.
BLACK SOUL
Presented by: Mochiraito
"Mereka bisa menjadi keluarga yang sempurna tanpaku…" Keluarga yang bahagia adalah yang diinginkan setiap orang. "Atau tanpanya…" Begitu juga dengan seorang anak kecil
Kuroshitsuji belongs to Yana Toboso
WARNING! RATED M FOR BLOODY SCENE! DEATH CHARA!
Bagi yang ga kuat baca Bloody/Gore, mending cepet-cepet klik Back aja deh… *ngancem, jotosed*
.
Ini dia chapter tiga!
Yohoho… Akhirnya datang juga…
Aku seneng sekaligus bingung nulis chapter ini! Akhirnya chapter jadi juga! Meskipun masih banyak kekurangannya, semoga Readers-san mau maafin aku—hehehe maklum, masih baru nih kalau dalam soal bikin bloody scene!
Enjoy!
.
Previously on Black Soul chapter 2: In the Afternoon, That Man
"Hmm... Selanjutnya apa yang akan kulakukan ya?"
"Kenapa perasaanku tidak enak begini?"
"Dah papa, aku pergi dulu ya!"
"Maaf Tuan Muda Ciel, tapi ini adalah perintah Master Vincent."
"Apa papa memang membenciku?"
.
.
.
CHAPTER 3: In the Midnight, That Kid
.
Semakin dipejamkan, kedua mata Alois malah terasa semakin ingin terbuka. Ia benar-benar tidak bisa tidur, entah karena alasan apa. Anak lelaki itu menarik selimut ungu gelapnya sampai sebahu dan lagi-lagi mencoba memejamkan matanya. Tapi nihil, usahanya sama sekali tak membuahkan hasil.
Mungkin segelas susu hangat bisa membuatnya sedikit lebih mengantuk. Jadi ia putuskan untuk berjalan keluar dari kamarnya, menuju ke dapur.
.
Mansion Phantomhive sangat gelap, hanya ada sedikit penerangan yang berasal dari lampu-lampu dinding yang cahayanya kecil. Dengan langkah perlahan, Alois berjalan di sepanjang koridor berlapis karpet merah sambil berpegangan pada dinding yang dicat putih gading.
Sesampainya Alois di dapur, sulung Phantomhive itu pun mengambil segelas air dan langsung meminumnya. Pandangan kedua manik sapphirenya terarah ke meja makan panjang yang biasa ia pakai untuk makan bersama-sama dengan keluarganya. Langsung saja pikirannya melayang jauh ke masa lalu, ke saat-saat dimana ia, Vincent, dan Millenne masih menjadi keluarga bahagia yang sempurna.
Alois teringat saat ulang tahunnya yang kelima. Ia teringat tumpukan hadiah menjulang tinggi dan semuanya diperuntukkan bagi dirinya. Ia teringat kue ulang tahunnya yang berukuran super besar. Ia teringat pada senyum ramah kedua orang tuanya. Ia teringat hangatnya pelukan sang ibu dan nyamannya gendongan sang ayah. Ia teringat betapa bahagia dirinya dulu.
Ah, seandainya masa-masa seperti itu bisa terulang kembali. Ingin rasanya ia kembali ke masa-masa itu dan tetap berada di sana. Meskipun itu artinya ia tidak akan bertemu dengan Ciel, tapi itu bukanlah masalah baginya.
Ia begitu rindu pelukan hangat ibunya. Ia begitu rindu belaian lembut ayahnya. Ia begitu rindu gendongan nyaman ayahnya. Ia begitu rindu kecupan sayang ibunya. Ia begitu rindu kasih sayang kedua orang tuanya.
Asalkan bisa tetap mendapatkan kasih sayang dari kedua orang tuanya, ia rela melakukan apapun. Ya, benar! Ia rela melakukan apapun! Apapun! Meskipun itu artinya ia harus melenyapkan keberadaan sang adik.
"Benar… Hanya itu satu-satunya cara…" gumam Alois pada dirinya.
.
.
.
