Card Captor Sakura © 1996 CLAMP

Stopping Time

Story by Vic

Warning: Alternate Universe, Kyōdai-ai, Suggestive Themes, Profanity, Chara's Death and Suicidal Tendency.


Aku ingat, kau pernah bertanya, "Apa yang paling Syaoran-kun inginkan?"

Sebaris pertanyaan sederhana, yang tak perlu dua detik bagiku untuk memikirkan jawabannya.

"Sudah kudapatkan," jawabku kala itu, tersenyum simpul sambil mengangkat bahu.

Kaupun menjejakkan kaki di tanah, menghentikan gerak berayun tubuhmu di atas papan ayunan, dan menyenandungkan tawa geli. "Sudah Syaoran-kun dapatkan?" ulangmu di sela-sela tawa yang menggelitik gendang telinga. Kemudian, kauangsurkan tatapan kurang percaya ke arahku, namun dengan senyum jenaka. "Hontō na no?"

Alih-alih menegaskan jawaban, aku hanya diam dan balas menatap ke dalam irismu, yang mengilau indah. Sungguh, kilauannya perlahan membuatku terhanyut. Tak ingin semakin hanyut, segera kupalingkan wajahku ke atas langit kemerahan, yang menggantung rendah dan menaungi kita saat itu.

"Syaoran-kun?"

Kau, yang sepertinya penasaran, beranjak dari papan ayunan yang kaududuki, lalu melangkah mendekatiku, yang tengah berdiri menyandari tiang ayunan. Sambil melambaikan sebelah tangan di depan wajahku, kau bertanya lagi, sedikit mendesak. "Nee, memang apa keinginan Syaoran-kun, yang sudah Syaoran-kun dapatkan itu?"

Kembali kutatap irismu yang berkilauan di depanku, sembari balas bertanya, "Hontō ni shiritai kai, Sakura-chan?"

"Un!"

Kau mengangguk, bersemangat dengan senyum manis terkulum, bagai malaikat lugu. Dan seolah terhipnosis, aku pun mengangkat kedua tanganku, merengkuh wajahmu dengan gestur lembut, dan lalu menariknya agar lebih dekat.

"Kau-lah," bisikku dengan suara rendah seraya menelengkan kepala dan menghapus jarak seruas jari di antara kita, "bukti keinginan yang sudah kudapatkan."

Kubuka kelopak mataku sambil menjilati bibir yang masih bisa mengingat rasa itu. Rasa manis menyenangkan yang terkulum begitu bibir kita bertautan kala itu. Namun kali ini, rasa manisnya bercampur air mata asin, yang merembes membasahi pipi.

Aku memang menangis. Seperti pemuda cengeng yang menyedihkan—caplah begitu; aku tidak keberatan. Karena, tahukah kau, aku menangisi ketiadaanmu, Sakura-chan?

Hati-hati, kuletakkan cutter yang mengilat merah di atas karpet hijau tipis kamarku, sembari menghela napas. Rusukku jadi terasa sakit saat melakukannya. Seolah yang kuhirup bukanlah oksigen, melainkan zat pekat yang menekan di dalam dada.

"Chikushō …!" umpatku, nyaris tak terdengar. Che. Bahkan bersuara pun, aku tak sanggup lagi.

Perlahan, kuangkat tangan kiriku, memandangi guratan tiga huruf hiragana, yang terbentuk kasar di kulit lengan bagian bawah. Dari guratan itu, cairan darah yang menyengat indera penciuman, mengalir dengan menyakitkan. Bulatan-bulatan bewarna merah pekat serta bergerigi tak beraturannya, menetes dan membercaki karpet. Menekurinya, aku tersenyum miring; belum merasakan kedamaian.

Heh. Bahkan, menggurat namamu pun belum mampu mendamaikan pikiranku, Sakura-chan.

Aku mendongak, merebahkan kepalaku di atas tepian kasur, seraya memejamkan mata kembali. Kucoba untuk menikmati sensasi nyeri, yang menusuk dari cengkeraman guratan namamu …

… serta untuk menunggu kemunculan sesuatu lainnya.

Namun, aku sadar; sesuatu itu belum akan muncul lantaran urat nadiku masih tersambung. Bodohnya aku, tidak menggurat namamu tepat di atasnya. , shōganē na? Kulakukan itu tanpa berpikir jernih, Sakura-chan. Lagi pula, nama kecilmu hanya terdiri dari tiga huruf hiragana—dan sialnya, tanganku yang mencengkeram cutter, keburu tremor tanpa sempat bisa menambahi sufiks "chan" ataupun aksara kanji "Kinomoto".

Tapi, aku tidak perlu cemas. Masih ada rencana lainnya untuk menggundang sesuatu itu muncul. Dan aku bertaruh, kali ini pasti akan berhasil.

"Apa yang paling Syaoran-kun inginkan?"

Lamat-lamat, suara halusmu terngiang dalam kepala. Pertanyaanmu masih sama, tapi jawaban yang kuberikan kali ini, berbeda dengan yang dulu.

Yang paling kuinginkan sekarang, adalah menghentikan waktu.

Menghentikan waktuku, tepatnya.

Mengapa, tanyamu?

Sederhana saja; aku tidak bisa memutar balik waktu. Aku tidak dikaruniai kemampuan untuk itu. Heh. Sayang sekali, memang.

Namun walau aku bisa, tetap saja tak akan sanggup bagiku untuk ….

Kelopak mataku perlahan membuka kembali. Sembari menegakkan kepala, kusadari tangan kiriku mulai mati rasa. Che. Terpaksa, kugunakan tangan kananku yang tremor untuk menjangkau botol sampo merah muda di atas pinggiran nakas, di sebelah kiriku. Kuputar membuka tutup botolnya. Seketika, wewangian yang amat kurindukan, mulai menguar dan menggerayangi hidungku.

Aku terlena. Inilah wewangian dari helaian rambutmu begitu kubenamkan wajahku di sana, kala mendekap tubuhmu.

Selain ciumanmu, wewangian inilah yang tak bisa kulupakan jua.

Tak akan pernah kulupakan sampai kapanpun.

Sambil menarik napas terakhir, kudekatkan mulut botol yang terangkat miring itu, ke bibirku yang membuka. Perlahan, cairan kentalnya mengalir masuk, menuju saluran kerongkonganku.

Sudah saatnya.

Centric One:

Wasurerarenai Mono


first piece.


Usiaku baru empat belas tahun ketika petugas kepolisian mendatangi apartemen kami, membawa kabar bahwa ayah tiriku telah mengalami kecelakaan.

"Apakah dia tewas?" tanyaku, spontan. Namun, mereka hanya saling memandang dengan heran kala mendengar "nada berharap" dari pertanyaan yang kulontarkan.

Tapi, apa salahnya berharap?

Lalu, bibirku berkedut, hampir membentuk senyuman girang saat mereka mengangguk dengan hati-hati. Kembali, aku bertanya bagaimana dan mengapa—hanya untuk memastikan. Sayangnya, mereka tidak sampai hati untuk menceritakan detail kecelakaan tersebut kepada remaja ingusan, sepertiku.

Tapi, tanpa mereka ceritakan pun, aku bisa menebak kronologisnya:

Si keparat itu, seperti biasa, menyetir taksinya dalam keadaan teler. Hingga kali ini, taksinya bertabrakan dengan sebuah truk kontainer. Lalu sebelum sadar akan apa yang tengah menimpanya, dia keburu meregang nyawa.

Heh. Menyedihkan. Akhir yang tragis untuk hidupnya yang singkat. Tapi, kupikir, dia pantas mendapatkannya—mengingat hal-hal berengsek yang sudah dilakukannya padaku setelah Okāsan minggat ….

Lanjut, petugas dinas sosial mengirimku ke panti asuhan usai pemakaman pria itu. Walau sudah kutolak mentah-mentah, mereka tetap saja bersikeras untuk mengirimku dengan alasan: "Demi kebaikan dan masa depanmu."

Che. Bagiku, peduli setan.

Tapi, terpaksa juga kujalani kehidupanku di panti sial itu. Dan kutegaskan, hal itu sungguh tidak menyenangkan! Hanya membuatku kebosanan setengah mati sampai aku enggan berinteraksi dengan siapapun di sana. Kerjaanku pun cuma makan, mandi dan tidur. Hanya itu. Che, benar-benar panti sial membosankan!

Akhirnya, setelah batin digerogoti rasa muak yang tak tertahankan, aku memutuskan untuk menyelinap kabur dari tempat sialan itu pada malam kesembilan—dan berhasil. Tidak heran; penjagaannya memang payah.

Sampai di jalanan, kakiku tidak melangkah menuju apartemenku—masa sewanya sudah habis, dua bulan yang lalu. Jadi, tujuanku adalah tempat Hīragizawa Eriol, saudara jauhku yang memiliki salon tato tubuh di rumahnya. Sejujurnya, aku tak terlalu menyukainya. Tapi, aku butuh tempat tinggal untuk bertahan hidup. Dan anehnya, lelaki berkacamata itu tidak terkejut. Malah, dia begitu senang saat menyambut kedatanganku. Seolah dia tahu kalau aku akan mendatanginya.

"Rumahku adalah rumahmu juga, Xiao Lang!"—begitu cetusnya riang, menawariku untuk tinggal bersamanya, bahkan sebelum sempat aku meminta.

Dan tidak hanya memberiku tempat tinggal saja; Hīragizawa juga mempekerjakanku sebagai asistennya, serta menyekolahkanku kembali sampai ke jenjang kōtōgakkō. Aku sempat heran mengapa dia memperlakukanku sebaik itu. Karena kasihankah—atau ada maksud lainnya yang tersembunyi? Tapi, yaah, kuterima sajalah. Toh, tidak ada ruginya juga buatku.

Bekerja sebagai asisten, tidak ada kendala yang berarti (fuh, lantaran yang kulakukan cuma mensterilkan peralatan menato saja). Tapi, untuk sekolah, ada. Yaah, itu karena aku tidak bisa fokus pada pendidikanku setelah terjun ke dunia bōsōzoku—atau geng bermotor. Dua kali aku hampir didepak dari sekolah bodoh itu. Tapi akhirnya, aku lulus juga—walau dengan nilai pas-pasan, tentunya.

Di usia delapan belas tahun, aku didapuk menjadi salah satu anggota racer jalanan, sekaligus diangkat menjadi yankī bawahan yakuza. Kelihatan mengerikan, memang. Tapi, aku telanjur menikmati setiap sensasi pacuan andrenalin, yang kurasakan saat meliuk-liuk dengan kecepatan abnormal begitu menunggangi Ducati, di jalanan Tomoeda … atau juga saat menghabisi para cecunguk tengik, yang ingin menguasai wilayah kami.

Satu kali, Hīragizawa pernah menasihatiku perihal bahaya terjerumus yakuza; hal-hal buruk bisa saja menimpaku. Walau sudah kutegaskan padanya bahwa aku baik-baik saja (tidak sampai membunuh ataupun menjadi junkie), tapi tetap dia tidak mau mengerti dan terus merecokiku untuk segera hengkang dari dunia hitam tersebut. Namun, aku yang keras kepala dan tak mau menurutinya, akhirnya lebih memilih untuk hengkang dari rumahnya. Lagi pula, Hīragizawa tidak mencegah kepergianku. Kupikir, mungkin dia sudah tidak memedulikanku lagi. Huh, itu bagus.

Setelah menjauh dari kehidupan Hīragizawa, aku membeli apartemen murahan di pinggiran kota dengan uang haramku. Lalu sesekali, aku berfoya-foya dengan memanjakan diri di kelab—serta mengencani para gadis, yang datang silih berganti.

Kuberi tahu saja, gadis-gadis itu sangat menyukaiku—dan begitu senang kalau bisa memuaskanku. Terkadang, ada juga yang merengek untuk menjadi kekasihku. Tapi, yang bisa kutawarkan, hanyalah kencan semalam. Sebuah kencan tanpa ikatan, tanpa status, dan berupa kebebasan bercinta dalam satu malam saja.

Yaah, bisa dibilang, aku enggan terlibat dalam urusan yang menjurus cinta atau komitmen semacam itu. Gah. Tinggalkan saja hal-hal cengeng itu untuk para pecundang di luar sana. Lagi pula, sudah kurencanakan untuk menjalani kehidupan bebasku ini sampai usiaku … yaah, tiga puluhan, mungkin?

Namun, belum genap usiaku mencapai angka dua puluh, rencanaku langsung buyar begitu saja …

… seiring mengenal dirimu.

Note:
Hontō na no? = Is it really?
Hontō ni shiritai kai? = Do you really wanna know? (guyspeaks)
Chikushō! = Damn it! (swear word)
Mā, shōganē na? = Well, it can't be helped, right? (guyspeaks)


second piece.


Seharian ini, Yamazaki memaksaku untuk menemaninya, menjelajahi seluruh toko buku di tengah kota, demi mendapatkan sebuah buku untuk gadis pujaannya. Katanya, kalau berhasil mendapatkan buku tersebut, gadis itu akan bersedia menjadi kekasih Yamazaki.

Awalnya, aku menolak. Pikirku, akan merepotkan sekali jika harus bersusah-payah dalam mencari buku yang tidak jelas siapa pengarangnya tersebut, hanya untuk memenuhi syarat konyol yang diajukan gadis itu. Namun karena Sorata-san (sang ketua yankī, yang senantiasa tertarik dengan romansa anak buahnya) memberiku perintah langsung untuk membantu Yamazaki, terpaksa aku ikut pemuda berwajah rubah itu, menjelajahi satu persatu isi tiap toko buku di tengah kota bercuaca sepanas ini.

"Che! Masih belum kaudapatkan juga?" tanyaku, mendecih begitu melihat Yamazaki yang melangkah ke luar dari pintu toko, lagi-lagi dengan tangan kosong. Raut wajahnya yang kelihatan lesu sekali, tidak mencegahku untuk mencecarnya, kasar. "Memangnya, ini sudah toko buku ke berapa, hah?! Apa kau tidak sadar, apa yang kaulakukan ini hanyalah kesiasiaan belaka?!"

"Tapi, di toko berikutnya, aku yakin, pasti akan menemukannya, Li-kun," tukas Yamazaki, mencoba terdengar optimis. Walau menurutku, gagal total.

Aku mendecakkan lidah, dongkol mendengar persistensinya. Kuhisap puntung rokok terakhirku dalam-dalam, lalu kujatuhkan dan kuinjak kasar sampai menyatu dengan beton trotoar. "Terserah kau sajalah," ujarku dengan nada dingin, namun masih setuju untuk menemaninya guna mencari buku sialan, pesanan gadis idiotnya itu.

Di toko buku berikutnya, kembali hanya Yamazaki yang masuk ke dalamnya. Aku memang antipati bila harus memasuki ruangan di mana sejauh mata memandang, hanya dipenuhi sederetan buku tebal yang tidak jelas apa isi dan kegunaannya itu. Menjemukan. Karena itu, aku memilih untuk menunggunya di luar toko; duduk di atas pagar besi pembatas trotoar, dengan sekaleng bir dingin di tangan, sembari menikmati keramaian serta suara bising lalu-lintas di perempatan jalan, di depanku.

Sambil menenggak bir, kupandangi langit yang mulai berwarna kemerahan. Rupanya, sore telah menjelang. Tapi sialnya, matahari masih enggan meredakan sengatan panasnya di atas sana. Che! Kulit lenganku yang telanjang jadi kecokelatan karenanya.

Jengah, kuturunkan tatapanku dari langit. Kuedarkan pandangan ke sederetan toko dan para pejalan kaki di seberang jalan, di sela-sela kendaraan yang berlalu-lalang. Lalu, tiba-tiba kedua mataku tertumbuk pada salah satu toko, yang dipenuhi warna-warni cerah bunga …

… bukan. Bukan tokonya, melainkan sosokmu yang baru saja keluar dari pintu toko, bersama seorang bāsan yang menjinjing sekeranjang bunga warna kuning dan putih. Kulihat, kau membungkukkan badan sementara bāsan itu mengangguk sebelum berbalik, menjauh. Lalu, kau menegakkan badan, menengadah sebentar ke atas langit, dan memamerkan senyum puas. Setelah itu, barulah kau kembali masuk ke dalam toko dengan sikap riang.

Aku mengerjab. Baru sadar, sedari tadi aku hanya memandangimu tanpa berkedip. Lalu tanpa pikir panjang, aku turun dari pagar pembatas dan berlari menyeberangi jalan begitu saja, tak memedulikan lampu penyeberang yang masih mengerjabkan warna merah. Terdengar decitan ban mobil yang hampir menyerempetku, pekikan klakson nyaring yang memeringatkanku, serta umpatan beberapa pengendara motor yang mengecam tindakanku. Tapi, aku tidak peduli dan terus berlari menyeberang sampai kakiku yang bersepatu kets, akhirnya menginjak tepian trotoar.

Kupandangi dirimu melalui jendela kaca bening toko bunga itu, sembari mengatur napas yang sedikit terengah-engah. Kau juga tampak memandangiku dari dalam sana. Kontan, aku tersenyum; merasakan kesenangan aneh yang muncul ketika mata kita saling beradu di antara kaca jendela dan jajaran pot bunga.

Setelah napasku normal kembali, aku melangkahkan kaki, melewati pintu toko. Suara gemerincing genta-genta kecil dan semerbak wewangian anekabunga, menyambutku dengan hangat.

Begitu juga dirimu, yang menyapa ramah, "Irrashaimasai!"

Tanpa mengalihkan pandangan, aku bergerak menghampirimu.

"Ada yang bisa aku bantu?" tanyamu, tersenyum dengan manis ketika aku berdiri tepat di depanmu.

Aku terpaku. Baru kali ini, aku melihat seulas senyuman manis seperti itu dalam hidupku. Sungguh, senyumanmu begitu berbeda dengan senyuman menggoda, yang biasa kulihat dari para gadis yang pernah kukencani. Dan entah mengapa, senyumanmu itu mulai menawan fokusku ….

"Ano, sumimasen; ada yang bisa aku bantu?" tanyamu, mengulang seraya melambaikan tangan di depan wajahku. Seketika, aku terenyak dari keterpakuan.

"Omae tte,"—mulutku membuka, mengajukan pertanyaan pertama yang muncul di kepalaku, begitu melihatmu dari seberang jalan tadi—"dare da?"

Kau menelengkan kepala sedikit, memandangiku sesaat, lalu menyenandungkan tawa kecil seraya menjawab, "Mite no tōri, atashi wa koko ni hanaya nandesu yo."

"Iya, sonna koto shitterunda kedo. Maksudku, namamu …?"

Tersenyum simpul, kau menunjuk plakat kecil yang tersemat di apron merah muda, yang kaukenakan di atas kaus berkerah biru laut dan celana kargo panjang. Plakat kecil berembos nama "Kinomoto Sakura". Aro? Mengapa aku tidak melihatnya tadi?

"Dan kamu …?" katamu, balas menanyai namaku.

"Li Syaoran," jawabku, mencoba kalem, padahal jantungku terdengar berdegup dua kali lebih cepat dari biasanya. Aneh. "Yoroshiku ze, Sakura-chan."

Kau tercenung. Mungkin terkejut, tidak menyangka kalau aku akan memanggilmu langsung dengan nama kecilmu. Bibirmu yang mungil itu membuka. Namun belum sempat bersuara, tiba-tiba terdengar bunyi genta bergemerincing, menginterupsi. Kaupun langsung menoleh ke arah pintu, dan menyambut ramah pasangan yang baru saja memasuki toko.

"Irrashaimasai! Ada yang bisa saya bantu?"

Selama beberapa menit, kuamati dirimu yang bersikap begitu ceria, ketika melayani pesanan bunga untuk pesta resepsi pernikahan pasangan itu. Kulihat, kau juga begitu antusias saat merekomendasikan jenis-jenis bunga yang cocok untuk acara tersebut. Lalu, ketika mereka menyetujuinya, kutangkap binar kepuasan teraut di wajahmu.

"Jadi, sudah kamu putuskan akan memesan bunga apa, ano … Li-san?" tanyamu, menghampiriku usai mengantar pasangan itu ke luar.

Aku mengerjab, sedikit kecewa saat mendengar kau tidak memanggilku "Syaoran" saja. "Bunga?" ulangku, bingung.

Kepalamu mengangguk, semangat. "Un! Kamu kemari untuk memesan bunga, kan?"

Senyum manismu kembali menawanku. Rasa kecewa yang menyergap benakku tadi, pun seketika menguap tanpa bekas.

"Apa kita pernah bertemu sebelumnya, Sakura-chan?" tanyaku, linglung. Dan saat aku tersadar, kulihat dirimu tengah menatapku dengan kerutan samar di balik poni halusmu. " … maksudku, sō da! Aku ingin … eeto, memesan botan—atau bunga peony! Sō, sō! Botan cina!" cetusku, sedikit gelagapan.

Anehnya, kau hanya tertawa. Membuat keningku kontan mengerut, tidak mengerti. Namun, kurasakan adanya desiran aneh menyenangkan, muncul dalam dada dan perutku saat mendengarmu tertawa renyah, seperti itu. Aku juga jadi suka sekali, melihat ekspresi kekanakan yang teraut di wajahmu. Tampak begitu menggemaskan.

"Aa, gomennasai, ano … Li-san …," ujarmu dengan tawa masih berderai. "Toko bunga kami tidak menjual botan lagi lho. Musim semi kan sudah lewat."

"E? Sayō ka?"—kugaruk rambutku yang tidak gatal—" … padahal, itu bunga kesukaanku sih."

