Disclaimer: I do not own Naruto. Naruto © Masashi Kishimoto

Genre : Romance/Drama

Pairing : SasuHina slight ItaIno and SaiSaku

A/N + warning : Okay, sebelum masuk ke cerita, biar saya memperjelas dulu yah, ide cerita ini awalnya punya Sugar Princess 71. Saya hanya membantu menuangkannya dalam bentuk fic dan mengembangkan di beberapa bagian. Dan fic ini saya dedikasikan untuk Sugar Princess71, Nesha Nareswari—Sha-chan (yang udah mesen dari kapan, masih inget gak? :P), dan semua yang pernah ngerequest SasuHina lainnya. Semoga hasilnya memuaskan. :D
Oh yah, satu lagi, perbandingan usia antar karakter di sini akan berbeda dari canon-nya.

Oke, enjoy!^^


Chain of Love

Chapter 1 – Bad Luck


When the trust was cracked and left nothing but

despair

When the one and only option left was letting the precious one

to be taken away

"Forgive me" would be the first two words that's

spoken

.

.

.

Orang baik akan lebih sering mendapat cobaan dibandingkan orang jahat.

Bukankah itu sebuah ironi yang sangat menggelitik? Tapi ironi itu tidak salah. Di dunia yang mulai semrawut ini, orang baik akan sulit bertahan. Walau sekecil apapun, sikap licik itu mutlak diperlukan. Tentu saja, jika ingin hidup dengan enak.

Sayangnya, Hyuuga Hiashi, Direktur Kepala dari Hyuuga Corporation yang bergerak di bidang retail—perusahaan yang mengincar pembeli atau konsumen akhir —terlambat menyadari hal tersebut. Walaupun sudah seumurnya, ternyata ia masih bisa bersikap naïve dengan mempercayai rekan kerjanya.

Bagaimana tidak? Rekan kerjanya—yang sudah bekerja sama dengannya nyaris selama 15 tahun—ternyata mengkhianatinya dan diam-diam menyelundupkan saham dan ide-ide pengembangan Hyuuga Corporation ke perusahaan saingan. Bukan hanya itu pengkhianatan yang dilakukan oleh sang rekan kerja. Ia juga menarik beberapa sumber daya berkompeten dari perusahaan Hiashi untuk membelot dan bekerja di bawah perusahaan saingan.

Alasannya apa lagi kalau bukan… uang.

Uang yang ditawarkan perusahaan saingan Hyuuga telah membutakan mata Kazuma—sang rekan kerja pengkhianat.

Uang.

Bukankah itu alasan utama yang bisa menggerakkan seseorang dewasa ini?

Ya, Hiashi terlambat menyadarinya.

Kini ia harus menelan ludah pahit akan kenyataan yang sudah tidak bisa diputar balik.

Bangkrut, pailit.

Itulah sebutan yang tepat bagi kondisi perusahaannya saat ini. Bukan hanya perusahaan, rumah, tanah, segala aset serta hartanya pun terancam lenyap untuk menutupi hutang-hutang yang disebabkan oleh pengkhianatan Kazuma.

Kondisi miris yang berusaha disembunyikannya mati-matian dari putri semata wayangnya.

o-o-o-o-o

"Tadaima."

"Okaerinasai, Tou-san."

Seorang gadis berambut indigo panjang yang dibiarkan tergerai berjalan dalam langkah yang anggun ke arah pintu depan. Senyum manis tampak mengembang di wajahnya. Sungguh, senyum itu lah yang membuat seorang Hyuuga Hiashi mati-matian menahan ekspresi wajah tidak enaknya. Gantinya, dia pun membalas senyum putri semata wayangnya sembari menepuk pelan kepala gadis itu.

"Ada apa? Kenapa kau tampak senang, Hime?"

"T-tentu saja, Tou-san. Hari ini kan hari pertama aku masuk SMA," jawab Hinata cukup bersemangat.

Hiashi tampak membelalakkan matanya. Astaga! Tentu saja ia lupa. Kini gadis kecilnya sudah selangkah lebih dewasa. Urusan kantornya begitu menyita waktu hingga ia bahkan tidak menyadari kenyataan tersebut. Dan begitu ia dihadapkan pada fakta bahwa perusahaannya akan bangkrut, barulah ia merasakan penyesalan yang mendalam—penyesalan karena selama ini ia kurang memperhatikan Hinata.

"Lalu? Ada apa saja di sekolah barumu, hm?"

