Tap.. Tap.. Tap
Perlahan terdengar langkah kaki yang mendekat. Langkah kaki yang memilih meninggalkan kericuhan di atas kapal bajak laut yang baru saja singgah di pulau tanpa penghuni tersebut. Entah apa yang dipikirkan sang pemuda, luka tubuh yang dialaminya belum mendapat perawatan tapi ia malah berjalan menjauhi kapal. Tapi toh tak apa, dia sekarang bukanlah prioritas utama yang perlu dikhawatirkan.
Dipandanginya sejenak langit malam yang sayup-sayup makin menjadi gelap. Bulan purnama diatas sana pun perlahan mulai mengabur tak jelas oleh gumpalan awan hitam.
GLUDUK. GLUDUUUUKKK.
Sepertinya akan hujan, pikirnya sambil meneruskan langkah kakinya, entah kemana.
Setelah menemukan kesunyian yang ia ingin, pemuda itu mencari tempat duduk yang sekiranya nyaman. Di bawah pohon yang langsung menghadap pesisir pantai pulau tak jauh dari kapalnya berlabuh menjadi tujuan terakhir langkahnya. Tapi ia masih tetap berdiri dan berkutat dalam dunianya. Dia rasakan setiap hembusan nafas di sekitar tempat ia berdiri. Tekanan udara yang semakin turun mulai ia rasakan baik-baik pada setiap pori-pori kulitnya. Nafas angin laut, nafas pantai, dan semua nafas alam yang ada. Ia ingin mengambil nafas sebanyak mungkin untuk menahan semua lukanya.
BRAAKKK.
Pohon itu tumbang seketika dengan gerakan tak terduga sang pendekar yang memusatkan seluruh kekuatan pada kepalan tangan kanannya.
"Hosh.. Hah.. Hah.."
Nafasnya terdengar memburu seketika. Seluruh urat otonya kini nampak di sekujur lengan dan dahinya. Peluh dan darah yang entah dari luka lamanya yang membuka atau dari luka baru di kepalan tangannya mengalir menetes. Baru ia rasakan luka sesakit ini. Luka di tubuhnya dan sebersit luka yang tak nampak di pikirannya, -kalau memang ia bersikeras untuk tidak mau menyebutkan dihatinya. Hanya kedua luka itu yang ia pikirkan sekarang. Jelas sama sakit, namun ia harus mengakui perbandingannya, 1 : 7.
Janganlah terjadi
Yang selalu kutakutkan
Beribu jalan kan kutempuh..
Bebobobo -as agent Voc- feat Thepoetry -as agent Cca- present
Weather
Three Shot © bountyvocca . Chapter 1 : Le Tonnere
Disclaimer : Echiiro Oda
Theme song 'Jangan Pernah Berubah ' – Marcell
Setting
Time : Setelah meninggalkan Thriller Bark, sebelum menuju ke pulau selanjutnya.
Place : Dua pulau yang kita beri nama pulau A dan pulau B saja supaya lebih mudah di perjalanan sebelum bertemu Camie. -dilempar sepatu-
Pulau A sebagai tempat pertempuran. Pulau B sebagai tempat singgah sementara setelah pertempuran.
Author's Note
Tulisan bercetak miring adalah Flashback tersendiri yang dibayangkan oleh yang membayangkan. -dilempar batako-
Alur cerita maju mundur atau campuran.
Canon. OOC. First fanfic from us. Read, Enjoy, and Review if you want, but we hope you will. Hhe . :)
Setelah helaan nafas yang panjang ia sandarkan juga akhirnya punggung yang dulu sempat ia pakai untuk meminggul bangunan kuno di Arabasta itu. Ia dudukkan dirinya di pohon samping yang baru saja ditumbangkan. Sejenak kepalanya mengadah ke atas dan matanya terpejam erat. Dahinya yang berkerut menandakan dirinya sudah tak bisa lagi menyembunyikan gemuruh yang ia pikirkan sedari tadi. Tak disangka kesunyian ini makin membuat dirinya tertekan dan terpojok dalam pikirannya.
