Summary : Memang bukan jawaban yang tepat untuk mengatakan 'kami pasti akan kembali'

Disclaimer : One Piece hanya punya Odachi.

CSA : Hei kalian? Kurang puas yang sama chapter sebelumnya? Aku memang sengaja, soalnya aku nggak mau kasih hal detail chapter- chapter sekarang. Biarkan semuanya menjadi misteri dan akan kuungkap nanti. =D Ini, chapter 8 juga agak pendek, jadi telanlah emosi dan tetap membacanya ya..,, =D


Love, Between Berreta and Shot Gun

PortgasArchuleta D. Chelle

2011

.

.

"Michi's Past"

.

.

"Apa?"

Robin menatap seorang laki- laki berambut hijau yang ada di depannya itu. Robin yang sedang menyeruput teh itu dengan bingung. "Kau tak salah?" Tanya Robin dengan bingung. Nami yang ada di depannya yang sedang menyeruput jus jeruk kesukaannya-pun terbengong- bengong.

"Tidak. Aku tidak salah. Ikutlah aku mengejar Kurohige, si pembunuh ayahmu dan ayahku. Kupikir kita bisa bekerja sama karena kita memiliki satu orang pengubah masa kecil kita yang sama." Ujar Zoro dengan tegas, tanpa nada bimbang.

"Hei, Zoro.. Aku mengerti hal itu. Tapi Robin selama ini bertugas di belakang. Apa kau yakin dia bisa untuk menjalani tugas di luar?" Tanya Nami yang khawatir, Robin memang selama sebelum diminta mengintai Zoro, ia tak pernah bertugas sebagai agen di udara bebas.

Zoro melirik Nami, "aku yakin." Jawabnya pendek dan kembali pada Robin. "Maka dari itu, ikutlah aku." Ujar Zoro dengan mantap.

"Tapi, bagaimana dengan izin? Apa Michi-san-" Ucapan Robin belum selesai, kembali Zoro menjawab tanpa menungguh Robin menyelesaikan ucapannya.

"Aku sudah izin. Dia bilang boleh." Jawabnya cepat.

"Siapa yang bilang boleh? Aku bilang 'terserah kalian sajalah'." Celetuk Michi yang datang tiba- tiba ke kantin bersama Franky, Ace, juga Luffy yang merupakan Agen 12.

"Cih." Zoro mendecak kesal, "bagiku itu sama saja dengan sebuah persetujuan."

Michi duduk di samping Robin dan meminta vanilla freeze kepada pelayan kantin WIM dan kembali kepada Robin.

"Ketua dengan wajah dan senyum mengerikan kok minum vanilla freeze? Mencoba melembutkan aura?" Sindir Zoro dengan tawa yang dibuat- buat.

"Ya.. Lebih baik dari seorang laki- laki berambut hijau yang suka tidur namun sok berintelektual padahal buta arah." Balas Michi tajam dan diikuti tawa yang lain. "Kembalilah pada topik, minna-san. Aku jujur saja agak khawatir, Kurohige bukan seorang yang mudah dikalahkan." Kata Michi dengan memindahkan Vanilla Freeze miliknya dan menyeruputnya.

"Kita takkan tahu sebelum mencobanya, bukan.." Ujar Zoro.

"Yah, ketika kalian semua mati karenanya, barulah aku harus mengatakan 'ternyata dia terlalu kuat..' begitu?" Sindir Michi yang memutar- mutar sedotannya. "Sudah cukup banyak yang mati. Jadi, jangan cari resiko. Ngomong- ngomong, dimana Usopp dan Luffy?" Tanya Michi yang celingak- celinguk.

"Yah, mereka memang tidak mirip agen. Mereka sudah bercengkrama dan pergi dari sini. Entah ada dimana." Jawab Ace yang malas dan kembali memakan roti dagingnya. "Aku sudah pasti pergi kan? Franky-taicho? Michi-taicho?"

"Aku sih terserah dia. Walaupun nomor agen Michi lebih dibawah, bintangnya lebih tinggi dan dekat dengan bos besar. Aku yang super ini sih, terserah sajalah." Ujar Franky santai.

Ace kembali menatap Michi dengan penuh permohonan. "Bagaimana, Michi-taicho?" Tanyanya dengan harap.

"Ya. Kau ikut." Jawab Michi dan kembali kepada semuanya. "Kalau hanya berempat, aku takut kalian- tahu sendiri, lah."

"Kalau begitu kenapa tidak kau saja yang ikut?" Usul Zoro dengan santai dan menopang berat kepala di tangan kanannya.

"Aku? Kau gila, Zoro? Aku itu ketua, kalau aku hanya fokus pada Kurohige, agen ini bisa berantakan." Ucap Michi dan menggeleng.

