Halo minna-san! Hahaha akhirnyaaa berhasil juga publish fic di fandom Kuroshitsuji! Yeaah!

Ide ceritanya pasaran ya? Hahaha maaf deh… Soalnya aku sendiri tiba-tiba dapet ide buat fic ini gara-gara ngeliat temen aku pulang bareng ayah plus adik-adik tirinya. Awalnya aku hanya pengen bikin yang ratenya K, K+, atau T. Tapi entah gara-gara kesambet setan apa, akhirnya ya jadi rate M gini. Hahaha Rate M kedua setelah I'll Never Forget This Pain yang aku publish (dan belum tamat) di fandom Megami Tensei. Jangan lupa baca ya! *promosi, tampoled*

Dasar aku! Padahal baru pertama ngepublish di fandom ini, eh langsung bikin rate M. Ngek! Hahahaha mungkin kegilaan karena stress mau UN kali ya? Ah yasudlah, toh rate M for bloody/gore ini, bukan rate M for lemon kok! =3=

Enjoy!


.

.

CHAPTER 1: In the Morning, That Home Tutor

.

Rambut pirangnya berkilau sehat, kedua iris sapphirenya bersinar penuh keceriaan, tawa riangnya yang tak pernah habis, kulit porselennya yang menandingi pualam, dan kecerdasan otaknya benar-benar tak tertandingi oleh anak-anak lain seusianya. Selain itu di wajahnya selalu terpancar senyum polos khas anak kecil yang menggemaskan. Singkatnya anak itu bisa membuat semua mata tertuju padanya dan ia adalah anak yang layak menyandang predikat 'SEMPURNA'.

Sayangnya, anak sempurna ini adalah seorang yatim. Ayahnya meninggal karena dibunuh oleh sekelompok perampok tepat di depan wajahnya. Karena itulah ia hanya tinggal berdua dengan ibunya, Millenne, di pinggiran kota London yang sibuk.

Kalian tahu siapa nama anak itu?

Ah, kurasa tanpa diberitahu pun kalian semua pasti sudah tahu siapa nama anak itu.

Ya, namanya adalah Alois Trancy.

.

.

.


Kagami Hikari presents:

BLACK SOUL

"Mereka bisa menjadi keluarga yang sempurna tanpaku…" Keluarga yang bahagia adalah yang diinginkan setiap orang. "Atau tanpanya…" Begitu juga dengan seorang anak kecil

Kuroshitsuji belongs to Yana Toboso

WARNING! RATED M FOR BLOODY SCENE! DEATH CHARA!

Sekali lagi! Bagi yang ga kuat baca Bloody/Gore, mending cepet-cepet klik Back aja deh… *ngancem, jotosed*


.

.

.

"Alois! Dimana kau, nak?" panggil seorang wanita muda berambut pirang

"Ya? Ada apa, Ma?" sang pemilik nama menyahut dari balik pintu kayu

"Mama punya berita gembira untukmu!" wanita yang ternyata adalah ibunda dari Alois itu berkata

"Apa itu?" kedua iris sapphire pucat milik Alois membesar dengan antusiasme

"Sebentar lagi kau akan punya papa baru!"

.

.

Hari itu aku tidak tahu

Ternyata itu bukanlah berita baik bagiku.

Tapi saat itu aku sama sekali tak tahu tentang hal itu.

Jadi kusambut berita itu dengan senang.

Aku memang ingin punya papa, karena aku rindu pada papa.

Tapi, terkadang aku juga ingat cerita teman-teman tentang ibu tiri yang jahat.

Apa mungkin papa tiriku akan jadi seperti itu juga?

Tidak, tidak. Aku yakin tidak akan.

.

.

Sebulan kemudian, anak lelaki bernama Alois Trancy sudah tidak ada lagi di dunia ini. Yang ada hanyalah Alois Phantomhive. Karena kini Nyonya Millenne Trancy sudah resmi menikah dengan Tuan Vincent Phantomhive, seorang duda muda yang ditinggal istrinya yang mati karena penyakit.