Ibu jari dan jari telunjuk tangan kanan ia gunakan untuk mengurut dahinya sejenak.
Flashback
"Gawat Luffy, ada Angkatan Laut yang mengejar kita", teriakan heboh dari sang penembak jitu itu keras bertepatan dengan meriam yang jatuh di samping kapal mereka.
"Sialan..". Duaaaaaaaarrrr. Sret.
Baru saja Luffy mengalihkan tembakan meriam ke samping kapal yang menuju tepat kearahnya.
"Dimana Zoro ? Apa dia belum naik ke kapal ?".
"Nyo ho ho, dia masih ada di pulau..".
Bola-bola meriam masih terus berjatuhan menghujani Thousand Sunny.
"Bodoh dia pasti sedang tersesat sekarang..", tanpa mengindahkan keadaan, Nami segera turun dan berlari menuju pulau.
Duaaaaaaaaar
"Marimo sialan, dia telah merepotkan Nami-swan dengan kebodohan nya untuk mencapai pelabuhan ini", dengan sekali tendangan 3 meriam berhasil Sanji lontarkan kembali kepada kapal Angkatan Laut.
"Cih, kalau begini aku juga harus melindungi Nami-swan.. "
… "Kyaaaaaa, tolong aku !".
Duaaaaghhhh. "Jangan lengah bodoh".
Niat sang koki sempat terhenti untuk melindungi Ussop yang telah menangis berleleran menghindari meriam yang hampir menjatuhinya.
"Untung ada kau Sanji. Huwaaaa lindungi aku, aku akan berusaha menembaki balik kapal mereka..". Sepertinya mau tak mau Sanji benar-benar harus mengurungkan niatnya untuk mengejar Nami.
"Rasakan ini angkatan laut..", Franky dengan lihai memulai tembakan meriam balik dengan kekuatan Thousand Sunny.
Kericuhan masih terus berlanjut antara Marine Angkatan Laut dan kru Bajak Laut Topi Jerami. Nami yakin dengan hanya mereka bertujuh Thousand Sunny tak akan bisa rusak begitu saja karena adu tembakan meriam. Kini yang dipikirkannya adalah cepat untuk menemukan nakamanya yang bodoh itu dan cepat meninggalkan pulau ini. Mata nya mulai mencari-cari sosok sang pendekar, nafasnya yang memburu makin mempercepat pencariannya. Perfect climatact juga terus terjaga dalam genggamannya.
"Huwaaaaaaaaa..", terdengar teriakan berat dari arah sebelah timur.
"Zoro ?"
Dengan sekejap, matanya dapat menangkap sang pendekar kini telah dikejar seorang Letnan Marine perempuan yang tak asing lagi baginya.
"Ck, apa yang dilakukan pendekar bodoh itu dengan partner Smoker..", Nami langsung saja mengejar mereka.
"Sudah aku katakan, duel kita sudah selesai !"
"Jangan remehkan aku Roronoa ! Cepat lawan aku !"
"Ughhh, kau itu keras kepala sekali.."
Dengan mata nya yang berkantung hitam sekilas Zoro melirik Letnan Marine yang masih tetap mengejarnya. Kecepatan larinya mau tak mau semakin ia tambah. Namun, nampaknya dia tak berpikir juga tentang arah yang dia tempuh akan memperjauh tujuannya ke pelabuhan.
Diliriknya lagi belakangnya,
"Rasakan ini Roronoa.. ", dalam sekejap Tashigi siap mengayunkan pedangnya.
Traaaaaaaaaaang. Zoro terpental jauh kebelakang.
Tentu itu membuktikan bahwa bunyi tadi bukan berasal dari pedang Sandai Kitetsu-nya yang sempat hampir ia keluarkan untuk menangkis pedang Tashigi.
