Cerita di bawah adalah original karangan 'Aesha'
Disclaimer : Card Captor Sakura asli milik CLAMP. Kalo punyaku sudah pasti bagian SXS-nya bakal kubanyakin XD
A/N: Greetings, disini aku lagi-lagi menerjemahkan salah satu cerita. Kali ini karangan Aesha.
Have a nice read :)
Aturan Satu:
Tukang ledeng profesional memasang iklan di koran atau TV,
BUKAN di pintu toilet wanita.
oOo
"Kamu udah nyampe? Sopir taksinya nyetirnya hati-hati? Lingkungannya bersih gak?"
"Ya, ya, dan iya!" gadis berambut cokelat kemerahan berteriak kesal ke telepon yang digenggamnya. "Onii-chan, aku bakal tinggal sendiri. Berhenti memperlakukanku seperti gadis kecil yang tak berdaya!"
"Aku gak memperlakukanmu seperti gadis kecil yang tidak berdaya," jawab suara ketus dari telepon. "Aku cuma memperlakukanmu seperti gadis kecil yang naif."
Gadis itu mendengus, tidak menghargai maksud komentar itu sama sekali. Ia sama sekali tidak naif. Ia tidak naif!
"Aku gak naif!" ia berteriak ke telepon. "Umurku 21 tahun, dan, terserah kamu terima atau gak, aku sekarang sudah dewasa."
"Siapa peduli. Pokoknya telepon aku kalau kamu udah nyampe."
"Cuma untuk itu—" ia menjulurkan lidahnya ke telepon; berpura-pura itu adalah wajah kakak laki-lakinya, "—Aku gak bakal meneleponmu."
Berani juga memanggilnya kekanakan.
"Pak, apa aku terlihat naif atau kekanakan?" ia berpaling, bertanya pada sopir taksi.
Pria itu melepaskan pandangannya dari jalan di depannya sekejap untuk memberi kliennya pandangan yang aneh. "Maaf, Non?"
Gadis itu mendesah pelan dan berkata, "Tidak apa-apa."
Di usia 21 tahun ini, aku adalah orang paling malang di permukaan planet ini. Ibuku meninggal dunia ketika umurku 3 tahun, sehingga aku tumbuh dewasa hanya dengan seorang ayah dan kakak laki-laki. Ayahku mencoba untuk menghabiskan waktu sebanyak yang ia bisa ketika kami masih anak-anak, tapi pekerjaan menyita banyak waktunya. Kakakku dan aku tinggal dengan bibi kami selama ayah bekerja. Touya menjadi si aneh yang overprotektif dan suka mengatur ketika aku sudah cukup umur untuk mengerti apa yang membuat laki-laki berbeda dari perempuan.
Aku tidak pernah punya pacar (dan aku bertanya-tanya salah siapa itu). Aku tidak tahu bagaimana rasanya ciuman pertama, atau segala macam ciuman lainnya. Aku tidak tahu apapun tentang berkencan, karena aku tidak pernah berkencan. Aku sering melihat teman-teman perempuanku jatuh bangun demi mengejar laki-laki dan, terus terang, aku tidak mau berakhir dengan mengeringkan air mata dan menghabiskan satu kotak tisu penuh.
Aku belum pernah memikirkan masa depanku. Rencana hidupku dulu: lulus sekolah, masuk universitas, mendapat pekerjaan yang layak setelah lulus, berkeluarga, dan kemudian menikmati pensiun ketika sudah tua. Entah bagaimana, aku berakhir dengan lulus setelah tiga tahun kuliah dan kembali ke rumah untuk hidup diurus keluargaku lagi.
Tapi hal itu akan segera berubah. Mulai hari ini, aku—Kinomoto Sakura—akan membuat hidupku menjadi lebih berarti.
Kenapa tiba-tiba aku menjadi termotivasi?
Well, pernah dengar, 'kau tidak akan tahu apa yang kurang dari hidupmu sampai kau sadar bahwa kau hanya punya sedikit waktu tersisa dari hidupmu'? Tidak, bukannya aku tahu aku punya kanker atau semacamnya. Aku mengetahui sesuatu yang lebih buruk—lebih parah; jauh lebih buruk dari mati tragis.
"Inilah saatnya."
Sakura tersentak dari pikirannya dan dengan cepat melihat keluar jendela. Ia membuka pintu taksi dan berdiri di depannya, menatap gedung yang berdiri di hadapannya, menarik napas dalam-dalam.
"Well, Sakura..." ia berbisik pada dirinya sendiri. "Ini dia! Inilah rumah barumu."
Ia melihat gedung itu sekilas, dan kemudian memutar badannya ke arah sopir dengan pandangan memohon di matanya, berharap ada semacam kesalahan. "Bapak yakin ini tempatnya?" ia bertanya.
