.

Summary: Apa kau tahu apa yang ada di balik cermin? Ketika kau tahu, bisakah kau mengingkarinya? CHAPTER II: REFLECTION: …kami hanyalah anak-anak biasa yang berharap bisa mengubah diri kami…

Disclaimer: Vocaloid belongs to Yamaha Corp.

.

BEHIND THE MIRROR

.


.

Aku ingin menjadi lebih kuat!

Aku ingin menjadi lebih hebat!

Aku ingin bisa melindungi orang-orang yang kusayangi!

Aku ingin dunia melihatku!

.


Murasaki Sakura Presents:

BEHIND THE MIRROR

CHAPTER II: REFLECTION

Siapakah yang ada di sana? Apakah itu aku?…


.

Dua orang anak tengah berusaha berlari di sebuah jalan yang dipenuhi oleh orang-orang yang berdesakan. Tangan mereka yang saling menggenggam membantu mereka agar tidak terpisahkan. Kedua anak itu tampak terengah-engah karena aktivitas mereka, terutama karena pasokan oksigen yang mereka dapat semakin menipis diantara kerumunan orang yang memenuhi jalan yang mereka lalui.

"Len, kita lewat jalan lain saja deh. Kalau kita di sini terus, bisa-bisa kita jadi gepeng!" kata salah seorang dari mereka yang bernama Rin

"Yeah, kurasa kau benar." Len mengangguk-anggukkan kepalanya tanpa melepas genggaman tangan mereka

"Aku tahu gang yang bisa dipakai untuk jalan pintas!" seru Rin

"Kalau begitu tunggu apa lagi? Ayo kita pergi!" seru Len

Lalu kedua anak itu berusaha mencari jalan keluar di antara kerumunan orang itu. Akhirnya setelah beberapa menit berusaha, kedua anak kembar itu berhasil sampai di depan gang yang dimaksudkan oleh Rin. Lalu mereka berlari memasuki gang itu tanpa melepaskan genggaman tangan mereka.

.

.

Seorang pemuda kurus berambut pirang yang berpakaian penjaga abu-abu menatap mereka dengan pandangan tidak suka. Dia berdecih sebelum membukakan pintu gerbang pada dua orang anak kembar berambut pirang yang kemarin membuatnya malu di depan atasannya. Len tersenyum dan mengangguk padanya saat pemuda kurus bernama Leon itu membukakan gerbang untuk mereka.

"Wah, sepertinya kali ini dia tidak melupakan kita, ya kan, Len?" tanya Rin dengan nada mengejek

Len tidak menjawab pertanyaan Rin dan menyikut kakak kembarnya.

"Aduh, apa sih Len?" tanya Rin sambil mengusah-usap sikunya

"Miku dan Kak Mikuo sudah menunggu," jawabnya, lalu menggamit tangan Rin

Rin menganggukkan kepalanya dan melepaskan genggaman tangan Len. Lalu dia berjalan di belakang Len. Setelah beberapa langkah dari gerbang utama, gadis berbando itu menolehkan kepalanya ke arah pos jaga dan melihat Leon tengah memandangi mereka dengan tatapan tidak suka. Rin menjulurkan lidahnya keluar dengan gaya mengejek pada Leon. Leon langsung tersentak dan meninggalkan pos jaganya. Rin hanya cekikikan mendapan reaksi seperti itu. Lalu gadis itu melanjutkan langkahnya yang sempat terhenti tadi.

.

.

"Nona Miku dan Tuan Mikuo sudah menunggu Anda," kata seorang pelayan pria berambut biru panjang dan berkacamata. "Silahkan ikuti saya," tambahnya

Rin dan Len pun berjalan di belakang pelayan itu. Mereka bertiga berjalan menjauhi ruang perpustakaan dan ruang duduk pribadi Miku dan Mikuo yang terletak di bagian timur puri dan malah berjalan ke arah barat puri. Rin yang mulai bingung pun bertanya pada pelayang berkacamata itu, "Sebenarnya kita mau kemana, Taya?"