"Apa yang kau lakukan pendekar bodoh ?", ucap Nami yang masih tetap dengan posisi menghalau pedang Tashigi dengan perfect climatact. Tashigi menggertakan giginya, "Kau, si kucing pencuri..".
"Sebaiknya kau lebih hati-hati dengan cuaca kali ini, thunderbolt tempo.."
Cetaaaaaaaaarrrr.
Bughhh, bugh, bughhhhh.
Nami mengayunkan perfect climatact nya kebelakang, Tashigi sudah terkena telak thunderbolt-nya dan terpental jauh kebelakang.
"Apa yang kau lakukan !", tiba-tiba Zoro segera bangkit dan menarik bahu Nami, menatapnya. Nami terpaku seketika.
"Apa yang kau lakukan pada Kuina !", sorot mata Zoro tertuju lurus pada kedua buah mata onyx yang telah melebar seketika itu. Mulut Nami terbuka hambar tak mengerti.
Tanpa mereka sadari Tashigi telah mulai terbangun, 'Ugh, aku adalah seorang Marine Angkatan Laut yang harus menggenggam keadilan absolute. Aku harus menangkap mereka yang telah membuat keonaran di pulau ini. Aku tak akan membiarkan mereka berbuat seenak mereka lagi !'
"Tak akan kubiarkan kalian lagi kru topi jerami !"
Kini sang letnan perempuan itu siap menghunuskan pedangnya pada Zoro. Zoro hanya membelalakan matanya lebar, entah apa yang terjadi. Album kenangan nya mulai terputar seketika akan Kuina yang selalu ditantangnya bertarung 2001 kali dulu, dan tentu saja Kuina yang selalu menang,
'Dia akan selalu mengalahkan ku..'
Jreeebbbb.
Tarrrrrr, perfect climatact terpental jatuh.
"Ugh.. Uhuk uhuk.. Hosh.."
Nami terkena telak hunusan pedang sekejap sebelumnya, Nami berlari dan melindungi Zoro yang seolah-olah tak dapat menghindar. Kedua telapak tangannya menggenggam erat sebagian pedang untuk menghentikan gerakan pedang yang telah menembus sisi kiri perutnya. Darah segar tak enggan lagi keluar dari sisi tangan dan perutnya. Tashigi menyipitkan matanya dan merasakan tubuhnya mulai gemetar. Ada yang salah, ini bukan seperti menegakan keadilan absolute yang selalu dipegangnya selama ini. Dia merasa salah, salah atas tindakannya.
Zoro hanya terpaku terdiam, cipratan darah segar yang membanjiri wajahnya kini terasa berbeda. Tak membangkitkan kembali aura membunuhnya. Hanya membuat tubuhnya gemetar tak terkendali.
Zreeeeeeet
Tashigi menarik kembali pedangnya. Nami perlahan terjatuh berlutut, dia berusaha tetap pada kesadarannya. Ia usahakan matanya menatap sang letnan dalam bayang hitam kepalanya yang menunduk dengan getaran luar biasa, "Haah.. kenapa tak.. hah.. kau terus.. uhuk.. KAN".
Suku kata terakhir yang ia ucapkan terdengar melengking tertahan bersamaan darah yang ia muntahkan. Zoro langsung menatap Nami dari ekor matanya, 'Nami….'. Amarahnya langsung meluap seketika.
"Sialaaaaaan.."
Zoro langsung mencabut pedang Yukibasiri-nya dan menebaskannya pada Tashigi. Traaaaaang.
Lagi, terdengar jelas benturan antara tongkat besi dan pedang yang menggema di pulau.
"APA YANG KAU LAKUKAN BODOH !", Zoro berteriak tak karuan dengan tindakan Nami yang menghalanginya. "Uhuk.. Uhuk..", sang gadis hanya semakin bergetar menahan sakit yang hampir terasa di sekujur tubuhnya.