Pria paruh baya itu mulai mengeluarkan koper-koper bawaan Sakura dari bagasi. "Tidak seperti yang Nona harapkan, ya?"
Sakura tersenyum gugup dan memandang gedung itu lagi.
"Segitunya untuk sebuah apartemen," ia mengerang. "Ini harga yang kubayar untuk keluar dari rumah tanpa mengeluarkan sepeser pun dari tabungan."
Ada toko roti di sebelah kanan gedung yang akan ditinggalinya dan apotek di sebelah kirinya. Gedung apartemen itu terlihat agak tua. Bukan jenis yang ia anggap 'mewah', tapi gedung ini mengalahkan tempat-tempat lusuh yang diketahuinya pernah ditinggali manusia. Lingkungan sekitarnya hampir oke. Ia harus mengatakan bahwa ini akan menjadi petualangan yang mengasyikkan—tidak diragukan lagi.
Ia menarik napas dalam-dalam dan mengambil kopernya. "Well, aku rasa inilah saatnya! Lebih baik ambil positifnya saja, kan? Hidup tidak akan berubah menjadi lebih baik jika aku hanya berdiri di sini dan mengeluh."
Sopir taksi yang mengantarnya tertawa. "Semoga beruntung, nak."
Sakura mengerutkan keningnya
Kenapa orang-orang tidak pernah mengerti?
Ia bukan anak kecil.
Ia jadi lebih bertekad agar dapat melalui ujian yang Tuhan berikan padanya. Tidak ada yang akan membuatnya kembali ke rumah dan mengaku kalah. Apartemen mewah atau tidak, ia tetap bertekad untuk memulai hidup demi dirinya sendiri—dengan dirinya sendiri—menggunakan kedua tangannya sendiri.
"Kamu tahu apa yang pernah dikatakan orang pertama yang menginjakkan kakinya di bulan," gadis itu berkata. "Gak ada uang di bulan, tapi gak ada uang di sakuku juga."
"Siapa yang pernah mengatakan hal itu?"
Sakura terkejut ketika tiba-tiba terdengar suara entah darimana. Ketika ia berbalik, sepasang mata bagaikan batu amber—cokelat kekuningan yang berkilau—menatapnya dengan tatapan yang makin memikatnya tiap detik berlalu. Mata pria itu seperti pusaran misteri—membingungkan dan memikat, keduanya dalam waktu bersamaan. Dalam beberapa detik itu, Sakura seolah-olah berada dalam labirin tanpa ujung, tak kunjung menemukan jalan keluarnya.
Perasaan itu sangat asing dan baru baginya, bagaikan tersihir. Mungkin, karena ini pertama kalinya ia melihat seseorang yang begitu tampan.
"Hebat." Pria itu mengerang jengkel. "Apa kamu bakal menatapku seharian, atau kamu akan bergeser?"
Sakura akhirnya memperoleh kesadarannya kembali. "H-Hoe?"
"Kamu menghalangi jalan," pria di hadapannya berkata, kesal, dan menunjuk ke jalan masuk yang memang ia halangi.
Sakura tersipu malu. "M-maaf."
Ia bergeser sedikit agar pria itu bisa lewat. Laki-laki itu menggerutu sesaat sebelum berjalan masuk, menggumamkan sesuatu tentang bagaimana ia tidak mengerti jalan pikiran wanita.
Bagus, Sakura! Cara yang brilian untuk membodohi dirimu sendiri.
"Ini bukan hari baikku." Sakura menjatuhkan barang-barangnya dan melihat sekitar untuk mencari taksi.
Ia tidak sanggup pindah ke apartemen hari ini. Mungkin ia bisa tinggal di tempat Tomoyo untuk sementara. Tomoyo dan pacarnya mungkin tidak keberatan jika ia masuk tanpa diundang. Mereka bisa berhenti berhubungan seks selama beberapa hari, itu tidak akan membunuh mereka. Sementara itu, Sakura mungkin akan mati mendadak, tidak diragukan lagi, jika ia pindah ke apartemen hari ini.
"Ngomong-ngomong—" ia melompat ketika suara lelaki itu tiba-tiba terdengar entah darimana lagi. Yah, suaranya terdengar dari belakangnya... tapi siapa peduli. "Manusia pertama di bulan mengatakan, 'Ini hanyalah langkah kecil bagi seseorang, tapi sebuah langkah besar bagi umat manusia'. Sebaiknya kamu jangan sembarang mengutip kata-kata orang kalau gak bisa ngutip dengan benar."
Dan dengan itu, lelaki itu hilang masuk ke dalam gedung. Sakura menatap pintu masuk; tercengang. Kemudian ia tertawa geli.
