Malam yang sunyi di Water Seven. Di atas sana hanya ada awan yang terlihat kelam dengan satu berlian keoranyean bulat utuh sebagai fokus lukisan Tuhan kala itu. Biasanya tak sesepi ini, apalagi di gedung megah berlabelkan 'Blue Station', rasanya kata itu tak cocok menggambarkan tempat tersebut, namun sepertinya lain kali ini. Walaupun sudah larut, seharusnya masih ada tanda-tanda kehidupan di stasiun kereta api laut tersebut, namun pasca Aqua Laguna dan penyerangan besar-besaran ke Enies Lobby lusa kemarin, semuanya tentu sudah tak bertenaga untuk beraktivitas lebih banyak, apalagi untuk menciptakan kehidupan di stasiun tersebut. Tak ayal, hanya bunyi nyaring kaleng kosong yang terdengar di stasiun itu, dipermainkan oleh angin malam.
Tapi ada pengecualian untuk pemuda tersebut, nampaknya pemuda itu masih bisa sedikit mengurangi kekosongan di depan stasiun dengan keberadaannya di sana. Pemuda itu memakai goggles senada dengan warna rembulan. Tak usah jauh-jauh, warna goggles yang disematkan di kepalanya itu juga senada dengan lampu taman stasiun tempatnya berdiri. Tampaknya pemuda tersebut sempat terlibat dalam suatu perkelahian baru-baru ini, faktanya banyak perban yang melilit di sekujur tubuhnya. Pemuda itu menggaruk bagian belakang kepalanya yang tidak gatal, nampak sedang berpikir keras.
"Pasti hanya tinggal hitungan hari sampai mereka akan meninggalkan Water Seven..." gumamnya tidak kepada siapa-siapa.
Kemudian dia melakukannya lagi, mondar-mandir tak jelas. Tak sadar juga, hanya tersisa dua batang cerutu di jasnya.
"Arrrrrrgggh..."
Pemuda itu menggeram, sembari meremas rambutnya frustasi. Entah apa yang begitu mengganggunya. Langkah mondar-mandirnya tampak semakin tak karuan.
Plok.
Hawa tak enak macam apa ini, batin pemuda itu saat inderanya merasakan sebuah tepukan di bahunya.
"Tenanglah Pauly... Kami akan membantumu..." ucap sebuah suara yang mengiringi tepukan di bahu pemuda ber-goggles itu.
Whuuuuuusss. Angin memberi keheningan diantara 'mereka'.
.
.
Krik krik.
.
.
"HUWAAAAAAAAAAA...!"
Malapetaka, pikir pemuda bernama Pauly tersebut. Baru saja bahunya disentuh oleh makhluk tak jelas entah dari negara antah berantah macam apa. Sebut saja mereka Peepley Lulu dan Tilestone. Lalu apa mereka bilang tadi? Ingin membantunya ? Oke, saatnya mati.
Terang saja aku menantinya,
Terang saja aku mendambanya...
Bebobobo feat. Thepoetry present
Wetter (Weather)
Two Shot © bountyvocca . Chapter 1 : Chauffer
Disclaimer : Echiiro Oda
Theme song 'Begitu Indah ' – Gaby (Idol)
Setting
Time : Sebelum dimulainya pembuatan Thousand Sunny
Place : Water Seven
Dengan wajah kusut tak berujung, Pauly berjongkok memandangi kedua orang temannya yang sibuk menulis dan berkutat dengan sebuah notes kecil. Apa yang harus dilakukannya lagi? Dia sudah lelah menyampaikan dari cara terkasar sampai terhalus untuk menolak bantuan mereka dan terpaksa dia malah harus menunggu hampir satu jam untuk menerima bantuan mereka. Muka ahli pemasang tiang kapal Dok 1 Galley-La Company ini mulai sampai batas terkusutnya.
"Akan kubunuh mereka..." serapahnya pelan.
Criiiiiingggggg.
Sebuah lampu baru dinyalakan dalam otak pemuda ber-goggles tersebut. Satu detik, dua detik... Sepuluh detik...
Dia tiba-tiba merasa sangat bodoh.
"Hei, memang mereka tahu masalahku?" ucapnya frustasi, merasa tak habis pikir betapa terlambatnya pemahaman itu datang.
"Taraaaaaaaattttt... Selesai...!" Mereka, dua orang bernama Peepley Lulu dan Tilestone, sumber kefrustasian baru bagi Pauly, kini berpose layaknya superhero bertopeng di depan Pauly. "Apanya yang selesai, hah !" teriak Pauly geram. "Tentu saja, informasi yang sudah kami kumpulkan ini..." ucap Lulu sembari mengibas-ngibaskan notesnya penuh kebanggan. Pauly memutar bola matanya kesal. Cih, aku harap notes itu akan terbawa angin, ucapnya dalam hati.
"Lalu kalian mau bantu apa sebenarnya? Memangnya kalian tahu kalau aku punya masalah?" ucap Pauly sambil beranjak berdiri.
"Eits, tentu saja kami tahu..." balas Lulu kalem.
"Kami juga sudah menamai rencana bantuan ini." sambung Tilestone, kelihatan benar-benar kompak dengan Lulu. "Namanya adalah rencana 'Kencan Dengan Nona Navigator Sebelum Ia Pergi Dari Water Seven'. Sebenarnya aku juga sudah berpikir untuk menambahkan kata 'romantis' di judulnya, tapi mungkin akan kedengaran terlalu panjang..."
Dooooooooong.
Pauly hanya bisa menampilkan ekspresi cengok dengan mulutnya yang terbuka lebar mendengar perkataan Tilestone.
"APA MAKSUDNYA?" Hanya itu yang sanggup pemuda ber-goggles itu katakan, setelah terlepas dari ke-'cengok'annya.
"Hei, tenanglah Pauly..." kata Lulu sembari menahan amukan Pauly.
"Tenanglah. Sebagai rekanmu kami sudah mempersiapkannya dengan baik kok. Lagipula hentikan warna merah yang makin mendidih di wajahmu itu..."