Tashigi menatap tak percaya, apa maksudnya semua ini. Dia telah dilindungi, itu hanya makin membuat dirinya makin salah dalam keadilan kali ini. 'Apa aku salah ? Bukankah menangkap dan membunuh mereka semua adalah keadilan yang selalu aku kejar bersama Kapten Smoker ? Tapi kenapa semua serasa tak pantas kali ini..'.
"Letnan.. Letnan.. Kita makin terdesak.."
Terdengar salah seorang anggota Marine yang datang menghampiri mereka. Langkah nya terhenti saat melihat buronan 16 juta berry dan 120 juta berry dari kru topi jerami dalam posisi saling menyerang.
"Kita mundur sersan..", Tashigi berucap lirih. Sersan Marine itu kali ini pun hanya menurut dan mundur perlahan membawa sang letnan segera pergi.
Nami perlahan merosotkan badan nya terjatuh tersungkur ditanah.
"NAAAAAAAAAAAAAMIIIIIIIIIII.."
End of flashback
'Apa yang aku pikirkan saat itu..", kedua tangannya kini meremas rambut hijaunya.
'.. na ..'
Braaaaaaaaaaaaak. Bugh, bugh.
Zoro terpental jauh dari tempatnya tadi terduduk. Ia usap perlahan darah yang keluar dari mulutnya. "Jangan kira aku akan memaafkanmu..".
Pemuda yang baru saja menendang Zoro telak itu memberikan jeda sebentar untuk menyesap tembakau favoritnya, "Setelah aku sudah tahu semua yang terjadi..".
Zoro terdiam sejenak, hingga akhirnya dia hanya berusaha membenarkan posisinya untuk dapat duduk. 'Fuuuuuuuh', hembusan asap tebal keluar dari mulut sang pemuda. Dibuangnya puntung rokok yang dihisapnya, "Sepertinya tendangan tadi belum sepenuhnya menyadarkanmu dari kesalahan yang kau perbuat..".
Pemuda yang juga dijuluki Sanji si Kaki Hitam mulai berjalan mendekat ke arah Zoro, "Jadi ini kelakuan pemuda yang mencintai Letnan Mari-.."
Braaaaak.
"Tutup mulutmu !". Kini Zoro yang memukul telak Sanji, tangannya dengan kuat mencengkram kerah kemeja biru sang pemuda.
"Jaga omongan mu, ini semua tak ada hubungannya dengan perasaan bodoh semacam itu !".
"Hha.. Lihat, kau juga tahu kan.. Cih !", Sanji tertawa hingga ia membuang darah yang menggumul di mulutnya ke samping, memalingkan wajah dari pendekar diatas tubuhnya. Tapi kini matanya melirik tajam pada sang pendekar,
"Jadi persetan dengan masa lalu dan Kuina mu itu-..." Braaaaaaakkk.
"Katakan sekali lagi dan kubunuh ka-.."
Braaaaaaaaakkkk. Tendangan si kaki hitam membuat sang pemburu perompak terpental dari atas tubuhnya.
Bruk. Kakinya ia injakan tanpa ragu-ragu di dada Zoro. Tangan nya kini mencengkeram erat balik kerah baju Zoro.
"APA KAU BODOH ? LIHAT BAGAIMANA DIRIMU SEKARANG !".
Merasa tak terima akan teriakan itu, Zoro menyipitkan matanya memberikan glare pada Sanji. Tak terasa genggaman pada kerah bajunya makin mengerat. "Bukannya kau ingin menjadi pendekar terhebat, ha ? Cih". Sanji membuang lagi darahnya ke samping.
"Tentu saja !", Zoro berujar tertahan, mungkin sudah kehabisan tenaga.
"Ini semua karena janjiku pada Kui-.." Braaaaaaaakkkkkk.
