Summary: "Maafkan aku, Naruto. Aku tak akan pernah bisa membayar penyesalanku dengan harta Uchiha. Nyawaku mungkin bisa menggantikan darah Namikaze yang telah kukorbankan" Satu kesalahan lagi dalam hidupnya. 'Terjebak dalam perasaan yang rumit!'

Disclaimer: Masashi Kishimoto

AURORA: Hope Never Dies

By: Black Capxa

Genre: Romance & Tragedy

Rated: T

Pairing: Sasu x FemNaru

Warning: AU, Gender-bender, Typo(s). Saya author baru disini jadi mohon kritik, review dan sarannya. Jika ada kesalahan dalam fic gaje ini, mohon maaf sebesar-besarnya. Maklum, ini baru yang pertama kalinya. Hehehehehee...(ditimpuk panci bolong)

Dan yang paling penting, DON'T LIKE DON'T READ!

.

.

Chapter 1: Red for blood and my pain

.

.

.

"Apakah anda yakin dengan keputusan ini, tuan?" tanya seorang pria berjas putih sambil memandang dengan prihatin sosok pemuda yang ada di hadapannya. Sedangkan pemuda tersebut hanya membalasnya dengan tatapan kosong, tanpa berniat bersuara.

"Tuan, menurut saya pilihan anda tidaklah bijak. Bagaimana pun juga, anda harus menjalani kemoterapi itu demi diri anda sendiri" imbuh pria berambut silver tersebut.

Masih tak ada jawaban.

Pria dengan gelar dokter itupun semakin bertambah gusar. Ia perlahan bangkit dari tempat duduknya dan tangannya pun berusaha meraih bahu si pemuda, untuk sekedar menyalurkan rasa simpatinya, andai saja tak ada tangan lain yang menepis niat baiknya.

Ya, pemuda itulah yang telah melakukannya.

"Aku tak butuh" desis pemuda tersebut sambil berdiri dari tempat duduknya. Ia pun melangkahkan kakinya menuju pintu keluar ruangan sang dokter.

"Tapi, penyakit anda sudah mencapai stadium akhir! Apakah anda tak ingin memperpanjang umur walau hanya satu hari saja dalam hidup anda? Apa anda memang berniat melepas semuanya?" nada sang dokter pun semakin meninggi. Pemuda tersebut terdiam di tempatnya, tepat di depan pintu keluar. Sang dokter tak tahu persis bagaimana ekspresinya saat ini.

"Aku tak butuh harapan"

Dan sang dokter pun tercekat ketika mendengar empat kalimat tersebut.

"Tapi, bagaimana dengan keluarga dan teman-teman anda?"

"Aku tak peduli"

"Tapi,,,"

"Kau tak perlu mencampuri urusanku, Kakashi-san" pemuda itupun berbalik dan terlihatlah sepasang mata beriris Onyx yang memandang tajam sekitarnya. "Kau bukan penentu hidupku!"

Kakashi merasa gentar menghadapi tatapan menusuk yang dilayangkan ke arahnya. Namun, putus asa dan menyerah tak ada dalam kamusnya. Ia hanya ingin yang terbaik untuk tuannya. Sebagai dokter pribadi yang baik, tentu hal tersebut adalah suatu kewajiban yang mutlak.

"Saya memang tak berhak menentukan hidup anda. Tapi, apa salahnya jika saya mencoba untuk memberikan anda sedikit waktu di dunia ini? Mungkin anda memerlukannya"

Pemuda tampan berkulit putih pucat itu hanya diam mematung. Tak ada ekspresi apapun diwajahnya.

Hening.

Hanya suara denting jam dinding yang mengisi keheningan tersebut. Tak ada yang berniat membuka suara. Sampai pada akhirnya...

"Aku tak perlu apapun. Bagiku, segalanya hanyalah kosong" pemuda itu kemudian berbalik dan bersiap meninggalkan ruangan tersebut. "Kau hanya membuang waktuku saja"

Pemuda itupun akhirnya meninggalkan ruangan sang dokter. Menyisakan keheningan yang semakin menyesakkan dalam denting-denting jam yang terus bergerak teratur.

