"Fuuuuuhhhh…"

Hembusan asap kelabu mengepul dari mulut sang pemuda. Asap kelabu yang senada dengan asap yang menguar dari sebatang rokok di sela jemarinya. Sejenak mata onyx-nya memerhatikan bagaimana kepulan asap itu mengambang dan akhirnya sirna dikalahkan udara di sekitarnya. Kemudian, sambil memejamkan matanya, sekali lagi sang pemuda mengisap rokok tersebut, memindahkan asap kelabu tipis dari benda itu ke mulutnya untuk dijadikannya hembusan asap kelabu yang lain.

Sebenarnya kegiatan ini sudah menjadi kebiasaannya sedari ia memutuskan untuk menjadi sosok yang dewasa. Walau memang―sang pemuda harus mengakui fakta ini dengan seulas senyum penuh sarkasme―kegiatan ini cepat atau lambat akan merusak tubuhnya, sudah terlanjur baginya untuk menyudahi kebiasaan ini. Mau bagaimana lagi, hanya cara itulah yang terpikirkan olehnya untuk menyangkal sebutan 'brengsek kecil' yang selalu dialamatkan si tua bangka itu kepadanya.

Dinikmatinya angin laut malam yang membelai tubuhnya, sembari tidak dihiraukannya rasa dingin yang menerpa tubuhnya setelah berhasil menembus setelan rapi yang sedang dikenakannya kali itu. Rambut pirangnya tampak sedikit berantakan dipermainkan angin, menari mengikuti nada angin yang mendesir. Pandangannya tampak kosong, seolah jiwa si pemuda tidak ada disana bersama raganya. Tapi sebuah senyum sarkastis terus bertahan di bibirnya. Ombak yang terus menghantam karang yang ia jadikan tempat bersinggahnya tak jarang mencipratkan air ke wajah pemuda itu. Namun pemuda itu tetap berkutat dalam dunianya sendiri.

Tak apa, baginya kali ini, pria juga terkadang ingin memiliki ketenangan dengan batinnya.

Selamanya, 'kan ku jaga dirimu

Seperti kapas putih di hatiku

Dan takkan 'ku buat noda..


Bebobobo feat. Thepoetry Present

Weather

Threeshots © Bountyvocca . Chapter Three : L'orage


Disclaimer: © Eiichiro Oda

Theme Song: Jangan Pernah Berubah – Marcell


"DASAR PENDEKAR BODOH!"

Pagi yang cerah hari itu disambut dengan sebuah pertunjukan yang kini tidak unik lagi bagi penghuni Thousand Sunny―pertengkaran Wakil Kapten dan Navigator. Hal itu terlihat dari sikap para penghuni lain yang hanya menampakkan raut wajah dan tindakan yang bisa diterjemahkan sebagai, 'sudah biasa, sudah maklum'. Ada juga yang terkekeh geli melihat tingkah dua makhluk yang kelihatan lebih akrab ini.

"Sudah kubilang 'kan, kau tinggal mengikuti jalan setapak menuju hutan untuk menemukan buah-buahan. Tapi kenapa kau masih saja tersesat?"

"Hei, apa maksudmu? Mana aku tahu, jalan di sekitar pulau ini 'kan berliku-liku. Aku lebih menjadikan pohon besar berdaun merah di samping tempat kita berlabuh sebagai patokanku berjalan kembali. Tapi pohon ini tiba-tiba mengabur dalam ingatanku, jadi jangan marah seperti itu!"

Geraman marah Nami terdengar semakin besar setelah perempuan itu menarik napas panjang.

BLETAAAAAAAK.

"BODOH! Lihat sekelilingmu! Tidakkah kau lihat bahwa semua pohon berdaun merah semua, hah?"

Luffy tertawa lepas melihat ulah kedua nakamanya tersebut di sela-sela kegiatannya memancing bersama Chopper dan Usopp yang sedang mati-matian menahan tawa. Si pemuda berhidung panjang dan rusa kutub mirip cerpelai rupanya masih cukup pintar dan cukup sadar untuk tidak memilih dihajar oleh sang Pendekar.

"Hha, kau memang bodoh, Zoro!" seru Luffy diiringi tawanya yang belum juga reda.

Zoro yang baru saja mengumpat dalam hati dengan benjolan-benjolan yang bertumpuk di kepalanya langsung mendelik tajam pada Kapten-nya itu, "Kau tidak punya hak untuk mengatakan itu!"

"Sepertinya kita ketinggalan pertunjukan antara Abang Pendekar dan si Nona Kecil.." ujar Franky yang baru saja kembali dari mencari kayu bakar bersama Brook.

"Hei, apa kau bilang tadi?"

Namun sang cyborg dan tengkorak hidup menampilkan ekspresi biasa saja dan tidak perduli pada sang Pendekar, dan Brook pun menanggapi seruan Luffy yang didengarnya barusan. "Hm, apakah dia memang bodoh dari lahirnya? Nyohohoho…"

"Hah, mungkin kelihatannya begitu, Brook." ujar Franky sembari mengusap dagunya.

"BISA DIAM TIDAK KALIAN?"

Kali ini, Zoro sudah mengacungkan pedangnya pada kedua nakamanya yang tidak-sepenuhnya-berwujud-manusia. Langsung saja Brook dan Franky mengambil langkah seribu menuju kapal. Robin yang sedari tadi mengamati dari dek rumput, hanya tersenyum simpul namun geli dengan apa yang dilihatnya.