"BODOH, APA KAU MASIH JUGA BELUM SADAR ? Selama menempuh perjalanan itu yang harus kau lihat bukanlah masa lalu asal tujuan mu TAPI SIAPA YANG AKHIRNYA KAU PUTUSKAN UNTUK KAU LINDUNGI, BRENGSEK !".
Teriakan yang terdengar memilukan di seluruh penjuru pulau. Terlihat sudah jelas gambaran sang koki yang benar-benar marah. Mata onyx-nya membulat tajam menikam mata onyx sang pendekar untuk membulat mengecil. Tapi sekarang ini bukanlah hanya sekedar masalah untuk memikirkan ekspresi tajam sang koki lagi maupun kenapa sang koki membiarkan tangannya untuk memukul wajah Zoro, tapi juga masalah yang ia teriakkan. Zoro membuang wajahnya kesamping, kini dia benar-benar tak berani menatap wajah Sanji. Muncratan darah dari hidung dan mulutnya yang berasal dari pukulan Sanji tak begitu ia hiraukan rasa sakitnya. Matanya terus menyipit kosong sambil mengernyitkan dahi, terasa menahan sesuatu -beban.
"Aku tak bodoh..", Sanji mulai membuka keheningan yang sesaat menyelimuti mereka. Suara nya kini lebih terdengar pelan dan sedikit bergetar.
"Bukankah kau sudah tahu siapa yang ingin kau lindungi selama ini ?".
Zoro masih tetap tak memandang sang koki, "Ya.. Nakamaku.. Semuanya..". Suara Zoro terdengar gemertak dan membuat darah terus keluar mengalir dari mulutnya.
Sanji hanya mengangkat lengkung tipis pada salah satu ujung bibirnya dan tak terlihat begitu jelas pancaran matanya yang tertutupi bayang-bayang malam.
"Yang lebih dari itupun juga ada bukan ?". Tepat, Zoro langsung mengalihkan matanya menatap Sanji dengan pancaran mata yang seperti menyiratkan, 'Apa maksudmu ?'.
"Kau memang bodoh, Marimo..", Sanji sedikit melonggarkan genggaman tangannya pada kerah baju Zoro.
"Memang siapa yang seolah-olah bisa membuatmu gugup dan bicara tak karuan ?"
Walau suara Sanji terdengar sangat pelan, semua itu dapat membuat mata Zoro membulat sempurna dan membanting paksa sang pendekar memutar semua kejadian yang pernah dialaminya.
"Kenapa kau tidak ikut pergi ?"
"Maumu apa, sih ? Pertama jangan berkelahi.. Lalu berkelahi, jangan pergi.. Lalu pergi !"
"Tapi bukankah mereka juga menghajarmu ?"
"Menghajar ? Menurutku tidak, karena mereka tidak menghalangi jalan kami. Berkelahi karena merasa kasihan hanya akan membawa penderitaan.."
"Apa maksudmu ? Jangan-jangan, kau malah jadi bodoh ?"
"Berisik ! Lebih baik minggir karena kau menghalangi jalan !"
"Hei ! Hei ! Marimoman, barusan kau bilang apa pada Nami-swan ? Grr." -chapter 233-
"Celaka ! Nami !"
"Hah ? Zoro ? Dan Robin.."
"Kau ada disana ? Kapan kau keluar ? Grr"
"Yah.. Setidaknya aku baik-baik saja.. Tapi.. Luffy..-
-masih ada di dalam perut ular raksasa itu.."
"Hah ! Sedang apa dia disana !-
-Kenapa dia ada di dalam sana ! Grr"
"Mana aku tahu !" -chapter 273-
"Di sana !-
-Tidak salah lagi ! Pasti itu pintu yang benar. Lurus ke arah pintu ! Tebas dan kita langsung masuk !"
"Jangan memerintahku !" -chapter 346-
"Siapa yang selama ini kau biarkan memukulmu tanpa dapat membalasnya sekalipun ?"