"Menarik..." Sakura mengambil koper-kopernya dan melangkah menuju pintu masuk.
Sakura menginjakkan kakinya di dalam gedung dan mengamati singkat lobi utamanya; gak terlalu jelek kok. Ia menemukan tempat ini dari iklan yang ia baca di koran; yang segera ia hubungi, karena tempat ini cukup murah. Ia tidak mengira akan ditelepon balik oleh sang tuan tanah lima menit setelahnya, memberi tahu bahwa ia mendapat apartemennya. Orang itu bahkan tidak menanyakan namanya atau apapun. Si tuan tanah hanya mengatakan, 'Kamu dapat apartemennya. Terserah mau pindah kapan,' dan menutup teleponnya. Ha! Tuan tanah macam apa itu.
"Halooo?" ia memanggil. Keadaan di lobi memang terlihat hampir kosong.
Benar ada orang yang tinggal di sini gak sih?
"Sebentar!" Seseorang akhirnya menjawab dua puluh detik kemudian.
Sakura mendesah dan berjalan-jalan mengelilingi ruangan kecil itu, melihat benda-benda yang ada, takjub dengan sarang laba-laba yang ada di tiap ujung ruangan itu. Ya ampun. Neraka sebelah mana sih ini?
"Ada yang bisa saya bantu?"
Ia menatap orang yang berdiri di depannya, mulutnya menganga lebar, sambil berusaha menyusun kalimat yang benar. Tapi yang keluar malah, "Aku... err... begini... hubba hubba."
"Maaf?" Pria itu melengkungkan alisnya sedikit; jelas, 'hubba hubba' tidak ada di dalam kamusnya.
Ya Tuhan, coba Tomoyo melihat cowok ini—cowok super ganteng indah dipandang ini.
Dalam hati, Sakura menampar wajahnya. Ia terlalu banyak menghabiskan waktunya dengan para perempuan.
Ia bukannya tidak bisa menahan diri. Ia tidak bisa disalahkan karena perilakunya sekarang, karena pria itu berdiri di depannya dengan handuk kecil terpasang di pinggangnya. Belum lagi bagaimana seksinya pria itu dengan tetesan air jatuh dari rambutnya dan mengalir di sepanjang badannya yang kokoh... badannya yang agak kecoklatan.
Sudah pasti ia terlalu banyak menonton film romantis dengan adegan shower.
"Yue, pakai baju sialanmu." Pikirannya seketika keluar dari dunia mimpi ketika ada orang ketiga berbicara, merasa terganggu. Ternyata laki-laki yang tadi. "Cuma karena kamu punya gedung ini, bukan berarti kamu bebas bikin bisu tiap orang."
Cowok-berambut-perak itu—itu warna rambut asli gak sih?—menggeram dan menggumam pelan sebelum pergi menghilang ke ruangan sebelah kiri.
"Kalau kamu mau menuntutnya atas trauma mental di masa depan, formulirnya ada di atas meja," lelaki dengan mata cokelat kekuningan berkata.
"Tunggu dia tuan tanahnya?" tanya Sakura.
"Terakhir kali aku cek sih iya," jawabnya sebelum berjalan pergi.
Ada apa sih dengan laki-laki dan berjalan pergi? Memangnya mereka bakal terbunuh kalau mengatakan salam sebelum pergi? Apa yang terjadi dengan 'have a nice day' atau 'halo tetangga'? Bahkan sebuah 'kebenaran pasti menang, kedamaian akan datang' pun boleh.
Akhirnya si Yue kembali setelah beberapa menit kemudian. Kali ini, ia mengenakan pakaian. Pakaian normal.
"Sorry. Tadi aku lagi mandi pas kamu datang," ia memulai percakapan. "Kamu pasti gadis yang aku telepon sebelumnya."
"Yeah."
Ia berjalan menuju meja lobi dan mengambil sebuah kunci dari salah satu laci. "Ini kuncimu. Aku akan menunjukkan apartemenmu dan menjelaskan beberapa hal." Ia melemparkan kunci ke Sakura dan menunjukkan jalan yang mengarah ke tangga darurat. "Namaku Yue."
"Yue-san, kenapa kita pakai tangga?" tanya Sakura.
"Lift-nya rusak seminggu ini."
"Apa Anda sudah menghubungi bagian pemeliharaan?"
Lelaki itu hanya mengangkat bahunya. "Dia bilang dia terlalu malas untuk memperbaikinya."
Terlalu malas.
Orang pemeliharaan macam mana yang terlalu malas untuk bekerja?
"Dan aku terlalu malas untuk menendang bokongnya."
Jangan bilang aku harus lewat tangga ini tiap hari sampai orang-orang ini menggerakkan bokong malas mereka...