BLACK SOUL
Presented by: Mochiraito
"Mereka bisa menjadi keluarga yang sempurna tanpaku…" Keluarga yang bahagia adalah yang diinginkan setiap orang. "Atau tanpanya…" Begitu juga dengan seorang anak kecil
Kuroshitsuji belongs to Yana Toboso
WARNING! RATED M FOR BLOODY SCENE! DEATH CHARA!
Bagi yang ga kuat baca Bloody/Gore, mending cepet-cepet klik Back aja deh… *ngancem**jotosed*
.
.
.
Sebilah pisau berkilat di tangan Alois. Sejenak anak lelaki berambut pirang memandangi bayangan dirinya yang terpantul di pisau mengilat itu. Ia membayangkan sesuatu, ya, sesuatu yang membuat dirinya tak bisa berhenti menyeringai.
Apakah yang ada dalam pikirannya sehingga anak yang memiliki senyum bak malaikat itu bisa menyeringai bak iblis? Pasti pertanyaan itu akan terlontar dari mulut—atau setidaknya muncul di pikiran seseorang yang melihat Alois saat itu.
Jawabannya cukup sederhana, Ciel. Ya, Ciel-lah jawaban dari pertanyaan itu.
Alois membayangkan dirinya sedang melakukan sesuatu yang menurutnya 'menyenangkan' dengan Ciel. Sulung Phantomhive itu terkikik geli sambil mengayun-ayunkan pisaunya ke depan sambil membayangkan tubuh Ciel yang ringkih. Ia menghujamkan pisau di tangannya ke tubuh Ciel imajinernya. Ah, rasanya ia benar-benar senang! Sejenak gerakan Alois terhenti, tampaknya anak lelaki itu sedang berpikir.
Apa ia harus membunuh Ciel?
Apa Millenne akan menyayanginya seperti dulu jika tahu ia telah membunuh Ciel?
Apa ia tidak akan menyesal jika sudah membunuh Ciel?
Apa ia bisa membunuh Ciel?
Ya, ia harus membunuh Ciel.
Kalau soal menyesal, ia yakin tidak akan. Asalkan bisa mendapatkan kasih sayang dari Millenne, ia yakin ia tidak akan menyesal. Alois menganggukkan kepalanya yang tertutup helai-helai pirang dan menyelinap keluar dari dapur setelah mengambil segulung lakban di atas konter.
.
Suasana mansion itu begitu sunyi, yang terdengar hanya desau angin yang mengetuk-ngetuk jendela serta suara langkah-langkah kecil yang semakin mendekat ke kamar anak bungsu pasangan Vincent dan Millenne Phantomhive. Tangan kiri Alois menggenggam gagang pisau yang terbuat dari kayu erat-erat. Jantungnya bergemuruh, kakinya tidak berhenti melangkah, telinganya mendengarkan setiap bunyi yang mampu ditangkap gendang telinganya.
Setelah rasanya bertahun-tahun, sang sulung Phantomhive pun mencapai kamar sang bungsu Phantomhive. Cahaya tampak berusaha keluar dari kamar itu melalui sela-sela pintu. Ia tahu Ciel memang tidak bisa tidur dalam keadaan gelap gulita. Dengan tangan yang sedikit gemetar, Alois memutar knop pintu kamar Ciel. Mencoba tak membuat suara, ia membuka kamar adiknya dan menyelinap masuk ke sana.
Sesosok anak lelaki berparas manis tengah tenggelam dalam dunia mimpinya di balik selimut berwarna biru tua. Kedua irisnya yang sewarna sapphire kini tak tampak karena tertutup oleh kulit kelopak matanya yang seputih porselen. Sang kakak, Alois, berdecak. Betapa sempurnanya adiknya ini. Begitu mungil, begitu manis, begitu memesona. Bahkan seakan-akan ia bukanlah manusia, melainkan sebuah boneka porselen yang dibut sempurna seperti manusia.
Tapi justru karena itulah Alois semakin mempererat genggamannya pada gagang pisau yang berada di tangannya. "Kenapa semua orang lebih menyukaimu?" bisik Alois
Perlahan, tangan mungil anak berambut pirang itu mengelus helai-helai biru tua yang menutupi kepala sang adik. Sekilas pemandangan itu hanya akan tampak seperti seorang kakak yang sedang menjaga adik tersayangnya yang sedang tertidur lelap. Namun perkiraan seperti itu akan segera lenyap begitu melihat ekspresi yang ditampakkan oleh sang kakak. Di matanya yang sebiru langit terpancar warna kelam dari dendam yang ada di hatinya dan di bibirnya tampak sebuah seringai yang lebih pantas dimiliki oleh seorang iblis tanpa hati.