Cukup sudah, kata-kata Tilestone sudah menusuk pimpinan tukang kayu itu untuk tak bisa mengelak lagi. Toh, memang itulah yang sedang dipikirkannya dari tadi. Hanya saja sebutan 'kencan' yang digunakan kedua manusia antah berantah yang mengaku bisa membantunya itu, sangat tidak bisa ia terima. Ia tak bermaksud sampai menjurus kesana. Sungguh. Atau... Mungkin.
Entah kenapa dia hanya tak ingin cepat-cepat berpisah dengan nona centil tersebut.
"Sudahlah, mari kita duduk tenang dan kita susun rencana yang matang..." sergah Tilestone yang tampaknya tidak begitu ambil pusing akan reaksi Pauly. Untuk sejenak Pauly memelototinya gusar, namun setelah pemuda ber-goggles itu berpikir dengan menghiraukan kegusarannya, rasanya rencana kedua rekannya itu patut mendapat pertimbangan...
Walau masih ada yang terkesan malu, akhirnya semua menurut dan duduk di bawah lampu taman stasiun yang mulai remang-remang.
"Kami telah mendapat segala informasi tentang gadis tersebut..." ujar Lulu sembari mulai membaca notes yang dibawanya dari tadi dengan serius. Oh Tuhan, untunglah kau tak mengabulkan keinginanku tadi... ujar Pauly dalam hati.
Whuuuuuuuuuuusssss.
"EKHH?"
Kali ini Pauly tidak bisa menyembunyikan ekspresi kaget luar biasanya saat menyaksikan notes itu terbang tertiup angin.
Maaf, rupanya Tuhan baru mengabulkan keinginannya beberapa menit lalu sekarang.
"Wah gawat, Lulu. Bagaimana bisa terbawa angin seperti itu..." ujar Tilestone sambil melipat kedua tangannya dan menggelengkan kepalanya pelan. "Entahlah, mungkin sudah takdir..." Lulu hanya memandangi notes-nya yang sudah terbang jauh sembari membenarkan poninya yang mencuat.
"KALIAN NIAT MEMBANTU TIDAK SIH ?"
Sebuah teriakan memilukan keluar dari mulut Pauly. Apakah tak ada secuil pun harapan yang bisa diandalkan kepada dua orang aneh satu rekan di Dok Satu-nya ini?
"Ya sudahlah, itu hanya notes bon kayu tak penting..." kata Tilestone setelah notes itu hilang dari pandangan.
Oke, Pauly masih punya kesabaran untuk tidak menyeret mereka dan membuangnya ke laut.
"Sebenarnya hanya satu informasi yang kami punya..." gumam Lulu sembari tetap melayangkan pandangan menerawang ke angkasa.
"Apa?" Pauly berujar tak minat.
"Kami tahu kalau tanggal penting yang kau tunggu-tunggu akan segera tiba..." Entah kenapa Lulu sedikit memberi kesan horor pada setiap kata-katanya.
"Tanggal penting?"
"Ya, 8 Juli... Hari ulang tahunmu..." ucap Lulu penuh dramatisasi sambil menatap langsung mata Pauly.
BLETAAAAAAK
"Apa pentingnya informasi yang bahkan aku sudah tahu dengan jalannya rencana ini !"
Sudah tak sabar, Pauly langsung menghajar mereka berdua.
"Tapi maksud kami, kami ingin memberitahukan tanggal yang lebih penting sebelum tanggal tersebut..." Tilestone masih menyempatkan untuk mengeluarkan suaranya di sela-sela pukulan ganas Pauly.
"Tanggal penting apa lagi, hah ?"
Pauly yakin bahwa dirinya sudah malas mendengar semua kekonyolan mereka.
"Besok… Ya, besok. Adalah tanggal 3 Juli…" ujar Tilestone, nampak penuh perasaan saat mengatakannya.
Demi Tuhan, semua orang pun tahu kalau besok adalah tanggal 3 Juli. Sudahlah… Lebih baik mereka mati saja sekarang… batin Pauly penuh kefrustasian.
"…dan itu adalah hari ulang tahun Nona Navigator…" tutup Lulu kalem.
Glek. Itu baru namanya informasi.
"Selesai…"
Pauly memandang pantulan dirinya di cermin sejenak.
Dipandangi dirinya yang nampak 'jauh' berbeda dari biasanya. Dari atas, masih ada goggles oranye yang senantiasa tersemat di kepalanya. Namun kini dia mengenakan kaos yang lebih terlihat rapi dengan balutan jaket hitam menawan. Jaket dengan aksen mawar putih di dadanya dan untaian rantai di bahunya sungguh membuatnya terlihat elegan. Tak lupa juga tetap ada angka '1' yang tercetak di punggung jaket. Celana jins nya juga kini tak terlihat kusut seperti biasanya. Walau masih terlihat perban mencolok yang melilit di dada dan pipi kirinya, secara keseluruhan satu kata sudah cukup menggambarkan penampilan Pauly, tampan.
Pauly membalikkan badannya memandang kedua temannya.
"HUWOOOOOOOOGHHHH.."
Lulu dan Tilestone terkejut bukan main seperti ekspresi mereka saat tidak percaya mengetahui Lucci, Kaku, Califa dan Blueno yang telah mencoba melakukan pembunuhan pada Iceburg saat di Rocketman.
"Kenapa kalian memasang raut wajah terkejut seperti itu?"
Teriak Pauly tak jauh beda saat menanggapi keterkejutan mereka mendengar pengakuan tentang kebohongan Lucci dan kawan-kawan. "Kau keren sekali !", mereka langsung mengacungkan jempol mereka.
Mau tak mau semburat merah tipis mencoret kedua pipi sang ahli pemasangan tiang ini. "Tak salah, kami iseng membelikanmu setelan baju itu saat kami berjalan-jalan di San Faldo, kota karnaval. Sebenarnya ini untuk kado ulang tahunmu, tapi sepertinya kau sudah memerlukannya sekarang..." ujar Lulu membetulkan poninya yang mencuat, lagi. Pauly hanya menggaruk bagian belakang kepalanya yang tidak gatal, "Ah sudahlah, kalian tahu seharusnya aku mengatur pegawai masing-masing dok untuk memperbaiki kerusakan kota pasca Aqua Laguna hari ini.." ujarnya sekedar untuk mengalihkan pembicaraan dari topik yang membuatnya merasa salah tingkah.
