Summary : Hidup memang seringkali tidak adil. Terutama bagi mereka yang seakan diterbangkan terlalu tinggi, lalu dihempaskan dengan keras. Seperti yang dirasakan Sasuke.

.

Title: Run Devil Run

Disclaimer: Naruto Masashi Kishimoto

Pairing: SasukexHinata, SaiXHinata, slight SaiXIno

Genre: Romance; Drama

Warning: AU, OOC, crack pair , misstype, dll

.

Run Devil Run

Chapter 15

.

.

Sasuke sedang berada di sana, salah satu hotel ternama di kota Konoha. Lelaki itu ada di dalam sebuah ruangan hotel bertipe suite yang dilengkapi dengan beberapa kamar tidur, kamar mandi, ruang tamu serta ruang kerja. Tentu Sasuke tak menyewanya sendiri. Ruangan bertarif sewa mahal tersebut adalah dimana pamannya tinggal sementara waktu selama di Konoha. Meski benci mengakui, namun Sasuke sedang butuh seseorang bersamanya untuk sedikit mengurangi kagalauan yang ia rasakan. Maka, Sasuke tanpa pikir panjang menerima tawaran pamannya untuk tinggal bersama.

Sasuke sedang duduk di salah satu sofa panjang yang ada di ruang tamu. Kaki panjangnya ia biarkan memenuhi sofa tersebut. Punggungnya ia sandarkan di lengan sofa. Dengan sweater berwarna abu-abu serta celana santai hitam membuat penampilannya begitu kasual. Sasuke tengah memeriksa berkas-berkas yang diberikan pamannya, Uchiha Obito. Berkas-berkas itu berisi hal-hal yang bersangkutan dengan perusahaan Uchiha dan dirinya. Meskipun masih berada di bangku sekolah, bukan berarti Sasuke tidak tahu menahu perihal perusahaan. Bergaul dengan Naruto dan Gaara yang memang telah dilatih untuk mewarisi grup perusahaan ayah mereka sedikit banyak membuat Sasuke tahu. Dokumen yang ada dihadapannya juga ditulis dengan cukup jelas untuk ia mengerti. Lagipula, Sasuke adalah orang yang jenius.

Di ruangan itu Sasuke tidak sendiri. Uchiha Obito juga berada di sana. Pamannya berpenampilan begitu kontras dengan si keponakan, sangat rapi dengan kemeja serta celana khas eksekutif. Pria dewasa bertubuh gagah tersebut duduk di sofa yang berseberangan dengan Sasuke. Satu kakinya disilangkan di atas kaki yang lain, punggungnya bersandar pada bahu sofa, sementara tangannya memegang sebuah tablet berwarna putih. Raut pria tersebut juga serius.

Sasuke mengalihkan pandangannya ke arah sang paman, kedua manik hitamnya berkilat. "Jadi, sebenarnya ayah mewariskan sahamnya padaku dan Sai? Tapi karena kelicikan ibunya, aku tidak tahu menahu soal itu?"

Suara Sasuke membuat Obito mengangkat wajahnya. Ia meletakkan tablet yang sejak tadi menjadi pusat perhatiannya ke atas meja. "Tepat. Dan itulah alasan kenapa aku kemari, keponakanku yang tampan." Wajah serius Obito kini berganti menjadi ceria, mungkin pria tersebut berusaha membuat atmosfir menjadi lebih hangat.

Tetapi Sasuke malah menghela napas bosan. Dia melemparkan berkas-berkas itu ke atas meja secara sembarangan. "Aku tidak peduli. Aku tidak mau berurusan dengan wanita itu." Ucap Sasuke enteng tanpa minat. Ia memang tidak ingin berhubungan dengan wanita yang telah merusak keluarga dan kebahagiaannya. Ia tidak sudi bertemu wanita itu.

Obito menggeleng-gelengkan kepala, maklum. Pria itu sudah bisa menebak reaksi Sasuke. Persis seperti apa yang dia bayangkan. Keponakannya tersebut memang pemuda yang cenderung cuek dan tidak pedulian. Bahkan bisa dibilang Sasuke tidak berambisi untuk hal yang menyangkut perusahaan. Namun Obito tidak mau membiarkan hal itu terus berlanjut. Ia akan tetap membantu Sasuke untuk mendapatkan warisannya.

Sesungguhnya, Obito juga merasa bersalah. Beberapa bulan lalu ketika ayahnya meninggal, ia tidak bisa membawa Sasuke tinggal bersamanya. Obito saat itu masih menemani Rin, istrinya yang memutuskan untuk sekolah master di Jerman. Maka dari itu Obito menyuruh Sasuke kembali ke Jepang. Ia memang menanggung segala kebutuhan Sasuke, namun Obito tetap merasa bersalah. Ia membiarkan Sasuke yang bahkan belum genap berumur 18 tahun untuk tinggal sendiri. Oleh sebab itu, Obito akan mengerahkan segala kemampuannya untuk membantu Sasuke sekarang.

"Sasuke... mungkin saat ini kau tidak tertarik karena masih labil." Obito bisa melihat alis Sasuke yang mengernyit ketika mendengar kata labil. "Tapi di masa depan, kau benar-benar akan menyesal jika mengabaikan ini. Warisan itu adalah hakmu. Kau harus memintanya kembali. Yah... untuk biaya kehidupan sehari-hari dan sekolahmu memang bukan masalah buatku. Tapi, bayangkan saat kau berkeluarga nantinya. Mau tidak mau, kau harus memiliki cukup harta untuk memenuhi segala kebutuhan keluargamu."

Kalimat yang panjang itu hanya ditanggapi Sasuke dengan gumaman. "Aku bisa bekerja."

"Apa kau bisa menjamin kau akan mendapatkan pekerjaan yang bagus? Kau harus rasional, Sasuke. Bagaimanapun, kau harus mengambil hakmu."

Sasuke masih diam, namun menolak untuk membalas tatapan pamannya yang sudah berubah menjadi serius. Kedua maniknya justru kesana-kemari, berlagak mengagumi interior ruangan hotel yang begitu berseni.

"Warisanmu tidak hanya sekedar rumah atau tanah... ini saham, Sasuke. Duapuluh dua persen saham bukanlah jumlah yang sedikit. Perusahaan Uchiha sendiri adalah bagian dari perusahaan keluarga kita. Kau tidak bisa membiarkannya lepas begitu saja."

Obito tidak menyerah untuk membujuk Sasuke. Saham yang dimiliki atas nama Uchiha Fugaku adalah 43 %, dimana setelah Obito selidiki, ternyata milik Sasuke adalah 22% dan Sai mendapat bagian 21%. Karena keduanya belum dewasa, hak wali mereka diberikan kepada Konan selaku istri sah. Masalahnya, Sasuke tak pernah dilibatkan apapun dalam persoalan ahli waris tersebut. Seakan-akan disembunyikan agar Sasuke tidak meminta haknya. Perusahaan Uchiha sendiri sekarang dipimpin oleh Konan melalui rapat pemegang saham yang Obito yakin Sasuke bahkan tidak diberitahu.

Sasuke kini memejamkan mata, tampak berpikir. Obito membiarkannya sejenak. Dia tahu keponakannya memiliki otak yang cerdas dan mampu berpikir secara rasional.

"Lalu apa yang harus kulakukan?" tanya Sasuke dengan masih memejamkan wajahnya begitu tenang, seolah-olah hal ini bukanlah masalah besar.

"Kita akan mengambil jalur hukum untuk menghadapi wanita licik sepertinya," ujar Obito penuh kemantapan.

Dan detik berikutnya kelopak mata Sasuke langsung terbuka. Ia menatap pamannya dengan ekspresi sedikit terkejut.

"Apa itu tidak berlebihan?" Sasuke bertanya, kurang yakin dengan apa yang barusaja dikatakan pamannya. Ia tidak menyangka paman Obito yang memiliki sifat ceria dan positif tersebut akan melibatkan hukum dalam pemecahan masalah ini.