Alois mengeluarkan gulungan lakban hitam yang tadi sempat ia masukkan ke dalam sakunya. Kemudian dengan hati-hati mengambil sepotong kecil lakban yang dengan segera ia tempelkan menutupi kedua bibir merah muda Ciel. Kaget, Ciel pun sontak membuka kedua sapphirenya.
"Hai, Ciel!" sapa Alois dengan nada riang khasnya. Terdengar Ciel mencoba mengatakan sesuatu, namun kata-katanya lenyap tertelan mulutnya yang sudah tertutup lakban.
"Apa? Aku tidak bisa mendengarmu, adikku sayang..." Alois memberi penekanan pada dua kata terakhirnya
Ciel menggerakkan tangannya ke arah sang kakak. Namun sepertinya gerakan itu sudah lebih dahulu diprediksi oleh Alois sehingga anak lelaki pirang itu bisa dengan mudahnya menangkap tangan kurus adiknya. "Jangan bersikap kasar pada kakakmu sendiri, Ciel... Tampaknya kau sudah jadi anak yang nakal ya?" Refleks, Ciel menggeleng
"Kau tahu kan, kalau anak nakal harus dihukum?" Alois mengeluarkan pisau yang tadi sempat ia sembunyikan di balik punggungnya. Bilahnya berkilat terkena cahaya bulan yang remang-remang. Melihat kilatan itu, bulu kuduk Ciel meremang. Ini bukan main-main, kakaknya serius! Entah karena apa, tiba-tiba saja Ciel kehilangan seluruh tenaganya. Seakan-akan seluruh tubuhnya menggigil ketakutan.
"Menurutmu darimana aku harus memulai hukuman untukmu?" tanya Alois sebelum menjilat bilah pisau itu. Kedua sapphire Ciel hanya menatapnya dengan ngeri.
"Bagaimana kalau matamu saja?" dengan gerakan secepat kilat, Alois mengarahkan ujung bilah pisau itu ke depan mata kanan Ciel, "Banyak orang bilang matamu itu indah seperti sapphire. Padahal kurasa lebih indah mataku dibandingkan dengan matamu!" Tiba-tiba Alois menjatuhkan pisaunya ke tempat tidur Ciel.
"Sepertinya akan lebih asik kalau tanpa pisau, ya kan Ciel?" bibir tipis Alois menyunggingkan seringai lebar yang semakin membuat Ciel ngeri.
Tanpa basa-basi Alois langsung menusukkan jari telunjuk dan jari tengahnya ke mata kanan Ciel. Ia membuat gerakan memutar yang berulang-ulang di dalam rongga mata adiknya. "Mmmmpmh..." jeritan Ciel teredam oleh lakban yang masih setia tertempel di bibirnya. Darah sudah membuat sungai di pipi pualam Ciel, lalu perlahan mengalir ke dagunya dan berakhir menetes ke selimut serta sprei kasur bungsu Phantomhive itu. Alois menusukkan kedua jarinya lebih dalam dan tertawa terbahak-bahak, "Hahahahahahaha ini menyenangkan!" Setelah menusukkan jarinya ke rongga mata Ciel, akhirnya ia berhenti.
"Bagaimana hukumanku, Ciel?"
"Ugh..." Ciel menutupi mata kanannya yang terus mengeluarkan darah sambil menundukkan kepalanya
Alois memegang dagu Ciel dan memaksa adiknya untuk mendongakkan kepalanya, "Tatap mata orang yang sedang berbicara padamu, Ciel!" Sedangkan Ciel hanya meringis menanggapinya, "Sekarang kau benar-benar anak nakal Ciel..."
"Kenapa semua orang lebih menyukaimu?" Alois mengambil pisau yang tergeletak begitu saja di atas selimut tebal milik adiknya, "Apa hukumanmu masih kurang?" Ciel berusaha menggelengkan kepalanya, namun entah kekuatan apa yang menahan persendiannya. Akhirnya yang dilakukan Ciel hanya diam sambil menggigit bibirnya untuk menahan rasa sakit yang terus berdenyut.