"Padahal bunga kesukaan, tapi tidak tahu kapan tumbuhnya ya," tanggapmu, terkikih geli. Aku hanya bisa ikut tertawa. "Memang, mau memesan botan untuk apa?"

"Untukmu." Spontan, aku menjawab. Tapi, begitu sadar kau menatapku aneh, buru-buru aku meralat, "Untuk … Mei Lin, maksudku!"

"… Mei Lin, ya? Uwaaa! Anata no koishī desu wa? Kawaī rashī na!" sahutmu dengan riang seraya mengacungkan jari kelingkingmu. "Karena untuk kekasihmu, makanya ingin memberikan bunga kesukaan sebagai tanda cinta, ya?"

"Aa iya, sore tte …."

"Padahal, botan itu bukan termasuk bunga bertanda cinta lho! Botan itu kan punya arti rasa malu, keseganan, kemakmuran … dan ada juga yang bermakna keberanian, kejantanan—ara! Bukannya bagi negeri Cina sendiri, botan adalah salah satu simbol kebangsaan mereka, yang punya arti kehormatan dan tanda jasa, ne?" lanjutmu dengan panjang-lebar, menyelaku yang ingin menukas perihal status Mei Lin. "Jadi, botan itu tidak terlalu bagus dipersembahkan untuk sang terkasih, Li-san."

Kemudian, kau bertepuk tangan dengan senyum antusiasme terkembang. "Demo, demo! Go shimpai naku! Kinomoto Sakura ini akan merekomendasikan bunga yang pantas untuk Mei Lin-chan! Sā, kochira e, Li-san!"

Aku sedikit melonjak, merasakan kontak fisik yang terjadi saat kau mengamit tanganku dengan tiba-tiba. Tapi, kau tampak tidak menyadarinya lantaran terlalu bersemangat saat menarikku menuju sisi lain ruangan toko, yang juga dipenuhi anekabunga berwarna-warni.

"Jya jaaan! Inilah bunga musim panas, yang pantas dipersembahkan untuk kekasih Li-san, Mei Lin-chan!" serumu dengan suara riang, menunjukkanku bebungaan sejenis berwarna merah, putih dan pink

"Carnation?" gumamku sambil mengangkat alis, mengenali jenis bunga-bunga tersebut.

"Un! Kā-nē-shon!" ejamu dalam nihongo. Lalu, kau mulai berceloteh, menjelaskan, "Carnation adalah bunga yang umumnya mempunyai makna pesona, kehormatan dan cinta. Lalu, arti carnation dibagi lagi berdasarkan warna bunganya lho! Misalnya, nihcarnation merah berarti 'cinta yang begitu romantis', gairah, atau secara verbalnya, 'Hatiku merindumu!'. Kalau yang putih: keindahan yang manis, kepolosan, cinta murni dan kesetiaan. Sedangkan yang pink berarti: 'Aku tak akan pernah melupakanmu!'—atau bisa juga, 'selalu dalam anganku'. Mā ne, carnation pink biasanya dipersembahkan di Hari Ibu sih. Tapi, bukankah romantis jika bisa mempersembahkan sebuket carnation pink untuk gadis yang Li-san cintai?"

Sekarang, kau semakin tersenyum lebar, menatapku dengan kedua iris berbinar-binar. "Toiuwake desu ga, Li-san! Carnation warna manakah yang akan Li-san persembahkan untuk Mei Lin-chan?"

"Panggil saja aku 'Syaoran', Sakura-chan," ujarku, alih-alih menjawab. Jujur, aku dalam keadaan tidak fokus ketika mengatakannya. Ekspresimu yang membuatku tidak mampu fokus sama sekali.

"Hoe?"

Tersadar, aku berdeham, dan buru-buru menambahkan, "Iya, sono … maksudku … Sakura-chan boleh memilihkanku carnation warna mana saja—dengan syarat, Sakura-chan mau memanggilku …."

"Hai! Wakarimashita wa, Syaoran-kun!" cetusmu, menyela sambil melonjak girang serta mengembangkan senyum yang lebih lebar. Lebih cantik. "Kalau diperbolehkan, aku ingin Syaoran-kun memesan carnation pink! Sudah warnanya cantik, memiliki makna yang bikin 'dokidoki' pula! Kyaaa! Daisuki na mon!" pekikmu, gemas. Lalu, kau menatapku, penuh harap. "Nee, dō omotteru no, Syaoran-kun?"

Aku tersenyum, senang. Akhirnya, kudengar juga panggilan nama kecilku dari bibirmu. "Ore no shi."

Setelah itu, aku mengamati bagaimana caramu membuat buket carnation pink untukku. Kau terlihat begitu telaten, dengan senyum yang tetap menghias sempurna wajahmu.

"Suki da zo."

"Hmm?"—kau menoleh dari buket yang hampir jadi, memandangku perhatian.

Sontak, wajahku memanas. "Betsu ni!" elakku, gelagapan. Taku mō, nani wo hanashitai'n da zo, ore no baka!

Kau menatapku, jenaka. "De wa, Syaoran-kun! Ini dia, buket carnation pink nan cantik untuk Mei Lin-chan! Dōzo!" katamu dengan riang seraya menyerahkan buket itu padaku.

Aku menerimanya dan kembali melonjak saat jemariku tanpa sengaja bersentuhan dengan jemarimu. Kali ini, kau memerhatikannya.

"Ara? Daijōbu, Syaoran-kun?" tanyamu, memandangiku dengan perhatian.

"Daijōbu dakedo." Kalem, aku menjawab. Padahal, lagi-lagi di dalam dada, jantungku berdegup kencang, merasakan serangan sensasi menggelenyar aneh yang tak kukenal di sekujur tubuh, saat jemari kita bersetuhan barusan. Dan—berbeda dengan saat kau mengamit tanganku—sensasinya lebih menguat ….

Kupandangi buket bunga di tanganku, lalu beralih menatapmu. "Naa, Sakura-chan."

Kau menoleh dari kertas bon pembelian, yang tengah kauisi. "Hai?"

"Boleh aku menghutang dulu?"—dengan begitu, akan ada alasan bagiku untuk datang ke toko bungamu lagi nanti.

Gerakan penamu terhenti. "Menghutang?"

Aku berdeham dan mengalihkan pandanganku ke luar jendela toko. Kulihat, si Wajah Rubah dari seberang jalan sudah keluar dari toko bukunya, dan kini tengah mengutak-atik sesuatu di tangannya. Bersamaan dengan itu, terdengar lagu bernada rap, mengalun dari dalam saku jins pudarku. Tapi, kuabaikan.

"Aku baru ingat kalau uang yang kubawa, tidak cukup untuk membayar buket ini. Jadi …,"—aku menarik dompet dari saku (dan masih mengabaikan panggilan Yamazaki), lalu mengeluarkan sebuah kartu. "… ini. Kartu identitasku, sebagai jaminan."

Kau menerima kartu itu, membaca apa pun yang tertera di atasnya. Tak terganggu dengan racauan syair lagu eigo yang masih menge-rap ria dari saku jinsku. Setelah itu, kau tersenyum pengertian. "Hai. Wakarimashita wa. Syaoran-kun boleh menghutang dulu kok." Lalu, kau mencondongkan bahumu ke depan, seraya menambahkan, "Tapi, hanya kali ini saja ya!"

Aku nyengir. "Anshin shiro. Besok, aku pasti akan datang kembali untuk melunasinya kok."

"Un, matteru wa yo!" tanggapmu sembari menegakkan bahu dan meninju pelan lenganku. Aku tercenung; lagi-lagi, gelenyar itu muncul.

Sepanjang perjalanan pulang bersama Yamazaki (yang mengoceh tentang betapa senangnya dia, berhasil menemukan buku pesanan gadisnya), pikiranku terus digelayuti oleh bayangan sosokmu, disertai sensasi gelenyar tak kukenal yang tadi menyerangku. Walau kelihatannya aneh, tapi aku tidak keberatan. Aku mulai menyukai keduanya.

Note:
Irrashaimasai = Welcome! (polite word from shopkeeper)
Sumimasen = Excuse me.
Omae tte dare da? = Who are you? (guyspeaks)
Mite no tōri, atashi wa koko ni hanaya nandesu yo = As you see, I am the florist here. (girlspeaks)
Iya, sonna koto shitterunda kedo = No, that I really know, but.
Sayō ka? = Really? (slang word for "sō ka")
Anata no koishī desu wa? Kawaīrashī na = Your girlfriend, right? How cute!
Aa iya, sore tte = No, that's not.
Demo, go shimpai naku. Sā, kochira e = But, don't worry! Let's move over here.
Toiuwake desu ga = With that said.
Wakarimashita wa = I understood. (girlspeaks)
Daisuki na mon = My beloved thing!
Nee, dō omotteru no? = Hey, what do you think?
Ore no shi = Mine too. (guyspeaks)
Betsu ni = It's nothing. (slang word for "nandemonai")
Taku mō, nani wo hanashitai'n da zo, ore no baka? = Seriously, what do exactly I wanna say, stupid me? (guyspeaks)
Anshin shiro = Rest assured. (guyspeaks)
Matteru wa yo! = I'll wait! (girlspeaks)


third piece.


Masalahnya, aku tidak bisa menepati janjiku untuk datang keesokan harinya. Alasannya, klise; tugas memanggil. Fuh, apalagi kalau bukan urusan racing jalanan, membereskan para junkie yang punya hutang menumpuk pada Bos kami, serta tugas-tugas biadab lainnya, yang enggan kuungkap mendetail di sini. Tiga hari kemudian, di saat matahari tengah giat-giatnya menyemburkan hawa panas yang melingkupi Tomoeda, aku baru bisa mencuri waktu untuk datang mengunjungi toko bungamu, sekalian melunasi pembayaran buket bunga yang dulu.

Namun, alih-alih melihatmu, aku malah mendapati seorang lelaki jangkung, yang mengenakan polo hitam-putih serta celana denim hitam di balik apron biru tuanya, mengawasiku dari sela-sela kegiatannya membenahi pot-pot bunga. Kuhampiri lelaki berambut hitam pendek itu, dan langsung merasakan aura sengit darinya. Kelihatannya, dia tidak menyukai kehadiranku di sini. Che. Aku juga tidak menyukai keberadaannya.

"Sakura-chan, doko dai?" sahutku, menanyakan keberadaanmu, tanpa basa-basi. Gah.

Tatapannya menusuk saat menundukkan kepala, memandangiku.

Che! Tinggi kami tidak sepadan! Mengapa puncak kepalaku hanya sebatas dagunya? Taku! Aku tidak percaya dia sejangkung ini!

"Siapa kau, berani memanggilnya langsung dengan nama kecilnya?" tanyanya, tidak suka. Tersirat adanya nada mengancam dari suaranya—tapi, peduli setan.

"Ore, Sakura-chan no tomo da zo," jawabku, tersenyum pongah.

Dia mendengus. "Sakura tidak punya teman seberandal dirimu, gaki."

Emosiku langsung meluap. "Nan dai? Nante itta'n da zo, temē?!"

"Kautahu apa yang kaubutuhkan, GA-KI?" katanya remeh, mengacuhkan raunganku dan dengan santai menekan panggilan berengseknya. "Alat bantu dengar." Telunjuknya terangkat, menuding telinga kanannya sendiri. "Itu yang kaubutuhkan."

"BEDEBAH!"

Dengan beringas, aku mengangkat tangan, bermaksud melayangkan tinju ke arahnya. Namun dengan cepat, tangannya mencengkeram dan mendorong kepalaku dengan gerakan kasar, hingga tubuhku langsung oleng, lalu terjungkal menghantam lantai toko. Ukh … rasanya, tulang punggungku ada yang retak.

Dari tempatku terjungkal, kutangkap sosok lelaki itu tengah melangkah, mendekatiku. Berdiri menjulang dia, mengintimidasiku. Dengan kilatan berbahaya yang terpantul di kedua iris cokelat kelamnya, dia berbisik, sarat nada maut, "Jangan dekati Sakura."

Aku yang sudah bangkit dengan agak terhuyung, membalas tatapannya dengan mimik garang. "Konoyarō! Fuzakeruna! Kau tidak bisa memaksaku, kuso otoko!"

Kilatan itu semakin berbahaya. Dia tersenyum, kelam. "Boku, Sakura no ani nda. Karenanya, aku bisa memaksamu, gaki."

Irisku membeliak. Kakak laki-laki Sakura-chan? Sakura-chan punya kakak laki-laki seberengsek ini? Che! Yang benar saja!

Tiba-tiba, telingaku menegak, mendengar suara langkah kaki mendekat, yang berasal dari balik punggung lelaki itu.

"Onīchan, aku tadi mendengar adanya keributan. Daijōbu desu ka?" tanya suara halus, yang terdengar familiar di telingaku. Kucondongkan sedikit kepalaku ke samping, berusaha melihat sosok gadis yang berdiri di balik bahu lelaki sial itu, dan tertegun begitu menatap wajah gadis berambut cokelat kemerahan dan bermata hijau zamrud—yang ternyata adalah dirimu.

"Sakura-chan!"—otomatis, bibirku bergerak, menyapamu. "Yo!"

Kedua iris zamrudmu melebar, mengenaliku. Seraya menyunggingkan senyum sumigrah, kau balas menyapa, "Ara? Syaoran-kun!"

Kemudian, kau menghambur dengan sarat antusiasme ke arahku; melewati lelaki itu, yang langsung membelalakkan manik matanya saat melihatmu yang mengangkat tangan dan memeluk leherku dengan sikap spontan.

Aku sendiri terkejut dan hampir terjungkal lagi andai tidak sigap menjaga keseimbangan saat kau memelukku. Seketika, kurasakan kembali sensasi gelenyar familiar, yang menyerang sekujur tubuhku tanpa ampun. Tak bisa kucegah, rasa panas menjalari wajah dan telingaku. Jantungku pun ikut berdebar kencang. Ini … kontak fisik ketiga kita … dan efek yang kurasakan, sebesar ini?

"Akhirnya, Syaoran-kun datang juga! Aku sempat khawatir karena Syaoran-kun tidak juga—hoe?"

Kau terkesiap, merasakan sepasang tangan besar yang hinggap di kedua bahumu, sontak menarikmu lepas dariku. Kau menengadahkan wajah, memandangi lelaki tadi, yang sekarang memelukmu dari belakang.

"Onīchan?"

Lelaki itu melempar tatapan tajamnya ke arahku, sementara suaranya menegurmu dengan nada tidak suka, "Tidak seharusnya, kaumain peluk gaki tak dikenal itu, kaijū."

Aku merengut, mendengar teguran lelaki itu. Gelegak amarah mulai menyembul, ingin keluar. Egoku sudah memerintahkan untuk menarikmu lepas dari dekapan lelaki berengsek yang kaupanggil "Onīchan" itu, dan lalu menghajarnya. Tapi, nalarku berpendapat, hal itu hanya akan membuat imejku merosot di matamu. Jadi, aku terpaksa memilih untuk diam—walau ternyata, sulit juga. Terlebih, tanganku yang terkepal terasa begitu gatal, ingin mencoba meninjunya sekali lagi.

"Onīchan, nani o itteru no? Dia ini, Li Syaoran yang kuceritakan itu lho!" tukasmu, masih mendongakkan kepala, memandanginya.

Lelaki itu menunduk, balas memandangmu. "Si idiot, tukang hutang itu, kan? Aku sudah tahu dengan melihatnya saja, kaijū."

Keningku mengernyit. Nan dai? Si idiot, tukang hutang?

Kau tertawa kecil sambil mengangkat tangan, meraih sepasang lengan yang menyilang di bahumu itu. Kusangka, kau akan melepaskan diri dari lelaki berengsek itu—tapi ternyata, kau hanya menggenggamnya saja seraya menyandarkan tubuhmu dalam dekapannya. Kaualihkan pandangan ke arahku, tersenyum dengan sikap riang yang khas.

"Syaoran-kun, kenalkan, ini Kinomoto Tōya. Onīchan-ku seorang, yang suka sekali bermulut pedas."

"Yappari na," gumamku, benar-benar terusik, melihatmu yang seolah menikmati dekapannya. Kepalan tanganku pun mengerat. Kurasakan, kuku jariku mulai menusuk kulit telapaknya saat dia melempar senyuman sinisnya ke arahku.

"Dan, Onīchan, dia adalah Li Syaoran. Pemuda menarik yang tiga hari lalu datang, mengunjungi toko bunga kita," lanjutmu, memperkenalkanku padanya.

Aku tertegun. Pemuda menarik, kaubilang? Bibirku pun berkedut dan ekspresiku melunak; merasa senang, mendengarnya.

"Kuharap, kalian berdua bisa akrab serta berteman baik ya!"

"Yang benar saja," responku dan lelaki itu, kompak. Che. Ittai nan?

Kami berdua pun saling melempar tatapan maut. Ada percikan kilat konfrontasi semu saat mata kami beradu. Kau sendiri hanya tersenyum, seolah tak merisaukan intensitas aura sengit yang menukik tajam, menyelubungi kami.

"Oi, gaki!" sahut lelaki itu, memanggilku dengan nada remeh. "Kau datang kemari untuk melunasi hutang, kan? Cepat bayar,"—diulurkan tangannya ke arahku, sementara dagunya bersandar pada puncak kepalamu dan tangannya yang lain masih mendekap bahumu dengan sikap posesif—"lalu segera enyahlah dari toko bunga kami!"

"Onīchan, kumohon, jangan sekasar itu pada Syaoran-kun!"

Lelaki itu hanya mendengus, tidak menanggapi teguranmu. Kau mendesah, lalu tersenyum meminta maaf atas perlakuannya padaku.

"Ī janē betsu ni, Sakura-chan. Ore sa, zenzen ki ni sunna zo. Aku sudah sering bertemu dengan orang setipe Kinomoto-san. Jadi, tidak masalah bagiku, mendapat perlakuan seperti itu darinya," ujarku, menenangkanmu.

Lelaki itu tergelak, sinis. "Boleh juga kau, gaki. Aku cukup terkesan dengan sikapmu pada kaijū. Tapi, tetap saja, aku tidak menyukaimu."

Che! Memangnya, siapa yang mengharapkan hal itu darimu, kuso-nīchan?

Note:
• Sakura-chan, doko dai? = Where's Sakura? (guyspeaks)
Gaki = Brat. (Tōya's lovely nickname for Syaoran)
Nan dai? Nante itta'n da zo, temē?! = What? The heck you said, you b*stard?! (swear words)
Konoyarō! Fuzakeruna! Kuso otoko! = You a**hole! Don't ever think I'm lower than you! Sh*t guy! (swear words)
Kaijū = Monster. (Tōya's lovely nickname for Sakura)
Onīchan, nani o itteru no? = My dear big brother, what are you saying? (girlspeaks)
Yappari na = Just as I thought. (guyspeaks)
Che. Ittai nan? = Tch. What the heck? (swear words)
Ī janē betsu ni, Sakura-chan. Ore sa, zenzen ki ni sunna zo = It's nothing, really. It doesn't matter for me at all. (guyspeaks)


fourth piece.


Lima hari telah berlalu semenjak perkenalan menyebalkanku dengan Onīchan-mu. Dan selama lima hari itu, aku begitu senang lantaran hubungan kita menjadi cukup dekat. Aku pun sering mengunjungimu di toko bunga, setiap jam tiga sore; menghabiskan waktu sampai petang bersamamu di sana—tak terlalu peduli dengan tatapan setajam mata elang, yang mengawasi kita dari lelaki sial itu.

"Nee, Syaoran-kun! Selesai tugasku membuket bunga pesanan terakhir ini, kita bisa langsung jalan-jalan dengan skutermu ya!" serumu dengan riang sementara kedua tanganmu tengah berkutat dengan tangkai bebungaan krisan merah dan putih beserta keranjang, plastik, serta pita-pita berenda pink.

Aku tersenyum. Kau memang selalu kegirangan saat kuajak jalan-jalan dengan menaiki skuter marun (pinjaman reguler dari Sorata-san), mengelilingi Tomoeda. Aku teringat saat kali pertama kau melihat skuter itu, empat hari lalu …

"Rupanya, Syaoran-kun punya motor ya!" serumu, takjub.

Aku tertawa. "Ini skuter, Sakura-chan," kataku, mengoreksi.

"Sama saja, kan?" Onīchan-mu menginterupsi, datar. "Sama-sama kendaraan bermotor."

Aku melengos. Aku punya pemikiran berbeda tentang arti skuter dan motor sesungguhnya, kuso-nīchan.

"Skuter, ya? … kalau begitu, Syaoran-kun bisa mengajakku jalan-jalan ya!" cetusmu, bertepuk tangan.

Aku akan mengiyakan, tapi sial, Onīchan-mu menyela dengan nada masam. "Dame da yo."

Kau menoleh padanya dengan iris melebar. "Hoeee? Nande? Onīchan, aku belum pernah naik skuter lho!" rajukmu seraya menarik-narik krah lengan dari kemeja flanel biru pudar, yang dikenakan lelaki itu.

Di balik helaian poninya, dahi lelaki itu tampak mengerut, tidak suka. "Lantas?"

"Makanyaaa, aku ingin mencoba naik skuter, Onīchaaan."

Aku menahan tawa geli saat melihatmu, yang memasang tampang semelas mungkin sambil mengatupkan kedua tangan ke arah Onīchan-mu.

"Onegai, onegai, onegaaai!"

"Berdua gaki berbahaya itu? Nai, nai. Dame da tte."