Pelayan berkacamata yang bernama Taya itu menghentikan langkahnya sejenak sebelum membalikkan wajahnya dan menjawab pertanyaan Rin, "Tuan Mikuo berpesan bahwa saya harus membawa Anda ataupun Tuan Kaito ke Taman Mawar kesukaan Nona Miku yang berada di sayap barat puri ini."

"Kenapa?" tanya Len

"Saya sendiri tidak tahu. Tuan Mikuo hanya berpesan seperti itu." Taya membetulkan letak kacamatanya yang sedikit merosot, lalu kembali membalikkan wajahnya ke depan. Kemudian dia pun melanjutkan langkahnya diikuti si kembar Kagamine.

.

.

Setelah berjalan melewati lorong panjang yang menghubungkan begitu banyak ruangan, mereka bertiga sampai di depan sebuah pintu besar yang terbuat dari kayu oak yang kokoh. Di sebelah pintu itu, terdapat sebuah meja kecil serta kursi kecil yang ditempati oleh seorang pemuda berkacamata yang berpakaian penjaga. Namun, warnanya berbeda dari pakaian penjaga yang dikenakan penjaga puri yang sering dilihat Rin dan Len, warnanya hitam dengan aksen merah marun di beberapa bagian sedangkan pakaian penjaga biasa hanya berwarna abu-abu dengan aksen hijau tua di beberapa bagiannya. Pemuda itu tengah asik membaca buku yang ada di tangannya tanpa memerhatikan kami.

Taya berdehem. "Ehm,"

Sepertinya hal itu membuat konsentrasi pemuda itu terpecah, jadi dia menengadahkan kepalanya dari bukunya sambil membetulkan letak kacamatanya.

"Selamat pagi, Ted." sapa Taya pada pemuda itu

"Taya. Ada apa?" tanyanya singkat

"Aku membawa teman Tuan Mikuo dan Nona Miku." jelas Taya sambil mengembangkan senyumnya

"Halo, aku Kagamine Rin! Ini kembaranku, Len!" sapa Rin

"Ya, halo. Aku Kasane Ted." kata pemuda berambut merah itu sambil sekali lagi membetulkan letak kacamatanya

"Apa Sora belum kembali?" tanya Taya

"Belum. Bocah orange itu pasti bolos lagi." Ted menggeleng-gelengkan kepalanya, membuat kunciran rambutnya bergoyang ke kanan dan ke kiri

"Hhh… Dasar… kalau dia sudah kembali, bilang padanya Momo memanggilnya." Taya ikut menggeleng-gelengkan kepalanya

"Ada lagi?" Ted mengangguk

"Tidak, terimakasih Ted," Taya menepuk pundak pemuda yang lebih beberapa inchi darinya itu, membuat Ted sedikit mengernyit. Taya berbalik ke arah Rin dan Len yang memerhatikan percakapannya dan Ted dari tadi. "Silahkan Tuan dan Nona ikuti saya lagi," katanya dengan senyum terbentuk di bibirnya. Lalu ketiga orang itu kembali melangkahkan kaki mereka setelah pintu oak yang kokoh itu dibukakan oleh Ted.

"Silahkan," katanya

"Terimakasih," kata Len, diikuti Rin yang mengangukkan kepalanya pada penjaga berambut merah itu.

.

Begitu melewati pintu oak itu, mereka bertiga disambut oleh sebuah patung pemuda yang menunggang kuda yang terbuat dari gips. Di depan patung itu terdapat sebuah bangku taman mungil yang diapit oleh dua semak bunga liar yang berwarna-warni. Kami memutari patung itu dan menyusuri jalan setapak yang terbuat dari batu.

