.

I'LL NEVER FORGET THIS PAIN

Presented by: Kagami Sakura

.

Summary: Apakah kau sadar, senpai? Kalau aku sangat benci melihatmu dengannya? Special fic for Deal Fallen. Rated M for BLOODY

Disclaimer: Persona 4 tetep punya ATLUS

.


.

Matahari sudah menggantung di langit, membangunkan penduduk Inaba dari tidur mereka. Begitu juga dengan seorang wanita muda bernama Rise, ia terbangun di tempat tidurnya dengan rasa sakit yang menusuk telapak tangannya. Sepertinya luka yang dia buat kemarin membutuhkan perawatan lebih dari yang telah dilakukannya kemarin. Dengan hati-hati, Rise menaikkan lengan piyamanya yang berwarna ungu muda bermotif polkadot. Sepertinya luka sayatan yang ada di lengannya sudah membaik, meskipun masih sedikit terasa sakit. Rise mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru kamarnya, dan mendapati kumpulan busa dan kain yang asalnya boneka kelinci yang kemarin dihancurkannya masih teronggok begitu saja di tengah-tengah kamar. Mengingat apa yang dilakukannya kemarin malam, Rise tersenyum kecil. Wanita muda berambut cokelat kemerahan itu pun hanyut dalam lamunannya.

Getaran dari sebuah handphone merah muda yang diletakkan di atas sebuah meja membuyarkan lamunan Rise. Rise berdecih setelah membuka pesan itu.

From: Shirogane Naoto

Subject: None

Hari ini aku mau ke taman bermain sama senpai. Bisa temani aku? Senpai juga akan mengajak seorang lagi.

.

To: Shirogane Naoto

Subject: None

Taman bermain? Waaah baiklah~~ Rise ikut!

.

Munafikkah?

.

.

Kagami Hikari presents:

I'LL NEVER FORGET THIS PAIN

.

.

Dua jam kemudian, mereka sudah berada di dalam sebuah taman bermain yang baru dibuka beberapa minggu lalu. Rise mengenakan pakaian yang menurutnya cukup biasa, sebuah blus berwarna oranye gelap yang dihiasi berbagai motif dari manik-manik yang dijahitkan di bagian bawah blusnya ditambah dengan skinny jeans berwarna hitam dan sepatu boots tinggi berwarna cokelat. Ia terlihat manis dalam busananya, namun wajahnya sama sekali tidak menunjukkan kebahagiaan. Ia berjalan di samping seorang pemuda jangkung berambut kebiruan yang tampak acuh-tak acuh. Sedangkan di depan mereka ada dua orang yang sedang asik bercerita, seorang pemuda berambut silver dan seorang wanita muda tomboy.

"Hei Rise, mau naik jet coaster?" tanya pemuda berambut kebiruan yang berdiri di samping Rise, tangannya dimasukkan ke kedua saku di celana jeansnya.

"Mungkin nanti, Kou-senpai." jawab Rise malas. "Bagaimana kalau ke rumah hantu?" tanya Rise sambil menunjuk sebuah bangunan berkesan seram yang ada di sebelah wahana rumah cermin.

"Yeah, kurasa mungkin menyenangkan…" sahut Kou setelah mengangguk.

"Kalian mau ke rumah hantu?" tanya pemuda berambut silver yang diketahui bernama Souji.

"Yeah. Kalau kau mau jalan dengan Naoto sih, silahkan saja," jawab Kou santai.

"Baiklah, kami duluan," Naoto mengangguk ke arah Kou dan Rise.

Setelah itu, Souji dan Naoto pun segera menghilang dari pandangan. Sedangkan Kou dan Rise berjalan berbarengan ke arah wahana rumah hantu.

.

Tempat itu bukanlah sebuah rumah hantu yang buruk bahkan bisa dibilang cukup bagus, lengkap dengan pegawai berkostum hantu yang cukup menyeramkan, boneka-boneka bermesin mengerikan, dinding berlukis gambar-gambar yang membuat bulu kuduk merinding, serta lorong-lorong pengap yang gelap.

Rise terkikik geli saat melihat seorang pegawai berkostum zombie berusaha mengagetkan mereka dengan sebuah pisau mainan yang terlihat asli. Kou melirik ke arah wanita muda yang berjalan di sebelahnya, "Kau tidak takut, kan?"

"Tidak," Rise menggeleng.