"A-aku mendapat teman baru, Tou-san. Namanya Shion, anaknya cantik. Sedikit mengingatkanku pada Ino-nee."

"Ino? Siapa itu?"

"Ah? Tou-san tidak ingat? Itu, dulu ada kakak cantik yang kerja part-time di salah satu market milik Tou-san."

"Hahaha. Tou-san tidak ingat, Hime," jawab Hiashi sambil mengusap puncak kepala Hinata. "Banyak yang pernah bekerja sambilan di market Tou-san. Dan kau juga tahu, jumlah market Tou-san bukan cuma satu atau dua."

Hinata mengangguk. "I-itu betul sih…"

Hiashi tersenyum sekilas melihat Hinata yang tampak berpikir. Tapi tak lama, senyum itu memudar.

"Hm, maaf Hinata, Tou-san tidak bisa menemanimu mengobrol lebih lama. Ada yang harus Tou-san urus sekarang."

Sekali lagi, Hinata mengangguk patuh. Hiashi memberikan senyum singkat dan akhirnya mulai melangkah ke ruang kerjanya, meninggalkan putrinya yang kemudian beranjak ke arah kamarnya sendiri.

o-o-o-o-o

Di ruang kerjanya, Hiashi mulai melihat-lihat dokumen saham kepemilikan perusahaannya. Ia tampak memegangi dahinya dengan sebelah tangan. Sungguh, jalan buntu seperti ini baru pertama kali dihadapi oleh Hiashi setelah terakhir kalinya ia mengalami musibah yang bahkan tidak bisa dihentikan oleh seorang pun di dunia ini. Mata pearl-nya—yang diwariskannya pada Hinata—melirik pada sebuah foto yang selalu berdiri di atas meja kerjanya.

Sebuah foto dengan gambar seorang pria paruh baya dengan wajah yang kaku, seorang wanita cantik berambut panjang dengan perut yang membesar, serta seorang gadis kecil berusia sekitar 5 tahun-an.

Foto dirinya, si kecil Hinata serta… almarhum istri beserta bayi yang tidak sempat lahir dan mengintip dunia.

Hiashi melupakan sejenak soal dokumen itu dan kemudian mengulurkan tangannya untuk meraih foto berpigura itu. Sebuah senyum sedih terlihat di wajahnya saat ia mengenang bagaimana istrinya pergi meninggalkannya untuk selamanya, bersama bayi yang juga tidak bisa diselamatkan. Istrinya memang bertubuh lemah. Dokter sudah menyarankan untuk menyerah akan bayi itu, tapi istrinya keras kepala. Pada akhirnya, tidak seorang pun di antara mereka yang berhasil diselamatkan. Dan itu adalah kali pertamanya Hiashi merasakan keterpurukan tanpa ada jalan keluar atas masalahnya.

Belum puas ia memandangi foto kenangan itu, mendadak telepon di ruang kerjanya berbunyi. Hiashi melirik ke arah telepon, meletakkan foto tersebut, sebelum ia mengangkat panggilan telepon tersebut.

"Moshi-moshi," ujar Hiashi tegas dan berwibawa.

"Fufufufu. Konnichiwa… Hyuuga Hiashi-san," ujar suara dari seberang telepon. Suara itu lebih terdengar berdesis, sama sekali tidak menyenangkan untuk didengar. Hiashi menyipitkan matanya. "Bagaimana keadaanmu?"

Tentu saja Hiashi mengenal siapa orang yang meneleponnya. Orochimaru. Pemimpin dari perusahaan saingannya! Orang yang telah berhasil membuat Kazuma—rekan yang sangat dipercayainya—mengkhianatinya.

Menahan amarah, Hiashi malah menjawab setenang mungkin. "Tidak sebaik keadaanmu, kuduga."

Suara di seberang sana terkekeh. "Ah, ya, ya. Aku mengerti."

Oh, kau tidak mengerti, Sialan! umpat Hiashi dalam hati.