"Ngomong-ngomong, aku tinggal di lantai berapa?" tanya Sakura.
"Lantai sembilan. Total ada dua belas lantai dengan empat apartemen tiap lantai."
Yang benar saja!
"Apa para lansia gak capek naik turun tangga tiap hari?"
"Ada sekitar empat puluhan penyewa di gedung ini, berkisar dari umur 18 sampai 30. Semuanya perempuan, kecuali satu."
Sakura heran.
"Jadi kamu dan pria tadi satu-satunya laki-laki di sini?"
"Begitulah."
Ya ampun. Aku jadi punya firasat buruk tentang tempat ini...
Tinggal di dalam gedung dengan empat puluhan wanita lain dan meneteskan air liur terhadap laki-laki yang sama—bakal jadi neraka nih gedung.
Setelah menapaki tangga demi tangga, Sakura hampir tidak bisa merasakan punya kaki lagi. Kakinya sakit dan kaku, merasa tidak bisa maju satu langkah pun. Sakura hampir tidak bisa bernapas karena perjalanan panjang tadi. Ia tahu harusnya ia tidak berhenti latihan lari rutin di gym.
"Kamu gak apa-apa?" Ia tahu pria itu berusaha menahan tawanya.
"Yeah," ia berkata di antara napasnya. "Berapa lantai lagi?"
"Kita sudah di lantai sembilan." Sakura tidak bisa lebih gembira lagi mendengarnya. "Apartemenmu ada di ujung lorong." Yue terus menunjukkan jalan. "Kamar 203 di sebelah kamar 4."
"Tunggu—kenapa 203 di sebelah 4?"
"Aku cuma pemilik gedung ini. Apa kamu mengharapkan aku untuk tahu semua yang ada di sini?" ia mulai berteriak. "Mungkin 4 cuma ingin berada di sebelah 203. Apa semuanya harus masuk akal bagi manusia? Memangnya kamu tidak puas dengan apa yang kamu tahu? Selalu logika. Kenapa begini, kenapa begitu ada apa dengan orang-orang di masyarakat zaman sekarang?"
"Oke, ya ampun! Aku cuma penasaran."
Kututup kasus ini dengan satu kesimpulan.
Dia ganteng, tapi kasus kacangan apaan nih.
"Aku hanya menyediakan tempat untuk tinggal. Kalau kamu ingin memperbaiki sesuatu, atau kalau kamu butuh membeli apapun, maka itu urusanmu," ia melanjutkan. "Sewa per bulannya sudah termasuk listrik dan air. Aku menagih sewa di hari terakhir tiap bulan—kamu yang datang ke tempatku, aku gak bakal ngejar-ngejar kamu. Kalau aku tidak menerima cek atau uang tunai di mejaku pada hari H, aku bakal menendang bokongmu keluar dari tempat ini. Ngerti?"
Sakura mengangguk.
"Butuh bantuan dengan kopermu?" Yue melihat koper yang dipegang Sakura.
Sakura mendengus dalam hati.
Baik sekali. Membiarkan aku menyeret koper-koper ini selama perjalanan sembilan lantai dan sekarang bertanya apa aku butuh bantuan.
"Aku bisa membawanya enam langkah lagi kok," gerutunya sambil menjatuhkan satu koper ke lantai, dan memasukkan kunci ke lubangnya dengan tangannya yang bebas.
Sakura mendorong pintu hingga terbuka dan masuk ke dalam. Ia meletakkan kopernya dan mengamati apartemennya. Sakura tidak bisa menahan ekspresi jijik di wajahnya. Tidak heran harganya semahal batu. Langit-langitnya hampir roboh, cat mengelupas dimana-mana, tungau dan hanya Tuhan yang tahu makhluk macam apa lagi yang tinggal di tempat ini, dan perabotannya tampaknya dari era Mesozoik. Belum lagi bau busuk, bau jamur yang tercium.
"Tempat yang lumayan bagus, kan?" Sakura tidak tahu apakah pria itu berusaha melucu atau bersikap sarkastis, karena laki-laki itu tidak mungkin serius.
Sakura berjalan menuju wastafel dan menyusurinya dengan jari telunjuk, takjub melihat banyaknya lapisan debu yang ia kumpulkan dalam sedetik. Gadis itu terkejut ketika ia mencoba berjalan, tapi sepatunya menempel pada sesuatu-yang-sepertinya-permen-karet di lantai.
Yang benar saja!
"Tidak ada lagi yang tinggal di lantai ini, jadi kalau kamu butuh bantuan minta saja laki-laki di apartemen 205," kata Yue.
Sakura hampir tersedak ludahnya sendiri. "Tunggu—laki-laki?"