Tanaman yang dipotong seperti tembok menghiasi hampir seluruh pinggiran jalan setapak yang dilewati tiga orang itu. Kadang terdapat celah untuk orang keluar-masuk di antara tanaman itu. Tapi Taya yang memimpin perjalanan memutuskan untuk tidak berbelok ke arah celah-celah itu maupun ke cabang-cabang jalan setapak lain yang tak bisa lagi dihitung oleh Rin. Ketiga orang it uterus berjalan mengikuti jalan setapak lurus yang dari awal mereka pijak tanpa berbelok.

Setelah beberapa menit berjalan, mereka bertiga sampai di depan sebuah gapura yang terbuat dari kayu yang dicat putih serta dirambati tanaman rambat yang berbunga warna-warni. Gapura itu ternyata berujung pada pagar kayu yang dicat putih. Di belakang pagar putih itu terdapat semak bunga liar yang terawat rapi.

"Silahkan ikuti saya," ucap Taya sambil kembali menoleh ke arah kedua remaja berambut pirang itu

'Dari tadi kami mengikutimu…' kata Rin dalam hati

Setelah mengatakan hal itu, Taya membuka pagar kayu pendek yang ada di depan mereka dan mempersilahkan kedua remaja itu untuk masuk. Sebuah pohon besar ditanam di tengah-tengah taman kecil itu dan dibawahnya terdapat dua bangku taman panjang dan beberapa kursi kayu kecil yang dicat putih serta dua buah meja kayu panjang yang juga dicat putih. Kedua meja kayu panjang diatur sehingga diapit oleh bangku taman saling berhadapan. Sedangkan kursi-kursi kayu yang berukuran kecil diletakkan di dekat kedua bangku taman.

Dua orang yang duduk saling berhadapan di bangku taman tengah mengobrol santai. Salah satunya sedang bertopang dagu, sedangkan satunya lagi sedang memainkan ujung syalnya. Dan orang ketiga, atau si gadis sedang memetik beberapa bunga dari semak-semak yang ada di belakang pagar putih pembatas.

"Tuan Mikuo, saya datang bersama Tuan Len dan Nona Rin," kata Taya sopan dengan badan membungkuk

"Ah, akhirnya kalian datang juga! Terimakasih, Taya," sahut Mikuo yang langsung berdiri dari posisinya semula

Kedua remaja berambut pirang itu langsung berlari ke arah Mikuo setelah mengucapkan terimakasih pada pelayan yang telah mengantar mereka. Sedangkan pelayan berkacamata itu langsung pergi meninggalkan tuan dan nonanya bersama teman-temannya.

"Aku tidak percaya kalian telat lagi!" seru Miku

"Ah, jalanan benar-benar padat! Kami sampai susah berjalan!" kata Rin

"Ayolah, akui saja kalau ini adalah kebiasaan baru kalian!" kata Kaito bercanda

"Kaito, jalanan benar-benar padat! Lagi pula untuk apa telat dijadikan kebiasaan? Emang kami itu kau?" tanya Rin ketus sambil berkacak pinggang

"Hahahaha baiklah, maafkan aku." Kaito menghampiri kedua remaja itu dan menepuk kepada mereka yang tertutupi rambut pirang

"Jadi, apa kakak menemukan kuncinya?" tanya Len pada Mikuo sekaligus untuk mengubah topik

"Coba tebak?" Mikuo membalikkan pertanyaannya sambil tersenyum jahil

"Kakak menemukannya?" tebak Rin

"Entahlah!" wajah Mikuo berubah lesu, disusul oleh wajah ketiga orang lainnya.

"Tapi aku menemukan ini!" seru Mikuo dengan seringai jahil di wajahnya sambil menunjukkan gantungan bulat yang penuh dengan kunci-kunci

"Horeeee! Kalau gitu kenapa kita ga langsung ke gudang?" seru Rin penuh semangat

"Ide bagus!" Mikuo mengangguk. "Ayo!"

.

.