"Diam artinya iya," Alois kembali mengembangkan seringaian iblisnya, "Tenang saja, aku akan melakukannya perlahan-lahan."
Dengan tangan gemetar, Alois menyayat kulit tangan Ciel yang seputih pualam, membuat likuid merah pekat meluncur turun dari luka yang ia buat. "Hhmpppph!" Belum puas, Alois kembali menyayat tangan adik tersayangnya, kali ini di bagian tangan yang lain. Jeritan tertahan kembali keluar dari mulut Ciel.
Sapphire pucat Alois menangkap jemari Ciel yang mungil. Kemudian dengan gerakan cepat, anak lelaki yang tampaknya telah kehilangan akal sehatnya ini langsung memotong telunjuk dan jari tengah tangan kanan adiknya yang disusul dengan ibu jari dan telunjuk kiri. "HHMPPPH!" Aroma darah semakin menguar di kamar mewah yang didominasi warna biru tua itu. Tampaknya justru aroma darah malah membuat Alois semakin bersemangat akan aksinya.
Sang kakak mendorong adiknya dengan kasar ke lantai berlapis karpet beludru biru tua. "Ugh!" Alois sudah menulikan telinganya dari rintihan kesakitan sang adik. Perlahan ia bangkit dari tempat tidur Ciel yang empuk dan berjalan menuju adiknya yang tengah meringkuk kesakitan di karpet. Sepasang sapphire pucat Alois bertemu dengan sebelah sapphire Ciel. Kini wajah adiknya yang manis itu tengah penuh kesakitan.
"Kalau kau hanya diam sih tidak akan seru. Pasti kau juga ingin menikmati permainan ini kan, Ciel?" Alois terkikik. Ciel mencoba menggelengkan kepalanya. Namun terlambat, Alois sudah keburu mencabut lakban yang tadinya menempel erat di bibirnya dengan kasar. "Akh!" Kini darah segar terlihat di sudut bibir Ciel. Tampaknya bungsu Phantomhive itu tadi menggigit bibirnya terlalu keras saat ia menahan sakit akibat perlakuan kakaknya.
"Selanjutnya apa kau punya ide, Ciel?" tanya Alois dengan wajah tanpa dosa
"Kenapa... kak...?" lirih Ciel, bulir air mata tampak di sudut mata kirinya
Alois memainkan pisau yang sudah berlumuran darah adiknya, "Hmm sebenarnya itu bukan jawaban yang kuinginkan... Tapi kalau kau memang ingin tahu, biar kujelaskan..." Dengan gerakan cepat Alois menghampiri tubuh adiknya dan menggoreskan ujung bilah pisaunya pada pipi kiri Ciel, "Aku membencimu,"
Tubuh Ciel tampak semakin gemetar. Ia bisa melihat sinar kelam yang dipancarkan sulung Phantomhive itu. Alois menarik piyama yang dikenakan Ciel sehingga tubuh mungil adiknya terlihat jelas. Kemudian ia memainkan pisau yang sudah berlumur darah itu di perut Ciel tanpa mengenainya, "Pertama kau mengambil seluruh pelayan dan Mr. Faustus," sebuah goresan tak begitu dalam ditorehkan Alois, "Aaah!"
"Lalu kau merampas papa," goresan lain kembali ditorehkan, kali ini lebih dalam, "Aaaaah!"
"Terakhir kau mencuri mama," kali ini goresan berganti menjadi hujaman keras, "AAAAAAAAAAH!" darah pun sudah mengotori kulit wajah Alois yang juga seputih pualam.
"Menurutmu, apa alasanku itu cukup untuk membencimu?" anak berambut pirang pucat itu menarik pisaunya dari perut adiknya. Sang adik, Ciel, sama sekali tak mengatakan apa-apa. Ia hanya merintih menahan rasa sakit yang terus menderanya dan kini bahkan bertambah.