"Kalau begitu ayo selesaikan itu terlebih dahulu, baru nanti kami susun rencana untuk mengatur 'kencan' mu…" kata Lulu sambil mempersiapkan perlengkapan tukang kayunya. "Baiklah, kita beraksi !" Tilestone berteriak dengan semangat. Sunggingan senyuman tercetak di wajah Pauly. Akhirnya ketiga pegawai dok 1 itupun mengumpulkan seluruh pegawai dok untuk memperbaiki kota Water Seven.
"Minggir!"
"Apa itu? Itu Pauly dari dok pertama! Apa yang sedang dia lakukan?" ujar salah satu kakek tua di pinggir sungai. Rupanya rombongan pekerja dok dari Galley-La menyita perhatian seluruh penduduk kota, terutama dengan keberadaan Pauly.
"Minggir ! Kalian mengganggu saja!", Pauly mulai tak suka dengan fansnya yang mulai bertambah gila kali ini. Memang apa yang dipikirkan wanita muda sampai tua itu yang makin banyak saja jumlahnya kini untuk mengejarnya.
"Fans Pauly rasanya tak ada matinya ya… Ckck." kata Lulu berdeham pelan. "Hha, Pauly memang tak ada duanya…" ucap Tilestone iseng menanggapi perkataan Lulu.
Pauly tak mau ambil pusing lagi dengan kumpulan fansnya itu. Pemuda tersebut menunjuk deretan rumah yang rusak di salah satu sisi sungai, lalu memalingkan wajahnya memandang pegawai dok tiga di belakangnya.
"Tugas kalian memperbaiki bagian ini, dok tiga!"
Komando pertama langsung dilontarkan Pauly dengan tegas.
"Siap!"
"Lalu, tugas dok lima memperbaiki rumah-rumah di samping gudang kapal !"
"Siap !"
"Sekarang semua mulai bekerja!"
"Baik!"
"Jangan lupa! Aku ingin kalian selesai memperbaiki kota bawah dengan jadwal harian dalam waktu sebulan!"
"Siap !"
Kehebatan pimpinan tukang kayu Galley-La Company—yang dalam sekejap telah dapat mengatur semua pegawai untuk bekerja memperbaiki kota— memang tak bisa diragukan lagi.
"Hebat, untung ada Galley-La Company…" Semua warga berujar senang mendapat bantuan perbaikan secepat ini.
"Oi, oi, Pauly, lebih baik kita ambil stok kayu terlebih dahulu di kantor Galley-La…" seru salah satu rekan pegawai dok 6. Terlihat Pauly sejenak sedikit menimbang saran itu, "Baiklah. Lulu, Tilestone, dok 6 dan dok 7 ikut aku ke belakang penyimpanan kayu di kantor Galley-La sekarang!" seru Pauly lantang. "Ough !" semua kini siap mengikuti Pauly ke kantor Galley-La seperti seruannya. "Hei, Pauly!" panggil Lulu mencoba menyamai langkah Pauly. "Aku dengar kru Topi Jerami ada disana semua lho…" bisik Lulu menggoda. "Nona Navigator pasti juga ada ya…" ucap Tilestone sambil mengelus dagunya, entah bagaimana sudah berada di samping sisi lain Pauly. Rasanya Pauly tak terlalu ingin menanggapi godaan kedua temannya tersebut. Namun mau tak mau jantungnya mulai berdegup aneh, bingung juga, apa yang harus dilakukannya nanti dengan nona centil tersebut. Perjalanan menuju kantor Galley-La harusnya lebih panjang dari yang ia duga, tapi sepertinya pikiran-pikiran aneh yang muncul di otaknya mempercepat perjalanan itu. Setibanya di tempat tujuan akhir, tepatnya di belakang kantor Galley-La, suasana nampak ramai sekali di sana. Sesuai perkataan Lulu dan Tilestone, nampak kru Topi Jerami sedang berpesta. Gerombolan keluarga Franky pun terlihat di sana.
"Aku lapar…"
"Aku juga…"
"Barbeque !"
"Wow! Si Topi Jerami sudah bangun!"
Pauly sedikit menghela nafas melihat kelakuan pegawai-pegawai kayu yang lain. "Sedang apa kalian di kolam…?" ujar Pauly, masih berjalan tenang. "Itu Galley-La Company! Dan para raksasa!", teriak heboh salah satu keluarga Franky. Pauly makin berjalan mendekati keramaian pesta yang ada di kolam, matanya mulai menjelajahi satu persatu orang yang ada di sana, "GYAAAA! SI GADIS PORNO!" Pauly tiba-tiba berteriak heboh dengan warna merah terbakar terpampang di wajahnya. Dilihatnya nona centil yang sedang duduk di pinggir kolam, ughhh dengan baju apa itu? Minim sekali!
"Ini kolam renang…" Nami berujar bingung dengan sikap Pauly yang nampak selalu tak suka dengannya itu.
"Ya, tapi kan…"
Sret.
Pauly langsung dibekap lalu disereret oleh Lulu dan Tilestone menjauh dari sang Navigator. "Hei, apa kau bodoh?" kata Lulu yang sedang merangkul erat sekaligus sedikit mencekik leher Pauly.
"Benar, kenapa kau bicara begitu padanya? Bagaimana mau 'kencan' kalau kau menghinanya seperti itu!" bisik Tilestone. Benar juga apa kata mereka… batin Pauly.
"TAPI KENAPA KALIAN MIMISAN SEPERTI ITU!" teriak Pauly setelah mendapati darah yang keluar deras dari hidung kedua temannya.
"Ah, ini hanya penyakit 'tak-kuasa-dengan-kecantikan-Nona-Navigator' kok…" ujar mereka berdua kalem.
Pauly hanya bisa berdecak kesal melihat kekonyolan mereka.
Pemuda itu bersandar pada dinding di belakangnya. Merasakan dirinya sedang cukup lelah dan lebih ingin berada di sana, menghirup udara segar di bawah pohon besar yang rindang itu. Tak jauh dari tempatnya duduk, di arah jam dua terlihat banyak rekannya dan keluarga Franky yang masih berpesta barbeque dengan kru Topi Jerami.
