksud kata-kata Mikoto?

Ino menatao Sakura tidak percaya. "Benarkah?—Kau benar-benar tidak sadar atau pura-pura bego, sih?" Ino menaikkan kedua kakinya ke sofa, lalu memutar tubuhnya sehingga posisi duduknya menghadap ke Sakura yang duduk di sampingnya. "Hampir semua anak di sekolah kita tahunya kau dan Sasuke pacaran. Kaupikir kenapa cewek-cewek yang dulu agresif mengejar-ngejar Sasuke mendadak berhenti melakukannya lagi?"

"Eeh …" Sebenarnya Sakura juga menyadari hal ini. Surat-surat cinta atau cokelat yang terselip di loker atau laci meja yang biasa ditempati Sasuke sudah tidak segencar sebelumnya—seperti yang hampir tiap hari selalu terjadi pada saat mereka kelas dua. Selama ini Sakura menganggap barangkali mereka sudah bosan melihat barang-barang mereka berakhir di tempat sampah, atau dimakan Naruto. Kalau soal yang lain …

"Karena kalian berdua memang membuat kesan seperti 'pasangan yang sedang berkencan'," Ino menekankan kata-kata terakhir dengan membuat isyarat tanda kutip dengan tangannya. "Pertama, cara Sasuke memperlakukanmu berbeda dengan yang lain. Dia selalu mengistimewakanmu—cerita tentang kejutan ulangtahun festival sekolah itu sudah rahasia umum, Sakura—Tatapannya padamu juga berbeda. Maksudku, sorot mata Sasuke itu selalu tajam kalau memandangi orang lain. Dingin. Menusuk. Tapi saat menatapmu, terutama kalau kau sedang tidak melihat, lumer seperti mentega. Kedua, kalian selalu berdua kemana-mana—"

"Tidak, kok," Sakura membantah. "Di sekolah aku tidak selalu dengan Sasuke. Maksudku, aku hampir selalu sibuk dengan proyek dan kegiatan klub. Sasuke juga sering berkumpul dengan organisasinya. Kami jelas tidak sering bersama-sama di sekolah."

"Aku tidak bilang di sekolah, Sakura. Anak-anak Konoha High juga sering berkeliaran di tempat lain. Tidak hanya sekali dua kali gossip beredar tentang kalian berdua yang tertangkap basah nonton film, nonton teater, jalan-jalan di KCP, makan-makan di tempat street food, pergi ke perpustakaan kota, bahkan belanja si supermarket—BERDUA SAJA."

"Eeh … itu karena rumah kami yang paling dekat, jadi lebih mudah pergi bersama," kata Sakura lambat-lambat, menghindari mata Ino.

Kedengarannya seperti alasan yang sangat lemah dan mengada-ada. Karena jujur saja, seringkali Sakura merasa menemukan ketenangan saat bersama dengan Sasuke, terutama ketika ia sedang kalut atau lelah setelah melewati hari yang berat di sekolah. Bahkan hanya dengan mengobrol ringan atau bersepeda beriringan saat pulang sekolah saja sudah membuatnya lebih gembira. Dari hal-hal kecil berlanjut menjadi ajakan keluar berdua, yang tentu saja tidak pernah mereka sebut sebagai 'kencan'—hanya pergi berdua sebagai sahabat.

"Yang ketiga," Ino melanjutkan, jelas tidak menghiraukan alasan Sakura, "Sasuke sama sekali tidak pernah membantah kalau ada yang berasumsi kalian berdua berkencan. Aku pernah mendengar Shiho bertanya soal kalian, dia malah memasang tampang begini," Ino menirukan ekspresi seringai sok khas Sasuke yang dilebih-lebihkan, membuat Sakura mendengus tertawa. "Lalu nyelonong pergi begitu saja. Tidak jelas. Jadi jangan salahkan orang-orang kalau mereka salah paham."

"Kalau begitu mengapa tidak kau saja yang membantah?"

"Ngapain?" Ino terkekeh. "Seperti kurang kerjaan saja. Lagipula kalian kelihatan imut berdua. Dan kurasa Naruto dan Sai juga sependapat—kau tahu?"

Sakura tersenyum kecut. Tentu saja ia tahu. Termasuk betapa frustrasinya kedua sahabatnya itu melihat dirinya dan Sasuke bersikap seperti orang tolol pada satu sama lain. Padahal semuanya sudah jelas. Sudah terang-benderang.

"Yang ingin kukatakan, Sakura—kalau kau masih mau mendengarkanku soal ini," lanjut Ino kemudian. Ekspresinya serius. "Menurutku sebaiknya kalian resmikan saja. Maksudku, kau menyukai Sasuke, dan cowok itu juga jelas memiliki perasaan terhadapmu dan kau tahu itu. Sejujurnya kadang-kadang, selain mengesalkan, aku juga kasihan melihat kalian berdua. Seperti tersiksa menahan sesuatu. Seperti melihat bom waktu yang sudah dekat waktunya meledak, tapi tidak meledak-meledak—kau tahu maksudku?" Ino mengambil waktu menghela napas, lalu menggeleng-gelengkan kepala. "Aku sama sekali tidak mengerti apa yang menahan kalian. Setahun, Sakura. Kalau aku ada di posisimu, aku bakal meledak."

Mereka terdiam cukup lama. Hanya suara baku tembak yang berasal dari televisi yang mengisi kebisuan di ruang keluarga itu. Sakura memainkan ujung bantal duduk yang sedari tadi dipeluknya sembari memikirkan kata-kata Ino, yang sebetulnya memang itulah yang terjadi padanya, terutama akhir-akhir ini. Dadanya terasa sesak, seperti menahan sesuatu yang hendak keluar. Akan tetapi perasaan ragu masih menghantuinya setiap kali teringat kata-kata yang diucapkan Sasuke musim panas lalu saat mereka berlibur di Kiri.

Bagaimana jika Sasuke benar-benar sudah melupakan perasaannya demi persahabatan mereka?

"Aku harus memastikan perasaannya padaku dulu, Ino," Sakura berkata pelan. "Selama Sasuke tidak mengatakan apa pun, aku tidak bisa berbuat apa-apa."

Ino menghela napas. "Maksudmu, kau mau menunggu Sasuke duluan yang menyatakan perasaannya?"

Sakura mengangkat bahu, kemudian berpaling untuk mengambil kaleng sodanya yang tinggal separuh di atas meja kopi, menyesapnya perlahan.

"Sebenarnya Sasuke pernah menyatakan perasaannya—kalau dia menyukaiku lebih dari sahabat," kata Sakura kemudian, setelah diam lagi agak lama.

"HAH?!" Ino terbelalak. "KAPAN?"

"Setahun yang lalu. Waktu kami di Kiri."

Ino mencengkeram lengan Sakura. Dan untuk beberapa saat gadis itu seperti kehilangan kata-kata saking terkejutnya ia dengan informasi yang baru pertama kali didengarnya ini. Ia tidak tahu harus merasa senang atau marah. "Kenapa tidak cerita?" tuntutnya, setelah menemukan kembali suaranya. "Lalu kau bilang apa?"

Sakura menggeleng sedih. "Aku tidak bilang apa-apa."

"APA?!—KENAPA?"

"Karena aku sedang pura-pura tidur—Waktu itu aku memang sedang sakit betulan, kok!" Sakura buru-buru menambahkan untuk membela diri, ketika dilihatnya Ino sudah siap mengamuk lagi. Kemudian Sakura menceritakan semuanya yang terjadi musim panas itu antara dirinya dan Sasuke. Termasuk insiden memalukan ketika ia tidak sengaja mencium Sasuke.

"Aku tidak percaya kau baru menceritakan hal sepenting ini padaku sekarang," kata Ino, masih tidak habis pikir.

"Bagaimana bisa cerita kalau mengingatnya saja aku sudah malu sekali?" Sakura menggerutu. Lupakan, dan anggap saja tidak pernah terjadi—kata Sasuke dulu. Dan itulah yang mereka lakukan. Mereka tidak pernah menyebut-nyebut soal itu lagi.

"Bisa kubayangkan," komentar Ino, lalu terkekeh. "Astaga … you're such a drama queen."

"Kau kedengarannya seperti Sai."

Ino tidak menggubrisnya. "Dengar, menurutku Sasuke tidak benar-benar melupakan perasaannya—kalau memang benar dugaanku itu yang membuatmu menahan diri. Dia jelas-jelas menyukaimu."

"Aku … tidak tahu," Sakura berkata lambat-lambat.

Sikap ragu Sakura kali ini benar-benar membuat Ino kehilangan kesabaran. "Sebenarnya apa sih yang kautakutkan, Sakura? Kalau kau tidak tahu perasaan Sasuke padamu sekarang, kenapa kau tidak menanyakannya langsung padanya? Atau kalau perlu kau ungkapkan saja perasaanmu padanya duluan—tidak ada yang salah tentang cewek mengungkapkan perasaan duluan. Lagipula kau mau menunggu Sasuke sampai kapan? Jangan sampai menyesal."

Sakura menggigit bibir.

"Pikirkan baik-baik, Sakura. Sebentar lagi kita akan berkuliah, bertemu dengan orang-orang baru yang sama sekali tidak mengetahui tentang hubunganmu dan Sasuke. Jangan salah paham, Sakura, bahkan bagiku, Sasuke itu cowok yang sangat menarik. Dia tampan, cool, pintar, jago olahraga tidak sulit untuk menyukainya—Lihat saja cewek-cewek di sekolah kita ngiler setiap kali melihat Sasuke lewat. Halangan mereka untuk mengejar Sasuke ya karena mereka mengira dia sudah punya pacar: Sakura Haruno! Tapi bagaimana dengan orang-orang baru nanti? Dan bukan tidak mungkin juga Sasuke bakal tertarik. Jangan anggap remeh pesona dewasa gadis-gadis kampus, Sakura. Apalagi di Konoha University banyak yang cantik. Ditambah kalian bakal jarang bersama-sama, tidak seperti di sekolah."

Sakura menjatuhkan kepalanya ke punggung sofa, mengeluarkan suara frustrasi. Sebenarnya apa yang dikatakan Ino sempat terlintas di benaknya belakangan ini—terutama ketika mereka mengunjungi calon kampus mereka. Itulah sebabnya ia menuliskan kata-kata itu untuk Sasuke: 'aku menunggu '—Masalahnya, apakah Sasuke menyadari pesannya atau tidak?

"Kecuali kau memang tidak peduli," sambung Ino sembari meraih mangkuk popcorn yang terlupakan di atas meja kopi dan memasukkan beberapa butir ke mulutnya.

Atau malah Sasuke yang tidak peduli?

"Kau benar. Kurasa aku akan melakukannya."

Ino tersenyum puas. "Gadis pintar."

Tepat saat itu, ponsel Ino yang diletakkan di meja kopi bergetar. Sesaat Sakura bisa melihat nama caller ID dan foto candid Shino Aburame di layarnya sebelum Ino menyambarnya dan bergegas keluar untuk mengangkat panggilannya. Samar-samar Sakura bisa mendengar Ino berbicara dari arah dapur, sementara Sakura kembali tenggelam dalam pikirannya tentang keputusan yang baru saja diambilnya. Dan tentunya dengan masalah baru: entah kapan ia cukup berani untuk melakukannya.

Ino kembali sekitar sepuluh menit kemudian. Wajahnya terlihat agak murung ketika ia menghenyakkan diri ke sofa di samping Sakura. "Sudah sampai mana ceritanya?"

"Penjahatnya sudah tertangkap," Sakura mengendikkan kepala ke layar televisi. "Tapi sepertinya itu cuma kaki tangannya."

"Ah …" Ino tampaknya tidak terlalu memerhatikan. Matanya pun tidak melihat ke arah televisi yang sekarang menampilkan adegan seorang profiler yang sedang menginterogasi pria berhoodie, melainkan ke ponsel di tangannya. Jemarinya yang berkuteks ungu muda tampak sibuk mengetik sesuatu.

"Ada apa?" Sakura menanyainya.

"Shino," Ino menjawab setelah beberapa saat menyimpan ponselnya kembali ke tempatnya semula di meja kopi. "Dia bilang dia jadi datang ke prom besok."

Sakura yang tengah asyik mencemili popcorn langsung berhenti mengunyah. Alisnya terangkat tinggi. "Bukannya katamu dia pergi ke luar kota langsung setelah upacara kelulusan?"

"Rupanya tidak jadi—diundur, tepatnya. Karena …" Ino menarik napas berat sebelum melanjutkan, "karena katanya dia ingin membicarakan sesuatu denganku sebelum pergi. Dia tidak bisa pergi dengan situasi kami yang sekarang."

"Oh." Sakura mengawasi sahabatnya itu selama beberapa saat. "Kau baik-baik saja?"

Ino menggendikan bahu sebagai jawaban dan memaksakan cengiran, seakan berusaha terlihat tidak terlalu peduli. Dan sepertinya Sakura paham kenapa.

Ino dan Shino mulai berpacaran beberapa minggu setelah tahun ajaran lalu dimulai. Sakura memang banyak mendengar cerita dari Ino tentang mereka yang sempat 'pergi bersama' saat liburan musim panas, dan dari situ Ino mulai banyak bicara tentang cowok itu. Awalnya Sakura mengira itu hanyalah summer fling yang pada akhirnya akan menghilang dengan sendirinya, mengingat Shino Aburame sangat jauh dari tipe cowok yang pernah dikencani Ino sebelumnya. Sampai akhirnya Ino memantapkan perasaannya, dan keesokan harinya seantero sekolah dibuat geger ketika keduanya sudah terlihat bergandengan tangan di koridor saat jam istirahat. Dan yang paling membuat orang-orang heran adalah kenyataan bahwa Ino-lah yang pertama menyatakan perasaannya pada cowok itu.

"Aku suka padamu. Kita pacaran, yuk," kata Ino menceritakan pada Sakura bagaimana ia bisa berkencan dengan Shino Aburame. Sesederhana itu.

Sederhana, namun Ino tampak bahagia dengan hubungan mereka. Keduanya memang bukan tipe pasangan lengket yang kemana-mana bersama—seperti umumnya pasangan di Konoha High—tetapi setiap kali mereka bersama-sama, Sakura bisa merasakan bahwa Shino sangat peduli dan menyayangi Ino.

Dan ini adalah rekor pacaran terlama sahabatnya itu. Hampir satu tahun—biasanya hanya bertahan beberapa bulan saja, atau bahkan minggu. Selama itu, hubungan mereka berjalan dengan tidak banyak drama—setidaknya itu yang Sakura perhatikan. Selain keluh kesah Ino soal obsesi aneh pacarnya terhadap serangga, atau omongannya yang selalu berputar-putar, keduanya hampir tidak pernah bertengkar serius.

Sampai beberapa hari setelah pengumuman kelulusan, Ino tiba-tiba mengumumkan sedang break dengan Shino. Agaknya kali ini masalah yang mereka hadapi lebih serius dari biasanya.

"Kami sudah berjanji akan sama-sama mendaftar di Konoha University," cerita Ino ketika Sakura sedang menemaninya berbelanja untuk menghibur diri suatu hari. "Tapi dia malah mendaftar ulang di Redaku. Dia mendapatkan beasiswa di sana dan tidak memberitahuku sampai saat-saat terakhir. Dia tahu aku tidak bisa menjalani hubungan jarak jauh …"

Itulah kali pertama Shino membuat Ino menangis.

"Sebenarnya tidak, aku tidak baik-baik saja," kata Ino setelah terdiam beberapa saat. Ia lalu mendengus, menertawakan dirinya sendiri. "Menyedihkan, ya. Padahal aku sudah berhasil melewati tahun ini tanpa drama—tidak seperti tahun lalu. Tapi sepertinya drama memang tidak bisa jauh-jauh dariku."

"Ino, ini bukan salahmu," Sakura mencoba membesarkan hati sahabatnya itu.

"Memang," Ino meringis. Dia terdiam lagi. "Tapi aku takut."

"Ino …"

Ino menggeleng, seolah melarang Sakura mengasihaninya. Ia lantas menyingkirkan mangkuk popcorn dari bantal di pangkuan Sakura, kemudian merebahkan kepalanya di sana. Menghela napas, Sakura mengusap rambut Ino perlahan.

"Jadi, apa kau akan berangkat dengan Shino besok atau tetap bersama kami?"

"Tetap bersama kalian, kurasa. Kami bertemu di acara prom saja."

Sakura membiarkan Ino berbaring di pangkuannya hingga akhirnya mereka memutuskan untuk pergi tidur lewat tengah malam. Ketika Sakura beranjak dari sofa, ia menyadari bantalnya basah. Namun ia tidak mengatakan apa-apa.

.

.

"Morning, Romeo," sambut Naruto sambil memamerkan cengiran secerah mentari. Kemunculan Sasuke Uchiha di depan pintu rumahnya pagi itu tampak sama sekali tidak mengejutkannya. Termasuk ekspresi wajahnya yang terlihat berbeda dari biasanya—agak gelisah, kantung matanya terlihat seperti ia tidak tidur semalaman.

Mengabaikan sapaan menyebalkan Naruto, Sasuke mengendikkan kepala ke arah mobil berwarna merah yang terparkir di depan halaman. "Sai di sini?"

"Yep." Naruto memiringkan tubuhnya, mengisyaratkan Sasuke untuk masuk. "Tepatnya dia menginap semalam habis dari tempat Sakura. Keasyikan main game sampai lupa waktu. Biasalah."

Sasuke tidak berkomentar. Sai menginap di rumahnya—atau rumah Sasuke—bukan hal baru bagi mereka. Ini sudah menjadi semacam kebiasaan selama setahun belakangan ini. Dalam sebulan, setidaknya Sai menginap di rumah mereka sekali atau dua kali. Biasanya di akhir pekan, jika tidak ada janji kencan. Kebiasaan yang sempat membuat Naruto heran, sebetulnya, mengingat rumah Sai sendiri berada di kawasan elit yang tentunya memiliki tempat tidur besar dan nyaman, tetapi ia seakan lebih senang tidur di lantai kamar rumah teman-temannya dengan hanya beralas karpet dan selimut cadangan yang tipis.

Sasuke menyapa Iruka saat melewati ruang makan—di mana ia sedang membuat kopi untuk dirinya sendiri—sebelum menuju ruang keluarga yang sudah menjadi semacam basecamp mereka setiap berkumpul—karena kamar Naruto terlalu berantakan dan agak berbau ramen. Dan di sanalah Sai, duduk di karpet dengan punggung bersandar pada sofa, sedang memainkan gitar tua Naruto dengan nada mellow. Sai masih mengenakan kaus yang sama seperti yang dipakainya saat ke rumah Sakura kemarin, dan celana pendek lusuh yang sepertinya milik Naruto.

"Kenapa dia?"

Sebelum Naruto sempat membuka mulut untuk menjawab, Sai mendahuluinya dengan nada datar, "Diamlah. Aku sedang menghibur diriku sendiri karena menjadi satu-satunya di antara kita bertiga yang tidak punya kencan untuk prom. Malangnya aku."

Sasuke menaikkan alisnya. Ia sudah tahu tentang Sai yang baru saja putus dengan pacar terakhirnya dua minggu yang lalu. Tetapi seingatnya Naruto juga pergi sendiri, mengingat Hinata tidak jadi datang. Kecuali …

"Hinata memberitahuku tadi malam kalau dia jadi pergi bersamaku ke prom," kata Naruto girang. Rupanya inilah alasan Naruto tampak gembira sekali, pikir Sasuke. Sementara itu, di lantai, Sai menghela napas keras-keras.

"Kenapa tidak ajak Ino saja jadi kencan prom-mu? Sepertinya dia pergi sendiri," usul Sasuke, yang langsung disikut Naruto keras-keras di pinggangnya.

Jemari Sai berhenti memainkan senar. Ia mengangkat kepalanya, tersenyum, namun mata hitamnya menatap Sasuke dingin. "Aku akan berpura-pura tidak mendengar kau mengatakan itu, Sasuke."

"Ah." Sasuke merutuk dalam hati setelah teringat insiden saat mereka kelas dua yang juga melibatkan Ino. Ia terlalu sibuk mencemaskan hal lain sampai-sampai melupakan hal yang cukup sensitif bagi Sai itu. "Sori."

Tawa Naruto kemudian memecah kecanggungan yang tiba-tiba itu. "Ya setidaknya nanti kau dan Ino bisa pergi bersama-sama sebagai single," katanya enteng, lalu menjatuhkan dirinya ke sofa di dekat Sai. "Ino jadi pergi dengan kita, kan?"

"Ya. Dan Ino tidak single, kurasa. Mereka hanya break, bukan breakup," Sai menyahut serius, seakan-akan itu hal yang sangat penting untuk ditekankan. "Dan aku tidak ingin dianggap mengambil kesempatan. Kasihan Ino."

Naruto meringis, tidak tahu harus berkomentar apa selain, "Okeey …" sambil mengambil kotak sari apelnya yang tinggal sedikit, lalu menyeruputnya sehingga menimbulkan bunyi 'srooot' yang cukup keras.