Hari-hari Alois pun berubah 180 derajat. Yang awalnya hanyalah anak kecil dengan kehidupan sederhana yang tinggal di rumah sewaan sempit bersama sang ibu, sekarang berubah menjadi anak kecil yang tinggal bersama dengan orang tuanya di sebuah mansion luas. Dan sekarang, Alois diperlakukan seperti pangeran oleh ayah tirinya. Sekarang ia memiliki banyak mainan, baju bagus, makanan enak, dan kamar yang luas.

Memang, ayah tiri Alois yang notabene pemilik perusahaan terkenal, Funtom Corporation, cukup jarang berada di rumah. Namun di saat ia berada di rumah, ia akan memanjakan Alois sebisanya. Tak jarang Vincent pulang dengan tangan penuh dengan baju baru, atau mainan baru, atau sekedar cokelat dan permen.

Alois benar-benar menyukai kehidupannya yang sekarang. Yah, apa boleh buat. Namanya juga anak kecil, asal diberi permen, mainan, dan dimanjakan mereka pasti akan senang.

Tapi tidak ada manusia yang memiliki hidup sempurna kan? Sebanyak apa pun hartanya, seluas apapun tanahnya, setua atau semuda apapun, tak mungkin ada seorang manusia yang hidup begitu sempurna, kan?

Ya, begitulah yang akan dialami oleh Phantomhive muda itu. Sebentar lagi kesempurnaan hidupnya akan terusik.

.

.

Hari itu adalah hari ulang tahunku.

Ya, aku bisa mengingatnya dengan jelas.

Hari itu benar-benar menyenangkan.

Setidaknya sampai 9 bulan sebelum ia ada di dunia.

.

.

Hari ini adalah hari ulang tahun Alois yang kelima. Mansion Phantomhive penuh dengan balon berwarna-warni, pita-pita cerah, dan tumpukan hadiah dari banyak sekali orang—baik rekan kerja Vincent sampai kerabat dekat Vincent atau mendiang istrinya, Rachel.

Hari ini juga, senyum di wajah Alois tidak menghilang barang sedetik pun. Ia tersenyum pada setiap orang yang ia temui di setiap waktu. Ia menikmati kue ulang tahunnya yang berukuran super besar. Dan ia juga sangat antusias melihat begitu banyak kerabat yang belum dikenalnya.

Tanpa terasa, semburat merah sudah menghiasi langit. Burung-burung yang saling bersahutan kembali ke rumahnya masing-masing. Para tamu pun meninggalkan Mansion Phantomhive satu per satu. Akhirnya, tinggallah tiga orang keluarga Phantomhive yang tersisa di aula yang kosong. Alois yang sedang memeluk sebuah boneka pemberian rekan ayah tirinya menguap.

"Alois sayang, lebih baik kau tidur. Kau pasti capek sekali." Millenne berjongkok dan meletakkan tangan kanannya di bahu kiri Alois

"Tapi… Aku kan belum membuka semua hadiahnya…" rengek Alois

"Kau bisa membukanya besok, Alois. Sekarang lebih baik kau tidur." Vincent menegaskan kata-kata Millenne sambil menepuk puncak kepala anak tirinya

"Tapi… Hoaaaahm…" belum sempat Alois mengatakan protesnya, ia sudah menguap duluan

"Tuh kan, sekarang tidur saja," kata sang ibu sambil tersenyum

"Umm…" Alois mengangguk tanda setuju sambil seakin mengeratkan pelukannya pada boneka yang berada di pelukannya

"Tanaka, antar Alois ke kamarnya." Vincent memanggil butler Keluarga Phantomhive

"Baik, Master Vincent," butler berusia lanjut itu membungkuk dalam-dalam pada tuannya dengan senyum khasnya

"Selamat malam, Alois!" Millenne mengecup dahi Alois

.

Keesokan harinya, Alois terbangun karena Tanaka yang membuka tirai kamarnya. "Tuan Muda, Master Vincent sudah menunggu Anda di ruang makan."

"Ganti baju…" Alois bergumam sambil menyibak selimutnya malas

.