"Lelaki yang tadi." Yue berusaha menyembunyikan kekesalan di suaranya.
"Dia tinggal di lantai ini?" Sakura bertanya lagi.
"Kalau kamu berusaha memperkosanya dan terluka dalam prosesnya, aku tidak bertanggung jawab atas tuduhan dari keluargamu."
Sakura memutar matanya. "Ngapain pula aku memperkosa dia? Asal kamu tahu, dia bisa saja memperkosa aku."
Cowok-berambut-perak itu tertawa histeris. Sambil menyeka air mata yang keluar, ia pergi setelah menggumamkan 'loe kali yang kepingin' ke arahnya.
Apa maksudnya dengan 'loe kali yang kepingin'?
zZz
"Si pemilik gedung bilang apa!" gadis-itu-sahabat-Sakura-yang-sedang-diteleponnya memekik keras sebelum tertawa terbahak-bahak.
"Ya kan, beraninya dia!" Sakura berteriak balik, murka dengan komentar lalu. "Percaya gak dia benar-benar bilang seperti itu kepada kliennya?"
Gadis yang satunya berhenti bicara sekejap. "Hm... apa dia ganteng?"
"Yang mana?"
"Jadi dua-duanya ganteng?"
"Kamu pikir gimana tampang dua orang lelaki yang menarik banyak wanita ke dalam gedung itu?"
Temannya tertawa. "Kelihatannya bakal menarik, ya gak?"
Sakura memutar matanya. "Lupakan yang barusan. Apa kata Eriol tentang aku mendapat pekerjaan sebagai sekretarisnya?"
"Gak akan berhasil."
"Kenapa enggak?"
"Dia bilang kalau aku seharusnya gak ngirim kamu sebagai mata-mata."
Sakura mengerang. "Tapi aku butuh pekerjaan!"
"Dia bilang dia bakal bantu nyari kok." Sakura sedikit lega. "Jadi, kamu beneran tunangan?"
"Kenapa kamu harus ngingetin aku?"
Serahkan pada Tomoyo untuk mengingatkan subjek yang ingin ia lupakan sepanjang bulan ini.
Sudah cukup buruk tidak ada pesta ulang tahun ke-21nya, tapi ayahnya hanya memutuskan untuk memberitahu kabar mengejutkan itu pada hari ulang tahunnya. Lebih buruk mana dibanding mengetahui ia tidak akan dapat mobil setelah bertahun-tahun memohon? Tentu saja menemukan kabar bahwa ia sudah bertunangan sejak lahir dengan laki-laki tidak dikenal, yang ngomong-ngomong belum pernah ia temui atau dengar kabarnya.
Nah, itu baru lebih parah dari mati tragis.
"Kamu tahu sesuatu tentang calon suami rahasiamu?
Sakura mendesah di telepon. "Aku tahu ayahku dan ayahnya berteman baik, dan kami sudah bertunangan sejak lahir. Aku juga tahu sepanjang hidupnya ia tinggal di Amerika. Lulus dari Ivy League School. Harusnya kami bertemu ketika aku berumur 18 tahun, tapi pihak sana minta agar aku menunggu sampai ia membuktikan dirinya punya karir yang stabil."
"Jadi gak ada deskripsi secara fisik?"
"Nakuru bilang dia berambut hitam dan kelihatan seperti kutu buku." Sakura mengernyitkan hidungnya sambil mengulangi kata-kata Nakuru.
Tomoyo mulai tertawa. "Apa kataku, Sakura. Harusnya kamu berkencan ketika kamu dapat kesempatan. Sekarang kamu terjebak dengan Si Mister Kutu Buku."
"Udah jangan dibahas lagi, Tomoyo." Ia merajuk, menyadari penyesalannya, juga.
Apa ini yang orang-orang maksud dengan 'jalani hidup sebaik-baiknya sehingga tidak meninggalkan penyesalan'?
"Meskipun, aku pernah dengar Touya dan Nakuru membicarakan tentang cowok bernama Koji ketika aku lewat kamar tidur mereka," kata Sakura. "Jadi aku menyimpulkan namanya Koji."
"Koji...?"
Sakura menghela napas. "Aku akan menikahi cowok Amerika ingusan."
"Cowok Amerika ingusan?"
"Kamu udah lihat cowok-cowok tempatmu bekerja!" Sakura berseru. "Ingusan kataku."
"Sakura!" Tomoyo berhasil tersedak sebelum tertawa. "Mereka orang Perancis, sayang!"
Sakura memutar matanya. "Terus?"
"Hei, sudah dulu ya. Eriol sudah pulang." Sakura mendesah. Siapa yang bilang ikatan persahabatan perempuan lebih kuat dari apapun? Agaknya tidak sekuat godaan melakukan seks.