Menghela napas, Sasuke mengambil tempat di kursi bean bag bermotif katak hijau di sisi lain sofa. Naruto mengawasinya termangu selama beberapa saat, menunggu sahabatnya itu mengatakan sesuatu—barangkali melanjutkan obrolan mereka yang tidak selesai saat mereka berkumpul di rumah Sakura kemarin. Naruto tahu sahabatnya itu kepikiran perihal 'surat' yang Sakura tulis untuk mereka, terutama di bagian pesan tambahan untuknya. Sasuke mencoba membicarakan soal itu kemarin, tetapi suasananya tidak terlalu kondusif karena terlalu banyak telinga-telinga yang ingin tahu. Ditambah kedatangan kedua orangtuanya dari Oto membuat waktu dan perhatian Sasuke tersita untuk mereka.

"Jadi, kau sudah punya ide soal surat Sakura?" Naruto menanyai Sasuke. Mendengar itu, Sai ikut menyimak.

"Aku tidak yakin."

"Sudah melakukan usulku buat tanya langsung ke Sakura?"

Sasuke menatap Naruto seakan ia sudah gila. "Tidak. Aku bisa kelihatan bodoh."

"Sekarang juga kau sudah kelihatan bodoh," kata Naruto, nyengir. "Dengar. Aku dan Sai sudah diskusi soal ini, dan menurut kami itu sudah cukup jelas kok."

Sai mengangguk setuju. "Mungkin kau sudah terlalu nyaman dengan posisimu sekarang, jadi tidak menyadarinya."

Sasuke tidak langsung menanggapi. Sepertinya ia sedikit paham apa yang dimaksudkan kedua sahabatnya itu, karena ia sendiri memiliki dugaan, meskipun tidak begitu yakin.

"Tuh, dia malah bengong," Naruto mendengus mengejek.

"Aku tidak bengong!" Sasuke menukas panas. "Hanya berpikir—"

"Itulah masalahmu dari dulu, Sasuke—kebanyakan mikir!" sela Naruto sambil menunjuk puas ke arah Sasuke. "Sebenarnya kau sadar tidak sih dengan apa yang selama ini kaulakukan pada Sakura? Berlagak seperti pacarnya di depan orang-orang—"

"Aku tidak berlagak—"

Naruto mengabaikan protes Sasuke. "—memberinya harapan, yang nyatanya nol besar. Kau seharusnya lihat setiap kali dia menatapmu. Seperti mendambakan sesuatu. Kau ingat insiden waktu kau mencium Sakura tahun lalu?"

"Sasuke pernah mencium Sakura?" kali ini Sai yang menyela. Ia menatap Naruto dan Sasuke bergantian, tampak bingung. "Kapan?"

"Tahun lalu, waktu kita di Kiri. Waktu Sakura kabur."

"Benarkah?" Dahi Sai berkerut. "Bukannya kebalikannya? Maksudku, Sakura cerita padaku kalau dia yang tidak sengaja mencium Sasuke."

"Sasuke cerita padaku dia yang mencium Sakura—kecuali kalau dia membual padaku," kata Naruto, ikut menatap Sasuke penuh tuduhan.

Menghela napas, Sasuke memijat-mijat pangkal hidungnya. Mengapa mereka malah membahas insiden itu lagi, sih? "Sungguh? Kalian mau membahas itu sekarang?"

"Tidak, tidak, menurutku ini penting," kata Sai tegas. "Aku tidak tahu kenapa kau tidak mengatakan kejadian yang sebenarnya pada Naruto, tapi …" Sai terdiam sejenak, tampak ragu. Sebelum kemudian berkata, "Sakura melarangku mengatakan soal ini, terutama padamu, Sasuke. Dia bilang, dia ingin 'menyelesaikan' semuanya denganmu, berdua. Tapi sepertinya urusannya belum selesai sampai sekarang, kan?"

"Aku tidak mengerti …"

"Ya, aku juga tidak mengerti. Jadi apa maksudnya, Sai? Sakura melarangmu bicara soal apa?" tanya Naruto penasaran.

"Sasuke," Sai memulai, memandang Sasuke lurus-lurus, "Alasan kenapa Sakura menciummu, karena saat itu dia baru saja menyadari dia sudah jatuh cinta padamu. Itu adalah dorongan hatinya."

Sasuke memejamkan mata. Hatinya mencelos—ia tahu harus merasa lega, atau sebaliknya. Selama ini ia tidak berani berharap terlalu banyak tentang hubungan mereka. Sasuke selalu menganggap perasaannya satu arah, meskipun terkadang ia merasakan sesuatu yang berbeda dari sikap gadis itu padanya. Sementara itu, Naruto sama sekali tidak tampak terkejut. Ia justru terlihat girang, karena selama ini dugaannya benar.

"Tapi karena waktu itu dia terlalu takut dan malu, dia kabur. Dia takut kau marah dan membencinya karena lancang," Sai melanjutkan, kali ini sambil tersenyum. "Lucu, kan? Padahal dia tahu persis kau menyukainya. Ya, Sasuke, Sakura tahu dari dulu kalau kau menyukainya."

Sasuke tertawa lemah. Kali ini ia benar-benar merasa bodoh.

"Tunggu dulu," kata Naruto menyela, "Waktu itu kau juga sempat bicara padanya, kan, Sasuke? Waktu di pantai—pesta barbeque dengan teman-temannya Kak Itachi?"

"Yeah …" Sasuke menyisir rambutnya ke belakang dengan kasar, merasa frustrasi dengan dirinya sendiri. Saat itu ia terlalu mencemaskan persahabatannya dengan Sakura, sehingga mengesampingkan hal lain yang lebih penting—perasaan Sakura. "Aku bilang padanya, 'lupakan saja'."

Mendengar itu, Naruto yang geram melemparkan bantal duduk keras-keras ke kepala Sasuke. "Bego. Bukankan kubilang aku tidak akan memercayaimu kalau kau bersikap bodoh di depan Sakura?!"

"Sekarang semuanya jadi masuk akal kenapa Sakura menuliskan itu pada Sasuke," kata Sai lagi. "Kau bilang 'lupakan saja' seolah-olah kau menolak perasaannya, membuatnya berada dalam posisi tidak bisa berbuat apa-apa. Itulah yang membuatnya berpikir lebih baik menunggumu mengatakannya sendiri. Karena sikapmu padanya selama ini menunjukkan kalau kau sama sekali tidak melupakan perasaanmu."

Naruto mengangguk-angguk setuju. "Dengan kata lain, selama ini kau menggantungnya."

"Lalu aku harus bagaimana?"—Sasuke menyerah, merasa sudah tidak sanggup lagi berpikir.

"Ya kaupikir sendiri lah, bego," tukas Naruto habis sabar.

"Bisa tidak kau berhenti mengataiku bego?!"

"Tolol, kalau begitu. Kau punya kesempatan dari awal, malah disia-siakan."

Sasuke dan Naruto saling membeliak selama beberapa saat, seakan sudah siap berkelahi, sebelum Naruto berpaling dan mendengus dengan kesal. Ia lantas beranjak dari sofa dan menghilang ke arah dapur sambil menggerundel.

"Kau tahu, Naruto tidak benar-benar marah—"

"Tidak," Sasuke menyela Sai, "Yang dikatakannya benar."

"Yang mana? Kalau kau tolol?" Sai menyeringai kecil.

"Kalau aku menyia-nyiakan kesempatanku," gerutu Sasuke.

"Bukan berarti kau sudah kehilangan kesempatan," kata Sai. Ia menyingkirkan gitar Naruto dari pangkuannya dan menaruhnya di atas sofa, lalu memutar posisi duduk menghadap bean bag tempat Sasuke duduk. "Sudah jelas, kan? Aku paham itu sulit—Naruto juga bilang padaku kalau kau barangkali khawatir kehilangan persahabatan kalian. Tapi tidak ada aturan kau tidak boleh memulai hubungan yang lebih dengan Sakura kalau kalian menginginkannya. Jangan sampai menyesal."

"Betul," Naruto menimpali. Ia baru saja kembali dari dapur membawa dua kaleng minuman ringan, menyorongkan satu ke tangan Sasuke dan memberikan yang lainnya pada Sai. "Jangan sampai menunggu Sakura diambil orang baru kau gigit jari."

Sasuke mendengus kecil.

"Ooh, dia malah tertawa," Naruto tertawa mencemooh. "Jangan sepelekan popularitas Sakura. Di antara kalian bertiga, aku yang paling lama mengenal Sakura, dan sepanjang aku mengenal Sakura, aku tidak pernah melihatnya sepopuler sekarang di antara anak laki-laki," tandasnya.

Sai memberikan anggukan setuju, seraya menyeruput kaleng minuman yang baru dibuka.

"Mereka memang tidak terang-terangan—maksudku, semua orang mengira Sakura sudah punya Sasuke Uchiha sebagai 'pacar'nya, dan mereka sungkan denganmu—mereka bergerilya di belakangmu, asal kau tahu saja. Alasan kerja kelompok, latihan drama, minta bantuan soal pelajaran, ngirim puisi buat dibacakan di radio sekolah, kau sebutkan saja. Ada juga yang pernah tanya padaku makanan favorit Sakura, dan besoknya makanan itu ada di menu kantin! Bahkan si Morio, kau ingat mahasiswa yang praktik mengajar di sekolah kita yang dari Iwa itu? Dia menulis surat cinta untuk Sakura setelah masa praktiknya selesai. Dan berapa orang yang sudah mengajaknya ke prom, Sai?"

"Dua orang," sahut Sai, melempar senyum puas melihat ekspresi masam Sasuke. "Tiga, kalau si anak kelas satu dihitung."

"Hah? Ada anak kelas satu yang ngajak Sakura ke prom?" Naruto malah balik bertanya. "Aku malah baru tahu yang ini."

"Kalian tahu dari mana soal semua itu?" tanya Sasuke gusar.

Naruto menyeringai sombong. "Karena tidak sepertimu, aku sering bergaul dan nongkrong dengan anak-anak lain termasuk junior-junior kita. Telingaku banyak."

"Ruang klub jurnalistik itu seperti tempat berkumpul banyak gosip," tambah Sai. "Apalagi sejak Shino berkencan dengan seseorang yang bisa dibilang sumber hampir segala informasi tidak penting dan skandal di sekolah, kami jadi semakin banyak masukan. Termasuk soal kau dan Sakura."

"Dan kalian tidak pernah memberitahuku?"

"Bukannya tidak ingin memberitahumu. Kami hanya berpikir selama Sakura tidak menanggapi mereka, berarti posisimu masih aman," jelas Sai sambil mengangkat bahu. "Lagipula selama ini Sakura yang malang hanya melihat ke arahmu."

Tanpa sadar Sasuke sedikit membusungkan dadanya. Sudut bibirnya berkedut seperti menahan senyum berpuas diri. Meski demikian, mata awas Naruto tentu saja menangkap gelagatnya. Ia lantas mendengus tertawa.

"Jangan sombong dulu, Sasuke. Intinya sekarang ini di belakangmu banyak cowok yang rela mengantri hanya untuk berkencan dengan Sakura. Sebentar lagi kita akan kuliah, dan Sakura pasti akan bertemu cowok-cowok baru yang tidak akan memedulikanmu sama sekali. Kalau kau tidak mau menyesal nanti, lebih baik segera pastikan posisimu di sisi Sakura: hanya sebagai sahabat, atau lebih dari itu."

"Tidak ada paksaan," kata Sai, tapi nada bicaranya menyiratkan sebaliknya.

"Yap. Jangan kalah dari Sai dong, yang malah sudah berkencan dengan tiga cewek dalam setahun." Naruto tertawa.

"Kau membuatnya terdengar seperti sesuatu yang buruk." Kali ini giliran ekspresi Sai yang berubah masam. Tentu saja kata-kata Naruto tidak salah—ia memang mengencani tiga gadis selama setahun belakangan. Hubungannya dengan Sasame Fuuma berakhir hanya beberapa minggu setelah tahun ajaran baru dimulai. Kemudian ia berkencan dengan dua gadis lain berturut-turut setelahnya, dan sayangnya tidak pernah bertahan lama. Dan dari semuanya, selalu Sai yang dicampakkan.

"Tidak buruk, kok. Hanya patut dikasihani."

"Haha …" Sai tertawa tanpa semangat. Sejujurnya ia—dan ia yakin tidak sendiri—sangat iri dengan hubungan Naruto dengan Hinata Hyuuga. Tanpa berlama-lama Naruto langsung menyatakan perasaannya pada Hinata, begitu ia menyadari sudah jatuh hati pada gadis itu musim panas lalu, dan mulai berkencan setelah mereka pulang dari Kiri. Mereka selalu terlihat manis dan bahagia berdua, sampai-sampai anak-anak di sekolah menyebut mereka sebagai'highschool sweetheart'.

Sementara itu Sasuke sudah tenggelam dalam pikirannya sendiri. Ia akan pulang ke Oto esok harinya setelah prom, dan berencana menghabiskan liburan musim panas di sana. Itu berarti kesempatannya untuk 'bicara' dengan Sakura kurang dari sehari. Kecuali kalau ia berniat menundanya lagi sampai ia kembali ke Konoha.

Tidak! Ia tidak ingin membuat Sakura menunggu lebih lama lagi—tepatnya, ia yang sudah tidak bisa menunggu lagi.

"Aku akan melakukannya," ucap Sasuke tegas. "Malam ini."

"Itu baru temanku!" seru Naruto puas, sambil menepuk bahu Sasuke. "Lihat kan, Sai, dia hanya butuh sedikit dorongan."

"Yeah," Sai mengangguk, mengangkat kaleng minumannya seperti bersulang, "Semoga berhasil. Daaan … aku akan menjadi satu-satunya jomblo—"

Tertawa, Naruto menendang kaki Sai. "Jangan merusak suasana begitu dong."

"Tidak—betulan," Sai menatap Sasuke lama, kali ini sambil tersenyum. "Satu tahun … Sakura pantas mendapatkannya. Kau juga."

"Er … trims."

Sasuke mengangkat kaleng minuman yang tadi diberikan Naruto, lalu menarik kait penutupnya. Seketika suasana haru pecah menjadi kerusuhan, ketika kaleng minuman yang baru saja dibuka Sasuke menyemburkan cairan dingin ke segala arah—terutama ke wajah dan bagian depan kausnya. Sasuke meneriakan umpatan pada Naruto yang tergelak heboh sampai matanya berair, sementara Sai yang terkejut sampai melompat dari duduknya menghindari cipratan air soda yang lengket. Wajahnya yang biasanya pucat sampai berubah merah padam karena tawa.

.

.

Acara menginap semalam bersama Ino tidak berakhir seperti yang diharapkan Sakura. Ino menjadi lebih pendiam dan murung sepanjang malam, membuat Sakura tidak bisa fokus menonton serial yang ingin ditontonnya karena sibuk mencemaskan sahabatnya itu. Bahkan di pagi harinya pun Ino tidak tampak lebih baik.

Karena itulah Sakura bertekad untuk membuat sahabatnya itu lebih gembira hari ini. Lagipula malam ini adalah malam pesta dansa alumni, dimana harusnya mereka bersenang-senang. Dan tidak ada yang lebih baik untuk mengangkat semangat Ino dibandingkan shopping.

Maka setelah sarapan yang kesiangan dan bersiap-siap, Sakura dan Ino berkendara dengan mobil yang Sakura pinjam dari ibunya menuju kota, tepatnya ke sebuah toko fashion sudah lama ingin Sakura kunjungi, Scarlet Sage. Toko itu belum lama buka dan tengah naik daun di kalangan anak muda Konoha. Selain model-modelnya yang unik, segala jenis pakaian dan berbagai pernak-pernik fashion yang dijual di toko itu termasuk sangat terjangkau jika dibandingkan butik-butik mentereng yang ada di Konoha City Square.

Kedua gadis itu cukup lama berada di sana, keasyikan melihat-lihat dan menjajal baju hingga hampir lupa waktu. Menjelang tengah hari mereka baru keluar dari sana, tentu saja dengan menenteng tiga tas belanjaan berisi beberapa potong pakaian dan asesoris yang sebagian besar adalah milik Ino.

Sebelum pergi ke tujuan utama mereka, yaitu menata rambut di salon langganan Ino, mereka memutuskan makan siang di kafe kecil yang menjual pasta dan gelato enak di dekat Senju Park. Saat itu suasana hati Ino sudah jauh lebih baik. Lebih-lebih ketika mereka menertawakan video pendek—yang sepertinya diambil diam-diam—yang dikirimkan oleh Sai. Video itu menampilkan Sasuke yang tampak berang, dengan wajah dan rambut basah kuyup, memaki sambil menunjuk-nunjuk seseorang di luar layar. Suara tawa Naruto dan kekehan geli Sai terdengar di latar belakang. Sasuke yang tampaknya baru menyadari Sai mengambil gambarnya ketika ia menoleh setelah menarik lepas kausnya yang juga basah, dan video diakhiri dengan Sasuke yang kesal menerjang ke arah kamera.

"Mereka berdua itu tidak pernah ada takut-takutnya mengerjai Sasuke," komentar Ino dengan nada geli, sambil memasukkan suapan terakhir gelato pistachio ke mulutnya.

"Yeah. Padahal kemarin mereka baru saja membuatnya berjoget di depan seluruh sekolah," imbuh Sakura.

"Boo … Bicaramu seperti kau tidak terlibat saja," Ino mengacungkan sendoknya ke arah Sakura, terkekeh.

Sakura tertawa kecil, sama sekali tidak membantah. Matanya masih terpaku menatap layar ponsel dimana video Sasuke yang dikirimkan Sai diputar ulang. Wajahnya dihiasi cengiran lebar. Bahkan Sakura juga sama sekali tidak menyadari Ino sedang memerhatikannya sambil tersenyum penuh arti dari seberang meja.

"Aku tahu badan Sasuke bagus, tapi tidak perlu memandanginya terus begitu," goda Ino ketika melirik layar ponsel Sakura. Tampak video tadi ter-pause di bagian saat Sasuke mengangkat kausnya, menampakkan perut dan dadanya yang bidang dengan otot yang sedikit terbentuk. "Nakal."

"Tidak!" Sakura buru-buru memasukkan ponselnya ke dalam tasnya, lalu menyeruput sisa minumannya. Wajahnya bersemu merah. Melihat badan Sasuke yang terbuka bukan hal baru bagi Sakura. Ketika mereka berlibur di Kiri musim panas tahun lalu, bukan sekali dua kali Sasuke berkeliaran di sekitar Sakura tanpa atasan, terutama ketika mereka bermain di pantai. Meski demikian tetap sulit bagi gadis itu menahan diri untuk tidak memandanginya terlalu lama.

Melihat ekspresi panik di wajah sahabatnya itu, Ino lantas tertawa. "Tenang saja. Sebentar lagi itu akan menjadi milikmu, kok."

"INO! Ngomong apa, sih?!" Sakura membelalak pada Ino, tapi tampaknya itu malah membuat gadis itu semakin menjadi-jadi.

"Malah kalau beruntung, Sasuke barangkali akan mengizinkanmu merabanya."

Wajah Sakura yang sudah merah menjadi semakin merah. "Cukup. Sebaiknya kita segera ke salon sekarang sebelum kesorean."

Setelah membayar bill, mereka segera meluncur ke salon—tujuan utama mereka keluar hari itu. Beruntung mereka sudah membuat janji sebelumnya, karena tempat itu lebih ramai dari biasanya. Mereka bertemu beberapa alumni Konoha High yang juga sama seperti mereka, sedang mempersiapkan diri untuk pergi ke prom. Syukurlah, pikir Sakura, karena perhatian Ino teralih oleh mereka dan gadis itu berhenti menggodanya tentang Sasuke.

Dan tidak ada topik pembicaraan yang lebih seru menjelang prom di antara para gadis ketika sedang berkumpul selain tentang siapa yang nanti akan menjadi raja dan ratu prom.

"Menurutku, gelar Ratu pasti Ino, sih. Atau Kalau Raja, kutebak antara Sasuke Uchiha atau Shikamaru Nara."

"Shikamaru? Kau bercanda. Orang waras tidak akan memilih cowok ngantukan jadi Raja."

"Atau Juugo? Dia keren, pendiam dan manis."

"Yeah … tapi sayang sekali dia kurang populer. Omong-omong, Sakura juga bisa jadi sainganmu lho, Ino."

"Bisa jadi. Sakura semakin populer setahun belakangan ini. Untukku, Sai Shimura juga punya kesempatan terpilih. Dia sangat populer, kan?"

"Apa kau sedang berharap bisa berdansa dengan mantanmu atau bagaimana, Ino?"

"Aku sih tetap yakin Sasuke yang bakal terpilih jadi Prom King. Tidak seperti tahun lalu yang punya banyak alumni cowok yang populer, tahun ini semua orang seperti tertutup oleh pesona Sasuke."

"Yeah. Betul."

"Sakura sangat beruntung. Aku benar-benar iri."

"Hei, Sakura. Kalau seandainya aku yang terpilih jadi Prom Queen, kau tidak keberatan kan aku berdansa dengan pacarmu?"