Sepuluh menit kemudian, Alois, Millenne, dan Vincent sudah duduk bersama di ruang makan sambil menyantap sarapan mereka. Alois melahap roti isi yang tersaji di piringnya. Sesekali kepingan iris sapphire pucatnya melirik ke arah ayah tirinya dan pintu menuju aula, berharap semoga ayahnya mengizinkannya meneruskan acara membuka hadiah-hadiah ulang tahunnya yang sempat tertunda kemarin.

Belum sempat Alois membuka mulut, Vincent sudah terlebih dulu bicara, "Alois, kami punya berita bagus untukmu."

"Berita bagus?" ulang Alois

"Ya," Vincent mengangguk dengan senyum terkembang di wajahnya, "sebentar lagi kau akan punya adik!"

"Adik?" ulang Alois dengan kedua mata membulat

"Ya, begitulah." Millenne tersenyum

"Adiknya perempuan atau laki-laki, Pa?" tanya Alois, suaranya penuh dengan antusiasme

"Hahahaha papa juga belum tahu." Vincent mengelus puncak kepala Alois

.

.

Desember

Adalah musim dingin.

Musim yang begitu kusukai.

Desember

Adalah bulan dimana adikku lahir.

Adik yang nantinya tak begitu kusukai.

.

.

Suara tangisan bayi terdengar begitu keras di salah satu kamar di Rumah Sakit Hope di London.

Air mata menetes dari Millenne dan Vincent begitu melihat bayi mereka yang begitu lucu. Dan yang lebih penting terlahir sehat, tidak kurang sedikitpun.

"Ciel…" kata Vincent saat bayi itu akhirnya berada di gendongannya, "Kita namai dia Ciel…"

"Nama yang indah." bisik Millenne

Rasanya udara dingin yang menusuk khas musim dingin tak bisa menyentuh kehangatan momen itu.

.

Si kecil Ciel kini telah tumbuh menjadi seorang bayi lelaki yang sehat, pintar, dan menarik persis seperti kakak tirinya—ah tidak, bahkan bisa dibilang melebihi kakak tirinya. Ciel terlihat seperti versi kecil dari ayahnya, Vincent. Dengan rambut biru gelap keabuan, kepingan iris sapphire cemerlang, dan kulit seputih pualam tanpa cacat.

Hal itulah yang membuat perhatian orang-orang di sekitar mereka jadi teralihkan sedikit demi sedikit pada si bungsu. Dan terkadang membuat si sulung merasa terasingkan. Yah, anak-anak kan memang suka menjadi pusat perhatian.

Pernah di suatu siang Alois membuka kamar orang tuanya perlahan dan mendapati sang ibu sedang menggendong adik tirinya, sedangkan sang ayah sedang tersenyum senang menatap bayi dalam gendongan ibunya. Ah, betapa mereka terlihat begitu sempurna bahkan tanpa kehadiran dirinya. Mereka terlihat begitu bahagia bahkan tanpa kehadiran dirinya. Alois pun mengurungkan niatnya untuk bermanja-manja dengan kedua orang tuanya dan menutup pintu kamar itu kembali. Tangan mungilnya terkepal erat, menandakan suasana hatinya yang buruk.

.

.

Hari itu adalah hari yang menyenangkan

Meskipun ada sedikit ketidakpuasan dalam hatiku

Tapi aku tetap senang

Sayangnya aku sama sekali tidak menyadari

Bahwa hal itu hanyalah gerbang awal untukku

.

.

Tak terasa, sekarang adalah kali kelima bulan Desember dilewati oleh Keluarga Phantomhive setelah kelahiran Ciel Phantomhive. Akhirnya si bungsu pun genap berusia 5 tahun. Dan hari ini adalah tanggal dua puluh lima Desember, hari yang ditunggu oleh kedua bocah lelaki yang tinggal di Mansion Phantomhive.