"Oke. Oke," ia menggerutu kesal. "Sana bercinta gila-gilaan dengan cowokmu."
"Sakura!" gadis satunya tertawa keras. "Eriol dan aku tidak bercinta gila-gilaan!"
"Masa enggak sih, say?"
Sakura mendengar suara rendah seseorang, diikuti pekikan temannya, dan yang ia dengar selanjutnya adalah... well, tidak ada.
Ia menutup teleponnya dan melemparnya ke sofa.
Sakura bertanya-tanya bagaimana jadinya jika Tomoyo tidak pernah bertemu Eriol. Jangan salah sangka—ia ikut bahagia dengan Tomoyo. Tapi di saat bersamaan, ia merasa ditinggalkan.
Beberapa tahun yang lalu kehidupan Daidouji Tomoyo berputar-putar di sekitar Sakura. Kedua gadis itu menghabiskan waktu dan melakukan segalanya bersama. Tapi sejak Mr. Hiiragizawa Eriol muncul, Tomoyo jadi begitu tenggelam dalam percintaannya sehingga waktu yang mereka habiskan bersama berkurang. Tentu, mereka saling menelepon tiap hari sekitar lima sampai enam jam, tapi itu belum cukup bagi Sakura. Sakura butuh sahabatnya dua-puluh-empat-jam-tiap-hari, bukan tiap jam dimana ia sedang tidak berhubungan seks dengan pacarnya.
Ia merindukan sepupu dan sahabat terbaiknya.
Tapi di satu sisi, Sakura iri dengan temannya.
Ia ingin tahu bagaimana rasanya berada dalam suatu hubungan, menjadi wanita sejati. Tidak hanya tumbuh menjadi seorang wanita berdasar umur, tapi menjadi wanita sejati—melalui berbagai proses dan yah, kamu tahulah maksudnya. Tapi ia juga tidak ingin berhubungan dengan sembarang orang.
Ia ingin melakukannya dengan seseorang yang spesial—pria impiannya, belahan jiwanya, pangerannya, ksatrianya, dll...
Oi, Sakura, berhenti bermimpi dan keluarkan awan-awan itu dari kepalamu.
Sakura menghela napas keras.
zZz
Sakura mematikan jam bekernya dan melemparnya ke dinding.
"Aku benci tempat ini!" teriaknya frustasi.
Ia tidak bisa tidur sekejap mata pun. Ia pikir ia bisa tidur dengan nyenyak di malam pertama pindahannya, tapi ia salah besar.
Tiap kali ia menutup mata, ia mendengar suara tetesan air dari seluruh penjuru kamarnya? Hanya Tuhan tahu bagaimana, tapi ia bisa mendengarnya. Setiap tetesnya.
Ia menaksir kebocorannya tiap tetes per detik sehingga ada 60 tetes air yang sia-sia dalam satu menit, dihitung lagi sekitar 3600 tetes per ja— ia kehilangan 21.600 tetes air dalam semalam!
"Tunggu..." ia segera duduk. "Aku kan gak bayar tagihan air!"
Ia berseru riang dan jatuh kembali ke tempat tidurnya yang nyaman, menarik selimut hingga menutupi kepala dan terlelap, mengabaikan masalah air. Biarkan tuan tanah yang ganteng dan sinting itu cemas akan masalah air.
"Tapi gimana kalau persediaan air dunia habis gara-gara aku?" Sakura bertanya pada dirinya sendiri.
Kelihatan mustahil, tapi itu mungkin terjadi—dunia kehabisan air karena satu kebocoran. Itu suatu kemungkinan, tidak peduli seberapa kecil kemungkinannya (mungkin satu banding satu mega-baziliun-triliun-juta).
Sakura menarik dirinya keluar dari tempat tidur. Mengambil pakaian dari lemarinya, ia mandi pagi berharap hal itu menjadi awal baik dari harinya, walaupun ia tahu dengan baik daripada menduga ada sesuatu yang baik akan terjadi ketika tinggal di gedung apartemen bobrok ini. Belum lagi ia harus keluar dan mencari pekerjaan karena seseorang menolak memberinya pekerjaan sebagai sekretaris.
Sial. Ia benci Eriol.
Setelah ia selesai mandi, Sakura turun ke bawah menuju lobi utama untuk meminta saran pada Yue tentang masalah kebocoran itu. Tentu saja, ia harus menuruni tangga sembilan lantai. Ketika sampai di meja lobi, ia harus memegangnya erat-erat untuk menahannya agar tidak jatuh.
"Sebaiknya jangan memakai hak tinggi kalau kamu naik turun tangga," komentar seorang pria sambil terkekeh. "Ada yang bisa kubantu?"
"Wastafel di dapurku bocor," kata Sakura.