"Saya hanya berusaha peduli, Sasuke-sama"

**Aurora**

*Konoha International Hospital at 05.56 pm.

Sasuke berjalan menelusuri setiap lorong-lorong rumah sakit dengan raut wajah yang keruh. Kalimat-kalimat sang dokter benar-benar membuat seluruh urat nadinya menegang. Harusnya, ia sudah bisa memprediksi hal tersebut. Jauh, sebelum pertemuannya hari ini.

Tapi, penyakit anda sudah mencapai stadium akhir! Apakah anda tak ingin memperpanjang umur walau hanya satu hari saja dalam hidup anda? Apa anda memang berniat melepas semuanya?

"Cih...sialan!" keluhnya sambil tetap melangkahkan kakinya menuju ke pintu utama rumah sakit yang berada di lantai satu. Umumnya, setiap orang yang menerima vonis akan umurnya yang sudah tidak lama lagi akan menampakkan raut wajah yang sedih dan terpukul. Tapi, beda halnya dengan Sasuke. Ia sama sekali tidak menunjukkan emosi apapun di wajah rupawannya. Bahkan terkesan begitu 'santai' dan 'tenang', seolah-olah hidupnya adalah sebuah hal yang tak berharga untuk dilanjutkan ataupun dinikmati.

Benarkah demikian?

Ya! Sasuke memang tak pernah menganggap hidupnya lebih dari sekedar kutukan. Ia bukanlah seorang hina yang dicampakkan dunia. Bukan... Bahkan hidupnya adalah bagian dari angan-angan setiap orang yang haus akan kepuasaan dunia!

Sulit dipercaya? Mungkin iya...

Sasuke adalah putra bungsu keluarga Uchiha. Semua orang pasti mengenal keluarga tersebut sebagai keluarga yang terpandang dan amat termasyur dengan kekayaan yang melimpah disertai dengan wajah-wajah rupawannya yang mampu membius mata yang memandangnya dengan anugrah kejeniusan merata pada setiap keturunannya. Oh, satu lagi. Bangsawan Uchiha adalah pemilik berpuluh-puluh perusahaan ternama yang bergerak diberbagai bidang industry di seluruh penjuru dunia! Kekuasaannya pun tak dapat diragukan lagi. Tidak percaya?

Bahkan keluarga tersebut sanggup menumbangkan tiga perusahaan sekaligus hanya dengan satu kali jentikan jari saja. Mengerikan? Sasuke mungkin berpikiran sama seperti itu.

Apa yang membuat ia membenci hidupnya yang tergolong sangat sempurna?

Ada satu hal dalam hidup Sasuke yang salah. Dan kesalahan itulah yang membuat ia melirik sinis keluarganya sendiri.

Kesalahan fatalnya, lahir didalam keluarga Uchiha.

Apa yang salah?

Sejak kecil, Sasuke tidak pernah merasakan sentuhan kasih sayang ibunya yang telah wafat saat melahirkannya. Ayahnya, Uchiha Fugaku yang terkenal otoriter mendidiknya dengan cara yang keras. Hingga saat ia berumur 5 tahun, sang ayah dengan teganya membakar seluruh foto-foto maupun benda kenangan dari ibunya. Menurutnya, Sasuke harus tumbuh menjadi seorang lelaki yang tangguh dan tidak terpaut masa lalu. Menjadi putra kebanggaan yang mesti melupakan rasa hausnya akan kasih sayang dan cinta orang tuanya, terutama ibunya. Sedangkan kakaknya, Uchiha Itachi, yang seharusnya menjadi 'Si Sulung Teladan' lebih memilih pergi dengan melepas seluruh kehidupannya sebagai seorang 'Uchiha'. Dan Sasuke pun sampai saat ini tidak tahu menahu soal keberadaan kakaknya yang tetap misterius. Dengan minggatnya Itachi, otomatis seluruh perhatian sang ayah tertuju kepadanya seorang. Ajaran keras Fugaku selama bertahun-tahun, ternyata mampu membuat Sasuke menjelma menjadi sosok dingin yang tak pernah lagi menatap dunia sebagai temannya. Hanya kehampaanlah yang ia rasakan. Tekanan demi tekanan diterimanya dengan mulut tertutup rapat seolah tak membiarkan ia menentang segala macam bentuk intimidasi. Karena ialah yang nantinya akan menjadi pewaris seluruh perusahaan yang bernaung dibawah label 'Uchiha Group', perusahaan milik keluarganya. Beban sedemikian berat harus ia pikul diusianya yang kini baru menginjak 19 tahun. Sang ayah pun tak pernah mau peduli dengan keadaannya. Yang ia tahu, dirinya sudah lelah menghadapi hidup yang tak pernah memberinya ruang untuk bernafas. Setidaknya, penyakit ini sudah memberinya 'izin' untuk melangkah ke kehidupan yang lebih kekal dan damai.

