A/N: hi, konnichiwa, minna-chan~~ bilangx si, 'next chappie vic akan berusaha update ga terlalu lama'... tapi, ternyata... cukup lama juga, eaa... XD gomen, gomen...
tapi, finally, chappie 7 ne~~ yayy!
sebelum eto... izinkan vic untuk membalas reviews yang masuk dari anonymous readers, eaa~
Princess Lawliet;
yayy thankies atas salut en pujianx, hime~~
romantis? uwaa, vic 9 nxangka ada yang bilang fanfic ne romantis~~ *^-^* malux... kyaa~!
ne, ne, hime... mari berharap sosok seperti touyanii muncul di kehidupan ini... (pasti muncul, kok...!)
pinchan;
uwaa~ arigatou nee~
ahaha, vic juga suka yang meximpang2, kok... XB
maaf, maaf, uda buat pinchan penasaran...
tapi setelah baca chappie 7 ne, pexakit penasaran pinchan bakal terobati, kok... XB
richan;
yo, richan~ vic tak kan pernah melupakan richan, kok~
thankies, akhirx nge-review juga~~ senangx~
touyanii kxk apa? pkokx sosok aniki yang vic idam-idamkan de... *sigh dreamily*
en emg aslix touyanii uda keren, si... ^ / / / ^
bebikyo;
kyokuuun~~ halluu~!
thankies~~ 'semakin lama ceritanya semakin dalem'... kyaaa~ XD
Rui;
vic loves your name, ruichan~~ XD
arigatou uda blushing pas baca fanfic ne, eaa~
vic jadi ikutan blushing ne... ^ / / / ^
mikanauchihayahoo .co .id;
sankyuu uda suka tousaku~XD
umm... kalo lemon si... aiih, gomennasai ne... vic malah berusaha untuk hanya fokus pada perasaan tousaku ja ne... T^T
tapi, moga suka eaa ma yang ada di chappie sekarang, hehe...
.
baiklah...! hidangan chappie 7 siap dinikmati minna-chan~~
douzo~~ m(_ _)m
FEVERISH
presented by:
vic
disclaimer:
CLAMP
warning:
AU, OOC, Chara's Death, Kinomotocest, and Long Chapter
~chappie seven~
Apa yang sudah kulakukan?
Sepanjang perjalanan kaki menuju rumah, Touya tak berhenti merutuki dirinya dalam hati. Apa yang kupikirkan sampai melakukan hal sejauh itu pada...
"Oniichan, mite, mite! Bintang jatuh, lho!"
Touya tersentak dari pikirannya mendengar seruan takjub Sakura, yang sedari tadi berjalan di sampingnya. Terlihat gadis itu menengadah ke langit gelap dengan kedua iris yang bersinar.
"Buat harapan, Oniichan! Segera buat harapan!" seru Sakura lagi, melepaskan genggaman tangan Touya dan kemudian memejamkan mata seraya menangkupkan kedua tangan dengan jari-jari bertautan di depan dada.
Touya tidak ikut membuat harapan-bahkan menengadah ke langit pun tidak. Ia hanya memperhatikan betapa khusyuknya Sakura membuat harapan, kemudian senyum kecil terukir di wajahnya. "Aku tahu apa yang kau harapkan pada bintang bodoh itu, Monster." Katanya sementara telunjuknya mengetuk dahi gadis itu.
Sakura membuka mata, mendongak pada kakaknya. "Bintang bodoh...?"
"Kau berharap-"
"Memangnya Oniichan bisa membaca pikiran?" sela Sakura bertanya.
"Kau mudah ditebak, Monster." Ucap Touya ringan membuat kedua alis Sakura yang gantian bertautan. "Dan kau tadi membuat harapan untuk bisa menjadi Monster-ku, selamanya."
Kali ini bibir Sakura mengerucut sebal, namun terlihat lucu di mata Touya. "Aku tidak membuat harapan seperti itu, Oniichan." Tukasnya tegas.
"Harapanmu, 'Aku ingin bisa bersama Oniichan seterusnya.' Begitu, kan?"
Sakura terpana. "Bagaimana Oniichan-" kedua irisnya mulai melebar, menyadari sesuatu, "Oniichan...! Kenapa kau mengatakannya? Kalau dikatakan, nanti harapannya jadi tidak dikabulkan sang Bintang, kan?" jeritnya sebal. "Dasar Oniichan bodoh!"
"Yah, kalau begitu buat saja lagi."
Sakura mendongak ke atas, mengamati langit malam bertaburan bintang, dan lalu mendesah kecewa. "Mou... Tidak ada lagi bintang jatuh, Oniichan."
"Hn. Sayang sekali." Kata Touya namun terdengar tidak menyesal sedikit pun.
Sakura memandangi wajah kakaknya, sementara satu tangannya yang bebas meraih tangan pemuda itu dan menggenggamnya erat. "Kamaimasen. Aku bisa membuat harapan lagi pada malam berikutnya-kalau ada bintang jatuh lagi, sih." Ujarnya sambil bergerak merepet pada sosok jangkung didepannya.
Touya menahan napas saat Sakura menyandarkan kepalanya di bahunya. Mereka seperti hampir berpelukan, kalau tidak ada boneka beruang besar yang terhimpit di antara keduanya.
Apa yang sudah kulakukan? Kenapa aku bisa melakukan hal itu padanya? Apa yang kupikirkan saat itu? batin Touya kembali merutuki dirinya. Tak kuasa ia teringat adegan saat ia merasakan bibir mungil Sakura. Terasa begitu manis hingga tanpa sadar ia melumatnya beberapa kali. Kemudian ia ingat dirinya mendekap tubuh Sakura erat dan bibirnya beralih menyusuri pipi, telinga dan lekuk leher gadis itu. Merasakan semuanya. Aku sudah bertindak terlalu jauh.
"Oniichan, daijoubu?"
Touya tersentak pelan dan menunduk melihat Sakura yang memandanginya perhatian. "Daijoubu, Sakura." Jawabnya tersenyum tipis. Kemudian ia menghela napas, entah kenapa terasa berat. "Saa, kaero (ayo pulang). Otousan pasti sudah menunggu kita."
"Un." Sakura tersenyum mengangguk, lalu kembali berjalan bersama Touya di sisinya.
"Tadaima!" seru Sakura setelah sampai di rumah. Touya di belakangnya sedang menutup pintu kembali. Terdengar langkah-langkah berat menghampiri mereka serta jawaban, "Okaerinasai."
Touya melihat ayahnya tersenyum menyambut kepulangan mereka. Senyum kebapakan yang khas. Namun ia tahu, senyum itu hanya ditujukan untuk Sakura, bukan untuk dirinya juga.
Setelah Sakura beranjak ke kamarnya-mengucapkan, "Oyasuminasai." kepada mereka-Touya sudah menduga ayahnya ingin berbicara lagi dengannya.
"Tiket pesawat, paspor dan visa sudah Ayah siapkan. Pesawatmu akan terbang esok pagi. Tapi lebih baik kau berangkat tengah malam ini setelah Sakura-chan tidur. Ayah juga sudah menyewa taksi. Yang perlu kau lakukan sekarang hanyalah mengemasi semua barangmu, Touya." Kata Fujitaka pelan tanpa memandang putranya.
Touya sendiri hanya mengangguk dan segera bangkit dari sofa, akan beranjak ke kamarnya, tapi Fujitaka memanggilnya.
"Kenapa kau tidak bisa menahan dirimu, Touya?" tanya pria itu melepas kacamatanya. Ekspresinya terlihat lelah dan sangat muram. "Kenapa kau melakukan hal itu pada Sakura-chan?"
Touya tidak terlalu kaget mendengar pertanyaan itu terlontar dari ayahnya. Ia memang tahu Fujitaka sudah melihat semuanya.
Melihat dirinya mencium dan menyentuh Sakura.
Touya ingat kilatan syok, amarah, terluka, dan merasa dikhianati yang terpantul dari ekspresi ayahnya saat melihat mereka dari kejauhan. Ia sendiri awalnya juga langsung pucat menyadari sosok ayahnya, yang berada dalam mobil terparkir di seberang Penguin Park, melihat mereka. Hal itulah yang membuat Touya melepaskan Sakura saat itu juga.
"Padahal Ayah sudah menaruh kepercayaan serta memberimu kesempatan, tapi Touya..." Fujitaka mendesah berat. Kali ini Touya menyadari ayahnya tampak jauh lebih tua dari usianya yang baru kepala empat.
"Aku memang tidak bisa menahan diriku, Otousan." Touya mengaku.
Fujitaka memandangnya. Kerutan dalam muncul di dahinya. "Touya dan Sakura-chan memiliki darah yang sama! Kalian bersaudara kandung, demi Kami-sama! Kalian lahir dari rahim yang sama dan tidak ada yang bisa menghapus kenyataan itu, Touya!"
Touya hanya diam, tak akan bisa membantah. Namun kemudian bibirnya bersuara, "Aku mencintainya, Otousan. Aku sangat mencintai Sakura."
Fujitaka mengangkat tangan mengusap wajahnya frustasi. "Ayah tidak bisa menerimanya, Touya." Katanya serak seperti hampir terisak.
"Maafkan aku, Ayah." Ucap Touya begitu menyesal. Ia membungkukkan badan dan kemudian mulai beranjak menuju kamarnya.
oooOOOooo
Touya mengulurkan tangan. Dengan perlahan menempelkan telapaknya pada pipi Sakura, yang tertidur pulas dibuai mimpi sembari memeluk boneka beruang pemberiannya. Kedua sudut bibir gadis itu tertarik ke atas membentuk senyum. Membuat Touya sedikit merasa ingin tahu apa yang sedang diimpikannya.
Namun Touya juga tak ingin tahu ataupun berharap. Ia menarik kembali tangannya ke atas pangkuan. Tangan itu mengepal sementara dirinya mengalihkan kedua irisnya menjauh dari wajah damai sang Putri yang tengah tertidur itu. "Aku tidak bisa berharap kau memimpikanku," ucapnya lirih dengan sinar redup terpantul di kedua iris cokelatnya.
Kemudian Touya menghela napas. Terasa berat sekali seolah sebongkah batu besar menindih rusuknya. "Gomen ne," ucapnya lagi. Semakin lirih terdengar. Kembali ia memutar kepala memandangi wajah Sakura. "Aku..." ia berhenti. Sesaat merasa ragu, namun segera ditepisnya jauh. "Aku ingin kau bahagia. Aku yakin kau pasti akan bahagia." Katanya tegas. "Aku yakin ...kau pasti akan menemukan kebahagianmu."
Usai mengatakannya, Touya mulai membungkukkan badan. Wajahnya menunduk dekat dengan wajah di bawahnya. Kedua matanya tanpa sengaja terfokus pada bibir mungil Sakura.
Mungkin aku bisa...
Dengan gerakan cepat Touya mengecup dahi Sakura, lalu buru-buru menarik diri dan membuang muka.
Setelah beberapa detik yang kaku, Touya kembali memandangi Sakura. Sekuat hati memaksa dirinya membentuk senyum lembut seorang kakak, kemudian ia berkata, terdengar cukup keras, "Sayounara, Imouto."
Dari balik pintu kamar Sakura, terlihat Fujitaka berdiri dengan kedua iris berkaca-kaca. Namun ia tahu apa yang dilakukannya nanti hanya untuk kebaikan mereka berdua, putra-putrinya.
oooOOOooo
Untuk Monster,
"Oniichan!"
Sakura menjeblak pintu kamar di depannya dan menghambur masuk ke dalam. Berharap melihat sosok jangkung kakaknya masih tengkurap bergelung selimut di atas tempat tidur, namun yang ditemukannya hanyalah kamar yang nyaris kosong. Tempat tidur itu tertata rapi-terlalu rapi, seolah tadi malam tidak ada yang berbaring di sana. Bahkan untuk meja kerja dan rak, kosong. Tidak ada apapun. Seperangkat komputer dan buku-buku koleksi kakaknya juga ikut menghilang.
Sepertinya memang benar; bintang jatuh tidak akan mengabulkan harapanmu jika kemudian kau mengatakannya atau diketahui orang lain.
Dengan cepat Sakura meraih gagang pintu lemari dan membukanya. Kosong. Ia membuka pintu lainnya serta laci-laci, tapi tetap yang dilihatnya nihil.
Gomen ne, Monster.
Tangan Sakura gemetar. Begitu pula tubuhnya. Kedua irisnya melebar tidak percaya dengan apa yang dilihatnya; kamar yang nyaris kosong tanpa barang-barang milik kakaknya. Ke mana? Ke mana perginya barang-barang itu.
Ke mana perginya Oniichan?