Nami pun menghela napas panjang kembali. Kemudian, sambil memegangi keningnya perempuan berambut oranye itu berujar, "Kepalaku rasanya sakit. Bodoh juga aku menyuruh seseorang yang buta arah sepertimu untuk mengambil buah-buahan di hutan sendirian…".

Zoro mengernyitkan dahinya, wajahnya menampilkan ekspresi tidak suka kepada wanita di depannya. "Huh, hentikan ocehan tak bergunamu itu!".

Di dek rumput, Robin sedang menikmati pagi itu dengan membaca buku yang baru dibelinya di pulau sebelumnya. Bagi perempuan berambut hitam itu, suasana juga menentukan kualitas kegiatan membaca, dan suasana pagi itu yang berhawa sejuk ditemani angin segar yang sekali-kali berhembus dinilai mampu membuat kegiatan membacanya terasa lebih menyenangkan. Terlebih―perempuan itu menampilkan senyum tenang saat memikirkannya―dengan suara-suara keceriaan yang diciptakan nakamanya, pagi itu termasuk waktu yang sempurna untuk bisa tenang membaca.

"ROBIIIIIIINNN-CHWAN… Ini silahkan kopinya…" Di tengah kedamaian Robin membaca, terdengar seruan yang juga sudah tidak unik lagi. Seruan yang bersumber dari sang Koki Kapal yang datang menghampiri perempuan berambut hitam itu sambil membawa secangkir kopi yang harum dan mengepul. "Untuk menemanimu membaca, Robin-chwan…" tambah sang Koki Kapal dengan manis.

"Terima kasih, Sanji…" ucap Robin tulus sembari tersenyum. Yang jelas membuat Sanji langsung melakukan tarian Love Hurricane-nya yang biasa, yang juga bukan hal unik lagi. Love Hurricane sang Koki segera terhenti saat matanya menangkap sosok Nami dan Zoro yang masih beradu mulut di bawah kapal. Pemuda berambut pirang itu pun tidak melepaskan pandangannya dari gerak-gerik mereka.

"Fuuuuhhh…" Dibuangnya napas dan asap kelabu tembakau ikut terhembus dari mulut sang Koki yang sedang menyelipkan sebatang rokok di bibirnya. Mata indah Robin sempat melirik sang Koki saat ia menghirup sedikit kopi robusta itu. Pertanyaan pun terlontar dari bibir cantik perempuan tersebut saat satu tegukan kopi selesai, "Ada apa, Tuan Koki? Sepertinya ada yang mengganggumu saat ini." Robin berucap tenang sembari mengikuti pandangan Sanji ke bawah kapal. Sanji hanya menggelengkan kepalanya pelan sembari tersenyum, "Tak ada apa-apa, Robin-chwan… Tapi terima kasih sudah memperhatikan…".

"Tentu saja, Tuan Koki…" jawab Robin sembari membalas senyum Sanji. Walau sebenarnya perempuan itu merasa tidak yakin atas jawaban pemuda berambut pirang itu.

"Oi, oi, oi, Sanji! Lihat! Aku berhasil menangkap ikan tuna besar! Ayo cepat masakkan ikan ini untukku! Lapaar!" suara Luffy terdengar melengking dari tempat sang Koki mendengarnya. Luffy bergegas menghampiri Sanji dengan mata berbinar-binar sambil memegang pancingnya yang sudah berhasil menyangkut pada seekor ikan tuna besar. "Benar, Sanji! Cepat masakkan untuk kami juga!" seru Usopp dan Chopper penuh semangat yang berjalan mengikuti Luffy, juga membawa pancingan yang bergantung ikan tuna besar.

Sanji hanya menyunggingkan senyum tipis pada tiga nakamanya yang konyol itu, yang salah satunya adalah Kapten-nya. "Baiklah, cepat bawa ikan kalian ke dapur." Perintahnya kemudian. Dan sang Koki pun melangkahkan kakinya kembali menuju teritori kekuasaannya, dapur. Trio idiot pun mengekor dengan bersemangat.

Sembilan menit kemudian, Luffy, Chopper, dan Usopp pun menikmati sate salmon buatan Sanji di dek.

"Arggghh… kepalaku…" Nami memegang keningnya kembali, kini dengan wajah yang tampak kesakitan. Alisnya mengerut dalam seiring bibirnya meringis seperti menahan sakit.

Dari atas kapal, Luffy sedang asyik menikmati sate salmon buatan Sanji sembari mengedarkan pandangan ke sekeliling kapal, mungkin pemuda kelewat bersemangat itu sedang mencari-cari sumber petualangan baru yang mungkin datang. Namun di tengah kegiatan 'pencarian'nya, rupanya pemuda berambut hitam itu menyadari perubahan kondisi Navigator-nya saat matanya menangkap sosok perempuan berambut oranye itu.

"EH? Nami, kau kenapa? Hei, hei Chopper cepat periksa Nami!" teriak Luffy secara spontan. Tak disangka sang Kapten langsung punya kesadaran penuh akan keadaan nakamanya sekarang, Chopper dan Ussop yang sedang berada bersama Luffy sempat tertegun sejenak, rupanya kini Kapten mereka benar-benar tampak dewasa sekarang.. ujar mereka berdua dalam hati sambil memandangi Luffy dengan sorot mata campuran kebahagiaan dan kekaguman.