"Apa menurutmu yang dilakukan wanita itu juga tidak berlebihan?"

Pertanyaan yang balik dilontarkan oleh Uchiha Obito membuat Sasuke tak mampu menyanggahnya. Sasuke paham inti permasalahan ini, namun ia tidak mengerti dengan metode penyelesaian yang akan digunakan oleh pamannya. Obito bahkan kini memasang ekspresi seriusnya yang jarang digunakan. Jika sudah seperti ini... hanya satu kesimpulan yang bisa Sasuke ambil.

Masalah ahli waris ini adalah masalah yang sangat serius.

.

.

Run Devil Run

.

.

Hinata sedang berada di kamarnya, duduk di lantai yang telah dilapisi karpet bermotif bunga begonia. Ada sebuah meja kecil dengan notebook yang menyala di depan gadis tersebut. Sebuah kertas yang diberikan Neji kemarin tergeletak di sisi meja yang masih kosong.

Konoha Photo Challenge

Begitulah judul yang dicetak tebal dengan font serta warna mencolok yang menarik perhatian. Rupanya, selebaran yang diberikan Neji adalah sebuah pamflet lomba fotografi yang diadakan baru-baru ini. Hinata tentu saja langsung tertarik untuk mengikutinya, mengingat salah satu hobi yang paling disenanginya adalah fotografi. Terlebih, aturan lomba begitu sederhana dan mudah. Peserta lomba hanya diminta untuk mengumpulkan sebuah foto dengan tema bebas. Pengumuman pemenang lomba akan diumumkan seminggu setelah deadline pengumpulan foto kontes. Batas pengumpulan foto sendiri masih beberapa hari lagi.

Maka, sekarang yang Hinata lakukan adalah sedang membuka-buka folder koleksi foto yang ia simpan di komputer portabelnya tersebut. Hinata tidak menyadari jika ternyata dia telah mengambil begitu banyak foto selama beberapa bulan terakhir ini. Baik itu foto pemandangan alam sekitar maupun foto orang-orang yang Hinata kenal.

Gadis itu telah memilih-milih sejak tadi, namun ia belum menemukan foto yang sesuai keinginannya. Ia membutuhkan sebuah foto yang benar-benar menarik serta dengan teknik pengambilan gambar yang baik. Meskipun dirinya memang hanya seorang amatir, namun Hinata tahu dasar-dasar pengambilan gambar yang baik, dan Hinata selalu berusaha memraktekannya ketika memotret suatu objek.

Tangan Hinata belum berhenti menggerakkan scroll mouse yang terhubung dengan notebook-nya, sementara kedua manik lavendernya masih berfokus untuk meneliti koleksi fotonya satu persatu.

Lalu tiba-tiba, sebuah foto berhasil menarik perhatian Hinata. Ia segera membesarkan tampilan foto tersebut, ingin melihat lebih jauh. Sesaat kemudian Hinata menemukan dirinya yang tertegun dan tak mampu berkata apapun. Sebuah foto yang sempat Hinata lupakan... foto yang terlihat begitu indah. Namun di saat yang sama, Hinata merasakan dadanya sakit.

Foto itu... adalah saksi bisu yang menjadi awal mula kisahnya di kota ini. Sebuah foto yang membuat kehidupannya menjadi begitu lebih berwarna, naik turun bagai roda yang berputar. Sebuah foto yang membuat dua orang sekaligus masuk ke dalam kehidupannya yang sebelumnya begitu monoton.

Pertanyaan Neji kembali terngiang.

Apa kamu yakin perasaanmu pada Sai bukan perasaan kagum? Dan apa kamu yakin perasaanmu pada Sasuke bukan hanya perasaan kasihan?

Pertanyaan yang membuat Hinata tidak bisa tidur. Pertanyaan yang begitu mengganggu pikirannya jika ia tidak segera menemukan jawabannya.

Sekarang, ketika membayangkan masa depan, menurutmu, siapa yang akan kamu pilih? Dari keduanya, siapa yang paling membuat hidupmu kesepian kalau dia tidak ada? Dan siapa yang dengan kehadirannya, membuat hatimu paling bahagia?

Hinata telah memikirkan pertanyaan itu berulang kali, menanyai dirinya sendiri. Ia mengulang kembali ingatan akan kenangan-kenangan yang dilaluinya selama beberapa bulan belakangan dengan kedua pemuda Uchiha tersebut. Hinata mengingat-ingat, apa yang dirasakannya ketika bersama Sai dan Sasuke. Mana yang lebih membuat dadanya berdebar-debar. Mana yang lebih memerhatikannya... mana yang lebih berkorban untuknya, dan mana yang Hinata inginkan untuk bersamanya di masa depan.

Setelah memikirkan masak-masak dengan penuh perhitungan, kini Hinata semakin mantap akan jawabannya. Terima kasih pada foto yang ditemukannya... Hinata semakin yakin dengan pilihannya.

Hinata tersenyum getir. Ia ingin meminta maaf pada pemuda Uchiha itu karena dirinya membutuhkan waktu terlalu lama untuk menyadari perasaannya. Hinata ingin berterima kasih atas apa yang telah dilakukan pemuda tersebut padanya selama ini. Menemaninya di saat senang maupun sedih, menolongnya, berkorban untuknya. Lalu, Hinata ingin membuat pengakuan.

Tapi... apa yang harus ia lakukan ketika lelaki tersebut bahkan tak mau menemuinya?

Hinata melirik ponselnya yang tergeletak begitu saja di atas tempat tidur. Tangannya bergerak untuk meraih ponsel itu, kemudian mencari satu nama yang tersimpan di kontak. Ragu-ragu... Hinata menghela napas panjang, bersiap-siap. Kemudian ia segera menekan nomor tersebut, membuat sebuah panggilan.

Deringan pertama... lalu kedua belum juga terangkat, Hinata was-was. Harap-harap cemas. Dan ketika nada tunggu berhenti yang menandakan panggilannya tersambung, Hinata merasakan dadanya justru semakin berdebar-debar. Ia bahkan hampir melonjak karena senang. Ia benar-benar tak menyangka kalau teleponnya akan diangkat.

"S-Sasuke?"

Tidak ada jawaban, namun telepon masih tersambung. Hinata menggigit bibirnya. Tidak apa-apa Sasuke tidak menyahut panggilannya. Yang penting pemuda itu sudah mau menerima teleponnya.

"Sasuke... kau di sana?" Hinata bertanya pelan, takut-takut. Namun masih tidak ada jawaban yang terdengar. Meski begitu, Hinata yakin Sasuke masih ada di ujung sana.

"Maafkan aku... Sasuke... aku bersalah..." Hinata mengucapkannya dengan tulus dan sungguh-sungguh. Ia harap ungkapan maafnya akan sampai pada Sasuke. Meskipun kesalahan yang dibuatnya terlalu banyak, tapi Hinata tetap berharap Sasuke akan memberinya maaf. Kemudian, rasa cemas tiba-tiba menyusup di pikirannya.

"Sasuke... kau ada di mana? Apa kau baik-baik saja?"

Tidak ada sahutan.

"Apa kau sudah makan, Sasuke? Kau tidak kedinginan, kan?"

Tetap tidak ada jawaban. Hinata menghela napas, menunduk dengan sedih. Ia menelan ludah, berusaha untuk menahan matanya yang mulai panas. Ini menyakitkan. Sasuke masih marah.

Dengan lirih serta nada yang dipenuhi kesedihan, Hinata memberanikan diri mengucapkan kalimat yang mewakili hatinya. "A-aku... aku merindukanmu."

Namun Sasuke tetaplah tak menjawab. Tak ada suara apapun, hanya desahan nafas yang menandakan bahwa lelaki tersebut mendengarkan. Mereka diam selama beberapa saat dalam keheningan. Hinata masih menunggu Sasuke bersuara.

Akhirnya setelah beberapa lama, Hinata memilih untuk menyerah. Tidak apa jika Sasuke belum mau berbicara padanya. Pelan-pelan, Hinata yakin nanti ada saat dimana mereka bisa bertemu akan tiba. Hinata hanya harus bersabar sedikit lagi.