Kehidupan abadi yang tak terjamah oleh tangan manusia.

Setidaknya di kehidupan itu, ia tak perlu bertemu dengan keluarga Uchiha lainnya.

"Hhh...matipun aku akan mensyukurinya" gumamnya sarkastik. "Berharap pun rasanya Tuhan tak akan mau mendengarku"

Ia sudah membuang seluruh harapannya, jauh sebelum hidupnya berakhir dalam kekosongan. Untuk apa berharap? Toh semuanya tak akan bisa membalikkan keadaan yang sudah terjadi. Seperti halnya membalikkan telapak tangan. Jika itu bisa ia lakukan, dari dulu mungkin Sasuke sudah menukar hidupnya dengan hidup yang lebih manusiawi.

"Manusiawi? Heh, apa yang kupikirkan?" pertanyaan itu seolah hanya ia yang mampu mendengarkannya. Langkahnya terus berlanjut, hingga akhirnya ia telah sampai di lobi rumah sakit yang berbatasan langsung dengan taman yang indah. Taman yang diperuntukkan khusus bagi pasien rumah sakit yang ingin menenangkan diri.

'Tak ada yang menarik' batinnya sambil melihat sekilas pemandangan yang disuguhkan oleh taman tersebut. Taman itu sangat luas dengan balutan padang rumput yang hijau dan segar. Pohon-pohon sakura dan maple nampak menghiasinya dengan warna-warna lembutnya. Ditengahnya terdapat sebuah danau kecil dengan riak air yang tenang dan jernih. Sungguh pemandangan yang indah. Hanya saja Sasuke memang tak pernah berniat menyelami keindahan suguhan alam buatan tersebut. Dalam hidupnya, ia tak pernah mengenal warna-warni seperti itu.

'Tunggu...dia siapa?'

Sasuke terpaksa menghentikan langkahnya yang akan menjauh ketika mata Onyx nya menangkap sosok gadis berambut pirang panjang yang tengah terduduk diam diatas kursi rodanya sambil memandangi danau yang ada ditengah taman tersebut. Entah kenapa, Sasuke merasakan ada suatu perasaan aneh yang bergejolak didalam dirinya ketika melihat gadis tersebut hanya menatap sendu sekitarnya. Tanpa berpikir panjang lagi, Sasuke langsung beranjak dari tempatnya berdiri ke arah gadis tersebut berada. Sesampainya disana, Sasuke hanya mampu menatap gadis tersebut dari belakang tanpa berani menyapanya. Seperti ada suatu perasaan bersalah dan takut yang melingkupinya ketika ia melihat secara seksama kondisi gadis tersebut.

'Aku...kenapa? Rasanya begitu...aneh...'

"Tolong jangan berdiri saja disitu. Sebaiknya tak usah menatapku dari belakang"

DEG

'Dia tahu?'

"Tentu saja aku tahu. Jangan ragukan indera pendengaranku!"

"Ck...baiklah kau menang"

"Kita sedang tidak bertaruh, tuan misterius"

"Hnn..."

Sasuke pun maju menemui gadis tersebut. Semakin dekat, dan ia bisa merasakan hawa disekitarnya mulai menghangat. Kini, ia sudah berdiri disebelah gadis tersebut. Menatapnya dari ujung kepala sampai ujung kaki. Tak ada yang aneh dengan parasnya yang cantik dan kulitnya yang berwarna coklat eksotis. Hanya saja...

'Dia...buta?'