Yue menaikkan sebelah alisnya, seakan berkata 'memangnya kamu ingin aku melakukan apa?'
"Hubungi tukang ledeng," pria itu berkata, berusaha menghentikan dirinya berkata 'Duh!' ke arah gadis itu. "Cari di koran, iklan di TV, atau berkeliling dan melihat-lihat papan iklan."
"Coba kutebak..." Sakura berkata. "...ini tanggunganku?"
"Jelas!"
Sakura mengerang.
Aku bisa saja membiarkannya bocor dan dia harus memperbaikinya sendiri kalau tagihan airnya terlalu mahal. Pikir Sakura jahat. Ya, begitu saja!
"Aku bakal menendang bokongmu keluar jalanan kalau kamu gak menambal lubang itu," Yue berkata dengan senyum teramat manis terpasang di wajahnya.
Sakura lebih menyukainya ketika ia tidak tersenyum; rasanya sifatnya menjadi lebih baik ketika ia mengerutkan dahinya dibanding tersenyum.
"Kalau kamu ingin seseorang yang murah, coba periksa iklan di pintu toilet wanita." Yue menunjuk dimana toilet wanita lantai dasar.
"Siapa yang memasang iklan di pintu toilet wanita?" tanya Sakura.
"Sepertinya orang ini," Yue menjawab. "Gak usah khawatir. Dia memperbaiki semua masalah yang terjadi di lingkungan sekitar sini."
"Pertanyaan pentingnya: seberapa murah dia?" tanya Sakura. "Cuma itu yang ingin aku tahu."
"Dia lebih murah dibanding murah."
"Thanks." Sakura berjalan ke arah yang lelaki itu tunjuk tadi.
Ia melewati satu pintu dan menemukan ada dua pintu lain, satu dilabeli 'Men' dan satunya 'omen'. Ia bahkan tidak mau tahu apa yang terjadi dengan huruf 'W'-nya.
Omen? Ya Tuhan...
Ia mengamati selebaran itu dan membacanya singkat:
Dari pipa air sampai air conditioning atau pemanas ruangan atau apapun—
—Jaminan layanan terbaik dengan harga murah!
Angkat telepon SEKARANG, dan hubungi 555-4636!
Jangan lupa—Li Syaoran pria pilihan Anda.
Sakura terheran-heran. Ia mengeluarkan teleponnya, dan menghubungi nomor yang ada di selebaran. Ia memegang telepon di telinganya sambil bersandar pada dinding dengan tampang bosan, menunggu teleponnya dijawab.
"Halo?" orang di jalur telepon seberang mengangkatnya grogi setelah deringan kelima.
"Apa ini...um—" Sakura melihat ke selebaran lagi, "—Li Syaoran?"
"Yeah," jawab laki-laki itu. "Apa kamu butuh sesuatu?"
Sakura menduga ia baru bangun tidur. Ia harus mengakui, suaranya terdengar sangat seksi.
"Ada kebocoran kecil," ia berkata.
"Seberapa kecil?"
"Sangat kecil tapi juga sangat menyebalkan."
Sakura mendengar suara-suara pelan di seberang telepon, kemudian terdengar keheningan panjang. Ia bertanya-tanya apa pria itu tertidur lagi.
"Alamat?" Suara pria itu kembali beberapa detik kemudian.
"23 Park Av."
"Kamar?"
"203."
"Nama?"
"Kinomoto Sakura." Terdengar debuman keras di jalur seberang. "Halo? Apa kamu masih disana? Halo? Kamu gak apa-apa?"
Tidak ada yang menjawab, dan pria itu memutuskan teleponnya.
Sekarang pasti—ia jatuh tertidur. Sakura berjalan kembali ke lobi. "Yue, orangmu memutuskan teleponnya."
"Dia selalu memutuskan telepon semua orang." Yue tertawa. "Dia akan datang dan memperbaiki kebocoran di kamarmu."
"Kapan?"
"Memangnya aku kelihatan tahu kapan?"
Sakura mendesah.
"Kelihatannya aku gak bisa keluar hari ini," ia berkata.
Membungkuk untuk melepas sandal berhak-nya, ia berjalan menuju tangga.
zZz
Demi Tuhan... dimana sih tukang ledeng itu!
Sakura berteriak frustasi dalam hatinya. Ia sudah menunggu tukang ledeng itu muncul sejak pagi tapi pria itu tidak muncul. Ia meneleponnya jam tujuh tadi pagi, dan sekarang sudah jam tiga, tapi pria itu belum juga muncul. Sesibuk apa sih dia?
Menyambar teleponnya di atas meja, ia segera menekan nomornya sembari menyumpah pelan.
"Halo."