"Baguslah." kata Kou singkat. Setelah itu, mereka berdua kembali berjalan dalam kesunyian.

Rise memerhatikan sebuah lukisan dimana seorang manusia yang sedang berubah menjadi werewolf mencabik-cabik daging dua orang di bawah terangnya sinar bulan purnama. Entah kenapa hanya ada satu wajah yang terlintas di benaknya saat melihat gambar itu. Ia ingin orang itu mati dengan cara yang mengenaskan, tapi entah bagaimana. Ia membayangkan gambar tubuh orang yang tercabik itu adalah tubuhnya, tanpa sadar, sebuah seringai terbentuk di bibir tipisnya. Kou menyadari hal itu.

"Ada apa?" tanya Kou

"Eh? Tidak apa-apa kok. Hanya saja… kurasa aku ingin pulang," jawab Rise sedikit tergugup

"Baiklah. Kupikir hanya aku yang ingin pulang…" gumam Kou. Rise hanya tersenyum mendengar pernyataan Kou.

Kemudian mereka berdua pun berjalan menelusuri lorong-lorong sempit di wahana rumah hantu tersebut dalam kesunyian.

.

Kou dan Rise berada di depan pintu keluar wahana rumah hantu bersama dengan dua orang lainnya —Souji dan Naoto. "Kita kemana lagi?" tanya Souji.

"Umm sepertinya aku harus pulang, senpai. Aku merasa tidak enak badan." Rise sedikit tertunduk. Nada suaranya meyakinkan bahwa ia benar-benar sedang tidak enak badan.

"Benarkah begitu?" Rise hanya mengangguk mendengar pertanyaan dari senpainya itu.

"Maaf ya Rise. Aku malah memaksamu ikut, padahal kau sedang tidak enak badan," Naoto sedikit membungkuk.

"Tidak apa-apa kok," Rise tersenyum.

"Kalau begitu aku akan mengantar Rise pulang." kata Kou, "Dan jangan khawatirkan kami. Kalau kalian masih ingin meneruskan kencannya, ya teruskan saja." sambungnya. Ya, ini memang rencana yang mereka berdua susun sebelum keluar dari wahana rumah hantu tentunya tanpa sepengetahuan Souji dan Naoto.

"Baiklah," Souji akhirnya mengangguk. "Hati-hati ya," katanya sebelum menggandeng Naoto menjauhi Kou dan Rise.

Setelah Souji dan Naoto menghilang dari pandangan Kou dan Rise, mereka berdua menghela nafas lega. Akhirnya mereka bisa pergi dari acara kencan itu, tentunya karena alasan berbeda; Rise karena cemburu, sedangkan Kou karena bosan. Mereka berdua pun berjalan menuju rumah masing-masing.

.

Suara burung hantu menggema di kejauhan terbawa angin malam yang terus berhembus. Malam itu langit cukup cerah—awan yang tampak hanya sedikit berupa gumpalan-gumpalan kecil kelabu di langit yang penuh bintang yang menemani terangnya bulan purnama. Entah mengapa suasana Inaba tampak lengang malam itu. Mungkin karena angin yang berhembus cukup kencang dan suhu udara yang cukup rendah, membuat orang-orang enggan melangkahkan kaki mereka dari rumah-rumah mereka yang hangat.

Seorang wanita muda tengah duduk di atas sebuah sofa yang berwarna senada dengan rambutnya, biru tua. Namanya Shirogane Naoto. Televisi menayangkan acara film bergenre action keluaran tahun 90an. Tapi ia sama sekali tidak memerhatikan film yang ditayangkan di televisi. Matanya terpaku pada layar laptop hitam yang ada di pangkuannya. Jari-jarinya sibuk mengetikkan kata-kata yang disusunnya menjadi sebuah laporan. Memang, dia menyalakan televisi hanya agar suasana di rumahnya tidak terlalu sepi. Entah mengapa malam ini ia merasa ketakutan, padahal biasanya ia tidak pernah setakut ini jika sendirian di rumahnya yang terbilang cukup besar tersebut. Tapi malam ini bulu kuduknya terus-menerus meremang, membuat wanita berperawakan mungil itu merasa tidak nyaman. Meskipun begitu, ia tetap konsisten mengerjakan pekerjaannya.