Sasuke sedikit terperanjat ketika menyadari mata biru safir sang gadis yang sedikit tersaputi oleh awan kelabu yang membuatnya terlihat berbeda. Menatap sekitarnya tanpa tahu apa yang dilihat.

"Aku rasa, kau sudah tahu keadaanku" ujar gadis tersebut dengan senyum yang bagi Sasuke terlihat ganjil.

"Hn..." sahut Sasuke pendek sambil memasukkan tangannya disaku celana panjangnya. Gadis itu kemudian terkikik pelan setelah mendengar jawaban singkat nan padat Sasuke.

"Apa yang kau tertawakan?" tanya Sasuke ketus.

"Hehehe...nada bicaramu yang dingin dan datar itu mengingatkanku pada seseorang. Dia juga sama sepertimu!" sahut gadis tersebut santai. Ia sungguh merasa heran, mengapa Kami-sama menciptakan begitu banyak orang-orang stoic berhawa dingin dimuka bumi ini?

Sasuke menaikkan sebelah alisnya pertanda heran. "Maksudmu?"

"Cara bicaramu dan dia sama persis! Datar dan tanpa ekspresi. Tapi, akhir-akhir ini dia berubah dan sudah sering berbicara dengan nada yang sewajarnya. Maksudku, tidak sedatar dulu saat pertama kali aku mengenalnya. Dia orang yang baik. Dan mungkin kau juga seperti itu"

Sasuke bungkam untuk beberapa saat. Apa ia tidak salah dengar? Gadis ini seperti menyamakan dirinya dengan orang lain yang tidak jelas. Tidak! Ia sangat benci disamakan dengan siapapun! Ia sangat kesal jika ada seseorang yang menjadikannya sebagai barang pembanding. Rasa egoisnya yang tinggi membutakan seluruhnya. Pandangannya kian menusuk seiring dengan kepalan tangannya yang semakin menguat.

"Kau tak tahu apapun tentang diriku" ujarnya dingin.

Gadis itu terhenyak mendengarnya. Apa kali ini ia salah berujar?

"Maaf. Mungkin tak sepantasnya aku berbicara seperti itu padamu"

Sasuke tersenyum angkuh. "Hn. Tapi aku tak menerima permintaan maaf dari gadis sok tahu sepertimu"

Gadis itu tak bisa menyembunyikan kekagetannya. Mata biru bagai samudranya membulat sempurna. Pemuda ini, apa ia tak memiliki hati sama sekali?

"Kenapa? Ingin menangis? Heh, semua wanita sama saja. Menangis didepan orang lain dan berharap akan belas kasihnya. Jangan pernah berpikir untuk mendapat perhatianku dengan cara murahan seperti itu" ujar Sasuke datar tanpa peduli apa yang sudah ia katakan.

Hening.

Angin semilir menerbangkan beberapa helai daun maple yang berguguran. Kedua insan tersebut hanya diam membisu ditempatnya.

Dan Sasuke baru sadar apa yang sudah ia lakukan.

'Apa yang baru saja kukatakan? Oh, shit!'

Bukannya menangis seperti dugaan Sasuke, gadis itu justru tersenyum lembut ke arahnya. Kilauan sinar matahari sore kini menerpa wajahnya hingga nampak begitu indah. Rambut pirang panjangnya dipermainkan angin semilir dengan perlahan. Sasuke diam sesaat untuk menikmati keindahan tersebut. Bagai sebuah lukisan sang maestro. Sasuke kini sadar bahwa ia sudah terjerat dalam pesona sang malaikat beriris safir ini. Kebekuan Sasuke seakan meluruh sedikit demi sedikit. Ada suatu perasaan hangat yang kini melingkupi hatinya.

"Aku sudah lelah menangis. Jadi kau beruntung tak melihat air mataku saat ini" senyum gadis itu benar-benar menghipnotis Sasuke. Tapi, sayangnya ia tak melihat arti sebenarnya senyum malaikat itu.

Masih ada rasa yang tak terungkapkan.

