.

BLACK SOUL

Presented by: Mochiraito

"Mereka bisa menjadi keluarga yang sempurna tanpaku…" Keluarga yang bahagia adalah yang diinginkan setiap orang. "Atau tanpanya…" Begitu juga dengan seorang anak kecil

Kuroshitsuji belongs to Yana Toboso

WARNING! RATED M FOR BLOODY SCENE! DEATH CHARA!

Bagi yang ga kuat baca Bloody/Gore, mending cepet-cepet klik Back aja deh… *ngancem, jotosed*

.


Chapter dua niiiiih!

Hahahaha… Ha! Aku tahu ini telat banget banget banget... Gomen ne... Dan lagi-lagi aku mau bilang, "GOMENASAI MINNA-SAAAN!" aku udah janji bakal bikin adegan bloody di chapter 2, tapi ternyata ga jadi! Soalnya awalnya kan aku mau bikin *piiiip* dibunuh, tapi ga jadi. Jadilah yang dibunuhnya *piiip* (baca aja di bawah! *gaploked*). Kan rasanya kurang pas anak kecil mana Alois ngebunuh plus nyiksa orang dewasa macam *piiiip*, yah, meskipun aku pengen bikin adegan gitu. Jadilah aku bikin pembunuhan simple kaya di chapter 1.

Jadi bloody-nya nyusul aja di chapter 3, okeee?

Happy birthday Alois! Berhubung kemarin ultahnya Alois, jadi ya sekalian aja chapter dua ini aku publish.

Enjoy!


.

Previously on Black Soul chapter 1: In the Morning, That Home Tutor

"KYAAAAAAAAAAAAAA!"

"Keracunan kopi? Tapi ini benar-benar aneh, kan?"

"Mr. Faustus sudah mati, Ciel,"

"Ciel, lebih baik kau berhati-hati pada kakakmu."

"Tapi Alois tidak mungkin melakukannya, Vincent!"

.


.

.

CHAPTER 2: In the Afternoon, That Man

.

Gerbang awal sudah kulewati.

Dan aku sadar, aku sudah tidak bisa kembali lagi.

Ah, lagipula saat itu aku memang tidak ingin kembali.

.

Alois meringkuk di dalam selimutnya. Entah kenapa malam ini terasa sangat dingin, jauh lebih dingin dari biasanya. Anak lelaki itu masih sedikit menggigil walaupun sudah memakai jaket dan sepasang kaus kaki dalam balutan selimutnya. Sepertinya ia akan merasa lebih hangat jika tidur bersama orang tuanya. Jadi, Alois pun menyibak selimutnya perlahan dan menuruni tempat tidurnya yang empuk dengan gerakan perlahan juga.

Dengan hati-hati jari-jari mungil Alois memutar kenop pintu kamar kedua orangtuanya. Kepala Alois yang tertutupi helai-helai pirang melongok ke dalam. Kedua iris sapphirenya bergerak-gerak dalam kegelapan, mencoba mencari dua sosok yang sedang tertidur di atas tempat tidur. Dan ia menemukannya!

Tapi ternyata ia tidak hanya menemukan dua sosok. Melainkan tiga sosok yang sangat dikenalnya. Sejenak ekspresi Alois mengeras, ia tidak begitu suka dengan apa yang ia lihat.

"Ma… Pa…." Alois mengguncang-guncang tubuh orang tuanya

"Ada apa, Alois?" tanya Millenne setengah terbangun

"Boleh aku tidur di sini?" tanya Alois sambil memasang ekspresinya yang paling memelas

"Tentu saja sayang… Tapi akan agak sempit karena adikmu juga tidur di sini." Millenne menyibak selimutnya, mengajak Alois meringkuk di dalamnya

Untuk beberapa saat, ekspresi Alois kembali mengeras. Tapi untunglah cahaya di ruangan itu benar-benar tidak memadai. Jadilah Millenne tidak melihat perubahan di wajah anak sulungnya.

"Alois, kau kan sudah besar. Kenapa kau tidak tidur di kamarmu sendiri?" tanya Vincent

"Di kamarku dingin, Pa," rajuk Alois

"Tapi di sini sempit, Alois."

"Vincent, jangan begitu," kata Millenne

"Tapi di sini benar-benar sempit, Millenne." sahut Vincent

Mendengar perkataan Vincent, Alois sadar bahwa keberadaannya tidak diinginkan oleh sang ayah. Jadi tanpa berkata apa-apa lagi, Alois langsung berlari meninggalkan kamar tidur orang tuanya.