"Eh …" Sakura tidak tahu harus menanggapi apa. "Kenapa tidak?"

Dan Sakura menjadi pendiam selama sisa waktu mereka di salon itu.

"Kata-kata Karin yang tadi tidak perlu kau pikirkan, Sakura," kata Ino padanya ketika mereka sudah meninggalkan salon. Saat itu hari sudah menjelang sore dan mereka sedang berkendara kembali ke rumah Sakura. Rencananya, Sai akan menjemput mereka di sana sebelum bersama-sama berangkat ke prom.

"Memangnya aku kelihatan kepikiran, ya?" Sakura bertanya balik tanpa mengalihkan perhatiannya pada jalanan di depan mereka.

"Jelas sekali. Ekspresimu jadi masam sepanjang rambutmu didandani."

"Aku tidak," tentu saja Sakura segera membantah, meskipun ia tahu yang dikatakan Ino benar—dan Ino juga paham apa yang mengganggunya.

"Dengar. Sasuke tidak akan berdansa dengan siapa pun kalau dia tidak mau," kata Ino.

"Tapi kan sudah tradisinya begitu. Raja akan berdansa dengan ratunya," Sakura berkata pelan, berusaha terdengar tidak peduli. "Kalau Sasuke betulan terpilih jadi Prom King, ya dia akan melakukannya juga seperti yang sebelum-sebelumnya."

Ino menghela napas. "Sudah tradisi bukan berarti harus dilakukan. Dan kau tahu, aku yakin satu-satunya orang yang ingin Sasuke ajak berdansa hanya kau. Lagipula itu cuma dansa."

Sakura terdiam agak lama sementara mobil mereka berhenti di lampu merah. Tiba-tiba saja ia merasa sangat konyol, cemburu pada sesuatu yang belum tentu terjadi. "Kau benar. Itu cuma dansa," ujarnya dengan nada lebih ringan. Cengirannya muncul lagi ketika ia menoleh pada Ino yang duduk di bangku penumpang di sebelahnya. "Kalau kau yang berdansa dengannya, aku tidak keberatan."

"Benarkah?" Ino memicingkan mata, berlagak curiga. "Aku sih senang-senang saja, tapi aku tidak ingin dipelototi sepanjang malam. Jadi mohon maaf."

Tawa keduanya kemudian pecah. Setelah itu suasana perjalanan pulang menjadi sedikit lebih ceria, terlebih ketika stasiun radio yang sedang mereka dengarkan memutar lagu yang sangat mereka kenal—lagu original yang ditulis Shikamaru untuk band mereka yang dimasukkan ke dalam rekaman kompilasi lagu-lagu original bersama beberapa peserta festival band Konoha tahun ini. Dan lagu milik Volatile, band yang digawangi Shikamaru dan yang lain, adalah salah satu yang paling populer sehingga cukup sering diputar di stasiun radio lokal. Mereka mendapatkan royalti, tentu saja, meskipun tidak besar.

Ino langsung membesarkan volume, dan keduanya lantas bernyanyi mengiringi dentuman musik yang sudah sangat mereka hafal, mengikuti suara vokalis utamanya yang tidak bukan adalah Ino sendiri.

Sesampainya kembali di rumah Sakura, kedua gadis itu bergegas berganti pakaian dengan gaun prom yang sudah mereka siapkan dari jauh hari. Mereka hanya memiliki waktu kira-kira satu setengah jam untuk bersiap-siap sebelum Sai menjemput mereka dengan limo-nya—tepatnya limo pinjaman dari kakeknya.

"Kau terlihat seperti bridesmaid," Sakura mendengar Ino berkomentar setelah satu jam mereka berkutat dengan dress dan makeup. Saat itu Sakura tengah membubuhkan lipgloss sebagai sentuhan akhir riasannya di depan cermin.

"Oh, ya?" Gadis itu lantas melangkah mundur untuk memeriksa pantulan dirinya di cermin dengan lebih seksama. Ia mengenakan dress berbahan chiffon berwarna merah burgundy dengan potongan leher v-neck dan aksen lilitan di bawahnya yang melebar dan berlayer mengembang dan jatuh dengan lembut sampai ke mata kakinya ketika ia memutar tubuhnya. Memang terlihat jauh lebih sederhana dibandingkan dress yang dikenakan Ino, tapi Sakura menyukainya. Ia memang ingin terlihat tidak terlalu mencolok, tetapi tetap anggun—dan Ino benar, penampilannnya memang agak seperti bridesmaid.

"Harusnya kau memilih dress yang kutunjukkan padamu waktu itu, yang warnanya merah menyala dan spaghetti strap—"

"Yang itu bagian lehernya terlalu rendah," sela Sakura.

"Justru itu," kata Ino, yang sedang memasang aksesoris di telinganya. Mata birunya berkilat nakal ketika ia mengerling ke arah Sakura. "Kau jadi terlihat hot. Sasuke pasti tidak akan berhenti menatapmu."

"Mulai lagi deh …" keluh Sakura, seraya memutar matanya.

Ino mengikik. Selesai dengan antingnya, gadis itu kemudian berbalik ke arah Sakura. "Bagaimana menurutmu?" tanyanya, sambil mengambil pose bak model. Ino mengenakan dress tulle ungu dengan halter neck beraksen manik-manik berkilau. Kali ini ia memilih dress pendek yang memamerkan kakinya yang jenjang.

Sakura memberinya pandangan—pura-pura—menilai dari atas ke bawah, sebelum kemudian berkata "Menakjubkan. Spektakuler," sambil membuat tanda ok dengan kedua tangannya.

"Aku tahu, Sayang," kata Ino, tampak puas dengan dirinya sendiri.

Sakura melihat ke arah jam dinding, sementara Ino mendudukkan dirinya dengan nyaman di atas tempat tidur Sakura sambil bermain ponsel. Mereka masih punya waktu sekitar tiga puluh menit untuk bersantai sebelum jemputan datang. Sakura memeriksa penampilannya lagi dan merapikan bagian depan rambutnya untuk yang terakhir kali, sebelum kemudian beranjak ke rak di dekat lemari pakaiannya untuk mengeluarkan sepatu dari dalam kotaknya. Rak tersebut terletak di sisi jendela kamar sehingga gadis itu dapat melihat langsung ke halaman depan rumahnya. Dan saat itulah tanpa sengaja Sakura melihat sesuatu yang membuat hatinya mencelos.

"Sasuke?!" Sakura terkesiap.

Di luar sana, di jalan masuk menuju garasi, Sasuke Uchiha baru saja turun dari sepedanya. Pemuda itu tampak rapi dengan setelah tuxedo berwarna hitam, dan rambut yang disisir rapi ke belakang. Sakura buru-buru bersembunyi begitu melihat Sasuke mendongak ke arah jendela kamarnya—dan heran sendiri kenapa ia melakukan itu? Memangnya kenapa kalau Sasuke melihatnya? Dan yang paling membuatnya lebih heran lagi, kenapa Sasuke bisa ada di depan rumahnya? Bukannya nanti Sai akan menjemput mereka di rumah masing-masing? Kecuali jika ada perubahan rencana yang tidak ia tahu.

"Siapa?"

"Sasuke. Di luar," Sakura mendesis, mengendikkan kepala ke luar jendela.

"Hah?!" Ino langsung beranjak ke dari tempat tidur Sakura untuk melihat sendiri. "Ngapain dia di sini? Kau tidak janjian pergi berdua dengannya naik sepeda, kan?"

"Kau bercanda—tentu saja tidak." Sakura lantas bergegas meninggalkan kamarnya dan turun ke lantai bawah. Entah mengapa gadis itu merasa dadanya berdegup kencang serta tak kuasa menahan senyum yang merekah di wajahnya ketika ia setengah berlari menuju pintu depan.

.

.

Sasuke meluruskan tux-nya setelah selesai memarkirkan sepedanya di tepi jalan setapak kecil di samping garasi Sakura—tempat ia biasa memarkirkan sepedanya setiap kali datang ke sana—Kemudian menarik napas dalam-dalam. Ia tahu yang dilakukannya sekarang ini agak impulsif, tetapi ia merasa inilah kesempatannya mengungkapkan perasaannya tanpa terganggu oleh orang-orang yang ingin tahu.

Siapa tahu jika beruntung, malam ini ia pergi bersama Sakura bukan hanya sebagai prom date, tapi juga kekasih resminya. Maka dengan langkah yakin, Sasuke melangkah menaiki tangga teras menuju pintu depan.

Pintu yang kemudian terbuka bahkan sebelum Sasuke sempat menekan tombol bel, menampakkan pemandangan tak biasa yang membuatnya menahan napas: Sakura Haruno dalam balutan gaun panjang, rambut merah mudanya tertata dengan anggun membingkai wajahnya yang dihiasi riasan tipis tetapi menonjolkan warna matanya yang hijau cerah. Mata yang sekarang tampak membulat menatapnya.

"Sasuke," suara Sakura terdengar sedikit terengah, "kukira kau akan menjemput kami bersama Sai dan yang lain."

Sasuke membuka mulutnya, tetapi tidak ada kata-kata yang keluar. Kami?

"Harusnya kau memberitahuku dulu kalau mau kemari duluan," kata Sakura sambil tersenyum.

"Sori," balas Sasuke pelan. Suaranya terdengar aneh. Ia berdeham. "Apa aku mengganggu?"

"Sama sekali tidak!" Sakura menyahut agak terlalu cepat. Seakan menyadarinya, Sakura membuat gestur yang biasa dilakukannya jika sedang gugup—menarik-narik ujung rambutnya. Namun kegugupannya tidak menghalangi gadis itu memandangi Sasuke, seakan sedang menilai penampilannya. "Kau memotong rambutmu!" cetusnya.

Sasuke tanpa sadar mengangkat sebelah tangannya menyapu rambutnya yang sekarang lebih pendek dari biasanya. "Ibuku yang menyuruhku memotongnya kemarin. Katanya sudah terlalu panjang."

"Yeah. Sekarang jadi terlihat lebih rapi," Sakura tertawa kecil. "Dan warna kita serasi," imbuhnya, membuat gerakan seperti mau menyentuh dada Sasuke—tepatnya menyentuh dasi dan vest berwarna merah burgundy yang dikenakan Sasuke di bawah jas hitamnya. Warna yang sama dengan dress yang dikenakan Sakura.

"Ibuku yang memilihkan."

"Ah …"

Jawaban Sasuke menjelaskan keheranan Sakura. Karena seingatnya, ia tidak pernah memperlihatkan atau bahkan memberitahu warna dress-nya pada Sasuke. Lagipula selama Sasuke tidak pernah menunjukkan ketertarikan pada pernak-pernik prom, apalagi sampai menanyakan warna dress-nya supaya serasi—seperti yang biasa dilakukan orang kebanyakan. Tetapi kemarin ia ingat Mikoto sambil lalu menanyakan padanya soal itu ketika mereka mengobrol berdua di dapur. Lengah karena tiba-tiba ditanyai pertanyaan seperti itu, Sakura keceplosan menjawab dengan jujur.

"Aku suka," ucap Sakura kemudian tanpa berpikir. Menyadari kata-katanya, pipi gadis itu merona merah. "Maksudku, aku menyukai penampilanmu. Warna itu terlihat cocok kaupakai. Kau tampak eh … menawan." –Menawan? Sakura, yang benar saja!

"Trims. Kau juga …" Sasuke berdeham, "… terlihat cantik malam ini."

Selama beberapa saat, Sakura hanya menatapnya dengan mata disipitkan. Sebelah tangannya diletakkan di pinggang. "Sungguh? Hanya malam ini? Jadi menurutmu biasanya aku tidak cantik?"

Sekali lagi Sasuke seperti kehilangan kata-kata. Ia ingin membantah, tetapi suaranya tidak mau keluar. Tentu saja Sasuke sama sekali tidak bermaksud menganggap Sakura hanya terlihat cantik malam ini saja. Dan sepertinya Sakura dapat merasakan kepanikannya, karena saat berikutnya tawa gadis itu pecah.

"Aku hanya menggodamu, Sasuke. Tapi ekspresimu lucu sekali—sori."

Sasuke menghela napas lega. Dengan gemas ia lantas menyentil dahi gadis di depannya yang masih sibuk terkekeh-kekeh menertawakan leluconnya sendiri, membuatnya mengaduh. Meski begitu, Sasuke tak bisa menahan diri tersenyum. "Menyebalkan."

Sambil mengusap-usap ringan dahinya, Sakura kemudian bergeser ke sisi pintu. "Mau menunggu di dalam?"

Namun sebelum Sasuke sempat menjawab tawaran Sakura, Ino Yamanaka memilih saat itu untuk muncul dari arah tangga. Kehadiran gadis berambut pirang itu yang tak disangka-sangka kontan saja membuat Sasuke terkejut. Ia mengira akan bisa berduaan saja dengan Sakura, karena ia tahu ibu Sakura juga harus mengurus restoran setidaknya sampai pukul delapan malam, atau bahkan lebih. Dan ini membuat situasinya berubah.

"Kau melupakan sepatumu, Sakura," beritahu Ino, mengayun-ayunkan sepatu hak tinggi milik Sakura yang dinjinjingnya. Pandangannya lalu beralih pada Sasuke. Gadis itu melempar senyum sumringah, sebelum menyapa, "Halo, Sasuke. Ini kejutan."

Aku juga terkejut, pikir Sasuke jengkel. "Yamanaka," ia balas menyapa dengan dingin.

Barangkali merasa kehadirannya menginterupsi sesuatu, Ino lantas buru-buru menyorongkan sepatu yang dibawanya ke tangan Sakura. "Aku akan menunggu di dapur, sekalian cari camilan. Kalian ngobrol berdua saja. Sakura," Ino mengedipkan mata pada Sakura.

"Ino!" Sakura mendesis. Telinganya memerah.

Mengikik, Ino ngeluyur pergi. "Ah … aku lapaar …"

"Kenapa dia di sini?" Sasuke tak bisa menahan nada menuntut dalam suaranya.

"Ino? Dia menginap sejak kemarin," kata Sakura seraya melempar pandang keheranan melihat perubahan suasana hati Sasuke. "Kau baik-baik saja?"

Sasuke mengusap wajahnya, berusaha bersikap lebih tenang. "Yeah. Sori. Hanya kaget—sedikit."

Sesaat Sakura hanya memandanginya. "Kami memang berencana berangkat bersama-sama setelah … kau tahu, ada masalah dengan Shino. Jadi sekalian saja, supaya Sai juga tak perlu memutar arah ke rumah Ino untuk menjemputnya," ia kemudian menjelaskan.

Kerutan samar muncul di antara kedua alis Sasuke. Ia ingat Sai memberitahunya soal Ino yang pergi bersama mereka, tapi tidak pernah menyebut-nyebut gadis itu akan dijemput BERSAMA Sakura di rumahnya. "Sai tidak bilang apa-apa," katanya dengan nada seolah-olah Sai telah melakukan dosa besar terhadapnya.

"Mungkin dia lupa." Sakura mengangkat bahu. "Jadi, mau masuk?"

Sejenak Sasuke tampak ragu. "Sebaiknya di luar saja," katanya kemudian, mengendikkan kepala ke arah bangku outdoor di teras. "Kalau jemputan datang bisa langsung terlihat."

Tentu saja ia hanya mencari-cari alasan—barangkali karena khawatir Ino diam-diam mengawasi mereka atau semacamnya. Untung saja Sakura tidak memaksanya masuk. Gadis itu mengangguk setuju dan meminta waktu memakai sepatu dan mengambil clutch-nya sementara Sasuke menunggu di bangku dengan suasana hati sudah tidak keruan karena rencananya tidak berjalan sesuai keinginan.

Bahkan ketika Sakura sudah bergabung dengannya di teras tak lama kemudian.

"Jadi," Sakura memecah keheningan, memandang penasaran pada paper bag kecil yang dipegang Sasuke sejak ia tiba tadi. "Kau bawa sesuatu untukku?"

Sasuke yang hampir melupakan bawaannya, sedikit tersentak. "Oh, ini? Yeah, ini untukmu," katanya, seraya mengangsurkan paper bag tersebut pada Sakura yang duduk di sebelahnya.

Ia mengawasi gadis itu membukanya dengan antusias, mengeluarkan kotak dari bahan plastik transparan dari dalamnya. Senyumnya merekah melihat isi dalam kotak tersebut. Sebuah corsage cantik dari rangkaian bunga anyelir putih dan baby's breath, dan dihiasi pita transparan yang juga berwarna putih. Serasi dengan boutonniere yang digunakan Sasuke di jasnya.

"Cantik sekali. Terima kasih, Sasuke," ucap Sakura riang. "Jangan bilang ini ibumu juga yang pilihkan."

"Eh …" Sasuke menggaruk pipinya dengan jari, meringis canggung, "sepertinya aku tertangkap basah."

Suara tawa Sakura kemudian terdengar merdu di telinga Sasuke, mengobati sedikit kegusarannya. Gadis itu lalu menyorongkan corsage itu padanya, memintanya membantu memasangkannya. Itulah yang dilakukan Sasuke kemudian, perlahan mengikatkan benda itu di pergelangan tangan Sakura. Kulit gadis itu terasa halus dan hangat di bawah sentuhannya, membuat darah Sasuke berdesir lebih cepat. Ia tak bisa menahan diri untuk berlama-lama menyentuh tangan Sakura, mengusap dengan lembut punggung tangan gadis itu dengan ibu jarinya.

Dan tampaknya Sakura pun tidak keberatan. Ia hanya tersenyum dan balas menatapnya. Mata hijaunya tampak berkilauan di bawah terpaan sinar matahari senja.

Cantik.

"Sasuke?" Suara Sakura menyadarkan lamunan Sasuke.

"Hm?"

"Kau repot-repot kemari tidak cuma mau memberiku corsage ini, kan?" tanya Sakura. Nadanya terdengar ringan, tetapi matanya menatap Sasuke penasaran. Siapa yang tidak penasaran dengan kedatangan Sasuke yang tanpa pemberitahuan?—dan tentunya di luar rencana mereka sebelumnya. Jika bukan karena alasan yang sangat penting, Sakura merasa Sasuke tidak akan melakukan hal seperti ini. Ia pasti akan duduk manis di rumahnya menunggu Sai menjemputnya.

Sepertinya Sakura tahu alasannya—dan sejujurnya, sedikit berhadap. Meski demikian, gadis itu tidak ingin menduga-duga sebelum mendengarnya secara langsung dari mulut Sasuke.

"Ah, itu …" Sasuke membasahi bibirnya, sejenak ragu apakah ia akan mengatakannya sekarang atau—entahlah. Sasuke masih dihantui kecurigaan bahwa Ino diam-diam sedang berdiri di balik jendela, mencuri dengar. Tetapi kemudian ia memutuskan untuk memantapkan hati. Lagipula suasananya sudah sangat mendukung. Sasuke lantas menarik napas dalam-dalam, sementara otaknya berputar cepat memilih kata-kata yang tepat. "Sakura, sebenarnya ada yang ingin kusampaikan padamu," ia memulai.

"Aku mendengarkan," Sakura berkata, nyaris berbisik.

Sasuke berdeham. Tenggorokannya mendadak terasa kering dan tangannya mulai berkeringat. Tetapi matanya tak lepas menatap dalam-dalam gadis yang telah menggenggam hatinya itu. "Sakura, aku—"

Suara pintu mobil dibanting cukup keras membuat keduanya terlonjak kaget. Bersamaan keduanya menoleh ke arah jalan, dimana sebuah taksi yang berhenti di depan halaman rumah Sakura perlahan berjalan pergi—mereka sama sekali tidak mendengarnya datang tadi—Sedangkan penumpangnya, yang tak lain dan tak bukan adalah Azami, ibu Sakura, berjalan menuju ke arah mereka dengan tas jinjing tergantung di lengannya.

Melihat kedatangan ibu Sakura, Sasuke yang tanpa sadar sedari tadi masih memegangi tangan Sakura langsung melepaskannya dan melompat berdiri. Wajahnya sudah semerah dasi yang ia kenakan.

"Sakura! Syukurlah Ibu tidak terlambat! Ibu kira kau sudah berangkat!" seru Azami sumringah seraya tergopoh menaiki tangga teras rumahnya. Senyumnya melebar ketika melihat Sasuke di sana bersama putrinya. "Ah, Sasuke! Apa kau datang menjemput Sakura?"

"Eh—iya," Sasuke menjawab canggung, berusaha memasang senyuman sopan.

"Ooh … lihatlah kalian berdua terlihat sangat serasi," Azami memandang kedua remaja di hadapannya itu penuh sayang.

"Ibu …" Sakura merajuk, tampak agak malu. Ia mengerling Sasuke, tetapi pemuda itu hanya melongo saja—seperti tidak tahu harus menanggapi bagaimana atas 'pujian' ibu Sakura.

"Sakura, di mana sopan santunmu? Kenapa kau biarkan prom date-mu menunggu di luar?" kata Azami pada putrinya, mendadak galak.