".. Atau mungkin cepat beri Nami uang supaya kepalanya tak sakit lagi.."

PLAAAAAAAAK.

"APA KAU BODOHHHH?" dengan segera, secepat mereka menampilkan kekaguman mereka sebelumnya, Ussop dan Chopper menampar Luffy secara bersamaan. Tak percaya betapa cepatnya sang Kapten merubah penilaian mereka. Yah, mungkin masih terlalu cepat mengharapkan perubahan drastis dari Kapten mereka ini.

Zoro yang jelas mengetahui perubahan kondisi Nami hanya mendesah pelan. "Mungkin kau masih butuh istirahat. Sudahlah, aku akan mencari buah-buahan lagi nanti.." kata Zoro sembari berjalan menuju kapal. "Hah, dasar bo..", Bruuuuuuk.

Nami tiba-tiba mulai jatuh terkulai di tanah. Untunglah sebelum seluruh tubuhnya terhempas di tanah, dengan cepat, menggunakan kekuatan buah Hana-Hana, Robin segera memekarkan beberapa tangannya untuk menangkap tubuh Nona Navigator.

"NAMIIIIIIIIIIIIII…!", suara siapa lagi kalo bukan dari trio idiot yang langsung berteriak histeris. Zoro yang terkejut mendengar teriakan hiperbola itu pun segera membalikkan badannya.

"Nami.. Nami-swan! Apa kau baik-baik saja?"

Terlihat Sanji yang sudah ada tepat di samping Nami, membawa tubuh lemahnya dalam dekapannya. Dengan cepat si pemuda berambut pirang mengecek kondisi tubuh perempuan yang sedang didekapnya itu, meraba keningnya, menyentuh wajahnya. Tubuh Nami mulai berkeringat dan suhu tubuhnya mulai naik kembali, "Hei, Chopper! Cepat bantu Nami! Tubuhnya masih belum pulih benar akibat pertarungan kita yang lalu ! CEPAAAAAAAT !", Sanji berteriak penuh kegeraman bercampur ketakutan yang membuat sang Dokter Kapal terlonjak penuh keterkejutan.

"Ah, baik, baik! Tolong cepat bawa Nami ke Ruang Kesehatan, Sanji!", kata Chopper panik sambil berlari menyiapkan pengobatan di dalam Ruang Kesehatannya. Sanji dengan cepat membopong tubuh Nami menuju ke arah kapal. Zoro melipat tangannya dan menatap dengan mata tajam yang menusuk seperti biasa melihat Sanji yang membopong tubuh Nami melewati dirinya. Pemuda berambut hijau itu menghela nafasnya yang terasa panas dan akhirnya segera memutuskan untuk perlahan menaiki kapal. Semua telah memasuki Ruang Kesehatan, kecuali dirinya yang masih berjalan pelan menaiki kapal dan Robin yang masih menyeduh kopi hangatnya, barangkali wanita itu sudah memekarkan matanya ke dalam Ruang Kesehatan untuk ikut mengawasi Nami juga.

Sekilas dilihatnya Robin, yang duduk dengan tenang ditemani buku bacaan dan secangkir kopi. Rambut hitam nya yang indah bergerak pelan tertiup angin laut. Namun rupanya wanita berambut hitam itu juga sedang menautkan pandangannya kepada pemuda berambut hijau itu, sembari tersenyum dan berkata tenang, "Tuan Pendekar, aku sangat mengerti apa maksudmu berkata begitu pada Nona Navigator. Rupanya kau menyadari kondisinya yang masih cukup rentan dan kau bermaksud menghentikan pertengkaranmu dengannya, mengingat bisa saja kondisi Nona Navigator kembali memburuk karena luapan kemarahan. Suatu perbuatan yang baik, namun perbuatan baikmu kali ini bisa dikategorikan sebagai perbuatan yang merugikan sebenarnya…".

Zoro hanya memasang senyum tipis sembari melanjutkan langkahnya mendekat ke arah dek rumput setelah melewati tangga di atas ruang kamar pria dan wanita, hingga ia bersandar di pagar dek rumput dekat dengan tangga di samping papan luncur tempat Robin duduk. Sambil memandangi lautan di bawahnya, pemuda berambut hijau itu kembali memikirkan ucapan Robin kepadanya barusan.

"Itu penilaian yang bagus." ujarnya sembari mengeluarkan tawa yang terdengar muram. Rasanya, entah kenapa Robin selalu bisa mengerti apa yang dipikirkannya, jadi tak jarang dia juga merasa nyaman berbicara berdua dengan wanita itu. Tak ayal, wanita itu memang selalu sepemikiran dengannya.

"Kau terlalu kaku…" kata Robin diiringi senyum tipis. Namun Zoro mengambil sikap seolah tak mendengar ucapan tersebut dan tetap memandangi laut luas di depannya. Desiran ombak yang beriak-riak kecil kelihatannya menyita semua pikirannya. "Rasanya aku memang berbeda. Mau bagaimana lagi..." ujar pemuda itu tanpa mengalihkan pandangannya. Robin menyeduh kopinya lagi. Sudah cukup, tak ada yang perlu dibahas lagi. Intinya ia sudah tahu, bersyukur juga atas segala kejeniusannya. Ia tahu, ini hanya masalah arti 'menyampaikan' dari setiap orang yang memang berbeda satu sama lain. Sekilas Zoro melirikkan matanya menatap wanita yang sembilan tahun lebih tua darinya itu, ia juga tak sebodoh itu untuk menyangkal bahwa wanita di depannya ini ialah sesosok wanita yang dewasa dan begitu cantik. "Kenapa aku tak menyukaimu saja..", Zoro terkekeh, kali ini tak terdengar muram. Robin pun hanya ikut tersenyum, "Aku takkan menolak…".