Che! Si baka-nī itu tetap pada pendiriannya, rupanya.

"Tolong berhenti memanggil Syaoran-kun begitu, Onīchan. Lagi pula, mananya dari Syaoran-kun yang berbahaya sih?"

"Semuanya."

Kau terdiam sebentar, lalu melirikku, meminta bantuan. Aku pun berdeham. "Aku akan berhati-hati saat membonceng Sakura-chan, Kinomoto."

"Kaupikir, aku akan membiarkan-MU berduaan saja dengan kaijū? Jangan harap, gaki. Kau itu kan berbahaya bagi para gadis," sambarnya seraya memincingkan mata dengan tajam.

"Ittai dōiu imi dai?" tanyaku, langsung geram. Gigiku pun bergemeletukan, menahan amarah yang hampir meledak.

"Onīchan, Onīchan," panggilmu, menengahi sembari menarik lengannya, menjauhiku. "Zehi, Onīchan. Zettai daijōbu da yo. Chotto imōto wo shinjite kudasai ne," ucapmu dengan begitu lembut, meminta pengertiannya.

Che. Kupikir, menyebalkan sekali Onīchan-mu kalau sampai tetap bersikeras dengan pendiriannya. Kalau jadi dia, aku pasti akan memberi izin.

Lelaki itu mendesah sambil tiba-tiba meraih belakang kepalamu, lalu mengetukkan dahinya ke dahimu dengan cukup keras—sampai kau mengaduh, "Itai, itai."—dan tetap bertahan seperti itu. Aku sendiri mengangkat alis; heran dan waswas. Apa yang mau dilakukannya dengan wajah kalian sedekat itu? Apalagi, orang-orang yang berlalu-lalang di trotoar, ikut memandangi kalian, aneh. Namun, kalian hanya saling menatap, dan lalu saling berbagi senyum.

"Pergilah," gumamnya sambil melepaskanmu. Dan sebelum dia masuk kembali ke dalam toko, dengan tatapan tajamnya, dia memeringatkanku untuk tidak macam-macam.

Aku hanya mengangguk, enggan. Kemudian, kupandangi wajahmu yang merona—masih menatap Onīchan-mu melalui kaca jendela toko. Hal itu membuatku bertanya-tanya, hubungan seperti apa yang ada di antara kalian, kakak-beradik? Mengapa bisa sedekat itu?

"… ran-kun … Syaoran-kun?"

Seketika, aku terenyak dari ingatanku begitu kau melambaikan tangan di depan hidungku. Aku mengerjab, memandangmu yang mengamatiku dengan tatapan jenaka.

"Syaoran-kun melamun, ya? Melamun apa?"

Wajahku kontan memerah. "Aku tidak melamun!" sergahku, malu.

Tiba-tiba, kurasakan pukulan kasar dari belakang kepalaku. Aku mendesis kesakitan dan menoleh ke belakang—tidak heran, mendapati Onīchan-mu berdiri di sana, dengan catatan akuntansi toko di tangan kirinya

Geh, mattaku! Beraninya dia, memukul kepalaku dengan buku setebal itu! runtukku dalam hati sembari mengusap benjol yang langsung muncul di tempat lelaki itu memukul.

"Berhentilah melamun yang bukan-bukan, gaki!" tegurnya, dingin.

"Aku tidak melamun," tukasku, merengut dengan tatapan dongkol.

"Selesai!" cetusmu semangat, menginterupsi perang kilatan mata yang terjadi di antara kami. Lalu, kau menarik lenganku untuk ikut bangkit dari meja kerjamu. "Iku yo, Syaoran-kun! Saatnya jalan-jalan!"

Kau berpaling ke arah Onīchan-mu, tersenyum manis. "Ittekimasu, Onīchan!"

"Hmph. Itterasshai," gumamnya, yang bagi telingaku terdengar seperti gerutuan.

Heh. Dia memang masih kelihatan tidak rela, tiap hari harus mengizinkan kami jalan-jalan dengan naik skuter, berdua. Tapi, mana mungkin dia bisa tega, mencegah imōto-nya untuk bersenang-senang, kan?

Note:
Dame da yo = You can't do that.
Nande? = Why?
Nai, nai. Dame da tte. = No, no. I said "you can't do that".
Ittai dōiu imi dai? = What the heck do you mean by that? (guyspeaks)
Zehi, Onīchan. Zettai daijōbu da yo. Chotto imōto wo shinjite kudasai ne = Please accept my request, my dear big brother. Everything will be surely alright. Please trust your little sister for a bit, okay?
Itai, itai = It hurts, it hurts.
Geh, mattaku! = Ukh, seriously it sucks! (bad word)
Iku yo = Let's go.


fifth piece.


"Kautahu kalau Onīchan-mu membenci kehadiranku di toko bunganya, khususnya di dekatmu, kan?" tanyaku, menggerutu saat kita berada di Taman Penguin.

Biasanya, setelah puas mengelilingi Tomoeda dengan skuter, kau memintaku untuk mampir sebentar ke taman bermain ini—duduk berdua di salah satu bangku taman, menikmati langit sore yang senantiasa tampak kemerahan di atas sana, sambil mengobrol akrab. Dan kali ini, bahan obrolan dariku adalah tentang Onīchan-mu.

"Sonna koto nai wa. Onīchan bukannya membenci Syaoran-kun kok," ucapmu, menukas seraya mengukir seulas senyum kala mengamati beberapa remaja, yang tengah asyik bermain roadroller dan skateboard di seberang jalanan setapak sana.

"Sō ka na?" tanggapku, sarkatis. "Mengapa aku selalu berpikir sebaliknya ya?"

Kau menoleh padaku tanpa memudarkan senyuman di bibir ranummu. "Onīchan cuma cemburu kok," tambahmu, ringan.

Alisku terangkat sebelah. "Cemburu?" ulangku, heran. "Mengapa dia harus cemburu?"

Dengan santainya, kau menjawab, "Karena sekarang ada pemuda lain yang tampak begitu akrab dengan imōto tersayangnya ini, makanya Onīchan jadi cemburu."

Aku tergelak, sinis. Ternyata, si kuso-nīchan itu mengidap siscom, toh? Che! Seharusnya, aku langsung sadar begitu melihat sikap buruknya padaku selama ini. "Apa dia juga bersikap begitu kepada para pemuda lainnya yang berdekatan denganmu?"

"Uun. Cuma dengan Syaoran-kun saja kok."

"Haa? Denganku saja?" ulangku, tidak mengerti, sambil menunjuk wajahku sendiri. "Apa aku seburuk itu di matanya?"

Kau mengangkat bahu, berujar, ", sebenarnya, Syaoran-kun adalah satu-satunya pemuda yang bisa sedekat ini denganku lho."

Kedua alisku bertautan. "Maksudmu …?"

Kau mulai menjelaskan, "Sebelum dengan Syaoran-kun, aku tidak pernah berteman begitu akrab dengan pemuda lainnya."

Kontan, aku terperangah. Ekspresiku pasti kelihatan bodoh sekali di matamu—dengan mulut membuka selebar ini, saking kagetnya. Namun, kau cuma bertanya dengan tawa geli, "Apa begitu mengejutkan ya? Fufufu. Shikata ga nai wa ne. Habisnya, masa enam tahun tingkat pendidikan terakhirku, kuhabiskan di akademi khusus wanita sih …."

"Iya, matte—kalau begitu, kau juga belum pernah 'berpacaran'?" tanyaku, agak sangsi, yang langsung mendapat gelengan kepalamu.

"Kalau hanya mengagumi seseorang sih, pernah …," tambahmu, dengan kedua belah pipi sedikit merona.

"Bagaimana dengan ciuman?" sahutku dengan suara aneh; merasa tertarik dengan topik yang tengah kita bincangkan ini. "Pernahkah kau berciuman, Sakura-chan?"

Kali ini, kau tercenung. Sesaat kemudian, wajahmu tampak mulai mengepulkan asap semu. "Ciciuman?" ulangmu, gelagapan seraya mengalihkan tatapanmu secepatnya ke arah jalanan setapak di depan tempat kita duduk. "Aano mā, sonnananka …."

Aku mengawasi gerak-gerik canggungmu dengan sorot mata terhibur. "Tidak pernah?"

"Pe—pernah kok!" selamu, gelagapan. "Aku pernah … , dicium sih … kurasa."

Aku mengerutkan dahi seiring melihat senyum tersipu, yang merekah di bibirmu.

"Meski cuma sekali … eeto, kupikir, itu tetap disebut … 'ciuman'. Nee?"

Sekarang, dengan dua jari kanan terangkat, kauusap pelan bibirmu. Iris hijau zamrudmu juga terlihat menerawang. "Ciuman … pertamaku."

Melihat ekspresimu, kurasakan sesuatu yang panas, menggelegak dalam dada. Amarah yang entah muncul dari mana, mulai naik ke ubun-ubun. Tanganku pun tanpa sadar ikut terkepal kuat.

"Memang, siapa yang menciummu saat itu, Sakura-chan?" tanyaku, terdengar seperti geraman yang tertahan.

Kau mengerjab. "Hoe? … Oh! Itu siheeto, ra—rahasia! Sō nandesu kedo! Rahasiaku! Un!"—lalu, tawa gugup terdengar dari suaramu. "Gogomen ne, tidak bisa memberitahu Syaoran-kun. Bisa-bisa … eeto, nanti timbul masalah kalau Syaoran-kun, ano … sampai tahu orangnya. Ahahaha."

"Haa?"

Tiba-tiba, kau bertepuk tangan seraya menatapku kembali dengan pandangan antusias. "Jyaa, Syaoran-kun sendiri, bagaimana? Ciuman pertama? Cinta pertama? Lalu sebelum Mei Lin, siapa lagi gadis-gadis lainnya yang pernah menyandang gelar 'Kekasih Syaoran-kun'?" berondongmu, menanyaiku dengan sorot mata sarat akan rasa penasaran. Bahkan saking penasarannya, kau mencondongkan bahu semakin dekat ke arahku.

"E? Sore tte …." , mengapa sekarang gantian aku yang gelagapan dan kepanasan begini? Yaah, tapi, aku tahu bukan karena pertanyaannya—melainkan wajahmu, yang bergerak begitu dekat, hampir menyentuhku. Aku bahkan sampai harus menarik kepalaku, mundur perlahan.

"Rahasia juga, ya?" sambungmu, tersenyum simpul sembari menelengkan kepala.

Aku berdeham, mencoba sedikit meredakan panas di wajah dan degup jantung di dalam dada. "Hn."

Kau menarik kembali bahumu, menegak—fiuh, akhirnya!—lalu menyenandungkan tawa yang terdengar begitu renyah. "Kita ini lucu ya, saling merahasiakan pengalaman kita tentang masalah seperti ini. Ah! Demo, kamaimasen ne? Kalau sudah saatnya, pasti akan cerita juga! Nee, Syaoran-kun?"

Aku cuma mengangguk, sekilas. Walau sebenarnya, dalam hati membatin apakah mungkin aku sanggup menceritakan padamu begitu saja, semua tentang pengalamanku dengan para gadis selama ini, dari yang sekadar ciuman sampai yang menjurus ke ranjang?

Ha-ha. Mana mungkin, kan?

Note:
Sonna koto nai wa = It's not like that. (girlspeaks)
Sō ka na = I wonder if it's like that. (guyspeaks)
Shikata ga nai wa ne = I can't help it, right? (girlspeaks)
Iya, matte = No, wait!
A—ano mā, sonna … nanka …. = Er, well, that's, somehow.
Demo, kamaimasen ne? = But, it doesn't matter, right?


sixth piece.


Aku benar-benar tidak menyukai Kinomoto Tōya, si kuso-nīchan itu. Aku yakin, sejak awal, kami memang tidak ditakdirkan untuk bertemu. Tapi sialnya, kami tetap saja saling tatap muka. Awal pertemuanku dengannya pun tidak begitu baik. Bahkan, bisa dibilang "sangat buruk". Aku masih bisa mengingat dengan jelas, bagaimana caranya dia menghina, meremehkan, mengintimidasi, serta membuatku terjungkal jatuh hingga menghantam lantai toko, tempo hari itu. Gah! Bahkan, dia masih saja bersikap seberengsek itu setiap kali aku mengunjungimu! Dengan terang-terangan, dia menguarkan aura menusuk, mengawasi setiap gerak-gerikku di dekatmu, dan melempar tatapan mautnya ke arahku. Wajahnya juga selalu tampak dingin dan mengeras, laiknya sebongkah batu es di kutub bumi sana.

Namun anehnya, walau tidak terlalu kentara, ekspresi batu esnya mencair … meluruh begitu saja saat kau memanggilnya, menghampirinya, atau berada di dekatnya. Dan setiap kali begitu, dia pasti akan memandangku dengan seringai melekat miring di wajah angkuhnya. Gah! Kurang ajar!

"Mō nande koko ni, gaki?" sapanya dengan nada dingin ketika melihatku mengunjungi toko bunga kalian pada sore hari yang hangat di penghujung bulan Juni. Aku tidak heran mendengarnya. Si bedebah itu memang tidak pernah menyambut ramah kunjunganku.

"Sakura-chan, iru?" balasku, bertanya dengan dahi berkerut karena tidak mendapatimu di dalam toko, seperti biasanya.

"Achi ike, gaki," ujarnya sambil berlalu, tidak menjawab pertanyaanku sementara tangannya sibuk membuat perhitungan tidak jelas di catatan akuntansinya. Wajahku sendiri langsung memberengut, meresponsnya. Aku benar-benar tidak menyukai sikapnya.

Masih mencoba untuk menahan gelegak amarah yang akan menyembur ke luar, kuhampiri sebuah bangku kayu panjang di depan rerimbunan nadeshiko. Kuempaskan tubuhku di sana, duduk bersandar dengan satu kaki menompang di atas lutut kaki lainnya. Kurogoh saku celana jins pudarku, menarik ke luar ponsel ber-casing hijau matte, dan lalu menekan angka satu di keypad—yang lansung terhubung ke nomor ponselmu.

Senyum kecil kontan terukir di wajahku, saat mendengar suara ramahmu menjawab panggilanku pada dering kedua. Kutanyakan di mana posisimu sekarang—karena yang kutemukan di sini, hanyalah Onīchan-tidak-ramah-mu itu seorang.

Kaupun tertawa geli, menangkap nada gelisah sekaligus jengkel dalam suaraku. "Aku sedang berbelanja dengan Tomoyo-chan di Harajuku, Syaoran-kun," jawabmu, lugas.

"Tomoyo-chan?" tanyaku, merasa asing dengan nama itu. "Teiuka, Harajuku nda? Ja, aku akan ke sana—"

"Heki, heki. Kumohon, Syaoran-kun temani Onīchan saja ya!"

Menemani Onīchan-mu? ulangku, membatin dengan kening mengernyit, sedikit terusik. Gaaah. Mana tahan aku berada di dekatnya tanpa dirimu di sini, Sakura-chan? Menemaninya pula? Hah! Seolah dia mau kutemani saja.

… Tapi, yaah, karena kau sudah memohon begitu, aku jadi tak kuasa untuk menolaknya. Lagi pula, apa sulitnya menemani seorang lelaki angkuh, yang senantiasa berambisi untuk segera mengenyahkanku dari duniamu?

Tiba-tiba, kurasakan sesuatu yang amat berat, jatuh menimpa pangkuanku. Kontan, aku melempar tatapan berang ke arah lelaki sialan yang menjatuhkan sekarung berbau menyengat barusan itu, seraya menyumpah kasar, "Kono kusottare! Ittai nannanda, kore?!"

"Aku tidak membutuhkan kacung sepertimu, gaki," katanya, datar.

"Nandato, temē?!"

"Hn. Angkat karung pupuk itu ke gudang sana!"

Taku! Sekarang, dia mulai berani memerintahku? Fuzakeruna!

Lalu, krah leher dari kausku mendadak ditarik dengan gerakan kasar, hingga membuatku langsung berdiri sambil memeluk sekarung pupuk bau itu. "Hoi, temē!" protesku, tapi tidak dipedulikan. Dengan gerakan telunjuknya dia menuding karung pupuk dalam pelukanku, dua karung lainnya di dekat pintu toko, serta pintu gudang di seberang sana, secara bergantian.

"Kono kusottare …," geramku dengan nada rendah. Tapi, kukerjakan juga perintahnya.

Demi dirimu, Sakura-chan. Demi menunggu kepulanganmu.

Setelah beres memindahkan karung-karung pupuk bau tersebut ke gudang, lelaki sialan itu kemudian menyuruhku melakukan pekerjaan berat lainnya. Aku mendecih. Dia benar-benar ingin menjadikanku kacung, rupanya!

Dengan napas terengah-engah karena kecapaian, kuambrukkan tubuhku di bangku, sambil merebahkan kepala di atas sandaran kayunya.

"Yowē na, gaki. Begitu saja, langsung K.O," komentar Onīchan-mu, remeh.

Aku mendesis, "Urussē na, oniyarō."

Dia hanya mendengus, lalu beranjak santai, menyambut pelanggan yang baru saja memasuki toko. Sementara itu, kulihat, langit sudah menghitam di luar sana. Tapi, mengapa kau masih belum pulang juga? Mau sampai kapan kau berbelanja, Sakura-chan?

Beberapa menit kemudian, lagu eigo bernada rap terdengar dari dering ponselku. Berpikir mungkin itu adalah panggilanmu, aku menjawabnya dengan antusias. Rasa capai yang tadi menyerangku, seketika sirna. Namun, antusiasmeku menyusut begitu mendengar suara bariton memanggilku di seberang sana.

Sorata-san.

Usai mendengar cermat perintahnya, dengan lesu aku bangkit dan melangkah ke luar toko, tanpa berpamitan dengan Onīchan-mu.

Saatnya bekerja, Syaoran.

Note:
Mō nande koko ni, gaki? = Why are you here again, brat?
• Sakura-chan, iru? = Sakura dear, she there?
Achi ike = Get lost. (bad words)
Teiuka, Harajuku nda? = Anyway, Harajuku?
Heki, heki = It's okay, it's okay.
Kono kusottare! Ittai nannanda, kore?! = You f*ckin' a**hole! Just what the heck is this, huh?! (swear words)
Nandato, temē?! = What did you say, you b*stard?! (swear words)
Yowē na = How weak. (guyspeaks)
Urussē na, oniyarō! = Just shut up, you f*cking demon! (swear words)


seventh piece.


Tidur singkatku terusik ketika bel pintu depan berdering, nyaring. Namun, aku tetap memejamkan mata; enggan bangun untuk sekadar menilik orang idiot mana yang memencet bel pintu apartemenku pagi-pagi begini. Lagi pula, perempuan yang tengah berbaring dalam dekapanku, juga tak ingin aku segera bangkit dari sisinya. Malah, mengerang manja dia, menyurukkan kepala serta mulai memberi ciuman yang menggigit di bahu dan leherku.

Aku tahu benar apa yang diinginkannya dariku. Tetapi, aku malas meladeninya lagi. Yang kuinginkan sekarang, hanyalah tidur.

Namun, perempuan itu tidak menyerah. Mendesah dia, memanggilku sementara telapak tangannya menyapu dadaku yang telanjang. Perlahan, kurasakan mulutnya beralih melumat dagu dan melahap bibirku.

Sialan.

Aku pun mengerang—memberi kesempatan bagi lidahnya untuk menjelajah masuk ke dalam mulutku. Mataku setengah membuka, menikmati sensasi panas dari ciuman itu.

Lagi, dering bel pintu terdengar nyaring. Aku mengumpat sementara perempuan itu mendesah, "Yamenai de, Li-kun."

Aku hanya mendecakkan lidah, dan lalu bangkit dari tubuhnya yang polos.

Dia mengerang, tidak rela. ", Li-kun ttara …."

Cuek, aku menguap lebar. Lalu, mulailah aku berkutat mengenakan kembali jins lusuhku. Setelahnya, kuseret dengan malas kakiku, menghampiri pintu dan membukanya ogah-ogahan.

"Nanda—"

"Ohayō gozaimasu, Syaoran-kun!"

Terpaku, aku mendapati sesosok gadis bermata hijau dan berambut cokelat kemerahan, berdiri—

Aku mengerjab. Sakura-chan berdiri di depan pintu apartemenku?

Kantukku seketika menghilang. Rasa kaget menguasaiku. "Sa—Sakura-chan?" sapaku, gagap.

Kau tersenyum, geli ketika mengamati penampilanku yang tidak mengenakan apa pun, kecuali celana jins lusuh. "Syaoran-kun baru bangun tidur, ya?"

"Aaeeto,"—mulutku membuka, tapi tidak tahu mau berkata apa. Aku masih terkejut, bertanya-tanya; Bagaimana Sakura-chan bisa muncul di depan apartemenku?

"Boleh aku masuk, Syaoran-kun?" tanyamu sambil menelengkan kepala, menatapku perhatian.

"E? Ī da yo! Haere!" kataku, buru-buru mempersilakanmu.

Kau lalu melangkah masuk ke dalam, masih tersenyum ke arahku. "Gomen ne, Syaoran-kun. Mendadak, aku datang seperti ini tanpa—"

Kalimatmu menggantung ketika melihat seorang perempuan yang cuma berbalut selimut tipis, berjalan keluar dari pintu kamar seraya bertanya dengan nada manja, "Bisa kita lanjutkan, Li-kun?"

Chikushō! Aku lupa, perempuan itu masih berada di sini!