Sekarang giliran Sakura yang melongo, tidak yakin apakah ibunya serius atau sedang menggodanya—karena ibunya tahu persis bagaimana perasaan Sakura pada Sasuke. "Ibu, ini cuma Sasuke," protesnya dengan suara melengking.

"Tidak apa-apa," Sasuke menyela cepat, "Lagipula jemputan kami sebentar lagi datang. Kami sengaja menunggu di luar supaya bisa langsung berangkat."

Mendengar tanggapan Sasuke yang serius, Azami tertawa. "Tentu saja, Nak," katanya seraya menepuk-nepuk lengan pemuda itu. "Bagaimana kabar ibumu, Sasuke? Kalian akan lama di Konoha?"

Sakura menahan diri untuk tidak menggeram frustrasi. Gadis itu sangat berharap ibunya cepat-cepat masuk ke dalam rumah dan meninggalkan mereka berdua. Ia sudah sangat penasaran dengan apa yang akan dikatakan Sasuke padanya tadi sebelum Azami menginterupsi mereka. Namun jawaban Sasuke berikutnya tiba-tiba saja membuatnya terdiam.

"Ibuku baik saja," kata Sasuke, "Sayangnya orangtuaku tidak bisa berlama-lama di Konoha kali ini. Besok kami akan pulang ke Oto."

Sakura menoleh cepat menatap Sasuke. Matanya membulat. Kami?

"Kau juga akan pulang ke Oto?" Sakura tidak dapat menahan diri menyela.

Sasuke mengangguk, seraya mengulas senyum menyesal. "Besok siang, yeah."

"Ah, saya sekali," kata Azami seraya menghela napas, "Padahal aku ingin sekali mengundang Mikoto makan siang kapan-kapan."

"Ibuku pasti akan senang menerimanya."

"Kalau begitu titip salam saja untuk ibumu, ya, Sasuke." Azami mengerling putrinya yang tampak gusar, memberinya pandangan bersimpati. Sakura pastilah ingin menghabiskan liburan musim panas bersama pemuda yang disukainya, pikirnya. Sayang sekali. "Kalau begitu sebaiknya aku ambil kamera di dalam. Aku harus memotret kalian sebelum jemputan datang." Azami lantas bergegas masuk ke dalam rumah, meninggalkan kedua remaja yang kemudian sama-sama terdiam.

Suasana menjadi hening selama beberapa saat. Hanya ditingkahi suara ibu Sakura yang mengobrol dengan Ino dari dalam rumah, serta gemerisik pepohonan yang tertiup angin sore. Sasuke mengawasi Sakura dengan perasaan khawatir. Gadis itu memandang ke arah lain sambil menggigit bibir, entah apa yang ia pikirkan saat itu. Yang jelas, kegusaran yang tersirat di wajahnya membuat Sasuke melupakan tujuan utamanya mendatangi Sakura sore itu.

"Kau marah?"

Pertanyaan Sasuke menyadarkan Sakura. Gadis itu mengerjap, lalu menggelengkan kepala sambil mengulas senyum yang tak mencapai matanya. "Aku tidak marah," sahutnya pelan. "Menurutku memang sudah seharusnya kau lebih banyak menghabiskan waktumu bersama orangtuamu."

"Aku akan kembali sebelum Naruto dan Sai meninggalkan Konoha," kata Sasuke, merasa perlu menjelaskan.

Sakura mengangguk, tapi tidak mengatakan apa-apa lagi setelahnya, karena perhatiannya teralih oleh suara pesan masuk di ponselnya. Rupanya pesan dari Sai yang memberitahu posisi mereka sudah dekat. Sakura lantas memanggil Ino untuk bersiap-siap. Tak lama kemudian Ino pun keluar, diikuti oleh Azami yang sudah siap dengan kameranya.

Azami mengambil beberapa foto mereka—Sakura sendirian, berdua masing-masing dengan Sasuke dan Ino, kemudian bertiga—sebelum akhirnya sebuah limousine berwarna hitam yang sudah mereka tunggu menepi di depan halaman rumah. Seorang supir berpakaian jas rapi keluar dari belakang kemudi, bergegas membukakan pintu penumpang. Kepala berambut pirang Naruto muncul mengintip dari dalamnya dengan senyum lebar. Mata birunya berbinar ketika melihat ibu Sakura memegang kamera, dan langsung bertanya apakah mereka boleh ikut berfoto bersama.

Dan saat berikutnya dua penumpang lainnya: Sai yang menggunakan setelan tux serbahitam dan Hinata yang tampak sangat anggun dengan dress berwana royal blue yang menjuntai hingga ke bawah mata kaki, ikut turun bersama Naruto. Sementara Naruto sendiri mengenakan tux abu-abu dengan dasi kupu-kupu berwarna burnt orange. Boutonniere sunflower yang ia gunakan di jasnya serasi dengan corsage Hinata.

Berenam mereka berpose di samping limo, dengan Naruto dan Hinata—yang merupakan satu-satunya 'pasangan resmi'—berdiri di tengah. Ino sambil bergurau berkomentar kalau mereka terlihat seperti sepasang pengantin dan para pendampingnya, membuat pipi Hinata merah padam dan Naruto tertawa salah tingkah tapi tampak senang. Setelah mengambil beberapa foto lagi, mereka pun akhirnya berangkat.

Begitu naik ke dalam limo, Sakura ternganga. Maklum saja, ini adalah kali pertama ia masuk ke dalam jenis kendaraan yang terkenal mewah ini. Yang ia sadari pertama kali tentu saja adalah ukuran kabin yang lebih luas dari mobil biasa, dengan interior yang didominasi warna hitam dan cokelat kayu. Jok kulit berwarna hitam yang tampak mewah memanjang di satu sisi mobil membentuk leter L di bagian belakang. Sementara di sisi lain terdapat semacam mini bar dengan wadah es yang biasanya untuk mendinginkan wine atau champagne. Tetapi alih-alih minuman beralkohol, wadah itu diisi dengan beberapa botol dan kaleng minuman ringan. Selain itu tersedia juga mangkuk berisi permen kristal dan beberapa camilan.

Sai menjelaskan bahwa mobil itu biasa digunakan kakeknya untuk menjamu tamu yayasannya—termasuk beberapa pejabat Konoha—dan mereka diizinkan meminjamnya, berikut supir. Mereka sangat beruntung, pikir Sakura, karena biaya untuk menyewa limo lumayan mahal. Anak-anak di sekolahnya bahkan bisa patungan lebih dari 10 orang untuk mendapatkan limo yang bagus, dan mereka praktis harus berdesakan di dalamnya. Sementara Sakura dan teman-temannya hanya berenam sehingga mereka masih punya banyak tempat. Dan yang paling penting, tidak ada biaya yang harus dikeluarkan.

Mereka tidak langsung menuju ke sekolah, melainkan mampir dulu ke restoran steak yang telah mereka reservasi sebelumnya. Restoran itu rekomendasi dari kbelakak laki-laki Sasuke, Itachi, yang katanya adalah restoran favorit Hana. Letaknya agak di pinggir kota. Bukan restoran yang supermewah memang, tetapi menu steak-nya sangat lezat.

"Jadi, sudah kaulakukan?" Naruto menatap Sasuke yang duduk di sebelahnya penasaran. Di sisi lain Sasuke, Sai ikut mendengarkan. Saat itu mereka baru selesai makan dan sedang menunggu pelayan membawakan tagihan. Sementara para gadis sedang pergi ke kamar kecil.

Sasuke mengambil waktu menenggak air mineralnya, kemudian menghela napas seraya menggeleng. Melihat itu, cengiran di wajah Naruto lenyap seketika.

"Hah? Kenapa?" tanya Naruto, jelas-jelas kecewa.

"Kau lihat sendiri kan—ada Ino bersamanya!" sahut Sasuke tak sabar, seakan itu sudah sangat jelas. "Dan ibunya," ia menambahkan lebih pelan.

Tetapi Naruto malah memandangnya bingung. "Memangnya kenapa kalau ada Ino dan ibunya?"

"Dia takut Ino mencuri dengan dan membuatnya menjadi bahan gosip," tebak Sai sambil menyeringai kecil, tanpa tahu tebakannya tepat sasaran, kecuali yang kedua.

"Memangnya kapan Sasuke peduli dengan gosip?" kata Naruto, memutar matanya. "Semua orang sudah tahu tentang Sasuke dan Sakura. Atau jangan-jangan ini pertama kali kau menyatakan cinta? Aku tidak pernah tahu kau menyukai orang lain sebelum Sakura."

Sasuke mendengus kecil. Tentu saja ini bukan yang pertama kali bagi Sasuke. Dulu pernah—pada gadis yang sekarang menjadi kekasih Naruto. Tetapi itu cerita lama yang sudah ia lupakan, dan Sasuke tidak berminat membahasnya lagi, terutama dengan Naruto. Maka ia memilih untuk mengabaikan pertanyaan Naruto.

"Sakura baru tahu aku pulang ke Oto besok," ujarnya, lalu menggeleng pelan. "Bisa kalian tebak, suasananya jadi tidak enak."

"Ah." Ekspresi Naruto seperti tidak tahu harus berkomentar apa.

"Kalau kau memang berniat melakukannya sebelum pulang ke Oto, masih ada waktu," kata Sai berusaha membesarkan hati, "Mudah-mudahan suasana hati Sakura membaik saat pesta nanti. Kau bisa membuat momen yang pas. Kami bisa membantu kalau kau mau."

Naruto mengangguk setuju. Sedangkan Sasuke hanya berharap semuanya bisa berjalan semudah yang dikatakan Sai.

Tak lama kemudian, tagihan datang. Setelah membayar makanan masing-masing, mereka segera meluncur ke Konoha High.

.

.

Langit sudah gelap ketika mereka akhirnya tiba di Konoha High, dan tempat itu sudah ramai dengan para alumni—dan siswa—yang berdandan lebih wah dari biasanya. Para gadis terlihat cantik dengan dress berbagai warna, begitu juga dengan anak laki-laki yang tampak keren dengan setelah resmi mereka. Suasana yang mengingatkan Sakura pada pengalaman prom tahun lalu. Yang membedakan, tentu saja, adalah tema acaranya. Tahun lalu mereka menggunakan tema Masquerade Ball yang elegan, sedangkan tema tahun ini adalah Hollywood yang trendi.

Pernak-pernik yang sesuai dengan tema acara sudah menyambut para tamu bahkan sebelum memasuki gedung. Beberapa standee aktor dan aktris terkenal dipasang di beberapa tempat di sepanjang karpet merah yang digelar dari tangga luar melalui pintu utama hingga memasuki lobby depan. Patung besar berbentuk seperti piala Oscar menghiasi salah satu sudut. Juga segala pernak-pernik berbau perfilman lain seperti tiruan clapper board dan roll film turut menghiasi lobby, bersama balon-balon berwarna emas dan perak.

Sejak mereka memasuki lobby, Sakura menyadari partnernya menjadi pusat perhatian. Seperti dua anak perempuan kelas satu yang bertugas di meja registrasi tak hentinya melirik ke arah Sasuke, saling berbisik dan mengikik, lalu dengan semangat sedikit berlebih menyodorkan booklet pada Sasuke bahkan sebelum pemuda itu mengisi buku tamu. Dan kedua junior mereka itu tentu saja tidak sendiri. Beberapa menyapa kelewat akrab, membuat Sasuke agak rikuh. Beberapa yang lain, yang tidak benar-benar mengenal Sasuke, diam-diam memotretnya dengan kamera ponsel.

Bukan hal yang aneh bagi Sakura sebenarnya. Dulu mungkin ia akan menganggap itu hal yang lucu, tetapi malam ini entah kenapa semua perhatian itu sedikit mengusiknya. Maka, entah ia menyadarinya atau tidak, Sakura selalu memegangi lengan Sasuke erat-erat. Setidaknya sampai mereka menjauhi meja registrasi untuk menghindari kerumunan, sambil menunggu Naruto dan yang lain, Sasuke mengambil tangan Sakura yang mencengkeramnya.

"Lenganku bisa biru-biru besok kalau kau memeganginya sekuat itu," komentarnya datar, lalu dengan santai menyelipkan jemarinya di sela-sela jemari Sakura.

Gadis itu terbelalak, terkejut dengan tindakan Sasuke yang begitu tiba-tiba. Masalahnya Sakura tidak ingat Sasuke pernah menggandeng tangannya dengan cara seperti itu. Dan kenapa telapak tangan Sasuke terasa begitu hangat di kulitnya? Membuatnya merasa seperti meleleh di dalam.

"Sori," Sakura membalas, tapi suaranya terdengar melengking dan aneh. Ia buru-buru melihat ke arah lain, berpura-pura mengagumi dekorasi yang dipasang komite prom untuk menyembunyikan wajahnya yang merona.

Sasuke yang menyadarinya diam-diam menghembuskan napas lega. Setelah apa yang terjadi sebelumnya—pernyataan cinta yang gagal dan Sakura hampir tidak bicara dengannya selama perjalanan—Sakura tidak menepis tangannya saja sudah membuatnya merasa lebih tenang.

"Maaf soal yang tadi."

Mendengar Sasuke bicara padanya, Sakura menoleh cepat. "Yang mana?" tanyanya bingung.

"Soal aku tidak memberitahumu sebelumnya kalau aku akan pulang ke Oto besok," jelas Sasuke pelan.

Tatapan Sakura melembut ketika gadis itu tersenyum padanya. "Kan sudah kubilang aku tidak marah."

"Aku tahu," Sasuke mengangkat bahu. "Aku hanya merasa harus meminta maaf. Kau tahu—harusnya aku memberitahumu lebih awal."

"Tidak apa-apa, Sasuke. Kalau bilang begitu kesannya seperti kau tidak akan kembali lagi ke Konoha. Tidak, kan?"

Sasuke mengulum senyum. "Tidak."

"Jadi tidak ada masalah," kata Sakura ringan seraya mengangkat bahu.

Tak lama Naruto dan yang lain bergabung dengan mereka, dan mereka berfoto bersama-sama di depan depan back drop yang dihiasi tulisan 'Konoha High's Senior Prom', tahun, yang ditulis ala judul film, lengkap dengan beberapa logo sponsor—yang Sakura ragu apakah benar-benar sponsor atau hanya asal comot supaya terlihat lebih keren. Sakura merasa sedang menghadiri gala premiere, dan difoto oleh serombongan reporter. Hanya saja mereka bukan reporter betulan, melainkan junior mereka yang memang bertugas mendokumentasikan acara.

Selama beberapa waktu mereka bersenang-senang di sana, terutama para gadis yang kerajingan mengambil foto dengan berbagai pose—menyuruh Sai menjadi tukang foto dadakan menggunakan kamera ponsel mereka. Ino dengan percaya diri melakukan pose bak model seperti yang dilakukannya di rumah Sakura sebelumnya, membuat teman-temannya tertawa.

Puas berfoto, mereka memutuskan untuk sudah saatnya pergi ke aula, tempat acara utama diadakan. Mereka melewati koridor yang lantainya telah disulap menjadi semacam walk of fame, dimana nama-nama alumni yang berprestasi dipasang pada kertas emas berbentuk bintang, dengan simbol yang disesuaikan dengan prestasi mereka. Sakura menemukan namanya dengan simbol topi toga, bersama lima besar lulusan terbaik tahun ini termasuk Sasuke. Nama Naruto juga ada di sana dengan simbol bola sepak. Selain itu poster-poster film dipasang di sepanjang dindingnya. Tentu saja itu bukan poster film biasa, melainkan foto-foto alumni yang dibuat seperti poster film.

Sebenarnya ini adalah ide dari klub jurnalistik dan fotografi, dengan membuat foto unik bertema film untuk dimasukkan ke buku tahunan supaya tidak terlalu membosankan dengan hanya memajang pas foto biasa. Dari jauh-jauh hari semua siswa senior sudah harus memutuskan model poster film yang mereka inginkan—boleh sendiri, berdua atau rombongan—dan pengambilan fotonya dilakukan sejak semester genap setiap akhir pecan, atau kapan pun waktu luang. Mereka juga menyiapkan sendiri kostumnya. Dan tentu saja semuanya harus sesuai dengan batas 'rating' yang diperbolehkan oleh kepala sekolah: tidak boleh lebih dari PG-13.

Ini kemudian menjadi inspirasi komite prom untuk membuat tema acara yang serupa di akhit tahun ajaran, dan mereka meminta izin untuk memajang beberapa gambar menurut mereka yang paling bagus. Salah satu yang terpilih adalah poster ala film Black Swan dengan model Sakura Haruno sendiri—yang membuat gadis itu menahan napas ketika melihat wajahnya sendiri terpampang di salah satu poster yang terpajang, karena ia sendiri memang belum pernah melihat hasil akhir fotonya.

"No way …"Sakura bergegas menghampiri posternya, menyeret Sasuke bersamanya. Ia hanya bisa ternganga selama beberapa saat.

"Kau suka?" tanya Sai yang ikut berdiri di samping Sakura. "Aku yang mengeditnya, lho."

"Kau bercanda. Bagaimana bisa kulitku jadi mulus sekali?" Sakura geleng-geleng, teringat jerawat bulanan yang ia alami cukup parah sebelum foto itu diambil. Ia juga ingat bagaimana perjuangan Ino, yang saat itu menjadi makeup artist-nya, mendempul semua noda bekas jerawat itu dengan foundation.

"Well, sebenarnya itu bagian yang paling sulit. Kulitmu jelek sekali waktu itu." Sai mengendikan bahu.

Sakura hanya tertawa saja. Ia sudah sangat terbiasa dengan kebiasaan Sai bicara ceplas-ceplos. Namun perkataan Sasuke lah yang kemudian membuat perhatiannya sedikit teralih.

"Kulit Sakura tidak seburuk itu. Tidak ada yang salah dengan sedikit jerawat."

Sakura menggigit bibirnya, berusaha untuk tidak tersenyum terlalu lebar. Sementara di sisi lain Sakura, Sai melempar senyuman penuh arti pada Sasuke—yang membalas dengan berkata "Apa?" tanpa suara di belakang gadis itu.

"Yah … bagaimanapun juga, aku sangat menyukainya, Sai. Trims," ucap Sakura pada Sai. Dan ia tentunya juga menyukai hasil akhir makeup yang dibuat Ino, terutama riasan matanya yang dramatis. Sakura menoleh dan mengedarkan pandangannya ke sepanjang koridor itu, mencari sosok Ino di antara rombongannya tadi. Tetapi sahabatnya itu tidak terlihat di mana pun. Ia hanya melihat Naruto dan Hinata yang sedang melihat salah satu poster di seberang koridor—poster rombongan klub jurnalistik ala film Mamma Mia. Naruto tampak sibuk menertawakan pose Kiba dan ekspresi Sai.

"Mana Ino?"

"Terakhir kulihat tadi bersama Shino," jawab Sai.

"Shino?"

Teringat bagaimana ekspresi Ino setelah Shino meneleponnya semalam, tiba-tiba saja Sakura menjadi agak khawatir. Tetapi jika dipikir-pikir lagi, setelah membiarkan masalah menggantung beberapa minggu, mereka memang perlu bicara. Lagipula memang itu kan tujuan Shino datang malam ini? Untuk menyelesaikan apa pun masalah yang mereka hadapi sekarang. Sakura hanya berharap Ino bisa melewatinya.

"Sebaiknya kita masuk sekarang. Barusan Shiho memberitahuku acaranya sudah mau mulai," Hinata memberitahu mereka, sambil mengangkat ponsel di tangannya.

Sakura sudah tidak lagi terkejut ketika memasuki aula sekolah. Tempat itu sudah didekorasi sama indahnya seperti prom tahun lalu. Dengan meja-meja bundar bertaplak linen hitam dengan aksen emas atau merah disusun di setiap sisi ruangan, mengelilingi area yang dibiarkan kosong untuk lantai dansa. Di atas panggung yang juga telah didekorasi sesuai tema, diletakkan beberapa instrumen serta tempat untuk DJ memutar musik.

Meja camilan, seperti biasa, juga tersedia di sudut ruangan. Bedanya, alih-alih meletakkan minuman dalam mangkuk kristal besar seperti tahun lalu, sekarang mereka menggunakan beberapa dispenser untuk berbagai macam minuman, mulai dari limun, soda hingga air mineral. Lebih praktis, dan tanpa kekhawatiran ada orang iseng yang memasukkan sesuatu ke dalam minuman. Mereka juga menyediakan berpiring-piring canapé dan cup cake tower aneka rasa yang terlihat sangat menggiurkan untuk snack-nya. Melihatnya saja sudah membuat lapar, padahal mereka baru saja makan malam tadi.

Namun mereka tidak ada waktu mengambil camilan sekarang, karena tempat itu sudah hampir penuh dengan para tamu dan mereka harus mencari meja kosong kalau tidak mau terpaksa melewatkan malam sambil berdiri. Saat itulah mereka melihat Shiho melambaikan tangan ke arah mereka dari salah satu meja yang tampaknya kosong dan hanya terisi dua orang: Shiho dan Kiba Inuzuka. Dan tidak heran mengapa tempat itu masih kosong—karena meja para guru tepat berada di sampingnya. Ditambah ada kepala sekolah juga di sana.

