Summary : Hidupku adalah pilihanku. Aku tak Akan pernah menyesal jadi diriku sendiri, juga pilihan yang aku tentukan untuk masa depanku.— Robin. Maksudnya? Bacalah sendiri, bro.
Disclaimer : OP © Eiichiro Oda
Warning : Gak jelas, aneh, stress *authornya*, selain itu gak ada.
A/N: Saya mengacau kali ini di fic. Saya hadir di dalam fiction ini, sekarang itulah hobby saya. Yahahahahaha~. Tak apa, saya bukan tokoh utamanya kok. Wkwkwkwkwk. Sekarang jadi demen 'merusak' pemandangan para readers sekalian.
Gadis berambut raven itu membuka matanya perlahan. Mencoba mencari- cari dua orang yang seharusnya jadi tempatnya berlindung, tapi walaupun ia terus mencari, tak akan mungkin ditemukan walaupun mencarinya ke seluruh penjuru dunia.
Karena dipeluk bumi dalam kesunyian.
Gadis itu kembali menatap sayu. Diantara kerumunan orang- orang, dirinya merasa sepi dan kesepian itu sungguh menyakitkan. Sungguh ingin membuatnya berteriak dan menangis. Tapi apa yang bisa ia artikan lagi setelah ini? Hidupnya kini menjadi incaran. Tak mungkin bisa membangun relasi baru dengan orang- orang jika tidak ingin mereka mati.
Gadis itu mengontak sederet nomor di handphonenya dan kemudian menempelkannya di telinganya.
"Michi-san. Aku menolak atas perlindungan itu.. Sebagai gantinya, bolehkan aku menjadi bagian dari kalian?"
Portgas D. Michi's Present:
"Love, beetwen of Barreta and Shot Gun"
ZoRo's Pairing
One Piece © Eiichiro Oda
.
.
Robin's POV
Inilah jalan hidupku. Sudah kupilih dengan keputusan sebaik mungkin. Aku tak akan pernah menyesal dengan pilihan yang buruk ini. Aku tahu, hal ini memang gila dan konyol.
Perempuan seperti aku memilih jalan menjadi agen Rahasia? Sungguh bodoh.
Tapi, aku tak akan menyesal. Walaupun sejak awal, kedua orang tuaku yang merupakan agen rahasia pada awalnya, mengorbankan nyawa mereka demi menghindari aku dari kematian, juga menendang fakta sejauh mungkin bahwa aku adalah anak mereka, agar aku tak diburu, tak ikut mati bersama mereka.
Aku tahu, mereka pasti akan menangis jika tahu aku memilih jalan yang sama dengan mereka. Tapi bagaimanapun, lawan yang aku hadapi adalah organisasi kejahatan besar yang harus dilenyapkan. Mereka, cepat atau lambat pasti akan tahu. Oleh sebab itu,
Aku tak akan lari.
Sudah cukup kebodohanku selama ini yang selalu membuatku kabur di setiap kali aku ditemukan. Sudah kupilih takdir hidupku untuk masa depan. Aku juga tidak kesepian di kelompok tersembunyi ini, aku bahagia, memiliki orang yang memilih jalan yang sama denganku. Aku tak akan pernah menyesal.
"Robin," Panggil seseorang padaku, teman satu pangkatku, Nami. "ada rapat nanti. Kurasa ada penemuan baru, dan kita harus menyusup lagi." Ucapnya dan diikuti cibirannya setelah akhir kalimat. Aku mendengar darinya, ia memang tak mau jadi agen rahasia, ia mengikuti jalan ini sejak masih kecil. Dan apa boleh buat.
"Baiklah, bagaimana kita bersantai ke kedai dulu?" Usulku padanya dan ia mengangguk setuju.
"Bukankah lebih baik kita jalan- jalan ke mall atau—" Ucapan Nami terpotong.
"Nami.. Rapat mulai satu jam setelah ini." Tegas ketua kelompokku, Michi-san, dan membuat Nami mendengus. Aku tertawa kecil, memang tidak akan cukup jika pergi berbelanja dengan Nami ke mall jika waktunya hanya satu jam.
.
.