Sakura segera menegakkan badannya. "Kamu dimana sih? Aku sudah meninggalkan 50 pesan selama—" ia berhenti untuk melihat jam, "—dua.. lima... tujuh jam terakhir! Aku meneleponmu tujuh jam lalu! Sekarang kamu dimana?"
"Di depan apartemenmu."
Bel pintu berbunyi.
Sakura melangkah membukakan pintu, dan hampir menjatuhkan teleponnya ketika ia melihat siapa yang berdiri di lorong. "Kamu tukang ledengnya?"
"Aku... er... sibuk sepanjang pagi ini," pria berambut cokelat itu berkata, menggaruk kepalanya malu-malu. "Apa yang butuh diperbaiki tadi?"
"Bocor."
"Oh... wastafelnya, kan?"
Sakura bergeser membiarkan pria itu masuk. "Wastafel di dapur. Gak bisa tidur semalam karena suaranya."
Pria itu—Li Syaoran—terkekeh. "Kamu pasti punya telinga yang sensitif sampai bisa mendengar tetesan air jatuh."
Sakura mengerutkan kening atas komentarnya, tidak yakin apakah itu pujian atau ejekan. Bagaimanapun, ia tidak pernah mendengar ada yang memuji seseorang karena punya 'telinga yang sensitif'...
Bagaimana 'telinga yang sensitif' itu? Telinga yang bagus atau telinga seperti Dumbo?
Ia memutuskan untuk tidak melanjutkan subjek itu dan fokus kepada pria itu.
"Kamu benar... Ini kebocoran yang sangat kecil," pria itu berkata, membungkuk ke lantai untuk melihat pipanya.
Hal pertama yang Sakura perhatikan adalah bokongnya yang kencang.
Oke, Sakura... tarik napas. Kuasai dirimu! Dia disini untuk membenarkan si lubang yang bikin bocor jadi kamu bisa tidur nyenyak. Tunggu—bukannya dia tinggal di seberang lorong dari sini?
Oh, surga dunia.
"Aku bisa memperbaikinya dalam waktu lima detik," pria itu memberitahu.
"Yang benar?"
Wow, dia pasti benar-benar tukang ledeng yang jago.
Ia tiba-tiba mengeluarkan lakban dari tasnya dan menutup pipa yang berlubang yang tadinya bocor. Kemudian ia mengambil mangkuk di atas meja dan menaruhnya dimana tadinya air menetes.
"Nah!" Syaoran berseru, berdiri dan menepuk kedua tangannya seperti ketika ia selesai mengerjakan hal yang sulit dan melelahkan.
Sakura mengerjapkan matanya. "Sudah selesai?"
"Yup. Kan kubilang selesai dalam lima detik." Syaoran berjalan menuju pintu.
"Ya ampun..." Sakura tercengang.
"Ngomong-ngomong, selamat datang di gedung ini." Syaoran berbalik ketika sudah sampai di pintu dengan senyum misterius di wajahnya. "Aku yakin kamu dan aku bakal menghabiskan banyak waktu sebagai tetangga. Kalau kamu butuh sesuatu untuk diperbaiki, tinggal hubungi aku atau kamu bisa temui aku di seberang lorong. Untuk servis hari ini, bayar setengah harga saja deh. Aku taruh tagihannya di kotak suratmu nanti. Nah, sekarang aku harus membenarkan lift sebelum Yue menendang bokongku."
Sakura menelan ludahnya, masih tidak mampu berkata-kata setelah melihat kemampuannya sebagai 'tukang ledeng'.
Catatan untuk diri sendiri: Jangan gunakan lift.
A/N: Hmm? Gimana menurut kalian? Apa menurut kalian aku baiknya nglanjutin nerjemahin crita ini? Tolong tinggalkan review dan beritahu kesan en pesan kalian. Apa terlalu baku bhasanya?
Smentara ni aku cuma akan menerjemahkan beberapa crita yang kupikir bagus. Bisa dibilang ini latihan menyempurnakan grammarku dan biar aku blajar mengembangkan cerita dengan mnerjemahkan dari crita-crita dg grammar d atas rta-rta. Crita CCS banyak juga yg berbhasa Spanyol, kalo bisa pngen kuterjemahin juga, sayang Spanyol-ku cuma sebates yg diajarin Dora.. XP
Utk ratingnya kali ini masih T, tp utk slanjutnya mgkn bkal naik jd M,, alamakjan.. agk susah menghaluskan kta-kta sumpah serapahnya euy, klo t'lalu dihaluskan rsanya malah hilang esensinya.. :p
Kalo gak sabar baca kelanjutannya, kalian bisa baca versi Inggris-nya 'I'm in love with a plumber' oleh Aesha (promosi nih...) uda komplit lagi!
Have a nice day!
-ilie-