Panik, aku memutar kepala, melihatmu yang tengah mengerutkan dahi selagi menatap perempuan itu.

"Rika-san?" panggilmu, heran memandangi penampilan semitelanjangnya.

Perempuan itu membelalakkan mata; wajahnya langsung memucat. "E? E? Sa—Sakura … -san?"

"… Rika-san, apa yang—" kau berhenti, irismu melebar sebelum kepalamu menoleh ke arahku, lalu kembali memandanginya. Kelihatannya, kau mulai menyadari apa yang sudah kami lakukan. "Kalian …? Chochotto, Rika-san. Bukannya Rika-san … dengan Terada-sensei, sudah … bertunangan?"

Alih-alih menjawab, perempuan itu malah langsung menghambur ke kamarku seraya membanting pintunya hingga menutup dengan suara keras.

Perlahan, kau berpaling padaku, bertanya dengan suara lirih. "Nande, Syaoran-kun? Mengapa … kaulakukan itu dengan Rika-san?"

Aku membisu, merasa rikuh jika harus memberimu jawabannya. Rasa bersalah yang tak termaafkan, ikut membelenggu nuraniku, membuatku tak sanggup untuk membalas tatapanmu.

"Syaoran-kun,"—kau akan melangkah mendekat, namun urung begitu melihat pintu kamarku yang terbuka.

Perempuan itu melangkah ke luar, kali ini dengan pakaian lengkap membalut tubuhnya. Dia berdiri dengan sikap gelisah; memandangiku sembari menggigit bibirnya. Aku tahu, dia tidak berani menoleh ke arahmu. Terlalu takut atas perbuatannya—perbuatan kami—yang diketahui olehmu.

"Sayōnara, Li-kun," pamitnya dengan tubuh gemetar, sebelum akhirnya berlari melewati kami dan menerobos pintu apartemen

"Rika-san, matte kudasai!" serumu, bergegas untuk mengikutinya dan meninggalkanku, yang mulai menyumpah-nyumpah dan menendangi meja kayu sampai terguling, saking kesal dan frustrasi pada diri sendiri. Semakin putus asa, kubanting tubuhku di sofa, dan kubenamkan wajahku ke tangkupan kedua telapak tangan yang bertumpu pada lutut.

Aku benar-benar berengsek.

Note:
Yamenai de = Don't stop.
Mō, Li-kun ttara = Really, for goodness' sake, Li. (girlspeaks)
Ī da yo! Haere! = Of course, you may! Just come in! (guyspeaks)


eighth piece.


"Syaoran-kun?"

Aku mendongak, mendengar namaku dipanggil, dan mengerjab tidak percaya, melihatmu kembali muncul di ambang pintu apartemenku. Kupikir, kau tak akan kembali menemuiku setelah mengetahui betapa berengseknya diriku—namun ternyata, pikiranku salah.

Kau melangkah pelan, memasuki ruangan dan menghampiriku. Sofa kulit berderak ketika kau duduk di sampingku. Ada jarak selengan di antara kita. Tapi karena masih merasa rikuh, kupalingkan muka demi menghindari tatapanmu.

"Syaoran-kun," panggilmu lagi, bergerak menghadap ke arahku. Aku tak bergeming. "Tadi … Rika-san memberitahuku tentang Syaoran-kun yang …," kaugantung ucapanmu dengan tangan melambai di udara.

Aku menoleh sedikit, namun tetap tidak memandangmu. "Nan dai?" tanyaku, mendesakmu untuk meneruskannya.

"Eeto, laiknya seorang host mempesona yang, ano … bersedia melayani para gadis kesepian, dan membuat mereka puas di … tempat tidur?" lanjutmu dengan suara kaku seraya menatapku, hati-hati. "Hontō na no, Syaoran-kun?"

Aku menyumpah kasar dalam hati, lalu akhirnya menyerah dan membalas tatapanmu. "Tidak tepat seperti itu, Sakura-chan!" sergahku, membuatmu jadi sedikit tersentak. "Maksudku—aku bukan host, dan tidak melayani atau memuaskan mereka! Malah, sebaliknya!"

Mulutmu membuka, tergagap, "Nannani? Sesebaliknya? Maksud Syaoran-kun, para gadis itulah yang melayani dan memuaskan Syaoran-kun?"

Lalu, terdengar desahan tidak percaya darimu. "Bagaimana mungkin? Lantas, bagaimana dengan perasaan Mei Lin-chan jika mengetahui kekasihnya berperangai bak Cassanova? Tega sekali, Syaoran-kun berselingkuh di belakang Mei Lin-chan!" hardikmu, mengecam dengan keras. Kedua matamu memincing, memberiku tatapan tajam yang, astaga, mirip sekali dengan tatapan Onīchan-mu itu!

Hampir saja aku tergelak sinis usai mendengar kecamanmu. Aku, Cassanova yang berselingkuh di belakang Mei Lin? Oh, yang benar saja. Sepertinya, kau salah paham tentangku.

"Ore wo kīte, Sakura-chan; aku tidak berselingkuh di belakang Mei Lin, dan dia juga bukan kekasihku!"

Kau mengerjab, bingung. "Dattedatte! Bukannya Mei Lin-chan yang Syaoran-kun persembahkan sebuket carnation—"

Aku menyela, "Koko ni matte!"—lalu segera beranjak ke dapur, dan kembali dengan sebuah vas besar berwarna hijau transparan, berisi bunga-bunga berkelopak pink yang tampak hampir layu.

"Ichio, sebenarnya, buket bunga carnation pink ini bukan untuk Mei Lin. Kupesan, sebagai alasanku saja untuk bisa berkenalan denganmu saat itu. Awalnya, aku tidak tahu mau kuapakan bunga-bunga ini. Tapi karena terlalu sayang untuk dibuang, maka kusimpan saja di vas ini, dan kuletakkan di konter dapur," ujarku setelah duduk kembali sembari memangku vas berbunga carnation pink ini.

Kau terpana, memandangiku dan kelopak-kelopak carnation pink tersebut, bergantian. "Kalau Mei Lin-chan bukan kekasih Syaoran-kun," ucapmu, terdengar bingung, "lantas, siapa kekasih yang sebenarnya dan sedang Syaoran-kun khianati?"

Aku mendecak, kesal. "Mengapa sulit sekali kaupahami, Sakura-chan? Aku tidak mengkhianati siapapun! Tidak ada seorang gadispun yang menjadi kekasihku! Aku tidak punya kekasih!"

Kau tercenung dulu sesaat, lalu bertanya, "Jadi, yang Syaoran-kun lakukan dengan mereka itu … tanpa status sebagai kekasih?"

Alih-alih mengangguk, aku malah membuang muka. Belitan rasa rikuh kembali menyergapku ketika menjawab, "Hanya kencan semalam tanpa status atau cinta."

"Kencan semalam tanpa status atau cinta? Sonna kotodōiu imi na no, Syaoran-kun?"

Aku berdeham, merasa aneh kalau harus menerangkannya padamu. Tapi, sudah telanjur; aku harus mengakuinya. "Kencan semalam itu … ano, bertemu perempuan yang terpikat padaku … dan dengan senang hati menerima ajakanku untuk tidur bersama. Kemudian, saat bangun esok paginya … eto, kuakhiri hubungan singkat itu, juga tak pernah memintanya untuk berhubungan lagi denganku."

Kupandangi dirimu, menunggu respons yang akan kauberikan. Tetapi, kau hanya menatapku dengan pandangan kosong, yang membuatku tak bisa menebak apa yang tengah kaupikirkan. Entah apa kau mulai merasa jijik atau …

"… Jadi, tidak ada gadis yang Syaoran-kun cintai selama ini?" tanyamu, berbisik.

"Nan dai? Gadis yang kucintai?" ulangku dengan satu alis terangkat, menangkap bisikanmu. "Daremonaiiya, mada. Maksudku … aku enggan terlibat dalam urusan cinta atau komitmen yang mengikat seperti itu, Sakura-chan."

"… Aa, sō nandesu ka," gumammu, bernada sendu.

Aku mengerutkan dahi, menangkap ekspresi aneh yang terlukis di raut wajahmu. Kemudian, mendadak setitik dugaan muncul di pikiranku. Dugaan kalau kau mungkin … mungkin saja memiliki perasaan ….

Aku tersentak begitu merasakan sentuhan telapak tanganmu di lenganku.

"Beberapa hari ini, Syaoran-kun ke mana? Mengapa tidak mengunjungi toko bunga kami lagi?" tanyamu, menatapku perhatian.

Aku sedikit kaget karena kau mengubah topik pembicaraan. Namun, aku tidak segera menjawabnya—masih terbuai akan gelenyar-gelenyar aneh yang menggelitik dari sentuhan lembutmu ini.

"Ponsel Syaoran-kun juga tidak bisa kuhubungi. Aku jadi khawatir dan takut kalau terjadi sesuatu pada Syaoran-kun. Makanya, aku datang kemari."

Sekarang, perhatianku tercurah padamu. Aku terpana, mendengar kekhawatiran dan kepedulianmu barusan. Kulihat, kau menelengkan kepala seraya tersenyum, perlahan.

"Tapi, aku senang karena ternyata kekhawatiranku tidak terbukti. Yokatta, Syaoran-kun kelihatan baik-baik saja," desahmu, bernapas lega seraya menarik tanganmu dari lenganku.

Seketika, hal itu malah membuat benakku diserang kerinduan akan sentuhanmu. Sungguh, aku tidak mengerti apa yang terjadi padaku sampai merasakan hal ganjil, seperti itu. Padahal, baru saja kau menyentuhku—tapi sekarang, aku mendambakan sentuhanmu kembali?

Apa aku mulai kecanduan akan sentuhan lembutmu, Sakura-chan?

Sebelum aku sadar, tiba-tiba saja tanganku bergerak, menyambar jemarimu. Kontan, irismu melebar dan menatapku dengan ekspresi terkejut.

"Syaoran-kun?"

Dan semakin terkejut saat kutarik tubuhmu ke dalam pelukan.

Mendekapmu erat agar sepenuhnya bisa merasakan kembali sentuhanmu ….

Dan begitu kubenamkan wajahku di rambutmu, harum mewangi langsung menguar dan mulai menggerayangi indera penciumanku. Aku menghirupnya, dalam-dalam, hingga merasakan kedamaian seakan mengukungku.

"Sya—Syaoran-kun? Ima, nani wo shite iru no?" tanyamu, terbata dengan wajah yang terasa memanas, di balik bahuku. Tetapi sepertinya, kau tidak berusaha untuk melepaskan diri dariku.

Aku tidak menjawab. Aku tidak tahu. Aku hanya menuruti kebutuhan alam bawah sadarku. Memelukmu, dengan vas bunga carnation pink terjepit di antara kita seperti ini, serta merasakan sengatan gelenyar menyenangkan di sekujur tubuh, adalah kebutuhanku. Haruskah aku menjawab begitu?

Kurasakan, tanganmu yang bebas menempel di kulit punggungku yang telanjang. Kaubalas memelukku sepenuhnya.

"Padahal, baru beberapa menit yang lalu, Syaoran-kun bersama …. Tapi sekarang, Syaoran-kun memelukku?" gumammu, terdengar antara bingung dan geli.

"Apakah … ini salah?" tanyaku, gugup dan dilanda ketakutan kalau-kalau kau akan melepas pelukan ini. Kebutuhan tidak logis ini.

Jantungku berdegup abnormal, menunggu jawabanmu yang tak kunjung kudengar. Masih digelayuti rasa takut, kupererat pelukanku. Lalu …

"Kita ini teman, jadi wajar saja kalau berpelukan, Syaoran-kun."

… aku meringis seiring mendengar jawabanmu yang lugas.

Benar juga. Pelukan antar TEMAN, ya?

Note:
Datte … datte! = But, but you said!
Daremonai—iya, mada = There's no one—not yet.
Ima, nani wo shite iru no? = What are you doing now? (girlspeaks)


ninth piece.


Aku tidak pernah berteman dengan seorang gadis sebelumnya. Maksudku, "berteman" dalam arti yang sebenarnya—tanpa diselingi kencan, ciuman atau bercinta. Terus terang saja, hal itu aneh bagi pemuda berengsek sepertiku, yang tak mungkin "berteman" tanpa mengajak teman perempuan-ku bergumul di atas ranjang. Itu sudah menjadi kebiasaanku, mengerti?

Tapi sekarang, kita berteman. Sebuah pertemanan murni yang menyimpang dari kebiasaanku. Sebuah pertemanan versi baru dalam kamusku. Dan, kuberitahu saja, baru itu menyulitkan.

Mungkin, kau belum menyadarinya. Tapi, sejak awal pertemuan kita, aku sudah berpikir untuk menargetmu sebagai gadis yang akan kuajak berkencan semalam.

Yaah, seharusnya begitu.

Tapi setelah merasakan sentuhan pertamamu kala itu, aku jadi kacau. Keinginan untuk memikatmu, lenyap begitu saja dari otakku. Malah, aku-lah yang sekarang terpikat olehmu. Gelenyar aneh menggelitik, kerinduan ganjil menyenangkan, serta kebutuhan tidak logis akan pelukanmu, menyerbu kejam saat aku bersamamu … sebagai teman.

Tunggu—apa tidak masalah jika aku merasakan semua itu dalam pertemanan kita, Sakura-chan?

Baru tiga langkah kakiku berjalan masuk ke dalam toko bunga kalian, Onīchan-mu (entah muncul dari mana) tiba-tiba merengut krah kemejaku dari samping, lalu menyeretku dengan kasar, masuk ke dalam gudang. Sebelum aku sadar akan apa yang terjadi, dia sudah melemparku begitu saja, hingga tubuhku menghantam berkarung-karung pupuk simpanan.

Sambil menahan rasa sakit, aku terhuyung bangkit, mengerung dan menyumpahinya. Namun, si bangsat itu kembali menyambar krah kemejaku, mencengkeramnya sangat erat hingga aku merasa tercekik. Dia bahkan mengangkatku sampai kakiku tergantung dua kaki dari lantai keramik!

"Aku tidak peduli kaijū menganggapmu apa. Tapi,"—suaranya terdengar begitu rendah, seperti geraman yang sarat akan nada berbahaya—"kalau kau sampai mencelakainya … atau menjadikannya pemuas nafsu bejatmu, laiknya semua perempuan yang pernah kaukencani itu … aku bersumpah, akan membantaimu!"

Kedua tanganku terangkat, mencoba melepaskan cengkeramannya. Dadaku sudah terasa sesak, dan aku tak bisa bernapas. Beberapa detik lagi, aku mungkin akan mati ….

Namun dengan sentakan kasar, lelaki itu akhirnya melepaskanku. Kontan, aku terjatuh menggelepar di lantai, terbatuk hebat dengan napas tersengal-sengal. Kemudian, dia melempar sesuatu, yang mendarat keras mengenai wajahku.

Sebuah amplop berukuran sedang.

"Itu untukmu karena sudah menjadi kacungku tempo hari," katanya dengan nada monoton sebelum beranjak ke luar gudang.

Masih dengan napas tersengal, aku bangkit untuk duduk, meraih amplop itu, dan menilik isinya. Ternyata, beberapa lembaran yen. Aku mendesis, "Bonkura."—tapi, kukantongi juga lembaran itu ke dalam saku jinsku.

"Syaoran-kun, daijōbu?" tanyamu, menghampiriku dengan raut wajah tampak cemas, begitu aku melangkah terseok-seok ke luar.

Mencoba mengangsurkan apa yang kuharapkan sebagai cengiran santai, aku menjawab, "Heki da zo, Sakura-chan."

Kau menatapku, lama, sampai aku jadi salah tingkah. "Gomennasai. Tadi, aku tidak sempat mencegah Onīchan, yang menyeret Syaoran-kun masuk ke dalam sana," gumammu, menyesal. Tapi sekerjab, kauembuskan napas lega. "Demo, yokatta ne. Kelihatannya, Onīchan tidak sampai melukai Syaoran-kun."

"Mā ne." Lelaki itu hampir membuatku mati tercekik, Sakura-chan. "Dia cuma memberiku amplop berisi uang—"

"—balas jasa untuk Syaoran-kun, yang tempo hari sudah bersedia menjadi kacung Onīchan, kan?" sambungmu, tersenyum geli.

"Kinomoto cerita, ya?" tanyaku dengan dahi mengerut.

"Kata Onīchan, Syaoran-kun benar-benar pantas jadi kacung yang mudah disuruh-suruh lho!" sahutmu, memandangku dengan jenaka.

"Ha-ha,"—aku hanya bisa tertawa hambar, lalu memalingkan muka ke arah kuso-nīchan, yang masih saja mengawasiku dengan tajam di sela-sela kesibukannya melayani pelanggan.

"Bagaimana bisa dia tahu kalau aku sering berkencan dengan banyak perempuan?" gumamku, mengingat ancaman mengerikan yang kuterima di dalam gudang tadi. Kualihkan tatapanku ke arahmu, menyipit. "Apa kau mengadu padanya, Sakura-chan?"

"Bukannya mengadu sih. Hanya saja, 'tidak ada yang tidak Sakura beritahukan kepada Onīchan'—begitu," katamu sembari mengangkat sebelah tangan, mengacak-acak rambutku yang sudah berantakan.

Aku terpaku. Kurasakan jantungku yang kembali berdegup abnormal. "Hoi!" protesku, tersadar. Buru-buru, kutarik kepalaku menjauh dari jangkauan tanganmu. "Nante shiterunda zo?"—salah tingkah, aku bertanya dengan wajah serasa terbakar.

Kau memiringkan kepala, memandangiku dengan mimik heran. "Mengusap rambut Syaoran-kun, kan? Ano, tidak suka, ya?"

"Bukan begitu, hanya saja—" aku memalingkan wajah, mencoba menyembunyikan rona merahnya darimu.

"Hanya saja?" ulangmu, penasaran.

Aku berdeham, tidak menjawab. Hanya saja … ini kali pertamanya, ada yang melakukan hal itu padaku. Bahkan, Okāsan pun tak pernah melakukannya dulu. Mengusap atau mengacak rambutku, seperti yang Sakura-chan lakukan tadi. Bukankah itu perlakuan yang menunjukkan afeksi seseorang terhadap orang yang disayanginya?

"Syaoran-kun," panggilmu, mengenyakkanku dari pikiran muramku. Aku menoleh, melihatmu yang tersenyum lembut padaku. "Mau merayakan Tanabata-matsuri bersama-sama, tidak?"

"Tanabata-matsuri?"

"Un! Un! Pasti menyenangkan kalau bisa merayakan Tanabata-matsuri bersama-sama!" sahutmu dengan sikap begitu riang, yang mengundang perhatian dari para pelanggan di toko bungamu. Bahkan, Onīchan-mu yang stoic itu juga menahan senyum, memandangimu.

"Onīchan juga sudah tidak keberatan kok! Makanya, tanggal 7 Juli nanti, Syaoran-kun harus datang yaaa," lanjutmu sambil bergerak mendekat dan memandangku dengan tatapan memohon.

Aku mengerjab; pipiku masih merona. Tak kuasa, aku pun menganggukkan dagu, hingga membuatmu melonjak kegirangan seraya langsung melompat, memelukku.

"Kyaaa! Arigatō! Aku senang sekali, Syaoran-kun mau menerima ajakanku! Hontō ni arigatō, Syaoran-kun!"

Aku jadi semakin salah tingkah, menerima pelukanmu ini. Degup jantungku sudah tak terkontrol lagi, dan rasa panas makin membara di wajah, leher, serta kedua telingaku.

Ah, kurasa, musim panas kali ini adalah yang terpanas dalam hidupku ….

Note:
Bonkura = Dumb a**. (swear word)
Nante shiterunda zo! = Just what exactly are you doing? (guyspeaks)


tenth piece.


Aku tak pernah merasakan jantungku berdegup kencang, atau wajahku jadi merah padam saat bersama dengan seorang gadis sebelumnya. Berkencan semalam pun hanya karena ketertarikan dan nafsu sesaat saja; tak ada rasa kecuali kepuasaan fisik semata. Aku juga tak pernah berniat untuk menjalin cinta ataupun berkomitmen. Cinta? Gah. Hanya untuk para pecundanglah, cinta itu ada. Komitmen? Che. Untuk apa terikat dengan satu perempuan kalau aku bisa menikmati banyak tubuh perempuan lainnya tanpa ikatan?

Yaah, aku memang pemuda berengsek berpikiran picik, yang sudah melecehkan banyak perempuan.

Tapi, itu dulu.

Aku yang sekarang, sudah banyak berubah. Tidak lagi memandang perempuan sebagai pemuas nafsu belaka; tidak lagi berkencan semalam. Bahkan, aku sudi mendengarkan Yamazaki berceloteh tidak jelas tentang kisah cintanya yang, menurutku, menyedihkan. Pemikiranku tentang cinta dan komitmen juga ikut berubah 180 derajat. Dan itu semua berkat dirimu, Sakura-chan.

Berkat dirimu, aku merasakan apa dan bagaimana cinta yang sesungguhnya.

Berkat dirimu, aku mulai memiliki keinginan untuk menjalin sebuah komitmen denganmu.

Berkat dirimu juga, aku menjadi "bocah-pecundang-yang-harus-segera-dienyahkan" di mata Onīchan-mu.

Huh. Dari awal, aku sudah tahu bahwa Onīchan-mu tidak menyukaiku. Aku juga sadar dengan penyakit siscom akut, yang disembunyikannya dari mata awam. Dan aku yakin bahwa rival terberat untuk mendapatkanmu, adalah Onīchan-mu sendiri.