Ketika mereka sudah duduk, ternyata meja mereka sama sekali tidak kosong—maksudnya, selain hiasan bunga imitasi dan mangkuk lilin—Sudah ada tiga piring canapé dan beberapa buah cup cake di sana. Sakura memperhatikan sekelilingnya dan menyadari hanya meja yang mereka tempati dan meja para guru yang tersedia makanannya.

"Aku sengaja minta pada panitia," Shiho memberitahu Hinata dalam bisikan yang cukup keras sehingga terdengar oleh Sakura di antara suara alunan musik. Gadis berkacamata itu tampak puas dengan dirinya sendiri saat mengatakannya. "Mumpung semua orang masih jaga image. Tahu sendiri semakin malam mereka akan semakin kalap, apalagi di depan makanan enak."

"Tidak ada yang bisa tenang di depan makanan enak gratis," gumam Sai sambil mengangguk-angguk setuju, meski suaranya terdengar geli.

"Sederhananya, dia sudah kalap duluan alias tidak tahu malu," timpal Kiba seenaknya sambil mencomot satu canapé dari salah satu piring di hadapannya.

Shiho dengan cepat menepak keras punggung tangan Kiba, membuat pemuda itu mengaduh dan kudapan di tangannya terjatuh. "Kau sudah makan tiga canapé dan satu cup cake, ya, Kiba. Padahal sudah kubilang tunggu Hinata dan yang lain. Jadi siapa sekarang yang tidak tahu malu?"

Kiba membuat ekspresi mencibir sambil mengusap-usap punggung tangannya yang memerah.

"Dan tentu saja kita juga harus berterimakasih pada Sasuke di sini," tambah Shiho, menatap Sasuke yang duduk beberapa bangku darinya sambil tersenyum hikmat. "Karena waktu aku bilang Sasuke Uchiha akan duduk di sini, urusannya jadi mudah. Anak-anak itu dengan senang hati mengeluarkan semua yang mereka punya untukmu."

Semua orang di meja mereka tertawa, kecuali Sasuke—tentu saja. Siapa yang senang namanya dicatut seenaknya seperti itu? Meski demikian, ia tidak mengatakan apa-apa. Terutama ketika melihat gadis yang duduk di sampingnya tertawa sambil memegangi lengannya, kekesalannya menguap secepat datangnya. Ia bahkan tidak mendengarkan komentar Naruto tentang 'popularitas'-nya yang menguntungkan.

Perhatiannya hanya teralih ketika MC naik ke atas panggung dan membuka acara. Seperti yang sudah-sudah, acara dibuka dengan bagian paling membosankan dari keseluruhan acara, yaitu sambutan-sambutan. Sasuke bersyukur kali ini ia tidak ditimpakan tanggung jawab untuk memberikan pidato, karena jabatannya di organisasi sekolah sudah selesai dan dia bukan ketua angkatan.

Sambutan dimulai dari perwakilan guru, tahun ini langsung oleh kepala sekolah sendiri, Tsunade Senju. Isi sambutannya tidak seformal saat memberikan pidato kelulusan hari sebelumnya, tentu saja, namun tidak meninggalkan ciri khasnya yang galak dan menggebu-gebu. Aula nyaris tak bersuara ketika perempuan paruh baya yang dijuluki 'Penguasa KHS' oleh para siswa itu bicara. Sambutannya diakhiri dengan peringatan galak pada para tamu untuk tetap menjaga sikap.

Pada sambutan kedua, Sakura mulai tampak gelisah. Sesekali ia menoleh ke arah pintu masuk, lalu menjulurkan leher dan mengedarkan pandangannya di antara para tamu. Namun tampaknya apa yang ia cari tidak tampak di mana pun, sampai ketika siswa yang menjadi ketua organisasi sekolah tahun ini naik untuk memberikan sambutan terakhir, Sakura akhirnya melihat sosok Ino menyelinap masuk, menggandeng tangan Shino Aburame di belakangnya.

Sakura mengawasi Ino memandang berkeliling, tampaknya mencari bangku yang masih kosong. Sakura berusaha melambai, tapi Ino tidak melihatnya. Sampai akhirnya Shino menunjuk ke satu arah dan mereka segera menuju meja di seberang ruangan tempat Sakura dan yang lain duduk, yaitu meja yang ditempati rombongan Shikamaru Nara. Ino terlihat menyapa gadis yang sepertinya prom date Shikamaru—seporang gadis berambut terang yang sepertinya bukan siswi sekolah mereka. Ya, mereka memang diperbolehkan mengundang orang dari luar sekolah sebagai prom date. Malah, tadi Sakura melihat ada yang membawa ibu mereka.

Sakura merasa sedikit lega. Setidaknya ia masih melihat Ino tersenyum—dan Shino pun tampak kalem. Tidak ada tanda-tanda pertengkaran atau semacamnya.

Selesai acara sambutan, lampu-lampu dalam ruangan itu diredupkan kecuali lampu di atas panggung, diikuti suara musik seperti sountrack film dari pengeras suara. Gemuruh sorakan dan tepuk tangan memenuhi aula ketika screen proyektor yang telah dipasang di salah satu sudut mulai memutar bagian pembukaan dari film dokumenter amatir yang sudah mereka tunggu-tunggu. Ini juga merupakan proyek angkatan mereka yang sudah mereka garap dari awal tahun. Penggarapannya melibatkan hampir semua siswa angkatan mereka, termasuk beberapa junior mereka yang menjadi sukarelawan.

Mereka merekam banyak momen di sekolah, yang sebagian besar diambil secara candid. Mulai dari yang penting seperti kegiatan belajar di kelas dan laboratorium, kegiatan klub, pertandingan olah raga, festival sekolah. Dan lebih banyak lagi yang tidak penting, seperti kelakuan-kelakuan aneh dan lucu siswa selama jam belajar, orang pacaran, orang bertengkar, prank, menangkap basah siswa yang menyelundupkan bir, merokok di atap gedung—yang membuat mereka semua kehilangan akses di tempat itu selamanya—merekam siswa-siswa yang tampan/cantik dengan editan dan komentar menggelitik, termasuk guru favorit, security favorit, menu kantin favorit, dan banyak lagi, termasuk wawancara santai dan kocak dengan beberapa siswa dan guru.

Semua orang tertawa dan bersorak di satu bagian, mengerang dan mencemooh bahkan marah di bagian yang lain. Tidak ada yang benar-benar diam ketika film diputar. Dan ketika cuplikan upacara kelulusan hari sebelumnya, termasuk ketika Sasuke dan Sai beraksi di podium setelahnya, seisi aula seperti meledak bersamaan dengan kepala-kepala yang menoleh pada dua pemuda itu—yang sama-sama menerima semua perhatian itu dengan bersikap cool.

Hingga bagian akhir dimana kamera menyorot koridor yang ramai dengan para siswa yang lalu-lalang dan mengobrol, kemudian sekonyong-konyong menjadi kosong. Ketika kutipan 'School Times End, But Memories Last Forever'muncul dengan latar koridor kosong, seisi aula mendadak hening seperti ada yang mengecilkan volume. Beberapa tampak menyeka mata mereka yang basah, beberapa yang lain berpegangan tangan dengan teman mereka. Sampai akhirnya ada yang memecah keheningan dengan tepuk tangan, lalu diikuti yang lain, dan saat berikutnya aula sudah dipenuhi sorak-sorai.

"Ngaku kalian, siapa yang merekamku tadi?" Naruto berseru ketika layar memutar credit scene. Ia merujuk pada salah satu adegan dalam film dimana memperlihatkan ia tertidur di kelas dengan posisi mendangak dan mulut terbuka lebar sebelum Sai menutupi wajahnya dengan selembar tisu.

Mengikik, Sakura teringat reaksi kocak Naruto ketika melihat wajahnya yang tampak tidak keren itu muncul di layar—melompat dari tempat duduknya dan berteriak sambil menunjuk layar—Gadis itu lantas mengangkat tangannya. "Sori, Naruto. Soalnya tampangmu lucu sih."

"Sakura …" geram Naruto, seakan Sakura sudah melakukan pengkhianatan besar padanya. Tapi tentu saja ia tidak benar-benar marah, karena saat berikutnya ia malah tertawa. "Tapi bagian Sasuke kocak, sih." Naruto lantas menirukan gaya Sasuke menyisir rambut menggunakan jarinya dengan ekspresi dilebih-lebihkan.

Kini giliran Sasuke yang menggeram, sekuat tenaga menahan diri untuk tidak melempar cup cake ke wajah menyebalkan temannya itu. Lagipula, bisa-bisanya mereka membuat lima belas detik parade dirinya sedang menyisir rambut dengan jari, lengkap dengan slow motion dan efek hati merah jambu jelek. Dan Sasuke sama sekali tidak menyadari ia memiliki kebiasaan seperti itu sampai bisa dibuat kompilasi segala. Sai masih agak mendingan, digambarkan sebagai cowok tampan yang murah senyum dengan membuat kompilasi dirinya sedang tersenyum di berbagai kesempatan dengan efek suara bayi dan durasi lebih singkat.

Mereka masih membahas film tadi selama beberapa waktu selagi credit scene bergulir. Sampai akhirnya lampu yang semula redup kembali terang dan DJ mulai memainkan musik upbeat, kemeriahan pesta dansa pun dimulai. Para tamu mulai meninggalkan meja mereka untuk turun berdansa atau menyerbu meja makanan. Naruto mengajak Hinata turun ke lantai dansa, begitu pula dengan Shiho dan Kiba—lebih tepatnya Shiho menyeret Kiba yang malas-malasan ke lantai dansa—meninggalkan Sai, Sasuke dan Sakura bertiga di meja mereka.

Selama beberapa waktu, tidak ada yang bicara di antara mereka bertiga. Meski begitu, Sakura tampak menikmati musiknya, kepalanya terangguk-angguk mengikuti irama sambil menonton teman-temannya bersenang-senang di lantai dansa. Nyengir sendiri melihat Naruto yang heboh dan Hinata yang menari malu-malu di antara kerumunan. Ino juga ada di sana, berdansa dengan Shino yang tampak kikuk. Sesekali Ino terlihat tertawa, lalu menyandarkan kepalanya ke bahu pemuda di depannya.

Dari ekor matanya, Sasuke memerhatikan Sakura menopang dagu sambil tersenyum-senyum sendiri. Sesekali gadis itu menoleh pada Sasuke dan tertawa kecil mengomentari sesuatu yang lucu di kerumunan anak-anak yang berdansa. Karena suara musik yang keras, Sakura harus mencondongkan tubuh ke arahnya supaya suaranya terdengar. Jujur saja, Sasuke tidak begitu menangkap apa yang Sakura katakan saat itu, karena ia terlalu … terdistraksi. Terlebih ketika ia menangkap basah Sai sedang memerhatikan mereka dengan senyum penuh arti di wajahnya.

"Ah, hausnya. Aku mau ambil minum dulu," kata Sai mengumumkan, seraya beranjak dari bangkunya. "Sasuke?"

"Aku belum haus. Nanti saja."

Sai pun lantas berbalik pergi menuju meja minuman.

Sakura yang mengikuti pemuda itu dengan tatapannya kemudian menoleh pada Sasuke, mengernyit heran. "Kenapa Sai mengedipkan mata padamu tadi? Apa kalian merencanakan sesuatu yang aku tidak tahu?" tanyanya curiga.

"Tidak," bantah Sasuke cepat. "Dia memang suka begitu. Tidak ada maksud apa-apa."

Sakura menyipitkan matanya. "Tidak?"

Sasuke menggeleng. Ia sangat berharap ada minuman di sana, karena mendadak tenggorokannya terasa sangat kering. Sebenarnya bisa saja ia pergi mengambilnya di meja makanan, tapi itu berarti menyia-nyiakan kesempatan.

"Baiklah. Kali ini aku akan berpura-pura bodoh saja," kata Sakura, menghela napas. Gadis itu menggeser bangkunya lebih dekat pada Sasuke, memiringkan posisi duduknya sehingga lututnya bersentuhan dengan lutut pemuda di sebelahnya. "Kau mau melanjutkan pembicaraan kita tadi di rumahku, kan? Kau tahu—sebelum ibuku datang menyela. Aku akan mendengarkan."

"Ah—" Sasuke yang jelas terkejut dengan tindakan Sakura yang tiba-tiba—dan berani—hanya bisa terperangah. Terlebih ketika sepasang mata hijau cerah itu balas menatapnya dalam-dalam, membuat perasaan sayangnya membuncah. Sasuke menelan ludah, dengan susah payah menahan dorongan untuk meraih gadis itu dan … yah, tidak ada yang menjamin Sakura tidak akan kabur lagi seperti dulu jika ia melakukannya. Walaupun kemungkinannya kecil. Mungkin.

"Sakura, aku—"

"Sasuke? Sakura? Kalian tidak turun berdansa?"

Kedua remaja itu tersentak kaget, dan buru-buru menoleh ke sumber suara. Mereka mendapati Kakashi Hatake, guru ajlabar sekaligus paman Sakura, sudah berdiri di belakang mereka. Pria berambut keperakan itu mengenakan setelan kemeja hitam yang digulung hingga siku dipadu vest slim fit abu-abu. Sebelah tangannya dimasukkan ke dalam saku celananya, sementara yang lain memegang gelas berisi minuman ringan yang sudah separuh diminum. Pria itu memandang kedua—mantan—siswanya itu bergantian, menanti jawaban. Sebelum kemudian ia seperti menyadari sesuatu.

"Oh, apa aku menyela sesuatu?" tanyanya dengan alis terangkat.

"Tidak," sahut Sasuke.

"Ya," jawab Sakura dalam waktu yang bersamaan. Sakura membelalak pada Sasuke yang salah tingkah. Dengan ekspresi kecewa, Sakura menggeser posisi duduknya sedikit menjauh dari Sasuke.

Sementara itu Kakashi mengulum senyum memandangi kedua remaja itu. Bukannya ia tidak tahu apa yang terjadi di antara mereka—karena seringkali gosip yang beredar di antara siswa juga ada yang sampai ke telinga guru-guru, dan hubungan antara Sasuke Uchiha dan Sakura Haruno adalah salah satunya. Hanya saja ia tidak tahu sejauh mana hubungan mereka. Dan sebetulnya Kakashi menyimpan sedikit kekhawatiran juga, mengingat Sakura adalah keponakannya, dan ia tahu betul gaya berpacaran remaja jaman sekarang bisa sangat liar.

"Ah, lihat ini," katanya kemudian, dengan suara malas yang khas. Matanya bergulir pada piring-piring kudapan yang seharusnya tidak ada di sana. "Sepertinya ada yang dapat perlakuan istimewa dari komite."

"Ini sudah ada saat kami datang," kata Sakura. Tentu saja ia enggan mengadukan Shiho, meskipun ia yakin Kakashi juga tidak akan keberatan. Sementara pamannya itu sudah menyamankan diri di bangku yang tadinya ditempati Sai.

Obrolan pun berlanjut. Mulai dari pembicaraan pribadi tentang keluarga—Sakura bertanya kabar istri pamannya, dan Kakashi yang menawarinya mampir ke rumahnya kapan-kapan. Mereka juga membicarakan rencana kedua remaja itu ke depan. Dari sini Sakura baru mengetahui rencana Sasuke untuk mencari apartemen yang dekat dengan kampus, karena ia berencana pindah setelah Itachi menikah dan memboyong Hana tinggal di rumah yang mereka tempati sekarang. Kakashi juga memberi mereka sedikit wejangan tentang kehidupan di perguruan tinggi.

Tak lama kemudian, Shiho dan Kiba kembali setelah kelelahan berdansa. Meski demikian tidak menghalangi Kiba dengan penuh semangat menceritakan pada guru mereka kalau ia dan Sasuke sebentar lagi akan menjadi saudara. Juga tentang rencananya mengunjungi Oto musim panas ini dengan kakak perempuannya.

"Aku baru pertama kali pergi ke Oto. Apakah di sana seasyik di Konoha?" tanya Kiba penasaran, yang hanya dijawab oleh Sasuke sambil lalu.

Karena sudah tidak tahan lagi, Sasuke akhirnya meminta diri untuk mengambil minuman. Awalnya ia sekalian hendak mencari Sai, tetapi rupanya pemuda itu sudah turun ke lantai dansa bersama seorang gadis yang tidak ia kenal. Ia justru menemukan Naruto dan Hinata yang sedang mengantri untuk mengambil minuman. Keduanya tampak lelah tetapi sumringah sekali, terutama Naruto.

"Kenapa kau sendirian? Kemana Sakura?" Naruto bertanya padanya begitu mereka sudah mendapatkan minuman mereka.

"Disabotase pamannya," sahut Sasuke agak kesal. Ditenggaknya limun dingin yang baru diambilnya banyak-banyak.

"Pak Hatake?" Naruto mengernyit, lalu menjulurkan leher untuk melihat ke arah meja mereka. Benar saja, Sakura masih berada di sana, tampak mengobrol dengan Kakashi dan anak-anak lain. "Lalu bagaimana soal—kau tahu, kan?"

"Tidak bagaimana-bagaimana," Sasuke berkata masam. "Padahal hampir."

Naruto menghela napas sambil menggeleng-gelengkan kepala dengan prihatin. Di sebelahnya, Hinata memberinya senyum membesarkan hati.

"Jangan khawatir, Sasuke. Pasti ada kesempatan, kok," ujarnya seraya menepuk lengan Sasuke lembut. Naruto jelas sudah bercerita banyak tentang 'masalah'nya dan Sakura pada Hinata. "Kau bisa mengajak Sakura berdansa. Slow dance bisa membuat mood bagus."

"Yeah, Hinata benar. Dan tidak akan ada yang memerhatikan kalian, jadi tidak perlu khawatir ada yang menguping," imbuh Naruto, yang diangguki Hinata. "Atau kalau kau ingin benar-benar privat, kau bisa mengajaknya keluar. Tadi aku lihat beberapa anak sudah menyelinap keluar untuk—kau tahu, bermesraan." Nyengir, Naruto menggerak-gerakkan alisnya.

"Naruto …" Hinata menegurnya. Wajahnya bersemu merah. "Aku yakin semua kelas sudah dikunci."

"Aku tidak bilang di kelas, Sayang. Toilet tidak dikunci, atau mereka bisa ke halaman. Di sana sepi. Tapi resikonya besar kemungkinan kau bakal dipergoki guru atau security yang berpatroli. Bayangkan Pak Ebisu menangkapmu—dia tahu semua tempat persembunyian anak-anak." Naruto terkekeh-kekeh sendiri, sama sekali tidak membantu.

Sasuke menghela napas. Ia sama sekali tidak berniat mengajak Sakura bermesraan, terlebih di toilet. Yang ia butuhnya adalah sedikit keberanian dan kesempatan untuk mengutarakan perasaannya—menyelesaikan semua yang menggantung di antara mereka selama setahun belakangan ini.

"Dan ini dia orangnya."

Segera setelah Naruto berkata begitu, Sasuke merasakan seseorang menyentuh lengannya. Benar saja. Saat ia menoleh, Sakura sudah berdiri di belakangnya, cemberut.

"Kau meninggalkanku!"

"Tidak—sori. Aku benar-benar haus." Sasuke mengangkat gelasnya yang sudah kosong. "Mau minum?" Dan tanpa menunggu jawaban Sakura, Sasuke menggiring gadis itu ke meja minuman, meninggalkan Naruto dan Hinata begitu saja.

"Dan kita pun dilupakan," kata Naruto geli. Di sampingnya, Hinata tertawa kecil. Keduanya pun pergi ke meja mereka untuk melemaskan kaki—sekalian menyapa guru mereka.

"Kedengarannya menyenangkan ya, liburan bersama-sama calon saudara ipar," celetuk Sakura kemudian. Saat itu ia telah mengisi gelasnya dengan cherry soda dan sedang berdiri di dekat meja kudapan. "Kiba kelihatannya bersemangat sekali."

Sasuke mendengus. "Oto tidak sebagus itu. Sebentar saja dia pasti sudah bosan," katanya, menyesap gelas limun yang sudah diisi ulang. Sakura tidak menanggapi. Matanya memandang ke arah lantai dansa. "Bagaimana denganmu? Apa rencanamu musim panas ini?" Sasuke mencoba menarik perhatian Sakura dengan sedikit berbasa-basi.

"Aku?" Sakura mengambil waktu menghirup minumannya sebelum berkata, "Hmm … tidak ada yang khusus. Paling, bekerja full time di restoran. Aku ingin ambil les vokal atau bahasa asing, tapi belum kubicarakan dengan ibuku soal itu. Nonton pertunjukan band Ino kalau mereka manggung di Konoha. Mereka mau mengadakan tour, kau tahu?"

Sasuke menggeleng. "Berarti Naruto dan Sai juga akan ikut?"

"Setahuku Naruto ikut, setidaknya sebelum dia berangkat ke Suna. Tapi kalau Sai aku tidak tahu. Statusnya kan personil tambahan." Sakura mengangkat bahu.

"Kedengarannya asyik," komentar Sasuke.