"Sakura-chan," panggil suara berat di balik punggungnya. Sakura langsung menoleh dan mendapati ayahnya berdiri di ambang pintu menatapnya muram.
"O-Otousan...?" Sakura nyaris tersedak. Kedua irisnya balik menatap ayahnya bertanya. "Otousan, kenapa... kenapa kamar Oniichan... ko-kosong? Ke-ke mana perginya barang-barang-" tanpa terasa air mata merebak di kedua pelupuk matanya, "-Oniichan...?"
"Sakura-chan," ayahnya melangkah mendekatinya. "Dengarkan Ayah."
"Ke mana... Oniichan, Otousan?" tanya Sakura menatap nanar ayahnya, tidak mendengarkan. Lalu ia mengalihkan tatapannya mengelilingi tiap sudut kamar itu. "...Kosong. Tidak ada apapun... Barang-barang Oniichan..."
Bukannya aku sengaja membuat harapanmu tidak dikabulkan bintang bodoh itu, hanya saja... kita memang tak bisa bersama seterusnya.
"Sakura-chan," Fujitaka berusaha meraih perhatian putrinya sembari menggenggam kedua bahu kecil itu. Namun Sakura menarik mundur, melepas genggaman tersebut. Lalu tiba-tiba gadis itu berlari ke luar kamar. "Sakura!"
Sakura berlari melewati kamarnya sendiri, menuruni anak tangga, kemudian melesat meraih gagang pintu rumah dan membukanya kasar.
"Sakura! Kau mau ke mana?" seru Fujitaka panik menyaksikan putrinya berlari bertelanjang kaki ke luar rumah dengan masih mengenakan piyama.
Kita memang tidak seharusnya bersama dengan menjalani hubungan seperti ini, Monster.
Sakura sendiri terus berlari tanpa henti. Tanpa berpikir lain kecuali tentang tempat di mana kakaknya mungkin masih berada. Di belakangnya, dengan susah payah, Fujitaka mengejar sembari terus memanggilnya. Namun ia tak akan berhenti sebelum sampai ke tempat itu.
Aku tidak menyalahkanmu; aku yang bersalah karena sejak awal memiliki perasaan ini terhadapmu.
"Oniichan...! Oniichan...!" teriak Sakura keras sementara kedua tangannya memukul-mukul pintu rumah berkayu di depannya. "Oniichan...!"
Seharusnya aku memendamnya dan tidak mengakuinya padamu. Seharusnya aku bisa menahan diri. Seharusnya aku berusaha mengenyahkannya dan terus bersikap selayaknya seorang Oniichan terhadap adik kecilnya, tapi...
Pintu itu bergeser membuka, seraut wajah kusut di balik kacamata memandang Sakura kaget. "Sakura-chan? Oha-"
Tanpa izin Sakura langsung menerobos masuk ke dalam, semakin nyaring memanggil-manggil kakaknya. Ia menelusuri tiap ruangan di rumah tradisional itu, namun tetap tak bisa menemukan sosok kakaknya.
...aku tak bisa. Perasaanku sudah terlanjur begitu dalam. Dan aku juga tidak menyesal dengan apa yang sudah terjadi.
"Sakura-chan..." Fujitaka sudah muncul di samping putrinya. "Sakura-chan, apa yang kau lakukan, menerobos rumah Yukito-kun seperti ini?"
Tapi aku juga harus memikirkan masa depan kita dengan hubungan seperti ini-hubungan yang terlarang dan tidak akan bisa diterima oleh orang-orang.
Dan yang terpenting masa depanmu, Monster. Kau akan tumbuh menjadi Monster dewasa; setelah lulus dari sekolah dan universitas, kau akan terjun ke dunia masyarakat luas; meraih impianmu; lalu menikah dan melahirkan monster-monster lucu lainnya, yang tidak akan mungkin terwujud jika kau terus bersamaku.
Karena itulah, Monster, aku memilih pergi. Agar kau bisa memiliki masa depan yang kau impikan.
Sakura tidak menjawab. Tatapannya nanar. Airmata menganak sungai membanjiri pipinya. "Oniichan... Oniichan pergi, Otousan..." katanya sesenggukan. "Pergi..."
"Ayah tahu-"
"Otousan tahu?" sambar Sakura, sekarang mendongak menatap ayahnya. Tidak jauh dari mereka, Yukito berdiri di ambang pintu ruang kerjanya, tidak tahu apa yang tengah terjadi. "Otousan tahu Oniichan pergi? Oniichan pergi ke mana?"
"Sakura-chan, lebih baik kita pulang dulu ke rumah untuk menenangkan-"
"Oniichan pergi ke mana, Otousan? Sakura mohon, beritahu Sakura ke mana perginya Oniichan..." tangis Sakura seraya menarik-narik kemeja tidur ayahnya.
"Sakura-chan, kita pulang dulu-"
"Jawab Sakura, Otousan! Ke mana Onii-"
"Touya pergi jauh dari sini, Sakura! Meninggalkan kita dan tidak akan kembali lagi untuk selamanya!" seru Fujitaka menyentakkan bahu putrinya.
Kedua iris Sakura yang berair membeliak lebar. Begitu kaget mendengarnya. "Nan-nani...?"
"Touya sudah memutuskannya. Dia pergi jauh dan tidak akan kembali..." ulang Fujitaka miris melihat ekspresi putrinya.
"...Bohong ...Itu tidak benar ...Tidak akan kembali ...Oniichan?" Sakura melangkah mundur sementara kepalanya menggeleng tidak percaya. "Iie... Otousan bohong... Oniichan tidak..."
"Touya tahu itulah keputusannya yang terbaik-"
"Bohong! Otousan bohong! Oniichan tidak mungkin... Oniichan tidak..." dan gadis itu menjerit histeris. Kedua tangannya menutupi kedua telinganya erat. "Itu tidak benar...!"
Dan aku... aku akan bahagia melihat dirimu yang berhasil meraih impianmu itu. Saat itu tiba, aku akan datang dan memberimu selamat. Juga mendoakan kebahagiaanmu setelahnya. Karena hal itulah yang paling kuinginkan; melihatmu bahagia.
Fujitaka menarik bahu putrinya kembali, menyentaknya keras. "Dia pergi demi kebaikanmu, Sakura! Demi kebaikan kalian berdua! Agar kalian tidak terjerat semakin dalam!"
Dan seruan itu akhirnya berhasil menghentikan jeritan histeris Sakura. Sebagai gantinya, gadis itu mendongak memandang ayahnya ketakutan. Wajahnya yang tadi memerah karena tangis berubah pucat pasi. Kengerian terpantul di kedua iris hijau emerald-nya.
"O-Otousan... ta-tahu...?"
Pria di depannya mengangguk. Jelas sekali. Sakura bisa melihat tatapan sedih ayahnya yang begitu menyakitkan. Hingga akhirnya gadis itu limbung ke belakang, jatuh terduduk sebelum bisa ditangkap ayahnya.
Dan jika memang untuk bisa melihatmu bahagia adalah dengan kepergianku, maka itulah yang aku lakukan sekarang, Monster. Aku pergi darimu.
Sakura menangis terguncang. Sekarang airmatanya seolah terlihat tidak akan berhenti mengalir. Tidak ada suara kali ini; hanya tangis dalam diam.
Fujitaka menghela napas. Begitu menyesakkan melihat putrinya terpuruk seperti itu di depannya. Dengan perlahan ia berjongkok dan menarik tubuh putrinya yang seolah rapuh ke dalam pelukannya. Kemudian dengan mantap pria itu berdiri sementara kedua tangannya mengangkat dan menggendongnya erat.
Sakura sendiri hanya menatap kosong. Airmata masih terus mengalir. Saat ayahnya membopongnya keluar ruangan kerja milik si Novelis, tangannya terkulai hingga selembar kertas notes yang digulung kusut melayang jatuh dari genggamannya.
"Yukito-kun, Paman benar-benar minta maaf telah mengganggu pagimu seperti ini," ujar Fujitaka muram kepada pemuda berkacamata yang masih mengenakan piama dari yukata tersebut.
Yukito mengangguk. Akhirnya ia tahu apa yang tengah terjadi. "Kamaimasen, Ojisan. Watashi wa wakarimashita."
"Kalau begitu, Paman mohon pamit..."
Usai mengantarkan Fujitaka dan Sakura sampai ke genkan, Yukito masuk kembali ke dalam ruangannya dan memungut kertas kusut yang tadi terjatuh dari tangan Sakura. Di atas lembarannya terdapat tulisan tangan yang familiar-
Sayounara, Monster. Jaga dirimu mulai dari sekarang.
Ksatria-mu.
-tulisan tangan Touya.
oooOOOooo
"...mendadak begini, bagaimana aku bisa mencari penggantimu?"
"Kau pasti akan menemukannya."
"Tapi kau tahu tiada tangan lain yang sesuai denganku kecuali tanganmu, kan?"
"..."
"...boleh tanya satu hal, Touya?"
"...Hn."
"Apa kau yakin hal inilah yang terbaik untuk kalian berdua? Maksudku, kau tidak melihat betapa Sakura-chan-"
"Aku tahu."
"Dan tetap kau biarkan begitu saja? Apa kau akan baik-baik saja seperti itu meninggalkannya?"
"Kami akan baik-baik saja."
"...Seharusnya kau tidak memulai apa yang kau tahu akan berakhir seperti ini. Yang tersisa hanya penyesalan-"
"Aku tidak menyesali apa yang sudah terjadi di antara kami. Aku... bersyukur karena sudah diberi kesempatan mengakui perasaanku padanya; diberi kesempatan memiliki kenangan bersamanya... Dan aku juga bersyukur... karena diberi kesempatan membiarkannya bahagia... tanpaku."
"...Tetap aku tidak setuju kau membiarkannya bahagia tanpamu, Touya. Kebahagiaan Sakura-chan adalah dengan bersamamu-bukan saat kau pergi seperti ini dari sisinya. Apa yang sudah terjadi di antara kalian bukanlah kesalahanmu. Takdir yang membuatmu-kalian-"
"Takdir jugalah yang akhirnya membuatku pergi darinya. Dan aku tidak menyesal, Yuki. Pergi dari sisinya adalah keputusanku; inilah yang terbaik yang bisa kulakukan pada Sakura untuk yang terakhir kalinya."
oooOOOooo
Touya menutup flap ponselnya setelah memutuskan sambungan dengan sang Novelis, sahabat karibnya. Setelah itu ia membuka casing-nya, mengambil baterai dan menarik sim-card miliknya. Kemudian dengan kemantapan hati ia melempar kepingan mungil itu ke kotak sampah-yang memiliki penghancur built-in untuk daur ulang sampah plastik.
Dengan begini, sepenuhnya ia menghilang dari kehidupan orang-orang yang dulu mengenalnya.
Menghilang dari kehidupan Sakura, yang paling penting.
Touya mengangkat sebelah tangan, meraba tepat di jantungnya berada. Terasa begitu nyeri, secara mental. Tapi ia harus bisa menahannya. Sesuatu juga menyerbu benaknya. Sesuatu yang begitu menyedihkan dan terluka. Sesuatu yang adalah perasaan Sakura.
Touya menghela napas, berusaha menenangkan diri. Ini keputusanmu, Touya. Kau tak bisa berbalik lagi, pikirnya mengingatkan dengan tegas. Lalu ia mulai melangkahkan kaki memasuki Narita Airport.
Menghilang dari kehidupan Sakura, itulah yang kulakukan sekarang.
oooOOOooo
~F.E.V.E.R.I.S.H~
oooOOOooo
Tomoyo Daidouji sedang mematut penampilannya dalam balutan gaun shoulder-less panjang warna putih berenda di depan cermin besar seukuran manusia, sementara dua orang stylists tengah memasang kerudung satin transparan di atas rambut gelungnya, saat seorang wanita muda berparas cantik berjalan masuk ke dalam ruang persiapan itu.
Tomoyo, yang melihat sosok si wanita muda terefleksi di cermin, langsung memutar tubuhnya dan memekik gemas, "Sakura kawaii~!" kemudian melesat cepat memeluk leher wanita muda itu begitu erat, membuat duo stylists-nya mendesah karena kerudungnya belum terpasang dengan benar.
"Bukannya yang kawaii itu kamu, Tomoyo?" tukas si wanita muda, yang adalah Sakura Kinomoto, itu tertawa agak kewalahan menerima pelukan Tomoyo.
"Iya, Sakura juga kawaii, kok, dengan sackdress warna putih pastel ini~ Sangat kawaii, malah~" Tomoyo balas menukas setelah melepas pelukannya. "Nee, Hokuto-nee, Kotori-nee?" tanyanya menoleh pada stylists-nya meminta pendapat sama.