"Nataaaaaaaaaal!" seru seorang anak lelaki berambut pirang

"Kakak! Tunggu!" panggil seorang anak lelaki lain yang bertubuh lebih kecil

"Ciel! Kau itu lambat sekali!" si pirang berseru

"Kak Aloiiiiiis!" anak lelaki bertubuh mungil yang bernama Ciel itu menggembungkan pipinya

"Baiklah…." Alois, sang kakak, berkacak pinggang sambil menghela nafas

"Ciel, Alois, kalian sedang apa?" tanya Vincent sambil merapikan kerah kemejanya

"Papa! Hari ini saljunya banyak sekali! Aku dan Ciel membuat banyak boneka salju dan peri salju!" jawab Alois penuh semangat

"Kalian mau main di luar? Ya ampun… mana baju hangat kalian?" Millenne menatap kedua anaknya dengan tatapan horor

"Hehehe…" kedua kakak beradik itu nyengir kuda dengan kompak

"Tanaka!" panggil sang kepala keluarga

"Ya, Tuan?"

"Tolong ambilkan pakaian hangat untuk Ciel dan Alois."

"Baik," butler berumur lanjut itu mengangguk sebelum menghilang di lorong

"Oke, Ciel, Alois, papa pergi ke kantor dulu!" Vincent berjongkok untuk menyejajarkan wajahnya dengan wajah kedua anak lelakinya

"Hati-hati ya, papa!" Ciel tersenyum manis pada pria yang sangat mirip dengannya itu. Dan Alois mengangguk.

"Aku pergi dulu!" tak berapa lama kemudian kepala Keluarga Phantomhive itu pun sudah meninggalkan mansionnya.

.

"Tuan muda, ini jaketnya, silahkan," Tanaka kembali sambil membawa dua helai jaket tebal berwarna ungu dan biru.

Dengan cepat, Alois dan Ciel menyambar kedua jaket di tangan butler mereka, lalu berlari ke arah pintu. Tapi belum sempat mereka membuka pintu, pintu itu sudah terbuka duluan.

"Selamat pagi," seorang pemuda jangkung berkacamata melangkahkan kakinya ke dalam Mansion Phantomhive

"Mr. Faustus!" seru kakak beradik itu

"Halo Ciel. Halo Alois." sapa lelaki yang bernama lengkap Claude Faustus itu tanpa mengubah ekspresi wajahnya yang datar

"Ciel, Alois, sepertinya kalian harus menunda acara bermain saljunya." Millenne meletakkan kedua tangannya di puncak kepala anak-anaknya

"Yaaaah… Tidak mau! Aku mau main salju!" Alois melipat kedua lengannya di depan dada

"Alois, jangan egois begitu! Kasihan kan Mr. Faustus, dia sudah repot-repot datang kemari!" tegur Millenne

"Tapi aku bosan belajar terus Maa…" rajuk Alois, "Ya kan, Ciel?" sang kakak berusaha mencari dukungan dari adiknya

"Eeeh… i-iya, Ma…" Ciel mengangguk ragu

"Tidak bisa. Kalian harus tetap belajar," kata Millenne tegas

"Yaaah…" perlahan kedua anak lelaki itu melepaskan jaket mereka dan mengembalikannya ke tangan Tanaka. Kemudian mereka melangkah lesu ke ruang belajar mereka yang berada di dekat ruang keluarga.

Ciel dan Claude sama sekali tidak melihat perubahan ekspresi yang tercipta di wajah mungil Alois.

Dan setelah itu pun pelajaran hari itu dimulai.

.

"Bagaimana bisa racun tikus dipakai untuk meracuni manusia? Apa filmnya bohong?" Alois mengingat-ingat kembali adegan film detektif yang ia lihat tadi. "Tapi, kalau tidak dicoba, tidak tahu kan?" ia tersenyum memikirkan idenya sendiri.

"Maylene, apa di kita punya racun tikus?" tanya sulung Phantomhive pada salah seorang maid penggugup di mansion itu

"R-racun tikus? Tentu saja ada, Tuan Muda." maid berambut keunguan itu mengangguk-anggukkan kepalanya dengan cepat

"Boleh aku minta?" tanya Alois lagi

"Ta-tapi untuk a-apa, Tuan Muda?" Maylene balik bertanya dengan suara kecil

"Untuk eksperimenku." jawab Alois, "Boleh, kan?"