Perlahan Alois menjilat bilah pisaunya yang kini berwarna merah pekat, "Kenapa, Ciel sayang? Kau kesakitan ya?" Air mata yang keluar dari mata kiri Ciel tampak sudah bercampur dengan darah yang keluar dari luka goresan di pipi kirinya. Kedua telinga Alois dapat mendengar isakan dari tenggorokan anak berambut biru tua itu.
"Kurasa ini belum ada apa-apanya dibandingkan dengan sakit yang kurasakan, adikku sayang..." Alois mengembangkan senyumnya lagi. Sang sulung Phantomhive terus membuat luka-luka baru di perut bungsu Phantomhive. Kemudian tanpa ampun membuat luka goresan besar di bagian paha kanan sang adik. "GYAAAAAAAAAAAA!" Nafas Ciel mulai terengah-engah. Tubuh mungilnya sudah tidak mampu menahan seluruh rasa sakit yang ia rasakan. Sepertinya ia bahkan sudah tak bisa lagi merasakan alat-alat geraknya. Rasanya syaraf-syarafnya sudah melupakan cara kerjanya yang bisa diingat saraf-sarafnya hanyalah bagaimana menghantarkan seluruh rasa sakit yang menerjang Ciel bagai gelombang ke otak anak itu.
Alois bangkit dari posisinya dan menatap ke bawah, ke arah tubuh adiknya yang sudah bermandikan darahnya sendiri. Tampaknya sapphire pucat Alois cukup puas menatap pemandangan yang tersaji di hadapannya. "Maaf, Ciel..." bisik anak lelaki itu, untuk sesaat tersirat kesedihan dalam tatapan sapphire pucatnya
Sang pemilik nama hanya menatap kakaknya dengan tatapan lemah. Jujur, bahkan untuk menarik nafas pun Ciel harus berjuang keras. Bayangkan saja betapa banyak energi yang dibutuhkan Ciel untuk merespon permintaan maaf sang kakak dengan kata-kata? Lagi pula sang bungsu Phantomhive itu tak mengerti maksud dari permintaan maaf sang kakak. Bukankah Alois membenci Ciel? Bukankah karena kebencian itu ia lakukan semua ini pada Ciel? Lalu kenapa sekarang ia meminta maaf dengan tatapan sendu?
"Ukh..." Ciel mencoba untuk menggerakkan tangannya, namun tak jadi karena rasa sakit yang langsung menusuknya
"Ah, apa yang sudah kulakukan? Sepertinya aku membuat adik tercintaku ini bertambah kesakitan, ya?" kali ini sinar mata Alois kembali ke semula. Dan pisau milik anak lelaki itu pun kembali membuat jalur-jalurnya sendiri di tubuh Ciel.
"Ka...kak..." entah mendapat kekuatan dari mana, Ciel berbisik memanggil kakaknya
Gerakan tangan Alois berhenti. Detik selanjutnya sapphire milik kedua anak itu bertemu. Ciel tak mengatakan apa-apa lagi, tepatnya tak bisa mengatakan apa-apa lagi. Yang bisa ia lakukan hanyalah membiarkan tetesan air matanya terus jatuh. Alois pun sama, tak mengatakan apa-apa. Ia menunjukkan ekspresi yang tak bisa dengan muda ditebak. Tampaknya berbagai emosi sedang bergejolak di hatinya. Tak lama, sebuah senyuman lebar kembali terbentuk di bibir tipisnya.
"Selamat tidur, Ciel sayang..." sebelah sapphire Ciel terbelalak kaget.
Hal yang selanjutnya terjadi ialah darah yang bermuncratan mengenai kulit putih dan rambut pirang pucat Alois. Besi dingin itu sudah menancap kuat di jantung anak lelaki berambut biru tua itu. Terdengar rintihan kecil di telinga Alois sebelum akhirnya tak terdengar suara apapun lagi. Bahkan suara angin malam pun tampaknya enggan untuk mengusik ketenangan kamar bernuansa biru tua itu. "Hahahahaha ternyata memang menyenangkan, ya kan, Ciel?" Tak ada yang menjawab pertanyaan itu.