Sebuah bangunan besar dari kayu bercat cokelat tua berdiri di hadapan lima orang itu. Di sisi kiri dan kanan bangunan itu terdapat dua buah pohon besar yang tidak berbuah maupun berbunga, dan di beberapa bagian dinding kayunya sudah ditumbuhi tanaman rambat yang berbunga ungu. Pintunya yang berukuran sangat besar digembok dan dirantai. Dengan santai Mikuo berjalan ke arah gembok itu sambil memainkan kunci-kunci yang bergemerincing di tangan kanannya. Keempat orang lainnya menyusul dengan langkah-langkah kecil di belakangnya.

Pemuda berambut aqua itu mencoba kunci pertama. Setelah diputar berulang kali, hasilnya gagal. Bagitu juga dengan kunci kedua, ketiga, dan keempat. Namun, pemuda berambut aqua itu berhasil pada percobaannya yang kelima kali. Kuncinya berputar diiringi suara klik pelan dan gembok pun terbuka. "Yes!" Mikuo berbisik. Mendengarnya, Kaito dan Len langsung menghampiri Mikuo dan membantu pemuda itu melepas rantai yang melilit gagang pintu itu.

Setelah beberapa detik, rantai berhasil tersingkir dan kini rantai itu teronggok begitu saja di samping pintu yang sudah terbuka. Mikuo tersenyum lebar memerhatikan hasil kerjanya, "Oke, kita masuk!" katanya dengan penuh semangat. Keempat temannya pun menganggukkan kepala mereka dan berjalan mengikuti Mikuo masuk ke bangunan yang digunakan sebagai gudang keluarga Hatsune itu.

.

.

Begitu berada di dalam, mereka langsung disambut oleh kegelapan yang ada di sana. Rin bergidik ngeri saat melihat sesuatu melesat dengan cepat diantara benda-benda yang ada di sana. "Len…" dia memeluk lengan Len yang ada di sebelahnya

"Tenang saja, Rin. Paling hanya tikus," Len menoleh ke arah saudari kembarnya

"Tikus? Kuharap bukan." Miku ikut-ikutan memeluk lengan Len

"Hei, kalian ini apa-apaan sih?" Kaito menaikkan sebelah alisnya saat melihat ke arah Rin, Len, dan Miku

"Kami takut…" kata Miku

"Kalian ya, aku tidak," kata Len

"Hei Miku, bukankah kau kuminta membawa senter?" tanya Mikuo

"Ah iya, ada di sini," Miku merogoh saku rok terusannya yang berwarna merah marun

"Ada! Tiga buah senter," katanya sambil menyerahkan senter-senter itu ke tangan kakaknya

"Aku juga bawa senter!" kata Kaito sambil mengeluarkan sebuah senter berwarna biru tua dari saku celana jeansnya

"Baguslah, kalau begitu kita punya empat senter. Aku satu, Kaito satu, Len satu, dan kalian satu." kata Mikuo sambil membagi-bagikan senter di tangannya

"Kita cari apa nih?" tanya Len

"Terserah, cari saja benda yang menurutmu menarik, lalu bawa kemari. Berhubung gudang ini sangat besar, jangan sampai tersesat ya." jawab Mikuo. Keempat orang lainnya menganggukkan kepala mereka masing-masing

"Kita ketemu di sini lima belas menit lagi," tambah Mikuo

"Baiklah," Kaito menganggukkan kepalanya lagi, "Ayo mulai!" serunya

.

.

[Bagian Kaito]

Kaito berjalan ke arah rak-rak buku yang penuh dengan berbagai buku berdebu dan botol-botol berbentuk aneh. Senternya terus diarahkan ke atas dan ke arah depan, sedangkan matanya terus mengikuti arah cahaya senternya yang bisa dibilang cukup kecil. Tiba-tiba sesuatu melesat dan berputar-putar di dekat kakinya. "HUWAAAAA!" seru Kaito kaget. Lelaki berambut biru itu kehilangan keseimbangannya dan terjatuh menyenggol sebuah rak, menimbulkan bunyi 'BRAK' yang lumayan keras dan suara 'KRAK' serta 'TRING'.