"Alois!" panggil Millenne, "Vincent, kau itu apa-apaan sih?"

"Sudahlah, Millenne, sekarang kita tidur lagi saja." Setelah berkata seperti itu, Vincent menarik selimut sampai menutupi kepalanya dan akhirnya terdengarlah suara dengkuran halus dari kepala keluarga Phantomhive itu.

.

Di kamarnya, Alois menggigil di dalam balutan selimut tebalnya. Meskipun berlapis-lapis pakaian sudah ia kenakan di balik jaketnya, ditambah dengan sepasang kaus kaki dan sarung tangan yang melekat erat di kedua tangan dan kakinya, Alois tetap tidak bisa mengusir dinginnya malam itu. Berbagai perasaan bercampur aduk dalam diri Alois, membuat dadanya sesak.

Ia marah. Ia kesal. Ia iri. Ia cemburu.

Ia marah pada ayahnya yang mengusirnya.

Ia kesal pada ibunya yang tidak mengejarnya.

Ia iri pada adiknya yang diperbolehkan tidur bersama kedua orang tuanya.

Ia cemburu pada adiknya yang berada di pelukan kedua orang tuanya.

Dan ia merasa begitu kesepian.

Tanpa terasa butir-butir bening yang hangat mulai meleleh dari kedua sudut mata Alois. Ternyata berbagai emosi yang bergejolak dalam dirinya membuat Alois menangis juga. Akhirnya sulung Phantomhive itu pun tertidur karena capek menangis.

.

"Di film, orang yang wajahnya ditutup bantal bisa mati karena kehabisan nafas." gumam Alois pada dirinya sendiri, "Apa benar, ya?"

Sejenak Alois menggaruk-garuk kepalanya yang tertutupi oleh rambut pirang. Akhirnya anak lelaki itu menjentikkan jarinya, "Pasti benar! Soalnya yang waktu itu* pun benar!"

Alois turun dari tempat tidurnya, lalu memakai sweater ungu tuanya. Kemudian ia pun duduk di pinggir tempat tidurnya sambil menyusun rencana.

"Tuan Muda?" Tanaka membuka pintu kamar Alois dengan perlahan. Dan butler yang memiliki hobi minum teh itu pun sedikit terkejut mendapati tuan mudanya sudah sepenuhnya bangun. "Tuan Muda Alois, Anda sudah bangun?"

"Tanaka?" pemilik kamar itu melirik ke arah sang butler dengan tatapan sesayu mungkin

"Tuan Muda, Nyonya Millenne sudah memanggil Anda untuk sarapan bersama." Tanaka sedikit membungkuk

"Nanti saja, aku sedang sedikit pusing," Alois merebahkan tubuhnya kembali ke kasur

"Anda tidak apa-apa, Tuan Muda Alois?" Tanaka berjalan ke arah tuan mudanya dan meletakkan telapak tangannya ke atas dahi tuan mudanya yang tertutup poni pirang. "Suhu tubuh Anda sepertinya normal,"

"Tapi aku pusing, Tanaka," sahut Alois sambil menggulingkan tubuhnya

"Baiklah, saya akan memberi tahu Nyonya," Tanaka mundur dua langkah, kemudian membungkuk untuk terakhir kali dan meninggalkan tuan mudanya sendiri

"Hmm… Selanjutnya apa yang akan kulakukan ya?" tanya Alois pada dirinya sendiri

.

Millenne memasuki kamar bernuansa violet milik anak sulungnya, "Alois, apa kau tidak apa-apa?"

"Mama?" Alois yang tengah berbaring di kasurnya menoleh sedikit ke arah sumber suara

"Tanaka bilang kau tidak enak badan,"

"Hmm," gumam Alois sambil menyembunyikan wajahnya di kasur

"Sayang, apa kau tidak apa-apa?" tanya Millenne

"Hmm,"

"Sayang, hari ini mama harus pergi ke kantor cabang Funtom di Birmingham untuk melanjutkan rapat yang kemarin dilakukan papamu di kantor pusat. Mungkin mama baru akan kembali empat atau mungkin lima hari lagi. Tapi mama janji, mama akan pulang secepatnya." Millenne mengelus pelan kepala anak sulungnya

"Memangnya papa kenapa?" tanya Alois sambil duduk dari posisinya

"Papamu demam," jawab Millenne, "mungkin karena kemarin dia tidak makan malam dan kau tahu sendiri kan bagaimana dinginnya?"