Ruang Kesehatan kini sudah tak seheboh tadi. Tak lagi dipenuhi teriakan-teriakan tak jelas sang Kapten, bualan bodoh Penembak Jitu, kebingungan Dokter Kapal, antusiasme luar biasa si Tukang Kayu maupun melodi-melodi dari tengkorak hidup.

Kini hanya tinggal asap rokok dan log pose, Tuan Koki dan Nona Navigator.

Sanji cukup bisa menghela nafas lega saat Chopper memberi tahu kalau Nami hanya masih kelelahan. Dalam hatinya ia panjatkan rasa syukur karena tak ada yang perlu dikhawatirkan secara berlebih pada kesehatan perempuan cantik berambut oranye itu. Perlahan ia kupas jeruk yang baru saja diambilkan Robin dari kebun jeruk Nami beberapa menit lalu. Dalam hati, pemuda itu bertekad akan terus berada di sana sampai perempuan ini sadar. Dan Sanji pun menunggu, tanpa menjauhkan dirinya sedikitpun dari perempuan berambut oranye itu.

"Engggghhhh..." Terdengar suara lenguhan sang Navigator yang mulai tersadar dari pingsannya selama 3 jam 57 menit itu. Perlahan matanya yang berkantung mulai terbuka, membiasakan diri sebentar dengan cahaya yang mulai ia tangkap. Kesadarannya pun perlahan mengumpul kembali dan membuatnya menyadari bahwa ia sedang berada di Ruang Kesehatan. Nami menggerakkan tubuhnya sedikit, dan tersentak kaget saat telinganya menangkap sebuah suara yang mengatakan sesuatu kepadanya dengan lembut, "Nami-swan.. Kau sudah sadar?"

Nami melirikkan matanya ke samping dan mendapati Sanji tengah menangis terisak-isak tak jelas seperti saat dulu ia terkena penyakit lima hari yang disebabkan oleh serangga purba Kestia. "Dasar…" gumam Nami sembari mencoba mengangkat tubuhnya untuk duduk bersandar pada papan besi kasur Ruang Kesehatan. Namun rupanya Sanji menahannya, "Nami-swan, lebih baik kau jangan bergerak dulu.." kata pemuda itu sembari memegang lengan bahu Nami.

"Aku baik-baik saja Sanji-kun..." kata Nami pada akhirnya setelah ia berhasil duduk. Walau sebenarnya enggan, Sanji hanya bisa pasrah dengan sifat agak 'keras kepala' dari perempuan di hadapannya. "Nami-swan, makanlah jeruk yang kukupaskan untukmu ini..." kata pemuda itu sembari mengangsurkan sepiring jeruk kepada Nami. Namun Nami hanya menggelengkan kepalanya pelan, "Tidak, terima kasih Sanji-kun..." kata Nami yang membuang wajahnya tak menatap sang Koki. Sanji pun meletakan piring berisikan kupasan jeruk miliknya kembali ke meja penuh obat di sampingnya. Nami hanya mulai menarik kedua kakinya dalam pelukannya, menatap arah berlawanan dengan keberadaan sang koki dengan menyandarkan pipinya di lututnya. Terdengar helaan nafas sang koki pelan.

"Sanji-kun…", ucap Nami lirih tanpa mengalihkan pandangannya. "Ada apa Nami-swan?" ucap Sanji tak lagi bersifat konyol ataupun bodoh yang membuat Nami akan langsung menghajarnya. Karena tentu saja, pria tahu kapan saat ia harus bersikap serius sebagai pendengar pembicaraan yang dimulai oleh wanita. "Apa yang kau bicarakan dengan Zoro kemarin?" tanya Nami pelan.

Hening. Sanji sebenarnya tidak terlalu ingin membahas masalah ini, namun apapun itu, ia tahu kalau ia harus menjawab pertanyaan seorang wanita kepadanya, "Tak ada yang perlu dispesifi-"

"Aku tak mengerti.." dengan lirih Nami memotong perkataan Sanji. Sepertinya ia akan tahu arah pembicaraan ini, "Nami-swan..".

"Ah, tidak, tidak apa-apa. Aku ini bicara apa…", terlihat Nami yang langsung mengubah raut air wajahnya. Senyuman lebar sekarang terpasang jelas di wajahnya yang ayu, "Oh ya, terima kasih, Sanji-kun, atas semua yang kau lakukan untukku...".

Deg, Sanji membatu seketika. Senyuman Nami telah menarik semua dunianya. Nami perlahan mengambil piring berisikan jeruk yang telah dikupas Sanji tadi. Hap, perempuan itu memakan satu potongan jeruk dengan lahap. "Hha, mana mungkin aku tadi bisa-bisanya menolah jeruk Bellemere.. Hmmmm, enak…", ucap Nami riang, ekspresinya nampak tulus. Sanji terdiam, butuh waktu lama untuk meriset pikirannya tersadar akan sebuah keindahan yang ada di depannya. Sanji memalingkan wajahnya, menghela nafas lalu tersenyum setelah mematikan puntung rokok yang tadi dihisapnya. "Nami-swan… Kau memang cantik.." ujarnya penuh kesungguhan. Pemuda itu bisa merasakan betapa kencang debar jantungnya.