Mungkin, hal ini kedengarannya konyol. Tapi, aku sering jadi cemburu ketika melihat kedekatan kalian berdua. Apalagi saat di perayaan Tanabata kemarin. Arrgh, ingin rasanya aku menonjok wajah lelaki itu! Bagaimana tidak? Ketika dia berhasil mengalahkanku di kingyosukui—atau permainan menangkap ikan mas dengan jala kertas (sialan, bagaimana aku bisa kalah?), dan mendapatkan sebuah chōchin—atau lampion kecil untukmu, wajahnya kontan memerah ganjil, semerah warna chōchin itu, begitu bibirmu mengecup pipinya dengan lembut.

Saat melihat ciuman itulah, tanpa sadar, gagang jala kertas yang kucengkeram pun patah jadi dua.

"Mereka memang selalu begitu kok."

Daidōji Tomoyo, gadis manis berambut panjang yang kaukenalkan sebagai sepupu sekaligus sahabatmu, berujar begitu kepadaku.

"Selalu terlihat seperti pasangan kekasih yang serasi!"

Urat-urat jengkel seketika muncul di ubun-ubunku. "Pasangan kekasih yang serasi? Ittai nan? Kau buta? Mereka kan kakak-beradik! Mana ada kakak-beradik terlihat seperti pasangan kekasih, hah?!"—ingin rasanya aku membentak seperti itu kepada gadis itu. Tapi, bentakan tersebut hanya terdengar di benakku saja, lantaran aku sadar apa yang dikatakannya, memang benar adanya.

Lagi pula, kau kelihatan begitu bahagia setiap kali berada di dekat lelaki jangkung itu. Dan itu malah membuatku gamang; apa aku bisa mendapatkan hatimu bila rivalku sendiri adalah Kinomoto Tōya?

Sebuah kepalan tinju melayang, menghantam telak pipiku. Ledakan rasa sakitnya yang muncul, kontan mengenyakkanku dari lamunan.

"Oya, oya! Seriuslah—atau kau malah jadi bulan-bulanannya nanti, Li!" sentak Sorata-san di seberangku, yang terlihat menendang dada salah satu cecunguk, yang langsung terjungkal ke tanah.

Aku mendecih, menghindari kepalan tinju lainnya dan menyodok keras perut cecunguk sialan itu. Pemuda tengik itu pun langsung mundur dengan badan membungkuk. Lalu tanpa buang waktu, kuangkat kakiku, menyepak kepalanya hingga dia ambruk ke samping.

"Itu baru Li yang kukenal!" teriak Sorata-san, berbangga.

Kuusap darah di sudut bibirku dengan punggung tangan. Kemudian, dengan mata berkilat kejam, aku menyambar salah seorang yang mengeroyok Yamazaki, dan menghantamnya hingga jatuh berdebam. Ketika dia akan bangkit, aku langsung membungkuk dan mencengkeram kuat krah kausnya, sementara tanganku yang terkepal terus-menerus menonjok wajahnya hingga tak berbentuk lagi. Menyadari bahwa bajingan itu sudah tak sadarkan diri, kuempaskan tubuhnya ke tanah dengan kasar.

"Inilah balasannya karena kalian berani berbuat onar di wilayah kami, aho!" kata Sorata-san dengan cengiran tak manusiawi di wajahnya, sambil melangkahi tubuh-tubuh yang pingsan itu, menghampiriku

"Dōkashitoru, Li?" tanya lelaki berbadan tinggi dan berambut spike berantakan itu, sambil menuding lebam yang terbentuk di pipi kiriku.

Aku mengangguk. "Yamazaki yang tidak baik-baik saja, Taichō," kataku seraya mengedikkan kepala ke arah Yamazaki, yang terhuyung-huyung menghampiri kami.

Sorata-san nyengir. "Ah, Yamazaki juga baik-baik sajalah!"—lalu, berpaling dia ke arah Yamazaki. "Naa, bōzu?"

Yamazaki mengangkat ibu jarinya, menyerigai lebar sebelum akhirnya roboh di tanah.

Sorata-san meringis dan berpaling padaku. "Angkat dia, Li!"

Usai Sorata-san melapor pada Bos via ponsel dan membantuku menggotong Yamazaki ke markas, lelaki itu menyeretku masuk ke dalam lift, yang membawa kami turun ke basemen—tempat para yankī dari geng kami biasa nongkrong. Suara hiruk-pikuk musik yang berdetum keras, disertai pendaran lampu disko yang berkilauan, menyambut langkah kami begitu keluar dari lift. Beberapa gadis berbalut busana mini dan semitransparan, langsung menghambur ke arahku, merajuk manja kala memintaku untuk ikut rileks bersama mereka. Aku menolak, tapi tetap saja tubuhku terseret ke dalam kerumunan manusia yang bergoyang liar tersebut.

Beberapa menit kemudian, barulah aku berhasil terlepas dari para gadis itu. Ketika menyusup dan menembus ke luar lautan lengan terangkat dan pinggul bergoyang, kutemukan Sorata-san tengah duduk menghadap konter bar, dengan botol bir di tangan kiri, sementara tangan kanannya sibuk berkutat dengan sebuah ponsel. Aku mengambil kursi kosong di sampingnya, dan memesan segelas cokelat hangat pada bartender.

Pria berbadan gempal itu memandangku dengan alis terangkat tinggi. "Segelas cokelat hangat?"

Aku mengangguk, mantap. "Tanpa dicampur apa pun," tambahku, tegas.

Bartender itu masih memberiku tatapan aneh sebentar, sebelum akhirnya beranjak menyajikan pesananku.

Sorata-san menoleh. "Segelas cokelat hangat untuk alkoholik sepertimu? Yare, yare. Kau ikut rehab diam-diam, ya?" tudingnya, mencela sambil menutup flap ponselnya.

Aku hanya mengangkat bahu. Yaah, aku memang tidak lagi minum-minuman beralkohol setelah menyadari perasaanku padamu, Sakura-chan. Awalnya, memang sulit. Tapi dengan usaha keras, akhirnya aku berhasil menjadi chokoholik.

"Kau berubah, Li," kata Sorata-san, kali ini memandangku dengan serius. Alih-alih menanggapi, aku malah menghirup cokelat hangat yang sudah tersaji di depanku, dengan nikmat.

"Tapi, itu bagus," komentar Sorata-san kemudian, teredam dentuman suara speaker yang memenuhi kelab bawah tanah ini. "Minuman beralkohol memang tidak baik untuk kesehatan, Li."

Aku mendengus. Padahal sambil berkomentar serius begitu, Sorata-san menenggak sisa bir di botolnya, sampai tak bersisa.

"Omong-omong, kudengar, kau tidak meniduri perempuan lagi ya. Itu karena kau sudah sadar akan bahaya AIDS, atau …"—suaranya merendah, parau—"kau sekarang ganti orientasi, menjadi homo?"

Kedua alisku bertautan, terusik mendengar asumsi Sorata-san barusan. Kulihat wajah lelaki itu memerah karena pengaruh bir yang diminumnya. Aku mendesah. Mattaku. Kalau sudah mabuk begini, mulutnya jadi lancang sekali.

"Kautahu, Li? Beberapa anak di sini, menganggapmu pantas menjadi 'neko' mereka. Jadi, kalau kau memang ganti orientasi—"

"Sebenarnya, aku sedang jatuh cinta pada seorang gadis, Taichō," potongku, mengaku sebelum Sorata-san semakin kelewatan dengan ucapannya.

"Heh? Kau, jatuh cinta? Kau?" ulangnya, memandangiku dengan tatapan seolah-olah aku sedang membual. "Kau, yang tidak mau terikat cinta maupun komitmen ini, jatuh cinta?"

"Sō dakedo sa," jawabku, menggumam sambil menghirup cokelatku lagi.

Sorata-san terbahak. Botol birnya dibanting di atas konter bar. "Nandeyanen, Li? Tiba-tiba, kau jatuh cinta sampai membuatmu berubah begini? Pasti gadis itu hebat ya! Oi! Apa kau sudah menidurinya, seperti yang biasa kau—?"

"Dia berbeda dengan mereka, Taichō! Sangat berbeda dan tiada bandingannya!" sergahku, berang. Wajahku menegang dan rahangku mengeras. Kutatap lelaki itu begitu tajam. Walaupun dia ketua dari para yankī yang kusegani, tapi kalau dia seenaknya menyamakanmu dengan mereka … tentu saja, aku akan naik pitam!

Sorata-san terkekeh. "Rupanya, kau benar-benar mencintainya ya."

Aku terdiam. Amarahku lambat laun menyurut. Wajahku melunak, dengan rona merah mulai menjalar. Sorata-san lalu menepuk keras bahuku, sampai aku mengernyit, nyeri.

"Sugē yan, Li! Walau mengejutkan, aku bangga padamu! Akhirnya, anak buahku yang playboy ini, bisa juga jatuh cinta! Omoroi! Harus dirayakan! Harus dirayakan!" serunya, kelihatan senang sekali. Dipesannya segelas cokelat hangat untukku dan sesloki sake untuknya, lalu kami pun bersulang.

"Jadi, sudah sejauh mana hubunganmu dengan gadis ini?"

Aku berdeham, tidak segera menjawabnya. Sembari mengalihkan pandangan ke arah tubuh-tubuh yang menggeliat di lantai dansa, aku berkata dengan mimik muram, "Sebenarnya, kami hanya berteman."

Dan tak kusangka, lelaki Kansai itu langsung menyumpahiku. "Gah! Dōnaiyanen?! Mengapa hanya berteman, haargh?! Kau belum mengungkapkan perasaanmu? Ungkapkan secara jantan perasaanmu yang sesungguhnya pada gadismu itu, aho!"

Aku tahu itu, batinku seraya meringis. "Akan kuungkapkan, Taichō. Akan kuungkapkan."

"Hmph! Aku percaya, kau bukan pemuda lembek, seperti bocah bermata rubah yang selalu cengar-cengir itu," gerutu Sorata-san sambil menenggak sisa sake-nya.

"Lalu, siapa nama gadis itu? Aku harus tahu, gadis mana yang berhasil membuatmu jadi begini, Li."

"Ee. Namanya Kinomoto Sakura. Dia seorang hanaya yang—"

"Nan ya? Kinomoto Sakura?" sela Sorata-san, agak terperanjat. "Apa dia—gadis Sakura ini—punya kakak laki-laki …?"

Aku mengerjab, bingung menangkap ekspresi Sorata-san, yang berubah jadi kaget. "Sō nanda kedo. Namanya Kinomoto Tōya—"

"Kinomoto Tōya?" sambarnya dengan kedua iris melebar. "Tōya-han!"

Aku mengerutkan kening, mendengar nada antusias dalam suara Sorata-san. "Apa Taichō kenal dengan Kinomoto Tōya?"

Cengiran lebar pun tergurat di wajahnya yang memerah. "Bukan hanya kenal saja! Tōya-han adalah partner baikku ketika aku masih jadi berandal ingusan, Li!"

Kerutan di keningku, semakin dalam. "Partner?"

Note:
Dōkashitoru? = Are you feeling alright? (Kansai dialect)
Taichō = Leader.
Bōzu = Kiddo.
Neko = Cat, or a connotation word for the submissive-one (uke) in japanese homo couple.
Nandeyanen? = Why is that so? (Kansai dialect)
Sugē yan = That's awesome! (Kansai dialect)
Omoroi = Great! (Kansai dialect)
Dōnaiyanen? = How the heck could that happen? (Kansai dialect)
Nan ya? = What? (Kansai dialect)


eleventh piece.


Hari ini, aku akan mengajakmu ke suatu tempat, rekomendasi Sorata-san. Katanya, tempat itu cukup romantis bagi muda-mudi, seperti kita. Dan dia juga yakin kalau aku bisa memikatmu menjadi kekasihku di sana. Walau mungkin persentasinya kecil, tapi aku harus optimis mencobanya.

Pukul setengah lima sore, aku datang menjemputmu dengan menaiki motor. Dan, astaga, jantungku langsung berdegup abnormal saat mendapatimu, sudah berdiri menunggu di depan toko bunga …

… bersama Onīchan-mu?

Aku mendesah pelan di balik penutup helmku. Mengapa pula Kuso-nīchan itu ikut menunggu? batinku, sedikit jadi lesu. Padahal, setelah kemarin malam mendengar cerita Sorata-san tentang masa lalu lelaki itu, aku berharap supaya tidak melihat wajahnya hari ini dan bisa segera memboncengmu, tanpa perlu berdebat dengannya. Tapi rupanya, harapanku terlalu muluk.

Setelah sampai di depan toko bunga kalian, kumatikan mesin motorku, melepaskan helm, dan kemudian beranjak turun, menghampirimu. "Koncha, Sakura-chan!" sapaku, tersenyum padamu—mengacuhkan Onīchan-mu. "Junbi dekita?"

"Un!" balasmu, riang seperti biasanya, tetapi dengan kedua iris terpaku pada motor Ducati hijau metalik milikku. Kau akan membuka mulut—tapi keburu disela Onīchan-mu, yang menyahut tajam sambil merenggut puncak kepalaku, memaksaku untuk menoleh padanya.

"Nan dai sorya, gaki?"—telunjuk kanannya menuding ke arah motorku.

"Mite wakaru tōri, sorya boku no Ducati nanda, Kinomoto," jawabku, sesopan mungkin. Tapi, lelaki angkuh itu malah menatapku, dengan kilatan maut yang terpantul di kedua iris cokelat kelamnya.

"Kaumau menaiki sampah berbahaya—"

"Jadi, ini Ducati, ya? Uwaaa! Rupanya selain skuter, Syaoran-kun punya motor sekeren ini juga ya! Kakko ī ne!" serumu, terdengar begitu kagum, memotong desisan geram dari Onīchan-mu.

Kasar, aku menarik lepas tangan lelaki itu dari puncak kepalaku. Lalu, aku mendekatimu, yang sudah membungkuk sedikit di samping motorku, sementara tanganmu mengelus peleknya yang berlapis krom. "Akan semakin keren saat kau merasakan sensasi andrenalin nan menggairahkan, yang muncul begitu kau ikut menaikinya, Sakura-chan!" kataku, memprovokasi seraya mengulas cengiran di bibir.

Kau melebarkan mata, tampak mulai terpengaruh. "E? Maji na no?"

"Dame da yo!" sahut Onīchan-mu sambil lekas menarik lenganmu, menjauh dariku. "Ikanai, kaijū! Izin yang kuberikan tadi, kucabut sekarang!"

Kau langsung terperangah. "Hoeee? Dōshite no, Onīchan?"

Lelaki itu tidak menjawabmu, tapi memandangku dengan aura yang menekan. "Mengapa kaubawa motor sampahmu itu, gaki? Cari mati ya?!"

Aku tidak bergeming ketika memberinya alasan jujur; "Karena tempat yang akan kami datangi nanti itu, berada di luar kota. Makanya, aku membawa serta motorku, Kinomoto."

Lelaki itu tidak menanggapi. Mulutnya mengatup. Rahangnya mengeras. Manik matanya juga masih memandangku dengan tatapan yang tampak berambisi untuk segera melenyapkanku untuk selamanya.

"Onīchan, Onīchan."

Buru-buru, kau memanggilnya sembari mengangkat kedua tangan dan merengkuh wajahnya, hingga tatapannya beralih padamu. "Go shinpai naku,"—dahiku mengerut, tidak suka melihatmu yang tersenyum begitu lembut padanya—"ne? Kami pasti akan berhati-hati menaikinya di jalan. Jadi, kumohon, izinkan aku pergi dengan Syaoran-kun ya. Zehi, Onīchan."

Lagi-lagi, seperti dulu, kalian berdua saling memandang secara intens—membuat rasa cemburu ini mulai merambati benakku. Sungguh, untuk apa kalian saling memandang begitu dekat seperti itu?

Che! Setelah puas memandangi kedua iris hijau zamrudmu, barulah lelaki sial itu memberi kita izin untuk pergi. Tapi, tentu saja, tak lupa dia memperingatkanku untuk ekstra hati-hati di kala memboncengmu. Kalau tidak, aku akan mati di tangannya. Hah. Tanpa basa-basi sekali, dia!

Note:
Koncha = Hi! (slang word for "Konnichiwa")
Junbi dekita? = Are you ready?
Nan dai sorya? = What the f*ck is that? (guyspeaks)
Mite wakaru tōri, sorya boku no Ducati nanda = As you can see, that's my Ducati. (guyspeaks)
Kakko ī ne = Cool!
Maji na no? = Is it true?
Ikanai = You can't go.
Dōshite no? = Why is that? (girlspeaks)


twelfth piece.


"Futari de, doko e iku no, Syaoran-kun?" tanyamu, dengan suara keras yang melawan bunyi deru mesin motor, ketika kita berdua meliuk-liuk cepat, melewati banyak kendaraan yang melaju di jalanan Tomoeda, sementara kedua tanganmu memeluk pinggangku dengan erat.

"Matte mitero ze, Sakura-chan!" jawabku, tersenyum geli kala merasakan kehangatan tubuhmu yang bersandar pada punggungku. Lalu, saat kutambah kecepatan laju motorku hingga kau bergerak semakin merapat padaku, kurasakan pula serangan gelenyar-gelenyar menggelitik di sekujur tubuh. Terutama di bagian perut, yang terasa seolah dihinggapi ratusan kupu-kupu.

Setelah setengah jam perjalanan, akhirnya kita sampai di tempat romantis, rekomendasi Sorata-san itu. Laju motorku kuhentikan, dan lalu kita turun sambil melepaskan helm masing-masing. Kulihat, kau menahan napas, kaget. Kedua irismu juga tampak terpaku, menatap pemandangan di bawah sana: Hamparan pasir kecokelatan dengan gulungan ombak kemerahan, hasil refleksi dengan langit, yang menjilati tepiannya.

Kau berpaling ke arahku, terpesona. "Syaoran-kun, ini … pantai, kan?"

Aku mengangguk, tersenyum dengan ekspresi lembut. "Ini cuma pantai kecil yang jarang dikunjungi orang. Walau begitu, aku tetap ingin pergi dan menunjukkannya pada Sakura-chan," ujarku sambil menikmati embusan angin laut, yang perlahan mengendurkan urat-urat sarafku. "Apalagi kita nanti juga bisa melihat pemandangan matahari terbenam di laut, Sakura-chan."

"Uwaaa! Pasti indah sekali ya!" komentarmu dengan wajah berbinar, seraya kembali memandangi ombak kecil yang berlarian di lautan. Tanganmu terangkat, jemarinya menyapu helaian rambutmu yang tertiup angin laut, dan menyelipkannya ke belakang telinga.

Aku mengerjap, terpaku kala memandangimu. Astaga, mengapa sosok Sakura-chan bisa terlihat begitu mempesona di mataku?

"Ma—maukah kau jalan-jalan … menyusuri pantai, Sakura-chan?" tawarku dengan gugup sembari mengulurkan tangan ke arahmu.

Kau tersenyum, menyambut uluranku dengan antusias. "Ī wa ne!"

Berdua, masih berpegangan tangan, kita buru-buru mencopot sepatu, menggulung celana. Setelah itu, kita berlarian menuruni titian anak tangga beton, yang mengarah ke tepian pantai. Jilatan air laut mulai menyambut telapak kaki kita yang telanjang. Airnya terasa masih dingin karena matahari belum tenggelam di garis horizon sana.

Kulihat, kakimu berayun pelan, menendangi air laut sampai beriak pendek, sementara kita mulai berjalan menyusuri bibir pantai. Lalu, kau tertawa renyah.

"Aku suka sekali, mengajak Onīchan ke pantai saat Golden Week atau liburan musim panas tiba."

"Sō ka na?" tanggapku sekadarnya, sedikit kecewa karena kau malah membicarakan lelaki itu di saat kita berduaan, seperti ini. Kupererat genggaman tangan kita, bertanya dengan pelan, "Pergi berdua Kinomoto saja?"

", itsumō iya. Kadang bertiga Tomoyo-chan juga kok. Tapi, memang lebih sering berdua Onīchan sih."

Aku diam, memandangi gerakan berayun kakimu yang membuat riakan air laut. Lalu, aku bergumam, "Sangat dekat ya, kau dan Onīchan-mu itu."

"Desu ne! Sudah lama, kami hanya tinggal berdua saja semenjak Otōsan wafat. Makanya, kami jadi sangat, sangat dekat!" responsmu dengan mimik riang.

Aku menghentikan langkah, menatapmu dengan agak terkejut. "Jadi, ayahmu juga sudah …?"

Kau mengangguk. Ekspresimu berubah jadi sedikit murung. "Hai. Otōsan sudah tiada, enam tahun yang lalu," jawabmu dengan nada sedih yang terdengar jelas.

Enam tahun yang lalu? pikirku sembari mengerutkan kening, mulai mengingat cerita Sorata-san kemarin malam, tentang masa lalu Kinomoto Tōya—yang dulu ternyata adalah mantan yankī dan racer jalanan, sepertiku.

"Bukan itu saja, Li; dulunya, Tōya-han juga anak emas Bos. Dia cerdik, bisa diandalkan, tak pernah membangkang, dan selalu tuntas menjalankan perintah Bos. Tentu saja, Bos jadi sayang padanya."

"Lantas, mengapa dia berhenti, dan malah menjadi pemilik toko bunga sekarang?" tanyaku, heran dan benar-benar tidak mengerti bagaimana moto-yankī bisa bekerja dalam bidang bunga-bungaan.