Alois kembali berdiri dan menatap ke sekelilingnya. Yang ia lihat adalah warna biru tua. Selimut biru tua, tirai biru tua, dinding biru tua, karpet biru tua, semuanya serba biru tua. Termasuk rambut anak lelaki yang kini terbaring tak bernyawa di atas karpet. Ah! Akhirnya ia menemukan warna lain di matanya. Warna merah darah yang menggenang, bahkan sampai di kakinya.
Tiba-tiba tangan mungil Alois menjatuhkan pisau yang sedari tadi ia genggam. Tubuhnya jatuh berlutut di samping jasad sang adik. Kedua tangannya yang kini sudah berlumur darah merah pekat mengacak rambut pirangnya sendiri, "Apa yang sudah kulakukan?" bisiknya. Kini ia menatap sekelilingnya dengan tatapan nanar, berbeda dengan tadi. "Apa mama akan menyayangiku jika tahu apa yang kulakukan?" tanyanya. Tak ada yang menjawab pertanyaan itu.
"Maaf, mama..." air mata sudah meluncur bebas di pipi putih Alois yang sudah ternoda darah, "Alois bukan anak yang baik..."
Perlahan anak lelaki itu berjalan limbung ke jendela kamar Ciel yang cukup besar. Ia menyibak tirainya yang memang sejak awal tak menutupi keseluruhan jendela. Setelah berhasil membuka jendela besar itu, ia memanjat kusennya. Sapphirenya menatap tubuh adiknya yang tergeletak begitu saja di karpet. "Kurasa kita akan bertemu lagi, adikku sayang..."
Tubuh mungil anak lelaki berambut pirang itu pun terjun bebas bersama dengan angin malam.
.
Tajuk-tajuk koran sibuk menyerukan pembunuhan atas keluarga Phantomhive. Seluruhnya bertanya-tanya apa gerangan penyebab pembunuhan itu. Para pelayan Phantomhive hanya bisa menggeleng ketika dimintai keterangan oleh para penyidik dari kepolisian setempat maupun oleh para wartawan. Millenne sendiri sibuk mengurung diri di ruangan kerja mendiang suaminya sambil menatap foto keluarga yang terpajang di atas meja kerja sang suami.
Ia mengelus wajah kedua anaknya yang sedang tersenyum manis dalam foto itu. Ciel berada dalam pangkuannya dan Alois berada dalam pangkuan Vincent. Wanita itu berharap ia bisa kembali lagi ke masa-masa di mana mereka masih sebuah keluarga utuh. Setetes air mata jatuh di atas kaca yang menutupi foto itu, kemudian disusul oleh tetesan-tetesan selanjutnya.
Millenne tahu, menurut hasil penyelidikan polisi, orang yang telah membunuh suami dan anak bungsunya tak lain adalah anak sulungnya sendiri, Alois. Sebagian dari hatinya memercayai hasil penyelidikan polisi karena memang terdapat beberapa bukti, namun sebagian hatinya yang lain sama sekali enggan memercayainya. Ia tak habis pikir mengapa anaknya sendiri tega membunuh ayah dan adiknya sendiri.
"Kenapa kau lakukan ini, Alois? Apa kau benci pada ibumu?" lirih wanita itu
.
.
.
Apa kau tahu? Seorang iblis bisa datang dengan berbagai wujud?
Bahkan dengan wujud yang tak pernah kau bayangkan sebelumnya.
Seperti malaikat, misalnya.
.
.
.
.
Black Soul: In the Midnight, That Kid
The End
Finally! It's the end! *ditabok Readers-san karena update lama* Akhirnya setelah perjuangan mati-matian bikin chapter ini, fanfic ini selesai juga!
Hahahaha kayaknya aku harus banyak minta maaf nih sama Readers-san karena udah update super lamaaaa... Semoga chapter ini bisa menebus kekesalannya Readers-san, ne?
Aku inget banget waktu pertama kali bikin fanfic ini tuh waktu aku masih kelas 9 dan lagi sibuk-sibuknya sama UN plus US. Dan sekarang fanficnya baru tamat, padahal aku udah kelas 10 dan udah ga sibuk sama UTS dan UAS. Parah banget ya? Hahaha *tawa garing*
Ettoo arigatou buat Readers-san dan Reviewers-san; fuyugami ryo-san, Pichipichi-pit-san, Rendezvous-san, to Ms Shalala Bum Bum-san