Agen rahasia bagianku memang sedang memiliki misi. Aku tahu itu, tapi aku tidak tahu misi apa itu. Setelah pulang dari kedai, aku dan Nami bergegas menuju ruang rapat. Rapat tertutup, dan yang pasti, rahasia itu dimulai dengan sunyi. Memang lebih tegang daripada rapat- rapat kantor yang sebenarnya tak kalah mengerikannya.
"Robin, kenapa semuanya agen- agen kalangan atas ya?" Bisik Nami padaku dengan ngeri. Memang ngeri juga, yang duduk di meja panjang ini adalah agen kalangan atas yang sudah lumayan terkenal namanya di agen rahasia yang tersembunyi namun besar ini.
"Aku juga tak tahu.." Jawabku pendek dan melihat ke semua arah. Memang ada perempuan, tapi umurnya sudah kepala 3. Hanya aku dan Nami yang berkepala 2 disini.
Ralat, Masih ada satu lagi.
Ketua kelompok agen 25 ini, Michi-san. Umurnya memang masih muda, tapi ia memang sudah mengabdi pada agen rahasia yang informasinya-pun masih samar, walaupun aku adalah anggota mereka. Aku yakin, itu pasti agar tidak membiarkan penyusup mengetahui rahasia agen ini.
Aku melirik jarum jam. Masih ada beberapa menit sebelum mulai. Kelompok 25, kelompok paling on time dan paling hati- hati dalam mengerjakan misi. Aku yang masih baru ini cukup senang dengan jabatanku yang lumayan besar dalam kelompok yang terpandang ini.
Aku tidak hafal semuanya yang ada di ruangan ini. Tapi aku kenal beberapa. Karena kami masih satu bagian, walaupun besar, kelompok kami masih sama.
"Baiklah. Kita mulai rapatnya," ucap Michi-san yang kemudian datang dan menyalakan LCD yang sedari tadi tertidur, "langsung saja. Misi kali ini adalah misi yang sulit," Ucapnya membuat semuanya tak ada yang berbicara. Tentu saja, kecuali dirinya sendiri.
"Kali ini targetnya adalah seorang laki- laki yang lumayan kuat, dan terbilang masih muda," jawabnya dan menampilkan gambar seorang laki- laki, berambut hijau, dan berkulit agak coklat. Wajahnya serius, "dia adalah sumber dari peperangan yang terjadi akhir- akhir ini."
Sulit dipercaya.
Itulah wajah yang ditampakan olehku, Nami, dan seluruh orang yang duduk di kursi hitam yang elegan dan sangat nyaman, namun untuk bersantai pastilah mustahil.
"Ya, memang sulit dipercaya. Bahkan aku juga tak percaya, bahwa dia adalah murid kelas 2 SMA di Grand Line." Ujar Michi-san membuat semuanya terkejut dan membuat Michi-san tersenyum, walaupun senyum itu tak bisa menenangkan. "Ya, ya, aku tahu kalian semua kaget. Tapi kalian tidak bisa melihat kekuatan seseorang dari umurnya, bukan?"
Ya, benar juga. Aku kembali melirik laptop-ku. Muncul data tentang laki- laki yang ada di foto itu. Masih muda, setahun lebih muda dariku. Entah palsu atau apa, tapi memang wajahnya terlihat masih muda.
Walaupun kalau itu adalah baby face yang bisa mematahkan umur sekalipun.
"Kalian bisa baca datanya sendiri nanti," Sambung Michi-san membuat semuanya yang serius membaca data itu kembali melihat LCD yang ada di depan ruangan, "kali ini. Yang bisa kita lakukan adalah penyamaran."
Lagi- lagi hal itu. Walaupun memang dalam penyamaran aku tidak pernah langsung diterjunkan karena aku masih baru.
"Karena itu, bos besar kita menunjuk Nico-san dan Nami-san untuk menyusup ke sekolah itu, kemudian mendekati orang itu perlahan." Sambung Michi-san membuatku dan Nami sedikit terkejut tanpa suara.
"Keberatan?" Tanya Michi-san dengan nada santai, tapi aura death glarenya sangat terasa sampai ke belakang ruangan.
"Ti, tidak.."
Aku tersenyum tipis, aku setidaknya cukup bosan ada di belakang terus menerus. Setidaknya terjun ke panggung, bukan hal yang buruk.