Sorata-san mendesah, muram. "Aku tidak tahu detailnya, Li. Tapi yang pasti, enam tahun lalu, Bos sendirilah yang mengizinkan Tōya-han keluar dari geng ini."

Itu artinya setelah ayahnya tiada, Kinomoto Tōya langsung berhenti dari dunia yankī, pikirku, menyimpulkan.

Kupandangi wajahmu yang masih saja digelayuti kemurungan. Kuperhatikan, kau juga berhenti membuat riakan dari ayunan kakimu, dan hanya memandang jauh ke arah garis horizon di ufuk barat, dengan tatapan kosong. Kelihatannya, pikiranmu melayang jauh ke masa saat ayahmu tiada.

"Sakura-chan," panggilku, cukup keras. Kau sedikit terenyak, lalu menoleh dan memandangku. "Warukatta na. Aku sudah membuatmu teringat pada mendiang ayahmu," kataku, menyesal.

Kau mengerjab. "Aa, iie! Kamaimasen wa yo, Syaoran-kun! Kankei nai kara!" sahutmu, buru-buru mengangkat tangan di depan dada.

Setelah itu, kauangsurkan sesungging senyuman lembut kepadaku. "Kematian itu kan sudah menjadi bagian dari suratan takdir tiap manusia, yang telah digariskan oleh Kamisama. Walau disesali, takdir tetap tak akan berubah," ujarmu dengan nada tanpa beban. "Lagi pula, selama bersama Onīchan, aku sudah menerima kenyataan tersebut kok. Dan bersama Onīchan pulalah, aku bisa terus menatap ke depan, dan menjalani hari-hariku dengan normal sampai sekarang."

Spontan, aku bertanya, "Kalau begitu, jika selama ini Kinomoto tidak ada di sisimu, kau tidak akan menjadi seorang Sakura-chan, seperti sekarang?"

Kau mengangguk tanpa ragu. "Un! Sonna kanji! Makanya, Onīchan itu sangat, sangat, saangaaat berarti bagiku!"—kau mulai menempelkan telapak tanganmu yang bebas di dada, tepat di jantungmu berada, sambil memejamkan mata dan tersenyum, seolah merasa hangat. "Tanpa Onīchan, aku pasti tidak akan bisa melakukan apa-apa. Tanpa Onīchan, aku pasti tidak akan menjadi diriku yang sekarang."

Lalu, kau membuka mata, perlahan memalingkan wajah ke arah barat, di mana matahari tengah bersinar kemerahan, seraya mengimbuhkan, "Karena itu, aku selalu berdoa, semoga Onīchan dan aku bisa bersama … selamanya."

"Bersamaselamanya?" ulangku, merasa aneh. "Maksudmu, bahkan kelak saat kita menikah dan memiliki anak nanti, kau masih ingin tetap bersama dengan Kinomoto, tinggal satu atap dengan keluarga kita, selamanya?"

Kau mengerutkan dahi, berpaling kembali ke arahku, dan bergumam kaget, "Hoe?"

Tersadar dengan pertanyaan yang kulontarkan barusan, kontan aku merasa wajahku terbakar. Idiot kau, Syaoran! Bisa-bisanya kau bertanya sekonyol itu pada Sakura-chan! cemoohku, meruntuki diri. , sebenarnya, apa yang tadi kupikirkan?

Saat aku sibuk meruntuki kebodohanku, kau malah tertawa geli sambil menepuk lenganku yang terbuka. "Syaoran-kun lucu sekali ya! Bahkan, wajah Syaoran-kun sampai memerah begitu! Ufufu, lucunyaaa. Lucu sekali lhooo," katamu di sela-sela tawa.

Setelah itu, tiba-tiba saja, kau mengayunkan kaki dan menyebabkan riakan air lautnya menciprati celanaku. Aku terkejut, lalu memrotes apa yang sudah kaulakukan. Tapi, kau masih saja tertawa dengan riang sambil masih mencipratiku—membuat celana dan bagian depan kaus tanpa lenganku, jadi basah kuyup. Saat aku akan bergerak mendekat untuk menghentikanmu, kau malah mendorong dadaku dengan keras, hingga aku terjungkal ke belakang, mengenai pasir pantai yang basah dan lengket.

Sementara air laut mulai menjilati bagian belakang tubuhku, tawamu pun semakin tak terkontrol. Tawa yang terdengar seperti tawa iblis kecil, yang anehnya menggelitik gendang telinga.

Pelan-pelan, aku bangun sembari melempar tatapan mengancam ke arahmu. "Nante shitenda zo, Sakura-chan?" geramku, rendah.

"Perang air laut!" jawabmu, bersenandung lucu sembari menciprati wajahku dengan riakan air, yang terasa asin. Lalu, kau mencondongkan badan sedikit ke depan, dan mengajukan ibu jari yang teracung ke bawah, ke arahku. "Dan skornya 1-0, untukku!"

Aku mengerung, tidak terima jika sampai dipermainkan seperti ini olehmu. Sekali tolakan, aku bangkit berdiri, lalu mulai bergerak ke arahmu.

Kedua irismu melebar. "Kyaaa! Syaoran-kun maraaah!" pekikmu dengan suara tertahan. Buru-buru, kau memutar badan dan segera mengambil langkah cepat, menjauh dariku.

Tapi sayang, dengan kecepatan bak seorang sprinter, aku berhasil mengejarmu. Kujulurkan tangan, meraih pinggangmu dan memutarnya, hingga kita saling berhadapan. Tapi, karena mungkin kurang keseimbangan, kita berdua malah terhuyung jatuh ke pasir yang basah setelahnya.

"Aa, itai, itai," erangmu, mengaduh. Aku sendiri mengangkat kepala—dan langsung terkejut begitu menyadari posisiku yang menindih tubuhmu. Kau akhirnya juga sadar dengan posisi jatuh kita, yang tampak agak intim. "Hoe?"

Mendadak, jantungku berdegup keras. Dan hanya itu yang kudengar, sementara iris kita saling menatap lekat. Seolah-olah, ada yang mengecilkan volume suara dari deburan ombak, angin laut … apa pun di sekitarku. Waktu juga terasa melambat, dan lalu berhenti berputar.

Tapi, itu tidak penting.

Aku hanya terfokus padamu.

Aku hanya terfokus untuk menghapus jarak di antara kita.

Itu yang terpenting sekarang.

Perlahan, kuturunkan wajahku sementara kedua irisku beralih memandangi bibirmu yang ranum. Jarak mulai terhapus beberapa sentimeter …

"Ternyata, benar-benar mirip."

Aku mengerjab. Fokusku buyar. Gerakan menurun wajahku, terhenti hanya tiga sentimeter di atasmu. "Hah? Apanya yang—?"

Bibirmu melengkung, membentuk senyum. "Mata milik Syaoran-kun. Benar-benar mirip, seperti milik Onīchan."

Aku mengerjab lagi. "Mataku?" ulangku, heran. Mataku mirip mata lelaki itu?

Kautarik tangan kananmu. Lalu, dengan telunjukmu yang basah, kau mengusap sudut kelopak mataku dengan gerakan halus. "Warna serta sorot mata Syaoran-kun dan Onīchan begitu mirip. Aku suka."

Kedua alisku bertautan, mulai memahami apa yang ingin kaukatakan. "Maksudmu … kau menyukai mataku, yang mirip dengan mata Kinomoto?"

"Hai! Totemo daisuki!"

"… Apa benar semirip itu?"

"Un, un! Bahkan, setiap kali menatap mata cokelat Syaoran-kun, aku jadi merasa seperti melihat Onīchan di depanku lho!"

Seketika, wajahku tertunduk, lesu. Seolah-olah, ada beban berat yang tiba-tiba menimpa bagian belakang kepalaku. "Sakura-chan, apa kau … brocom?"

Kau tertawa, geli. "Yappari ne!"

Astaga! Bagaimana mungkin? Wajahku jadi semakin tertuduk di samping kepalamu. "Rupanya, selama ini, aku terpikat dan jatuh cinta pada gadis pengidap brocom …," gumamku, antara menyesal dan kecewa. "Shimatta."

Alih-alih mendengar gerundelanku, kau malah berseru, "Ara! Syaoran-kun! Mite, mite!"—sembari menepuk-nepuk lenganku dengan keras. "Mataharinya mau terbenam lho!"

Aku menoleh ke arah ufuk barat, dan melihat bundaran setengah lingkaran yang berwarna kemerahan itu, mulai tenggelam … perlahan melebur dengar garis horizon lautan.

Matahari terbenam.

Beberapa saat kemudian, kita berdua duduk bersisian di pinggir pantai yang pasirnya kering. Kau duduk memeluk lutut seraya menompangkan dagumu di atasnya. Sementara aku, berselonjoran dengan santai. Berdua, kita saling membisu kala menikmati keindahan matahari terbenam di laut.

"Utsukushī ne," gumammu, terpesona. "Setiap kali memandangi matahari terbit dan terbenam, aku seolah tengah menyaksikan fase kelahiran bumi berkali-kali. Rasanya, begitu menakjubkan."

"Kelahiran?" ulangku, terdiam sesaat. "Ano sa … lusa, aku akan berulang tahun."

"Hmm?"

Aku beralih, memandangmu. "Tanggal 13 Juli nanti, aku akan berusia dua puluh tahun."

"Arara, Syaoran-kun? Hontō?" tanyamu, terkejut ketika membalas pandanganku. "Dua puluh tahun? Uwaaa!"

Aku tersenyum, simpul. "Dan aku ingin merayakannya denganmu, Sakura-chan," lanjutku dengan jantung berdegup kembali. "Karena selama ini, ulang tahunku berlalu begitu saja, tanpa perayaan yang benar-benar spesial. Makanya, untuk tahun ini, setidaknya denganmu, aku berpikir untuk merayakannya."

"… Naa, dō omou, Sakura-chan? Maukah kau merayakannya denganku?" pintaku, sangat berharap kau akan memenuhinya.

Kaupandangi wajahku, lama. Lalu, tersenyum lembut dirimu, menggenggam tanganku dan menautkan jemarinya erat. "Mochiron, Syaoran-kun. Dengan senang hati, kita akan merayakan ulang tahun Syaoran-kun bersama-sama."

Note:
Futari de, doko e iku no? = Where will we both go? (girlspeaks)
Matte mitero ze = Just wait and see. (guyspeaks)
Mā, itsumō iya = Well, not always.
Warukatta na = I really am sorry.
Kankei nai kara = It's not a big deal.
Sonna kanji = Just feels like that.
Shimatta = Oh, screw me! (bad word)
Mite, mite! = Look, look! (girlspeaks)
Utsukushī ne = How beautiful!


thirteenth piece.


Tidak seperti biasanya, pagi ini, aku datang mengunjungimu. Alasannya? Karena aku memang ingin bertemu—sekaligus ingin mengobati penyakit ganjil, yang sejak kemarin malam sudah mulai menyerang psikisku, yaitu malarindu.

Ha-ha. Sekarang berkat dirimu, aku mengidap penyakit aneh—mulai dari demam cinta, malarindu sampai kasmaran. Hah. Kalau Sorata-san, Yamazaki, atau anggota yankī lainnya sampai mengetahui penyakitku ini, mereka semua pasti akan menertawaiku dan menjadikanku bahan lelucon yang tak berkesudahan. (Astaga, bahkan bahasa dan cara bicaraku mulai berubah sedikit jadi bersusastera—tte, ittai nanda kore?)

Sudahlah. Sampai di mana aku tadi? Oh, mengunjungi toko bungamu di pagi hari. Tapi, tunggu—walau aku sudah sampai di sana, mengapa ada papan bertuliskan "TUTUP", menggantung di depan pintu toko bungamu? Memangnya, toko bungamu tidak beroperasi di pagi hari?

Tanpa berpikir, aku merogoh kantong jins lusuhku dan menarik ponselku keluar. Kubuka flap-nya, lalu kutekan angka satu. Setelah nada dering kelima, alih-alih suaramu, aku malah mendengar pemberitahuan dari operator, yang menyatakan bahwa ponselmu sedang tidak aktif—atau semacamnya.

Tak putus asa, dengan masih berdiri di depan pintu toko bungamu, kucoba menghubungimu sampai empat kali. Tapi, tetap saja, sang operator-lah yang menjawabnya. Aku mendecak kesal sementara jempolku mulai mengetik pesan singkat—"Doko ni, omae?"—yang kukirim ke alamat e-mail ponselmu. Namun setelah beberapa menit, tetap tidak ada balasan.

Mattaku. Sebenarnya, sekarang kau berada di mana, Sakura-chan?


fourteenth piece.


Sore harinya, aku mampir ke toko bungamu—mulai frustasi karena seharian ini belum bisa menghubungi ataupun mendapat balasan e-mail darimu. Sialnya, papan yang menggantung di pintu toko itu sajalah, yang menyambutku. Aku mengerang kecewa dan kembali menduduki jok motorku. Kupandangi lalu-lintas nan padat di jalanan, di depanku—lalu menoleh ke pintu toko bungamu. Kupandangi para pejalan kaki yang berseliweran di sepanjang trotoar—lalu menoleh kembali ke pintu toko bungamu. Kupandangi langit sore yang menggantung rendah di atasku—lalu menoleh ke pintu toko bungamu, sekali lagi.

Mattaku! Sekarang, aku seperti pemuda konyol yang melakukan hal yang hanya membuang waktu semata. Tapi, demi menunggumu, aku rela dicap begitu, Sakura-chan. Hanya demi dirimu.

Akhirnya, aku tetap menunggu sampai petang menjelang. Namun, pintu toko bungamu belum terbuka juga.

Jangan-jangan, terjadi sesuatu padamu? Hal buruk menimpamu? Kuso-nīchan lah yang sudah membawamu pergi jauh agar tak bisa kujangkau lagi?

Atau … kau-lah yang sudah enggan untuk menemuiku lagi, setelah kemarin kita menghabiskan waktu sore di pantai berdua, Sakura-chan?

Padahal, kau sudah setuju akan merayakan ulang tahunku besok. Tapi kalau sekarang saja aku tidak bisa menemuimu, bagaimana dengan besok?

Chikushō! Sekarang, aku terdengar seperti pemuda melankolis yang menyedihkan!

Dan penyakit malarinduku hari ini, belum jua tersembuhkan ….


fifteenth piece.


"Xiao Xiao!"

Mei Lin menghambur masuk, memeluk leherku, dan mendaratkan ciuman yang menggigit di bibirku. Buru-buru, aku mendorong bahunya, berusaha melepaskan diri dari ciumannya.

"Mei Lin," sapaku, datar.

Mei Lin masih bergelayut di leherku, memandangiku dengan tatapan menggoda. "Besok, Xiao Xiao kan ulang tahun! Mari kita rayakan, seperti biasanya!"

Aku mendesah, memahami apa yang dia maksud dengan "rayakan, seperti biasanya" itu. "Waruikedo. Kyōmi nai na, Mei Lin," tolakku sambil mencoba melepaskan jeratan kedua lengannya dari leherku.

"Eeeh? Nandesutte, Xiao Xiao? Kita kan sudah selalu merayakannya sejak kali pertama kita bertemu!" protesnya, merajuk sembari merapatkan tubuhnya yang berbalut gaun mini warna merah itu, ke tubuhku. Lalu, dia berbisik dengan bibir yang menempel di telingaku, "Sudah lama kita tidak bersama, kan? Aku merindukanmu lho, Xiao Xiao."

"Ore wa nai kedo," responsku, tidak terpengaruh.

Setelah berhasil melepas pelukannya, aku beranjak menutup pintu apartemenku, yang tadi masih terbuka saat Mei Lin masuk, seraya bertanya-tanya mengapa perempuan itu kemari tengah malam begini. Saat aku berpaling, ternyata dia sudah berada di konter dapurku, memandangi pot hijau transparan yang terisi bunga carnation pink.

"Layu begini mengapa masih dipajang, Xiao Xiao?"

"Bukan urusanmu."

"Aiya, Xiao Xiao selalu saja dingin yaaa," rajuknya sembari menjangkau pintu freezer, membukanya. "Arere? Kok, tidak ada minumannya?" tanyanya, bingung menatapku.

"Aku tidak minum lagi, Mei Lin," kataku, tegas. Kuempaskan tubuhku di atas sofa, sementara tanganku mengeluarkan ponsel dari saku jinsku.

"Xiao Xiao tidak minum? Uso deshō!"

Aku tidak peduli dan hanya fokus pada layar ponselku. Tapi tiba-tiba, Mei Lin duduk di pangkuanku, memeluk leherku kembali. Aku mendecak, kesal.

"Mei Lin, apa yang—" kata-kataku tertelan bibirnya yang mulai melumatku lagi. Ponselku kontan terjatuh di sofa, saat aku berusaha melepaskan diri darinya. Namun, tangannya telah mencengkeram rambutku dan kakinya mulai melingkari pinggangku, membuat tubuh kami semakin merapat.

Kuso! Dari semua perempuan yang pernah kukencani, hanya Mei Lin-lah yang sering kembali ke apartemenku—tak pernah peduli dengan hasratku yang hanya ingin kencan semalam saja—dan terus menggodaku agar menyentuhnya lagi, lagi dan lagi.

Dia memang berbahaya.

"Xiao Xiao," desahnya dengan nada manja di sela-sela ciuman menggigitnya. Kurasakan satu tangannya bergerak cepat, melepaskan kancing-kancing kemejaku, lalu menyusup dan meraba kulit dadaku.

Tak tahan lagi, dengan kekuatan yang tak pernah kukeluarkan saat berhadapan dengan perempuan manapun, kudorong bahunya dalam sekali sentakan. Tubuhnya pun langsung terdorong hingga jatuh ke lantai. Dia terkejut, memandangku dengan tatapan terpana.

"Xiao Xiao …?"

Aku balas memandangnya, tajam. "Aku sudah tidak melakukan hal itu lagi, Mei Lin."

Herannya, dia cuma tergelak. "Ufufufu. Ternyata, begitu ya! Awalnya sih, saat Takeshi menyebarkan isu kalau Xiao Xiao berubah menjadi pemuda sehat, aku tidak langsung percaya. Tapi setelah kubuktikan sendiri, rupanya, isu itu bukan bualannya ya. Xiao Xiao benar-benar berubah," ujarnya seraya bangun dari lantai dan duduk di sampingku.

"Anshin shite yo. Aku tidak akan mencumbumu lagi, Xiao Xiao," tambah Mei Lin, terkikih geli saat aku menatapnya dengan sarat kewaspadaan.

"Nah, ayo ceritakan padaku, Xiao Xiao! Bagaimana kelanjutan hubunganmu dengan gadis Kinomoto itu?"

Kedua alisku bertautan. "Bagaimana kau …?"—mō, pasti Taichō yang memberitahunya, batinku, mengerti. "Hubungan kami lancar," jawabku, singkat.

Mei Lin tertawa. "Tapi yang kudengar, kalian berdua CUMA berteman, dan aniki dari gadis itu kelewat protektif. Jelas, hubungan kalian BELUM lancar."

Aku mendecih, enggan menanggapinya.

"Kemarin pun, Xiao-Xiao mengajak gadis itu ke tempat romantis, tapi gagal memikatnya, kan?" tanyanya dengan tatapan mencela. "Lalu seharian ini, belum bertemu dengan gadis itu. Padahal, besok ada rencana untuk merayakan ulang tahun Xiao Xiao, berdua."

Aku mengumpat. "Taichō benar-benar memberitahukan semuanya padamu ya."

Mei Lin mengangguk, santai. Lalu, dia mencondongkan bahunya ke depan, senyumnya terlihat berbahaya. "Aku tahu apa yang menjadi kendalamu, Xiao Xiao."

Alisku terangkat. "Haa?"

"Xiao Xiao terlalu menahan diri," lanjutnya, tidak kumengerti. "Hanya karena gadis Kinomoto ini berbeda dengan mereka yang pernah Xiao Xiao kencani, bukan berarti Xiao Xiao harus menahan diri."

"Apa maksud—"

"Semua gadis akan langsung terpikat dengan laki-laki yang bergerak cepat lho! Karena itu, Xiao Xiao tidak perlu menahan diri. Kalau memang ingin membuatnya jadi milikmu, langsung saja, HAP!" kata Mei Lin, provokatif.

Aku terdiam, berpikir. "Maksudmu, aku harus—" irisku kontan melebar, mulai memahami maksud sugestinya. "Tapi, aku pernah—hampir …."

"Gerak cepat, Xiao Xiao. Ge-rak ce-pat," ulang Mei Lin dengan nada seperti seorang sensei yang memberi instruksi pada seito-nya. "Kalau lambat, percuma. Dan setelah berhasil, langsung ungkapkan perasaanmu. Nee, wakaru jan, Xiao Xiao?"

Aku mengangguk, SANGAT mengerti.

Note:
Waruikedo. Kyōmi nai na = Sorry, but I'm not interested.
Nandesutte? = What are you saying? (girlspeaks)
Ore wa nai kedo = I'm not, though. (guyspeaks)
Wakaru jan? = You got it, no?


sixteenth piece.


"Syaoran-kun, Yomogi Hoikuen ni kite kudasai."—begitulah pesan e-mail yang kuterima darimu sore ini. Tentu saja, aku langsung menghubungimu, dan tersenyum senang begitu mendengar suaramu di saluran telepon.

Aku bertanya, "Di mana kau kemarin? Mengapa kau tidak mengangkat telepon dan membalas e-mail-ku? Aku frustrasi karena kemarin tidak bisa bertemu denganmu, kautahu?"