"Maaf" Sasuke baru menemukan kata-katanya yang sesungguhnya. "Aku tak bermaksud membuatmu terluka atas perkataanku"

Ah, baru kali ini Sasuke mengatakan kalimat selembut itu. 'Maaf'. Kapan lagi seorang Uchiha Sasuke yang terkenal arogan mengatakan kata terlarang dalam kamusnya seperti itu? Hanya saja, ia terus menyangkal perasaannya. Uchiha tidak akan terjerat semudah itu bukan?

Gadis itu kemudian menggelengkan kepalanya. "Tak apa. Manusia memang tak akan pernah jauh dari yang namanya kesalahan. Aku pun begitu" ia menunduk perlahan. "Apakah kita bisa berteman dan saling peduli? Tak masalah jika kau menolak. Gadis buta dan lumpuh sepertiku memang tak pantas mendapatkan apapun. Memangnya siapa yang sudi berteman dengan orang cacat?" gadis itu mendongak sambil tersenyum.

Gadis itu terlalu banyak tersenyum! Ya, Sasuke berpendapat seperti itu. Ia benci melihat senyum yang dipaksakan kehadirannya seperti itu. Melihat senyum yang tak ubahnya seperti isyarat lain dari duka yang mendalam. Sasuke sudah tak tahan lagi. Senyum itu harus dilenyapkan!

"Berhenti tersenyum seolah-olah kau bisa menyembunyikan segalanya! Aku akan menerima tawaranmu kalau kau bisa menghapus senyum bodoh itu dengan senyum yang lebih baik!" ujarnya dengan sedikit meninggikan nada kalimatnya.

Gadis blonde itu terkejut mendengarnya. Perlahan hatinya mulai terisi kembali oleh suatu perasaan yang hangat. Bibirnya pun perlahan tertarik hingga menghasilkan sebuah senyum murni yang begitu hangat dan tulus. Sasuke tersenyum tipis melihatnya.

Mengulang pertemuan mereka di bawah gurat kemerahan langit senja hari yang damai.

"Namaku Uzumaki Naruto" gadis itupun mengulurkan tangannya ke depan.

"Hn. Aku Sasuke" Sasuke pun meraih tangan tersebut dan menjabatnya erat. Ia merasa hangat dan nyaman saat menggenggam tangan Naruto yang halus. Ada semacam aliran listrik kasat mata yang menjalari tubuhnya dan membekukan kinerja otaknya.

'Hangat dan nyaman...'

"Hei, mau sampai kapan kau menjabat tanganku? Kau suka menggenggam tanganku yah?"

Sasuke sontak melepaskan genggaman tangannya. Yah, walaupun sebenarnya ia enggan melepaskan kehangatan tersebut.

"Hn. Dobe" ujar Sasuke pendek dan menusuk hati. Entah kenapa ia tak bisa mengontrol mulutnya dengan baik saat ini. Hasilnya ya, seperti tadi.

Naruto nampak kesal dengan panggilan barunya. Seumur-umur, baru kali ini ada yang memanggilnya dengan sebutan seperti itu.

"Dasar kau Teme! Enak saja menyulap namaku menjadi Dobe. Kau pikir aku ini sebodoh apa? Dasar teme stoic si mulut pedas yang jelek! Huh..." kata Naruto tak kalah pedasnya sambil mengerucutkan bibirnya. Sasuke yang melihatnya hanya tersenyum tipis sembari mengacak rambut pirang sang gadis.

"Hei...!"

"Hn. Kenapa?"

"Kenapa namamu hanya Sasuke saja? Margamu apa?" tanya Naruto penasaran.

Sasuke diam untuk beberapa saat. Jika ia menyebutkan nama marganya, apakah gadis ini akan tetap menganggapnya sebagai teman? Karena ia sadar, menyandang nama Uchiha bukanlah perkara yang mudah. Kawan bisa menjadi lawan dan begitupun sebaliknya. Diluar sana, ada banyak orang yang menginginkan kehancuran keluarganya. Musuh yang tak terlihat. Ia harus lebih berhati-hati untuk saat ini.

"Hn. Margaku Harashi. Puas, dobe?"

Naruto manyun mendengarnya. "Iya, teme jelek. Dan berhenti memanggilku dobe!"

"Hn."

"Haahhh...dua huruf aneh itu lagi. Bisa kau ganti dengan kata yang lain?"