Nami hanya memandang Sanji, raut wajahnya terlihat polos menanggapi kata-kata pemuda itu sejenak. Tapi sepersekian detik kemudian dia hanya terkekeh geli, "Sanji-kun, aku anggap itu bukan rayuan biasa…"

Sanji ikut terkekeh pelan. "Aku tak pernah merayumu, Nami-swan… Tak akan pernah dan tak akan bisa…" ucapnya dengan kesungguhan tersirat yang sama. Nami kembali terkekeh geli, "Benarkah? Hm… Kalau begitu aku mau bertanya, menurut Sanji-kun cinta itu apa?" tanyanya sembari melahap sepotong jeruk lagi. "Seperti ka.." Sanji menyalakan kembali rokok yang ia ambil dari sakunya menggunakan pemantik dari perak. "..rang yang selalu siap menerima segala macam bentuk hempasan gelombang dan ombak..".

Nami menatap Sanji bingung, ditekankan jari telunjuknya pada bibirnya sendiri, terlihat seperti berpikir. "Oh, aku tahu. jadi cinta itu bagaikan badai? Kau juga sering mengatakan hal itu setiap kali merayu semua wanita cantik yang kau temui...". Sanji menghisap rokoknya dalam-dalam, kemudian mengedarkan sejenak pandangannya menatap langit-langit ruangan yang berbau obat-obatan tak jelas ini.

"Hha, di Laut Timur juga ada pepatah tua mengatakan cinta datang bagaikan badai..". Nami mengunyah daging jeruk yang entah keberapa dilahapnya, pupil onyx nya melirik ke pojok langit-langit terlihat berpikir lagi. "Berarti cinta itu badai… Padahal bagiku yang seorang Navigator, aku paling benci saat ada cuaca badai…"

"Begitukah?"

"Ya… Aku harus repot-repot mengatur orang seperti trio idiot, pendekar bodoh bahkan Brook dan Franky dalam keadaan badai yang selalu genting…"

"Berarti aku tidak merepotkan, Nami-swan?"

"Yah setidaknya jika tak ada sifat Love Cook dan sok ksatria-mu, Sanji-kun…"

Sanji tersenyum, "Lalu?"

"Lalu apa? Ya, aku benci kalau badai datang…"

"Hmm… Bukankah badai lautan itu sangat indah Nami-swan?"

Nami sedikit memiringkan kepalanya, menatap Sanji dengan tatapan sedikit menyangsikan. "Ah, benarkah? Tapi kalau kau bilang begitu, memang indah sebenarnya… Ya… Bagaikan semua menari, bersenang, bersenandung dalam tumpah ruah kebiruan…"

Sanji tersenyum setelah beranjak berdiri dari kursinya. Nami hanya memandanginya dengan ekspresi merasa aneh, "Kau mau kemana, Sanji-kun?" tanya perempuan itu melihat gerakan sang Koki yang tiba-tiba.

"Ah tidak, aku lupa, aku belum membuat cemilan siang untuk Robin-chwan…"

Tertangkap jelas selama sedetik mata onyx Nami membulat tak mengerti-enggan, tapi sungguh hanya sedetik. Terlalu susah kalau kau tak memperhatikannya dengan seksama. Ini memanglah salah satu kemampuan Nona Navigator, si kucing penipu. Seorang penipu harus pintar menyembunyikan kejujurannya sendiri, bukan?

"Kalau begitu, terima kasih atas obrolan singkat ini, Sanji-kun."

"Kau tak perlu berterima kasih Nami-swan..". Lagi, Sanji mulai kembali normal dengan segala sifat Love Cook-nya. Sambil menari-nari tak jelas saat ia keluar dengan mata berbentuk hati sesuai kebiasaannya. Bam. Krieeek. Pintu ditutup.

Sang Koki kini berdiri terpaku di depan pintu Ruang Kesehatan, beberapa saat setelah pintu sudah tertutup. Dihembuskannya segumpal asap kelabu sembari wajahnya menampilkan suatu ekspresi yang sulit dijelaskan. Pemuda itu melirikkan sedikit matanya ke samping, dan tiba-tiba tangannya mulai diangkat perlahan. "Hei ngapain kau Usopp disana!". Tangannya langsung lurus mengacung menunjuk Usopp yang bersembunyi dengan ceroboh di balik dinding. Tidak seceroboh cara Chopper bersembunyi, namun upaya pemuda itu untuk bersembunyi harus dikhianati oleh hidungnya yang panjang, yang menyembul terlalu jelas dan terlihat dari posisi Sanji. Glek, tamat riwayatku, batin Usopp. "Ah tidak, aku tidak mengupingmu kok, aku hanya sedang mencari inspirasi untuk menjalankan lagi Usopp Factory ku…" kata pemuda berambut keriting itu sambil berpose gagah, berusaha menampilkan ekspresi paling meyakinkan yang bisa dibuatnya. "Hei, memang aku bilang kau menguping?" ujar Sanji dengan senyum penuh sarkasme di bibirnya yang diselipi sebatang rokok.