"Baiklah, langsung saja kukatakan keperluanku kalau begitu," sambung Orochimaru lagi. "Jadi, alasanku meneleponmu adalah…."

o-o-o-o-o

Di suatu perusahaan besar dengan desain minimalis yang elegan, terdapat seorang pria paruh baya yang tengah terduduk di ruang kerjanya. Ruang kerjanya sendiri tampak rapi. Di tengah ruangan terdapat sebuah meja berwarna coklat terang dan bangku besar dilapis kulit berwarna hitam mengilat yang tengah didudukinya dengan nyaman. Di belakang tempat duduknya sendiri terdapat sebuah rak besar berisi buku-buku tebal, map-map yang tampak penting, serta kertas-kertas yang dijadikan satu oleh klip. Di sisi lain yang tegak lurus dengan meja kerja pria tersebut, terdapat meja pendek yang dikelilingi sofa—tentu dapat digunakan oleh pria itu untuk menyambut tamu yang dianggap penting olehnya.

Pria berambut gelap itu tampak serius membaca sebuah kertas sebelum ketukan pintu sedikit membuyarkan konsentrasinya.

"Masuk," ujar pria tersebut dengan suara yang dianggapnya cukup besar untuk didengar oleh tamunya—siapapun itu.

"Tou-san." Seorang pemuda berambut hitam panjang memasuki ruangan dengan beberapa berkas tampak menempel di tangannya.

Pria itu menoleh.

"Oh? Kau Itachi," jawab pria itu. "Ada apa?"

"Semua sudah pasti, Tou-san. Kebangkrutan perusahaan Hyuuga sudah tidak bisa dihindari."

Pria paruh baya yang merupakan pimpinan Uchiha Coorporation yang merupakan perusahaan elektronik terbesar di kota bahkan negara tempatnya tinggal, langsung menghentikan kegiatan membaca dokumen di hadapannya dan memusatkan perhatian pada putra sulungnya.

"Jadi Hiashi benar-benar tidak dapat mempertahankan perusahaannya?"

Itachi—si pemuda berambut hitam panjang—mengangguk sambil melihat beberapa berkas dari tangannya. Dengan tampang yang tidak terlalu berekspresi, Itachi menambahkan, "Sepertinya Orochimaru menggunakan cara licik untuk dapat menjatuhkan perusahaan raksasa sekelas perusahaan Hyuuga."

"Ya, tentu," jawab si pria paruh baya—Uchiha Fugaku. "Jika tidak, Hiashi tidak akan mungkin jatuh begitu saja."

Itachi tersenyum tipis. "Lalu? Apa yang akan Tou-san lakukan?"

"Ng?"

"Orochimaru sudah keterlaluan bukan? Dan jika aku tidak salah, Tou-san pernah berhutang budi pada Hiashi-Ji hingga Tou-san tidak sampai mengalami kebangkrutan."

Fugaku menatap putra sulungnya itu dengan tatapan menyelidik. "Sepertinya kau punya rencana, Itachi?"

Itachi melebarkan senyumnya sedikit.

"Aa... rencana yang sederhana. Tapi, jika berhasil, banyak keuntungan yang bisa kita dapatkan." Itachi kemudian memandang langit-langit ruangan kerja ayahnya, "Lagipula, bagi Otouto-chan-ku tersayang, ini akan jadi 'sekali mendayung dua tiga pulau terlampaui.'"

o-o-o-o-o

Hyuuga Hinata terlihat siap dalam balutan kimono formal. Gadis berambut panjang itu bahkan menyanggul rambutnya hingga tengkuk putihnya terekspos. Hinata tidak berdandan, meskipun demikian, kecantikannya terpancar begitu saja secara alami.

Bukan tanpa alasan Hinata berpenampilan seperti ini.

"Akan ada tamu, rekan kerja Tou-san." Demikianlah jawaban yang diberikan Hiashi saat Hinata menanyakan alasan mengapa ia harus mengenakan kimono formal tersebut.

Kini, bersama Hiashi yang terlihat gelisah dan lebih tegang dari biasanya, Hinata duduk bersimpuh di ruang tamu yang berada di tengah-tengah kediamannya. Gadis itu melirik dalam diam ke arah ayahnya. Cemas? Tentu saja. Gelagat ayahnya bagaikan orang yang hendak menghadapi preman yang mendadak akan menyerbu.

"To-tou-san… daijoubu ka?" tanya Hinata berhati-hati.

Hiashi tersentak.

"Eh? Ah… Ya. Tou-san baik-baik saja, Hime," jawab Hiashi sambil mengusahakan sebuah senyum. Dia tidak ingin membuat Hinata cemas. Tapi ternyata sikap tegangnya malah membuat gadis itu semakin bertanya-tanya. Hiashi sudah hendak menenangkan Hinata saat derap langkah mendekat ke arah ruang tempat mereka berada. Spontan, keduanya pun melayangkan pandang ke arah pintu.