Wanita muda yang bergelar Detective Prince itu menghela nafas. Dia sudah lelah. Sejak pulang dari kencannya tadi pagi, Naoto berkutat dengan laporannya tanpa diselingi istirahat selain untuk makan siang. Ia bahkan belum sempat memakan makan malam berupa sosis panggang dan mashed potato yang satu jam lalu dia buat.

Matanya menelusuri tiap kata yang terpampang di monitor laptop, mencari kalau-kalau ada kesalahan dalam penulisannya. Setelah puas memeriksa laporannya, Naoto meregangkan ototnya yang kaku. Kemudian ia mengambil piring berisi makan malamnya yang sudah dingin dan mulai memakannya sambil menonton acara televisi.

Sebuah handphone bercasing hitam berdering singkat di atas meja, membuat wanita berambut biru tua yang tengah menyantap makan malamnya melirik sekilas pada benda elektronik itu. Kujikawa Rise—nama yang terbaca di layar handphone yang berkedip-kedip.

From: Kujikawa Rise

Subject: None

Konbanwa Naoto-kun! Rise mau menyampaikan pesan!

.

To: Kujikawa Rise

Subject: None

Konbanwa Rise! Pesan apa?

.

From: Kujikawa Rise

Subject: None

Pesan dari senpai! Senpai minta Naoto-kun datang ke Samegawa Flood Plain!

.

To: Kujikawa Rise

Subject: None

Hmmm baiklah…

.

From: Kujikawa Rise

Subject: None

Yey! Jangan lama yaa… Kasihan nanti senpai!

.

To: Kujikawa Rise

Subject: None

Eh, ngomong-ngomong kenapa senpai tidak langsung bilang padaku?

.

From: Kujikawa Rise

Subject: None

Nggak tauuu. Rise kan hanya menyampaikan pesan

.

To: Kujikawa Rise

Subject: None

Ooh… Oke

.

Naoto kemudian menyuapkan sisa makanan yang masih berada di piringnya ke dalam mulut, lalu mengunyahnya. Beberapa menit kemudian ia pun sudah berjalan sambil merapatkan mantel ke arah Samegawa Flood Plain.

Sayang sekali, ia tidak tahu apa yang sudah direncanakan temannya.

.

Seorang pemuda tengah asik membaca buku yang ada di pangkuannya dan di sebelahnya ada seorang gadis manis berambut cokelat. Gadis itu terlihat sedang menuliskan sesuatu di buku bersampul putihnya sambil sesekali melihat ke buku lain. Sesekali iris kelabu pemuda itu melirik si gadis kecil. Sesaat gadis itu terlihat sedikit kebingungan. Dimainkannya pensil mekanik berwarna hijau di genggamannya.

"Ada apa Nanako? Ada soal yang sulit?" tanya pemuda yang bernama Souji itu pada sepupunya, Dojima Nanako.

"Mmm… Mungkin yang ini?" Nanako menunjuk sebuah soal di bukunya

"Hmm… benarkah? Kurasa tidak sulit kok." kata Souji setelah melihat soal yang ditunjuk Nanako

"Benarkah? Kalau begitu tolong ajari Nanako!" pinta gadis berkucir dua itu. Souji hanya tersenyum sebelum mengangguk.

Selama beberapa saat, Souji masih disibukkan dengan beberapa pertanyaan dari Nanako. Yah, Souji tahu adik sepupunya itu ingin mendapat nilai yang memuaskan untuk ulangannya besok. Jadi ia tidak keberatan mengajari Nanako.

"Nanako, kau belum tidur?" tanya sang ayah, Dojima Ryotaro, yang baru saja keluar dari kamar mandi

"Belum, Yah. Masih ada soal yang tidak kumengerti." jawab Nanako sambil menggelengkan kepalanya

"Lebih baik kau tidur. Aku tidak mau kau kesiangan besok." Ryotaro berkacak pinggang

"Tapi, ini kan masih jam setengah sembilan!" protes Nanako sambil menunjuk jam dinding

"Tidak ada tapi-tapian. Kau harus tidur!" kata Ryotaro

"Baik…" gumam Nanako. Ia membereskan buku-buku dan alat tulisnya, kemudian pergi tidur.

Souji tidak ambil pusing soal mereka dan melanjutkan kembali aktivitas membaca bukunya yang sempat tertunda tadi. Tapi sepertinya Souji memang tidak boleh membaca buku malam ini, karena getaran dari handphonenya membuatnya harus kembali menghentikan aktivitasnya. Di layar handphonenya yang berkedip-kedip, ia dapat membaca sebuah nama, Kujikawa Rise.