"Te-tentu saja, Tu-tuan Muda!" Maylene membungkuk dalam-dalamnya pada tuan muda ciliknya, "Saya a-akan mengambilkannya se-sebentar," maid itu berjalan ke arah dapur setelah membetulkan letak kacamatanya yang sedikit merosot.

Di balik punggung Maylene yang semakin menjauh, Alois tersenyum—atau lebih tepatnya disebut menyeringai.

.

Sebuah kaleng kecil berwarna kuning pucat berada di tangan mungil Alois. Untuk beberapa saat, Alois membolak-balik kaleng itu. Ternyata kalengnya polos sama sekali. Hanya ada sebuah label kecil lusuh yang bertuliskan 'Racun Tikus'. Alois membuka tutup kaleng kuning itu, memperlihatkan kubus-kubus mini berwarna kehijauan yang terlihat rapuh dan berongga-rongga.

"Ini ya, racun tikusnya?" gumam Alois pada dirinya sendiri

Tangan mungil Alois meraih salah satu kubus mini itu, mendekatkannya ke hidungnya. "Tidak ada baunya," gumam Alois lagi

Kemudian tiba-tiba saja Alois menekankan ibu jari dan telunjuk yang ia gunakan untuk menjepit racun tikus, membuat kubus hijau itu remuk menjadi serpihan-serpihan hijau yang bertebaran di lantai. Alois tersenyum lebar dengan mata yang berbinar-binar. "Persis seperti yang ada di film!" anak lelaki pirang itu tak bisa menyembunyikan semangat dalam suaranya.

"Tapi akan kugunakan untuk siapa racun tikus ini ya?" Alois berpikir, "Ah! Aku tahu! Akan kugunakan untuknya saja!"

.

Keesokan harinya, Mansion Phantomhive terlihat lebih sepi. Mungkin itu karena Vincent dan Millenne sedang pergi untuk menghadiri rapat di kantor Funtom. Jadilah Angeline, adik ipar Vincent yang menjaga kedua anak lelaki itu.

"Maylene, tolong buatkan kopi untuk Mr. Faustus." Alois masuk ke dapur dan berkata pada maidnya itu

"Ba-baik…" maid berambut kuncir dua itu mengangguk

Tak lama kemudian Alois mengambil cangkir itu dari tangan Maylene.

Alois mengaduk secangkir kopi panas yang masih mengepul itu. Senyum masih terkembang di wajah polosnya. Setelah selesai, ia membawa kopi panas itu ke ruang belajar, dimana sang adik dan sang guru sudah menunggu.

"Silahkan Mr. Faustus," Alois tersenyum sambil memberikan cangkir kopi itu pada gurunya

"Terimakasih, Alois," Claude menerima cangkir kopi itu

"Sekarang, boleh kami pergi?" tanya Ciel

"Tentu." jawab Claude sambil menepuk singkat puncak kepala Ciel, masih dengan wajah tanpa ekspresi

"Yeaah! Ayo kita main salju, Ciel!" Alois meraih tangan mungil adiknya dan berlari keluar mansion.

.

"KYAAAAAAAAAAAAAA!"

Kedua pasang sapphire milik Alois dan Ciel membulat. Mereka menjatuhkan bola-bola salju di tangan mereka dan tanpa pikir panjang langsung masuk ke mansion mereka.

Ternyata sumber teriakan berasal dari Maylene yang tengah berdiri mematung di ruang belajar. Maid penggugup itu tak melepaskan pandangannya dari seorang pemuda berkacamata yang tengah tergeletak di tengah ruangan dengan mulut berbusa.

"M-Mr. Faustus! M-Mr. Faustus!" panggil maid itu

"Maylene, ada apa sih? Pakai teriak-teriak segala?" Bardroy, koki di Mansion Phantomhive, yang baru sampai bertanya

"Iya, ada apa sih?" kali ini Finnian, tukang kebun Keluarga Phantomhive, yang bertanya. Sedangkan Tanaka hanya terdiam menatap pemandangan yang ada di depannya.