Kotori Manou tersenyum mengangguk setuju, sementara Hokuto Sumeragi memutar bola matanya sebentar kemudian menyeret bahu Tomoyo kembali ke tempatnya semula berdiri sambil berseru tegas, "Sang Pengantin diam dulu, ya; kerudungnya mau dipasang dengan benar, nih!"
Tomoyo menjulurkan lidahnya dan berkata, "Gomen ne, Hokuto-nee, habis tidak tahan melihat Sakura yang lebih kawaii, sih~"
"Kamu ini..." gumam Hokuto menggelengkan kepalanya pelan, "Tentu saja Sakura-chan kawaii-aku dan Kotori yang mendadaninya, sih."
"Hai, hai~ Oneesan berdua memang paling hebat soal mendadani, kok~" puji Tomoyo kelewat riang.
"Jangan melonjak-lonjak! Kerudungnya nanti susah dipasang, nih..." maki Hokuto begitu serius membenahi kerudung satin tersebut di atas kepala Tomoyo.
"Hokuto-neesan galak juga, yaa," ujar Sakura tersenyum geli diikuti anggukan Kotori dan Tomoyo.
"Enak saja," sungut Hokuto keki, namun setelahnya tersenyum juga.
Usai memasang kerudung dan merapikan gaun Tomoyo, dua wanita stylists itu pun permisi ke luar-Hokuto masih sempat mewanti-wanti si Wanita berkerudung untuk menjaga gaunnya agar tidak kusut sebelum menghilang dari balik pintu-meninggalkannya berdua dengan Sakura di sana.
"Pengantin a la Maria Bell cocok sekali untukmu, Tomoyo," komentar Sakura tersenyum memuji.
Senyum Tomoyo merekah kembali mendengarnya. Wanita beriris violet itu memutar tubuhnya sebentar lalu berhenti dan menimpal, "Gaun ini jauh lebih nyaman dibandingkan kimono pengantin super tradisional yang kemarin kukenakan, sih."
Sakura mengerang, "Aa, hontou ni gomennasai; kemarin aku tidak menyempatkan diri untuk ikut hadir menyaksikan prosesi pernikahan Tomoyo..."
"Ara, kamaimasen, Sakura. Aku sudah sangat senang melihatmu ada di sini sekarang," tukas Tomoyo menyentuh kedua lengan sahabatnya itu dengan miliknya sendiri. "Arigatou ne," ucapnya menambahkan.
Sakura pun kemudian bergerak memberinya pelukan, "Selamat atas pernikahanmu, Tomoyo. Aku berdoa semoga kebahagiaan menyertaimu dan Suwa-san sampai kalian memiliki anak-cucu-cicit, ya..."
Tomoyo tertawa geli dan membalas pelukannya. "Doumo arigatou, Sakura."
"Aku juga pasti akan datang saat kelahiran putra-putri kalian berdua, lho~ Jadi, semoga sukses, ya untuk perjalanan kalian nanti," lanjut Sakura seraya mengedipkan sebelah mata setelah melepas pelukannya, membuat wajah cantik di depannya langsung memerah seperti kepiting rebus, tak mampu berkata-kata.
Kemudian karena acara resepsi segera dimulai, mereka pun beranjak keluar dari ruang persiapan tersebut menuju ke ruangan di mana suami Tomoyo berada.
"Ne, Suwa-san, bagaimana menurutmu; penampilan siapakah yang lebih kawaii di antara kami berdua?" tanya Sakura bermaksud menggoda.
Pria berpostur tinggi tegap dalam balutan tuksedo hitam itu berdeham sebentar kemudian menjawab singkat, "Istriku."
Sakura pun tak kuasa untuk tidak tergelak sembari mengerling ke arah Tomoyo, yang sepertinya berusaha menyembunyikan semburat merah padam di kedua pipinya. Lalu ia mendorong pelan bahu sahabatnya itu ke arah pria di depan mereka, "Kalau begitu, Tomoyo milikmu sepenuhnya, yaa, Suwa-san~"
Pria itu tersenyum menyambut tangan Tomoyo dan menggenggamnya erat. "Tentu saja," jawabnya seraya menunduk menatap ke dalam iris violet istrinya begitu intens.
Sakura memandangi pasangan muda yang terlihat sangat serasi itu; memandangi cara si Pengantin Pria menatap sahabatnya yang entah kenapa terasa familiar. Sebuah ingatan melintas di benaknya. Hanya sekilas, namun mampu membuat iris hijau emerald-nya meredup.
"Dear Sweetheart~" sapa seorang pria muda berambut hitam kebiruan dan berkacamata dalam setelan jas formal yang elegan berjalan mendekat.
Sakura yang merasa disapa pun menoleh dan kemudian tersenyum, "Eriol, konnichiwa!"
Eriol Hiiragizawa membalas senyum sumigrah. "Aku dari tadi mencarimu, lho~" katanya seraya mencium pipi wanita muda itu. "Aku sedang butuh teman pelipur lara, sih... Haihh..."
Alis Sakura terangkat sebelah. "Pelipur lara...?"
"Sedari tadi hatiku berkeretak patah melihat semua pemandangan ini," lanjut Eriol melambaikan tangannya ke segala arah di mana terlihat keceriaan para tamu undangan dalam acara resepsi pernikahan tersebut, sementara tangan satunya menempel di dadanya. Ekspresi wajahnya terlihat terluka-walau sebenarnya hanya pura-pura.
"Kamu terlalu berlebihan, Eriol," timpal Sakura seraya memutar irisnya.
Eriol mendesah, "My, my... Diriku sedang terluka namun Sweet Cherry tak terlalu ambil peduli. Moi, kurasa aku perlu mentransplantasi hatiku yang sudah hilang fungsinya ini, ya..."
"..." Sakura tidak menanggapi, dan hanya memandang lurus ke arah pasangan pengantin yang tengah berdansa di tengah Ballroom dengan sorotan lampu yang memberikan nuansa romantis.
"Aku tak pernah tahu apa yang dilihat Sweet Tomo dalam diri pria besar itu," gumam Eriol yang ikut memandangi seraya menyesap cocktail.
"Kurasa dari cara Suwa-san menatap Tomoyo," ucap Sakura seolah tanpa sadar, "yang tak akan ditemukannya dalam iris pria manapun."
Eriol menoleh pada wanita di sampingnya itu, lalu tersenyum tipis, "Begitu, ya?"
"Selain itu, Suwa-san tidak flamboyan maupun berbakat playboy seperti Eriol, makanya Tomoyo langsung memilihnya," tambah Sakura tersenyum pada laki-laki berkacamata itu.
"Aww, that really stabs me, Sweet," erang Eriol berpose seolah-olah kena tusuk di dadanya.
Lalu mereka terdiam memandangi pasangan pengantin yang masih berdansa di seberang sana dengan dikelilingi para tamu undangan yang terpesona.
"...Aku tak pernah mengira akan melihat Sweet Tomo berada dalam pelukan pria lain," kali ini suara Eriol benar-benar terdengar sedih.
"Cepat atau lambat, kamu juga akan memeluk pengantinmu sendiri, Eriol," sahut Sakura kalem.
"Is my bride possible to be you, Sweet Cherry?" tanya Eriol mengharap.
Sakura tertawa, "Gomen ne; aku hanya bersedia menjadi pengiring pengantinmu, Eriol."
"Oh, dear... Always the Bridesmaid," keluh Eriol dengan senyum masam. "Kapan kau akan menjadi pengantin seperti Sweet Tomo, Sweet Cherry?"
"Kapan, ya?" kata Sakura balik bertanya ringan.
"...Padahal sudah lima tahun, lho. Walaupun aku senang melihat Sweet Cherry sudah membaik, tapi tetap saja aku merasa sedih untukmu; sampai kapan kau mengharapnya kembali?" ujar Eriol serius.
Benak Sakura langsung tersentak mendengarnya.
"But, well... kalau Sweet Cherry juga berada dalam pelukan pria lain, pasti aku akan jadi kesepian, ya?" gumam Eriol tersenyum, tidak menyadari raut wajah wanita muda di sampingnya yang berubah pias.
oooOOOooo
Sakura menghempas tubuhnya di atas sofa biru keren di ruang tamu mansion-nya setelah pulang dari acara resepsi pernikahan sore itu. Entah kenapa, ia merasa capai dan butuh mengistirahatkan tubuh serta pikirannya.
"...Sudah lima tahun, lho? ...sampai kapan kau mengharapnya kembali?" Ucapan Eriol kembali terngiang dalam benaknya.
Sudah lima tahun? Selama itukah?
Sakura mengulurkan tangan, menjangkau tas tangan serut berembos daun ginko dan menarik sebuah ponsel warna merah muda yang terlihat ketinggalan mode. Ia membuka flap-nya, menekan keypad beberapa kali hingga layar ponselnya menampilkan nomor kontak yang sebenarnya sudah terafal di luar kepala.
Nomor ponsel Touya.
Ibu jarinya bergerak menekan tombol call dan mendekatkan ponsel itu ke telinganya-namun hanya terdengar suara operator yang memberitahukan bahwa nomor itu sudah tidak aktif lagi.
Pemberitahuan sama yang didengarnya ratusan kali, setiap dirinya mencoba menghubungi sederetan digit angka itu.
Sakura menggigit bibir bawahnya, menahan airmata yang mulai merebak ingin ke luar. Tidak. Jangan menangis. Sesaat ia pun menghela napas berat, namun itu membuat rusuknya terasa seolah ditindih menyesakkan, alih-alih membaik. "Memang sudah lima tahun, ya?" gumamnya serak. Entah kenapa, hanya dengan mengucapkannya pun membuat tenggorokannya jadi sakit.
Wanita muda bertubuh langsing itu kemudian bangkit berdiri dan melangkahkan kaki menuju ke kamarnya-ke meja kecil di samping tempat tidur kingsize miliknya, di mana sebuah pigura tegak berukuran untuk foto 4R berada.
Sakura meraih pigura foto itu sembari duduk di atas tepian kasur empuknya. Foto itu memperlihatkan seorang gadis remaja-yang berpose dengan kedua tangannya membentuk huruf V-dan seorang pemuda-yang kedua irisnya terfokus ke bawah memandangi si gadis sembari tersenyum remeh.
Itu foto ia bersama kakaknya, diambil dari purikan yang diperbesar.
"Oniichan..." bisiknya sementara jari telunjuknya bergerak mengusap wajah si pemuda di foto itu, "...sudah lima tahun, bagaimana kabarmu?"
"Aku di sini baik-baik saja, kurasa. ...Menjadi wanita dewasa ...Monster dewasa; menurut istilah Oniichan." Tawa kecil terlepas dari bibirnya namun kedua irisnya berkaca-kaca. "...tapi aku belum menikah, Oniichan. Aku juga tidak berniat menjalin hubungan dengan lelaki lain, sebenarnya. Jadi tentang memiliki monster-monster kecil belum kuwujudkan.
...Gomennasai, Oniichan."
Kembali Sakura menghela napas berat. "...Dan tentang meraih impianku; kalau menjadi model untuk dress yang didesain Tomoyo serta editor untuk majalah fashion bisa disebut impian... yaah, aku sudah berhasil meraihnya.
...Aku bahagia, Oniichan, walau tanpa kehadiranmu..." Tanpa sadar sebulir airmata menetes mengenai pigura foto itu. Kemudian sebulir lagi. Dan lagi.
"Aku bahagia, kok..." ucapnya perlahan. Airmata menetes deras. "...Jadi kapan Oniichan akan datang kembali untuk melihat kebahagiaanku?"
Kedua tangannya mencengkeram erat pigura foto tersebut. Berulang kali ia menghela napas panjang, mencoba menghentikan airmata yang entah kenapa terus mengalir.
Diletakkannya kembali pigura tersebut ke tempatnya. Lalu ia mengerling ke arah sebuah boneka beruang besar yang bersandar di tumpukan bantal. Pemberian berharga dari Oniichan. Diraihnya boneka tersebut ke dalam dekapannya, memeluknya erat seraya menompangkan dagunya di atas kepala si boneka. "...Kumohon cepatlah kembali," ucapnya dalam tangis. Airmatanya membasahi bulu-bulu lebat nan halus boneka itu, "...aku merindukanmu, Oniichan..." Sakura mulai terisak. "Sangat merindukanmu..."
Beberapa menit kemudian, sebuah dering telepon kabel dari ruang tamu terdengar nyaring, menyebabkan Sakura sedikit tersentak. Terburu-buru ia meletakkan kembali boneka tersebut dan melangkah cepat ke luar kamar seraya menghapus airmatanya dengan buku jemarinya. Sampai di ruang tamu, ia meraih telepon kabel tersebut, menekan tombol jawab dan berkata, "Moshimoshi..."
"Moshimoshi, Sakura-chan."