Pintu geser terbuka, menampilkan sosok pelayan wanita yang sudah lama bekerja di kediaman Hyuuga. Dengan segala sikap efisien yang dimiliki pelayan tersebut, tamu yang ditunggu oleh Hiashi kini telah berada di ruang yang sama dengan dirinya dan Hinata. Tentu saja kedatangan tamu yang tidak terlalu dikenal Hinata ini membuat gadis itu sedikit gugup dan langsung menundukkan kepalanya.

"Konnichiwa, Hiashi-san, Hinata-chan," sapa orang yang kini sudah duduk bersimpuh di hadapan Hiashi. Orang tersebut berambut panjang dengan kulit yang berwarna pucat dan rambut hitam panjang. Tatapan matanya begitu tajam dan memancarkan kelicikan yang membuat Hiashi muak.

Hiashi tidak menjawab. Hanya Hinata yang dengan susah payah menjawab sebagai sopan santun.

"Ko-konnichiwa."

"Fufufu. Hinata-chan manis sekali. Bukan begitu, Kabuto?"

Kabuto, pemuda berambut keperakan yang duduk di samping si pria berambut hitam panjang langsung tersenyum sementara tangannya membetulkan posisi kacamatanya.

"Ya, Tou-san," jawab Kabuto akhirnya. "Hinata-chan sangat… cantik." Bersamaan dengan berakhirnya kata-kata tersebut, sebuah seringai langsung disunggingkan oleh Kabuto. Lalu—entah penglihatan Hinata yang bermasalah atau memang benar begitu adanya—tatapan mata Kabuto saat itu seolah hendak menerkamnya.

"Baik, baik," ujar si pria bermata tajam—Orochimaru—sambil menepukkan tangannya. "Kita akan langsung masuk pada inti pembicaraan."

Saat itu, melalui sudut matanya, Hinata bisa melihat Hiashi hanya menundukkan kepala. Lalu begitu mata pearl Hinata bergerak sedikit ke bawah, bisa dilihatnya tangan sang ayah yang terkepal kuat.

"Jadi kedatangan kami ke sini adalah untuk melamar Hinata-chan untuk menjadi istri dari Kabuto, putraku," jelas Orochimaru sambil menepuk pundak Kabuto.

Langsung saja Hinata mengalihkan perhatian dari ayahnya ke arah tamu-tamunya. Dia terkejut, sangat. Betapa tidak, ayahnya sama sekali tidak pernah mengatakan soal ini padanya.

"A-ano…?"

"Ada apa, Hinata-chan?" tanya Orochimaru dengan nada suara yang dibuatnya terdengar semanis mungkin.

"La-lamaran ini… tidak salah?" tanya Hinata sambil menggenggam tangan kirinya dengan tangan kanannya.

"Sama sekali tidak salah, Hina-chan." Kali ini, Kabuto lah yang berujar. Ia kemudian melihat ke arah Hiashi. "Bukan begitu, Hiashi-Ji? Anda juga sudah menyetujuinya kan?"

Hiashi menolak untuk memandang Kabuto maupun Orochimaru.

"O-otou-san?" panggil Hinata.

"Wah, wah… tampaknya Hiashi-san sedikit lupa dengan pembicaraan kita tadi?" ujar Orochimaru sambil memegangi dagunya. "Nah, Kabuto, sebaiknya kau ajak Hinata-chan berjalan-jalan sebentar di luar sementara aku mengingatkan Hiashi-san akan rencana lamaran ini."

Kabuto dengan patuh langsung berdiri dan kemudian beranjak ke arah Hinata. "Mari?"

"Eh?"

"Tidak apa, Hinata. Kau keluarlah sebentar dengan Kabuto. Kau bisa menunjukkannya kolam ikan di taman belakang kan?" ujar Hiashi perlahan.

Hinata memandang Hiashi selama beberapa saat sebelum akhirnya gadis lembut itu mengangguk. Setelahnya, ia pun menerima tangan Kabuto yang terulur untuk membantunya berdiri.

Belum sampai Hinata beranjak lebih jauh, samar-samar ia bisa mendengar ayahnya berkata.

"Gomen. Gomen ne, Hime."

Hinata menengok sekilas. Belum sempat ia bertanya apa maksud ayahnya, Kabuto sudah menarik Hinata menjauh, meninggalkan ruangan yang kini hanya berisi ayahnya dan Orochimaru—yang katanya adalah rekan kerja ayahnya.