"Dobe"

"Argghh...aku bisa gila kalau terus begini"

"Hn"

Naruto sweetdrop mendengar dua huruf kesayangan Sasuke tersebut. Berbicara dengan orang stoic memang membutuhkan kesabaran yang tinggi. Hah...kasian kau, Naruto.

"Jadi, kenapa kau bisa berada disini?" tanya Sasuke datar, mengalihkan topik perbincangan.

"Kau tidak lihat bagaimana keadaanku sekarang? Apa dengan kondisi seperti ini, aku tidak pantas berada di rumah sakit?" balas Naruto kesal. Orang awam pun tahu kalau ia sedang sakit dan membutuhkan perawatan medis.

"Sudah dobe, sekarang ditambah baka pula. Maksudku, kenapa kau bisa berada di rumah sakit dengan kondisi seperti ini? Masih belum paham?" Sasuke sampai berbicara sepanjang itu untuk mempertegas kalimatnya agar bisa dicerna dengan mudah oleh otak Naruto.

"Ohh..." tanggap Naruto dengan wajah innosennya.

Dan membuahkan deathglare jempolan milik Sasuke.

"Jangan mengeluarkan hawa mengerikan seperti itu! Baik aku akan cerita. Ini bukanlah kisah yang menyenangkan. Tapi, aku ingin kau berjanji untuk satu hal"

"Hn?"

"Jangan memberitahukan hal ini pada siapapun! Aku tak ingin mendapatkan masalah lebih banyak lagi" ujar Naruto lirih. Sasuke yang melihat perubahan raut wajah tersebut, hanya bisa memegang pundak gadis berkulit tan tersebut dengan lembut.

"Kau bisa mempercayaiku"

Naruto pun tersenyum miris mendengarnya. Pikirannya kembali mengingat peristiwa dua minggu yang lalu. Dimana hari itu menjadi hari terakhirnya merengkuh kebahagiaan bersama dengan kedua orang tuanya. Hari kelabu yang membuat catatan kelam dalam hidupnya. Hari dimana ia kehilangan semuanya.

Flashback

"Tousan, kaasan. Liat, aku lulus SMA dengan nilai terbaik! Senangnyaa..." teriak kegirangan Naruto pun membahana di seluruh penjuru rumahnya yang mewah. Saking semangatnya, ia hampir saja menyenggol guci kesayangannya kaasannya. Tapi, seberapa semangat pun ia berteriak, tetap saja tak ada seorang pun yang membalasnya.

"Kenapa rumah ini sepi sekali?" tanya Naruto heran entah kepada siapa. Dilihatnya secara seksama setiap sudut ruangan yang ada di rumahnya, tak juga ia menemukan siapapun. Bahkan buttler dan maid sekalipun! Rumahnya benar-benar kosong!

"Kaasan, tousan. Kalian dimana?"

Naruto terus berteriak menyerukan nama kedua orang tuanya. Saat langkahnya berhenti di taman belakang, ia melihat semua buttler dan maid yang bekerja dirumahnya terbaring dalam keadaan sekarat dengan luka tembak ditubuh mereka. Mata beriris safirnya pun terbelalak kaget melihatnya. Perasaannya menjadi tidak enak. Kalau semua pelayan saja sudah meregang nyawa seperti ini, bagaimana dengan...

"TOUSAN, KAASAN..."

Naruto pun segera berlari menuju ke ruangan kerja sang ayah. Sampai disana, warna pertama yang menjadi objek fokus penglihatannya adalah merah. Ruangan itu penuh dengan noda merah yang terlihat seperti...darah?

'Tidak! Ini pasti bukan darah!'

Naruto terus menyangkal hal tersebut. Ruangan itu berantakan dan terlihat sangan kacau. Tapi sekacau apapun itu, safir Naruto tetap bisa melihat dengan jelas tubuh sang ayah yang terbaring dilantai dengan sapuan warna merah membaluti sosoknya yang sudah terbujur kaku. Dunianya serasa berputar dalam kegelapan tiada akhir. Menariknya ke dalam sebuah kenyataan pahit yang mengrongrong jiwanya. Kristal beningnya jatuh tanpa pertahanan sebagai saksi atas ketidakberdayaannya. Tubuhnya lunglai begitu saja. Ingin rasanya ia menutup mata dan berharap semua ini hanyalah ilusi sesaat. Tapi, warna merah itu tetap saja bertahan disana, diatas tubuh ayahnya.