Sakura tercenung mendengar suara berat dari speaker telepon itu. "...Otousan?"
"Bagaimana kabarmu? Sehat?"
"Hai..." jawab Sakura pelan. "Otousan juga sehat?"
"...Bisakah ayah meminta Sakura-chan pulang ke rumah? Ayah ingin sekali bertemu denganmu."
Sakura terdiam sejenak.
"Ayah mohon, Sakura."
"...Baiklah. Aku akan segera berangkat ke sana."
"Arigatou gozaimasu."
Hubungan telepon terputus. Sakura merenung memikirkan alasan kenapa ayahnya ingin menemuinya sekarang. Lagipula nada suara ayahnya tadi terdengar mendesak. Namun karena tak ingin berpikir macam-macam, ia pun segera mengambil mantel dan tas tangannya, kemudian beranjak menuju ke pintu mansion.
oooOOOooo
Fujitaka Kinomoto tersenyum lembut memandangi wajah putrinya yang telah beranjak dewasa, sementara Sakura membenahi bantal-bantal yang akan dijadikan sandaran pria tua itu.
"Arigatou, Sakura-chan," kata Fujitaka berterima kasih sembari menyandarkan punggungnya.
Sakura tersenyum. "Otousan ingin Sakura buatkan sesuatu? Roti madu dan secangkir koocha, pasti terasa nikmat-"
Pria berkacamata itu menggeleng. Kedua tangannya meraup tangan Sakura dan menggenggamnya erat, "Ayah rasa nanti; sekarang Ayah hanya ingin melihatmu saja."
Sakura ikut menggenggam tangan ayahnya yang terasa kasar dan kisut. Kedua iris hijau emerald-nya menelusuri raut wajah Fujitaka yang penuh kerutan; tampak pucat dan tua. Namun senyum pria itu masih terkesan begitu lembut. Senyuman khas yang selalu disukainya.
"Apakah kau baru menangis, Sakura-chan? Wajah cantikmu nampak sembab," tegur Fujitaka sambil mengangkat tangan dan menempelkannya pada pipi putrinya. "Apakah ada sesuatu yang membuatmu sedih?"
Sakura buru-buru menggeleng dan meraih tangan itu, "Nandemonai de, Otousan."
"...Gokigen ikaga desu ka, Sakura-chan? (Bagaimana perasaanmu?)" Fujitaka menatapnya perhatian.
"Ee... eetto... baik dan ...umm, senang..." wanita muda itu kelabakan. "Yaah, tadi Sakura baru pulang dari resepsi pernikahan Tomoyo. Acaranya begitu meriah dan Tomoyo terlihat bahagia bersanding dengan Suwa-san-mereka kelihatan serasi, bahkan saat berdansa-makanya..."
Fujitaka tersenyum hangat, "Apa Sakura-chan mendapat bouquet bunga?"
"Nani? ...Eetto ...tadi memang ada sesi melempar bunga, tapi Sakura tidak ikutan, sih..."
"Aa sou desu ne?" tanggap ayahnya terdengar muram. "Apa Sakura-chan begitu suka hanya menjadi si Pengiring Pengantin?"
Sakura tertawa pelan, "Otousan, menjadi pengiring juga ada untungnya, kok; Sakura bisa didandani dan mengenakan gaun yang indah, misalnya... Umm... anou... kenapa Otousan bertanya seperti itu?"
"...Sebenarnya Ayah ingin melihatmu mengenakan gaun pengantin, Sakura." Fujitaka mendesah. Sakura terdiam. "Ayah ingin melihatmu bahagia."
"Otousan, Sakura sudah bahagia, kok," kata wanita berambut merah kecokelatan itu menukas pelan, namun tidak didengar ayahnya yang tengah melamun. "Otousan?" panggilnya menyadarkan.
Lagi, Fujitaka tersenyum, namun kali ini terkesan sendu. "Maafkan Ayah, ya..."
"Eeh?" Sakura memandangnya tidak mengerti.
"...Membuat Sakura seperti ini," tambah pria itu seraya meremas tangan halus putrinya. "Walaupun berkata kau bahagia dan baik-baik saja, namun Sakura tidak merasa begitu, kan? Karena itu, maafkan Ayah,ya..."
"Otousan jangan meminta maaf seperti ini... Sakura tidak merasa Otousan bersalah, kok...!" sergah wanita muda itu panik.
Fujitaka menggeleng. "Ayah meminta maafmu karena Ayah memang bersalah."
"Shikashi..." Sakura akan memulai namun ayahnya menyela, "Ayah bersalah karena telah mengusir Touya dari kehidupanmu," membuat wanita itu melebarkan irisnya.
"Maksud Otousan...?"
Fujitaka menghela napas panjang, "Ayah tahu sejak lama Touya menyimpan perasaan yang dalam padamu."
"Otousan..." Sakura akan mulai menghentikan topik yang tidak pernah dibicarakan mereka berdua semenjak Touya pergi tersebut.
"Ayah tidak bisa menerima, namun juga tidak bisa menyalahkannya. Perasaan Touya memang begitu tulus." Ujar Fujitaka meneruskan. "Dari cara anak itu menatap dan memperlakukan Sakura, Ayah langsung tahu; Ayah mengamati."
Sakura menggigit bibir, gelisah. Ia bergerak tak nyaman di kursi dekat tempat tidur ayahnya itu.
"Ayah juga tahu perasaanmu sama dengannya, namun Ayah tidak mau kalian menjalin hubungan seperti itu. Karenanya, Ayah terus mewanti-wanti Touya untuk tidak dekat denganmu dan memberinya kesempatan agar dia memikirkan resiko yang akan kalian tanggung jika terjerumus semakin dalam.
Namun ternyata Touya tak bisa menahan diri, dan hal yang Ayah takutkan terjadi; kalian sudah semakin terjerat, tak bisa lepas kembali."
Sakura menunduk dalam, tak kuasa melihat ekspresi terluka di raut wajah ayahnya.
"Karena itulah, Ayah pun meminta Touya meninggalkan rumah ini dan pergi sejauhnya darimu. Tapi Ayah melakukan ini untuk kebaikan kalian berdua, kebaikan keluarga kita agar tidak terjerumus ke dalam lubang dosa."
Fujitaka kembali mengangkat tangan menarik lembut wajah Sakura untuk mendongak, "Namun akibat yang harus Ayah tanggung ternyata begitu berat. Melihatmu kehilangan sinar dan terus-terusan menangis serta mengurung diri seperti saat itu benar-benar membuat Ayah sesak. Sampai keputusanmu untuk tinggal sendirian selepas lulus dari kotogakko juga membuat rasa bersalah semakin menghimpit Ayah."
Tak kuasa ingatan Sakura melayang pada saat-saat dirinya mengalami depresi pasca kepergian Touya. Betapa saat itu ia terlihat bak mayat hidup yang tak mau melakukan apapun kecuali meringkuk di dalam kamar dengan memeluk boneka beruang. Keadaannya begitu memprihantinkan hingga membuat cemas tidak hanya ayahnya tapi juga para teman terdekatnya.
Ia juga ingat hari-hari berat saat dirinya dibawa ke psikiater, menjerit histeris, lalu kabur ke jalanan karena mengejar bayangan Touya.
Namun hari-hari itu sudah berlalu. Dengan bantuan ayahnya serta dukungan teman-temannya, keadaan Sakura mulai berangsur-angsur tenang dan membaik. Ia sudah bisa kembali melanjutkan hidupnya; menamatkan masa SMA-nya, mendaftarkan diri di sebuah perguruan tinggi jauh dari Tomoeda, dan pindah dari rumah agar tidak terkungkung dalam rasa ketiadaan tanpa kakaknya, walau semua kenangan masa itu masih mengendap dalam dirinya.
"Otousan," ujar Sakura memulai, "aku sudah-"
"Iie. Jangan katakan bahwa Sakura melupakan Touya! Kau masih mengharapnya kembali dan perasaanmu padanya masih sama." Fujitaka menukas tegas.
Sakura mengatupkan mulut. Apa yang dikatakan ayahnya memang benar adanya. Tak bisa dipungkiri, dirinya memang tidak kuasa melupakan kakaknya. Bahkan harapan Touya datang kembali menemuinya masih bersemayam di dada.
"Karenanya," lanjut Fujitaka seraya mengamati ekspresi putrinya, "sampai saat ini Sakura tidak menjalin hubungan dengan orang lain, bukan? Karena di kedua matamu dan dalam ruang hatimu hanya ada Touya. Hal itu tidak akan berubah, bahkan sampai lima tahun ini."
"...Apakah Otousan marah pada Sakura?" tanya Sakura takut memandang ke arah Ayahnya.
Namun Fujitaka hanya tersenyum. "Tentu saja tidak. Karena yang Ayah inginkan sekarang hanyalah melihatmu kembali bahagia."
Sakura mengerjab. "...Otousan?"
Fujitaka mengulurkan kedua tangannya, memeluk putrinya penuh sayang. "Dan apapun bentuk kebahagiaanmu, Ayah akan menerimanya."
oooOOOooo
Sepasang suami-istri berdiri di depan pintu sebuah cottage sederhana. Pintunya sudah diketuk oleh si pria berambut cokelat kehitaman beberapa detik yang lalu, tetapi belum ada tanda-tanda akan dibuka.
"Mungkin masih tidur," kata si wanita seraya merapatkan mantel panjang yang dikenakannya. Udara memang terasa cukup dingin pagi itu dengan adanya embusan kuat angin musim gugur yang mampu menggugurkan helai-helai dedaunan cokelat dari pepohonan di jalanan setapak depan pagar cottage.
"Makanya perlu dibangunkan sekarang," pria itu menyerigai sambil mengetuk lebih keras. "Oi, kiddo! Bangun dan segera buka pintu ini! Di luar sini cukup dingin, tahu! Oi!"
"Berhenti berteriak seperti itu..." tegur wanita di sampingnya mengerutkan kening.
Pria itu tersenyum bandel. "My honey, kalau tidak teriak, si kiddo tidak akan bangun-"
Tiba-tiba terdengar deritan halus pintu yang dibuka dari dalam. Seraut wajah laki-laki dengan kedua mata setengah terpejam di balik poni panjang acak-acakkan muncul di sela-sela pintu yang dibatasi rantai kecil pengaman. "Siapa yang kau sebut kiddo itu, Oyaji-san (Pak Tua)?" gumamnya dengan nada malas.
"Akhirnya bangun juga kau, kiddo..." cengir pria satunya riang. "Siapa yang Oyaji, heeh? Panggil Sora-chan, ya! Ayo, ayo, cepat buka pintu ini!"
Lelaki di balik pintu itu hanya mendengus jengah sementara tangannya melepaskan pengait rantai, membuka pintu lebih lebar serta memberi jalan bagi sepasang suami-istri itu melangkah masuk ke dalam.
"Ck, ck, ck... Setiap kali berkunjung, kau masih tetap berantakan saja, ya?" komentar Sora mengamati penampilan lelaki berusia lebih muda di depannya itu; rambut hitam panjang seleher yang tak tersisir, janggut tipis yang tak dicukur-mungkin sudah semingguan-serta kemeja hijau pudar dan jins belel yang dikenakan. "Kau perlu bersolek sedikit, boy..."
Laki-laki itu hanya menggumam, "Selamat pagi juga untukmu, Sorata-san, dan..." ia tersenyum sopan pada wanita disamping Sora, "Arashi-neesan."
Arashi Arisugawa membalas senyum dan sapaannya hangat. "Ohayou gozaimasu, Touya-kun."
Senyum Touya Kinomoto tetap bertahan beberapa detik sebelum mendengar komentar Sorata, "Yang mengherankanku adalah, betapa lebih terawatnya cottage ini"- ia mengedarkan pandangan ke ruang tamu yang merangkap dengan ruang makan dan dapur-"tidak sebanding dengan penampilanmu yang mirip gembel kota, yaa!"
Arashi menyiku Sorata, menegur dengan tatapannya. Membuat suaminya itu hanya nyengir tidak jera. Namun sepertinya, Touya tak terlalu mengubris ocehan pria yang suka slengekan itu.
"Cola, air mineral?" tawar Touya saat ia beranjak ke dapur, membuka pintu freezer.
"Koocha lebih nikmat!" cetus Sorata riang. "Atau kau punya simpanan sake?"
Touya kembali dari dapur dengan tiga kaleng cola di tangan. "Tidak ada air panas ataupun sake," katanya seraya meletakkan minuman bersoda itu di atas meja.
Sorata terkekeh geli, "Sake minuman terbaik untuk nihonjin, Touya-kun. Biasakanlah mempunyai simpanannya untuk musim-musim seperti ini..." Namun diambilnya juga cola tersebut. "Yak! Kampai shimasen~ (mari bersulang)!"