"Jadi Hiashi-san…," ujar Orochimaru sambil menyeringai, "kau belum memberitahu Hinata-chan, eh?"

"Aku tidak mau memberitahunya. Dan kau juga tidak akan memberitahunya!"

Orochimaru membelalakkan matanya sebelum ia tergelak.

"Tentu, tentu. Kau tidak ingin putrimu tahu kalau kau sudah tidak berdaya bukan? Bahkan untuk sekedar melindunginya."

Hiashi hanya bisa menggertakkan giginya, tidak berkata apa-apa.

"Kalau begitu, seharusnya kau langsung bisa menjawab saat Hinata kebingungan dengan lamaran tadi," sambung Orochimaru lagi sambil menggelengkan kepalanya.

"Aku ingin memastikan terlebih dahulu bahwa putramu tidak akan menyakiti Hime."

"Kau bisa tenang," jawab Orochimaru santai. "Kabuto akan mencintai putrimu dengan baik."

Hiashi tidak tahu alasan apa lagi yang bisa digunakannya untuk menolak lamaran ini, lamaran yang justru datang dari musuhnya. Di satu sisi, dengan lamaran ini, Orochimaru memastikan bahwa Hinata tidak akan hidup dalam kesulitan setelah perusahaan Hyuuga bangkrut. Ia yang akan menjamin Hinata. Hiashi sendiri yang tidak mau putrinya hidup menggelandang, merasa bahwa tawaran ini adalah satu-satunya jalan keluar dari permasalahan yang tengah dihadapinya sekarang.

Tapi, di sisi lain, sudah jelas ini adalah strategi Orochimaru untuk mempertahankan perusahaan Hyuuga. Dengan kata lain, apabila Hyuuga bangkit kembali suatu saat nanti, sebagian dari kekayaannya tetap akan mengalir ke tangan Orochimaru—dengan asumsi bahwa Hinata akan resmi menjadi istri Kabuto nantinya. Selain itu, dengan cara ini, Hyuuga pun tidak akan bisa berbuat banyak, tidak pula berusaha merebut kembali perusahaan yang telah berhasil didapatkan olehnya.

Licik seperti ular. Itulah Orochimaru yang tengah dihadapi oleh Hiashi.

"Jadi… bisa kita teruskan pembicaraan mengenai lamaran ini?"

o-o-o-o-o

"Halaman rumah yang indah, Hinata-Hime," puji Kabuto saat mereka sudah di taman belakang yang sepi.

"A-arigatou, Kabuto-san..."

Taman belakang kediaman Hyuuga tersebut memang indah. Taman tersebut dikelilingi dengan pohon besar dan bunga-bunga. Di tengah-tengahnya terdapat sebuah kolam ikan yang cukup besar berbentuk bulat tidak sempurna. Di sisi-sisi kolam terdapat lampu yang akan berwarna kuning temaram jika dinyalakan. Untuk mencapai kolam tersebut, terdapat jalan setapak berbentuk batu-batuan pipih yang cukup besar untuk dapat menampung kedua kaki dari satu orang dewasa.

Dan kini, baik Kabuto maupun Hinata tengah berada di tepi kolam dengan Hinata yang bingung hendak memulai percakapan seperti apa dan Kabuto yang terlihat senang dengan seringai licik yang tidak lepas dari wajahnya.

"Ano… K-Kabuto-san… soal lamaran itu…"

"Ya?"

"Apa itu… serius?" tanya Hinata berhati-hati. Bagaimanapun juga, Hinata tidak mau apabila perkataannya sampai menyinggung perasaan Kabuto. Apalagi jika pemuda tersebut betul-betul serius.

"Tentu, Hime. Aku dan Tou-san sangat serius," jawab Kabuto sambil menyeringai. Lalu, tanpa peringatan sebelumnya, pemuda tersebut merangkul pundak Hinata.

"A-ah?"

"Jika Hime tidak percaya, akan kubuktikan.…"

"Eh? T-tidak! Tunggu Kabuto-san!"

Kabuto memposisikan tangannya di pinggang dan belakang kepala Hinata. Ia menekan kepala gadis itu sampai semakin dekat dengannya. Hinata sendiri sudah berusaha mendorong Kabuto menjauh dengan meletakkan kedua tangannya yang kurus di dada Kabuto.

"U-ugh! K-Kabuto-san! Hentikan!"