From: Kujikawa Rise

Subject: None

Konbanwa senpai! Apa Rise menganggu senpai?

.

To: Kujikawa Rise

Subject: None

Tidak. Ada apa?

.

From: Kujikawa Rise

Subject: None

Rise hanya ingin menyampaikan pesan dari Naoto-kun, katanya Naoto-kun ingin bertemu dengan senpai di Samegawa Flood Plain

.

To: Kujikawa Rise

Subject: None

Hm? Kenapa Naoto tidak mengatakannya langsung padaku?

.

From: Kujikawa Rise

Subject: None

Soalnya pulsanya Naoto-kun habis gara2 smsan sama Rise. Hehehe :9

.

To: Kujikawa Rise

Subject: None

Oh begitu. Baiklah, aku akan datang sebentar lagi

.

Naoto berjalan di Samegawa Flood Plain. Ia bisa datang lebih cepat dari senpainya karena rumahnya terletak lebih dekat ke Samegawa Flood Plain ketimbang rumah senpainya itu. Lagi pula pesan yang sampai ke handphone Naoto lebih cepat dua puluh menit daripada pesan yang sampai ke handphone Souji. Jadi wajarlah kalau wanita muda berperawakan mungil itu sampai lebih cepat.

"Uuh Souji-senpai dimana ya?" bisik Naoto pada dirinya sendiri saat sudah sampai di Samegawa Flood Plain. Kedua tangannya yang tak terbalut sarung tangan saling beradu. Ia menyesal pergi keluar dengan terburu-buru tanpa mengenakan topi ataupun sarung tangan. Ia tidak menyangka ternyata suhu di Inaba malam ini begitu rendah.

"Naoto-kun!"

Naoto menoleh ke arah sumber suara. Dilihatnya sahabatnya sedang berlari-lari kecil ke arahnya.

"Hai Rise! Sedang apa di sini?" tanya Naoto ramah

"Hehe... Tidak sedang apa-apa. Apa Souji-senpai belum datang?" Rise balik bertanya

"Yah, seperti yang kaulihat sendiri, belum." jawab Naoto

"Hmm begitu yaa..." gumam Rise.

Naoto baru memerhatikan, wanita muda itu membawa sebuah ransel cokelat yang usang di punggungnya. Meskipun ukurannya tidak terlalu besar, Naoto cukup dibuat penasaran dengan apa yang ia lihat.

"Hei, Rise, apa yang kau bawa?" tanya Naoto sambil menunjuk ransel di punggung Rise

"Eh? Ini? Hahaha bukan apa-apa kok!" jawab wanita muda berkucir dua itu

"Ooh..." Naoto bergumam pelan. Wanita pemilik julukan Detective Prince itu membalikkan badannya dari sang sahabat untuk melihat ke arah tempat seharusnya sang senpai datang sambil berharap semoga ia melihat pemuda berambut silver yang ditunggunya datang.

Tanpa disangka-sangka, sebuah benda keras menghantam tengkuk sang detektif muda, membuatnya jatuh pingsan tanpa sempat berkata apa-apa. Sang pelaku, Rise, tersenyum penuh kemenangan. Di tangannya terdapat sebuah batu berukuran besar yang kelihatan cukup berat. Setelah menyimpan kembali batu itu di tanah, ia menghela nafas lega. Ia sudah berhasil menjalankan tahap kedua dalam rencananya, hanya tinggal menggendong Naoto ke sebuah tempat yang sudah ia siapkan dan selesai! 'Sedikit lagi...'

Tanpa basa-basi lagi, mantan artis itu langsung menggendong sahabatnya—atau mantan sahabatnya—ke sebuah gudang tua yang ada di dekat Samegawa Flood Plain. Dengan perlahan, ia membuka pintu gudang yang semula ditahan oleh palang kayu. Kemudian dengan gerakan sehalus kucing, ia menyelinap masuk ke sana—masih sambil menggendong tubuh Naoto yang tak sadarkan diri.