Hinata lalu mengalihkan pandangannya pada foto yang masih terbuka di komputernya.

That lucifer.

Itu nama yang ia berikan pada foto tersebut. Panggilan yang sering ia lontarkan diam-diam pada Sasuke. Sifat yang seenaknya seperti sang Lucifer, namun begitu perhatian padanya. Hinata benar-benar merindukannya. Hinata merindukan Sasuke...

Dengan senyum kecut, Hinata pun mengakhiri teleponnya.

"Selamat malam, Sasuke. Jaga kesehatanmu."

.

.

Run Devil Run

.

.

Sasuke masih berada di kamar hotel yang disewa oleh Uchiha Obito. Ia sedang berdiri di samping dinding kaca yang mengarah ke pemandangan di luar hotel, mengamati segala yang bisa ditangkap oleh indera penglihatannya. Kamar yang berada di lantai empatbelas tersebut memberikan keleluasaan yang cukup untuk melihat berbagai aktivitas malam hari di salah satu jantung kota Konoha.

Kedua manik gelap Sasuke menelusuri pemandangan malam khas kota yang dipenuhi oleh kerlap-kerlip lampu, megatron maupun videotron yang dipasang di sisi kanan kiri jalan. Kendaraan-kendaraan yang berlalu lalang di bawah sana memberikan efek jejak lampu yang indah bila dilihat dari atas.

Sayangnya, semua pemandangan tersebut tak membuat suasana hati seorang Uchiha Sasuke menjadi lebih baik.

Satu tangannya terlihat menggenggam ponsel yang ia dekatkan ke telinga. Raut wajahnya tampak begitu datar, namun sorot mata tajamnya seakan berusaha sekuat tenaga menahan segala gejolak perasaannya.

"S-Sasuke?"

Betapa sebenarnya jauh di lubuk hatinya Sasuke merindukan suara itu. Suara lembut yang memanggil namanya itu terasa begitu pas di gendang telinga Sasuke. Dia ingin membalas panggilan tersebut, ingin menyebut nama gadis yang mengacaukan pikirannya. Namun Sasuke memilih menutup rapat bibirnya.

"Sasuke... kau di sana?"

Ada nada khawatir yang tersirat dari suara tersebut. Sasuke bisa merasakannya. Tapi bibirnya kelu. Mungkin karena pikirannya menolak untuk mau membalas pertanyaan Hinata. Akhirnya, Sasuke hanya bisa menjawab di dalam hati.

Aku disini.

"Maafkan aku... Sasuke... aku bersalah..."

Wajah Sasuke mengeras. Tebakannya benar, yang dikatakan Hinata selanjutnya adalah meminta maaf. Gadis itu suka sekali meminta maaf, bahkan terkadang pada hal yang tak perlu. Biasanya perkataan maaf Hinata akan membuat Sasuke tak nyaman. Namun kali ini, pernyataan itu seolah tak memiliki efek apapun.

Kau memang bersalah. Membuatku selalu kesakitan.

Jeda beberapa saat, hingga suara Hinata kembali terdengar. Gadis itu tampak tidak menyerah meski tidak ada sahutan dari Sasuke.

"Sasuke... kau ada di mana? Apa kau baik-baik saja?"

Di tempat yang tak kau ketahui. Dan tidak. Aku tidak baik-baik saja.

Sasuke memang tidak baik-baik saja. Keadaannya begitu berantakan. Jika saja tidak ada panggilan dari pamannya, mungkin Sasuke masih akan berada di tempat tidur rumah lamanya, terlalu malas untuk melakukan apapun. Sasuke telah beberapa kali merasakan sakit hati, dan ketika kini ia mengalaminya lagi karena seorang gadis, rasanya tetap perih. Bagai ada ratusan jarum yang menusuk hatinya.

Sasuke mendesah, membiarkan Hinata tahu kalau dirinya masih mendengarkan.

"Apa kau sudah makan, Sasuke? Kau tidak kedinginan, kan?"

Makan? Bahkan aku tidak merasa lapar. Kedinginan? Aku kedinginan karena kau selalu mengabaikanku.

Bukan dingin yang dirasakan oleh tubuhnya yang Sasuke maksud, tapi dingin yang dirasakan oleh hatinya. Hatinya kesepian, mendambakan kasih sayang dari orang yang ia sukai. Tapi Sasuke tidak pernah mendapatkan itu. Penderitaan karena ditinggal pergi oleh orang-orang yang ia sayangi, membuat hati Sasuke beku. Bahkan Sasuke ragu apakah dirinya mengingat bagaimana rasanya dicintai seseorang.

"A-aku... aku merindukanmu."

Saat mengatakannya, suara Hinata terdengar bergetar dan semakin lirih. Seperti menahan tangis.

Sasuke memejamkan mata. Ia merasakan dirinya mulai goyah untuk menjawab ucapan Hinata. Tapi Sasuke tidak bisa... atau tepatnya tidak mau. Hatinya masih sakit. Lagi, ia hanya menyahut dalam hati, dimana hanya dirinya sendiri yang tahu.

Bohong.

Kau tidak merindukanku. Kau hanya kasihan dan merasa bersalah, karena sifatmu yang terlalu baik itu.

Kemudian Hinata diam, seperti kehabisan kata-kata karena Sasuke tak kunjung bicara. Beberapa saat kesunyian mendominasi karena mereka masih saling diam. Hanya desahan nafas masing-masing, yang menandakan kalau keduanya masih saling mendengarkan.

Hingga pada akhirnya terdengar lagi suara Hinata yang ingin mengakhiri percakapan mereka. Ah... bukan percakapan karena Sasuke tidak menyuarakan jawabannya.

"Selamat malam, Sasuke. Jaga kesehatanmu."

Sasuke menunggu hingga ia benar-benar tidak mendengar tanda-tanda kehadiran Hinata di seberang. Sasuke menghembuskan napas berat lagi. Lalu, dengan ponsel yang masih berada di telinganya, Sasuke berkata.

"Apa kau baik-baik saja di sekolah? Kudengar hampir semua orang memusuhimu?"

"Jangan telat makan... dan istirahat yang cukup."

Tidak ada jawaban, karena Sasuke yakin Hinata memang telah memutus sambungan. Ia menengadah ketika merasakan kedua irisnya mulai basah. Ah... ini memalukan, pikirnya. Sasuke tidak pernah menangisi wanita selain mendiang ibunya.

"Aku juga minta maaf, membuatmu mengalami semua kejadian ini."

Hinata memang bersalah, tapi bukan berarti Sasuke inosen. Baik Hinata, Sai maupun dirinya sendiri bersalah. Mereka tidak dapat mengontrol emosi. Mereka berdua menyeret Hinata ke dalam persaingan berkedok perasaan romantis. Bahkan beberapa minggu lalu Hinata mengalami pem-bully-an yang cukup parah karena mereka berdua. Sekarang Hinata mengalaminya lagi, meski hanya berupa tatapan dan bisik-bisik, namun Sasuke memahami hal itu pastilah menyakitkan.

"Dan aku juga merindukanmu. Sangat... sangat rindu hingga pada tahap kau selalu muncul di mimpiku."

Sasuke mengeratkan pegangan pada ponselnya. Pikirannya kembali kalut. Ada perasaan menyesal karena telah mengabaikan telepon Hinata. Satu lagi helaan napas keluar, kemudian Sasuke mengakhiri monolognya.

"Selamat malam, Hinata."

.

.

Run Devil Run

.

.

"Lalu bagaimana denganku, Sai?!"

Air mata yang menuruni wajah cantik itu semakin deras. Ino tampak sangat terluka. Apa yang baru saja disampaikan oleh Sai benar-benar menyakiti hatinya. Bagaimana mungkin, Sai yang begitu baik hati melakukan semua ini padanya? Setelah semua yang ia ceritakan pada pemuda tersebut beberapa hari lalu, bagaimana mungkin Sai tetap pada pendiriannya? Jika sudah seperti ini, apa yang harus Ino lakukan?