"Hhhh…" diambilnya nafas sejenak setelah sesak yang ia rasakan di tengah kerumunan gila tersebut. Asap cerutunya mengembang bebas di udara. Ah, rasanya menyesal juga menuruti kata Tilestone untuk tidak membawa cerutu dalam jumlah banyak kali itu. Katanya supaya tak mengganggu acara 'kencan' nanti. Tapi, hei, acara kencan apa? Mereka bahkan lupa sepertinya kalau mereka akan membantu menyusun rencana tersebut. Lihat kedua makhluk antah berantah itu, sedang bersenang-senang di pesta barbeque di sana bersama yang lain.
Krek. Tap. Tap.
Terdengar suara langkah seseorang di balik dinding yang sedang disandarinya. "Hmmm…" Kini terlihat wajah mungil berambut oranye yang muncul menengok melihat dirinya bersama suara gumaman tersebut. "Kau?" tanya gadis berambut oranye itu sembari memunculkan diri seutuhnya. Pauly menatapnya sebentar, untunglah gadis itu tak sedang memakai baju seperti tadi. Gadis berambut oranye itu kini mengenakan baju terusan bergambar simbol Galley-La Company, mungkin dipinjamkan. Yah setidaknya pakaian yang dikenakan kali ini masih romansa 'normal'.
"Oh, kau, nona centil…" ujar Pauly lirih, tak menyangka juga kini Nami berada berdua dengannya. "Bisakah kau hentikan panggilan seenakmu itu kepadaku?" sergah Nami yang kini berdecak kesal sembari berkacak pinggang. "Haha, itu 'kan pantas untukmu…" kekeh Pauly. Mau tak mau pemuda itu merasa geli juga dengan tingkah kekanak-kanakan gadis di depannya. "Ugh, ya sudahlah…" Nami hanya menghela nafas pasrah.
"Omong-omong, kau lihat Zoro?" Nami bertanya mengalihkan pembicaraan.
"Sang Pendekar itu? Memang ada apa?"
"Ah, tidak, hanya saja aku takut kalau dia tersesat. Aku perhatikan dia sudah menghilang dari kerumunan pesta…" jawab Nami sambil mengedarkan pandangannya ke sekeliling.
"Tersesat?" tanya Pauly sedikit bingung. Nami hanya terkekeh geli mendengarnya.
"Hha, kau belum tahu ya? Dia itu hanya pendekar bodoh…"
Pauly nampak berpikir lagi, bagaimana mungkin seseorang yang mampu membelah satu gerbong kereta dengan sekali tebas sewaktu penyerangan ke Enies Lobby itu bisa disebut bodoh?
Nami menyadari kebingungan yang nampak terpampang jelas di wajah sang pegawai Galley-La Company tersebut, "Haha, dia itu buta arah, tahu." ucap gadis itu diiringi tawa. Tawa renyah yang entah kenapa terdengar begitu nyaman di telinga Pauly. Harus kuakui, dia benar-benar manis… batin pemuda ber-goggles itu.
"Ya sudah, kalau begitu aku akan mencarinya lagi… Sampai jumpa!" ujar Nami sambil beranjak melangkah pergi.
"Hei! Tunggu dulu nona centil…" seru Pauly sedikit di luar kesadarannya sembari beranjak berdiri. Digaruknya lagi bagian belakang kepalanya yang sepertinya tidak gatal, dan pemuda itu sedikit memalingkan wajahnya. "Mungkin aku bisa membantumu mencari Roronoa…" ujar Pauly.
Raut wajah Nami yang tadinya bingung berubah menjadi cerah, "Benarkah? Tentu saja!"
Kini dua orang tersebut berjalan beriringan. Tak disangka rencana 'kencan' ini terlaksana tanpa bantuan dua orang antah berantah sesama rekan Pauly itu. Hei, tunggu dulu, jangan sebut ini kencan.. Tidak, ini hanya misi mencari rekan nya, Roronoa, bukan kencan, batin Pauly sedikit salah tingkah.
Mula-mula mereka berjalan dalam diam, hanya saja dua orang tersebut nampak kompak menggerakkan kepalanya dan memandangi sekeliling mencari sosok pemuda berambut hijau. Kelihatannya akan cukup susah menemukan Zoro, karena kontruksi kota Water Seven yang dikitari oleh kanal dengan bangunan-bangunan yang cenderung dibangun rapat. Hah, tidak kusangka nona centil ini bisa begitu direpotkan oleh sang pendekar… batin Pauly.
"Hei..." ujar Pauly memecah keheningan di antara mereka.
"Ng?" tanya Nami tanpa mengalihkan pandangannya menatap pemuda ber-goggles itu.
"Tinggal berapa hari lagi?"
Kali ini gadis berambut oranye itu tampak terkejut dan menatap Pauly. Sepertinya gadis itu terkejut akan pertanyaan Pauly padanya.
"Maksudmu berapa hari lagi sampai kami pergi?" ujar Nami diiringi seulas senyum di bibirnya. "Yah, walaupun log pose sudah merekam pulau selanjutnya, kami masih harus menunggu keputusan dari Luffy tentang kapal kami, tapi entahlah."
"Begitu… " gumam Pauly pelan.
"Memang kenapa? Haha, aku tahu, mungkin penduduk kota ini akan sangat merindukanku yang cantik dan manis ini…" kekeh Nami.
Mau tak mau Pauly juga ikut tertawa kecil mendengar ungkapan kebanggan diri yang besar dari gadis berambut oranye tersebut. "Dasar nona centil…"
"Aku heran mengapa kau selalu ngotot memanggilku begitu. Bahkan saat sebentar lagi aku akan pergi, kau masih saja…" ucap Nami sedikit jengkel.
"Yah, tapi bukankah kau tidak membantah kalau itu memang pantas untukmu?" tukas Pauly sambil terkekeh.
"Hah. Jangan bicarakan itu lagi."
"Bukankah kau sendiri yang memulainya?"
"Kau beruntung aku belum menghajarmu sekarang." gumam Nami sambil menyipitkan matanya. Glek. Pauly menelan ludah sedikit ngeri. Ah, kenapa ia bisa seceroboh ini melupakan sifat 'mudah menghajar' gadis manis di sebelahnya. Fokus, Pauly…
"Hha. Sudahlah… Aku akan memutuskan mengambil sikap tidak peduli tentang nama panggilan itu." kekeh Nami sambil mengibaskan tangannya. Pauly mengambil napas lega.