Rise menyandarkan tubuh Naoto pada sebuah kursi kayu yang berada di sudut gudang itu. Lalu ia menjatuhkan ransel di punggungnya ke tanah dan mengeluarkan seluruh isinya. Pandangan wanita muda itu jatuh pada sebuah tali tambang yang tergulung rapi. Dengan seringai menghiasi setiap inci bibirnya, Rise mengikatkan tubuh Naoto ke kursi yang didudukinya menggunakan tali itu setelah mengikat kedua tangan Naoto di belakang sandaran kursi. Puas, Rise tersenyum lagi. Kali ini ia mengeluarkan sebilah pisau dan tak lama kemudian pisau itu sudah berpindah tempat ke saku mantelnya.

Wanita beriris merah muda itu mundur beberapa langkah dari tempatnya setelah menyelesaikan pekerjaannya. Ia menatap sang mantan sahabat yang diikat di kursi dalam keadaan tak sadarkan diri. Meskipun ada sedikit kilatan penyesalan di matanya, ia tidak akan mundur. Wanita muda berkucir dua itu akan terus maju menjalankan rencananya sampai akhir. Ya, sampai akhir. Lagi pula, toh 'akhir'nya itu hanya tinggal sebentar lagi. Tinggal satu langkah lagi.

.

From: Naoto Shirogane

Subject: None

Senpai tahu gudang tua yang ada di dekat Samegawa Flood Plain kan? Datang ke sana ya!

.

To: Naoto Shirogane

Subject: None

Ha? Bukannya kau memintaku datang ke Samegawa Flood Plain?

.

From: Naoto Shirogane

Subject: None

Terlalu dingin di luar, lebih baik bertemu di dalam ruangan

.

To: Naoto Shirogane

Subject: None

Hmm baiklah. Tunggu ya.

Love you!

.

From: Naoto Shirogane

Subject: None

Kutunggu.

Love you too!

.

Rise menatap layar handphone bercasing hitam yang ada di tangannya dengan puas. Sekarang hanya tinggal menunggu sang pemain utama di panggung yang telah ia siapkan.

Tapi menunggu bukanlah hal yang disukai wanita muda cucu pemilik Toko Marukyu Tofu itu. Ia bingung, memikirkan hal yang akan ia lakukan sambil menunggu sang pemain utama. Tidak mungkin ia duduk diam di sini bersama sang mantan sahabat yang begitu dibencinya. Ia tidak mau. Lantas apa yang harus ia lakukan?

Wanita muda itu melirik sosok sahabatnya yang terikat di kursi. Terlintas sebuah ide di otaknya. Dan ia menyukai ide itu.

Dengan perlahan, ia berjalan ke arah sang detektif muda yang masih tak sadarkan diri sambil merogoh saku mantelnya. Setelah itu ia mengeluarkan benda yang sempat bersarang sebentar di sakunya, menyeringai. Ia mempercepat langkahnya, tak sabar untuk langsung melakukan aktifitas membunuh waktunya.

Sejenak ia menatap wajah sahabatnya yang tertunduk, kemudian menatap mata pisau yang berkilat di tangannya. Untuk sesaat—HANYA untuk sesaat ia ragu. Tapi dengan cepat ia menggeleng-gelengkan kepalanya untuk mengusir keraguan dan kebimbangannya jauh-jauh. Lagi pula ia sudah berjalan sejauh ini, mana mungkin ia bisa dengan seenaknya berjalan kembali ke titik awal dan melupakan apa yang sudah terjadi malam ini. Ia tidak bisa—tidak akan bisa tepatnya. Mau bagaimanapun ia harus mengakhiri pertunjukan yang sudah ia persiapkan sebaik mungkin, ia mulai, dan ia jalani sampai setengahnya.

Apapun yang terjadi di babak akhir pertunjukannya merupakan hal yang harus ia tanggung. Suka atau tidak suka. Itulah yang harus ia jalani.

Tatapan kedua matanya mulai mengeras kembali, menatap sosok duduk diam di hadapannya tanpa belas kasihan.

PLAK

Sebuah tamparan keras mendarat kasar di pipi putih sang detektif muda. Membuat kepalanya yang memang semula terkulai tersentak keras dan menerbangkan topi yang sudah menjadi trademarknya jatuh dari kepalanya.

"Bangun, Naoto!"

"Ngh..." gumaman tak jelas yang didapatkan Rise sebagai jawaban, dan wanita muda itu tidak puas dengan jawaban seperti itu.