"Ya. Kita bisa nonton bareng setelah kau kembali dari Oto," kata Sakura, tersenyum.

"Kalau masih sempat."

Keduanya saling berpandangan agak lama. Dan lagi-lagi Sasuke merasakan dorongan aneh untuk maju dan meraih Sakura, terlebih ketika ia melihat gadis itu menggigit bibirnya—sebelum akhirnya Sakura berpaling dan memutus kontak mata.

"Sudah mencicipi kuenya? Kulihat dari tadi kau tidak menyentuh kue yang di meja."

"Belum," Sasuke menjawab, mengulum senyum melihat Sakura menghindari matanya, tampak salah tingkah. Ia juga bisa melihat telinga gadis itu memerah. "Aku tidak suka makanan manis."

"Tidak semuanya manis, kok." Sakura lalu mendekati meja kudapan, dimana piring-piring camilan baru diisi ulang oleh seorang siswa anggota komite bagian konsumsi. Sasuke mengikutinya dan mengawasi gadis itu memilih-milih, sebelum mengambil sebuah canapé dengan krim keju, daging asap dan irisan tomat ceri. "Cobalah. Yang ini enak."

Alih-alih membiarkan Sasuke mengambil kue itu dari tangannya, Sakura langsung membawanya sendiri ke depan mulut pemuda itu. Tentu saja Sasuke tidak bisa menolaknya. Ia membiarkan Sakura menyuapkan kue berukuran satu gigitan itu ke mulutnya.

"Bagaimana?" tanyanya, sementara ia mengambil canapé krim dengan potongan buah stroberi untuk dirinya sendiri dan memakannya.

Sasuke mengunyah kudapannya perlahan, merasakan gurihnya keju, aroma daging asap dan segarnya tomat bercampur di mulutnya. "Lumayan," jawabnya setelah menelan makanannya.

"Hmm …" Sakura mendesah sambil memejamkan mata, tampak sangat menikmati kudapannya. "Ini lebih dari lumayan. Cup cake-nya juga enak. Aku penasaran di mana mereka memesan ini."

Tepat saat itu lagu yang tengah diputar berakhir, berganti lagu dengan tempo lebih lambat. Mendengar lagu yang sudah sangat dikenalnya, mata Sakura membulat. "Oh! Ini lagu favoritku!" serunya.

Sasuke juga tahu lagu ini. Itachi adalah penggemar berat penyanyinya dan sering memutar lagu-lagunya di rumah. Tetapi itu bukan hal penting sekarang—karena ia menyadari Sakura sedang memandangnya penuh harap. "Mau berdansa?"

Sakura serta-merta mengiyakan ajakan Sasuke. Pemuda itu mengambil gelas dari tangan Sakura dan meletakkan gelas itu dan gelasnya sendiri di meja kosong terdekat, sebelum menawarkan tangannya pada Sakura. Untungnya saat itu lantai dansa tidak seriuh sebelumnya. Beberapa anak yang kelelahan memutuskan untuk kembali ke meja masing-masing untuk mengambil napas. Jadi mereka sedikit lebih leluasa bergerak.

Ini bukan kali pertama Sakura berdansa dengan Sasuke, jadi ia tidak lagi terkejut dengan keluwesan pemuda itu ketika ia meraih pinggangnya dan membawanya bergerak perlahan. Sementara Sakura sendiri masih merasa kikuk, setidaknya selama beberapa saat ia berusaha keras mengikuti langkah Sasuke, mencoba tidak menginjak kakinya. Ketika ia sudah terbiasa dengan iramanya, tubuhnya mulai santai. Saat itulah Sakura pertama kalinya memberanikan diri mengangkat wajahnya, hanya untuk mendapati Sasuke tengah tersenyum menatapnya. Bukan senyum samar, apalagi seringai seperti yang biasa ia lakukan, tetapi benar-benar tersenyum. Garis senyumnya lembut. Sorot matanya hangat. Membuat Sakura merasa menjadi pusat dunia.

Terbawa suasana, tangan Sakura yang diletakkan di bahu Sasuke perlahan bergerak ke wajah pemuda itu. Jemarinya dengan lembut menelusuri rahangnya, ke dagunya, lalu berhenti di bibirnya yang sedikit terbuka, bertanya-tanya dalam hati mengapa ia tidak bisa melihat betapa tampannya Sasuke sejak awal?

Kemudian, seakan baru tersadar dengan apa yang dilakukannya, Sakura buru-buru menarik tangannya. Wajahnya merah padam.

"S-sori," ucapnya terbata, seraya berpaling menghindari mata Sasuke.

Sakura menahan napas ketika tangan Sasuke di pinggangnya bergerak ke punggungnya dan menariknya lebih rapat, membuat tubuh mereka praktis saling menempel. Tangannya sendiri otomatis berpindah dari bahu Sasuke ke tulang belikatnya. Berusaha tidak panik, Sakura menarik napas dalam-dalam. Ia bisa mencium aroma parfum Sasuke dengan lebih intens dari jarak sedekat ini. Aroma favoritnya. Membuatnya semakin terbawa suasana.

Tanpa mereka sadari, dari kejauhan Naruto dan Hinata diam-diam mengawasi mereka. Atau tepatnya, Naruto yang penasaran memperhatikan kedua sahabat bodohnya itu lekat-lekat, sementara Hinata yang menganggap itu seperti sebuah pelanggaran privasi mencoba untuk tidak terlalu sering menatap mereka dan menyibukkan diri dengan cup cake-nya.

"Oh, tidak …" gumam Naruto sambil menggeleng-gelengkan kepala tidak percaya. Meski demikian, cengiran tak lepas dari wajahnya. "Dia tidak akan bisa melakukannya kalau begini. Lihat!"

"Hm?" Hinata mau tak mau memandang ke arah yang ditunjuk Naruto.

"Mood-nya memang kelihatan bagus, kan? Tapi aku bertaruh dia tidak bisa ngomong apa-apa. Dia terlalu … apa istilahnya? Awe-struck—terpesona?"

Hinata tertawa kecil. "Love-struck—jatuh cinta?"

"Hinata," kata Naruto kemudian, seraya meletakkan lengannya ke punggung bangku Hinata yang duduk di sampingnya, mengalihkan perhatian sepenuhnya pada gadis itu. "Kau sudah berteman dengan Sasuke dari kecil, kan?"

Agak terkejut, Hinata hanya menjawab dengan anggukan ragu, menebak-nebak kemana arah pembicaraan Naruto.

"Apa dia selalu punya masalah seperti itu dari dulu? Maksudku, ini tidak mungkin pertama kali Sasuke menyukai seorang gadis, kan?"

"Y-ya … setahuku memang bukan yang pertama," jawab Hinata pelan. "Maksudnya masalah yang seperti apa?"

"Ya masalah seperti ini," Naruto mengibaskan tangannya ke arah Sasuke dan Sakura. "Seperti sulit sekali mengungkapkan secara langsung. Padahal kukira dia orang yang percaya diri."

Hinata menimbang-nimbang jawabannya beberapa saat. "Sasuke sudah banyak berubah dari yang kukenal dulu. Dia masih orang yang percaya diri, aku yakin. Tapi dulu, saat dia menyukai seseorang, dia hanya memikirkan dirinya sendiri. Jadi dia tidak ada masalah menyuarakannya. Tapi sekarang, aku merasa Sasuke jadi lebih banyak pertimbangan. Seperti … prioritasnya berubah. Sasuke yang dulu akan berpikir 'bagaimana denganku? Bagaimana perasaanku?' tanpa mempertimbangkan perasaan orang yang dia sukai." Hinata menghela napas, tersenyum kecil mengingat bagaimana keegoisan Sasuke terhadapnya seringkali membuatnya sakit kepala. "Sedangkan Sasuke yang sekarang berpikir sebaliknya. 'Bagaimana perasaan Sakura?'. Kurasa itu yang membuatnya sulit mengungkapkan perasaannya."

"Kau benar," Naruto mendengus tertawa, "Sasuke yang sekarang memang banyak pertimbangan. Terlalu banyak pertimbangan, malah. Tapi Sasuke yang dulu …" Naruto membuat ekspresi jijik, "… pasti menyebalkan jadi orang yang dia suka. Mana pemarah, lagi!" imbuhnya emosi, tiba-tiba teringat kelakuan menyebalkan Sasuke padanya dulu. Menantangnya berkelahi tanpa alasan jelas. Dasar orang gila!

Hinata tertawa saja mendengar kata-kata Naruto. Ia lalu meraih gelasnya yang tinggal separuh terisi di atas meja, menghirup minumannya perlahan.

"Omong-omong, aku jadi penasaran cewek seperti apa yang disukai Sasuke dulu. Kau mengenalnya, Hinata? Apa dia orang Oto juga?"

Pertanyaan Naruto yang tak disangka-sangka itu membuat Hinata tersedak minumannya. Saat itu ia benar-benar bingung harus menjawab apa. Naruto tidak pernah tahu tentang sejarah dirinya dan Sasuke dulu. Hanya ia, Sasuke, Itachi, dan—mungkin—Sakura, yang tahu soal itu. Selama ini Hinata merasa tidak perlu menyebut-nyebutnya di depan Naruto, dan ia yakin Sasuke juga sependapat dengannya. Bukan bermaksud menyembunyikan atau semacamnya, karena bagi mereka hal itu sudah tidak penting lagi. Tetapi dihadapkan dengan pertanyaan seperti itu membuatnya sedikit tertegun juga.

Hinata berdeham. "Um … aku mengenalnya … sedikit."

"Seperti apa orangnya?" cecar Naruto. "Apa dia cantik?"

"Seperti anak perempuan pada umumnya, kurasa. T-tapi cantik itu relatif, jadi aku tidak bisa menilai."

"Hmm …" Naruto kembali mengalihkan perhatiannya ke lantai dansa, tepatnya pada Sasuke dan Sakura yang sedang berdansa—kalau itu bisa disebut berdansa. Bagi Naruto, mereka terlihat seperti berpelukan sambil bergerak ke kiri dan ke kanan. Ia tersenyum. "Apa pun itu, sepertinya tidak cukup membuat Sasuke benar-benar bertekuk lutut."

"Kurasa begitu," Hinata tertawa kecil. "Sakura itu … berbeda."

Tak lama setelah itu, perhatian keduanya teralih oleh Sai yang tiba-tiba datang dan duduk di bangku kosong di sebelah Naruto.

"Hei, mana pacar barumu?" todong Naruto langsung.

Sai mengernyit, tampak bingung. "Pacar apa?"

"Cewek yang kau ajak dansa tadi."

"Oh, itu," Sai mendengus. "Anak kelas dua—anggota komite. Dia yang mengajakku duluan. Aku hanya mencoba bersikap ramah."

"Ah …" Naruto menyeringai, jelas meragukan kata-kata Sai. "Tapi kelihatannya kau tadi bersenang-senang."

"Yeah," Sai mengangkat bahu. "Memang menyenangkan pada awalnya. Sampai dia bertanya soal Sasuke dan Sakura, apakah mereka betulan berkencan atau tidak. Rupanya dia hanya ingin gosip dari sumber pertama."

"Wow …" hanya itu yang bisa Naruto ucapkan. Ia sudah tidak bisa berkata-kata lagi. Sai yang malang selalu dijadikan 'batu loncatan'oleh mereka yang ingin mengorek info atau mendekati Sasuke. Meskipun tampaknya Sai tidak begitu peduli, Naruto berharap orang-orang berhenti melakukannya.

"Bagaimana menurutmu?" tanya Sai kemudian, mengalihkan topik pembicaraan.

"Soal apa?" Naruto balik bertanya bingung, sampai Sai mengendikkan kepala ke arah Sasuke dan Sakura yang masih berada di lantai dansa. Ini sudah lagu kedua mereka, tapi tampaknya tidak ada tanda-tanda 'pergerakan' dari Sasuke. Naruto menghela napas panjang. "Entahlah. Sepertinya agak sulit."

"Setuju," kata Sai, mengangguk. "Tadi aku di dekat mereka waktu pertama kali mereka turun. Kalau melihat tampang Sasuke, aku langsung tahu dia tidak akan bisa ngomong apa-apa."

"A-ada apa dengan Sasuke?" kali ini Hinata yang bertanya. Tampaknya kekasih Naruto itu ikut penasaran juga.

Sai berpikir sejenak untuk menemukan kata-kata yang tepat untuk mendeskripsikan apa yang ia lihat—dan rasakan—tadi. "Dia seperti … tersihir? Aku tidak tahu bagaimana menggambarkannya, but the sexual tension is so strong. Aku tidak akan kaget kalau mereka mulai berciuman bahkan sebelum Sasuke mengatakan apa pun."

Hinata terbelalak seakan ia baru saja mendengar Sai mengatakan hal yang tidak pantas, sementara di sampingnya Naruto terbahak-bahak.

"Yeah … aku bisa membayangkan Sasuke melakukannya," kata Naruto di antara gelak tawanya. "Mungkin memang sebaiknya Sasuke mengajaknya keluar dari sini, dan 'bicara'. Lantai dansa sepertinya terlalu berbahaya."

"Tidak, tidak. Di luar lebih bahaya. Kalian tahu—tadi aku habis dari toilet, dan aku lihat ada yang tertangkap. Bukan di toilet, sih … tapi tetap saja memalukan."

Mendengar itu tawa Naruto semakin menjadi. Wajahnya sekarang memerah karena terlalu seru tertawa. "Memangnya kenapa kalau mereka tertangkap sedang bicara berdua? Kau pikir mereka mau ngapain sih, Sai?"

Kali ini giliran Sai yang memerah—dengan alasan yang berbeda. Malu, ia lantas membungkuk dan menenggelamkan wajah ke kedua telapak tangannya, setengah menggerutu, setengah tertawa. "Astaga, pikiranku …"

Terkekeh, Naruto menepuk-nepuk punggung Sai. Namun tepukannya yang awalnya pelan, berubah kasar, seperti memaksanya mendongak. "Sai, lihat! Kau tidak akan percaya!"

Sai mengangkat kepalanya, dan melihat ke arah yang membuat Naruto mendadak heboh. Dan apa yang dilihatnya membuat alisnya terangkat tinggi.

"Kau lihat itu? Kau percaya, dia barusan mencium lehernya!"

"Naruto …" Hinata menegurnya supaya mengecilkan suaranya, karena anak-anak memandang ke arah meja mereka. Terlebih, apa mereka sudah lupa mereka duduk di meja yang letaknya tepat di samping meja guru?

Naruto buru-buru menutup mulutnya sendiri untuk meredam tawanya. Sedangkan matanya masih mengawasi Sasuke dan Sakura—mereka terlihat berpisah. Sakura berjalan ke arah pintu keluar aula dan menghilang di sana. Sementara itu Sasuke melangkah menuju salah satu meja, mengambil dua gelas yang diletakkan di sana, dan bergerak ke meja minuman untuk mengisi ulang gelas-gelas tersebut, sebelum akhirnya berjalan ke arah meja mereka.

"Bersenang-senang?" tanya Naruto begitu Sasuke duduk dan meletakkan dua gelas yang dibawanya di atas meja di depannya.

"Hm." Sasuke memberi jawaban dengan gumaman ambigu.

"Jadi, kau sudah melakukannya?"

Sasuke yang sudah tahu maksud pertanyaan Naruto, menggeleng pelan. Bibirnya terkatup rapat. Dari ekspresinya, Sasuke seperti kecewa pada dirinya sendiri. Namun betapa herannya ia ketika melihat Naruto—dan Sai—justru menatapnya dengan cara yang aneh. Sambil senyum-senyum tidak jelas. "Apa?" ia balik bertanya.

"Kami melihatnya, Sasuke?"

Mata Sasuke memicing. "Melihat apa?"

"Kau, mencium Sakura."

Jawaban santai Naruto kontan membuat Sasuke terbeliak. "APA?!"

"Kau menciumnya tadi, kan?" kali ini Sai yang bersuara. "Di leher?" imbuhnya, menunjuk sisi lehernya sendiri.

Sasuke mengerjap, menatap kedua temannya itu bergantian. Ia jelas sangat kebingungan sekaligus kesal dengan situasi yang dihadapinya sekarang. Ia baru saja tiba dan mendadak mendapatkan tuduhan yang tidak-tidak. "Kalian mabuk soda? Aku tidak menciumnya—apalagi di situ!" desisnya sengit.

"Tapi tadi—"

"Kau salah lihat, dasar bodoh!"

"Kita bisa tanya Sakura—"

"NO!" Sasuke mengacungkan jarinya penuh ancaman. Wajahnya sudah merah padam sekarang. "Jangan tanya apa pun pada Sakura. Aku larang kalian berdua!" Ia lalu menghembuskan napas kasar. "Hanya … dia tadi bilang ingin ke toilet. Karena suara musiknya terlalu keras, aku mendekatkan telingaku supaya bisa mendengar suaranya. Dan kenapa aku harus menjelaskan ini pada kalian?" gerutunya, kemudian menenggak minumannya.

Naruto dan Sai bertukar pandang. "Kalau begitu kenapa kau tidak ikut?"

Sasuke menatap Sai seakan temannya itu sudah kehilangan akal sehat. "Yang ingin buang air kecil Sakura, bukan aku. Untuk apa aku harus ikut ke toilet?"

"Barangkali kau mau melakukan sesuatu di toilet," ceplos Sai tanpa dosa. "Buang air kecil, misalnya. Atau besar?" katanya menambahkan ketika melihat tampang Sasuke seperti sudah siap menerkamnya.

Hinata yang sedari tadi hanya menonton ketiga pemuda itu, menutup mulutnya dengan kedua tangannya, susah payah menahan tawa. Ia menganggap situasi ini sangat lucu. Sementara di sampingnya, Naruto sudah meringkuk di atas meja dengan bahu bergetar karena tawa.

.

.

Sakura melangkah keluar dari pintu aula dengan dada yang masih berdebar-debar. Gadis itu mencoba tenang, meskipun tangannya masih gemetaran, sama sekali tidak menyangka berdansa dengan Sasuke begitu tidak baik untuk kesehatan jantungnya. Padahal ini bukanlah pertama kali mereka melakukannya—berdansa, maksudnya. Tetapi rupanya dengan adanya perasaan yang terlibat di sana, segalanya menjadi berbeda. Membuatnya hampir tak bisa berpikir. Dan ketika ia merasakan napas Sasuke di wajahnya ketika ujung hidung mereka nyaris bersentuhan, Sakura tersadar bahwa masih ada batas yang tidak bisa mereka langgar.

Beruntung saat itu koridor di luar aula sedang sepi, jadi tidak ada yang memandangnya aneh ketika Sakura keluar terburu-buru dan langsung menemplok ke dinding sambil mengeluarkan suara erangan konyol. Hanya ada dua orang anak laki-laki yang sepertinya adalah anggota komite prom yang sedang berjaga di depan lorong yang menuju toilet, yang untungnya juga sama sekali tidak memerhatikannya karena sibuk mengobrol seru entah tentang apa. Mereka baru menyadari keberadaan Sakura begitu gadis itu mendekat dan langsung memberitahunya jika toilet siswa perempuan di dekat aula sedang tidak bisa digunakan. Jadi pilihannya antara pergi ke toilet di ujung lain gedung itu, atau di lantai dua.

Sakura memilih toilet di lantai dua karena letaknya memang lebih dekat. Untuk pergi ke sana, ia harus naik dari tangga utama di dekat lobby.

Lobby tidak sesepi di koridor ketika Sakura melewatinya, atau malah bisa dibilang agak ramai. Selain dua anak yang tadi berjaga di meja registrasi, beberapa anak lain tampak sedang menerima pesanan setengah lusin kotak pizzadari kurir, juga seorang security yang duduk-duduk di bangku panjang sambil mengobrol dengan Shikamaru Nara. Sementara di sisi ruang yang lain, Sakura melihat pamannya dan Pak Maito sedang menceramahi seseorang—atau lebih, Sakura tidak melihat dengan jelas karena terhalang tiang besar. Lampu di sepanjang koridor lantai dua menuju toilet juga dinyalakan, dan Sakura sempat berpapasan dengan beberapa temannya di sana.

Sakura nyaris bertabrakan dengan seseorang di pintu toilet—seorang gadis berambut pirang pasir yang terlihat lebih dewasa dari yang lain, tapi juga tidak asing—yang kemudian Sakura kenali sebagai kakak perempuan Gaara, Temari. Sakura pernah bertemu dengannya beberapa kali saat liburan ke Kiri, dan saat festival band Konoha, dimana adik laki-lakinya ikut berpartisipasi. Temari memberitahunya bahwa ia diundang Shikamaru menemaninya ke Prom, dan Sakura baru ingat Ino pernah bilang kalau Shikamaru sedang dekat dengan mahasiswa cantik dari Suna yang ia temui di belakang panggung festival band. Mereka tidak berlama-lama mengobrol. Setelah bertegur sapa dan bertukar kabar—Temari juga mengucapkan selamat pada Sakura—Temari pun pergi.