PLAAAAAAK. "Beraninya kau enak-enakan tidur dan bersantai.. dan hanya mendengkur saat kami mencoba membangunkanmu ! Grr"
"Ah ?"
JEDUAAAAKKK. PLAK. PLAK. -chapter 106-
"Dan kenapa kau malah tidur !"
BLEETAAAAAK.
"Oh.. Masih pagi, ya ?"
"Ini sudah pagi ! Grr" -chapter 170-
"Bicara soal terima kasih.. Seperti kata Luffy, kami bertempur demi alasan pribadi. Kebetulan saja itu termasuk menolong kalian.."
PLAAAAAAAAAK
"Beraninya kau bicara begitu pada orang yang ingin berterima kasih !" -chapter 483-
"Siapa yang diam-diam selalu kau perhatikan ?"
"Jangan bodoh ! Kalian sadar tidak ini berbeda dengan Laboon dulu !"
"Aku tahu ! Jangan ribut, dong ! Nih, senbei terakhir !"
"Tidak perlu ! Yang penting kita harus bergerak cepat dan-..."
"Nami.. Sudahlah.."
"Hiks..Hiks.. -Krauk" -chapter 129-
"Kok kalian bisa begitu tenang, sih ? Haaah.."
"Nami-swan, ini gula-gula untukmu !"
"Masih menggerutu ?" -chapter 306-
"Jangan taruh daging di sakumu !"
"Aku tidak mau bawa kotak bekal"
"Apa kau akan menggunakan senjata lain, Nami ?"
"Tidak ! Masih sama seperti dulu, kok. Hanya saja Ussop sudah memodifikasinya dengan dial supaya lebih kuat. Perfect climatact !"
"Oh.. Jadi Ussop yang-.."
"Ya.. Ini peninggalannya.." suram.
"Jangan pasang muka suram seperti itu !" -chapter 368-
"Siapa yang nampak dapat membuatmu tak suka saat aku mendekatinya ?"
"Parfum ini mengandung bahan-bahan yang keras.."
"Seperti ini ?" Prooof.. Prooof..
"Huwaaaa ! Jangan !"
"Aaah.. Aku jatuh cinta sampai ingin mati !"
"Dasar bodoh !"
"APA ?" -chapter 158-
"Nami-swan, kau masih membawa parfum yang dibeli di Nanohana ?"
"Ya.. Kenapa ?"
"Pakailah.."
"Seperti ini ?" Prooof..
"Aaaaaah.. Jatuh cinta hingga di akhir zaman.."
"Mati saja kau !" -chapter 176-
"Hmmm.. Cuacanya indah sekali.."
"Namiiii-swaaan.. Paille kentang untukmu, Mademoiselle. Silahkan dimakan.."
"Hmm, enak.. -krauk"
"BAHAGIANYAAAAA !"
"Berisik ! Aku tidak bisa tidur, tahu !"
"Baik, baik.. Maaf ya, tuan kaktus.."
"Apa maksudmu ! Grr" -chapter 322-
"Dan .. ", suara Sanji mulai tertahan.
CETAAAAAAAAARR.
"Siapa yang akhirnya selalu ingin kau pastikan akan baik-baik saja di semua pertempuran yang pernah kita lalui ?". Kilatan petir dengan sempurna mengekspos raut wajah kedua pemuda itu. Raut wajah sendu sang koki dan wajah terbelalak sang pendekar.
Tap. "Usopp !" PLETAAAAAK.
"Huwaaa.."
"Siapa yang menyuruhmu membuat alat permainan untuk pesta !"
"Hosh.. Hosh.. TERNYATA KAU BISA BERDIRI ! Grrrr. -deg deg"
"Namiii-swaaaan.."
"Hei, kau ! Kenapa Nami-swan sampai terluka ?"
"Buatku dia baik-baik saja.." -chapter 199-
"Enbima ! Yonezu ! Oni ! Giri !"