Mereka berdua sedang berada di halaman keluarga Uchiha, duduk di sebuah bangku. Sai menunduk dalam, sedangkan Ino tengah menatapnya dengan sedih.

"Ino... aku minta maaf atas semua yang terjadi. Tapi kau sendiri tahu, memaksakan semua ini hanya akan membuat keadaan semakin memburuk."

Sejujurnya, Ino mengetahui kebenaran kalimat tersebut. Perasaan tidak bisa dipaksakan. Tapi Ino menolak untuk membenarkannya. Hatinya belum siap... bahkan Ino tak tahu apa hatinya bisa menerima semua itu.

"Tapi itu terjadi karena kau tidak memberiku kesempatan!" Suara Ino meninggi, setengah frustasi.

Sai terdiam, tak berusaha mengelak. Wajahnya menunjukkan penyesalan. "Aku membuat Hinata dalam kesulitan saat ini, Ino. Aku harus berada di sampingnya."

"Apa aku terlihat tidak kesulitan di matamu?! Bagaimana denganku?!" desis Ino yang semakin tidak bisa mencegah emosinya.

Sai memang telah menceritakan perihal bully yang dialami Hinata karena kesalahpahaman di sekolah. Namun Ino merasa Sai tidak adil. Demi Tuhan, bahkan Ino kehilangan mimpinya untuk menjadi atlet tenis, satu-satunya mimpinya selama ini! Apa yang dialami Hinata tidak sepadan dengan yang sudah dialami Ino.

Sai menghela napas panjang. Ia menutup matanya sesaat, lalu membukanya kembali.

"Ino, ini hanya akan semakin menyakitimu. Memaksakan semua ini, kita berdua tidak akan bahagia. Kumohon, mengertilah..."

"Kau jahat, Sai..." Suara Ino tertahan oleh isakan yang tidak bisa dicegah. Ino tidak ingat kapan ia menjadi cengeng seperti sekarang. Ia adalah gadis yang tegar dan kuat. Tapi ketika berhadapan dengan Sai, semua itu tidak berlaku. Lelaki bersurai hitam itu dengan mudahnya meruntuhkan segala pertahanannya.

"Kau tahu, kau adalah gadis yang baik. Akan ada di luar sana laki-laki yang tepat untukmu."

Kalimat yang disampaikan Sai tidak membantu Ino merasa lebih baik. Meski diucapkan pelan-pelan dengan nada lembut, namun kalimat tersebut tak memiliki pengaruh baik. Justru sebaliknya, Ino merasakan hatinya semakin sakit. Dadanya sangat nyeri.

"Jadi kau akan tetap datang pada Hinata? Meskipun aku bahkan mengorbankan impianku demi dirimu?" Kini Ino sekali lagi menjatuhkan harga dirinya. Ia tidak peduli lagi. Sejak dulu, laki-laki yang berhasil mengisi hatinya hanya Sai. Tidak ada yang lainnya. Cinta pertamanya, bahkan sekarang, adalah Uchiha Sai.

"Maafkan aku... aku hanya bisa kembali padamu sebagai sahabat. Aku tidak berani menjanjikan lebih. Perasaan ini tidak bisa dibohongi, Ino."

Ino berusaha keras menahan air matanya yang semakin membanjir. Ia tidak bisa menunjukkan kelemahannya lebih dari ini. Sai telah benar-benar menolaknya. Sai telah pergi dari sisinya, dan tidak bisa kembali.

Kemudian Ino teringat alasan pertunangan mereka. Bisnis. Ibu Sai meminta dukungan untuk masalah yang berkecamuk di perusahaan Uchiha. Ino tidak terlalu peduli dengan masalah itu, toh ia tak memahami dunia bisnis seperti para orangtua mereka. Namun, satu hal yang Ino mengerti, adalah hubungannya dengan Sai akan berpengaruh terhadap jalinan bisnis keluarga Yamanaka dan Uchiha.

"Kalau kau membatalkan pertunangan kita, aku tidak yakin ayahku akan tetap mendukung perusahaan ibumu."

Sai mengangguk, membenarkan dugaan Ino. "Aku akan membicarakan itu pada Ibu..."

Ino tak berkata-kata lagi. Tidak ada lagi yang bisa disanggah.

Berusaha menguatkan hati dan tubuhnya, Ino bangkit berdiri. Ia memandang Sai dengan sedih, kemudian berbalik. Bahunya kembali bergetar dan airmatanya lagi-lagi turun tanpa bisa dicegah. Namun Ino segera melangkah pergi. Ia tidak bisa berlama-lama dengan lelaki yang telah menyakiti hatinya. Ino menjauh tanpa menoleh ke belakang, meninggalkan Uchiha Sai yang hanya bisa menatapnya penuh penyesalan.

.

.

Run Devil Run

.

.

Hinata duduk sendirian di salah satu sudut atap sekolah. Benar-benar sendirian, tanpa ada yang menemani. Gadis itu sedang memakan bekalnya. Beberapa hari terakhir, Hinata lebih memilih untuk makan siang di atap yang sepi. Ini lebih nyaman daripada makan siang di kafetaria,mengingat pandangan sinis yang dilayangkan padanya belumlah surut. Terlebih Sasuke yang masih menghilang tak memperbaik keadaan. Malah beredar rumor-rumor aneh lain yang benar-benar mendramatisir.

Awalnya, Sakura serta Tenten bersikeras akan menemani Hinata, namun Hinata tidak ingin merepotkan kedua sahabatnya lebih jauh lagi. Sakura dan Tenten tidak membawa bekal, akan kasihan jika mereka membawa-bawa nampan berisi makanan ke atap, mengingat kedua temannya tersebut selalu tidak sarapan hingga harus makan besar ketika istirahat siang. Maka, disinilah Hinata, menghabiskan waktu istirahat siangnya dengan makan bento sambil menikmati pemandangan yang disuguhkan oleh lingkungan sekitarnya.

Dirinya tidak terlalu mengambil pusing segala tindakan bully tersirat ataupun terang-terangan yang diberikan padanya. Bisikan tak mengenakkan serta pandangan sinis, Hinata menepis semua itu. Berusaha untuk tak terlalu memikirkannya karena akan percuma. Sudah menjadi sifat dasar manusia, untuk selalu ingin tahu dan gampang menuduh yang hanya tampak di luar saja. Memang terasa sakit, namun Hinata bisa menahannya. Ia belajar menjadi seseorang yang lebih kuat melalui masalah ini. Hinata yakin, suatu saat keadaan akan berbalik. Ia akan kembali memiliki banyak teman seperti sebelumnya.

Lagipula, hidup memang bagai roda yang berputar. Ada kalanya ia senang, tapi ada juga waktu dimana ia harus merasakan apa itu kesedihan.

Begitu terpusatnya segala atensinya pada awan yang cerah di atas sana, Hinata sampai tidak menyadari akan kehadiran seseorang.

"Permisi. Boleh aku bergabung?"

Sapaan yang terdengar tiba-tiba itu membuat Hinata terperanjat dan otomatis mendongak untuk melihat siapa pemilik suara berat itu. Ia bahkan sampai tidak mengenali suara tersebut saking terkejutnya.

"Sai-senpai..." Hinata bergumam lirih, tidak menyangka kalau senpai-nya tersebut yang datang.

Sai menawarkan senyum teramahnya, kemudian segera duduk bergabung dengan Hinata meski gadis itu belum mengiyakan. Ada sebuah tas plastik di tangannya, lalu Sai mengeluarkan beberapa roti isi dan jus kotak dari tas tersebut. Membuka roti isi, kemudian mengunyahnya dengan nikmat. Hinata melirik kelakuan senpai-nya dengan hati gundah. Dulu, mungkin ia akan gugup bercampur bahagia dengan keadaan seperti ini. Namun sekarang, yang ada justru malah canggung.