"Bagus, sekarang yang harus dilakukan oleh kalian berdua hanya mengorek informasi. Sekecil apapun itu, harus kalian laporkan kepada tim laporan." Ucap Michi-san, setelah itu, di laptop masing- masing terlihat kembali kiriman tentang pembagian tim.
Hanya ada 3, tim Laporan yang biasanya menangkap laporan dari yang menyusup, Tim Pendengar Sadapan yang mendengar percakapan, dan Tim Penyerangan yang ditugaskan untuk siaga jika merasa perlu untuk menangkap para anak buahnya.
"Ya. Kurasa kalian yang sudah berpengalaman akan hal ini tak perlu lagi dijelaskan terperinci. Aku sudah mempersiapkan masuk sekolah dan yang lainnya. Sisanya tinggal kalian yang bekerja." Kata Michi-san dan mematikan LCD dan bangkit berdiri. Kami para bawahannya membungkuk ketika ia bergegas pergi dari ruangan itu.
.
.
Nami menghempaskan tubuhnya ke sofa. "Aku tak habis pikir. Aku ini lemah! Bagaimana jika nanti musuh tahu aku ini mata- mata, dan aku dibunuh?" Desisnya dan meratapi nasibnya.
Aku tersenyum, "aku akan melindungimu." Jawabku dan tertawa kecil.
"Oh ya, Robin. Kau bisa pakai senjata? Kita kan bagian pengawas, tak wajib dalam pertarungan. Bagaimana kalau kita nanti dijadikan sandera?" Tanya Nami antusias dan menatapku.
"Aku bisa memakai barreta." Ucapku dengan senyum dan mengeluarkan pistol itu dari dalam laci mejaku. "Punya mendiang ayahku. Aku dulu sering diajari agar bisa membela diri," ucapku dan kembali memasukannya.
Nami hanya mengangguk- angguk dan tiduran di sofa. "Tapi kita kembali ke sekolah.. Aku malas," ucapnya. "Sudah berapa tahun setelah aku lulus dari jenjang SMA dan mengabdi di agen rahasia ini ya?" Ucap mengingat- ingat.
"Mengeluh lagi kau, Nami.."
Kami berbalik, melihat ketua kami yang tersenyum.
"Anu, maaf.. Michi-san.."
"Panggil aku Michi saja," ucapnya dan tersenyum, "ini diluar jam kerja kita." Sambungnya membuat aku berpikir bahwa sosok seperti ini memang hebat dan pantas jadi ketua, "aku mengerti kamu lelah, Nami.. Tapi walaupun kau mempersalahkan kedua orang tuamu yang mendidikmu sejak kecil untuk mengabdi disini, jalan hidupmu yang menentukan adalah dirimu sendiri. Sama denganku kok, aku juga jujur saja lelah dengan hidup sebagai agen rahasia yang sewaktu- waktu bisa membuat kita mati dibunuh."
"Ya sih," Ucap Nami dan tersenyum. Seakan ia bisa merima ucapan Michi-san yang memang hebat, "ngomong- ngomong, Michi-s— Michi, maksudku, kenapa juga bisa ada di agen ini? Bahkan jadi ketua kelompok?"
Michi-san tersenyum, "aku keturunan mata- mata, sama denganmu. Tapi aku lebih mirip Robin. Aku memilih untuk jadi anggota setelah aku diberi perlindungan saksi. Aku hidup dengan terus diburu oleh para penjahat, oleh karena itu, lebih baik aku disini." Jawabnya dengan santai. "Sudahlah, itu masa lalu. Jangan lupa, besok kalian berdua tidak boleh membocorkan satupun informasi kita. Kali ini, kalian kupercayakan langsung. Jadi, jangan kecewakan."
"Baik.." Ujar Nami lemas, dan aku hanya tersenyum.
.
.
Michi : "Wuih. Aku bisa bikin drama Actioooonn~!"
Ace : "Ini baru dikit, bodoh."
Michi : "Tapi gue udah menentukan akhir cerita ini! Aku semakin semangat, Ace~!"
Ace : "Terserah dirimu sajalah."
Michi : "Huuhh~ Ace jahat. Berikanlah sedikit pujian untukku~!"
Ace : "Ya. Ya. Kau hebat *tapi bohong*"
Michi : "Ah, sudahlah. Buat penutupnya!"
Ace : "Sampai ketemu di part 2!"