"Hei, Pauly… Memang kenapa kau menanyakan itu?"
Kembali menggaruk bagian belakang kepalanya yang sebenarnya tidak gatal tanpa sadar, Pauly mendapati dirinya merasa salah tingkah dengan pertanyaan gadis kecil di sebelahnya.
"Hm…" gumam Pauly, memutar otaknya mencari-cari alasan yang cukup masuk akal untuk dikatakan dibandingkan alasan sebenarnya, "Hanya, memastikan berapa lama waktu yang dibutuhkan Galley-La untuk 'membantu' kapalmu sebelum kalian pergi."
Nami tersenyum hangat mendengarnya. "Kalian baik sekali."
Deg. Pauly memalingkan wajahnya memandangi sepanjang kanal. Berusaha menyembunyikan semburat tipis berwarna merah yang sempat mencoreti wajahnya barusan.
Kali ini keheningan kembali datang di antara mereka. Dan perhatian dari kedua orang itu kembali terfokus kepada pencarian sesosok pemuda berambut hijau dengan tiga tindikan di telinga kiri. Sedikit demi sedikit, suasana Water Seven menjadi semakin ramai dan padat. Ditambah dengan serbuan dari fans Pauly yang seringkali mengganggu, tingkat kesulitan pun meningkat.
"Apakah semua wanita di sini menggemarimu?" ucap Nami saat mereka berhasil menerobos kerumunan fans Pauly saat mereka menyeberangi sebuah jembatan ke sisi lain kanal. Di belakang mereka, nampak segerombolan wanita dari berbagai tingkatan usia, dari remaja sampai wanita tua yang mengelu-elukan nama pemuda ber-goggles itu. Pauly mengangkat bahu sedikit kesal.
"Aku tidak melihat hal itu sebagai urusanku." gumam pemuda ber-goggles tersebut, sambil merogoh-rogoh sakuya untuk mengambil cerutu baru setelah yang lama ia buang. Ugh, rupanya persediaan cerutunya sudah habis. "Sialan." umpatnya masam.
Nami yang mendengar umpatan pemuda itu hanya menyunggingkan senyum tipis. "Hm… Kukira kau selalu membawa cerutu yang cukup." ujarnya. "Apa yang membuatmu membawa cerutu dalam jumlah lebih sedikit kali ini?" sambungnya sambil menelengkan kepalanya menatap Pauly.
Dasar gadis cerdas, batin Pauly. Namun jelas tidak mungkin Pauly akan mengatakan alasan yang sebenarnya. "Ehm. Mungkin aku terburu-buru berangkat saat aku mengganti jaketku tadi pagi."
"Tahanlah dulu keinginanmu mengisap cerutu sampai kita menemukan pendekar bodoh itu, kalau begitu."
"Tak usah kau pikirkan. Ini bukan masalah besar buatku." sergah Pauly. Kehabisan cerutu lebih baik daripada tak bisa menghabiskan waktu dengan gadis ini, ucapnya dalam hati.
"Baiklah…"
Nami mengalihkan pandangannya kembali menatap jalanan di depannya. Sambil sesekali bersenandung kecil, gadis itu meneruskan pencariannya. Kali ini langkah mereka tidak diselimuti keheningan karena sepertinya gadis beambut oranye itu sedang ingin berbicara panjang lebar tentang cuaca hari itu.
"Kau lihat awan yang di Utara itu? Itu menunjukkan kalau akan turun hujan sore nanti. Dan tidakkah kau merasakan bahwa angin mengarah ke Barat Laut…"
Pauly hanya mendengarkan gadis itu sambil sesekali menggumamkan ucapan-ucapan seperti, "Hmm… Begitu?" dan "Ya… Tentu saja.". Pemuda ber-goggles itu tersenyum tipis melihat antusiasme gadis berambut oranye di sebelahnya. Akhirnya setelah Nami puas berceloteh Pauly kembali memulai pembicaraan, "Kau sudah banyak melakukan perjalanan, nona centil."
"Ya, kupikir juga begitu." ujar Nami. "Kami bertemu banyak orang dalam perjalanan kami. Ada yang jahat dan sinting, namun yang menjadi teman baru kami juga tak kalah banyak, seperti Robin, yang kami temui dalam salah satu petualangan kami sebelumnya, ternyata menjadi nakama baru kami."
"Haha. Kupikir kau juga bertemu lebih banyak orang baru saat kau sampai di sini." gumam Pauly. "Kuambil contoh kedua rekanku di dok 1―Tilestone dan Lulu, tukang kayu profesional namun sepertinya tidak benar-benar beres, lalu juga ada keluarga Franky dan―"
"Dan tentu saja ada kau, Pauly." potong Nami diiringi senyum hangat.
Deg.
Pauly terdiam. Tak sanggup menanggapi ucapan gadis di sampingnya ini. Ah, perasaan tak nyaman lagi ganjil ini kembali datang padanya.
"Yah, terlepas dari caramu memanggilku yang menyebalkan…" ujar Nami sambil menengadah dan menghela napas dalam.
Pauly masih belum bisa menemukan kata yang tepat.
"Menurutku kau 'orang baru' yang patut diingat dalam perjalanan selanjutnya." sambung gadis berambut oranye itu, sembari memalingkan wajahnya menatap Pauly, tersenyum lembut pada pemuda ber-goggles itu.
Ya Tuhan, aku harus mengatakan sesuatu, batin Pauly. Pemuda itu menghela napas panjang, berusaha menetralisasi perasaan ganjil dalam dirinya.
"Terima kasih, kalau begitu…" ujar Pauly. "Dan kau patut tahu bahwa aku juga beranggapan sama tentang kau, nona centil." lanjutnya setelah ia berdehem gugup.
"Maaf saja, bukan suatu keterkejutan buatku soal itu. Aku yang cantik dan manis ini memang susah untuk diabaikan." tukas Nami dengan nada jail sembari menjulurkan lidahnya meledek Pauly.