Alois tercekat, ia tidak ingin mengingat kejadian semalam—saat ia diusir oleh sang ayah. Sulung Phantomhive itu langsung melemparkan kembali tubuhnya ke kasur dengan posisi telungkup.

"Mama pergi dulu, ya. Mama sudah minta Hannah membawakan sarapanmu ke sini." Kemudian Millenne pun meninggalkan kamar bernuansa violet itu dan tak lama kemudian Alois bisa melihat ibunya sudah masuk ke limosinnya dari jendela kamarnya.

"Haah… Sepertinya aku harus mengambil makananku sendiri," gumam Alois pada dirinya sendiri

.

Alois masuk ke dapur dengan langkah gontai, mencoba berakting sedang sakit.

"Ah, Tuan Muda! Selamat pagi, Tuan Muda!" maid berambut perak bernama Hannah menyapa tuan mudanya

"Hannah, mana sarapanku?" tanya Alois dengan suara yang dibuat-dibuat lemas

"Baru saja akan saya antarkan ke kamar Anda!" jawab Hannah sambil mengangkat sebuah baki kecil berisi sepiring roti bakar, dua botol kecil selai, dan segelas susu yang masih hangat.

"Aku makan di sini saja," kata Alois

"Apa Anda tidak apa-apa, Tuan Muda Alois?" Alois hanya menjawab pertanyaan itu dengan anggukkan singkat

"Hannah, papa masih tidur ya?" tanya Alois sambil mengaduk susu

"Saya rasa sudah bangun, Tuan. Karena tadi Nyonya Millenne membawa bubur ke kamar. Tapi Tuan Vincent memang belum keluar dari kamar," jelas Hannah

"Kalau Ciel mana?" tanya Alois lagi sebelum menyuapkan rotinya yang sudah dilumuri selai jeruk

"Tuan Ciel sedang ada di ruang bermain,"

"Begitu…" gumam Alois

Alois mengangguk-anggukkan kepalanya, lalu menyantap sarapannya dalam diam.

.

Sinar matahari yang samar-samar menyinari London di tengah musim dingin itu tampaknya membuat suasana hati Vincent bertambah buruk. Ia tidak suka berbaring seharian di dalam kamar, apalagi dengan keadaan kepalanya yang sangat pusing. Jadi apa boleh buat, ia harus mengikuti kata-kata istrinya untuk tetap beristirahat sampai demamnya turun.

Vincent mengganti posisi tidurnya dari terlentang jadi menghadap ke kanan. Sesuatu dalam hatinya begitu gelisah. Entah apa yang membuat firasat kepala Keluarga Phantomhive itu benar-benar tidak enak.

Kedua iris sapphire Vincent menatap langit-langit kamarnya yang berwarna putih. Beberapa kali ia coba melayang ke dunia mimpi, tapi percuma. Berapa kali pun ia memejamkan mata, ia tetap tak bisa tertidur. Jantungnya berdegup kencang, seakan-akan mencoba memberontak keluar dari rongga dadanya.

"Haaah… Ada apa ya? Kenapa perasaanku tidak enak begini?" kata Vincent pada dirinya sendiri sambil meletakkan telapak tangannya di dada kirinya

"Apa hanya perasaanku saja ya?" gumam Vincent, "Sudahlah! Lebih baik aku tidur!"

Meskipun berkata seperti itu, Vincent belum juga mencapai dunia mimpinya. Tapi untunglah, di usahanya yang kesekian kali akhirnya pria berambut biru keabuan itu berhasil mencapai dunia mimpinya.

.

Ciel yang sedang menyusun balok-baloknya dikagetkan oleh sang kakak. "Hayoo sedang apa kau, Ciel?" seru Alois sambil menepuk bahu Ciel keras-keras dari belakang

"Kak Alois!" senyum Ciel langsung mengembang begitu melihat sang kakak yang berada di belakangnya

"Mau main salju?" tanya Alois

"Tapi mama bilang kita tidak boleh main di luar, kak…" kata Ciel dengan bibir yang sedikit dimajukan

"Kenapa?"

"Tidak tahu," Ciel menggeleng, "Lagi pula tadi mama juga bilang kalau Kak Alois sedang sakit."