"Tidak...semua ini pasti hanyalah mimpi. Siapapun, tolong bangunkan aku!"

Ia berteriak histeris. Hingga sebuah sentuhan terasa di pundaknya.

"Na..ru..to"

Naruto pun menoleh dan mendapati sosok sang bunda yang tengah menahan sakit karena luka tembak diperutnya. Darahnya pun mengalir tiada henti, membasahi dress panjangnya yang kini berwarna senada dengan darahnya.

"Kaasan...kaasan bertahanlah! Naru akan membawa kaasan kerumah sakit secepatnya"

"T..ti..dak, Na..ru. Ce..pat pergi dari si..ni!" ujar sang bunda terbata sambil menahan rasa sakit yang menderanya.

"Tidak! Pokoknya Naru akan membawa kaasan kerumah sakit!"

Dengan diiringi derai air matanya yang kian berjatuhan, Naruto memapah kasaannya keluar rumah dan segera membawanya ke rumah sakit dengan mengemudikan mobil tousannya. Ia terus menatap khawatir kaasannya yang tak henti-hentinya meringis menahan sakit.

"Kaasan bertahanlah!"

Naruto pun mengemudikan mobilnya dengan kecepatan tinggi. Tanpa menyadari ada mobil hitam lainnya yang tengah membuntutinya dari belakang. Tanpa sepengetahuan Naruto, sebuah pistol telah teracung tepat mengarah ke arahnya.

DOOR...

Mobil yang dikendarai oleh Naruto pun oleng karena bannya pecah. Ditambah lagi ia mengemudi dengan kecepatan tinggi. Dan hasilnya, mobil tersebut terguling dan menabrak pembatas jalan. Naruto terpental beberapa meter dari mobilnya. Rasa sakit yang teramat sangat kini menjalari seluruh tubuhnya. Hal terakhir yang ia dengar adalah suara langkah kaki seseorang yang mendekat ke arahnya dan berbisik.

"Selamat tinggal nona Namikaze. Uchiha akan sangat berbahagia atas kepergian kalian!"

Setelah itu semuanya menjadi gelap. Dan berakhir menjadi catatan kelabu dalam hidupnya.

End of Flashback

"Sampai saat ini, aku masih belum bisa melupakan kejadian tersebut. Dan juga nama itu. Nama yang sudah membuat hidupku hancur seperti saat ini. Tousan sudah bisa memprediksi hal tersebut. Uchiha tidak akan tinggal diam melihat ada perusahaan lain yang lebih berjaya diatasnya. Dan sekarang mereka pasti sedang berpesta ria melihat penghalang terbesar mereka sudah tiada. Ya, Namikaze Group kini sudah tidak ada lagi!"

Bagai dihujani oleh beribu anak panah, Sasuke kini diam membisu ditempatnya. Penuturan Naruto sudah telak mematikannya, melumpuhkan kinerja sarafnya. Gadis polos di depan matanya ini adalah korban tangannya sendiri! Sasuke kini baru sadar setelah semuanya terungkap. Perusahaan yang menjadi penghalang terbesarnya selama ini ternyata adalah keluarga Naruto, keluarga Namikaze! Oh...God!

'Jadi ini arti perasaanku tadi? Aku benar-benar merasa bersalah'

"Mungkin, mereka mengira aku sudah pergi menyusul kedua orang tuaku. Tapi, Kami-sama ternyata belum memperbolehkanku berpulang kerumahnya. BerkatNya juga, Iruka-san dan Tsunade-sama yang merupakan kerabat dekat ayahku, menemukanku dan membawaku kemari. Selama seminggu lebih aku dirawat disini. Dan aku mesti menerima satu kenyataan pahit lagi dalam hidupku. Mataku buta secara permanen dan kakiku juga lumpuh akibat efek dari kecelakaan tersebut" perlahan kelopak matanya mengeluarkan cairan bening yang mengalir bagaikan anak sungai.