"Memangnya aku ingin membuatmu terkejut? Dasar centil…" balas Pauly sambil terkekeh. Kembali merasa terhibur dengan sifat kekanak-kanakan dan penuh kebanggan akan diri sendiri dari gadis itu. Nami hanya tertawa dan bersikap seolah-olah tidak mendengar kata 'centil' yang diucapkan Pauly dan kembali menatap ke depan.
Pemuda ber-goggles itu kemudian merogoh-rogoh sakunya kembali, namun kali ini bukan untuk mencari cerutu. Sebuah benda dari perak tergenggam di antara jemarinya. Yah, kupikir ini saatnya… batin Pauly sedikit gugup.
"Hei, nona centil." ujar pemuda itu. Namun Nami mengacuhkannya dan terus melayangkan pandangannya ke sekeliling, mencari-cari sang Pendekar. "Hei, nona centil!" kata Pauly sedikit lebih keras. Namun tetap saja Nami bersikap seolah tidak mendengarnya. Hah, gigih sekali dia, ucap Pauly dalam hati. Baiklah kalau gadis berambut oranye itu bersikap keras kepala begini…
"Hei, Nami."
Baru saat Pauly menggumamkan kedua suku kata itu, gadis berambut oranye di sebelahnya menanggapi. "Apa?" tanyanya diiringi senyum geli, merasa menang karena berhasil membuat si pemuda ber-goggles tidak memanggilnya dengan julukan menyebalkan itu. Pauly mengangkat bahu, berusaha tidak memperhatikan ekspresi puas diri di wajah Nami. Tangan besarnya yang sedang menggenggam erat kemudian terulur, dan perlahan dibukanya genggaman itu. Menampakkan sebuah kalung dari perak dengan desain sederhana. Rantai kalungnya tampak sangat halus berbentuk bulat-bulat kecil dan tampak berpendar indah saat tersentuh sinar matahari. Singkat kata, kalung itu indah.
Mata onyx Nami membulat karena keterkejutan yang tak mampu ditahan. Gadis itu hanya memandangi kalung tersebut tanpa tatapan yang menyiratkan apapun kecuali keterkejutan. Tak ada siratan tergiur―seperti saat gadis itu berurusan dengan uang―ataupun ekspresi yang lainnya. Pauly berdehem, sebelum berkata, "Untukmu. Sedikit hadiah sebelum kau melanjutkan perjalananmu."
"Ini… Untukku?" tanya Nami sedikit bingung, namun dengan cepat akhirnya gadis itu tersenyum, tangannya meraih kalung tersebut dan memindahkannya dalam genggamannya. "Kalau begitu, terima kasih." ucapnya tulus. Bagi Pauly, tak ada yang bisa dilakukannya selain kembali memalingkan wajahnya, berusaha menyembunyikan semburat merah yang kembali mencoretinya.
"Yah, lagipula aku tidak membutuhkan benda semacam ini untuk kusimpan." gumam pemuda itu setelah bibirnya kembali berhasil menemukan kata-kata.
"Terserah katamu, Pauly. Bolehkah aku memakainya sekarang?"
Pauly mengangguk. "Tentu saja."
Nami tersenyum dan segera melingkarkan kalung itu di lehernya yang jenjang. "Bagaimana menurutmu?" tanya gadis itu setelah kalung itu telah terpasang. Pauly memandanginya, dan ia harus mengakuinya, di matanya gadis itu tampak semakin manis setelah mengenakannya. Namun Pauly hanya menggumam, "Tidak buruk, nona centil."
"Hah… Di mana sebenarnya dia?" ujar Nami sambil menengadahkan kepalanya, menaungi matanya dengan jemarinya yang melintang. Gadis itu kembali mengacuhkan Pauly saat nama julukan itu kembali terlontar dari bibir pemuda tersebut. Pauly memutar bola matanya tidak peduli dan kembali meneruskan pencarian sang Pendekar bersama Nona Navigator.
Sepertinya sudah cukup lama mereka berjalan dan menelusuri sekeliling kota, namun keberadaan sang Pendekar tetap saja tidak diketahui. Apakah mungkin pemuda berambut hijau itu tersesat sampai ke pinggir kota? Pauly melirik Nami, sepertinya lama-kelamaan gadis itu tampak lelah, dan juga tampak kesal. "Hei, kau tidak mau istirahat dulu?" tanya si pemuda ber-goggles, yang hanya dijawab dengan gelengan mantap dari gadis berambut oranye. "Kita tuntaskan dulu urusan kita mencari si Pendekar Bodoh." gumamnya.
Hmm… Kalau Pauly boleh jujur dan boleh berkeinginan egois, sebenarnya semakin lama Roronoa itu ditemukan, akan semakin banyak waktu yang dimiliki pemuda itu untuk menghabiskan waktu dengan nona centil disebelahnya… Ya Tuhan, tolonglah karena gadis ini akan segera pergi dari kota ini… batinnya dalam hati.
BRUUUAAAK.
"Eh?"
.
.
Tiba-tiba, untuk sesaat, karena suatu debaman keras dari sesuatu yang terjatuh di tanah, debu berpusar mengelilingi mereka, menghalangi pandangan Pauly dan Nami.
.
.
"Ng?"
"ZORO?"
Tampaklah akhirnya, sosok pemuda berambut hijau yang sedang mengusap-usap kepalanya sambil mengumpat. Sosok yang sedari tadi dicari.
Sayang sekali, harapan 'baik' Pauly tidak dikabulkan.
"Ternyata sudah ketemu…" gumam Pauly amat pelan, nampak sedikit kecewa.
"HEII… KETEMU KAU PAULY!"
Duh. Apa lagi sekarang… Sepertinya memang waktuku dengan nona centil 'sudah habis' sekarang, gumam Pauly dalam hati, mendesah pelan sebelum pemuda itu memalingkan wajahnya ke arah suara antah berantah tersebut berasal. Benar saja dugaannya, tampaklah Lulu dan Tilestone yang entah bagaimana sudah berdiri di belakangnya.
"Ya Tuhan, kenapa kalian kesini, hah?"
"Tenanglah, Pauly… Damai." ucap mereka berdua sambil membentuk simbol 'damai' dengan jari mereka.
Dasar perusak suasana, batin Pauly masam, kembali mendesah putus asa.
"Kemana saja kau, BODOH?" seru Nami sambil menghantam kepala sang Pendekar dengan tinjunya. "Kau membuatku melewatkan pesta barbeque, tahu!"