"Aku sudah tidak apa-apa kok. Hmmm ya sudah, kalau begitu kita main saja di sini!"

"Ehm, selamat pagi," sapa sebuah suara baritone yang pasti dimiliki oleh seorang pria

"Siapa kau?" tanya Alois pada seorang pria muda yang sepertinya seumuran dengan Claude, berambut hitam legam dan beriris merah

"Saya Sebastian Michaelis, guru pengganti untuk kedua Tuan Muda Phantomhive. Saya dengar Mr. Claude Faustus mengalami kecelakaan yang tidak menyenangkan beberapa hari yang lalu. Dan Mrs. Phantomhive langsung meminta seorang guru pengganti bagi anak-anaknya, jadi di sinilah sekarang saya berada." jelas pria muda itu dengan senyum di wajahnya

"Yaaah… padahal kupikir bisa bermain seharian…" gumam Alois

"Baiklah kita mulai pelajaran hari ini dengan sedikit tes," Sebastian mengeluarkan beberapa lembar kertas dan memberikannya pada Alois dan Ciel. Dan kedua anak bermarga Phantomhive itu pun bergumam sambil mengerutkan keningnya.

.

Bulan menggantung anggun di langit Kota London yang gelap. Malam itu tak ada yang spesial di Mansion Phantomhive kecuali sang kepala keluarga yang absen dari meja makan. Jadilah kedua Phantomhive muda yang tersisa memakan hidangan yang ada di hadapan mereka tanpa ditemani orang tua mereka.

Bagi sang kakak, Alois, itu bukanlah masalah besar. Ia justru senang mendapati Vincent masih merasa kurang sehat dan tidak ikut makan malam dengan mereka berdua. Ah, sebenarnya justru Alois lebih tahu alasan apa yang membuat sang ayah tidak bisa berada di meja makan bersamanya dan Ciel saat ini. Dan alasan itulah yang membuat bibir Alois tak henti-hentinya menyunggingkan senyumannya.

.

*Flashback*

"Papa?" panggil Alois

Namun sulung Phantomhive itu hanya mendapat jawaban berupa dengkuran halus dari sang ayah. Alois menyeringai, ini emang saat yang sangat tepat untuknya. Dengan langkah seringan kucing, Alois mengendap-endap mendekati ranjang king size milik sang kepala Keluarga Phantomhive. Ia sudah membulatkan tekadnya untuk melakukan ini.

Sejenak Alois memerhatikan sosok sang ayah yang sedang terbaring di kasurnya yang empuk. Ah begitu miripnya sang ayah dengan Ciel. Rambut biru keabuannya, kulit porselennya, iris sapphirenya, bahkan sifat keduanya benar-benar mirip. Dan justru itulah yang membuat kepalan tangan Alois semakin mengeras.

Kenapa Ciel harus begitu mirip dengan Vincent? Apa karena ia adalah anak kandung Vincent?

Kenapa Vincent—ah tidak, semua orang begitu menyayangi Ciel bahkan melebihi dirinya? Apa karena Ciel adalah anak kandung Vincent?

Kenapa Vincent tak menginginkan keberadaannya? Apa karena ia bukan anak kandung Vincent?

Buku-buku jari Alois memutih akibat kepalan tangannya sendiri. Kedua alis Alois saling bertautan, dan dari kedua iris sapphirenya tersirat kemarahan yang menggelegak.

Ia tidak suka dianaktirikan oleh siapapun, meskipun ia memang bukanlah anak kandung Vincent.

Ia tidak suka diperlakukan tidak adil. Terutama oleh orang tuanya.

Masih dengan langkah yang seringan mungkin, Alois berjalan ke sisi lain ranjang besar itu. Dengan gerakan sehati-hati mungkin, ia menarik salah satu bantal. Sejenak Alois memeluk bantal itu erat-erat. Kemudian dengan perlahan ia meletakkan bantal itu tepat di atas wajah sang ayah. Kemudian dengan segenap kekuatannya, Alois menekan bantal itu di wajah Vincent keras-keras.

"Umph!" suara seruan Vincent teredam oleh bantal yang berada tepat di wajahnya.

Kedua tangan Vincent pun tak diam, keduanya menggapai-gapai ke udara, mencoba menarik sesuatu yang menghalangi nafasnya. Sayangnya Alois sudah mengantisipasi hal ini, jadi anak berambut pirang itu menekan bantal itu semakin keras dan semakin keras sampai akhirnya perlawanan dari sang ayah pun melemah dan akhirnya kedua tangan sang ayah pun terkulai di samping tubuhnya yang masih terbaring.