"Jadi, kenapa kalian datang pada pagi dingin begini?" tanya Touya malas, menghempaskan tubuhnya di sofa berlengan warna pastel seraya menetidak penutup kaleng.
"Tentu saja kunjungan rutin, anak muda..." jawab Sorata dengan mimik serius. Alis Touya terangkat sebelah.
"Ada surat yang dikirim ke kantor yang ditujukan untukmu dari produser tv lokal. Lagi." Arashi langsung menjelaskan sambil mengangsurkan sebuah amplop putih ukuran sedang kepada Touya.
Lelaki itu menerimanya lalu melemparnya begitu saja ke meja samping sofa, yang penuh lembaran kertas coretan dan beberapa amplop putih berbentuk sama. "Kalau hanya itu, Arashi-neesan tidak perlu repot-repot ke mari, bukan? Apalagi bersama Oyaji-san ini... Kirimkan saja kembali ke alamatku ketika surat itu datang."
Arashi akan menukas namun keburu disahut suaminya. "Kiddo, memangnya kau tidak suka kami datang menjengukmu, ya? Sebagai sesama nihonjin di negeri asing, sudah sewajarnya saling berkunjung dan membantu. Apalagi cottage-mu berada di tempat terpencil seperti ini, padahal banyak perumahan siap tinggal lainnya di Surrey. Baka."
"Aku suka di sini; tenang dan sepi." Touya menanggapinya setengah melamun. "Membuatku mudah berkonsentrasi."
"Tapi, Touya-kun, tentang surat itu," Arashi mengerling pada tumpukan amplop di meja sebelum beralih memandang lelaki di depannya, "kamu yakin tidak mau mempertimbangkannya? Bukankah ini kesempatan bagus untuk profesi Touya-kun sebagai ilustrator? Komik strip kreasimu di koran lokal selalu menarik minat banyak pembaca. Bahkan dua-tiga penerbit telah menawari untuk menerbitkan buku kumpulan ilustrasi buatan Touya-kun... Lalu sekarang produser tv tertarik-"
"Arashi-neesan, aku lebih suka membuat komik strip dan menjadi ilustrator naskah para novelis, bukannya menjadi animator." Ujar Touya menyela.
"Padahal kau akan lebih terkenal jika menerima tawaran produser itu," timpal Sorata acuh seraya bangkit dari tempat duduknya menuju ke meja makan, yang ternyata juga dipenuhi kertas-kertas gambar sketsa dalam berbagai goresan hitam dan warna-warni tipis. "Uwaa, sketsamu memang selalu keren, ya!" komentar pria itu bersiul kagum mengamati satu persatu sketsa-sketsa tersebut.
"Aku mengerti Touya-kun tidak tertarik untuk menjadi terkenal, tetapi apa salahnya menerima tawaran produser itu untuk mengasah kemampuan tanganmu menjadi lebih baik lagi?" saran Arashi tidak menyerah. "...Walaupun, memang, kemampuan Touya-kun tak perlu diragukan lagi..."
Touya mendesah pelan, "Hai, Oneesan, wakarimashita; aku akan mempertimbangkannya."
Arashi menatap laki-laki beriris cokelat kelam itu, agak terkejut mendengarnya. "Hontou ni...?"
"Hn... Kalau tidak Arashi-neesan akan terus merongrongku, bukan?"
Rona merah kontan membersit di pipi wanita itu. "Gomennasai kalau aku mendesak Touya-kun seperti ini," ucap Arashi agak malu. "Aku... hanya ingin melihatmu sukses, karena Touya-kun sudah kuanggap seperti otouto-ku (adik laki-laki) sendiri." Kemudian kedua sudut bibirnya tertarik ke atas. "Shikashi, hontou ni arigatou ne, sudah sudi mempertimbangkannya."
"Douitashimashite, Arashi-neesan." balas Touya mengukir senyum.
"Wah, wah, wah... Lagi-lagi aku menemukan sketsa wajah gadis manis ini di antara lembaran ilustrasimu..."
Sorata muncul kembali dari dapur, menunduk memandang Touya dengan senyum penuh arti sembari melambaikan dua-tiga kertas gambar, yang berisi sketsa wajah hampir realistis seorang gadis berponi dengan rambut menjuntai sampai pangkal leher. "Kau benar-benar harus memberitahuku siapa gerangan gadis yang hadir dalam imajinasimu ini, kiddo."
Sudut bibir Touya tertarik ke atas membentuk senyum miring, "Masaka. (Tidak akan)"
Sorata balas tersenyum remeh, "Nee, Touya-kun, kono shoujo wa omae no koishii ga ienai; honma ni shinjite inai da yo. (Jangan katakan gadis ini adalah kekasihmu; aku tidak akan percaya)"
Senyum Touya memudar. Dirampasnya kertas-kertas gambar tersebut dari tangan pria tegap itu, lalu beranjak ke dalam kamarnya.
Sorata berpaling pada istrinya, "Aku tidak mengatakan hal yang salah, kan?"
Arashi menghela napas dan menggeleng muram. "Jangan pernah lagi mengusik privasi seseorang..."
"Privasi?" ulang Sorata heran. "Aku sudah sering melihat sketsa wajah gadis itu, my honey... dan itu membuatku penasaran."
"Tapi bukan berarti kamu berhak menyinggung Touya-kun seperti tadi."
"Are, my honey... tak ada maksud menyinggung. Sudah kukatakan; aku cuma penasaran," kata Sorata menukas sembari mengangkat kedua tangan di depan dada. "Tak pernah aku melihatnya menjalin hubungan dengan wanita lain, semenjak kita mengenalnya. Anak itu selalu terlihat sibuk dengan dunianya sendiri, seperti tidak butuh berkencan! Tapi ternyata dia sering menggambar sketsa wajah seorang gadis yang sama setiap harinya. Sketsa wajah dari kekasihnya-"
"Koishii ja nai. (Bukan kekasihku)" Touya menyergah dari ambang pintu kamarnya. Pasangan Arisugawa pun menoleh padanya. "...Kanojo wa ...boku no ichiban daiji na hito da. (Dia adalah orang paling berharga bagiku)" Lanjutnya dengan raut wajah tegas. "Zutto. (Selamanya)"
Sorata yang tadi terperangah tidak percaya mendengar si kiddo bisa berkata seperti itu, langsung mencecar, "Kalau bukan kekasihmu, lalu apa hubunganmu dengannya?" tak memedulikan tatapan tajam istrinya.
Ekspresi Touya berubah. Kedua iris cokelatnya meredup. "...Boku wa"
Sebuah deringan nyaring berbunyi dari mesin faks, yang terletak di meja lainnya di ruang tamu, menyentakkan mereka. Lalu terlihat selembar kertas faks keluar. Dengan pikiran agak teralihkan, Touya berjalan mendekati mesin itu dan mengerutkan dahi ketika mengenali nomor si pengirim faks. Diambilnya kertas itu-yang isinya berupa tulisan tangan aksara jepang yang rapi, namun pesannya bernada memohon dan sangat mengejutkan walau sederhana.
Touya, Nihon ni modotte kudasai.
Uchi e sugu ni kaerinasai.
(Kembalilah ke Jepang. Pulanglah ke rumah segera.)
Dan dirinya hampir limbung saat membaca kalimat terakhir dari pesan itu.
Tousan wa Sakura-chan no tame ni o-negaishimasu.
(Ayah mohon padamu demi Sakura.)
"Nani ga okotte, Touya? Kau terlihat syok dan pucat." Tahu-tahu Sorata dan Arashi sudah berdiri di dekat Touya.
Touya akhirnya berhasil menguasai diri, walau dalam pikirannya sejumlah pertanyaan bermunculan seperti jalinan benang yang kusut. "...Nandemonai," jawabnya seraya cepat menggulung kertas faks itu. Mereka masih memandangnya tidak yakin dan mulai cemas. "Jitsu ni," ulangnya lagi cukup keras, "nandemonai de."
oooOOOooo
Seharusnya ia tahu sejak awal; menyadari tanda-tandanya. Namun, semua itu sudah tidak ada gunanya. Sakura baru sadar ketika tubuh ayahnya telah dibaringkan dengan damai dalam peti jenazah siap diberkati pendeta, bahwa kebersamaan yang mereka habiskan beberapa hari itu adalah saat-saat terakhirnya.
Dan ia juga tak pernah menduga bahwa ayahnya meninggal dalam tidurnya.
"Tidak ada yang bisa memperkirakan kapan dan bagaimana kematian seseorang. Hal itu adalah takdir yang telah diatur oleh Kami-sama." Begitulah yang dikatakan Sonomi Daidouji, ibu Tomoyo sekaligus sepupu ibunya, padanya usai memberi penghormatan di depan foto Fujitaka.
"Exactly. Karena itulah, Sweet Cherry, kau harus tabah. Lagipula, ada aku di sini, kan?" timpal Eriol tersenyum lembut, diikuti tatapan aneh dari Sonomi.
Sakura mengangguk serta mengucapkan terima kasih dengan kedua iris emerald yang masih berlinang airmata.
"...Apa kakakmu tahu tentang ini? Kamu sudah mendapat kabar darinya?" Sonomi kembali menatapnya. Kali ini Sakura terdiam sejenak. Raut wajahnya semakin mengeruh. Lalu ia menggeleng lemah, diikuti desahan pendek bibinya. "Anak itu... begitu lama menghilang dari Tomoeda... tapi sekarang, dirinya malah tidak muncul di saat-saat terpenting untuk ayahnya ini... Padahal dia anak pertama, kan?"
Sakura menundukkan wajah dalam-dalam, menggigit bibirnya, menahan rasa nyeri yang terus menusuk hati. Dadanya terasa semakin sesak mendengar ucapan Sonomi yang sepertinya terus menyesalkan ketidakhadiran kakak laki-laki Sakura.
"Jangan begitu, Auntie..." pinta Eriol kalem. "Memangnya Auntie tahu darimana kalau Touya-sama tidak menghadiri pemberkatan Fujitaka-jisan, hm?"
Sakura langsung mendongak memandang lelaki berkacamata di dekatnya itu dengan iris melebar. Sonomi sendiri mengerutkan kening. "Apa kamu yakin Touya-kun sudah datang?"
Eriol tersenyum ringan, "Entahlah. Tapi instingku berkata kalau Touya-sama pasti sudah berada di sini." Ia mengatakannya sembari membalas pandangan Sakura. Sekelebat binar pengharapan terpantul di kedua iris hijau wanita muda itu. Airmatanya telah menyusut perlahan.
"Instingmu, ya?" gumam Sonomi terdengar ragu. "Kalau benar begitu, seharusnya dia menemui Sakura-chan juga sekarang. Tapi kenyataannya, anak itu tidak kelihatan batang hidungnya sama sekali. Itu berarti, dia memang tidak ada di sini-atau tengah bersembunyi karena malu telah meninggalkan keluarganya begitu saja selama ini." lanjutnya kesal, menyebabkan iris Sakura meredup kembali.
Eriol yang melihat tanda-tanda wanita berambut merah kecokelatan itu akan kembali berurai airmata, kontan membuka mulut untuk menukas, namun terdengar suara halus yang menyelanya.
"Kaa-san, mohon jangan membuat Sakura semakin sedih." Ujar seorang wanita cantik memohon, yang berjalan mendekati mereka bersama seorang pria berbadan tegap dan berambut jabrik.
"Wah, Sweet Tomo and the Husband~" sapa Eriol bersenandung merdu. "Konbanwa."
Tomoyo membalas sapaan lelaki itu hangat. Lalu berpaling pada Sakura. "Aku turut berbelasungkawa atas meninggalnya Ojisan, Sakura," katanya seraya memeluk Sakura. Begitu juga pria berbadan tegap di sampingnya, menggangguk simpati.
"Arigatou gozaimasu, Tomoyo, Suwa-san."
"Baguslah, kalian datang juga. Tapi apa tidak mengganggu honey moon kalian, ya?" tanya Eriol ringan, di bawah tatapan tajam Sonomi.
Sakura yang mendengarnya kontan menyesal, "Gomennasai telah mengganggu bulan madu kalian-"
Tomoyo buru-buru menyergah, kedua pipinya merona, "Astaga, tidak! Kamaimasen, Sakura. Tidak mengganggu sama sekali. Kami memang harus menghadiri upacara pemberkatan jenazah Ojisan. Kami yang mau, kok! Umm... iya, kan, Kuro-chan?" ia menoleh pada suaminya yang kelihatan sedikit merasa tidak nyaman.
"Sou ne..." Sakura pun tersenyum. Digenggamnya tangan Tomoyo. "Hontou ni arigatou yo."