"Hei! Kenapa kau harus marah seperti itu sih?" ujar Zoro kesal sambil kembali mengusap kepalanya. "Sial. Bagaimana bisa aku jatuh dari situ?" ujarnya sambil menengadahkan kepalanya menatap sebuah pohon rindang besar di dekatnya.
"APA YANG KAU LAKUKAN DI ATAS SANA?"
Zoro menutupi telinganya dengan wajah yang tampak jengkel. "Sesukaku bukan ingin tidur di mana? Huh, benar-benar tidur yang nyaman sampai aku terjatuh dan bertemu kalian."
"Memang sesukamu, tapi jangan pergi seenaknya!" balas Nami jengkel.
"Huh, kau kan tidak usah repot-repot seperti ini!"
Begitulah. Pertengkaran antara navigator berambut oranye dan pendekar berambut hijau terus berlanjut.
Sedangkan Pauly, Lulu, dan Tilestone hanya bisa menonton pertengkaran tersebut sampai tiba-tiba Lulu menyikut Pauly, "Tidakkah kau lihat kalau sepertinya mereka sangat akrab?" tanyanya sambil merapikan poninya yang mencuat.
"Nona Navigator yang manis dan sang Pendekar yang tangguh…" gumam Tilestone tak jelas sambil mengusap-usap dagunya.
"Sudahlah kalian ini! Kenapa kalian berlagak seperti itu?" sergah Pauly merasa kesal. Memangnya duo antah-berantah ini berpikir dia akan cemburu atau apa? Pauly hanya bisa kembali mendesah dengan sikap lelah meladeni Lulu dan Tilestone. Pemuda ber-goggles itupun memutuskan untuk bersikap tidak memperdulikan mereka, daripada ia semakin jengkel atau pusing dengan tingkah mereka.
Entah sejak kapan, ternyata pertengkaran Nami dan Zoro kali itu telah berakhir. Sambil mencengkram baju Zoro, Nami berpaling kepada Pauly dan berucap riang, "Pauly! Kami harus kembali sekarang. Terima kasih atas bantuanmu, ya!"
Hah, kalau begitu habislah waktuku dengannya kali ini, batin Pauly, sedikit kecewa mendengarnya. Namun dengan cepat pemuda ber-goggles itu menguasai dirinya, dan ia mengangkat bahunya dan mengangguk sebagai jawaban. Untuk terakhir kalinya hari itu, Nami pun tersenyum manis padanya sebelum melangkahkan kakinya menjauh. "Dan terima kasih juga atas kebaikanmu sewaktu di Enies Lobby… Membantu mencari Luffy dan Zoro… dan semuanya. Kebaikanmu tidak akan ku lupakan…" ucap gadis itu tulus, cukup tak terduga bagi Pauly. Deg. Perasaan ganjil itu kembali datang pada pemuda ber-goggles itu. Membuatnya tak sanggup menanggapi ucapan gadis tersebut selain dengan senyum tipis di bibirnya.
Sedangkan Zoro tidak langsung mengikuti langkah Nami―walaupun susah juga sebenarnya karena ia hampir-hampir diseret oleh gadis itu―namun entah kenapa pemuda itu mengerutkan alisnya dan melirik Pauly sekilas dengan sorot mata tajam. Entah apa yang pemuda berambut hijau itu pikirkan. Namun akhirnya pemuda berambut hijau itu mengikuti langkah Nami menjauh.
"UWOOOGH…!" seru Lulu dan Tilestone lagi, entah kenapa.
"Apalagi yang kalian ributkan…?" desah Pauly, sedang malas membentak-bentak mereka lagi.
"Tidakkah tadi kau melihat bagaimana ekspresi Roronoa? Dia cemburu, Pauly…" ujar Lulu sembari menatap sang Navigator yang menjauh. "Ah, Nona Navigator yang manis… "
Pauly mengangkat bahu, mengambil sikap tidak peduli. Ia sendiri pun sedang menautkan pandangannya pada sosok berambut oranye tersebut. Kelihatannya gadis itu kembali bertengkar dengan sang Pendekar, faktanya terdengar bentakan dan umpatan berbalas-balasan dari kejauhan. Mungkin memang benar apa kata Lulu dan Tilestone, batin pemuda ber-goggles itu.
Plok.
Tiba-tiba, sama seperti saat di 'Blue Station', indera Pauly kembali mendeteksi sentuhan di bahunya. Namun kini di kedua bahunya. Pauly menoleh, sekali ke kiri, sekali ke kanan, mendapati Lulu dan Tilestone yang sedang menyandarkan telapak tangan mereka di bahunya.
"Pauly…" ujar kedua manusia antah-berantah itu serempak. "Kalau lawanmu adalah si Pendekar Roronoa itu, mungkin sebaiknya kau mundur saja…"
"Huh. Kalian pikir aku sebegitu memikirkannya, hah? Berhentilah bersikap seperti itu!" bentak Pauly kesal, lagi. Sudahlah, bukan merupakan urusannya siapa yang nampak dekat dengan nona centil itu. Kesempatan menghabiskan waktu bersamanya jauh lebih penting.
"Hei, Pauly…" ujar Tilestone tiba-tiba.
"Apa lagi yang kau ocehkan, Tilestone?" gumam Pauly malas.
"Aku punya saran tentang kegiatan yang bisa kau lakukan untuk membuat Nona Navigator senang… Walau mungkin secara tidak langsung."
Pauly hanya menatap Tilestone dengan pandangan sangsi. "Kuhajar kau kalau kalian mengucapkan hal menyebalkan atau melakukan hal yang tidak penting."
"Ehm. Ini serius dan merupakan alasan kami kesini." sambung Lulu. "Franky sedang membuat kapal baru untuk kru Topi Jerami."
"Benarkah?" tanya Pauly sambil menyipitkan matanya. Lulu mengangguk. Tampak benar-benar serius. Pauly tercenung. Yah, mereka memang benar. Paling tidak sebelum nona centil itu pergi, Pauly bisa melakukan sesuatu untuknya lagi. Pemuda ber-goggles itu menyunggingkan senyum samar di bibirnya.