Seringai terbentuk di bibir tipis anak itu. Dengan hati-hati sulung Phantomhive itu menarik bantal dari wajah sang ayah. Setelah meletakkan bantal di tempat semula, Alois memandang wajah sang kepala keluarga Phantomhive.

"Maaf ya, papa… Aku hanya kesal melihat papa lebih sayang pada Ciel." Alois mengelus poni yang menutupi dahi sang ayah yang sudah tak bernyawa, "Lagi pula kalau papa boleh mengusirku saat papa tidak menginginkan keberadaanku, maka aku juga boleh mengusir papa dari hidupku saat aku tidak menginginkan keberadaan papa, kan?"

Alois terkikik geli saat menatap wajah sang ayah—ah, sepertinya pemandangan itu memang pemandangan yang paling ingin disaksikannya saat ini. Benar-benar pemandangan yang indah!

"Dah papa, aku pergi dulu ya!" bisik Alois di telinga Vincent sebelum meninggalkan kamar orang tuanya.

*End of Flashback*

.

"Kenapa kakak tersenyum seperti itu dari tadi?" Ciel bertanya pada kakaknya

"Apa? Benarkah?" Alois balik bertanya, yang dijawab oleh anggukan dari sang adik.

"Aku hanya mengingat hal yang lucu," jawab Alois sambil memutar-mutar garpunya

"Apa itu?" tanya Ciel setelah menelan potongan ayam panggang yang menjadi menu makan malam

"Bukan apa-apa kok,"

Setelah itu kesunyian kembali menyelimuti ruang makan Keluarga Phantomhive

.

"Tidak boleh, Tuan Muda, Anda harus tidur di kamar Anda sendiri," suara Tanaka menyapu pendengaran Alois

"Tapi aku ingin tidur sama Kak Alois!" sahut suara lain yang dikenali Alois sebagai suara Ciel

"Tidak boleh, Tuan Muda Ciel." kali ini ketegasan terdengar dalam suara butler Keluarga Phantomhive itu

"Harus boleh!" Ciel setengah berteriak

"Maaf Tuan Muda Ciel, tapi ini adalah perintah dari Master Vincent**,"

"Yaaaah…" sahut Ciel

Kemudian terdengarlah suara langkah-langkah kaki yang semakin menjauh.

.

"Perintah dari papa?" bisik Alois pada dirinya sendiri, "Kenapa papa tidak ingin Ciel dekat denganku?"

Alois melangkahkan kakinya ke arah tempat tidurnya dan merebahkan tubuhnya di atas kasurnya yang empuk. "Apa papa memang membenciku?"

"Hahaha… sepertinya pilihanku untuk membunuh papa itu benar, ya?"

.

.

.

Apa kau tahu? Seorang iblis bisa datang dengan berbagai wujud?

Bahkan dengan wujud yang tak pernah kau bayangkan sebelumnya.

Seperti malaikat, misalnya.

.

.

.

.

Black Soul: In the Afternoon, That Man

To Be Continued to

Black Soul: In the Midnight, That Kid


Next Chapter…

"Benar… hanya itu satu-satunya cara…"

"Kenapa semua orang lebih menyukaimu?"

"Tenang saja, aku akan melakukannya perlahan-lahan."

"GYAAAAAAAAAAAA!"

"Maaf, Ciel…"

"Hahahahaha ternyata memang menyenangkan, ya kan, Ciel?"


#Note#

*): Maksud Alois tuh pembunuhan Claude yang idenya dia dapet dari film detektif. Pembunuhan Vincent kali ini juga idenya dia dapet dari film detektif yang sama.

**): Maksudnya perintah Vincent ke Tanaka waktu Vincent masih hidup. Dan di sini Tanaka (atau yang lain kecuali Alois) sama sekali ga tau kalau Vincent udah mati, yang mereka tahu Vincent hanya lagi istirahat di kamarnya gara-gara demam.

Hahaha iya iya, aku tau pembunuhannya ga asik bangeet… Aku janji deh bakal bikin yang lebih bagus di chapter 3 nanti!

Ah sudahlah, yang pasti begitu deh.

.

Reviewnya jangan lupa yaaaa ^w^