"Kau tahu, Sasuke? Apa yang kurasakan saat berita mengenai kematian kedua orang tuaku dimuat berbagai media? Sakit! Rasanya aku sudah tak mengenal hidupku lagi saat itu juga! Mendengar headline utama mengenai kematian direktur utama perusahaan Namikaze Group, Namikaze Minato dan istrinya Uzumaki Kushina. Aku seperti manusia dengan raga yang hampa. Entah kemana jiwaku mengembara" Naruto akhirnya tak kuasa lagi menahan pedihnya. Ditumpahkanlah seluruh air matanya yang mungkin adalah tetes terakhirnya.

Sedangkan Sasuke?

Ia bahkan sudah tak sanggup lagi berada didekat gadis tanpa dosa ini. Ia tak bisa menyentuh pundak sang gadis dengan tangannya yang kotor, penuh dengan darah keluarga Namikaze! Ia merasa sangat bersalah atas semua yang sudah terjadi. Karena yang membunuh seisi rumah Namikaze adalah orang kepercayaannya yang tentunya bergerak atas perintahnya seorang. Secara tidak langsung, Sasuke sudah menjadi seorang pembunuh yang keji! Oh...shit! Kepalanya mulai berdenyut sakit. Keringat dingin mulai mengalir dari pelipisnya. Sasuke benci ketika penyakitnya tak bisa diajak berkompromi disaat genting seperti ini.

"Arghh" erang Sasuke sambil memegang kepalanya yang kian berdenyut sakit.

"Kau kenapa, Sasuke?" Naruto jadi kaget setelah mendengar rintihan pelan Sasuke.

"Tidak apa-apa. Maaf, aku harus pergi"

Sasuke semakin menjauh dari sosok Naruto yang menatap sekitarnya bingung.

"Kau akan kembali lagi, kan?"

Membuat langkah Sasuke berhenti sejenak.

"Tentu"

Di bawah kilau jutaan bintang dan rembulan ia mengikat janjinya.

Dan si Raven pun kini sudah melangkah menjauh sambil menahan rasa sakit yang seakan membelah kepalanya. Ia masih bisa melihat sosok rapuh Naruto yang kian mengecil dari pandangannya saat ia menatap kebelakang. Sesampainya di tempat parkir rumah sakit, Sasuke langsung masuk ke dalam mobil sport Ferrari hitam metalik miliknya. Tanpa memperdulikan rasa sakit dikepalanya, ia segera memacu mobilnya meninggalkan area rumah sakit. Meninggalkan sosok Naruto disana yang masih mengharapkan keberadaannya. Ia bergumam pelan sebelum mobilnya benar-benar meninggalkan pintu gerbang rumah sakit yang megah.

"Maafkan aku, Naruto. Aku tak akan pernah bisa membayar penyesalanku dengan harta Uchiha. Nyawaku mungkin bisa menggantikan darah Namikaze yang telah kukorbankan"

Ungkapan penyesalan yang tentunya tidak bisa didengar oleh Naruto.

**Aurora**

Tbc...

A/N: Waduh! Fic apaan neh? (readers: kan elo yang buat!) Saya benar-benar mohon maaf bila ada kesamaan latar, cerita dan suasana. Saya tidak bermaksud memplagiat karya siapapun kok...Dan untuk fic pertama saya, mohon kritik dan sarannya dari para senpai-senpai sekalian yang lebih pintar dan jago dari saya. Saya hanyalah manusia biasa yang tak luput dari kesalahan. Jadi, jika para readers berkenan, sempatkanlah untuk mereview fic gaje ini sebagai acuan kedepannya. Apakah fic ini pantas dilanjutkan atau tidak, itu semua tergantung dari para readers masalah nama marga Naruto yang diganti, itu akan dijelaskan di chapter selanjutnya. Itupun kalo fic ini masih pantas dilanjutkan. Tapi, saya tetap akan berusaha sebaik mungkin demi menghasilkan fic yang lebih baik.

Sekian dan terimakasih bagi para readers yang sudah membaca fic ini.

Salam saya,

Black CapXa (Axa)