"Dan kita sang ahli tukang kayu dok 1 Galley-La Company harus membantunya.." ucap Tilestone bersemangat.
Pauly mengangkat bahunya, "Tapi bukankah kita harus membantu para pekerja untuk memperbaiki kota belakang ?"
"Tenang saja, mereka malah menyuruh kita untuk membantu Tom Workers membuat kapal baru untuk Topi Jerami.." kata Lulu sembari membenarkan poni nya yang mencuat untuk entah kesekian kalinya.
Pauly terkekeh sejenak sebelum ia berkata, "Kalau begitu, kita harus lekas bekerja."
Omake
"SELAMAT ULANG TAHUN, NAMI!"
Seruan ramai datang menyambut Nami saat gadis itu kembali menemui nakamanya. Gadis berambut oranye itu mengerjap-ngerjapkan matanya nampak bingung melihat dekorasi meriah bernuansa oranye di sekitarnya, juga pada taburan entah-serbuk-apa-yang-aromanya-seperti-jeruk di badannya saat ia masuk.
"Apa kalian bilang? Hari ini… Ulang tahunku?" ucap gadis itu lambat-lambat. Sedikit tak percaya.
"TENTU SAJA, NAMI-SWAAN…! Lihatlah kalender ini, sekarang tanggal 3 Juli, dan itu hari ulang tahunmu bukan?" seru Sanji yang entah bagaimana menyeruak dari kerumunan dan menunjukkan kalender yang menunjukkan tanggal hari itu. Dan memang benar, tanggal 3 Juli.
"Hha. Bagaimana aku bisa lupa…" ujar gadis itu sambil tertawa kecil. "Terima kasih, teman-teman!" serunya kepada seluruh nakamanya dengan penuh ketulusan.
"TENTU SAJA!" seru seluruh nakamanya lagi. Dan mereka semua pun tertawa.
Oh, tidak semuanya ternyata. Dipojokan ruangan sepertinya makhluk berambut hijau sedang menggaruk kepalanya yang tidak gatal menampakan ekspresi sedikit bingung, "Memangnya hari ini ulang tahun nya, ya?", ujarnya lirih.
Chapter One, Chauffer . End.
"Huwoooogh ! Voc, aku lumayan terkejut ternyata Nami ulang tahun bulan Juli.. Hha.."
"Apa ? Waw, saya tidak terlalu terkejut tapi, Hei ? Apa ? 3 Juli ? Itu terlalu dekat dengan 8 Juli ! Arrrrggh, ya sudahlah mari kita rayakan dengan membuka S.O.S kali ini.."
"Oi, Oi, Oi. Jangan lupa soud effect khas One Piece, Voc. DOOONNGG"
"Ya sepeti yang kau katakan, Cca. Pertama kami ingin memberitahukan informasi bahwa beberapa scene dari sub story ini mengambil dari komik vol.45 aslinya dan genre humor yang kami pilih mungkin sedikit tidak tepat karena sepertinya fic ini jauh sekali dari kata lucu, arrrggggh. Baiklah kurasa itu saja, hm, Cca, segera mari kita mulai SBSSCI.."
"Apa kau bilang ? Bukankah kau tadi sudah bilang 'mari kita mulai SBSSCI' ?"
"Argggh, ya sudahlah.. Ini akan menjadi perkara panjang. Baiklah untuk reviewer pertama kita.. *jreng jreng.. tuing.. Eleamaya-san.."
"Hmm, menurutmu bagaimana kita akan menjawabnya, Voc ? Kami pun sebagai author berusaha membuat fic ini sebisa mungkin untuk dapat diterima para reader dan dapat disesuaikan dengan komik One Piece itu sendiri. Jadi kalau Eleamaya-san bilang dapat merelakan Nami ke Zoro saat membaca fic ini, rasanya suatu apresiasi besar untuk kami. Hhe" –nyengir gaje-
"Kami juga tak kuasa melihat Sanji se-gentleman itu.. Ya Tuhan, dia memang mewarisi 'pria diantara pria' dari si tua bangka- BUAAAKKK.. . Ughh, maksudku Zeff"
"Kemudian soal Thriller Bark, kami mengambil secara keseluruhan saja, jadi tak bisa menyebutkan scene-nya. Hmmm, jadi gimana ya, saya sendiri malah jadi bingung.. Waktu itu Sanji sudah menolong Nami, tapi saya rasa Nami tidak tahu yang menolong adalah Sanji. Dan saya rasa Nami care sekali dengan Zoro waktu dia terbaring sakit. Mungkin timbul kecemburuan pada Sanji.. Eh ? Itu Cuma pengamatan kami saja, uggghhh.."
"HEI, TENTU SAJA AKU CEMBURU !"
"Ya, aku percaya padamu, Sanji. Kemudian kalau tentang bahasa judul, errr itu bukan masalah kami berpikir untuk hint ZoNa ataupun SanNa sebenarnya, errr itu ano, ini masalahnya karena kami hanya memiliki kamus bahasa Perancis kok.." –dilempar monitor-
"Oke, dan terima kasih juga atas saran nya.. Itu sangat membantu dalam kami belajar untuk membuat fic yang lebih baik lagi.. :) . Selanjutnya adalah dari MelZzZ-san.. Voc, beri sound effect-nya.."
"Hei, bagaimana bunyinya ? Apa seperti ini.. 'pappara ppappara.. borsalino boresana..'. Hei itukan nama Admiral Kizaru, ah ya sudahlah.."
"Itu saja boleh. Jadi, kami ucapkan terima kasih atas apresiasi MelZzZ-san kepada fic kami.. hhe –nyengir gaje, lagi-… Kemudian untuk ketiga karakter itu memang sudah keren menurut kami saat diciptakan oleh Oda-san sendiri.. Jadi mereka memang sudah keren dari sana nya seperti yang dikatakan, MelZzZ-san.. :D . O ya, Voc, ada yang ingin kau sampaikan lagi ?"
"Entahlah, perasaan ku sedang tidak enak. Baiklah tutup saja S.O.S kali ini, Cca.."
"Oke, S.O.S ditutup. Mari kita tunggu pembuatan Thousand Sunny selesai dan sampai bertemu di chapter dua, kalau ada yang ingin bertemu lagi tapi.. hhe" –dilempar CPU-