"M-Mr. Faustus…" bisik Maylene dengan telunjuk yang mengarah ke sosok pemuda berambut hitam yang terbaring tak bergerak di tengah ruangan

"Mr. Faustus?" seru Bardroy dan Finnian bersamaan

"Kyaaaaaaaa!" Angeline yang baru datang langsung berteriak setelah melihat keadaan guru dari keponakan-keponakannya

"Ada apa, Auntie?" tanya Alois yang sedang berjalan ke ruangan itu sambil menggandeng tangan Ciel

"Ciel! Alois! Jangan ke sini!" seru Angeline

"Ada apa sih?" dicegah seperti itu malah membuat rasa penasaran Alois semakin besar. Dengan mudah ia melewati tangan bibinya yang mencoba merangkulnya. Dan kedua sapphire pucatnya menangkap sosok sang guru terbaring tak bergerak di tengah ruangan dengan mulut berbusa.

"Mr. Faustus…?" hanya itu kata-kata yang berhasil lolos dari bibir Alois

"Tuan Muda Alois!" Bardroy menangkap tubuh tuan mudanya dan membawa anak lelaki pirang itu ke ruangan lain

Di saat orang-orang dewasa lain sibuk dengan keadaan Claude, Alois hanya menyeringai. Dan tanpa ia sadari, sepasang mata sapphire yang lain tengah menatapnya bingung.

.

"Menurut polisi, Mr. Faustus meninggal karena keracunan kopi yang ia minum. Jujur saja, ini cukup aneh. Karena menurut Maylene, ia sama sekali tidak memasukkan bahan lain ke kopinya kecuali bubuk kopi, sedikit gula, dan air. Bagaimana menurutmu, Millenne?" jelas Vincent

"Keracunan kopi? Tapi ini benar-benar aneh, kan?" Millenne mengangkat salah satu alisnya

"Aku sudah menanyai Bardroy, Finnian, Tanaka, dan Angeline, tapi tak ada yang tahu soal kopi itu kecuali Maylene, Alois, dan Ciel. Meskipun begitu, Maylene pun mengaku hanya membuat kopi yang seperti biasa." kata kepala keluarga Phantomhive itu

"Begitu? Kalau begitu lebih baik kita tanya dulu pada Alois dan Ciel. Mungkin ada yang mereka ketahui tentang ini." saran Millenne

"Papa, mama, Mr. Faustus kenapa?" Ciel berjalan perlahan-lahan memasuki ruang makan

"Ciel! Kemari, sayang!" Millenne merentangkan tangannya, mengundang si bungsu ke dalam pelukannya. Tanpa ragu, Ciel berlari ke arah pelukan ibunya itu. Kemudian sang ibu mengangkat si bungsu ke pangkuannya.

"Apa yang terjadi pada Mr. Faustus? Kenapa Mr. Faustus tidur di rumah kita? Kenapa di mulutnya ada busa?" tanya Ciel polos

"Sayang, Mr. Faustus tidak akan kembali mengajar kalian lagi. Ia sudah pergi ke tempat yang jauh." jawab Millenne

"Kenapa Mr. Faustus harus pergi? Padahal Mr. Faustus bilang akan ada tes besok, jadi Mr. Faustus akan datang lebih cepat."

"Tes?" ulang Millenne

"Iya, Mr. Faustus bilang begitu sebelum minum kopi yang dibawakan Kak Alois,"

"Alois yang membawakan kopi buatan Maylene?" tanya Vincent tajam, yang dijawab anggukan kecil oleh Ciel

"Ada apa, Pa?"

"Mr. Faustus sudah mati, Ciel," sahut seorang anak lelaki pirang yang berdiri di depan pintu

"Alois?" Vincent menatap anak sulungnya

"Aku tahu, pasti papa sedang mencari penyebab Mr. Faustus mati." Alois melanjutkan

"Mr. Faustus meninggal karena keracunan kopi," kata Vincent datar

"Kalau begitu, pasti sekarang papa sedang mencari orang yang meracuni Mr. Faustus, kan?" tanya Alois

"Alois, dari mana kau belajar hal-hal seperti itu, nak?" tanya Vincent

"Film," jawab Alois singkat, "berhati-hatilah Pa, aku tidak mau papa jadi seperti Mr. Faustus yang malang." Setelah mengatakan hal itu, Alois berlari meninggalkan ruang makan dan berjalan ke kamarnya

"Mama, apa maksud Kak Alois?" tanya Ciel

"Ciel, lebih baik kau berhati-hati pada kakakmu." kata Vincent tegas

Millenne menatap tajam suaminya, "Ciel, sekarang lebih baik kau bermain saja, ya?"