Juga sangat merindukanmu, tambahku dalam hati.

"Ano, gomennasai, Syaoran-kun," ucapmu, terdengar sangat menyesal. "Tapi, maukah Syaoran-kun datang ke Yomogi Hoikuen sekarang?"

"Tentu saja, aku mau! Tapi, Yomogi Hoikuen? Nanda soko?"

Kau melafalkan alamat taman kanak-kanak itu dengan jelas, lalu berseru, "Matteru wa, Syaoran-kun!"

Setelah itu, karena benak diliputi perasaan menggebu-gebu; ingin bertemu denganmu, aku langsung tancap gas, mengebut di jalanan menuju ke Yomogi Hoikuen. Sampai di sana, kulihat kau berdiri di ambang gerbang bangunan sekolah itu, tersenyum dengan ceria—yang seketika menghangatkan hatiku. Sosokmu juga terlihat manis sekali dengan kaus panjang berlengan pendek warna marun, dipadu leggings warna putih yang membalut tubuhmu. Aku menarik napas, terpesona.

"Sakura-chan."

"Syaoran-kun, konnichiwa!" balasmu, menyapa seraya melambaikan tangan dengan gerakan antusias.

Usai memarkir motor, aku langsung menarik lenganmu dan merengkuh tubuhmu dalam dekapan erat. Aku benar-benar dikuasai kerinduan, yang tak bisa kuungkapkan dengan kata-kata. Jantungku berdegup kencang dan sensasi gelenyar itu bermunculan begitu kubenamkan wajahku di rambutmu, menghirup wewangian yang menguar sekaligus mengukungku dalam kedamaian.

"Ano, Syaoran-kun," panggilmu dari balik bahuku, tapi aku menyelanya.

"Mattechotto matte." Biarkan kita seperti ini dulu. Sungguh, rasanya aku tak ingin melepaskan pelukan ini. Kebutuhan tidak logis yang kudambakan ini.

"Tatte … Syaoran-kun," ucapmu, lirih. "Sesak."

Aku membuka mata dan buru-buru melepaskanmu. Wajahku terasa panas di bawah tatapanmu.

"Aku juga merindukan Syaoran-kun kok."

Iris mataku melebar. Aku mendongakkan wajah, mendapati dua kolam iris berwarna zamrud nan menawan, memandangku dengan teduh. "Sakura-chan, aku …."

"Ets!"—ujung telunjukmu menempel di bibirku, mencegahku untuk bersuara. "Sekarang, pejamkan mata Syaoran-kun dulu ya!"

Aku tersenyum, meraih tanganmu dan menggenggamnya erat. Kemudian, barulah kupejamkan mata.

Kurasakan, kau menarik lembut genggamanku, serta mulai bergerak menuntunku. Aku hanya menurut; melangkahkan kaki ke mana pun kau akan membawaku. Kupikir, kita pasti sudah memasuki bangunan sekolah karena panas matahari sore tidak terasa lagi di kulitku. Kita berjalan melewati tikungan, lalu kudengar suara pintu digeser.

Dan suara terompet yang ditiup nyaring.

Kontan, aku membuka mata dan melihat segerombolan anak kecil berteriak kompak, "SURPRISE!"—sambil bersemangat menyebarkan konfeti ke arahku.

Aku mengerjab, terpana ketika melihat anak-anak yang tersenyum riang; ruang kelas yang dihiasi balon dalam berbagai warna dan bentuk; serta sebuah kue tar cokelat berukuran sedang dengan lilin-lilin kecil di atasnya, yang ditaruh di atas meja bundar, di tengah ruangan.

"Sore ttenannandarō?"

"Otanjōbi omedetō, Syaoran-kun," ucapmu, bernada merdu di sampingku, diikuti seruan anak-anak itu sambil bertepuk tangan.

"Otanjōbi omedetō gozaimasu!"

Aku tergelak, menoleh padamu. "Perayaan ulang tahun bersama anak-anak TK, Sakura-chan?"

Kau tersenyum. "Hai! Manis, bukan?"

Kemudian, kau menarikku ke depan meja bundar, dan menyanyikan lagu ulang tahun bersama anak-anak itu.

"Nah, sekarang tiup lilinnya ya!"

Aku mendengus, geli. "Ryōkai." Kutiup lilin-lilin kecil di atas kue tar cokelat tersebut, sampai padam semua.

Kau dan mereka langsung bersorak, girang. "Potong kuenya! Potong kuenya!"

Aku mengambil pisau dan garpu lucu yang telah disediakan, memotong kuenya dengan hati-hati. Lalu, potongan pertama kue itu kusodorkan ke mulutmu.

Kau tersenyum, sumigrah sebelum menggigitnya setengah, sedangkan setengahnya lagi masuk ke dalam mulutku. Setelah itu, kita saling tertawa dengan mulut penuh dengan potongan kue, diiringi tepuk tangan meriah dari anak-anak yang mengelilingi kita tersebut.

Selama satu jam kemudian, para anak kecil itu mengajak kita memainkan permainan anak-anak. Mulai dari permainan Kagome Kagome (karena tidak tahu nama anak-anak itu, aku tidak mendapat peran sebagai "oni"), Hana Ichi Monme (dalam adu janken, mengapa timmu SELALU mengalahkan timku?), sampai Onigokko (yang mana aku selalu menangkapmu, Sakura-chan!). Dan jujur saja, walaupun kekanakan, aku merasa senang memainkan semua permainan itu bersamamu.

"Bagaimana bisa kaukumpulkan anak-anak itu untuk ikut merayakan ulang tahunku, Sakura-chan?" tanyaku saat kita berdua menyusuri halaman, usai mengantarkan anak-anak itu sampai ke depan gerbang sekolah. "Bukannya sekarang, masih libur musim panas?"

Kauhampiri salah satu papan ayunan, lalu mendudukinya. "Aku mengunjungi rumah mereka satu persatu, meminta bantuan untuk mempersiapkan acara sederhana ini," jawabmu sambil mulai mengayunkan tubuhmu di atas papan ayunan. "Dan karena aku adalah guru magang mereka, makanya anak-anak itu tidak keberatan untuk datang ke sini, membantuku sesiangan tadi."

"Mereka kelihatannya sangat menyukaimu ya," komentarku sembari menyandarkan punggungku pada tiang ayunan. "Khususnya, anak kecil berambut jabrik dan berponi sehelai, yang selalu bergandengan tangan denganmu di setiap permainan tadi."

"Ara? Toshihiko-kun, ya? Entah mengapa, anak itu selalu tampak menyukai keberadaanku di sini," tanggapmu seraya tersenyum geli. "Ah! Toshihiko-kun juga pernah mengatakan bahwa aku adalah sensei favoritnya lho! Dan kalau sudah dewasa nanti, anak itu ingin menjadikanku sebagai istrinya. Lucu, bukan?"

Aku mendengus. "Dia memang anak yang lucu. Tapi, keinginannya terlalu muluk. Lagi pula, dia kan masih bocah; mengapa bisa mempunyai keinginan seperti itu?"

Kau tertawa, renyah. "Semua orang kan bebas mempunyai keinginan apa pun. Syaoran-kun sendiri pasti juga punya, kan? Nah, coba aku tanya, apa yang paling Syaoran-kun inginkan?"

Aku tersenyum simpul seraya mengangkat bahu. "Sudah kudapatkan."

Kau menjejakkan kaki di tanah, menghentikan gerak berayun tubuhmu di atas papan ayunan. "Sudah Syaoran-kun dapatkan?" ulangmu, geli. Kauangsurkan tatapan kurang percaya ke arahku, namun dengan senyum yang tampak jenaka. "Hontō na no?"

Aku hanya diam, dan balas menatap ke dalam irismu yang berkilauan. Setelah itu, aku mendongak, memandangi langit kemerahan yang menggantung rendah di atas sana.

Kau beranjak dari papan ayunan, lalu melangkah mendekat. "Syaoran-kun?" panggilmu sambil melambaikan tangan di depan wajahku. "Nee, memang apa keinginan Syaoran-kun, yang sudah Syaoran-kun dapatkan itu?"

Kembali kutatap irismu, balas bertanya, "Hontō ni shiritai kai, Sakura-chan?"

Kau mengangguk dengan semangat; senyum manis tak lupa menghias wajahmu. Sementara itu, lamat-lamat, terdengar suara provokatif Mei Lin yang menggema dalam kepalaku.

"… Xiao Xiao tidak perlu menahan diri. Kalau memang ingin membuatnya jadi milikmu, langsung saja, HAP!"

Perlahan, kedua tanganku pun terangkat, merengkuh lembut wajahmu dan menariknya lebih dekat. "Kau-lah," ucapku sembari menelengkan kepala dan memejamkan mata, "bukti keinginan yang sudah kudapatkan."

Lalu, aku menciummu.

Mencium tepat di bibirmu yang mungil dan ranum itu.

Seketika, kurasakan sensasi menggelitik, yang menyerang wajahku. Perasaan kosong dan melayang-layang, mulai menggelayuti pikiranku.

"Syaoran-kun …," desahmu, terengah begitu aku membuka mata dan menarik wajahku mundur darimu. Kulihat, kedua iris hijau zamrudmu melebar. "… Syaoran-kun menciumku?"—kaukatupkan kedua tangan pada bibirmu, menatapku dengan mimik antara kaget dan bingung. "Naze?"

Jantungku berdegup kencang saat mengungkapkan alasannya. "Omae no koto ga suki dakara da zo. Kono sekaijū no dare yori mo."

Irismu makin melebar. "Syaoran-kun, apa yang—?"

"Sakura-chan, aku bersungguh-sungguh dengan apa yang telah kuungkapkan padamu," selaku, meyakinkan. Kemudian, kuraih kedua tanganmu, menggenggamnya dengan erat di depan dadaku, yang masih berdebar-debar. "Karena itu, maukah kau menjadi kekasihku, Sakura-chan?"

Kau mengerjab. "Kekasih … Syaoran-kun?"

Aku mengangguk. "Tsukiatte kureru ze, Sakura-chan." pintaku kembali seraya menatapmu, lekat-lekat.

Kau terdiam, balas menatapku, seolah mencari kesungguhan dalam mataku. Lalu, kulihat garis bibirmu perlahan melengkung ke atas, dan kau menjawab, "Hai."

Kontan, aku tersenyum dengan lebar, merasa begitu senang kala mendengarnya. Segera saja, kutarik tubuhmu ke dalam pelukan. "Arigatō, Sakura-chan! Aku … aku akan menjadikanmu kekasihku yang paling bahagia di dunia ini! Janji!" cetusku, menggebu-gebu.

Tawamu pun berderai; terdengar seperti nyanyian merdu di gendang telingaku.

Usai mengobrol dan merencanakan kencan pertama kita untuk esok hari, aku mengantarmu pulang. Ketika kita sampai di depan toko bungamu yang terlihat sepi, malam telah menjelang. Kauturun dari motor, dan lalu mengeluarkan sesuatu dari dalam tas selempangmu. Sebuah kotak kado berwarna hijau dan berpita pink yang cantik.

Kau tersenyum sembari menyodorkan kotak kado itu kepadaku. "Ini, kado ulang tahun untuk Syaoran-kun."

Aku menerimanya dengan cengiran lebar. "Sakura-chan memberiku kado juga? Apa isinya? Boleh kubuka sekarang?" berondongku dengan semangat sambil menggoyang-goyangkan kotak itu di dekat telinga.

"Un. Bukalah," jawabmu, menatapku dengan jenaka. "Onīchan yang membelinya lho."

Dahiku langsung mengerut. "Kinomoto?" gumamku, heran. Lelaki angkuh itu membelikan kado untukku?

Penasaran, kubuka kotak itu, dan lalu agak terpana begitu melihat isinya: sebuah nuigurumi berbentuk beruang mungil dan berbulu pink.

Aku mendongak, menatapmu. "Kinomoto membelikanku 'kuma-chan nuigurumi', sebagai kado ulang tahunku?" tanyaku, mendengus seraya mengangkat boneka itu di depan wajahku, dan mengamatinya.

Kau menjawab, "Kata Onīchan, Syaoran-kun bisa memandangi Kuma-chama untuk mengobati rasa rindu saat kita tidak bertemu nanti."

Lalu, kaubuka kembali tasmu, mengeluarkan nuigurumi sejenis yang berwarna hijau. "Mite, mite! Ini pasangannya lho! Onīchan juga membelikannya untukku!"

Senyum miring tersungging di bibirku. "Nuigurumi untuk mengobati rasa rindu ya. Fuh, tak kusangka, Kinomoto bisa berpikir semanis itu," komentarku, sarkatis.

"Onīchan memang manis kok." Kau tersenyum simpul sembari mendekatkan hidung Kuma-chan yang kaupegang itu, ke hidung nuigurumi-ku. "Sangat manis, malah."

Aku memandangimu, yang tengah melamun dengan kedua belah pipi merona. Hal itu membuatku jadi sedikit terusik.

Tapi, yaah, mau bagaimana lagi? Sakura-chan kan brother-complex. Jadi, aku harus mulai terbiasa.

"Kalau begitu, aku pulang dulu, Sakura-chan," kataku, berpamitan seraya menghidupkan kembali mesin motorku.

Kau terenyak dari lamunan, dan buru-buru memanggilku, "Syaoran-kun!"

"Hmm?"

"Arigatō gozaimashita."

Lalu, kau mencondongkan tubuh ke depan, mendaratkan sebuah kecupan di pipiku.

"Hee?"

Aku terpana, menoleh padamu. Kau sendiri tersenyum sambil bergerak mundur dan melambaikan tangan.

"Oyasuminasai, Syaoran-kun."

Note:
Yomogi Hoikuen ni kite kudasai = Please come to Hoikuen Nursery.
Nanda soko? = Where's that place?
Otanjōbi omedetō! = Happy birthday!
Ryōkai! = Yes sir!
Naze? = Why?
Omae no koto ga … suki dakara da zo. Kono sekaijū no dare yori mo = Because I love everything about you. More than anyone in this world. (guyspeaks)
Tsukiatte kureru ze = Please, go out with me. (guyspeaks)


seventeenth piece.


Aku terbangun dari tidurku dengan kepala terasa berat sekali. Perlahan, aku beranjak dari tempat tidur, terhuyung-huyung menuju ke luar kamar, dan seketika terpaku kala mendapati sosok-sosok tubuh yang terlelap, dengan banyak botol bir dan bungkus snack kosong yang berserakan, memenuhi ruang tamu.

Aku mengerutkan dahi. "Ittai nannandarō?" desisku setelah mengenali sosok-sosok tubuh terlelap itu—yang adalah para yankī dan beberapa gadis, yang biasanya muncul di kelab. Di antara mereka, ada Mei Lin yang tidur bersandarkan bahu Yamazaki di atas sofa.

"Rupanya, kau sudah bangun ya!" sapa suara berat dari arah konter dapur. Aku berpaling, melihat Sorata-san yang menghampiriku dengan cengiran khas di wajahnya. "Uwaa! Semalam, benar-benar meriah ya!" katanya, berkomentar sambil memandangi keadaan ruang tamuku yang berantakan.

"Semalam?" ulangku, tidak mengerti.

"Pesta ulang tahun kedewasaanmu, Li! Kau tidak ingat?"

Dahiku makin mengerut dalam, mencoba mengingat-ingat apa yang sudah terjadi semalam. Tapi, hal itu malah membuat kepalaku berdenyut nyeri, dengan suara berdenging di dalamnya.

"Uwaaa! Seharusnya, kami tidak merecokimu dengan bir ya! Keadaanmu sekarang mencemaskan, Li," ujar Sorata-san, terdengar geli. "Tapi, kau sendiri juga tidak menolaknya sih. Kaubilang, untuk merayakan keberhasilanmu mendapatkan gadis Sakura itu, sebagai kado terindah. Jadi, bukan salah kami sepenuhnya sampai membuatmu mabuk semalaman lho."

Aku mengerjab seiring mendengar Sorata-san menyebut namamu, teringat sesuatu yang amat penting. "Sekarang!" sambarku, keras. "Jam berapa sekarang?"

Namun, aku tidak menunggu jawabannya, dan langsung menghambur kembali ke kamar.

"Heh? Jam berapa? Entahlah. Tapi, matahari sudah terbit dari tadi sih. Memangnya, ada apa?"

"Kencan pertama kami! Jam sembilan, hari ini!" sahutku, terburu-buru membuka lemari dan memilah-milah pakaian yang akan kukenakan untuk berkencan.

"Yare, yare. Kencan, rupanya." Kudengar Sorata-san menanggapinya, santai. "Mengapa kemarin tidak memberitahuku, Li? Aku kan bisa membangunkanmu lebih awal. Sekarang, jam tanganku menunjukkan pukul sembilan kurang enam belas menit—mungkin kau akan sedikit terlambat."

Aku mengumpat, rendah. Dengan cepat, kurogoh saku jinsku, menarik ponsel dari dalamnya. Kutekan angka satu di keypad-nya, yang langsung terhubung ke ponselmu.

"Moshi moshi, Syaoran-kun! Ohayō gozaimasu!" jawabmu dengan nada ceria di seberang sana; membuat dadaku otomatis berdebar abnormal setiap kali mendengar suaramu.

"Aa, uh-hnohassu, Sakura-chan," ucapku dengan gugup, membalas salam. Kulihat, Sorata-san mendengus, geli—mungkin menangkap adanya semburat warna merah, yang terbersit di wajahku. Buru-buru, aku memungguinya dan bergerak menjauh. "Ima, nante shiteru kai?"

"Tentu saja, sedang merias diri agar terlihat manis saat bertemu Syaoran-kun nanti!" katamu, riang. Senyum senang pun kontan terbentuk di bibirku, begitu mendengarnya. "Beberapa menit lagi, bukan? Syaoran-kun sendiri, bagaimana? Ara! Jangan-jangan, sudah menungguku di depan gedung bioskop, ya?"

Aku menggelengkan kepala. "Iya. Aku masih ada di apartemenku, Sakura-chan. Demo, mā ano, gomen na! Sepertinya, aku akan terlambat—sedikit terlambat untuk datang ke sana. Jadi …."

Kau menyela dengan tawa renyah, yang menggelitik gendang telinga. "Wakarimashita wa, Syaoran-kun. Zenzen ki ni shinai de. Aku bisa menunggu di sana kok."

Senyumku makin melebar. "Sakura-chan pengertian ya. Kekasihku yang begitu pengertian."

Tawamu terdengar lagi, kali ini lebih merdu. "Syaoran-kun harus bersyukur untuk hal itu lho," tanggapmu, membuatku jadi tergelak, geli.

Setelah mengakhiri panggilan denganmu, kudengar komentar bernada menyindir dari Sorata-san; "Lihat dirimu, Li. Kau benar-benar seperti pemuda yang dimabuk asmara."

Aku cuma nyengir, polos menimpal, "Begitulah kalau mempunyai kekasih semanis Sakura-chan, Taichō."

Beberapa menit kemudian, dengan sedikit mendapat bantuan dalam memilih pakaian untuk kencan dari Sorata-san serta Mei Lin (yang baru bangun tidur), aku sudah bersiap untuk menemuimu di tempat janjian. Saat kulirik jam tangan sporty yang melingkar tangguh di pergelangan tangan kiriku, waktu menunjukkan pukul sembilan lebih tiga menit. Kalau aku mengebut ke tempat janjian dengan Ducati-ku, mungkin cuma perlu waktu lima sampai tujuh menitan. Jadi, aku hanya akan terlambat sepuluh menit dari waktu janjian.

Tiba-tiba, suatu perasaan gugup yang luar biasa, menyerbuku. Jantungku juga berdegup lebih cepat begitu membayangkan bagaimana nantinya kencan kita nanti. Padahal, ini bukan kali pertama kita jalan berdua. Namun, dengan status kita yang sudah meningkat menjadi pasangan kekasih, kurasa, bukanlah hal yang aneh kalau aku bisa segugup ini.

"Semoga kencanmu berjalan menyenangkan ya, Xiao Xiao!" seru Mei Lin, menyemangati begitu aku menghidupkan mesin motorku.

"Tunjukkan pesona romantisme laki-laki yankī masa kini, Li!" tambah Sorata-san, terdengar norak. Namun, aku tetap melempar senyum seraya mengacungkan ibu jari, sebelum akhirnya menancap gas dan melaju kencang, meninggalkan mereka.


eighteenth piece.


Sebuah mobil ambulans bersirine nyaring, melaju dengan kencang dan melewatiku dari arah gedung bioskop, tempat janjian kita—diikuti dua mobil ambulans lainnya, yang muncul beberapa detik kemudian. Dahiku mengerut; pikiran buruk mulai bergelayut. Dengan segera kupercepat laju motorku, mengebut dan menerobos jalanan yang agak macet di depanku. Namun, belum sampai beberapa meter dari gedung bioskop, aku harus melambatkan lajunya begitu melihat kerumunan orang di sana.

"Ittai nani ga atta ndarō?" gumamku, merasa heran seraya mematikan mesin motor sebelum turun ke jalan, melangkah mendekati kerumunan tersebut.

Dari sela-sela kerumunan itu, kulihat adanya mobil polisi dan ambulans di tengah jalan, dengan paramedisnya yang berlalu-lalang. Seiring telingaku menangkap kata-kata "adanya penembakan dan empat orang tewas", aku langsung menerobos maju. Jantungku pun berdegup keras ketika memandangi para petugas medis, yang tengah menggotong masuk tubuh-tubuh berdarah ke dalam mobil ambulans.