"...Yeah, shimpai nai ne; mereka bisa melanjutkan bulan madu mereka di rumah, kan?" sahut Eriol masih bandel menggoda.
"...Kalau begitu, Ibu akan siapkan kamar pengantinnya nanti," cetus Sonomi memandangi putri dan menantunya tersebut.
"Kaa-san...! Eriol-kun...!" seru Tomoyo dengan wajah semakin memanas. "Umm... Sakura, ka-kami akan melakukan penghormatan untuk Ojisan dulu. A-ayo, Kuro-chan..."
Suaminya hanya berdeham kaku saat Tomoyo mengamit tangannya buru-buru mendekati altar pemberkatan, yang di depannya mayoritas dipenuhi pria-pria paruh baya berpakaian setelan jas hitam formal-para kolega Almarhum Fujitaka di universitas dan penggalian. "Bisakah kau tidak memanggilku seperti tadi di depan Kaa-san dan Kinomoto-san serta si Kacamata itu?" bisik pria itu sensi saat berlalu, masih bisa didengar Sakura, Eriol dan Sonomi.
"Putriku yang agresif dan menantuku yang pemalu... Pasangan sempurna, ya!" Komentar Sonomi geli. Sakura tersenyum kecil, menyetujui.
"Ara... si Kuropon itu... masih tetap menyebutku 'si Kacamata', ya?" ujar Eriol memandangi punggung pasangan itu.
"Namanya Kurogane, Eriol-kun," koreksi Sonomi tajam. Dan Eriol hanya tersenyum manis.
Saat pemberkatan berlangsung-mengingat ucapan Eriol tentang kakaknya-Sakura yang duduk bersimpuh di dekat altar pun mulai memandangi orang-orang, yang satu per satu memberikan penghormatan pada ayahnya-dengan mengatupkan kedua tangan lalu bersujud hingga diulang sampai tiga kali-serta para tamu lainnya, yang tengah duduk bersimpuh di sana. Sampai akhirnya, kedua matanya terfokus pada satu laki-laki yang duduk di barisan belakang.
Sebenarnya tak ada yang aneh dengan lelaki itu; rambut hitam agak berantakan diikat panjang bentuk ekor kuda, poni halus yang jatuh melambai menutupi dahi, serta dagu berjanggut tipis tak dicukur-kecuali sunglasses hitam yang dikenakannya. Tapi di dalam hall, beberapa tamu wanita juga mengenakan kacamata hitam. Jadi itu tidak aneh.
Hanya saja, penampilan lelaki itu-kemeja flanel hitam dengan satu kancing bagian atasnya dibiarkan terbuka dan kedua lengan yang sepertiganya digulung rapi, serta celana denim warna senada-terlihat informal. Agak tidak pantas jika dikenakan di acara seperti ini, walaupun terlihat keren sampai mampu mengumbar pesona kepada para tamu wanita lainnya.
Bahkan Sakura sendiri sekarang menahan napas. Penampilan lelaki itu; postur tubuhnya yang jangkung serta cara duduknya, mengingatkan Sakura pada seseorang.
Oniichan! Jantungnya serta merta berdebar lebih cepat, rona merah juga menjalari kedua pipinya. Itu Oniichan! Dia datang... Oniichan ada di sini!
Seseorang menyenggol bahunya. Sakura tersentak dan menoleh. Sonomi menatapnya dengan dahi mengerut samar. "Kamu tidak memperhatikan pemberkatan ayahmu, ada apa?" tanyanya tanpa suara.
Sakura membuka mulut akan menjawab, namun saat ia melayangkan pandangannya kembali ke lelaki itu, ternyata lelaki itu tidak ada. Ke mana dia? Ke mana Oniichan? Sakura mengedarkan pandangannya mencari-cari, namun sosok lelaki itu sudah menghilang dari ruangan.
"Sakura-chan?" tegur Sonomi pelan. "Doko miteru? Dare wo sagasu no? (Kamu lihat mana? Kamu mencari siapa?)"
Sakura terdiam. Lalu menggigit bibir ia seraya menggeleng lemah. "Daredemonai de... Gomennasai, Obasan."
Mungkin aku cuma berhalusinasi; dia cuma bayangan Oniichan. ...Seharusnya aku tidak kembali mengejar bayangan Oniichan, tapi... Diangkatnya lengannya, merenggut di mana jantungnya berada. ...tadi terasa begitu nyata. Aku benar-benar bisa merasakan kehadiran Oniichan di sini.
Airmata pun menetes. Sakura menundukkan kepala, berusaha menyembunyikannya. Benar. Yang kulihat tadi cuma bayangan semata. Oniichan tidak mungkin berada di sini. Tidak mungkin.
oooOOOooo
Hari menjelang petang. Matahari sudah condong ke ufuk barat akan menenggelamkan diri; menebarkan pendar-pendar merah kekuningan di langit yang menggantung rendah, ketika Sakura berjalan menuju rumah almarhum ayahnya. Rumahku juga lima tahun yang lalu, batinnya muram.
Awalnya, usai melaksanakan upacara pemakaman abu jasad ayahnya, Sakura berpikir untuk tidak mengunjungi rumah itu sampai beberapa hari. Ia belum siap dengan serbuan kenangan yang akan menderanya, jika menjejakkan kaki di sana. Namun setelah mendengar nasihat Sonomi, "Bagaimanapun kamu harus ke sana. Itu rumahmu sekarang. Banyak yang perlu kamu selesaikan..." Sakura pun memutuskan untuk segera pulang ke rumah itu.
Sampai di pintu depan, Sakura menarik napas, gugup. "Tadaima..." salamnya perlahan, terdengar agak serak. Tapi ia harus tegar. Ditahannya airmata yang mulai merebak di kedua pelupuk matanya. "Tadaima!" ulangnya cukup keras kali ini. Kemudian dengan mantap ia memegang gagang pintu, akan memasukkan kunci ke lubangnya-namun terkesiap mendapati pintu itu dapat dibuka begitu saja.
Bukannya pintu rumah ini sudah kukunci sebelumnya? pikir Sakura dengan dahi mengerut dalam. Benaknya mulai was-was. Jangan-jangan ada orang di dalamnya? Siapa? ...Penyusup?
Dengan ketakutan, dirogohnya sebuah tabung kecil penyemprot merica yang selalu siap sedia dari dalam tas ginko-nya. Kemudian pelan-pelan ia menyelinap masuk ke dalam. Tabung kecil itu digenggamnya erat, dengan pose siap akan menyemprot si penyusup. Setelah melepas high heels-nya di genkan, Sakura naik dan melangkah memasuki ruang tamu. Tidak ada tanda-tanda penyusup di sana, namun instingnya merasa rumah ini sudah dimasuki orang. Bahkan masih!
Hati-hati Sakura menilik ruang tengah, kosong. Penyusupnya tidak ada di sana. Di mana? Di perhatikannya anak tangga yang menuju ke lantai atas. Kemudian berpaling pada pintu kamar almarhum ayahnya. Di mana dia? Ia mengulurkan tangan meraih gagang pintu kamar itu, namun urung saat mendengar suara air dari keran yang berasal dari dapur.
Sakura menahan napas kaget. Di dapur... penyusup itu!
Dengan langkah berjinjit-jinjit, Sakura menyusuri lorong menjurus ke pintu dapur yang terbuka. Jantungnya berdebar keras. Tangan yang menggenggam semprotan merica terasa dingin. Tenang, Sakura. Segera semprot dan sergap dia!
Tetapi, sampai di ambang pintu, wanita muda yang masih mengenakan gaun hitam berlengan pendek itu malah membeku.
Di dalam dapur, di depan konter, sesosok lelaki berkuncir kuda dengan postur tubuh jangkung berdiri memunggui, terlihat sedang menyalakan kompor gas dan meletakkan panci di atasnya. Kedua iris hijau Sakura melebar melihat lelaki dalam balutan kaus tipis tanpa lengan warna biru-yang memperlihatkan lekuk otot bisepnya-dan celana baggy cokelat pastel tersebut. Tanpa sadar, semprotan mericanya terlepas dari genggaman, menimbulkan suara truk keras di lantai keramik dapur.
Bahu lelaki itu menegak. Kemudian dengan kalemnya dia menoleh ke arah Sakura, yang semakin terkejut dengan mulut setengah terbuka, dan tersenyum agak kikuk, "Okaeri, Sakura."
Sakura mengangkat lengannya, perlahan menangkupkan tangannya menutup bibirnya. Airmata merebak dan perlahan menetes membasahi pipi. "O-" ia terisak tidak percaya, "Onii... Oniichan...?" Lengan satunya terangkat serta, membungkam suara tangis yang hampir meledak ke luar. "Oniichan..."
Touya menatap adiknya. Sinar mata cokelatnya melembut seiring memanggil nama, "Sakura..."
Sakura melangkah mendekat, kali ini kedua tangannya terulur ke depan hingga mencapai tempat kakaknya berdiri. "...Oniichan?" tangan yang terulur tersebut meraih kedua pipi lelaki itu. "...Sungguhkah ...kamu Oniichan?"
Touya mengangkat tangannya sendiri, menyentuh jemari Sakura yang menempel di pipinya. "Hai... Ini aku, Sakura. ...Oniichan-mu."
Sakura menggigit bibir, mendongak memandangi wajah Touya dengan janggut tipis di dagunya. "Te-ternyata benar... Oniichan... Touya-niichan..." Tanpa menunggu, ia pun langsung melompat memeluk erat leher lelaki itu.
Touya hampir limbung menubruk tepian konter menerima pelukan mendadak wanita muda itu. Dengan hati-hati ia melingkarkan kedua tangan di balik punggung Sakura dan mengangkat sedikit tubuh langsing itu, mendekapnya. Wajahnya sedikit memanas saat merasakan adiknya membenamkan wajah di lekuk leher dan bahunya.
"Kau... masih tetap cengeng, ya, Sakura." Touya menurunkan tubuh wanita muda itu, yang perlahan melepas pelukannya. Sakura tersenyum dengan airmata berlinang. "...Um, kau sudah makan malam? Aku tadi sudah memasak nasi kari-"
"Oniichan selama ini berada di mana?" tanya Sakura menyela, menatap lekat-lekat lelaki itu.
Touya terdiam. Lalu tersenyum lembut seraya menghapus airmata Sakura dengan jemarinya, "Makan dulu, setelah itu kita bicara, ya, Sakura?"
Alih-alih mengangguk, kembali Sakura memeluk Touya, menyurukkan wajahnya di dada bidang lelaki itu yang tersembunyi di balik kaus tipis itu, dan mendesah, "...Tak tahukah betapa aku sangat merindukanmu, Oniichan?"
"...Aku juga," kembali ia mendekap Sakura, tanpa sadar mengecup puncak kepala dan menghirum harum yang menguar dari rambut halus adiknya. "Aku juga sangat merindukanmu, Sakura."
oooOOOooo
Selama makan malam, Sakura terus memandangi Touya. Aku masih tidak percaya Oniichan ada di sini, di depanku. Kumohon, semoga dia bukan cuma bayanganku. Semoga ini bukan di dalam mimpiku belaka.
Usai makan malam dan mencuci piring, Touya beranjak ke ruang tengah bersama Sakura. Mereka duduk cukup dekat di salah satu sofa panjang berlengan. Beberapa kali lutut mereka saling berbenturan pelan.
"Kapan Oniichan pulang ke Tomoeda? Pulang ke mari?"
"Sehari sebelum upacara pemberkatan, aku pulang ke rumah, di sini." Touya menunduk memamandangi jemarinya yang digenggam erat oleh kedua tangan Sakura.
"Kalau begitu yang kulihat saat itu bukan halusinasi! Ternyata memang benar Oniichan! Oniichan hadir dalam pemberkatan dengan mengenakan kacamata hitam dan pakaian informal, bukan?" tanya Sakura dengan binar cerah di kedua irisnya yang tidak lagi berkaca-kaca.
"Hn... Gomen, aku tidak mengenakan pakaian yang pantas. Saat itu aku baru tahu apa yang terjadi..." Ia berhenti. Tatapannya merenung getir.
"Bagaimana...? Bagaimana kejadiannya hingga Otousan...? Apa Otousan sedang sakit parah?" tanyanya galau menatap Sakura.
Sakura menggigit bibir. "Aku hanya tahu kalau Otousan memang kurang sehat. Beliau mengaku sedang sakit flu. Dan aku tidak begitu khawatir karena kelihatannya flu Otousan tidak parah... Namun pagi itu ketika akan membangunkan beliau, ternyata Otousan sudah..." Buru-buru ia menghirup napas, sekuat tenaga untuk membendung airmata yang akan kembali berurai. "Gomennasai karena tidak menyadari keadaan Otousan dari awal, Oniichan..." lanjutnya menunduk dalam.