"Huwaaaaaaa !"
"Maju ! Jalannya sudah terbuka !"
"Ya !"
"Tunggu ! Tunggu ! Tunggu ! Tunggu, rusa kutub dan pendekar bodoh-
-dengan jumlah musuh sebanyak ini, jalan yang aman untuk ditempuh Nami-swan..-
-HARUS DIBUKA OLEHKU !"
HEAAAAAAAA. TRAAAAAANG.
"Waa ! Bahaya, tahu ! Kau ini kenapa ! Grr."
"EEH ! Kenapa mereka malah berkelahi !" -chapter 387-
"Malah meneriaki monster itu.."
"Koki bodoh.. Apa dia sudah menolong Nami ?"
"Seharusnya kau lebih mengkhawatirkan dirimu sendiri, bukan gadis itu.."
"Apa itu ! Seram sekali ! Aaaaaaahhhh" -chapter 470-
Sanji beranjak berdiri membiarkan sang pendekar mulai duduk bersandar pada pohon dibelakangnya. Mulai dirasakannya kini tetesan air yang perlahan jatuh dari langit malam. Sang pendekar menundukan wajahnya dan menekuk kedua kakinya yang melebar sembari menaruh lengannya pada masing-masing lututnya.
Sang koki mengambil sepuntung rokok dalam jas dan segera menyalakan nya. 'Fuuuuuuhhhhh', kepulan asap kini kembali keluar dalam hembusan mulutnya.
Hujan makin deras seiring menyelimuti keheningan diantara mereka. Sanji memutuskan untuk membalikan tubuhnya,
"Jadi kau sudah tahu siapa itu?", memberikan satu pertanyaan terakhir sebelum ia pergi. Lagi, hening.
Namun sepersekian detik kemudian sang koki tersenyum kembali, menghembuskan asap rokoknya yang kini sudah mati dan mulai beranjak pergi.
".. Nami ..."
Wajah sang pendekar kini hanya terlihat kosong. Ditadahkannya kembali wajahnya menghadap langit malam yang kini telah menumpahkan segala emosinya. Matanya terlihat tak berkedip sedikitpun walau derasnya hujan telah menghujani wajah tampan yang tetap kosong itu. Entahlah, namun yang jelas, sang pendekar tampak seolah menangis dalam keadaannya sekarang.
Chapter one, Le Tonnere . End.
"HUWAAAAAAA.. Akhirnya kelar juga chapter satunya.." -nangis gaje-
"Alhamdulillaah, baiklah baiklaah, pertama biarkan Voc menangis dulu, yah, ini salah satu masa emosional buatnya... Tapi hidup terus berjalan, dan S.O.S pun DIMULAAI!"
"Hah? Apa-apaan itu S.O.S, Cca ?"
BLETAAAAAK. -"S.O.S itu 'Sekilas Obrol Singkat' bodoh !"
"Aduh, sakit.."
"Jadi di S.O.S kali ini kami buat untuk menyediakan sebuah kolom SBSSCI ! Hei Voc ! Jelaskan itu apa SBSSCI !"
"Ugh, ok ok. Jadi SBSSCI itu adalah 'Silahkan Bertanya Sepuasnya Seputar Cerita Ini'. Jadi selain kami berharap reader untuk mau mereview, kami juga memberikan kolom bertanya ini untuk tempat bertanya para reader yang mungkin kurang paham tentang cerita gaje dari kami.."
"Yap, supaya tidak ada kerancuan dan spekulasi yang bisa bikin para reader yang terhormat tak bisa menikmati fic ini.."
"Yah, seperti itulah.. Tapi para reader sudah mau mereview saja, kami sudah bangga kok.. " -nangis gaje (lagi)-
"Hah, sudahlah. Voc itu memang terlalu emosional. Kalau begitu sampai ketemu di chapter kedua dan S.O.S berikutnya..!" :D