PLAK

Sekali lagi tamparan itu mendarat di pipi Naoto, mengembalikan kesadaran wanita muda berambut biru itu sepenuhnya. Terlihat wanita tomboy itu mencoba melepaskan diri dari tali yang mengikatnya di kursi. Tapi percuma, tindakannya itu sia-sia. Ikatan tali itu sangat kuat dan malah membuat kulitnya yang bersentuhan langsung dengan tali menjadi lecet.

"Sudah bangun, Naoto?" tanya Rise dengan suara termanisnya

"R-rise? Apa-apaan ini? Lepaskan aku!" seru Naoto yang kini menengadahkan kepalanya untuk menatap sang lawan bicara, rasa cemas dan takut benar-benar kentara dalam suara maupun kedua iris sapphirenya.

"Apa-apaan?" kedua iris merah muda Rise berkilat, "Coba saja kau pikir sendiri!"

"Aa—" ucapan Naoto terpotong oleh kata-kata Rise

"Kau bilang lepaskan?" Rise tersenyum mengejek, "Tidak, jangan terlalu berharap, Naoto-kun!"

Kedua sapphire Naoto membulat begitu Rise menunjukkan benda yang sedari tadi ia sembunyikan di balik punggungnya, sebilah pisau yang berkilat terkena cahaya lilin. Ekspresi itulah yang ditunggu-tunggu oleh mantan artis itu, ekspresi takut dan terkejut yang membuat Rise tersenyum lebar. Sedangkan Naoto, ia merinding melihat senyum sahabatnya itu.

Rise mengangkat pisaunya tinggi-tinggi, membiarkan kilatan cahaya yang terpantul dari mata pisaunya mengenai sang mantan sahabat, menimbulkan kesan horor. Naoto memejamkan kedua matanya, tak sanggup melihat wajah tersenyum sang sahabat yang sedang mengangkat pisaunya tinggi-tinggi.

Ia takut. Sangat takut.

Takut pada kematian yang begitu dekat. Takut tak bisa kembali hidup-hidup ke rumahnya. Takut tak bisa bertemu lagi dengan kakeknya. Takut tak bisa berjumpa lagi dengan teman-teman dan para senpainya.

Dan takut tak bisa bersama dengan Souji-senpainya.

Tapi, rasa sakit itu tak pernah datang.

Naoto membuka kedua matanya dan mendapati bilah pisau yang semula berada di atasnya dengan posisi siap menghujam sudah tak ada lagi. Ia melihat sang sahabat, masih dengan senyum lebar mereka di bibirnya. "Kenapa kau memejamkan matamu, Naoto-kun?" tanya sang mantan artis

"A-aku—"

"Apa kau takut?" potong sang mantan artis itu, mengarahkan mata pisaunya tepat ke depan hidung sang detektif tomboy. Ia sama sekali tak memberikan sang Detective Prince untuk menjawab pertanyaannya yang pertama. "Tenang saja, ini hanya akan sakit sebentar kok!" tambah pemilik iris merah muda itu masih dengan senyum

"Mulai ya?"

.

*TSUZUKU…*


Horee chapter 2 selesai jugaaa! Gomen kalau updatenya super duper luaaamaaaa… Soalnya akhir-akhir ini sibuk bangeet… Setiap hari latihan UN di sekolah, belum lagi tugas yang numpuk setinggi gunung, plus kesibukan-kesibukan lain kaya nyapu jalan(?), nyuci got(?), sama ngelap genteng tetangga(?). Yah intinya akhir-akhir ini aku sibuk setengah muaatiii! Jadi gomen banget kalo chapter depan mungkin bakal "agak" lama diupdate… Gomeeeeen…

Hahaha tapi fic ini ngaco berat! Asalnya cuma mau bikin oneshot. Dan karena gagal, jadinya twoshot aja, tapi ternyata setelah dipikir-pikir dan minta saran sama I069A, akhirnya jadilah fic ini multichap! Hahahaha… Eh padahal harusnya di chapter ini tuh udah mulai ada adegan yang bloody gitu lah, tapi gajadi! Disimpen buat chapter depan aja deh! Hehehe…

Oh iya, gomen ya kalau karakter P4 jadi pada OOC gini.

Buat DEAL FALLEN: Gimana? Terserah deh pendapatnya gimana, yang pasti jangan lupa review ya! :D

Buat 019906: Tengkyu buat masukannyaaa… Masukan jalan cerita dari kamu bakal aku pake deh ma! Hahaha biar rame! Tengkyu ya maaaa :*

Yosh, boleh minta review?