Hinata terdiam, hanya mengunyah sisa makanannya yang tinggal sedikit pelan-pelan. Sementara Sai malah tampak bersemangat dan ceria.

Mereka berdua duduk dalam keheningan selama beberapa saat, sebelum akhirnya Sai membuka suara.

"Maafkan aku."

Hinata berhenti mengunyah sebentar, lalu kembali melanjutkan dan cepat-cepat menelannya untuk menjawab. "Untuk apa?"

Sai menghembuskan napas panjang, kemudian berkata dengan nada sarat penyesalan. "Membuatmu berada di situasi tak mengenakkan ini."

Tidak langsung menanggapi, Hinata kembali mengunyah makanannya sambil merenung. Sepertinya saat ini adalah waktu yang paling tepat untuk meluruskan kesalahpahaman serta membuat pengakuan. Ia harus bisa tegas, menerima atau menolak perasaan Uchiha Sai. Hinata harus membuat keadaan agar tak lagi ambigu karena kebimbangannya.

"Aku juga ingin minta maaf. Aku bersalah... aku salah mengartikan perasaanku." Sedikit ragu-ragu, namun akhirnya Hinata bisa menyelesaikan kalimatnya. Gadis itu menunduk, tidak ingin menatap Sai. Hinata tidak yakin akan mampu mengatakan yang sebenarnya bila menatap manik kelam tersebut.

Hinata adalah gadis yang lembut dan terlalu perasa. Ia tidak ingin menyakiti orang lain. Lebih baik dirinya yang terluka daripada orang lain. Itulah kelebihan serta kelemahan yang menyusahkannya. Jika Hinata menatap Sai, ia pasti akan merasa tidak enak dan takut jika pada akhirnya tidak bisa berkata jujur.

"Maksudmu?" Sai tak memahami ucapan Hinata. Namun lelaki tersebut terlihat waspada dan khawatir.

Hinata menutup kotak bekal makan siangnya yang telah kosong. Setelahnya, Hinata menyesap dulu minumannya sebelum melanjutkan.

"Maafkan aku, Senpai... Tapi... tapi..." keraguan muncul kembali seiring dengan rasa sungkan, tapi Hinata harus mengatakannya. Ia tidak bisa terus-terusan menggantungkan perasaan pemuda tersebut. Demi memantapkan hati, Hinata memejamkan matanya sejenak, menarik napas panjang, lalu menoleh untuk menatap kedua manik yang kontras dengan miliknya. Sekarang ia sudah bisa menjawab semua pertanyaan Neji.

Apa kamu yakin perasaanmu pada Sai bukan perasaan kagum?

"Perasaanku padamu hanyalah kekaguman belaka, Senpai. Cemburu yang beberapa waktu lalu kurasakan, hanya perasaan tidak suka ketika idolanya dekat dengan oranglain. Bukankah perasaan seperti itu ada?"

Sai begitu terkesiap mendengar jawaban Hinata. Sai seperti tidak mengantisipasi akan mendapatkan ungkapan seperti ini. "Hinata..."

Dan apa kamu yakin perasaanmu pada Sasuke bukan hanya perasaan kasihan?

"Sementara perasaanku pada Sasuke... bukan hanya kasihan. Aku sedih melihat keadaannya karena aku menyukainya. Melihatnya terluka, aku juga merasa terluka. Dan aku selalu ingin melihatnya tersenyum. Aku ingin membuatnya tersenyum. Bukankah itu disebut perasaan suka, Senpai?"

Raut wajah Sai meredup, menahan getir. Hinata mampu mengutarakan perasaan jujurnya tanpa terbata-bata. Nadanya lembut, namun begitu mengena. Membuat seorang Uchiha Sai tak berkutik akan fakta tersebut.

Sekarang, ketika membayangkan masa depan, menurutmu, siapa yang akan kamu pilih? Dari keduanya, siapa yang paling membuat hidupmu kesepian kalau dia tidak ada? Dan siapa yang dengan kehadirannya, membuat hatimu paling bahagia?

Muncul lagi pertanyaan sang kakak sepupu di pikiran Hinata, pertanyaan terakhir. Kedua iris lavendernya tampak menyudut, berpikir. Tanpa disadari, bahkan Hinata tersenyum samar.

"Dan ketika membayangkan masa depanku seperti apa... aku ingin di masa depanku ada Sasuke. Aku ingin—"

"Cukup!" Sai memotong dengan cepat. Wajahnya benar-benar menggelap sekarang. Tidak ada lagi ekspresi tenang yang biasanya terlihat. Napasnya bahkan sedikit memburu. Sai tak bisa menahan emosinya lebih lama. "Kumohon... hentikan..."

Hinata langsung tersadar bahwa ternyata dirinya setengah melamun ketika berbicara. Perasaan bersalah makin merasukinya. Oh... dirinya benar-benar jahat, pikir Hinata.

"Gomenasai..." Hinata membungkuk, sebagai tanda minta maaf.

"Jadi aku benar-benar kalah dari Sasuke?" gumam Sai rendah. Lelaki tersebut memandangi Hinata dengan nanar.

Hinata mengangguk, tak menyangkal sama sekali. Untuk berterus terang membutuhkan keberanian yang besar, ini berat. Belum lagi rasa bersalah yang semakin terasa. Seharusnya Hinata menyadari perasaannya lebih awal. Kini, yang bisa ia lakukan hanyalah meminta maaf dan berterima kasih pada Uchiha Sai.

"Go—"

"Jangan meminta maaf ataupun berterima kasih padaku."

Hinata terperanjat, Sai seakan bisa membaca pikirannya. Tapi hal itu idak bisa... tidak mungkin. Hinata tidak mungkin tidak mengatakan dua kata tersebut. Terlalu banyak yang Sai lakukan untuknya. Terlalu banyak juga kesalahan Hinata pada lelaki bersurai hitam tersebut.

Hinata menggeleng, kemudian berdiri dari posisi duduknya. Bibirnya melengkung membentuk senyuman manis ketika mengingat waktu-waktu yang mereka lalui, lalu berujar pelan, "Atas semua waktu kita bersama selama ini... aku benar-benar senang. Terima kasih untuk itu, Senpai." Hinata berhenti sejenak. "Serta karena telah menyukai gadis lemah dan payah sepertiku, terima kasih banyak."

Sai mendesah tak suka. Ia menyusul berdiri dan berusaha menghentikan gadis tersebut. "Hina—"

"Dan karena tidak bisa membalas perasaanmu..." Mata Hinata berkaca-kaca, namun tetap melanjutkan dengan suara yang semakin lirih, "...maaf ... maaf. Aku minta maaf sebesar-besarnya." Hinata mengakhiri kalimatnya dengan membungkuk dalam untuk beberapa lama.

Tertegun, Sai tak bisa bereaksi, tak mampu memberikan balasan. Ia hanya menatap Hinata dengan kedua manik yang memancarkan luka. Sai tak bisa menjawab... ia terlalu larut dalam kepedihan. Setelah memutuskan pertunangannya dengan Ino agar ia bisa mengungkapkan perasaan sukanya pada Hinata secara maksimal, bukan perlakuan seperti ini yang Sai harapkan.

Mereka berada dalam posisi tersebut sejenak, Hinata yang membungkuk serta Sai yang hanya memandang dalam diam. Keheningan dalam udara yang begitu berat. Hingga sebuah nada terdengar di seluruh penjuru sekolah, menandakan bahwa waktu istirahat telah selesai.

"Pergilah duluan." Sai akhirnya mau angkat bicara.

Hinata bangkit, lalu kembali menatap Sai yang langsung memalingkan wajahnya. Hinata tersenyum kecut, namun tidak ingin mempermasalahkannya. Ini wajar jika Sai tak mau melihat wajahnya. Hinata sudah menyakiti pemuda baik tersebut, setelah semua yang Sai lakukan. Apa lagi yang Hinata harapkan?

Memutuskan untuk mengakhiri pertemuan mereka, Hinata berjongkok untuk mengambil kotak bekal dan botol minumannya. Sai mundur satu langkah, agar Hinata lebih leluasa. Setelahnya, Hinata langsung pamit undur diri.