Sakura-chan!

Kuedarkan pandangan, mencarimu di sekitar gedung bioskop. Namun, sosokmu tidak bisa kutemukan. Ketakutan, aku merogoh saku, menarik ponsel, lalu memencet angka satu di atas keypad-nya. Jantungku semakin berdegup keras, menunggu kau mengangkat ponsel; menunggu kau menjawab panggilanku. Tetapi, aku hanya mendengar dering sibuk yang menggelisahkan di sambungannya.

Ayolah, Sakura-chan! Kumohon, jawablah panggilanku!

Sayup-sayup, terdengar nada dering familiar, yang membuat tubuhku seketika membeku. Aku memutar kepalaku ke arah kanan, menatap sederetan tanaman berbunga di samping gedung bioskop. Kulihat, seorang paramedis mendekati tanaman berbunga tersebut, berjongkok dengan tangan terjulur, mengambil sesuatu …

… sebuah ponsel.

"Chotto!" teriakku dengan kasar sembari berlari, menghampirinya.

Pria itu tersentak, menoleh ke arahku. "Apa yang kaulakukan?" sahutnya, bertanya saat aku merampas ponsel itu dari tangannya.

Aku tidak menjawab; hanya membuka flap ponsel berwarna pink itu, mengamati layarnya yang berkedap-kedip, tanda ada panggilan masuk … dari nomor ponselku.

"Ini ponsel Sakura-chan," bisikku dengan tangan gemetar. "Tapi, di mana—" ucapanku terhenti. Kedua irisku terbeliak, memandang horor ke arah ceceran darah, yang membercaki lantai beton di dekat tanaman berbunga itu. "Tidak … tidak mungkin …."

Kuputar kedua tungkai kakiku, mengambil langkah cepat dan meninggalkan ceceran darah itu, tanpa mengindahkan seruan si paramedis di belakangku. Kembali, aku menerobos kerumunan orang dengan kasar, buru-buru menaiki motorku dan menghidupkannya, lalu memutar lajunya ke arah ambulans yang tadi sempat kulihat sebelumnya.

Kumohon, batinku, merasa begitu ketakutan sementara mengebut kesetanan di jalanan. Kumohon tidak terjadi hal-hal buruk pada Sakura-chan.

Note:
Ittai nani ga atta ndarō? = Just what the heck happenned?


nineteenth piece.


Aku berlari tergesa-gesa ke arah koridor ruang UGD, yang disebutkan perawat di lobi tadi. Beberapa wanita berjas hitam, terlihat berdiri di dekat pintu ruang operasi yang terbuka lebar. Terdengar suara bentakan kasar, yang tiada jeda memanggil namamu; menyuruhmu untuk segera membuka mata.

"SAKURA-CHAN!" seruku begitu masuk ke dalam ruangan, dan seketika membeku saat melihatmu telah terbaring kaku di atas ranjang. Suara denging panjang nan mengerikan dari mesin berlayar aneh itulah, yang membuat air mata kontan menetes turun dari sudut mataku; menyadari bahwa kau sudah ….

"Sakura-chan …?" panggilku dengan suara serak, tak ingin memercayai apa yang terlihat di depanku. Aku melangkah, mendekat dan memandangimu yang tengah memejamkan mata. "Naa, Sakura-chan …? Sakura—"

"KISAMA!"

Lelaki yang sedari tadi membentak di sampingmu, tiba-tiba meraung dan menyambar krah kausku dengan gerakan kasar.

"INI SEMUA KARENAMU!"

Aku pun terdorong sampai ke luar ruangan, dengan dua tangan besar yang mencengkeram kuat leherku. Lalu, kurasakan punggungku menubruk dinding, disertai ledakan rasa sakit dari hantaman keras kepalan tinju, yang melayang cepat dan mengenai wajahku.

"Tōya-nīsan!"—pekikan ngeri tersebut kudengar sebelum merasakan lagi hantaman berikutnya. "Tōya-nīsan! Yamete kudasai!"

Namun, hantaman itu terus berlanjut, semakin membabi buta. Hantamannya tidak hanya menyerang wajahku, tapi juga tulang rusuk dan perutku; membuatku seperti kantung samsak tanpa daya untuk mengelak ataupun mempertahankan diri.

"Tōya-nīsan!"

Hantaman itu terhenti; kutangkap adanya bayangan beberapa orang, yang menarik lelaki kalap itu agar menjauh dariku, berusaha mati-matian untuk menahannya agar tidak menyerangku kembali. Aku sendiri terbatuk hebat, dengan darah yang menetes dari sudut bibirku. Kemudian, tubuhku merosot ambruk ke lantai. Aku mengerang dengan keras, merasakan rasa sakit tak terkira di sekujur tubuhku yang telah babak belur.

"LEPASKAN AKU! AKU HARUS MEMBUNUHNYA! AKU HARUS MEMBUNUH BEDEBAH YANG SUDAH MENGAMBIL NYAWA SAKURA! AKU HARUS MEMBUNUHNYA, BERENGSEK!"

Dari sudut mataku yang sedikit terbuka, kulihat bagaimana frontalnya lelaki itu, mendorong orang-orang yang menahannya hingga terjungkal. Kemudian, dia menerjang dan kembali melayangkan tinjunya yang bertubi-tubi ke wajahku.

"SAKURA SUDAH MENINGGAL, BERENGSEK! DAN KAULAH PENYEBABNYA! KAULAH YANG TELAH MEMBUAT SAKURA TERTEMBAK! KAULAH YANG TELAH MEMBUNUH SAKURA!"

Benakku tersentak. Jantungku seolah berhenti berdetak seiring mendengar raungannya.

Sakura-chan … Sakura-chan meninggal …? Sakura-chan ….

Tiba-tiba, pandanganku memudar—dan semuanya tampak begitu gelap.

Note:
Kisama = You f*ckin' b*stard! (swear word)


twentieth piece.


"Li-san, koko ni nani wo shite iru no?"

Kuhentikan langkahku, yang akan menuju ke pintu aula di mana upacara pemberkatan terakhirmu akan diadakan, ketika gadis berambut panjang dalam balutan gaun hitam berlengan itu, sekonyong-konyong menghadangku. Kulayangkan tatapan tajam ke arahnya seraya berkata tegas, "Biarkan aku bertemu dengan Sakura-chan."

Dia menggeleng. "Gomennasai, Li-san. Aku tak bisa membiarkanmu, membuat keributan di upacara pemberkatan mendiang Sakura," katanya, tegas. Namun, bisa kulihat kedua iris keunguannya yang sontak berkaca-kaca saat menyebutkan namamu.

"Keributan?" ulangku, tidak terima. "Aku hanya ingin menemui dan menyembahyangi Sakura-chan untuk yang terakhir kalinya, Daidōji!"

Dicekalnya lenganku, mencegahku yang akan merangsek maju, melewatinya. "Tetapi, jika kamu berada di sana, dan terlihat oleh Tōya-nīsan, maka akan terjadi keributan yang tak terelakkan. Apakah kamu melupakan bagaimana Tōya-nīsan memukulimu kemarin? Bahkan, kami harus menyuntik bius Tōya-nīsan karena dia terus-menerus memukulimu, kendati tahu keadaanmu yang sudah tak sadarkan diri, Li-san!"

Kutarik lenganku dari cengkeraman tangannya, menukas dingin, "Aku tidak peduli."

Aku membalikkan badan dan kembali melangkah menuju ke pintu aula. Tetapi, langkahku terhenti seiring mendengarnya berkata, "Apakah … apakah pantas … seorang pembunuh, sepertimu … menyembahyangi mendiang Sakura?"

Kata-katanya menyentakku; membuatku kembali merasakan kebekuan yang mengungkungku setelah ketiadaanmu.

Kudengar tarikan napasnya yang berat, seolah dia menahan tangis yang akan meledak. "Kumohon, mengertilah. Kamu tidak bisa berada di sana, Li-san," tambahnya, perlahan. "Kamu hanya akan membuat Tōya-nīsan semakin menderita. Sudah cukup buruk atas apa yang sudah kamu lakukan—"

"Lantas, apa yang harus kulakukan untuk menebusnya?" ujarku, menyela sembari memutar tubuh dan menoleh ke arah gadis itu.

Kedua irisnya kontan melebar; mungkin tak menyangka, akan melihat air mata yang berlinangan serta membasahi pipiku.

"Li-san …."

"Beri tahu aku, apa yang harus kulakukan untuk menebusnya? Menebus dosa karena telah merenggut nyawa Sakura-chan?!" ujarku lagi dengan suara serak dan kasar. "Beri tahu aku, Daidōji!"

"Kamu … tak akan bisa menebusnya … semudah itu, Li-san," tukasnya, lirih terisak. Air matanya perlahan ikut menetes, melewati lekungan pipi, dan jatuh ke beton jalanan. Sesaat, dia memejamkan mata sebelum melanjutkan, "Apa yang sudah terenggut, tak akan pernah bisa dikembalikan. Kendati memutar waktu sekali pun, kamu tak akan bisa memperbaiki keadaannya. Itu sudah menjadi takdir dari mendiang Sakura."

Aku terdiam, tak bisa menyangkal kata-katanya yang begitu tajam. "Jadi, tak ada yang bisa kulakukan untuk menebus dosaku, begitu?" ucapku kemudian, mengangkat tangan di depan dahi dan mataku. "Heh. Menyedihkan sekali."

Setelah itu, aku kembali membalikkan badan dan melangkah menuju pintu aula. Tapi, lagi-lagi, langkahku terhenti. Beberapa wanita dalam setelan hitam laiknya bodyguard, menghadang jalanku. Kudengar, gadis itu memberi perintah untuk menahanku agar tidak masuk ke dalam aula—dan bila aku tetap berusaha masuk, mereka diizinkan untuk membekukku dengan cara apa pun.

"Gomennasai, Li-san," ucapnya saat berjalan, melewatiku.

Kedua tanganku terkepal, gemetar. Namun, aku sadar; aku memang tidak pantas berada di sini. Tak peduli betapa inginnya aku menemuimu untuk yang terakhir kali.


twenty-first piece.


"Nandeyanen, Li? Apa yang sebenarnya terjadi padamu?!" bentak Sorata-san seraya menyentak tubuhku yang babak belur dengan kasar, sampai berdiri dan menompang sisi tubuhnya. "Bisa-bisanya, kau jadi bulan-bulanan cecunguk tengik, seperti mereka!"

Aku hanya tersenyum miring—walau gerakan itu malah membuat bibirku yang sobek dan berdarah, jadi terasa nyeri. "Aku tidak—sshh … apa-apa … uukh."

"Hargh? Babak belur dan hampir sekarat begini, kaubilang, tidak apa-apa? DO-AHO!"

Lalu, ditariknya tubuhku ke belakang punggungnya. Sepertinya, dia akan menggendongku. "Kalau saja aku terlambat datang, kau pasti sudah berada di alam baka sana, bōzu!"

Kudorong sisi punggungnya, menjauh dariku. Tapi, hal itu malah membuatku terhuyung jatuh ke belakang, hingga menghatam jalanan rusak di sudut gang kumuh itu.

"OMAE NA!"—kudengar seruan gusar dari Sorata-san saat aku bertelentangan dengan sekujur tubuh yang terasa begitu sakit. "Apa kaumau cepat-cepat bertemu sang Shinigami-sama, hargh?"

Aku tidak menatap wajah gusarnya—tapi langit kemerahan yang membentang di atas sana, dengan senyum terkulum sendu. "Kalau memang hal itu bisa membuatku menebus dosa, maka aku tidak keberatan …."

Sorata-san mendecak, kesal. Lalu, dengan bantuan Yamazaki, dia mengangkatku agar berdiri kembali. "Aku tidak tahu apa masalahmu—tapi … tidak seharusnya, kau jadi begini, Li. Kemarin, nyawamu nyaris habis karena kecelakaan di arena racing. Sekarang, kau mencelakai dirimu sendiri dengan bertarung sendirian, menghadapi cecunguk-cecunguk sial tadi. Hargailah sedikit nyawamu, Li!"

Aku mendengus. Kusentakkan tubuhku agar lepas dari rangkulan mereka. Lalu, sempoyongan aku berjalan, mendahului mereka, dan tak menghiraukan panggilan kasar dari Sorata-san. Tapi, masih bisa kudengar kata-kata mereka:

"Berengsek! Sebenarnya, ada apa dengannya? Mengapa dia jadi kurang waras begitu, hargh?!"

"Apa Sorata-taichō tidak mendengar beritanya? Li-kun seperti itu setelah aksi penembakan membabi buta di depan gedung bioskop Tomoeda, dua hari lalu."

"Nan ya? Yang pelakunya menembak jantungnya sendiri setelah aksi itu, kan? Memang, mengapa?"

"Karena salah satu korban penembakkan itu, bernama Kinomoto Sakura. Kekasih Li-kun, bukan?"


twenty-second piece.


Tak mengindahkan tatapan aneh dari orang-orang di sekitarku, aku terus berjalan dengan sempoyongan. Sudah dua sampai tiga kali, aku terjerembab jatuh—tapi, bagaimanapun, aku harus tetap berjalan sampai tiba di tempat itu.

Di atas sana, langit yang menaungiku sudah menghitam, dipenuhi ribuan gemintang yang berkilauan indah. Kilauan yang mengingatkanku pada kedua irismu, yang selalu mampu menawan fokusku.

Dulu.

"Kyaaa!"—jeritan itu kudengar dari beberapa gadis remaja saat aku terhuyung jatuh di depan mereka. Susah payah, aku kembali bangkit—walau sekujur tubuhku terasa remuk, seperti habis digilas truk kontainer—dan berjalan membungkuk, dengan satu tangan memegangi perutku.

Akhirnya, kakiku berhenti setelah sampai di depan sebuah toko buku, yang masih ramai dikunjungi. Tapi, bukan tempat itu tujuanku. Kuhampiri pagar pembatas trotoar, mencengkeram kuat besinya yang dingin. Lalu, kulayangkan pandangan ke depan jalanan yang ramai, menatap sebuah toko penuh warna-warni bunga dari sela-sela kendaraan yang berlalu-lalang, di seberang sana.

Itu toko bungamu.

Toko bungamu yang tampak sepi nan redup, dengan pintunya yang rapat menutup.

Aku tersenyum, sendu.

Tak terasa, air mata kembali menetes turun, membasahi wajahku.

Sakura-chan … Sakura-chan ….

Kurenggut dadaku—di mana jantungnya yang berdebar secara menyakitkan, berada. Rasa sakitnya yang menusuk, diikuti hawa dingin yang menyusup dan membekukan iga, membuatku tak bisa menahannya lagi. Aku merasa sesak. Serta tak sanggup untuk bernapas normal.

"Apa yang harus kulakukan untuk menghilangkan rasa sakit karena ketiadaanmu ini, Sakura-chan?" bisikku, nyaris tanpa suara. Sementara itu, cengkeraman tangan pada pagar besi pembatas, semakin mengerat sampai buku-buku jemariku nyaris memutih semua. "Apa yang harus kulakukan?"

Selama beberapa waktu yang tak sanggup kuhitung, aku terus berada di sana, bersama rasa sesak yang mengukungku dengan begitu kejam. Sampai akhirnya, benakku tersadar ketika indera penciumanku menangkap semilir bau mewangi, yang amat kukenal. Aliran darah dalam tubuhku, langsung berdesir dengan hebat; kehangatan pun perlahan muncul, menyelimutiku. Jantungku sendiri ikut berdegup kencang begitu mengenali wewangian itu.

Aku memutar tubuh ke samping, dan mulai mengendus-endus, mencari asal wewangian tersebut, sembari melangkahkan kaki, menyusuri trotoar. Kulewati tiga sampai lima pejalan kaki, hingga kedua irisku melebar begitu melihat sesosok gadis berambut cokelat panjang terurai sampai punggung, berjalan di depan sana.

Tak salah lagi, wewangian ini berasal dari helaian rambutnya. Wewangian yang sama dengan yang selalu kuhirup begitu aku mendekapmu seraya membenamkan wajahku di rambutmu, kala itu.

Tanpa sadar, aku melangkah dengan cepat sambil mengulurkan tangan dan menjangkau sejumput rambutnya. Apa yang kulakukan, membuat gadis itu memekik pelan dan serta-merta menoleh ke belakang, ke arahku. Aku sendiri menarik napas, merasa kaget saat menyadari garis wajahnya yang begitu mirip denganmu.

"Sakura-chan …?"

Gadis itu mengerutkan dahinya seraya menelengkan kepalanya sedikit, memandangku perhatian. "Sumimasen?"

"Oi, kau! Lepaskan tanganmu dari rambut Kobato-san!"

Seketika, aku tersentak saat sebuah tangan yang terulur, menarik lepas tanganku dari rambut gadis itu.

"Mengapa kau tiba-tiba menariknya seperti itu, hah?!"

Kualihkan pandanganku ke arah lelaki di samping gadis itu, yang tadi menarik kasar tanganku. Lelaki itu tengah menatapku dengan awas dari kedua matanya, yang berbingkai kacamata minus. Kuamati, warna iris kehijauannya yang … juga mirip dengan milikmu.

"… Kamaimasen, Fujimoto-san. Ano ne, sumimasen desu ga, adakah yang bisa saya bantu?"

Aku mengerjab dengan mimik bingung, menoleh ke arah gadis itu, yang kali ini menyunggingkan senyum lembut nan penuh pengertian.

"Aaeeto, wangi rambutmu—"

"Ada apa dengan itu?" sambar si megane-danshi, memotong ucapanku dengan nada tidak suka.

"Apa yang kaugunakan … sampai mewangi, seperti itu?" tanyaku, terdengar bodoh. Bisa kurasakan tatapan si lelaki yang memandangku aneh.

Tapi, gadis itu tidak ikut memandangku aneh. Malah, dia tersenyum semakin lembut seraya menyebutkan merek sampo yang dia gunakan. Setelah itu, dia melangkah pergi karena buru-buru ditarik menjauh oleh si megane-danshi.

Aku sendiri hanya tersenyum karena mendapat ide yang muncul begitu saja dalam otakku.

Sō nanda! Sekarang, aku tahu, apa yang harus kulakukan untuk mengobati rasa sesak ini.

Aku mengangkat tangan, memegangi erat dadaku yang berdebar tak karuan.

Seperti kata Daidōji, aku memang tak bisa memutar waktu.

Kubalikkan badan, melangkah dengan pasti ke arah rute apartemenku berada.

Tapi, aku bisa menghentikan waktu.

Menghentikan waktuku, untuk mengobati rasa menyesakkan dan menyiksa ini …

serta menghapus dosa yang telah kuperbuat padamu, Sakura-chan.


end of all pieces.


Chikushō!

Dengan erat, kucengkeram tepian kasur dari tempat tidurku, sementara aku berlutut dan membungkuk dalam-dalam, menghadap lantai berkarpet kamarku; terbatuk hebat serta hampir muntah, karena tersedak cairan sampo yang tadi kutelan.

Che. Ittai nan, kore?! Apa aku gagal dalam usaha keduaku untuk menyambut penghentian waktuku?

Gah! Tapi, aku tak akan menyerah! Aku tidak ingin gagal kembali! Sudah cukup, aku merasakan sesak yang menyakitiku ini. Bagaimanapun, waktuku harus dihentikan agar dosaku bisa terhapus.

Dengan tangan kiri yang berdarah dan gemetaran, kujangkau kembali botol sampo yang baru seteguk kuminum itu. Penuh tekad, seraya menahan diri untuk tidak tersedak ataupun muntah kembali, kutenggak cairan itu sampai tetesan terakhir. Setelah itu, kulempar botol tersebut ke sembarang arah, sebelum akhirnya tubuhku ambruk tanpa daya di atas karpet lantai.

Namun, aku sadar, menenggak sampo pun tak akan mempercepat penghentian waktuku. Susah payah, dengan napas tersengal-sengal dan mulut terbuka lebar, aku berusaha untuk bangkit dan berdiri. Kulayangkan pandanganku ke arah pintu kamar mandi di seberang sana, dan lalu terkekeh dengan suara parau.

Heh. Bagaimana kalau menenggelamkan diri?

Tapi, sebelum itu ….

Kuulurkan tanganku ke arah nakas, mengambil sebuah nuigurumi berbentuk beruang, yang tengah duduk manis di atasnya.

Sakura-chan ….

Kupandangi nuigurumi berbulu pink itu dengan penuh rasa rindu, yang melesak dan ingin menyembur ke luar dari benakku. Kemudian, kudekap si Kuma-chama erat-erat di dada, sambil berjalan terhuyung-huyung ke arah pintu kamar mandi.

Kubuka pintu itu, dan lalu tersenyum kala melihat ofuro-nya sudah terisi penuh dengan air. Perlahan, aku mendekati tepian ofuro, memandangi refleksi diriku yang terpantul di genangan airnya. Tanpa membuang waktu serta tak memedulikan rasa dingin air yang menjengut kulit itu, kumasukkan kedua kakiku secara bergantian, lalu duduk dan merebahkan diri hingga airnya menggenangi wajahku. Kucengkeram erat si Kuma-chama dengan tangan kiriku, yang kubiarkan menggantung di luar tepian ofuro.

Setelah itu, barulah aku memejamkan mata.


tsuzuku.


Wasurerarenai Mono
Unforgettable Things

"This first centric is dedicated to those who changed for love and who suffered loss."


History:
2011/09/16 ~ published story
2014/11/18 ~ revised story