Dengan cepat Kaito kembali berdiri dan langsung mengarahkan senternya ke rak yang tadi disenggolnya—mengecek kalau-kalau ada benda yang pecah atau jatuh karenanya. Mengetahui semua baik-baik saja, Kaito membuang nafasnya lega. Tiba-tiba sebuah bola kaca menggelinding ke arah kaki Kaito dan membentur kakinya, menimbulkan suara 'TUK' pelan.

"Huh? Apa ini? Bola?" Kaito membungkuk dan mengambil bola kaca itu

Bola itu berukuran lebih kecil dari genggaman tangannya. Warnanya bening dan sedikit kusam karena tertutup debu. Kaito memutar-mutarkan bola kaca di tangannya itu sambil sesekali mengusapnya untuk membersihkan debu dan kotoran yang menempel di sana. Pemuda berambut biru itu menggenggam erat bola kaca itu. Kemudian membuka lagi genggaman tangannya. "Ternyata tidak serapuh yang kukira," kata Kaito

Kaito mengantongi bola kaca itu dan kembali berjalan.

'Semoga ada benda menarik,'

.

[Bagian Mikuo]

"Hatsyiiii!" suara bersin Mikuo memecah kesunyian di sana

"Ah, sial! Debunya banyak sekali!" rutuk Mikuo sambil menyeka hidungnya dengan tangan kemeja putihnya

Dia berjalan dengan tangan menutupi hidung, mencegah debu-debu yang berterbangan di sekitarnya untuk membuatnya bersin lagi. Mikuo mengedarkan pandangannya ke benda-benda yang ada di sekitarnya. Mayoritas dari benda-benda itu adalah meja dan kursi yang tertutup kain putih kusam serta beberapa perkakas berdebu yang sama sekali tidak menarik. Mikuo menyibak kain yang menutupi sebuah meja kayu. Debu berterbangan dari kain putih yang digunakan untuk menutupi meja itu.

"Hatsyiiii!" lagi-lagi Mikuo bersin

Senternya diarahkan ke atas meja itu. Dia berusaha mencari benda menarik yang mungkin ada di atas meja itu. Sayangnya tidak ada apapun di atas meja itu. Tapi Mikuo tidak patah semangat, dicarinya laci, lalu dibukanya laci-laci itu. Memang, sebagiannya terkunci, tapi dia mengobrak-abrik laci-laci yang tidak terkunci. "Apa di sini tidak ada benda yang menarik?" umpatnya.

Mikuo kembali berjalan ke depan dan mengecek laci-laci serta rak-rak, tapi sama sekali tidak menemukan satu hal pun yang menarik.

"Huh, lebih baik aku kembali saja," kata Mikuo seraya menaruh tangan kirinya di pinggang, dan memutar-mutarkan senter yang ada di tangan kanannya.

.

[Bagian Miku dan Rin]

Cahaya senter yang menjadi satu-satunya penerang mereka terlihat sedikit gemetar.

"Miku, hentikan! Kau membuat cahayanya terlihat kabur!" kata Rin sambil menarik ujung baju terusan Miku

"M-maaf, Rin. Aku takut…" sahut Miku dengan suara bergetar

"Aku juga… Coba kalau Len ada di sini…" timpal Rin

"Sudahlah, lebih baik kita cari barang yang menarik!" usul Miku masih dengan suara yang sedikit bergetar

"Ide bagus," Rin menganggukkan kepalanya. Mereka berdua pun berjalan masuk lebih dalam ke gudang itu.

.

Miku yang bertugas memegang senter berjalan dengan langkah kecil-kecil, dia takut dengan monster yang mungkin melompat keluar dari persembunyiannya dan memakan dirinya dan Rin. Kakinya yang tertutup kaus kaki putih selutut dan rok terusan selutut sedikit gemetar. Jari-jari lentiknya yang memegang senter pun belum berhenti bergetar.