Hanya ada dua orang lain selain dirinya ketika Sakura memasuki toilet, dan salah satunya adalah Shiho yang sedang mencuci tangan di wastafel. Sakura bergegas pergi ke salah satu bilik kosong tanpa menyapanya, dan ketika ia selesai, gadis berkacamata itu rupanya masih ada di sana. Entah apa yang dilakukannya dari tadi. Ekspresinya juga tampak merana.

"Kau baik-baik saja?" Sakura menanyainya sembari mencuci tangan di wastafel.

"Tidak. Aku tidak baik-baik saja," jawab Shiho dengan suara sedih. Ia lalu menghela napas dramatis. "Aku sudah berusaha memperbaiki hatiku yang patah sejak semester lalu. Tapi saat dihadapkan pada kenyataan itu sekali lagi, tidak semudah itu."

Sakura yang sama sekali tidak menyangka mendapatkan jawaban seperti itu hanya melongo. Awalnya ia menyangka Shiho dengan bertengkar dengan Kiba, tetapi dari caranya berbicara sepertinya tidak ada hubungannya sama sekali dengan Kiba. Lagipula, sejak kapan Kiba membuatnya patah hati?

"Kau tahu, aku dan Hinata pernah berjanji untuk memperjuangkan perasaan kami pada orang yang kami suka," kata Shiho. Senyumnya terlihat pahit. "Tapi pada akhirnya nasib kami berbeda. Hinata mendapatkan Naruto, sedangkan aku harus melupakan perasaanku sejak dia bilang kami hanya bisa jadi teman." Ia menghela napas sekali lagi. "Kau tadi ketemu cewek yang keluar sebelum kau masuk kan, Sakura?"

"Temari?"

"Oh, kau kenal—" Shiho menatapnya heran, sebelum kemudian ia menggeleng, seperti mengasihani dirinya sendiri.. "Apa pun itu. Tapi waktu aku melihatnya, aku sadar kalau sejak awal aku tidak punya kesempatan. Ternyata move on itu tidak semudah yang dibayangkan, ya? Padahal cowok tidak cuma satu."

Saat itulah Sakura baru menyadari siapa yang dibicarakan Shiho. Sakura memang tidak banyak tahu tentang siapa suka pada siapa, atau siapa sedang pacaran dengan siapa di sekolah, kecuali kalau ia benar-benar mengenal mereka. Kalau ia tidak salah ingat Ino pernah memberitahunya sambil lalu soal Shiho yang menyukai Shikamaru. Namun terlepas dari itu, tiba-tiba dicurhati oleh seseorang yang tidak begitu dekat dengannya, Sakura tidak tahu harus menanggapi bagaimana. Dari pada salah bicara dan membuat Shiho semakin sedih, maka Sakura memilih untuk tidak berkomentar sama sekali.

"Sori ya, tiba-tiba ngomong begini di depanmu," kata Shiho kemudian, seakan bisa membaca isi kepala Sakura. "Kau pasti merasa tidak nyaman—maksudku, selama ini kuperhatikan kau bukan orang yang senang bergosip."

"Tidak, tidak apa-apa," Sakura buru-buru berkata, melempar senyum lewat cermin selagi mengeringkan tangan dengan tisu. "Kalau itu bisa membuatmu lega, aku senang bisa meminjamkan telingaku."

"Trims," Shiho membalas senyumnya, sebelum kemudian mengeluarkan lipstick dari clutch yang dibawanya. "Mau touch up? Lipstikmu sudah agak pudar dan cemong di sini." Shiho menunjuk sudut bibirnya sendiri.

"Oh, ya?" Sakura buru-buru mencondongkan tubuhnya di atas wastafel untuk memeriksa lipsticknya sambil mengusap-usap sudut bibirnya yang—katanya—cemong dengan kelingking. Memang sedikit pudar karena tadi ia sempat makan kudapan dan minum, tapi lipstiknya masih rapi.

Sampai akhirnya Sakura sadar kalau Shiho sedang menggodanya, setelah gadis itu berkata sambil menahan tawa, "Kau harus periksa bibir Sasuke juga, barangkali tertinggal di sana."

"Shiho!" Sakura merajuk.

Shiho tertawa. "Memangnya kenapa? Kalian bukan pasangan pertama yang ciuman di lantai dansa, kok. Santai saja. Asal tidak ketahuan kepala sekolah, kalian aman."

"Kami tidak melakukan itu!" bantah Sakura dengan wajah merah. Hampirtapi tentu saja ia tidak bisa mengatakan itu pada Shiho. Ia pun lantas ikut tertawa. "Sasuke tidak akan melakukan hal seperti itu di depan banyak orang. Dia orang yang sangat menjaga privasi."

"Hmm …" Shiho meratakan lipstick yang baru dipulasnya. Senyumnya nakal. "Aku jadi penasaran apa saja yang kalian lakukan kalau hanya berdua saja."

"Sungguh?" Sakura menggeleng-gelengkan kepala. "Kenapa kau kedengarannya jadi seperti Ino?"

"Aku belajar banyak dari dia. Katanya menggodamu itu menyenangkan. Menurutnya reaksimu lucu, dan dia benar."

Sakura jadi bertanya-tanya sendiri, sebenarnya apa saja yang dilakukan Ino di ruang Klub Jurnal selama ini selain menggerecoki Shino? Dan untungnya, Shiho tidak lanjut menggodanya lebih dari itu. Setelah menyudahi acara galaunya, gadis itu pun pergi meninggalkan Sakura yang sekarang termangu, teringat kata-kata Ino semalam. Mereka sungguh-sungguh mengira dirinya memang berkencan dengan Sasuke. Juga tentang mereka yang seperti 'bom waktu' yang siap meledak. Bukankah kejadian mereka nyaris berciuman di lantai dansa itu juga bisa dikatakan sebagai 'bom' yang hampir meledak?

Apakah sebaiknya ia biarkan saja 'bom' itu meledak?

Sakura menghela napas, mengibas-ngibaskan tangan mengipasi dirinya sendiri. Tiba-tiba saja udara malam itu terasa lebih panas dari sebelumnya.

Lamunan Sakura dibuyarkan oleh serombongan gadis yang baru saja memasuki ruangan kecil itu sambil tertawa-tawa. Menandakan sudah waktunya ia pergi dari sana.

Lobby sudah lebih sepi ketika Sakura turun ke lantai bawah. Hanya tersisa dua anggota komite di meja registrasi, yang sekarang mengobrol dengan security yang sebelumnya duduk dengan Shikamaru. Sedangkan bangku yang semula diduduki Shikamaru kini ditempati Ino, dan tentu saja, Shino. Sebelumnya mereka masih berdansa ketika Sakura meninggalkan aula. Kini keduanya terlihat sedang saling bicara dengan suara rendah, sama sekali tidak menyadari kehadiran Sakura.

Dan Sakura pun tidak berniat menyela mereka. Gadis itu bergegas kembali ke aula.

Meja mereka sudah ramai orang ketika Sakura tiba di aula. Rupanya semua personel Volatile berkumpul di sana, kecuali Ino. Shikamaru yang berdiri di sisi bangku Naruto bersama Temari—Sakura bersumpah ia sempat melihat Shiho menyelinap pergi dari bangkunya—mengumumkan bahwa mereka akan jadi penampil kedua setelah pengumuman Prom King & Queen. Ia juga mengingatkan semua personelnya untuk menyiapkan instrumen mereka sebelum tampil. Dan tampaknya mereka masih akan berada di sana lebih lama, karena selanjutnya mereka mulai membicarakan soal tour.

"Kau baik-baik saja?" Sasuke menanyai Sakura setelah mereka berdua memutuskan untuk menyingkir dari meja. Selain karena merasa terlalu banyak orang, juga karena mereka sama sekali tidak ada hubungannya dengan band.

"Eh—ya." Sakura sedikit bingung ditanyai begitu. "Ada apa, memangnya?"

Sasuke tidak langsung menjawab, melainkan hanya menatap Sakura selama beberapa saat. "Tidak ada apa-apa, hanya—" kata-katanya terputus begitu saja, seperti hendak mengatakan sesuatu tetapi urung.

"Sasuke?"

"Nanti," Sasuke mengulum senyum, mencubit pelan pipi Sakura.

Mengabaikan jantungnya yang berjumpalitan di dadanya, Sakura berpura-pura cemberut. "Kebiasaan, bikin orang penasaran." Ia lantas mengalihkan pandangannya ke arah panggung, dimana terlihat beberapa anak kelas satu dan dua sibuk bersiap-siap untuk acara selanjutnya. "Sepertinya sebentar lagi mereka akan mengumumkan Prom King & Queen. Kau punya tebakan siapa yang akan terpilih?" Sakura menanyai pemuda di sebelahnya.

"Tidak," Sasuke menjawab singkat.

Mendengar jawaban yang sama sekali tidak antusias itu, Sakura memutar bola matanya. Tentu saja, ia membatin. Memangnya ia mau mengharapkan jawaban seperti apa dari orang memang tidak pernah peduli dengan hal remeh-temeh seperti pemilihan Raja dan Ratu Prom? Tapi Sakura tidak lantas membiarkan obrolan berhenti sampai di situ. Gadis itu mencerocos tentang tebakannya, siapa saja kandidat yang mungkin akan terpilih, termasuk kemungkinan Sasuke terpilih menjadi Prom Kingyang hanya dibalas dengan "Hmph!"dari Sasuke.

Sasuke dengan ketidakpekaannya terhadap daya tariknya sendiri, pikir Sakura gemas.

"Apa kau tidak mempertimbangkan dirimu sendiri akan terpilih?" tanya Sasuke.

Sakura menjawab dengan gelengan. "Kurasa aku bukan tipe yang bakal terpilih."

"Kenapa?" Sasuke mengerutkan dahi. "Kau cerdas, cantik dan berperilaku baik. Bukankah itu yang biasanya menjadi pertimbangan di pemilihan seperti ini—brain, beauty, behavior?"

Lancar sekali Sasuke mengatakannya, seolah tidak menyadari efek perkataannya pada gadis di sampingnya itu.

"I-ini tidak sama dengan beauty pageant," Sakura menyahut salah tingkah.

Tepat setelah lagu berakhir, MC kembali naik ke panggung untuk mengumumkan acara selanjutnya yaitu penobatan Raja dan Ratu Prom. Refleks, Sakura langsung mengedarkan pandangannya mencari Ino, barangkali ia sudah kembali dari lobby. Namun Ino tidak tampak di mana pun di penjuru aula.

"Sepertinya Ino masih di lobby," Sakura memberitahu Sasuke. "Aku harus menjemputnya."

Tanpa berlama-lama, Sakura bergegas meninggalkan aula menuju lobby tempat terakhir ia melihat Ino. Dan benar saja, Ino masih di sana. Hanya saja ia sudah tidak lagi duduk di bangku panjang, melainkan berdiri di pintu masuk bersama Shino Aburame. Sakura yang tadinya hendak menghampiri mereka, mengurungkan niat ketika melihat sahabatnya itu memeluk Shino erat. Sakura memutuskan untuk menunggu di tempat yang agak tersembunyi, memberi mereka privasi.

Barulah ketika Shino akhirnya pergi, Sakura bergegas menghampirinya. Dan hal pertama yang dikatakan Ino padanya ketika ia melihat Sakura adalah, "Sudah berakhir. Selamat datang kembali kehidupan single-ku."

"Oh, Ino …" Sakura serta merta memeluk sahabatnya itu. Ino tidak menangis. Ia bahkan tidak tampak terlalu sedih. Tetapi Sakura bisa merasakan betapa patah hatinya Ino saat ini.

"Tidak apa—aku baik-baik saja, Sakura." Malah Ino sekarang yang menepuk-nepuk punggung Sakura, seakan menenangkannya. "Sebaiknya kita segera masuk. Mereka sedang mengumumkan Prom King & Queen, kan? Aku sudah tidak sabar mengenakan mahkotaku!"

Di situasi yang berbeda, Sakura pasti sudah mencibirnya karena terlalu percaya diri. Namun sekarang ia hanya bisa tertawa.

Tepat saat itu mereka mendengar riuh suara sorakan dari arah aula—yang artinya Prom King sudah diumumkan. Ino buru-buru menyambar tangan Sakura dan keduanya pun bergegas kembali ke aula. Beberapa gadis teman Ino dari team cheerleader keluar dari pintu ketika mereka mendekat. Mereka memanggil-manggil Ino dengan heboh agar bergegas. Mereka bahkan menyambar Ino, menggiringnya masuk dan meninggalkan Sakura di depan pintu aula.

Bukan waktunya untuk kesal, pikir Sakura. Karena jelas saat itu sahabatnya memang benar telah terpilih menjadi Prom Queen, jika melihat reaksi seisi aula ketika Ino masuk tadi.

Entah hanya perasaan Sakura saja, atau aula memang menjadi lebih ramai dari sebelumnya. Barangkali juga karena efek orang-orang yang hampir semua berdiri menyambut Raja dan Ratu Prom. Sakura harus menyelip di antara anak-anak untuk melihat lebih jelas ke arah panggung, sudah menyiapkan diri melihat Sasuke di sana bersanding dengan Ino. Namun apa yang dilihatnya benar-benar di luar dugaan. Alih-alih Sasuke, Prom King yang sekarang sedang berdiri canggung di sisi Ino adalah Sai.

Dan tentu saja yang bersorak paling heboh adalah orang-orang di mejanya. Terutama Naruto. Suara teriakannya sampai-sampai mengalahkan yang lain. Tertawa melihat tingkah Naruto, Sakura tidak menyadari Sasuke sudah menghampirinya.

"Lihat, kan?" kata Sasuke sambil menyikut pelan lengan Sakura. "Rajanya bukan aku."

"Oke, aku keliru." Sakura tertawa kecil, ikut bertepuk tangan bersama yang lain ketika dua orang sahabatnya di atas panggung dipakaikan mahkota oleh pembina komite prom—Anko Mitarashi. "Sai kelihatannya masih tidak menyangka."

"Yeah. Harusnya kau lihat tampangnya waktu namanya dipanggil." Sasuke menyeringai tipis, teringat apa yang dilihatnya tadi.

"Bisa kubayangkan."

"Naruto sampai harus mendorongnya supaya dia maju. Tapi dia akan cepat beradaptasi."

Tersenyum kecil melihat Ino yang sedang memberikan pidato singkat di panggung, Sakura berkata pelan, "Mudah-mudahan ini bisa sedikit menghiburnya."

"Hm?"

Sambil masih menyunggingkan senyum, Sakura menoleh menatap Sasuke. Merasa bukan haknya untuk memberitahu orang lain tentang patah hati yang dialami Ino, ia memilih untuk tidak menjelaskan lebih lanjut. Lebih dari itu, Sakura merasa lega tidak perlu melihat Sasuke-nya bersanding dengan gadis lain—dengan Ino sekali pun. Gadis itu lantas mengaitkan lengannya di lengan Sasuke.

"Sasuke, aku haus."

Meskipun agak heran dengan perubahan nada bicara Sakura yang menjadi sedikit manja, Sasuke tidak menolak ketika Sakura menggiringnya ke meja minuman.

Sementara itu, anak-anak mulai menyingkir dari lantai dansa untuk memberi ruang bagi pasangan yang baru dinobatkan untuk dansa pertama mereka sesuai tradisi. Dan seperti tahun lalu, dansa mereka akan diiringi live vocal –bedanya, tahun ini akan dibawakan duet oleh junior mereka.

"Maaf," kata Sai ketika dengan canggung ia meraih pinggang dan tangan Ino. Alih-alih menatap mata partner dansanya sementara mereka bergerak pelan, Sai memandang melewati kepala gadis itu ke arah kerumunan yang menonton mereka.

"Tidak apa-apa," sahut Ino, tersenyum geli. "Kau mencemaskan Shino?"

Sai berdeham. "Sedikit."

Senyum Ino sedikit memudar. Matanya menangkap corsage dari rangkaian bunga hyachint ungu yang melingkar di pergelangan tangannya, yang dipasangkan oleh Shino beberapa jam yang lalu. "Tidak perlu cemas. Kami sudah putus. Lagipula dia sudah pergi."

Mendengar informasi mengejutkan itu, tatapan Sai langsung berpindah pada Ino. Gadis itu tidak balas menatapnya, melainkan terpaku pada bunga di pergelangan tangannya. Sai hampir berhenti bergerak ketika melihat cairan bening mengalir di pipi Ino tanpa suara. Untungnya saat itu beberapa pasangan sudah turun ke lantai dansa sehingga mereka tidak terlalu menjadi pusat perhatian.

"Maaf," ucap Sai lagi, sebagai ungkapan empati.

"Haah … astaga. Padahal aku sudah janji tidak akan nangis." Setengah tertawa, Ino mendongakkan kepalanya seraya mengerjap-ngerjapkan matanya.

"Kita bisa berhenti kalau kau mau," Sai menawarkan, namun Ino dengan cepat menggelengkan kepalanya.

"Tidak, tolong. Aku ingin menari, kalau bisa semalam suntuk."

Sai tersenyum tipis. "As you wish."

Ino menahan napas ketika tiba-tiba Sai melakukan gerakan tak terduga. Pemuda itu melepaskan tangannya yang semula berada di pinggangnya, kemudian mengangkat lengannya dan dengan luwes membimbing Ino berputar dengan bertumpu pada kakinya. Satu putaran, dilanjutkan putaran yang lain. Jika Ino tidak pernah belajar waltz dengan ayahnya dan dengan cepat mengikuti arahan Sai yang memimpin gerakannya, barangkali ia sudah terserimpet kakinya sendiri. Dan dalam sekejap mereka menguasai lantai dansa. Anak-anak yang sebelumnya berdansa di dekat mereka sampai menyingkir untuk memberi mereka ruang lebih lebar.

Ino teringat Sakura pernah memberitahunya dulu bahwa Sai sangat jago berdansa, tapi ia tidak menyangka akan sejago ini. Karena di masa-masa singkat saat mereka berkencan dulu, mereka tidak pernah berdansa sekali pun.

Ini menyenangkan.

"Jadi," kata Ino, "Aku partner dansamu yang keberapa malam ini?"

"Ketiga," jawab Sai jujur. "Dan yang terakhir."

"Hm?" Ino menaikkan alisnya. Tidak mungkin Sai sedang merayunya sekarang, kan?

"Band kita tampil setelah ini. Ingat?"

"Oh, yeah." Ino tertawa, merasa sangat bodoh.

Mendekati klimaks lagu, Sai menawarinya untuk 'melompat'. Awalnya Ino menolak, karena sangat memalukan jika mereka gagal melakukannya dan terjatuh dengan konyol—meskipun 'melompat' bukan perkara sulit baginya yang sudah terbiasa melakukan gerakan akrobatik di klub cheerleader—Namun Sai terus membujuknya, meyakinkannya bahwa ia bisa menangkapnya.

"Ayolah. Ini akan menyenangkan."

Sambil tertawa, Ino akhirnya setuju. Sai membuatnya berputar di bawah lengannya sekali lagi sebelum melepaskannya. Ino mengambil ancang-ancang. "Tangkap aku," serunya, kemudian melompat ke arah sang partner yang sudah siap menangkapnya. Pendaratannya tidak terlalu mulus. Sai sedikit terhuyung ketika tubuh Ino menabraknya, namun dengan cepat ia mendapatkan keseimbangannya kembali. Ino tertawa lepas begitu Sai membawanya berputar, diiringi sorakan dan tepuk tangan anak-anak yang menonton aksi mereka.

Keduanya berdansa sebanyak dua lagu sebelum memutuskan beristirahat di lagu terakhir untuk mempersiapkan diri untuk tampil bersama band mereka. Ino menghenyakkan diri di salah satu bangku di meja tempat personel bandnya berkumpul. Gadis itu melepas high heels-nya dan meluruskan kaki. Napasnya sedikit terengah, tapi ia tampak gembira, apalagi mendengar pujian dari teman-temannya.

"Aku tidak tahu kalian bisa berdansa seperti itu!" seru Naruto. "Lihat, aku sampai merekam kalian!" imbuhnya, seraya memamerkan hasil rekaman di ponselnya. Tak peduli gambarnya bergoyang-goyang membuat pusing.

"Yang tadi itu seru sekali, Sai. Trims," Ino berkata pada Sai yang juga sedang melepas lelah di meja yang sama. "Dan kau bisa salsa! Kukira aku bakal menari sendiri di lagu kedua tadi."

"Aku tahu sedikit langkah-langkahnya," kata Sai merendah. "Pernah diajari di kelas dansa di sekolah lamaku."

"Tidak akan seasyik itu kalau orang lain yang jadi partner-ku," seloroh Ino sambil melirik Sasuke yang baru saja datang bersama Sakura.

Merasa sedang dipandangi, Sasuke mengangkat alisnya tinggi. "Apa?"

Ino hanya tertawa. Perhatiannya kemudian teralih pada Sakura yang dengan senyum lebar menawarinya minum dari gelasnya sendiri. Gadis itu tampak antusias membahas bagaimana serunya aksi Ino dan Sai di lantai dansa tadi, dan bagaimana ia tidak bisa melepaskan pandangannya dari mereka.