"Iya," Ciel mengangguk sebelum meninggalkan ruangan, menuju ke taman

"Vincent, apa maksudmu mencurigai Alois? Kau tahu kan Alois itu masih anak-anak! Ia tidak mungkin melakukan pembunuhan sekeji ini!" seru Millenne marah

"Millenne, coba pikirkan, pembunuhan ini bukanlah pembunuhan yang rumit. Alois memang masih anak-anak tapi kalau hanya memasukkan racun ke kopi? Semua orang pun bisa melakukannya, kan?" Vincent melipat kedua tangannya di depan dada

"Tapi Alois tidak mungkin melakukannya, Vincent!" seru Millenne, bagaimana pun juga Alois tetaplah anaknya dan ia tak ingin mendengar anaknya sebagai seorang pembunuh

"Aku tidak berniat menuduh Alois yang melakukannya. Tapi sampai saat ini fakta yang berhasil terkumpul adalah seperti ini." akhirnya nada suara Vincent melunak

"Aku hanya berharap pelakunya bukan Alois, Vincent. Aku yakin itu bukan dia." Millenne menutup kedua kelopak matanya

"Aku tahu, aku juga berharap seperti itu," gumam Vincent

.

Tanpa mereka sadari, seorang anak lelaki mendengar seluruh percakapan mereka. Sorot matanya menunjukkan ketidak sukaan.

.

.

.

Apa kau tahu? Seorang iblis bisa datang dengan berbagai wujud?

Bahkan dengan wujud yang tak pernah kau bayangkan sebelumnya.

Seperti malaikat, misalnya.

.

.

.

.

Black Soul: In the Morning, That Home Tutor

To Be Continued to

Black Soul: In the Afternoon, That Man


Next Chapter…

"Hmm… Selanjutnya apa yang akan kulakukan ya?"

"Kenapa perasaanku tidak enak begini?"

"Dah papa, aku pergi dulu ya!"

"Maaf Tuan Muda Ciel, tapi ini adalah perintah dari Master Vincent,"

"Apa papa memang membenciku?"


Tadinya fic ini mau dijadiin oneshot, tapi ga jadi. Karena ternyata banyak hal yang harus ditulis di fic ini—jauh lebih banyak dari yang aku perkirakan di awal. Dan jujur aja, awalnya aku mau bikin fic ini buat fandom Naruto dengan ratenya K. Tapi waktu dipikir-pikir lagi ternyata lebih pas kalau ceritanya dijadiin rate M dan dibuat di fandom Kuroshitsuji. Yah, jadi beginilah jadinya. Dan entah kenapa kalau nulis 'Millenne' pasti keingetan 'Millefeuille'… Jadi laper… -w- *gaploked*

Pasti semuanya udah tau kan siapa pembunuh Claude? Dari awal aku emang ga niat bikin pembunuhnya jadi misteri. Soalnya di cerita ini yang lebih ditekankan tuh pembunuhannya, bukan misteri pembunuhannya. Dan aku tau belum ada yang bloody di chapter ini, tapi aku janji di chapter selanjutnya bakal ada yang bloodynya! So, be prepared! *tampoled*

Eh, aku agak bingung waktu nulisin deskrip Claude yang mati keracunan, jadi aku bikin dengan imajinasi aja. Tapi bener ga sih, orang yang mati keracunan sama racun tikus mulutnya jadi berbusa? Kalau ternyata salah, gomen aja yaa… -_-

Oh iya! Satu lagi! Aku belum bilang ya, setting cerita ini tuh bukan zaman Victoria. Tapi mungkin sekitar tahun 90an sampai 2000an. Jadi udah ga jadul-jadul amat.

Akhir kata nih, boleh minta review?