Glek, skak mat.. batin Usopp gelagapan. "Bodoh.." desis Sanji sambil berjalan menuju tangga untuk naik ke dek tempat koleksi bunga Robin, pohon jeruk Nami, dan Usopp Factory sendiri berada. Disandarkannya punggungnya ke pagar, membiarkan kepalanya menengadah memandang langit yang kebiruan. Bayang-bayang matahari dan asap tipis yang menguar dari rokok yang terselip di bibirnya mengaburkan pantulan ekspresi wajah pemuda itu, terlebih dengan rambutnya yang menutupi sebagian wajahnya. Namun dari senyum tipis yang nampak di wajahnya, agaknya pemuda itu menikmati cuaca yang terlihat cerah saat ini. Usopp berjalan menaiki tangga berbeda dari Sanji, raut wajahnya menyiratkan sedikit kekhawatiran pada pemuda berjas hitam itu. Diambilnya peralatan asal dari factory nya sambil secara tak jelas memutarbalikkan alat itu tanpa minat, "Kukira kau ingin menyiapkan cemilan untuk Robin." ujar Usopp tanpa memandang Sanji. Namun Sanji tahu, dialah yang diajak Usopp berbicara kali ini. Dengan malas pemuda itu menghembuskan kepulan asap kelabu dari bibirnya sebelum berkata, "Aku sudah menyiapkannya dari tadi…"

Usopp menghampiri pemuda berambut pirang itu dan bersandar pada pagar di sebelah Sanji menghadap ke lautan lepas. Wajah konyolnya hanya tetap memandangi salah satu alat temuan terbarunya, "Aku sudah sadar masalah Zoro dan Nami." ujar pemuda berambut hitam itu di luar dugaan. Jeda sesaat diambil oleh sang Penembak Jitu. "Tak terbayangkan apa jadinya kau, pikirku." Sanji hanya tersenyum sakartis, desahan tawanya terdengar meremehkan. "Tumben kau begini, hei Hidung Panjang." katanya sedikit geli mendengar hal di luar kebohongan dan kekonyolan yang dikatakan nakamanya itu.

"Hentikan, Sanji. Sudahlah, begini-begini akulah yang selama ini menjadi saksi kegilaanmu padanya." Sesaat Usopp menarik napas panjang.

"Mulai dari pertemuan pertamamu dengan Nami di Desa Kokoyashi, Arabasta, Skypea, Enies Lobby, Thriller Bark, atau lebih baik aku katakan hampir semua moment dan petualangan yang pernah kita lewati.. Aku tak habis pikir, aku yakin akulah yang benar-benar mengerti semua pengorbanan konyolmu, tapi kini kau rela Nami... Arrgh... Apa kau tak sakit.." Ussop dengan pelan dan enggan mengucapkan pernyataan akhirnya. Namun Sanji sepertinya sudah mengerti, dan hanya berujar dengan senyum tenang, "Hei, cinta itu bagaikan badai…"

Cukup sudah, memang dia hanya melihat, tapi dia sudah tak kuasa kini ingin meledakkan kepala pemuda di depannya dengan Pachinko miliknya. Hei, kalau alasannya cuma itu, tentu sang penembak jitu akan kesal bukan sebagai saksi utama pengorbanan cintanya. Ya, sang pendekar yang bersandar pada ruang Gym dan juga pengintaian itu juga menggeram kesal. Tak salah 'kan kalau dia lebih memfokuskan pendengarannya untuk mendengarkan percakapan mereka yang lumayan terdengar dari sana?

Flashback Start

Petir masih mengiringi hujan deras malam itu. Menjadi saksi bisu pertengkaran dua pemuda di pulau tersebut. Sebenarnya baru saja sang hujan berpartisipasi meramaikan pertengkaran itu, namun sayang Sang Koki malah sudah ingin mengakhiri pertengkaran mereka. Sang Koki atau si Kaki Hitam atau Sanji tersebut mulai meninggalkan Zoro yang masih terduduk, tenggelam dalam semua hal yang telah berusaha Sanji sadarkan darinya, perasaannya sendiri. Kakinya terus melangkah mengabaikan perihnya hujan yang menghujam tubuhnya.

"Tunggu, Alis Dart…"

Dia bersumpah, kecuali keadaan ini, ia akan langsung menghajar marimo sialan itu atas ejekan yang baru saja dilontarkannya. Tapi sudah dikatakan, kecuali keadaan ini. Sanji menghentikan langkahnya, memberi suatu tindakan bahwa ia mendengarnya. Zoro yang masih menatap kosong hujan diatasnya hanya bisa berucap dingin, "Kenapa kau membantuku?"

Sebenarnya ini merupakan sebuah pertanyaan yang sedikit tak terduga baginya. Namun Sanji hanya sedikit berpaling menengokkan wajahnya ke samping, tapi tak sampai kebelakang. Pemuda berambut pirang itu hanya tersenyum, wajahnya teraliri air hujan dimana-mana. "Memang apa yang bisa aku lakukan ?" ujarnya pelan, terdengar hampir tanpa emosi. Sanji ikut mendongakkan wajahnya ke langit, dengan lantang melawan sang langit kegelapan.

CETAAAAAAAAAAAAARRRR.

"Toh, dia hanya selalu melihatmu…"

Deg, Zoro mengalihkan wajahnya kini tepat menatap punggung sang Koki. Dia mendapati dirinya sendiri tak tahu, apa maksud Sanji sebenarnya. Benarkah? Benarkah Nami…?