"Ayolah, Hime? Bukankah kau ingin tahu seberapa besar keseriusanku? Lagipula, cuma satu ciuman tidak akan sampai membunuhmu," jawab Kabuto yang mulai kehilangan kesabaran, kini dia memegang kedua tangan Hinata yang mati-matian dijadikan Hinata sebagai penjaga jarak di antara mereka.

Karena Hinata masih juga mengelak dari ciuman yang hendak dipaksakan Kabuto padanya, dengan penuh nafsu, Kabuto pun langsung mencium leher Hinata. Hinata terbelalak seketika dan wajahnya semakin memerah. Tapi itu tidak lantas membuatnya kehilangan kendali atas kesadarannya. Justru ia langsung melepaskan tangan Kabuto begitu dirasanya pegangan tangan pemuda tersebut mengendur. Secepat yang ia bisa, Hinata langsung berlari menjauh sembari memegangi lehernya.

Sial beribu sial, kimono serta geta yang digunakan Hinata tidak dapat membantu gadis itu untuk berlari lebih cepat. Kabuto dapat dengan mudah menangkap gadis itu dan kemudian menjatuhkannya ke rumput lembut yang menghiasi halaman rumah keluarga Hyuuga.

"Nah, nah…," ujar Kabuto puas, "kini kau tidak bisa lari lagi, Hime!"

"Le-lepaskan aku!" ujar Hinata berontak. Tapi Kabuto malah mencengkeram kedua tangan gadis itu di atas kepalanya. Dan sebagai jawaban atas usaha Hinata, Kabuto malah menyeringai dan semakin mendekatkan bibirnya ke bibir Hinata.

Tidak! batin Hinata. Tou-san! Siapapun! Tolong aku!

Hinata memejamkan matanya seolah ia sedang berdoa agar Kami-Sama memberikan seorang penolong baginya.

Dan doa itu pun terkabul saat suara berat menelusup masuk ke telinganya.

"Sebaiknya kau hentikan. Dia tidak mau denganmu!"

Suara itu pun otomatis membuat Hinata membuka matanya. Pemandangan pertama yang dilihatnya adalah Kabuto yang sudah terlihat geram karena kesenangannya terganggu. Perlahan, Hinata pun menggerakkan kepalanya untuk melihat siapa yang baru saja berbicara.

Napasnya terasa tercekat.

Baik Hinata maupun Kabuto tidak mungkin tidak mengenal orang itu.

Seorang lulusan dari jurusan bisnis di universitas terkemuka di kota mereka yang akhir-akhir ini namanya sedang naik daun dalam dunia bisnis meskipun usianya baru menginjak 21 tahun.

Sosok yang menyandang nama terkuat dengan perusahaan yang besarnya tidak main-main.

Sosok yang seolah menggambarkan segala ketidakadilan di dunia.

Uchiha… Sasuke.

***つづく***


Yap! Akhirnya beres juga Chapter 1 dari fic ini. Sungguh, saya dag-dig-dug nggak keruan pas mau publish. haiyaaa... ampe ragu-ragu mau publish apa nggak *curcol*

Terus, Su-chan, maaf yah kalau ada beberapa perombakan di ceritanya. Buat judulnya... duh, nggak kepikiran judul lain... jadi nanti maaf kalau judul agak gak nyambung ama cerita. DX

Err... oh iya, thanks juga buat my new private english teacher-Bozz Mimi, terus buat sayong-beibz Night-chan dan paduka ratu Lilith-Sama yang udah memberi semangat buat publish fic ini di saat saya ketar-ketir ragu-ragu. XD

By the way, di chapter ini emang belum ada apa-apanya ya? Hm... anggaplah ini semacam prologue yang mungkin… uhm… membosankan? Haha*tawa getir*

Dan yah... ini tuh bakal jadi serial multichapter pertama yang tokoh utama perempuannya bukan Ino, jadi saya agak deg-deg-an juga buat bikinnya (walaupun tetap aja Ino bakal muncul nanti. Ah, Sakura juga sih. Ehehehe). Ditambah lagi, dunia kerja dengan perusahaan-perusahaan besar... haiah, jika saya membuat kesalahan dalam keterangan-keterangan permasalahan perusahaan, tolong dimaklumi dan diberi masukan. DX

And last, but not least...

I need your review to know what's your opinion about this fic.

I'll be waiting. :3

Regards,

Sukie 'Suu' Foxie

~Thanks for reading~