"Permisi... Senpai."

Dengan pandangan termangu, Sai menggeser tubuhnya, memberi jalan pada Hinata yang akan lewat. Gadis dengan surai panjang tersebut lalu melangkah pergi tanpa berhenti, dan akhirnya menghilang di balik pintu. Hinata meninggalkan Sai yang masih berkelut dengan kekalutannya.

Beberapa saat berlalu, Sai masih berada di sana. Ia tak peduli kalau kelas sudah mulai. Perasaannya kacau saat ini. Kenyataan yang terlalu mengejutkan. Baru kemarin ia memutuskan pertunangannya dengan Ino, meski sepihak, demi mengejar Hinata. Dan sekarang dirinya telah ditolak. Hinata menolak untuk kedua kalinya. Namun penolakan kali ini berbeda, dan Sai cukup pintar untuk menyadari kalau ia tidak punya kesempatan lagi.

Hinata telah memilih Sasuke.

Dirinya telah kalah dari Sasuke, adik tirinya.

Sai menengadah... melihat awan yang terlihat begitu cerah. Kenapa langit justru terasa seperti mengkhianatinya? Dan udara di sekitarnya, kenapa menjadi begitu dingin? Seperti ada kabut yang tiba-tiba menyelimutinya. Kabut kesedihan, karena telah kehilangan gadis yang ia sukai.

Sai mengerjapkan matanya yang terasa mulai memanas.

Keh.

Tertawa getir, Sai rasanya tak memercayai reaksi tubuhnya sendiri. Matanya tiba-tiba saja terasa perih, dan tahu-tahu ada air mata yang menetes. Napasnya pun seakan tercekat, dadanya begitu sesak dan hatinya bagai diremas-remas. Baru kali ini ia menangis karena perempuan. Baru kali ini Sai tidak dapat mengendalikan emosinya. Rasa sakit itu terlalu kuat hingga seorang Uchiha Sai tak mampu membendungnya.

Sai terduduk di lantai. Ia menopangkan kedua sikunya pada paha, serta menangkup kepalanya dengan kedua tangan. Sai membiarkan air matanya mengalir, berharap dengan begitu kesedihannya akan berkurang.

Kemudian, terdengar bisikan serak yang ditujukan pada dirinya sendiri.

"Jadi... begini rasanya patah hati, ya?"

.

.

Run Devil Run

.

.

Pagi hari di akhir pekan yang begitu menggemparkan masyarakat kota Konoha. Media-media massa yang selalu menyajikan berita terbaru, kini dipenuhi dengan berita digugatnya pimpinan perusahan Uchiha dengan tuduhan memanipulasi hak ahli waris. Hal ini langsung menjadi topik hangat karena perusahaan Uchiha merupakan salah satu perusahaan yang terkemuka di Konoha. Selain itu, ada drama menarik di balik kasus ini. Anak tiri yang menggugat ibu tirinya, berusaha mendapatkan hak warisnya kembali.

Drama kehidupan memang disenangi banyak orang. Hal tersebut yang dimanfaatkan oleh media massa untuk mem-blow up kasus tersebut.

Kediaman Hyuuga tak ketinggalan akan informasi perusahaan Uchiha. Pagi hari terutama di akhir pekan, selalu digunakan keluarga Hyuuga untuk menonton berita pagi. Seperti hari ini, Hyuuga Neji serta sang adik Hyuuga Hinata sedang menikmati secangkir teh jasmine di ruang keluarga sambil melihat berita ketika kasus tentang gugatan yang ditujukan pada perusahaan Uchiha disiarkan.

"Kejaksaan Konoha menerima permintaan gugatan terhadap pimpinan Uchiha Group."

Mendengar kata Uchiha disebut langsung menyedot perhatian kedua kakak beradik Hyuuga. Hyuuga Neji berteman dekat dengan Uchiha Sai, yang merupakan anak dari pimpinan Uchiha Group. Sementara Hinata... yah, gadis itu memiliki banyak hubungan dengan orang-orang bermarga Uchiha. Tak heran jika berita tersebut telah mengalihkan seluruh perhatian sang kakak beradik pada televisi layar datar yang berada di atas meja TV dan melupakan teh jasmine hangat favorit mereka begitu saja.

"Gugatan terhadap pimpinan Uchiha corp diajukan oleh putra mendiang Uchiha Fugaku dengan istri pertama. Gugatan dilakukan karena pimpinan Uchiha Group diduga memanipulasi hak ahli waris."

Satu lagi informasi penting yang disampaikan oleh reporter berita pagi yang langsung membuat Neji serta Hinata tercengang. Baik Hinata maupun Neji tidak menyangka masalah seperti ini akan terjadi. Hinata bahkan berpikir, masalah seperti perebutan warisan hanya terjadi di drama-drama yang sering ia tonton.

Sasuke menggugat ibu Sai? Masalah apa lagi ini?! Itulah pertanyaan yang berputar di pikiran mereka.

Berita hanya disiarkan beberapa menit, namun efeknya terhadap Neji serta Hinata besar. Mereka pun langsung menoleh, bertatapan.

"Belum bisa menghubungi Sasuke?" tanya Neji dengan alis berkerut tidak suka. Neji benci melihat Sasuke yang mendekati adiknya, namun ia lebih tidak suka adiknya tersayang diabaikan lelaki tersebut.

Hinata mengangguk lemah, bibirnya ditekuk kecewa. "Ponselnya aktif tapi dia tak mau menjawabku," gumam Hinata dengan nada penuh kemuraman.

Hah...

Menghela napas sambil memijit pelipisnya, Neji berusaha menganalisis masalah yang sedang terjadi. Sasuke dan Sai bertengkar karena Hinata, ah tidak. Sejak awal keduanya memang tak pernah akur. Namun hubungan mereka semakin buruk setelah kejadian di fun camp beberapa hari lalu. Hinata berusaha menghubungi Sasuke namun nihil. Pemuda tersebut juga tak masuk sekolah. Tidak ada yang tahu keberadaannya saat ini, bahkan Naruto dan Gaara pun mengaku tidak tahu menahu soal Sasuke.

Kemudian, tiba-tiba muncul berita kalau Sasuke menggugat pimpinan perusahaan Uchiha yang Neji tahu pasti adalah ibu Sai, Uchiha Konan. Mereka bisa membahas masalah hak waris secara kekeluargaan terlebih dulu, tapi mengapa Sasuke memilih jalur hukum? Apa karena ia membenci Sai? Atau karena Hinata?

Menggeleng pelan, Neji tidak yakin dengan alasan-alasannya. Neji tahu Sasuke adalah lelaki cerdas, tidak mungkin bermain-main dengan hukum hanya karena perasaan suka ataupun benci. Pasti ada sesuatu yang sangat serius terjadi di keluarga itu.

Sebenarnya, Neji tidak punya hak untuk campur tangan masalah gugatan terhadap Uchiha Konan. Ia juga tidak berminat untuk ikut campur. Itu di luar kemampuannya. Masalah itu adalah masalah orang dewasa. Tetapi... Sai adalah sahabatnya dan Sasuke adalah kouhai-nya. Belum lagi, kedua kakak beradik tiri tersebut memiliki hubungan tak biasa dengan adiknya. Jadi Neji tahu, masalah ini tetap akan mempengaruhi Hinata.

Sambil mengawasi Hinata yang gelisah, Neji menyambar ponselnya yang berada di atas meja dan cepat-cepat menekan nomor milik Sai.

Nomor yang anda tuju sedang tidak aktif atau—

Neji segera memutus sambungan. Ponsel Sai tidak aktif seperti yang ia duga.

"Coba hubungi Sasuke, Hinata."

Hinata mengambil ponselnya yang ada di saku. Gadis itu tampak ragu, terlihat dari dahinya yang mengernyit. Namun tiba-tiba saja ponsel yang dipegangnya berbunyi. Hinata memeriksanya, dan menemukan nama Uzumaki Naruto di sana.