"Suatu penghinaan besar melihat wanita yang dipuja selama ini memilih untuk meluapkan kegelisahan dan ketakutan nya di dada pria lain bukan di dadaku sendiri yang selalu mengumbarkan jiwa sebagai seorang ksatria…" -Chapter 209, Arabasta-

"Akulah penyelamatnya, akulah ksatria yang akan selalu ada untuknya, tapi tetap saja… kau yang dikhawatirkannya…" -Thriller Bark-

"Padahal aku sudah sadar tentang ini dari dulu…" ujar Sanji, masih tak bergeming.

Zoro tak pernah bisa lepas menatap punggung pemuda yang entah bagaiman ekspresinya saat mengatakan semua penjelasannya tadi. Mata hitam sang Pendekar hanya bisa tak berkedip menyadarkan dirinya bahwa ini semua nyata. Dengan semua hujanan bagaikan jarum yang menusuk wajahnya, akhirnya sang Koki memalingkan wajahnya kembali ke samping, "Hanya itu yang bisa kukatakan…"

Sanji kembali menatap ke depan, menunduk sembari tetap memasukkan kedua tangannya ke saku celana hitam kebanggaannya. Dia sadar, sepasang mata Zoro masih terus menatapnya. Tapi biarlah, perlahan dia melangkah lagi. Dia merasakan dirinya bagaikan pria gagal kali ini. Bodoh, kenapa dia tak bisa mengatakan semua fakta yang ada. Sungguh, dia akui, ada perasaan tak sanggup mengakui itu semua. Digigitnya perlahan bibir bawahnya. Untung, tetesan darah dari bibirnya cukup bisa menggantikan tetesan air bening yang mungkin akan keluar setelah cukup lama muak bersembunyi di pelupuk matanya.

Flashback End

"Hei, Sanji. Kau itu bodoh atau bagaimana sih?"

Usopp terus tidak tahan untuk mencaci maki pemuda yang satu ini. Yang nampaknya tidak benar-benar memperhatikan, hanya menyergah dengan senyum penuh sarkasme, "Sudahlah, hentikan itu, Usopp. Ini bukan urusanmu aku mau bagaimana…" Usopp menghela napas panjang. Sungguh, pemuda berhidung panjang ini memang tak bisa mengerti prinsip ksatria bodoh macam apa yang dipertahankan Sanji.

Braaaaaaaaakkkk.

"DENGAR! DALAM WAKTU 7 MENIT AKAN ADA BADAI GELOMBANG BESAR DARI TIMUR!"

Tiba-tiba terdengar teriakan menggelegar setelah suara debaman pintu yang terbuka keras. Semua langsung keluar dari ruangan yang sedang disinggahi dan menatap Nami yang tengah memasang ekspresi tegas sebagai sumber teriakan. "Nami, tapi kan cuacanya ce…"

"Sudahlah jangan ada yang memprotes, cepat turunkan layar…" kata-kata Chopper langsung terpotong oleh perintah Nami.

"Zoro, angkat jangkarnya !"

"Franky, Brook, Luffy! Cepat putar haluan kapal ke Barat Laut !"

Semua kini mematuhi perintah sang Navigator tanpa banyak bertanya lagi. Tentunya tak ada yang perlu diragukan lagi dari analisa sang Navigator Topi Jerami. Dalam waktu kurang lebih 7 menit kemudian langit mulai menggelap dengan cepat dan mengeluarkan permainan petir dan gunturnya. Ombak terlihat berdebur makin besar.

"Ombaknya terlalu besar, cepat arahkan kapal ke Barat Laut dengan kecepatan penuh…!" perintah sang Navigator lebih keras dan mendesak. Nami tiba-tiba langsung merasakan sakit lagi di kepalanya. "Sial, di saat keadaan kritis seperti ini…" Perempuan berambut oranye itu mengedarkan seluruh pandangannya ke nakamanya. Semua tanpa kecuali telah melakukan semua arahannya sejauh ini, dan dia rasa, bila kapal berlayar menjauh lagi ke Barat Laut, mereka akan selamat sebentar lagi. Ya, kurang sedikit lagi…

"Nona kecil, awas di belakangmu!" Franky berteriak keras. Ombak besar tepat berada di belakang Nami dan akan menerjangnya. Terlambat. Tubuh Nami hanya bisa terbujur kaku, matanya terbelalak dalam bayangan yang besar di belakangnya.

"NAMIIIIIIII!" semua berteriak histeris. Luffy dan Robin sudah berusaha mengeluarkan kekuatan iblisnya untuk menyelamatkan Nami, namun sayang sepertinya terlambat. Zoro pun masih terus berlari berusaha menyelamatkan perempuan itu.

BYAAAAAAARRRRRR.

Badai telah menghantam sebagian sisi kanan Thousand Sunny. Tak ada kerusakan parah yang ditimbulkan. Namun, seluruh penghuni kapal merasa tak terlalu yakin sang Navigator dalam keadaannya yang masih belum labil tidak akan terseret arus. Para awak kapal masih membulatkan mata mereka nanar menunggu gelombang surut dari kapal mereka sambil was-was. Termasuk Penembak Jitu yang terpaku. Eh tunggu dulu, dimana Sanji yang tadi disebelahnya untuk terus menarik layar? batinnya bertanya-tanya dengan terkejut. Lalu mengedarkan pandangannya ke sekeliling.