"Bagaimana kalau untuk sementara, mintalah bos besar untuk mencari penggantimu?" Usul Franky dan yang lain. Sepertinya mereka sangat senang jika melihat atasan mereka yang mereka lihat hanya memerintah itu bertugas langsung.

"Kau gila." Umpat Michi dengan santai dan menyeruput vanilla freeze miliknya. "Aku sudah 10 tahun sejak aku masuk agen ini saat aku berumur 14 tahun, aku tak pernah bertugas di lapangan."

"Michi-san takut?" Tanya Nami polos, ia kemudian menepuk kepalanya sendiri. Beraninya berbicara seperti itu pada atasannya..

"Jangan bercanda. Pengalamanku lebih daripada kalian." Ujarnya membantah dan membalikan wajahnya.

"Kalau begitu, apalagi yang kau tunggu?" Sindir Zoro dan menatap Franky, "katakanlah pada bos besar kita itu kalau ketua kami ini akan ikut bersama kami."

Franky menatap Michi yang ber-eskpresi datar, kemudian bersuara. "Baiklah." Ujarnya pendek kemudian berdiri. "Aku hubungi bos besar untuk izin." Ujarnya dan menghilang dari pandangan mereka semua.

Franky hanya menatap ketua atasannya itu dengan pandangan khawatir..

.

.

Michi masuk ke dalam ruangan gelap nan penuh dengan layar- layar monitor yang banyak. Saat ia masuk, semua anggotanya langsung berdiri dan memberi hormat padanya walaupun Michi seakan tak mempedulikannya.

"Sambungkan aku pada Bos Besar." Ujarnya dan bergegas masuk lagi ke dalam ruangannya yang ada di dalam ruangan agensi dalamnya itu.

"Baik!" Jawab anggota bagian komunikasi sekutu atas dan langsung duduk kembali. Michi hanya menatap sekilas dan masuk ke ruangannya. Ke ruangan yang agak terang dan rapih.

Michi tak suka gelap. Ia lebih suka cahaya. Namun masa lalu membuatnya harus hidup di dalam kegelapan.. Tak ada yang pernah peduli dengan masa lalunya. Semua anggotanya sudah menggangapnya paling diatas dan disejajarkan dengan bos besar.

Tapi ia bukan bos besar.

Menjadi ketua agen andalan yang bahkan lebih dipercaya dari agen 1 saja, ia awalnya enggan. Namun inilah tugas.

Bukan.

Lebih tepatnya, rodi buat dirinya.

"Kamu itu.. Jangan membantah! Pokoknya kau harus jadi agen kuat..!"

"Tapi, papa.. Michi mau jadi dokter-"

"Jangan membantah!"

Michi memukul kepalanya sendiri. Muak sudah ia mengingat masa lalunya. Ia sudah tak bisa menganggap ayahnya sendiri sebagai ayah. Muak sudah hidupnya yang malah lebih tepat sebagai boneka ayahnya. Ia menuntut ilmu tinggi- tinggi, kemudian menghilang di dalam kegelapan.

Untuk keadilan.

"Keadilan apanya? Kau sebut membunuh ayahku demi keadilan? Membunuh sekutu, hah?"

Kata- kata Zoro benar- benar terngiang. Benar- benar sulit ia lupakan. Karena ia juga berpikir hal yang sama. WIM bukan menuntut keadilan, tapi kedamaian yang terlihat bagi masyarakat. Baik ataupun buruk akan WIM singkirkan.

Yang menentang Mayoritas akan disingkirkan..

Disingkirkan.

"Hei, Michi!"

Suara sang bos besar itu membuatnya kembali pada dunia sadarnya yang harusnya ia pijak, bukan kenangan masa lalunya itu. "Ah, maaf Bos." Ujarnya dan duduk di bangkunya.

"Ada apa?" Tanya suara itu kepada Michi.

"Aku mau mencari Kurohige. Bersama Roronoa Zoro, Portgas D. Ace, Usopp, dan Nico Robin." Ucapnya dengan tegas, tanpa keraguan.

"Michi.. Kau.. Tidak trauma dengan masa lalumu? Karena Kurohige itu orang tuamu dan kaki-"

"Lupakan soal itu." Ujar Michi tegas dan menatap dinding di depannya. "Aku tak mau mendengar itu lagi.. Bos." Ucapnya tegas.

"Hei, tapi.. Baiklah.. Aku izinkan. Aku berikan tanggung jawab itu pada Marco." Ujar suara itu.

"Terima kasih, bos.. Aku senang mendengarnya." Ucapnya dan tersenyum.

.

.

"Oi, Michi."