Sedangkan Rin yang berada di belakangnya memegang erat ujung pita yang ada di bagian belakang baju terusan Miku. Tangannya sedikit gemetar, namun pandangannya tetap lurus ke depan, sambil sesekali mengamati apa yang ada di sekitarnya. Rin memasang telinganya baik-baik, mencoba mendengarkan seluruh bunyi mencurigakan yang mungkin berasal dari binatang pengerat yang ditakutinya atau dari serangga-serangga lain. Tiba-tiba matanya menangkap sesuatu.

"KYAAAAAAA!" seru Rin. Gadis berbando pita itu jatuh terjengkang ke belakang

"Ada apa, Rin?" tanya Miku panik sambil menyenteri lantai di sekitar Rin

"D-di sana…" Rin menunjuk belakang Miku dengan jari gemetar

"A-ada apa?" tanya Miku dengan suara bergetar

"Coba kau senteri," kata Rin yang masih dalam keadaan terduduk. Miku menelan ludah, lalu mengangguk. Gadis berkucir dua itu berbalik dengan perlahan dan menggerakkan senternya kesana-kemari, mencoba mencari sesuatu yang membuat Rin sangat ketakutan.

"Ada apa sih?" tanya Miku tanpa menoleh ke belakang

"Coba di sekitar sana…" Rin mengarahkan tangan Miku yang memegang senter ke arah serong kanan atas. Tiba-tiba iris aqua Miku menangkap dua benda yang berada di rak paling atas. Dua benda itu adalah dua buah topeng. Yang satu berwarna putih polos tak bermotif dan satu lagi berwarna sebagian putih dan sebagian lagi hitam. Di bagian hitamnya terdapat garis meliuk berwarna merah pekat yang berawal dari bolongan untuk mata, seakan-akan itu adalah air mata darah. Sedangkan pada bagian putihnya terdapat warna biru yang dilukis berbentuk air mata tepat di bawah bolongan untuk mata. Dan sekilas topeng itu seperti menyeringai.

"Kurasa, kita bawa ini saja," usul Miku dengan suara bergetar

"Kau bisa mengambilnya?" tanya Rin. Miku hanya mengangkat bahu. Lalu gadis berkucir dua itu berjinjit dan berusaha menggapai kedua topeng itu, tapi tidak berhasil.

"Kurasa kalau Kak Mikuo, pasti bisa." kata Miku. Rin mengangguk. Kemudian dia mencari sesuatu yang dapat dijadikan pijakan.

"Ada! Kita bisa pakai kursi ini untuk pijakannya!" seru Rin sambil menarik sebuah kursi kayu mini

"Mungkin!" Miku tersenyum, lalu membantu Rin menaruh kursi itu di tempat yang tepat. Kemudian gadis berkucir dua itu menaiki kursi itu dan mengambil kedua topeng yang sempat mengejutkan mereka itu. "Rin, tangkap!" Miku melemparkan topeng-topeng itu pada Rin yang siap menangkapnya di bawah

"Hup! Yak, aku dapat!" seru Rin

"Kalau begitu, ayo kita kembali!" ajak Miku yang sudah turun dari kursi itu. Rin mengangguk dan menggandeng tangan Miku.

.

[Bagian Len]

Len berjalan dengan langkah kecil diantara furnitur-furnitur tua serta rak-rak yang dijejali berbagai benda. Matanya terus mencari barang menarik yang mungkin berada di rak-rak itu. Len mengamati setiap baris rak serta setiap furnitur yang dilewatinya, kalau-kalau ada barang menarik yang terselip di sana. Tapi nihil, dia tidak menemukan satu benda pun yang menarik perhatiannya. Len menghela nafasnya dan terus berjalan, membiarkan kakinya yang memimpin pencariannya.