Touya membungkukkan badannya sedikit, mengintip wajah adiknya yang memerah dari sela-sela poninya. "Hei, hei... Kamaimasen, Sakura. Bukan salahmu, kau tahu? Aku tidak menyalahkanmu hanya karena itu." Ujarnya lembut dengan buku jemari di bawah dagu wanita muda itu, menggerakkan wajah Sakura memandangnya kembali. "Apa yang telah terjadi adalah takdir. Takdir Otousan..."
Sakura tersenyum getir. "Benar," jawabnya serak.
"Seharusnya setelah menerima faks itu, aku segera ke mari," lamun Touya mengalihkan pandangannya ke lantai.
"Faks?" ulang Sakura ingin tahu.
Touya mengangguk. "Tiga hari sebelum ke mari, di cottage-ku, aku menerima faks dari Otousan, yang isinya memintaku untuk segera pulang. Saat itu aku kebingungan; kenapa Otousan mengirim pesan seperti itu setelah..." ia menatap Sakura kembali. "Usai pemberkatan saat itulah, aku baru menyadari alasannya..."
Mereka pun membisu sejenak dengan saling menatap. Kemudian Sakura bertanya kembali, "Oniichan tadi bilang tentang cottage. Apa selama ini Oniichan tinggal di cottage? Di mana? Yang kutahu, Oniichan berada di luar negri..."
Touya terlihat ragu sebelum menjawab, "Hn... Aku tinggal di sebuah cottage sederhana di Surrey."
Sakura memiringkan kepala dengan dahi mengerut samar, "Surrey?"
"Inggris." Touya menjelaskan pendek.
Iris Sakura bersinar sembari bertepuk tangan pelan. "Aa... Inggris, yaa? Menara Big Bang dan kota London...! Negara yang indah~"
Bibir Touya berkedut, geli, "Benar..."
Sakura menatapnya saat bertanya, "Apa... apa setelah ini Oniichan akan kembali ke sana? Apa Oniichan tidak ingin di sini, menempati rumah ini?"
Touya menggeleng enggan, "Surrey adalah tempatku sekarang. Dan aku masih harus menyelesaikan pekerjaanku di sana."
"Aa, sou..." Sakura terlihat murung. Namun sesaat kemudian menatap Touya kembali dengan sinar penuh harapan, "Lalu bolehkah aku ke sana? Bolehkah aku tinggal bersama Oniichan di sana? Di cottage Oniichan di Surrey?"
Touya terkejut. "A-apa... apa maksudmu?" tanya lelaki itu terbata.
Sakura menggenggam kembali jemari Touya, memandang lelaki itu dengan jantung berdebar-debar. "Maksudku, aku ingin tinggal bersama Oniichan mulai dari sekarang."
Kontan Touya memucat. Kilatan ketakutan terpantul di kedua iris cokelat kelamnya. "Ti-tidak... Tidak bisa!" sergahnya seraya melepas genggaman itu dan dengan gerakan cepat berdiri menjauh.
Sakura memandangnya tidak mengerti, "Oniichan, doushita no?"
Touya menggeleng menatap adiknya risau, "Pokoknya tidak bisa! ...Kau ...kau sudah punya kehidupan di sini. Kehidupan bahagia yang tak bisa kau tinggalkan begitu saja, Sakura!"
Sakura ikut berdiri menghampiri lelaki itu. "Kehidupan bahagia? Menurut Oniichan begitu?"
"Tentu saja, Sakura. Kehidupanmu bahagia. Di sini. Bukan bersamaku-"
Sakura menyela keras, "Apa Oniichan ingin pergi meninggalkanku kembali karena tidak menginginkanku?"
Iris Touya melebar. Sejenak kemudian direngkuhnya wajah Sakura yang kembali sembab. "Bukan begitu, Sakura... Hanya saja kita berdua sudah memiliki kehidupan masing-masing, dan hal itu tak layak disia-siakan..." ucapnya putus asa.
"...Aku tidak menyia-nyiakannya, Oniichan... Selama lima tahun ini aku berusaha hidup bahagia tanpa Oniichan... Namun, setelah melihat Oniichan kembali, aku sadar kebahagiaan yang paling kuinginkan adalah bersama Oniichan..." jelas Sakura akhirnya menangis kembali.
Kedua tangan Touya terkulai dari wajah wanita muda itu setelah mendengarnya. Ia menggeleng keras. "Kumohon jangan berkata seperti itu, Sakura... Kumohon-"
Sakura bergerak lebih dekat. "Aku ingin bersama Oniichan, itulah kebahagiaan yang ingin kudapatkan. Tahukah Oniichan selama lima tahun ini, aku berusaha mencari tahu di mana keberadaan Oniichan? Ratusan kali menghubungi nomor ponsel Oniichan yang dulu, namun hanya suara operator yang kudapatkan? Tidak mengganti nomor ponselku sendiri karena berharap suatu hari Oniichan mungkin akan menghubungiku? Aku menunggumu, Oniichan... Sudah begitu lama aku menunggumu... Karenanya sekarang, setelah akhirnya bisa bertemu kembali, aku tidak akan membiarkan Oniichan meninggalkanku kembali..." Sakura meraih wajah lelaki itu, merekuhnya. "Aku ingin bersama Oniichan... Itulah kebahagiaanku."
Tanpa Touya bisa mencegahnya, Sakura menarik wajah lelaki itu begitu dekat dengan wajahnya sendiri, hingga bibir mereka bertemu.
Ciuman itu dalam, panjang. Touya merasakan seluruh perasaan Sakura menerpanya, membelenggunya. Perasaan sedih, kerinduan dan keinginan yang begitu mendamba membuat pertahanan lelaki itu roboh. Tanpa disadarinya, mengikuti Sakura yang memejamkan mata, Touya juga mengangkat tangannya sendiri, menyusupkan jari-jemarinya di rambut wanita itu. Membalas ciuman Sakura seolah hal itulah yang paling diinginkannya. Sakura sendiri semakin berjinjit, menelengkan kepala, berusaha lebih merapat.
Ciuman itu berlangsung lama-dan lambat laun menggairahkan-sampai Touya menarik kepalanya ke belakang, memandangi wanita yang tadi diciumnya. "Tidak..." ucapnya terengah-engah. "Ini tidak benar..."
"Oniichan?" Sakura hampir limbung ke belakang setelah Touya melepas ciuman mereka, menjauhkan diri dengan paksa.
"Maaf... seharusnya kita tidak... Aku tidak boleh melakukan hal seperti itu lagi padamu... Ma-maafkan aku..." Touya mengangkat kedua tangan, merenggut kepalanya erat. Raut wajahnya terlihat cemas, panik dan diliputi kegundahan.
Sakura menatap lelaki itu nanar. "Tapi aku yang menginginkannya... Aku yang mencium Oniichan duluan..." sergahnya terisak.
Touya memejamkan mata, masih bisa merasakan sentuhan lembut bibir Sakura. "Dan seharusnya aku tidak membalas ciuman itu! Seharusnya aku mencegahmu, menolakmu...!" serunya makin putus asa. "Lagipula apa yang tadi kita lakukan telah melecehkan kehormatan almarhum Otousan. Ini... ini masih masa berkabung meninggalnya beliau... tapi kita malah...!" Touya membuka mata, menatap Sakura tegas. "Kita lupakan saja apa yang telah terjadi-"
"Melupakan?" ulang Sakura mendadak merasa sesak.
"Touya mengangguk kaku. "Itulah yang terbaik." Kemudian tanpa menatap Sakura kembali, ia memutar tubuhnya dan akan beranjak menuju anak tangga. Namun langkahnya seketika terhenti. Sakura memeluknya erat dari belakang. Touya mendesah berat, memohon, "Sakura, lepaskan-"
"Aishiteru yo, Oniichan..." aku Sakura menangis teredam punggung Touya. "Aku ingin bersamamu karena aku mencintaimu. Sangat mencintaimu, Oniichan..."
Tubuh Touya menegang. Untuk beberapa saat tidak ada yang bergerak. Terlihat sebulir air bening menetes dari sudut mata lelaki itu. Tapi kemudian dilepasnya kasar tangan Sakura dari tubuhnya. "Itu hal terbodoh yang pernah kudengar... Hentikan!" katanya dingin. Bergegas ia menaiki anak tangga, meninggalkan wanita muda itu menangis deras.
oooOOOooo
Pagi menjelang dengan langit berhiaskan mendung tipis, namun mentari terlihat menyembul di balik awan-awan kelabu itu seraya mencurahkan sinarnya, menghangatkan udara dingin yang akhir-akhir ini memeluk Tomoeda.
Seberkas sinar sang Pengantar Pagi menyusup masuk ke dalam kamar sebuah rumah berlantai dua, melalui jendela kaca yang telah digeser terbuka oleh pemiliknya. Sinarnya yang panjang jatuh menyinari sebuah tempat tidur berkover putih. Di atas kovernya tergeletak sebuah tas kargo biru tua yang terbuka, menampakkan tumpukan pakaian yang dijejalkan paksa. Kelihatannya si Pemilik sedang terburu-buru berkemas tadi, biar secepatnya bisa langsung pergi dari rumah itu. Di samping tas itu, bertebaran barang-barang pribadi berupa ponsel, jam tangan berukir, dompet lipat, paspor, anak-anak kunci, portfolio serta kotak gambar. Barang-barang ini sepertinya akan segera di masukkan juga ke dalam tas, usai pemiliknya bersiap-siap.
Seorang wanita dalam balutan kaus oversize off-white dan leggings ungu terlihat duduk di tepian tempat tidur memandangi barang-barang itu dengan tatapan muram. Lalu kedua iris hijaunya terfokus pada dompet lipat yang menarik perhatiannya. Diambilnya dompet itu dan membukanya. Napasnya tercekat memandangi apa yang terpampang di dalamnya. "Ini, kan..."
Sementara itu di dalam kamar mandi di lantai yang sama, terlihat seorang lelaki berambut hitam panjang dikuncir asal-asalan tengah mengoleskan krim di dagunya yang berjanggut. Lalu diambilnya sebuah silet pencukur dan mulailah ia menggerakkan tangan, mencukuri bulu-bulu kasar di dagunya itu, seraya memandangi refleksi dirinya melalui cermin di atas wastafel. Namun sejenak, gerakan tangannya berhenti. Dengan ujung telunjuk menyapu bibirnya, lelaki itu memejamkan mata mengingat apa yang telah terjadi pada dirinya. Dengan Sakura. Berciuman. Kedua kelopak matanya membuka perlahan. Ciuman yang masih bisa...
Ia menggeleng lamat-lamat. Satu tangannya yang bebas mencengkeram erat tepian wastafel. Nante kangaeteru, Touya? Ditatapnya tajam seraut wajah di cermin yang nampak kusut karena insomnia itu. Kenapa kau masih mengingatnya? Lupakan, Touya. Itu yang perlu kau lakukan... Lelaki itu mendesah panjang. "Andai aku kuasa..." gumamnya dengan dahi mengerut sembari kembali bercukur.
"Aku ingin bersamamu karena aku mencintaimu. Sangat mencintaimu, Oniichan..."
Touya meringis merasakan ketajaman silet yang menggores sudut bibirnya. Darah pun terlihat menetes dari luka goresan yang memanjang hampir sedagu tersebut. Ia mengerang galau. Buru-buru diselesaikannya cukurannya, membasuhnya, kemudian membuka cermin dan mengambil kotak P3K.
Sakura... Apa yang sudah kau lakukan? ...Kenapa kau mengatakan hal itu setelah lima tahun ini?
...Dan apa yang sudah kulakukan padanya? Membuatnya menangis dengan sikap kasarku... Sakura tak layak mendapat perlakuan seperti itu!
Usai mengobati dan memplester lukanya, Touya beranjak ke luar dari kamar mandi. Dengan kepala yang terasa berat terbebani pikirannya yang ruwet, ia berjalan lambat menuju kamarnya berada. Sampai di ambang pintu, lelaki yang hanya mengenakan celana baggy itu berhenti. Terkejut ia mendapati seorang wanita duduk memungguinya di tepi tempat tidur.
Seolah menyadari kehadirannya, wanita berambut merah kecokelatan diikat pendek itu menoleh pada Touya, tersentak dan buru-buru bangkit, "O-Oniichan..."
Touya yang berdiri di sana, hanya memandangi adiknya, merasa heran. "Sakura, apa yang kau lakukan di sini?"
Sakura gelagapan. "Aku... umm... Sarapannya sudah... siap, jadi aku... memanggil Oniichan... umm..." Ia menggigit bibir seraya mengerling pada tas kargo di atas tempat tidur. "Oniichan akan pergi?"
"...Sou da." Touya ikut mengerling.