"Kurasa ini akan menjadi dansa Raja dan Ratu Prom paling seru yang pernah dilihat sekolah ini," Sakura mengakhiri celotehnya. Ia lalu menghenyakkan diri di bangku di sebelah Ino yang baru saja ditinggalkan Sai yang pergi menyiapkan instrumen di panggung bersama Shikamaru dan yang lain. "Jadi, kau benar-benar sudah tidak apa-apa sekarang?"

Ino mengambil waktu untuk menghela napas panjang sebelum menjawab, "Kau tahu, waktu aku dan Shino memutuskan untuk menyudahi hubungan kami, kami sepakat untuk membuat saat-saat terakhir kami mala mini menjadi momen yang bisa dikenang sambil tersenyum. Tanpa air mata, tanpa kesedihan yang berlarut-larut—meskipun agak sulit dilakukan—dan yang jelas tanpa penyesalan sama sekali. Itulah yang coba aku lakukan sekarang, Sakura. Malam ini aku bersenang-senang. Dan aku berniat akan terus begitu sampai kita pulang nanti. Jadi, kau tidak perlu mengkhawatirkanku."

"Ah …" Sakura mengangguk kecil. "Orang baik, si Shino itu."

"Memang." Ino tersenyum, melirik Sakura. "Bagaimana denganmu? Kau dan Sasuke sudah … kau tahu—resmi?"

Sakura melirik ke arah Sasuke yang sekarang sedang mengobrol dengan Hinata di seberang meja, menghela napas. "Belum," jawabnya pelan, sambil menunduk memainkan kuku-kukunya. Senyumnya masam.

"Apa?" Ino mendesis, "Kupikir kalian sudah—kau tahu, cara kalian berdansa tadi itu tidak seperti pasangan yang belum resmi. Jangan dikira aku tidak memperhatikan."

"Well sebenarnya dua kali dia seperti ingin mengatakan sesuatu. Tapi ada saja yang menyela," Sakura mengangkat bahu.

"Kalau begitu kau saja yang berinisiatif," kata Ino, seakan itu hal yang paling mudah dilakukan. "Tinggal bilang 'ayo pacaran!', aku yakin dia tidak akan menolak. Kecuali kalau kau ingin sesuatu yang lebih romantis."

Membayangkan dirinya mengatakan 'ayo pacaran!'pada Sasuke, Sakura tak dapat menahan diri mendengus tertawa saking menggelikannya. Ia mengangkat wajahnya dan matanya bersirobok dengan mata Sasuke yang juga tengah menatapnya dari seberang meja. Ekspresi wajahnya seperti keheranan melihat Sakura tiba-tiba tertawa.

Tetapi mengambil inisiatif tidak semudah yang dikatakan, terlebih ketika perhatianmu tersedot sepenuhnya oleh hal lain. Seperti pertunjukan band, misalnya.

Malam itu band di mana Ino menjadi vokalisnya membawakan empat lagu. Tiga lagu cover, dan satu lagu original yang sudah dikenal hampir semua orang di dalam ruangan itu. Aksi mereka benar-benar pecah. Anak-anak tumpah ruah di lantai dansa, laki-laki dan perempuan berbaur menjadi satu. Mereka bersorak-sorai, berjoget, berjingkrak-jingkrak mengikuti dentuman musik yang keras. Ditambah Ino yang sangat atraktif dan lincah di atas panggung, seakan melupakan bahwa mereka sedang mengadakan pertunjukan untuk acara prom alih-alih konser musik. Ia bahkan sampai menendang lepas high heels-nya, melompat kesana-kemari mengajak anak-anak bernyanyi bersamanya.

Sakura yang awalnya hanya menonton di luar kerumunan anak-anak bersama Sasuke, tidak dapat menahan dirinya ikut berbaur dan berjoget dengan teman-temannya yang lain. Bahkan Hinata yang manis pun ikut larut dalam dentuman musik dan tidak menolak ketika Shiho menyeretnya untuk ikut berjingkrak-jingkrak di lantai dansa.

Sementara itu Sasuke hanya bisa menyaksikan Sakura meninggalkannya tanpa bisa berbuat apa-apa. Rencananya semula untuk menyatakan perasaannya terasa amat jauh sekarang. Ia juga tak sampai hati jika harus menyela Sakura sekarang, di saat gadis itu terlihat sangat gembira bernyanyi dan berjoget gila-gilaan dengan yang lain. Maka malam itu ia memutuskan untuk mengalah saja. Mungkin sekarang bukanlah waktu mereka. Lagipula Sasuke bisa mengatakannya setelah ia kembali dari Oto, meskipun itu artinya ia harus menggantung Sakura selama beberapa minggu lagi.

Di antara kerumunan, Sasuke melihat Sakura menoleh ke arahnya, menatapnya sambil tersenyum lebar. Gadis itu memberinya isyarat dengan tangannya mengajak Sasuke ikut bergabung bersamanya. Sasuke menjawab dengan gelengan enggan, tentu saja. Ia tidak nyaman jika harus berdesakan dengan orang-orang, jadi ia memilih untuk menonton saja dari jauh. Sakura mengerutkan wajahnya, pura-pura cemberut. Ekspresinya yang lucu membuat Sasuke tak bisa menahan dirinya tersenyum.

Dan sepanjang sisa prom malam itu, Sasuke hampir tidak pernah melepaskan pandangannya dari Sakura.

.

.

Suasana di dalam kabin limo itu sunyi ketika mereka dalam perjalanan pulang malam itu. Semua orang sudah terlalu lelah untuk saling bicara. Ino yang menempati bangku paling belakang duduk sambil menyandarkan kepalanya di bahu Sakura. Matanya terpejam, sementara Sakura juga sudah mulai terkantuk-kantuk. Di dekat mereka, Naruto sudah melepas jasnya dan menyelimutkannya pada Hinata yang hampir tertidur di bahunya. Pemuda berambut pirang itu berkali-kali menguap. Hanya Sasuke dan Sai yang masih benar-benar terjaga.

Saat mereka sudah mendekati Blossoms Street, Sakura membangunkan Ino, sebelum kemudian meraba-raba bagian bawah joknya untuk mencari-cari high heels yang tadi ia lepas begitu duduk di dalam limo—semalaman menggenakan sepatu yang tidak nyaman itu membuat kakinya sakit. Ino juga melakukan hal yang sama. Hanya Hinata yang sama sekali tidak melepas sepatunya, meskipun beberapa kali ia memijat-mijat pergelangan kakinya, dan Naruto menawarkannya untuk menukar sepatu mereka.

"Aku titip barang-barangku dulu, ya. Lusa baru kuambil. Besok aku ingin tidur seharian," kata Ino padanya ketika limo itu berhenti tepat di depan rumah nomor 28.

"Seperti tidak biasa saja," Sakura menepuk paha sahabatnya itu, kemudian beranjak sambil sebelah tangan menenteng high heels dan clutch-nya sekaligus. Dengan hati-hati melewati Naruto dan Hinata, mengucapkan selamat malam pada mereka, lalu membiarkan Sasuke memegangi tangannya ketika ia hendak turun. "Night," bisiknya pada Sasuke saat melewatinya.

Sekilas mata mereka bertemu, dan ia melihat Sasuke memberinya senyum yang tak mencapai matanya. Bibirnya bergerak, tetapi tidak ada suara yang keluar.

"Trims tumpangannya, Sai," ucapnya pada Sai begitu Sakura sudah menjejakkan kaki telanjangnya di pedestrian depan rumahnya.

Sai yang juga ikut turun, mengangguk. "Sama-sama. Selamat istirahat," ucapnya, tersenyum.

Sakura melempar pandang ke dalam kabin mobil sekali lagi, sebelum berbalik menuju rumahnya.

Tepat setelah pintu limo kembali ditutup dan kendaraan berbadan panjang itu mulai melaju pelan meninggalkan rumah Sakura, Naruto menyikut lengan Sasuke cukup keras. "Kau tidak melakukannya, kan?!" semburnya bahkan sebelum Sasuke membuka mulut untuk memprotes.

"Tidak, dia tidak melakukannya." Ino lah yang bersuara, sambil tertawa hambar.

"Padahal kau punya banyak kesempatan! Apa jangan-jangan kau mendadak jadi pengecut?"

"Chicken! Boo!" Sai mengacungkan ibu jarinya ke bawah di depan wajah Sasuke—yang dengan kasar segera ditepis olehnya.

"Oke! Oke—berhenti!" Sasuke meninggikan suaranya untuk menghentikan serangan teman-temannya yang tidak puas. Meskipun ia tidak begitu yakin apa yang dikatakannya nanti bisa menjadi alasan yang cukup kuat mengapa ia tidak—belum—melakukannya. "Momennya selalu tidak pas—aku tahu ini kedengarannya seperti alasan yang dibuat-buat."

"Masalahnya adalah, kau tidak berusaha cukup keras untuk membuat momen sendiri," tandas Naruto. Nadanya seperti sedang berbicara dengan orang bodoh. "Seolah-olah kau menyerah begitu saja ketika ada yang 'gangguan'. Padahal kau bisa mengajaknya keluar, misalnya, untuk bicara."

"Dia menunggumu sepanjang malam, Sasuke," Ino menambahkan, seraya menggeleng, menatap Sasuke kecewa. "Padahal bisa saja dia yang melakukannya sendiri, tapi dia memilih memberimu kesempatan karena dia sudah melihatmu mencoba saat kau datang ke rumahnya tadi sore."

Sasuke menggeram seraya mengusap wajahnya dengan kasar, frustrasi dengan dirinya sendiri. Yang dikatakan Naruto benar. Dan Ino telah memberinya tamparan telak. Bagaimana bisa ia memutuskan untuk menggantung Sakura lebih lama? Sementara dirinya sendiri juga tersiksa jika harus menahan perasaanya lebih lama lagi.

Seakan sudah membaca situasi, Sai meminta supirnya untuk berhenti. "Just do it, Sasuke."

Hinata mengulurkan tangan melewati Naruto, menepuk lengan Sasuke lembut. "Kami tahu kau pasti bisa melakukannya."

Dan tanpa berpikir panjang lagi, Sasuke melompat keluar dari limo dan berlari secepat yang ia bisa kembali menuju rumah Sakura—yang untungnya masih belum jauh. Dengan napas terengah-engah, akhirnya Sasuke sampai. Ia melihat lampu kamar Sakura di lantai dua sudah dalam keadaan menyala, yang berarti gadis itu sudah naik ke kamarnya.

Seraya mengatur napas, Sasuke berjalan dengan langkah lebar menuju pintu depan rumah itu, seperti yang dilakukannya tadi sore, sebelum kepercayaan dirinya rontok sedikit demi sedikit. Ia lalu menekan bel. Satu kali. Dua kali. Hingga suara kunci pintu diputar terdengar setelah bel ketiga. Dan seorang wanita paruh baya berambut merah muncul saat pintu terbuka.

"Sasuke?" Azami tampak terkejut melihat kehadiran pemuda itu. Terlebih di waktu selarut ini.

"A—ah," Sasuke terbata. "Selamat malam, Bibi."

Wanita itu membalas sapaannya hangat, kemudian menanyakan keperluannya. Meskipun nada bicaranya ramah dan tampak tak terganggu, namun tetap saja kedatangan remaja laki-laki itu larut malam begini rasanya tidak biasa.

"S—sepeda," sahut Sasuke tanpa berpikir. Dalam hati ia memaki dirinya sendiri—Mengapa? "Saya mau ambil sepeda saya."

Saat itu ia melihat Sakura muncul dari tangga. Gadis itu masih mengenakan dress yang sama dengan yang ia kenakan ke prom tadi. Hanya saja ia sudah menghapus riasannya, dan corsage pemberian Sasuke sudah tidak terlihat lagi di pergelangan tangannya. Bagian depan rambut merah mudanya ditahan oleh bandana handuk berbentuk telinga kucing berbulu berwarna shocking pink, yang serasi dengan warna sandal rumahnya.

"Sasuke?" Sakura bergegas menghampiri ibunya di depan pintu.

"Katanya Sasuke mau ambil sepeda," ibunya memberitahunya. Kemudian ia meminta diri untuk kembali masuk ke dalam rumah, setelah mengingatkan Sakura untuk mengunci pintu nanti.

"Padahal aku bisa mengantarkannya ke rumahmu besok," kata Sakura dengan senyum lemah.

Sasuke membalas senyumnya kikuk. "Tidak perlu repot-repot, Sakura." Ia merasakan keberanian yang barusan menggebu-gebu menguap begitu saja di bawah tatapan lelah Sakura. Ia lantas berbalik menuruni tangga menuju gang di samping garasi rumah, tempat ia menyimpan sepedanya tadi.

"Atau kau bisa menitipkannya di sini kalau kau mau. Kau bisa mengambilnya setelah kembali dari Oto." Sasuke bisa mendengar Sakura berkata.

Ia memejamkan mata, menghela napas dalam-dalam seraya merutuk dalam hati. Digiringnya sepeda miliknya menuju drive way, lalu menoleh untuk mendapati Sakura sudah bersandar pada tiang penyangga atap di sisi tangga, mengawasinya. Sasuke memaksakan senyum. "Aku ambil sekarang saja."

Sakura tidak membalas. Ia juga tidak tersenyum. Gadis itu hanya menatapnya lama. Seakan menunggu.

Sasuke tidak tahu apa yang ada di pikirannya ketika ia malah berbalik pergi tanpa mengucapkan sepatah katapun lagi. Masih ada lain waktu, Sasuke berusaha meyakinkan dirinya sendiri. Namun bayangan ekspresi wajah Sakura yang kecewa membayanginya. Ia sungguh ingin membuat wajah itu tersenyum ketika dirinya pergi meninggalkan Konoha, bukan malah sebaliknya.

Sasuke lantas menghentikan sepedanya di bawah lampu jalan beberapa meter dari rumah Sakura. Dan tepat saat itu ia mendengar suara gadis itu memanggilnya. Dari arah rumah nomor 28, Sasuke melihat Sakura berlari ke arahnya.

"Apa hanya itu?" Sakura tampak seperti hampir menangis.

"Sakura—" Sasuke turun dari sepedanya, menyandarkannya pada tiang lampu.

"Aku tahu kau ingin mengatakan sesuatu padaku," Sakura menyelanya.

"Ya—"

"Jadi katakan saja. Aku mendengarkan."

Sasuke merasakan hatinya mencelos ketika Sakura melangkah lebih dekat kepadanya dan ia bisa melihat lebih jelas air mata yang tumpah di wajahnya di bawah cahaya lampu jalan. "Sakura, jangan menangis."

Gadis itu mengusap air matanya dengan punggung tangannya, namun sepertinya itu justru membuatnya semakin deras. "Maaf. Aku tidak bisa menahannya." Sakura mengeluarkan suara seperti tawa dan isakan bersamaan. "Aku terlalu menyukaimu sampai rasanya menyakitkan."

Mata Sasuke melebar. Tidakseharusnya bukan begini! Dengan perasaan tidak keruan, Sasuke menutup jarak di antara mereka. Jemarinya menyentuh pipi gadis itu, menyusup ke belakang telinganya sementara kedua ibu jarinya mengusap air matanya dengan lembut. "Harusnya aku mengatakannya lebih awal."

"Lama," Sakura berkata pelan. Tawanya serak.

Menghela napas, Sasuke menyentuhkan keningnya dengan kening gadis di depannya. "Sori," bisiknya. "Aku juga menyayangimu, Sakura. Sudah lama." –Ia bisa merasakan Sakura mengangguk.

"Tidak sulit, kan?" Sakura mendongak selang beberapa saat, menatap langsung ke mata Sasuke. "Kau berhutang kencan denganku setelah ini."

Sasuke tak bisa menahan tawanya. Dadanya dipenuhi perasaan sayang yang membuncah. "Aku tahu. Jadi, mau berkencan denganku setelah aku kembali dari Oto nanti?"

"Mau!" sahut Sakura tanpa berpikir panjang. Air matanya kembali mengalir—hanya saja dengan alasan berbeda kali ini.

"Terima kasih, Sakura."

"Untuk?"

"Untuk kesabaranmu menghadapiku."

Tersenyum, Sakura mengulurkan tangan menangkup pipi Sasuke. Mereka bertatapan agak lama, membuat Sakura teringat momen ketika mereka berdansa di acara prom malam itu—saat mereka hampir berciuman. Tanpa sadar gadis itu menggigit bibir. Batas di antara mereka seharusnya sudah tidak ada. Seharusnya—

"Aku tidak akan kabur lagi kali ini," bisiknya.

Dan seakan langsung memahami apa maksud perkataan Sakura, Sasuke menarik tubuh gadis itu lebih dekat, lalu menunduk untuk mencium bibirnya dalam-dalam. Udara dingin malam itu seketika berubah hangat tatkala gadis itu membalas ciumannya, mengalungkan lengan ke lehernya.

Entah berapa lama mereka berdiri di pedestrian yang sepi itu, saling mengungkapkan sayang yang sudah terpendam sekian lama di bawah penerangan lampu jalan. Yang terdengar hanya suara semilir angin malam yang meniup pepohonan di atas mereka menyelingi suara kecupan, dan sesekali gonggongan anjing di kejauhan. Hingga tertangkap oleh mereka suara kendaraan yang mendekat.

Mereka melepaskan diri begitu menyadari limo yang sebelumnya mengantar mereka ke prom tiba-tiba saja sudah ada di dekat mereka.

"Aah … young love " Naruto yang mengintip dari sunroof yang terbuka menghela napas sambil nyengir lebar. "Kok berhenti, sih? Lanjutkan dong …"

Di sampingnya, Ino cekikikan. "Akhirnya … Selamat, Sakura. Bandana yang bagus."

"Hinata bilang, selamat untuk kalian berdua!" kata Naruto.

"Ngapain kalian di sini?" Terkejut—dan kesal—karena diinterupsi, Sasuke memelototi mereka. Sementara Sakura menyembunyikan wajahnya yang merah di pelukannya, tertawa malu-malu.

"Cuma ngecek," kata Sai, yang nongol di sisi lain Naruto, dengan entengnya. "Kami semua khawatir kalau-kalau Sasuke bersikap tolol."

"Kalian semua yang tolol. Sana pergi!"

Tentu saja mereka tidak serta-merta pergi. Sasuke tahu betul bagaimana sahabat-sahabatnya yang konyol itu—dan mereka tidak akan berhenti menggodanya entah sampai kapan. Namun saat itu Sasuke sedang sangat bahagia sehingga ia tidak bisa benar-benar marah pada mereka. Sampai akhirnya mereka pergi, Sasuke pun mengantar Sakura yang telah resmi menjadi kekasihnya kembali ke rumah. Berat rasanya meninggalkan Sakura malam itu, terlebih ketika memikirkan mereka tak bisa menghabiskan waktu bersama-sama selama beberapa minggu ke depan.

Tapi tidak apa. Jarak tidak menjadi masalah selama perasaan mereka saling terhubung, kan?

.

.

Ketika Sasuke menginjakkan kaki di Konoha dua tahun lalu, ia tidak mengharapkan apa-apa. Saat itu ia hanyalah remaja bermasalah yang dipenuhi amarah, egois, kelewat sombong bahkan untuk kebaikannya sendiri, dan yang ia inginkan hanyalah lari dari masalah. Mendapatkan seorang teman, dan membuat ikatan dengan orang lain terasa sangat jauh dari pikirannya saat itu.

Jika dulu Sasuke tahu akan jadi orang seperti apa dirinya dua tahun ke depan, ia pasti sudah menganggap dirinya sudah gila—atau bertanya-tanya kegilaan macam apa yang sudah terjadi sehingga ia hampir tidak bisa mengenali dirinya lagi? Mana ada Sasuke yang dulu peduli dengan orang lain, atau mau mendengarkan kata-kata orang lain, atau bahkan jatuh cinta tanpa merasa terobsesi untuk menguasai.

Mereka bilang waktu bisa mengubah banyak hal. Namun bagi Sasuke, perubahan itu tidak bisa terjadi hanya karena waktu semata, tapi juga karena ada orang-orang yang mendukungmu. Persahabatan yang didapatkannya di sini seperti terapi yang selama ini ia butuhkan, membuatnya menjadi orang yang lebih baik. Sasuke tidak pernah mengarapkan bisa mendapatkan persahabatan yang sempurna. Yang ia inginkan adalah persahabatan yang tidak memudar seiring berjalannya waktu, dan tidak melemah karena perpisahan.

Yeah … apa pun itu, yang jelas ketika Sasuke memutuskan menerima tawaran Itachi untuk ikut bersamanya ke Konoha, itu adalah keputusan terbaik yang pernah ia buat. Keputusan yang mengubah hidupnya selamanya.

.

.

FIN

.

.


Playlist:

Perfect - Ed Sheeran; Salted Wound – Sia: lagu yang mengiringi SasuSaku dansa di prom

Rewrite The Stars – Zac Efron & Zendaya; Senorita – Shawn Mendez & Camila Cabello: Sai-Ino

Photograph – Ed Sheeran

Crazy for This Girl & Distance – Evan & Jaron

Terima kasih sudah membaca!