"Moshi-moshi, Naruto-kun." Hinata melirik Neji yang masih menyimak.

"Hinata? Kau sudah melihat berita?"

"Iya, barusaja... ba-bagaimana kondisi Sasuke?"

Hinata tak bisa menahan rasa penasarannya akan keadaan Sasuke. Hening sejenak, dan itu membuat Hinata cemas.

"Bisakah kau bersiap-siap? Aku akan mengantarmu ke tempat Sasuke berada."

Jawaban dari Naruto membuat Hinata sedikit bingung, namun gadis itu segera mengiyakan.

"Baiklah. Aku akan segera bersiap-siap."

Lalu sambungan telepon berakhir.

"Ada apa?" tanya Neji segera.

"Naruto akan mengantarku ke tempat Sasuke, Neji-nii." Hinata memandangi kakaknya penuh harap.

Neji menghela napas. Jika ini kejadian biasa, ia tentu tak akan semudah itu mengizinkan Hinata pergi bersama teman lelakinya. Namun Neji cukup tahu bahwa saat ini adalah situasi yang cukup darurat. Dengan sedikit berat hati, Neji mengangguk.

"Baiklah. Tapi kau harus berhati-hati. Aku akan pergi menemui Sai juga."

.

.

Run Devil Run

.

.

"Untuk apa kau kemari?" Sasuke bertanya dengan ketus, tanpa rasa dan perikemanusiaan. Pertanyaan itu ditujukan pada sosok yang berdiri di depannya. Sasuke berbicara seakan-akan ia tidak sudi melihat sosok gadis berambut biru malam tersebut. Bahkan Sasuke memalingkan wajah ke arah lain.

Sementara Hinata, gadis itu berusaha tegar menghadapi sikap dingin Sasuke. Ia pernah menghadapi Sasuke yang murka. Hinata yakin kali ini ia juga bisa mengatasinya.

Hinata berhasil membuat Sasuke membuka pintu berkat Naruto. Narutolah yang mengantarnya kemari. Ketika melewati resepsionis, Naruto meminta bantuan paman Obito. Setelahnya, Naruto yang memencet bel, sehingga Sasuke mengira yang datang menemuinya adalah Naruto. Lelaki berambut pirang tersebut segera pergi begitu terlihat tanda-tanda Sasuke akan membukakan pintu hotel.

"Sasuke..." Hinata memanggil dengan suara pelan. Hinata merasa gugup. Ia telah menyiapkan mentalnya sebelum datang kemari, namun kini kegugupan kembali menerpanya. Hinata tidak tahu harus memulai darimana.

"Kau ingin memintaku untuk menolong Sai, bukan?"

Tuduhan yang baru saja dilayangkan Sasuke membuat Hinata refleks menggelengkan kepalanya. Bukan itu maksud Hinata... kenapa Sasuke begitu berpikiran negatif?

"Tidak. Aku tidak akan melakukannya." Ketika mengatakannya, Hinata berusaha menatap mata Sasuke. Namun sorot mata menusuk Sasuke yang tertuju padanya membuat Hinata kembali menurunkan padangan.

"Pergi." Sasuke mendesis. Siapapun yang mendengarnya mungkin akan merinding. Nada marah begitu kentara di dalamnya.

Hinata kembali menatap Sasuke, memohon. Ia menangkupkan kedua tangannya. "Berikan aku lima menit... tidak, tiga menit saja. Kumohon, dengarkan aku."

Wajah Hinata sudah seperti akan menangis, begitu kalut dan gelisah. Hinata sudah sejauh ini. Ia sudah berhasil menemui Sasuke. Jadi, Hinata tidak akan melepaskan kesempatan begitu saja. Entah kapan lagi Hinata bisa menemuinya. Sebisa mungkin, ia akan menjelaskan semua kesalahpahaman mereka sekarang.

Ekspresi dingin masih terpasang pada wajah Sasuke. Namun pemuda itu menyilangkan tangannya di depan dada, kemudian sebelah lengannya menyandar pada kusen pintu. Sasuke mendengarkan Hinata, memberinya kesempatan untuk berbicara.

Hinata menghirup napas banyak-banyak, menyiapkan apa yang akan ia utarakan. Kemudian, dengan menguatkan hati, Hinata memulai penjelasannya.

"Aku ingin meminta maaf padamu. Segala kesalahanku... ketidakpekaanku... kelemahanku yang selalu merepotkanmu, aku minta maaf, Sasuke."

Hinata berhenti sejenak, matanya mulai berkaca-kaca. Namun Hinata kembali menghirup napas dalam untuk mengendalikan dirinya. Ia tidak bisa menunjukkan tangisnya di depan Sasuke. Dia tidak boleh terlihat cengeng.

Sasuke tak menyahut apapun, tapi Hinata tetap melanjutkan perkataannya.

"Lalu... terima kasih, karena selama ini kau begitu baik padaku. Terima kasih karena selalu menjadi yang pertama menolongku... Terima kasih, sudah begitu sabar menghadapiku. Dan... terima kasih karena sudah mau menyukai perempuan sepertiku."

Dengan sungguh-sungguh, Hinata meminta maaf dan berterima kasih. Semua yang dilakukan Sasuke, dengan bodohnya baru ia sadari sangatlah berarti untuknya. Ketika berada dalam kesusahan, Sasuke selalu ada di sampingnya. Mungkin terkadang Sasuke menjahilinya, mengejeknya, namun hal itu dilakukan hanya untuk membuat Hinata tertawa.

Sasuke tetap diam. Sorot matanya pun masih menatap Hinata dengan tajam.

Hinata mendesah. Kemudian, ia memejamkan matanya sejenak, menyiapkan pengakuannya selanjutnya. Ketika kelopak matanya terbuka, kedua maniknya menatap Sasuke dengan begitu lembut. Maniknya yang cerah bertemu pandang dengan manik kelam Sasuke yang dingin.

"Dan terakhir... aku ingin mengaku. Bahwa a-aku..." Kalimatnya sempat terputus karena suara Hinata sedikit tercekat. Begitu banyak emosi yang dirasakan. Tak percaya diri, takut, ragu-ragu akan penolakan. Namun setelah menguasai diri, Hinata melanjutkan.

"...aku menyukaimu. Sangat."

Hinata bisa menangkap raut terkejut yang nampak di wajah Sasuke, meski langsung ditutupi kembali dengan topeng dinginnya. Hinata tersenyum sedih. Sasuke belum juga mau terbuka pada Hinata, menunjukkan dirinya yang sebenarnya lagi, seperti yang selama ini lakukan ketika mereka bersama.

"Buktinya?" Tantang Sasuke.

Tersentak, itulah reaksi yang dikeluarkan Hinata. Sasuke meminta bukti pengakuannya? Ah... ya. Lelaki itu tak mungkin percaya begitu saja dengan apa yang Hinata katakan, mengingat semua yang telah terjadi. Tapi... bagaimana caranya membuktikan bahwa dirinya benar-benar menyukai Sasuke?

Hinata bingung. Kemudian... hanya ada satu cara yang terpikirkan oleh gadis itu. Tapi apa ia benar-benar mampu melakukannya?

"Tigapuluh detik lagi."

Peringatan dari Sasuke membuat Hinata panik. Dahinya berkerut, sedikit ragu. Lalu Hinata memejamkan matanya dan mengangguk, meyakinkan hati. Hanya ada satu cara dan Hinata harus melakukannya. Mengesampingkan harga dirinya, rasa malu dan egonya.

Hinata pun melangkah maju, hingga tubuhnya berada sangat dengan dengan Sasuke. Kemudian, ia berjinjit. Perlahan ia mendekatkan wajahnya hingga tepat berada di depan wajah sasuke. Tubuhnya bergetar, menahan sedih dan malu secara bersamaan. Mengumpulkan segenap keberaniannya, Hinata akhirnya melakukan pembuktian perasaannya seperti yang diminta oleh Sasuke.

Hinata menempelkan bibirnya pada bibir Sasuke.