"Aku ke sini juga untuk minta maaf," ucap Sakura setelah terdiam cukup lama. Touya berpaling padanya dan akan membuka mulut, namun diselanya cepat, "Awalnya."
"...Awalnya?" Touya tidak mengerti.
"Karena aku sadar, aku tidak perlu minta maaf untuk perasaan jujur yang kuutarakan kemarin malam pada Oniichan." Lanjut wanita muda itu seraya melangkah mendekati kakaknya.
"Sakura-"
"Memang kemarin malam aku terlalu labil, histeris, dan terlihat seperti menuntut Oniichan," selanya tenang, berdiri cukup dekat, tanpa sadar mengamati dada bidang berbentuk milik Touya. "Tapi ciuman kita dan keinginanku untuk bersama Oniichan tak akan kusesali, walaupun Oniichan hanya menganggapnya sebagai suatu kebodohanku semata." Sakura mendongak, menatap langsung ke dalam iris cokelat lelaki itu. "Aku tidak peduli."
Touya balas menatapnya. Kilatan kerisauan terpantul di kedua irisnya. "Sakura... kumohon..." pintanya kemudian mengalihkan tatapannya dari iris kehijauan di bawahnya itu.
Sakura tidak menyerah. Disentuh dan digenggamnya kedua siku kakaknya sambil terus berusaha untuk menatap iris laki-laki itu kembali. "Aku tidak peduli apakah yang kurasakan ini hanyalah suatu kebodohan, tak masuk akal ataupun kegilaan; aku meyakini memiliki perasaan seperti ini pada Oniichan." Lalu diulurkannya sebuah dompet yang lipatannya terbuka kepada Touya. "Perasaan yang sama dengan apa yang Oniichan pernah rasakan kepadaku lima tahun lalu."
Touya terkesiap ketika irisnya menangkap sebuah foto purikan, yang menampilkan dirinya merengkuh wajah dan hampir mencium Sakura. Foto itu memang ia simpan di dalam dompetnya dan tak pernah mengira Sakura akan melihat serta menunjukkannya seperti itu.
"Aku juga tidak akan melupakan kenangan itu, Oniichan. Kenangan yang pernah kita miliki." Ujar Sakura tersenyum sendu.
"...Sakura- Aku... Foto ini..."
"Aku tidak akan menanyakan alasan Oniichan menyimpan foto ini," potongnya seolah tahu apa yang ingin dikatakan kakaknya. "Aku hanya berharap... apa yang kupikirkan sekarang tentang Oniichan... benar adanya."
Akhirnya Touya mengambil dompet itu-gelenyar aneh muncul saat jemarinya tanpa sengaja bersentuhan dengan milik Sakura. Diusapnya foto purikan itu dengan ujung telunjuknya. Ekspresinya mendamba.
"Oniichan masih mencintaiku, bukan? Perasaan cinta yang Oniichan ungkapkan lima tahun lalu masih ada di sini, kan?" tanya Sakura bergerak merepet. Hati-hati ia menempelkan kedua telapak tangannya di dada Touya, mengusapnya perlahan tepat di jantungnya berada. "Kalau tidak, Oniichan mana mungkin membalas ciumanku seperti itu kemarin."
Touya menunduk, memandangi wajah adiknya begitu lama. Dan kemudian bibirnya bergerak membentuk kata-kata, "Ya. Aku masih mencintaimu. Perasaan itu masih ada di sini"-disentuhnya tangan Sakura yang menempel di dadanya-"dan cinta itu masih seperti dulu, menguat setiap waktunya."
Iris Sakura kontan berkaca-kaca mendengar penuturan Touya. Apalagi ketika lelaki itu menggenggam tangannya, mengangkatnya di depan bibir, lalu menciumi buku-buku jemarinya dengan lembut. "Aku juga memiliki keinginan yang sama untuk hidup bersamamu, Sakura..."
"Oniichan..." Buliran airmata Sakura menetes perlahan.
"Tapi kita tidak bisa. Keinginan dan perasaan ini terlarang bagi kita. ...Aku kakakmu dan ...kau adik perempuanku satu-satunya. Hubungan itu tak bisa dipungkiri atau pun dihapus begitu saja..." Cairan bening ikut menetes menyusuri lekuk pipi Touya. Dikecupnya dahi adiknya dengan perasaan yang menghimpit tulang rusuk. Sedangkan Sakura kemudian berjinjit mencium sudut bibir kakaknya yang diplester.
"Bahkan dunia dan Kami-sama tak akan pernah menerima kita," lanjut Touya serak, kembali menciumi jemari Sakura sementara dahi mereka saling menempel. "Apalagi Otusan dan-"
"Almarhum Otousan menerimanya, Oniichan..." tukas Sakura berbisik, mengejutkan lelaki itu. "Otousan telah mengatakannya padaku..."
"...yang Ayah inginkan sekarang hanyalah melihatmu kembali bahagia. Dan apapun bentuk kebahagiaanmu, Ayah akan menerimanya. Karena Ayah menyayangimu, juga Touya..."
Touya mengerutkan dahinya dalam. "Sakura, walaupun Otousan mengatakan hal itu padamu, bukan berarti beliau menerima-"
"Aku tahu," Sakura menyela, "Tapi bentuk kebahagiaanku adalah... bersama Oniichan... Dan kurasa, Otousan sudah mengetahui hal itu..."
Touya terdiam memikirkannya. Sakura menunggunya dengan dada berdebar semakin tak keruan. Lalu, "Sakura... kau mengerti apa yang kita inginkan-kebahagiaanmu itu-tidak akan termaafkan dan mendapat do-" ucapannya yang sarat akan kecemasan itu menghilang tepat ketika wanita muda iti berjinjit dan mengunci bibirnya dengan sebuah ciuman panjang.
"Aku siap menanggung apapun, bahkan sekalipun hal itu malah menyakitiku," bisik Sakura terengah. Iris lelaki itu pun kontan melebar, menatapnya ketakutan.
"Aku tidak akan membiarkan apapun menyakitimu, Sakura. Akulah yang harus menanggungnya! Berjanjilah untuk tidak membiarkan hal apapun menyakitimu serta izinkanlah aku untuk menerima semua yang mungkin akan kau dera!"
"Oniichan..." Sakura menggeleng pelan sembari merengkuh wajah di depannya. Menempelkan telapak tangannya di pipi Touya dengan ujung-ujung telunjuknya menyentuh pipi. "Arigatou..."
Touya tercenung sesaat, dan lalu menyunggingkan senyuman canggung di wajahnya. "Apa yang kau katakan? Aku meminta janji dan izinmu, bukannya malah kata terima kasih..."
"Apa Oniichan berpikir, aku tega membiarkan Oniichan menanggung sendirian?" tanya Sakura menelengkan kepala, tersenyum.
Touya mendesah pendek, "Kau harus," seraya melingkarkan kedua lengannya di pinggang ramping wanita muda itu, membuat tubuh mereka semakin saling merapat. "Kalau ingin bersamaku," lanjutnya dengan bisikan rendah, lalu mulai menautkan bibirnya dengan milik Sakura. Menciumnya pelan namun kemudian semakin menekan, seolah Sakura adalah oksigen yang dibutuhkannya sekarang.
"Jadi di Surrey, di cottage Oniichan sekarang?" tanya Sakura usai berciuman seraya menempelkan pipinya di dada Touya, sementara dua tangannya menyusup ke belakang punggung lelaki itu; menyapu kulit yang terasa kasar di telapak tangannya.
Touya mendekapnya semakin erat, membenamkan wajah dan menghirup wewangian menenangkan yang menguar dari rambut Sakura-nya. "Di manapun, Sakura... asal kau bahagia..."
oooOOOooo
"...Jadi, begitulah! Aku menjual masionku, mengundurkan dii dari pekerjaanku sekarang, lalu ikut tinggal bersama Oniichan"
Syaoran Li tersenyum mendengar ocehan riang sahabatnya itu, sementara dirinya sendiri tengah memeriksa dokumen hasil rapat dengan para anggota dewan direksi pagi tadi. "Bolehkah aku tahu di mana Sakura-chan dan Kinomoto-san akan tinggal?"
"Umm..." terdengar gumaman bimbang. Syaoran bisa membayangkan wanita itu sedang menimbang-nimbang seraya mencuri pandang ke arah kakaknya, yang mungkin masih membeli tiket pesawat. "Aku hanya bisa mengatakan, kami tidak akan tinggal lagi di Jepang..."
Syaoran mendongak dari dokumennya. "Begitu, ya? Sayang sekali..."
"Maaf, ya, Syaoran-kun..." suaranya terdengar menyesal sekali. Namun belum sempat Syaoran membalas, Sakura memekik, "Aa, Oniichan sudah kembali~! Dan sepertinya juga ingin menyapa Syaoran-kun, lhoo~"
Syaoran mengerutkan dahi samar mendengar nada berisik serta gerutuan berata dari seorang laki-laki. di latar belakang sambungan. "Apa aku harus menyapanya? Merepotkan..." Mau tidak mau, senyum geli muncul di wajah lelaki berambut hazel, yang mengenakan setelan jas keren untuk seorang General Manager tersebut. Ternyata walau waktu telah lama berlalu, bukan berarti akan mengubah persepsi individu terhadap individu lainnya, pikir terhibur.
Akhirnya terdengar suara kaku menyapa, "Gaki..."-terdengar makian tertahan lalu desisan meruntuk-"che, maksudku... Syaoran Li-"
"Aku tidak keberatan kau memanggilku dengan Syaoran saja, Kinomoto-san," sela Syaoran mencoba mengakrabkan diri. Dan yang didengarnya sebagai balasan hanyalah gerutuan tidak suka. Namun setelahnya, "...Syaoran, hai."
Sapaan yang begitu kaku hingga membuat tawa terlepas dari bibir Syaoran. "Konnichiwa mo, Kinomoto-san." Terdengar dengusan di seberang. "...Yokatta na, akhirnya kalian bersatu juga."
"Hn..."
"...Kau harus melindungi Sakura-chan, Kinomoto-san, apapun risikonya." Kali ini nada suara Syaoran terdengar serius.
"...Aku tahu."
Lalu mereka terdiam, tak tahu ingin mengatakan apalagi untuk membangun percakapan yang baik. Sampai akhirnya Sakura mengambil alih sambungan. "Oniichan senang bisa berbicara denganmu, lho, Syaoran-kun..." Di latar belakang terdengar suara gerutuan berat tidak menyetujui yang teredam suara operator bandara.
"...Sakura, baik-baiklah bersamanya. Dan... berbahagialah..."
Sakura tertawa merdu, "Oniichan to issho de, totemo ureshi katta wa~ (Bersama Oniichan, aku pun bahagia~)! " Lalu jeda sejenak. "Arigatou, Syaoran-kun, karena telah mendengarkanku selama ini, walau hanya melalui telepon."
Syaoran tersenyum. "Doutashimashite, Sakura-chan..."
"Ara! Pesawat kami sebentar lagi take-off! Kalau begitu, sudah, yaa, Syaoran-kun~! Jika ada kesempatan, kami akan menghubungimu kembali... Ja nee~"
Sambungan itu pun kemudian terputus.
Syaoran memandangi sejenak ponselnya. Lalu disandarkannya punggungnya di sandaran kursi kerjanya yang empuk. Dengan santai ia melayangkan pandangannya ke luar jendela kantor; mengamati langit yang terlihat begitu biru.
Dan senyum lembut mengukir wajahnya. "Aku benar-benar berharap, kali ini Sakura bahagia bersama Kinomoto-san." Dirabanya sendiri dadanya, tepat di jantungnya yang berdegup nyeri saat memikirkan wanita itu. "Karena... hanya dengan mengetahui Sakura bahagia... Sakit karena perasaan tak terbalaskan ini pun... akan sedikit demi sedikit terobati..."
Pasti...
~end of all chappies~
A/N: uwaaa. FEVERISH. ending. juga. yokatta na~ T^T
happy ending, ne... tapi bukan berarti ever after, lhoo... cuz ne sibling-incest, sih... DX
umm... tapi log ada readers yang ga suka ma endingx... jitsu ni gomennasai de... hiks...
anihoo~ so much thankies buat mua readers yang uda sudi mampir, baca, nge-review, nge-alert, nge-fave FEVERISH selama ini, eaa~ vic bener-bener senaaang banget ma supports yang telah diberikan~ sekali lagi, doumo arigatou~! XD
trus, trus... jangan lupa: REVIEW O-NEGAISHIMASU~ vic pengen tahu banget gimana pendapat para readers mua yang uda baca FEVERISH ampe ending, ne~~ m(_ _)m
en last words, mata hontou ni arigatou, minna-chan~
yaah... semoga di fanfic berikutx... ja ne~~!