Tepat, kini terlihat Sanji yang sedang memeluk Nami, berjongkok sembari mencengkeram kuat pagar dek kapal. Jangan tanyakan betapa kuatnya genggaman itu, berkat robeknya sebagian lengan kemeja dan jasnya, kini semua tahu betapa kuatnya genggaman itu, kekuatan yang menimbulkan seluruh urat otot lengannya kentara jelas. Nampak mereka yang basah kuyup dan Nami yang sudah tak sadarkan diri dalam dekapan Sanji. Ussop hanya bisa terpaku melihatnya. Dia memang tak mengerti. Dia masih jengkel dengan nakamanya ini. Semakin besar malah saat ini. Dia menggertakkan giginya.

Tapi kini dia tahu, memang dia tak sepenuhnya mengerti, namun dia tak perlu lagi susah-susah mencari prinsip ksatria bodoh macam apa yang dianut Sanji. Dia seharusnya menyadarinya dari awal. Cinta bagaikan badai, benar 'kan, Sanji? Tentu, karena cinta bagimu adalah Nami itu sendiri…

Chapter three, L'orage . End.


"Wuaaa…" -terharu bareng-

"Akhirnya sub cerita perdana kami selesai… Alhamdulillah…"

"Mari kita buka S.O.S kali ini. Dan sebelum kami membuka SBSSCI, kami akan menyampaikan unek-unek tak penting kami"

"Pertama, arti dari judul chapter ketiga adalah 'badai'. Sesuai pokok bahasan cerita"

"Lalu 'Nami' artinya adalah gelombang atau ombak. Jadi terbuatlah kesimpulan terakhir chapter ini.."

"Kemudian terima kasih untuk Marcell, karena 3 bait lirik dari lagunya 'Jangan Pernah Berubah' telah dapat menjadi perlambang perasaan masing-masing yang terungkap oleh main chara setiap chapter. hhe, itu saja.."

"Langsung saja, tanpa babibubebo, mari kita mulai SBSSCI nya…" Jeng jeng jeng… Jdhuuaar…

"Untuk eleamaya-san… Jangan salah sangka, kami juga pengagum pria ter-gentlemen ini –nangis gaje-. Oh ya, dan untuk masalah pertama, kami ucapkan terima kasih tertulus. Hehehe." –nangis gaje again-

"Oke, hiraukan saja si Cca. Untuk masalah kedua, dibilang berhubungan dengan request Anda di fic Cca yang 'Teachers Evening', itu memang benar juga." –DOOONNG-

"Untuk masalah yang ketiga…" –Cca bangkit dari sungai air mata- "Kalau memang bagus, syukurlah kalau begitu…" :D

"Kalau untuk yang ke-empat…" –merinding, ambil langkah seribu-

"Oh, biarkan saja si Voc itu. Saya sebagai partnernya pun tak mengerti apa maksudnya 1 : 7 itu, entah apa yang dipikirkannya… Coba kita tanyakan pada Zoro yang memikirkannya. Hei, Zoro! Cepat selesaikan masalah ini!"

"Ngoookk… Zzzz…" –Cca jawdropped-

"I'm back… Gwarararara… Untuk masalah yang kelima, itu Cuma sebuah harapan dari kami, pelajar gila yang punya ketertarikan berlebih kepada Zoro-Nami…"

"Benar! Dan, sub cerita yang lain dari Weather tidak menutup kemungkinan mengambil sudut pandang yang lain atau main chara yang lain. Bisa saja kita mengembangkan masalah baru atau menyelesaikan masalah yang mungkin masih mengganjal di sub-cerita sebelumnya… Namun pada intinya, semua sub-cerita Weather tetap saling berkesinambungan satu sama lain… Untuk masalah request, karena kami hanyalah author pemula, kami tidak bisa menjanjikan untuk bisa memenuhi request sub-cerita tentang chara yang disebutkan, tapi siapa tahu, itu bisa dipertimbangkan… Dalam jangka waktu yang belum bisa ditentukan. Hehe."

"Selanjutnya, untuk edogawa-san… Saya juga mengucap alhamdulillah…" –lho?-

"Semua judul chapter ini diambil dari nama cuaca berbahasa Perancis. Kemudian 'Clemence' itu dimaksudkan sebagai cuaca 'sejuk'. Sebenarnya ini diambil dari kata 'Clement' yang artinya 'sejuk'. Namun 'Clemence' dalam Bahasa Perancis itu artinya 'memaafkan'. Tidak masalah kok, kita malah senang judul chapternya diperhatikan, hehe. Sedangkan reaksi Sanji sudah terbeberkan disini.." TT

"Selanjutnya, untuk zheone-san… Kami ucapkan terima kasih atas pujiannya. Hhe. Ya, potongan-potongan chapter itu diambil dari manga, sebagai pendukung ucapan Sanji ke Zoro."

"Sedangkan bagian Zoro mencium kening Nami, memang itu adegan yang kami buat sebagai curahan antusiasme kami sebagai penggemar Zoro-Nami. Hhe. Chapter ketiga ini sebenarnya lebih condong menggambarkan emosi Sanji terhadap hubungan antara Zoro-Nami"

"Yak, semua pertanyaan sudah ditanggapi! Last but not least, kami ucapkan 'Terima Kasih' tertulus kami kepada semua pihak yang sudah membaca, mereview, dan mengikuti cerita ini. Semoga kami bisa membuat yang lebih baik untuk selanjutnya…" –nangis gaje bersama-

"Dan untuk tanggapan di chapter tiga ini, akan kami jawab di sub-cerita selanjutnya. Terima kasih." :)


Salam -Agent Voc- dan -Agent Cca-