Hanya satu cara yang bisa dilakukan Hinata untuk membuktikan ia menyukai Sasuke saat ini. Dan itu adalah dengan memberikan ciumannya pada Sasuke.

.

.

Run Devil Run

.

.

Hinata berjalan gontai. Langkahnya lesu. Ia berhasil menemui Sasuke, tapi tidak berhasil meluluhkan hati pemuda tersebut. Ia gagal mendapatkan maaf dari Sasuke. Hinata telah mengerahkan semua keberaniannya, mengungkapkan perasaannya, tapi Sasuke tetap keras kepala. Sasuke tidak percaya kalau dirinya juga menyukai lelaki itu.

Bahkan setelah Hinata memberikan kecupan singkat sebagai bukti kalau ia menyukai Sasuke, pemuda tersebut justru langsung menutup pintu dengan keras. Hinata bahkan sampai berjengit kaget. Tanpa berkata apapun, Sasuke begitu saja menghilang di balik pintu. Meninggalkan Hinata yang kebingungan dan malu.

Akhirnya Hinata memutuskan untuk pulang. Ia akan menemui Sasuke lagi besok. Jika besok Sasuke masih tidak mau memaafkannya, maka lusa Hinata juga akan mencoba. Hinata tidak akan menyerah begitu saja.

Gadis berambut panjang itu terus berjalan menyusuri koridor hotel hingga sampai di depan elevator. Dengan lemas, ia menekan tombol hingga pintu elevator terbuka. Hinata pun segera masuk. Di dalam elevator, Hinata masih saja melamun. Membayangkan peristiwa memalukan dan menyedihkan barusan. Otaknya seakan merekam kuat kejadian itu.

Hah...

Helaan napas keluar, disusul oleh wajah yang bertambah muram. Dipandanginya pintu elevator yang hendak menutup secara otomatis. Namun ketika pintu elevator hanya berjarak satu lebar tangan, tiba-tiba saja ada seseorang yang menahannya, membuat pintu tersebut saling menjauh seketika.

Sosok lelaki bertubuh tinggi ikut masuk ke dalam elevator, menghampiri Hinata. Hinata terperangah. Ia menatap sosok itu dengan perasaan penuh campur aduk. Ada binar harap, namun juga ada perasaan takut dirinya akan ditolak kembali.

"Katakan sekali lagi!" Kalimat perintah itu diucapkan dengan terburu-buru oleh Uchiha Sasuke. Kedua tangannya bahkan sampai mencengkram bahu Hinata. Tidak cukup keras, namun kuat untuk menahan gadis tersebut agar tetap pada tempatnya.

Hinata menatap Sasuke lekat-lekat, meneliti perubahan raut wajahnya. Beberapa saat lalu pemuda itu terlihat dingin namun tenang. Sekarang, Sasuke seakan menunjukkan kegundahannya. Apakah Sasuke takut untuk percaya padanya?

Kemudian, Hinata menawarkan senyum terbaiknya. Dengan tegas, Hinata menyampaikan kalimat yang diminta oleh Sasuke. "Aku sangat menyukaimu, Sasu—"

Belum sempat kalimatnya selesai, Hinata merasakan dirinya telah ditarik. Sasuke memeluknya, dengan sangat erat. Seakan takut jika Hinata menghilang.

Merasakan kehangatan melingkupi tubuhnya, Hinata tidak bisa lagi menahan tangis. Ia biarkan air matanya mengalir. Ini bukanlah tangis sedih, namun tangisan bahagia. Dadanya bergemuruh saking senangnya. Setelah semua rasa sakit itu, akhirnya terbalas. Akhirnya Sasuke mau memaafkan dan menerimanya.

Hinata segera melingkarkan kedua tangannya di punggung Sasuke, membalas pelukan lelaki tersebut tak kalah erat.

"Aku merindukanmu, benar-benar merindukanmu." Bisik Sasuke serak, sembari mengeratkan dekapannya.

Hinata memejamkan mata untuk menikmati perasaan bahagia ini, namun tiba-tiba ia merasakan pundaknya basah. Apakah Sasuke menangis?

Hinata mengusap-usap punggung Sasuke, menenangkan lelaki yang kini tampak rapuh itu. Tak lupa ia menjawab pernyataan Sasuke.

"Aku juga merindukanmu, Sasuke."

.

.

Tamat

.

.

.

Tapi boong haha ^o^v

.

.

Yap... inilah chap 15. Menuju konflik yg sesungguhnya. Btw, maafkan bila ffn ini jadi mendramakorea sekali. Karena dari awal genre RDR ini adalah drama, jadi gapapa lah ya? :D

OH IYA. Minal Aidzin wal Faidzin yaaaa~ fic ini saya kebut begitu selesai The Rhapsody, sebagai ganti parcel lebaran loh. :v jadi apabila menemukan typo, tolong masukan komentar yaa. Nanti saya perbaiki supaya bisa dipublish ulang. ^^

SPECIAL THANKS FOR BELOVED REVIEWER :::

NaruDEmi: ini udah dilanjut, maaf gabisa kilat ya , Arcan'sGirl, Hyou Hyouichiffer, Stupid Panda23, kensuchan, .777, Ms. X : gomenasai , Katsumi : gomeen & arigatou ne, indah Jutekabiee : arigatou neee~, , kumiko lavender haruna, Rhe Muliya Young sepertinya di warning udah ada tulisan ooc? Kalau ga suka tinggal ga usah dibaca kok, tau artinya DLDR, kan? wiendzbica732, hyuga ashikawa, Dark Side: iyaa ^^. Ashura Darkname, bete : yakin situ sasuhina lover? Kayaknya anak" SHL biasa aja tuh, malah saya sering ditagihin fic ini. Tolong ya, kalau ga suka ga usah baca. DLDR itu artinya Dont Like Dont Read, perlu ditranslatin? ^^ saya males sebenernya ngladenin flamer tapi yg ga membangun begini. Justru komenan anda membuat image kpop lover makin buruk. Jadi tolong jangan bawa" nama SHL yg saya sayangi, arasseooo? hepiwulandari22, Blueberry Cute : sankyuu dear , guest : iyaa, Cahya Uchiha, Guest : ini dilanjut kok , SUHH : beberapa bulan sekali kook haha, gomen gomeen. Uzumaki NaMa, Aheleza kawai : huaaa gak memalukan kook. Sankyuu , pororo90poochaaan gue sayang eloooo :* haha, onyxlavender23, opie90 : iyaa, mau review aja kami para author udah seneng kok. Makasih banyak yaa. Semoga pertanyaannya terjawab di chap ini. , Guest: ini lanjutnyaa ^^, Guest : ahahaha. Nanti yaa tunggu aja ^^, L : ini sudah dilanjut maaf yaa, yuka : iyaa ^^, djsasunata : makasih banyak yaa. Iya pasti dilanjut kok , Bofit : hehe iyaa siap ^^, Sasuhina : ini sudah dilanjut kok ^^, puri-chan : kalo nanggung bukan multichap, dong? Hhe. Coba baca oneshot ajaa langsung tamat kok ^^ makasiih, Kim417, tisti : ini sudah dilanjuut, Annisa chan : ini sudah update ^^ makasiih, Hime Cassi Dy : sankyuuu Hime-chaan ^^, viviealatas, Hana Yuki no Hime, Hyuga6, Guest : uwaa akhirnya mau review, sankyuu loh hehe. Ini sudah diupdate.

Pokoknya semua reviewer makasih yaaa, kalian penyematku banget :D . dan sejujurnya saya adalah orang yg mudah terpancing emosi n sensitif, jadi tolong ya, kalau mau kritik silahkan tapi yg bermutu. Okee? yg login silahkan di cek pm nya ^o^

Akhir kata, semoga menikmati dan chapter kali ini tidak terlalu mengecewakan. Kritik saran komentar akan author terima dengan senang hati. ^^

XOXO,

Ayuzawa Shia

.

.

Silahkan tinggalkan jejak anda :DD