Michi yang sedang menyeruput minuman kesukaannya, Vanilla Freeze itu sontak berbalik kepada si pemilik suara yang memanggilnya. Terlihat seorang pemuda berbaju ungu dengan rambut kuning seperti nanas ada di depannya. "Oh. Nanas."

"Berhentilah memanggilku begitu, Michi." Ujarnya dan duduk di depan Michi. "Kau gila ya..?" Ujar Marco langsung pada topiknya.

Marco adalah seorang anggota tim rahasia. Tim rahasia adalah tim yang memiliki akses langsung kepada Bos Besar dan bisa mengetahui dimana tempat si Bos Besar. Hanya ada beberapa yang bisa mendapatkan posisi spesial itu. Michi adalah mantan agen itu, hanya setahun, kemudian menjabat menjadi ketua agen. Tim Rahasia hanya ada beberapa orang saja- kepercayaan bos besar.

"Aku.. memang gila." Ujar Michi cuek dan kembali menyeruput vanilla freeze miliknya. "Aku sudah memutuskan aku akan pergi. Aku akan pergi, apapun yang terjadi. Kaupun tak bisa menahanku, Marco." Tukasnya.

"Aku tak bermaksud menahanmu, tapi.."

"Lalu? Aku itu masih bisa jalan jauh. Tidak usah ragu. Bantulah aku sampai aku kembali." Ujar Michi dengan tajam. "Jadilah ketua."

"Aku tidak mempermasalahkan itu tapi.. Kau.. Aku khawatir.." Ujar Marco kemudian menghela nafasnya. "Tak bisakah kau memikirkan dirimu sendiri? Aku khawatir.. Kita itu.. Kita teman sejak kecil kan? Aku mengerti kau memang sungguh menyesal masuk agen ini, tapi.."

Michi menatap Marco dan tersenyum. Senyum tulus yang sudah tak pernah ia pakai lagi setelah ia mengalami banyak pencobaan yang berat. "Tak apa, Marco.. Aku tidak menyesal masuk agen ini.. Karena ada kamu.. Ada Zoro.. Ada Robin, Nami, Usopp, Ace, Luffy.. Aku tak menyesal jadi seperti ini. Jangan khawatir."

.

.

Robin kini mempersiapkan kepergiannya untuk mengembara bersama teman- temannya itu. Ia menatap Nami yang gundah, seakan tak bisa tidak bersama Robin di agen itu.

"Tak apa, Nami.. Tak usah cemas.." Ujar Robin dengan senyum dan beralih ke meja sudutnya. Kemudian berdiang sebentar disana.

"Aku khawatir.. Kurohige itu bukan lawan yang mudah.." Ujar Nami dan sepertinya tetesan air mata sudah menggenangi pelupuk matanya.

Robin tersenyum. "Aku tahu itu. Tapi dia pembunuh orang tuaku. Aku memang tak dendam.. Tapi aku akan melawannya.. Bersama Michi-san dan yang lain." Ujarnya dan tersenyum menatap Nami dari pantulan cermin.

"Aku takut.. Apa kalian masih bisa kembali lagi.. Apa kalian baik- baik saja.." Ujar Nami dengan mengusap air matanya. "Aku takut.."

Robin tersenyum. Memang bukan jawaban yang tepat untuk mengatakan 'kami pasti akan kembali' karena Robin sudah 4 bulan ini mempelajari bagaimana Kurohige. Ia mengerti kalau bukan mustahil ia tidak kembali dan bertemu Nami lagi..

Robin mengambil berreta miliknya. Berreta yang penuh kenangan itu dan menyimpan di dalam tasnya. Demi berreta itulah, ia akan berjuang.

Berjuang dengan melangkahi jurang Kematian

.

.

Michi menatap langit dari beranda kamarnya. Ia mendengar dengan baik bagaimana percakapan antara Robin dan Nami. Ia menunduk.

Semakin dalam.

Dalam..

Dan ia melihat bahwa tempat yang ia injak sekarang terlalu tinggi dari tanah. Memang inilah kondisi bagaimana ia dijunjung di tempat gelap itu. Tinggi yang tidak main- main.

Tapi itu memang bukanlah impiannya.

Dijunjung bukanlah impiannya.

Yang inginkan adalah kepercayaan.

Tapi itu sudah cukup. Semua agen sudah mempercayainya. Ia menemukan para teman- temannya yang entah menjadi buruk ataupun baik kondisinya setelah menjadi bawahannya. Sudah cukup semuanya.. Ia sudah puas dengan 25 tahun umurnya yang penuh kenangan.

Kini ia harus melindungi para insipirasinya itu..

Walaupun darahnya harus mengalir keluar seluruhnya dari tubuhnya.

.

.

Kali ini nggak ada PoRe ya... Ntar di chapter selanjutnya aja... =D Sayonaraa...~