Kakinya terus berjalan ke depan tanpa berhenti, hingga membuat Len harus mengingat jalan yang dilewatinya sebelumnya. Kakinya belum juga memutuskan untuk berhenti saat matanya melihat dinding kayu gudang itu. Len malah mempercepat langkahnya, karena dia merasa akan menemukan benda menarik di ujung gudang itu.

Saat wajahnya berada di depan dinding kayu, Len menghentikan langkahnya. Kepalanya menoleh kesana-kemari, mencari benda menarik yang mungkin ada di sana. Len mengarahkan senternya ke berbagai arah sambil terus mencari benda menarik. Tiba-tiba ekor matanya menangkap kilatan cahaya. Len langsung menoleh ke arah kilatan cahaya tersebut dan menemukan sebuah cermin besar yang hampir setengahnya tertutup sebuah kain putih yang kusam. 'Ternyata hanya cermin…' pikir Len. Dia menarik kain putih itu hingga kain itu jatuh ke lantai kayu dengan halus.

Len menatap pantulan dirinya di cermin itu. Sepertinya sedikit berbeda, wajahnya jadi lebih tembem, badannya jadi lebih pendek, dan matanya jadi berwarna kuning. Len mengucek matanya dengan tangan kirinya dan kembali melihat pantulan dirinya di cermin besar itu. Normal. Bocah lelaki dengan rambut pirang dan poni berantakan serta mata biru. 'Mungkin hanya perasaanku saja,' Len menghela nafasnya.

Sekali lagi Len melihat pantulan dirinya di cermin. Lagi-lagi terlihat bocah setingginya dengan rambut sedikit panjang yang tergerai dan poni berantakan persis miliknya, namun rambut bocah itu berwarna hitam. Dan lagi mata bocah itu yang berwarna kuning berbeda dari matanya yang sebiru sapphire. Kali ini bocah di balik cermin itu menyeringai ke arahnya.

"HUWAAAAAA!" teriak Len kaget sambil melemparkan senternya. Dia jatuh terduduk dengan mata masih terpaku pada cermin besar di depannya. Dengan terburu-buru diambilnya lagi senternya yang tadi terlempar. Lalu Len mengucek matanya sekali lagi dan melihat bayangannya di cermin sekali lagi. Aneh, lagi-lagi bayangannya kembali menjadi normal. Dengan jantung yang berdebar-debar, Len berjalan menuju pintu utama—tempat awal mereka berlima—berusaha meninggalkan cermin besar itu dengan cepat.

Tanpa disadarinya sesosok bayangan bocah berambut hitam tengah memerhatikannya dari balik cermin dengan mata kuningnya.

.

.

TO BE CONTINUED

TO CHAPTER III: ANOTHER WORLD


.

Yahha! Behind the Mirror chapter II akhirnya selesaaai! ^o^ Saku akui, Saku ngerjain fic ini sedikit terburu-buru, soalnya udah terlambat dari target yang Saku tentuin (maklum, minggu lalu Saku sakit, jadi sama sekali ga bisa nyentuh komputer). Nah, karena Saku ngerjainnya buru-buru, mohon maaf kalau banyak typo…

Seperti biasaa Saku mau bilang makasih ya sama Readers yang udah mau baca fic Saku… Apalagi yang mau review…

Ngomong-ngomong ini balesan reviewnya…

coba tebak: biar Saku tebak, Adlina? Hahaha makasih sayaaang… Emang rin len di bayanganmu gimana nak?

fuyugami ryo: Waaai makasih ya udah mau baca dan review fic Saku lagi… Ryo baaiiik deh… Maksih ya, untuk kali ini Saku bener-bener mikirin idenya, jadi mohon maaf kalau kadang lama di update…

Nacchan Sakura: Waaa makasih Nacchan! Ini udah diterusin…

.

Sekali lagi makasih buat Reades yang udah mau ngereview… Soalnya Saku butuh banget reviewnya… Oke deh, segitu aja chapter ini! TO BE CONTINUED…