Bingung kenapa muncul fict lagi? Ayolah, di antara kesibukanku yang kian berjibun paling tidak aku ingin mengistirahatkan sedikit otakku. Jujur kubilang sebagai seorang nubie aku agak takut-takut karena BANYAKnya orang yang mendukung tuh "The Hunting of Soul Reaper" :D Yeah,paling tidak sembari menunggu bolehkan sedikit kutambahkan inventaris (^_^) oke?
HAPPY READING...!
V
V
V
DISCLAIMER- Masashi Kishimoto/1999
Author- Alp Arslan no Namikaze/2011
"2nd Home"
Secret POV
Kau berhenti sejenak di anak tangga pertama, menengadah ke atas guna memastikan kau tak salah jalan. Matamu mendarat disana.
Papan itu masih menuliskan kalimat yang sama.
2nd Home. Dicetak dengan banner beraneka warna dalam disain setingan grafis seorang ahli. Kau menghela nafasmu sekali, berusaha mengingat bagaimana tulisan itu tercetak dengan cat poster tebal di atas triplek, dulu. Kakimu meraih tangga, mengenang bahan semen yang telah berganti keramik. Pegangan tangga yang dulu dari besi kasar berkarat kini tercampur bahan aluminium anti karat berlapis warna kelabu santai. Kelam, namun tenang nyaman.
Karena bagaimanapun kau menemukan memori yang berbeda dengan 6 tahun lalu, senyum riang itu tetap seperti terakhir kali dulu, tetap memberikan ketenangan tersendiri bagi siapapun yang melihatnya.
Dan seiring dengan tuntunan nafasmu yang mendesah perlahan, kau kian tersenyum lagi. Melangkahi anak tangga satu demi satu sebelum membuka pintu kayu yang menawan,
2nd Home.
Sebuah senyum yang membawa emosi dan rasa pada sebuah cinta lama yang tak akan pernah pudar, selamanya...
~~~~4LP~~~
Aku menjentikkan jari-jariku ke atas tuts piano dengan hati-hati. Malam ini terhitung sepi, Dari 29 meja yang tersedia sekian pojok ada 11 saja yang berisi bokong para dedengkot kaya kesepeian. Itu pun semakin surut dengan mereka yang menginap. Aku mendesah, terdiam kupandang para pemain biola perlahan seraya membisikkan sebuah lagu mengikuti alunan instrumen musik yang muncul dari belah-belah jariku,
Aisaretai demo aisou to shinai
Sono kurikaeshi no naka wo samayotte
.
.
Aku ingin kau mencintaiku, namun aku tak berpikir kalau kau akan mencintaiku.
Kuberjalan sekeliling berulang kali sebagaimana kuulangi kalimat ini untuk diriku sendiri.
.
.
.
Disini, di tempat yang seakan sudah menjadi rumah kedua bagiku.
Flashback ON
Sakura POV
"Sibuk lagi?" Gumamku padanya. Sosok ini berpaling sebentar, lalu melambaikan tangan.
"Yo."
Pemuda ini hanya menyahut pendek, membuatku mengerutkan dahi. Aneh, begitu saja yang kurasakan.
Aku baru keluar kelas, siang hari sudah membuatku malas betul berjalan mengingat ini awal Juli. Matahari seakan berada tepat di atas kepala. Sedikit banyak cuaca menyengat menjelang ujian tengah semester ini membuat frekuensi sepeda berkurang, siswa KHS condong menaiki trem ataupun kereta listrik yang melintasi seluruh distrik di Jepang.
Yeah, dan aku bersyukur karena diantar jemput, setiap hari. Paling tidak sudah berjalan 3 bulan ini. Dan kau pasti akan tahu siapa yang sudah teramat baik mau mengantar jemputku ke sekolah setiap hari.
Namun sekarang...
Sungguh ada masalah yang harus kuselesaikan.
Sebuah rasa.
Aku mendengus, mengikuti langkah lelaki ini. "Kau kerja setiap hari, ya? Padahal ini khan hari Sabtu?" Kali ini aku nyaris mengejarnya. Menyetarakan langkah agar bisa sejurus dengannya. Dia menoleh padaku, lalu mengangguk.
"Sokattebayo!" Gumamnya riang, aku mengangkat tipis senyumnya. Kukira diriku berhasil, namun ternyata tidak. Langkah si lelaki tak berhenti meski aku menyetop sudah langkahku. Aku, Haruno Sakura, heran.
Dan heran itu membuat diriku jengah, kumajukan wajahku pada sahabatku ini.
"Ck, kau ini kenapa sih? Kerja ya kerja saja, tapi apa itu alasan yang baik untuk mencuekkanku?"
Dan kali ini yang diajak bicara mau tak mau menghentikan aktivitas kakinya, memandang heran padaku.
"Cuek? Ah, kau ini ada-ada saja. " Tukasnya gusar. Aku benar-benar kaget.
Apa yang terjadi?
"Aku ini kalau kerja harus konsen. Kalau tidak, rasa ramennya akan membuat semua orang muntah dan ayahku akan marah besar. Kau tahu kalau aku bekerja di sana tidak hanya untuk sekedar uang."
Aku membulatkan bibir, membuat kesan 'ooh' di antara rasa gemetar yang mulai bercokol di hati. "Kau kemarin pernah bilang tempat itu kemarin namanya-apa-? Tempat kerja kakakku juga, khan?"
Lelaki ini nyengir "Yo, Sasori juga kerja disana. Namanya 2nd Home."
"Apa?"
"2nd Home. Nanti lah kapan-kapan kau kuajak kesana, kau bisa main piano, khan? Sakura-Chan?"
"Eeeng... Ya lumayan sih, tapi masih lebih pintar kakakku. Lagipula itu khan kafe malam. Aku takut."
Pemuda pirang ini mendelik,"Eh, masa' Sasori lebih pintar? Dia tak pernah sekalipun menyentuh piano itu." Pemuda ini mengangkat tangannya ke depan muka, memandang arloji lalu terkejut. "Wah, sudah terlambat. Kau tak pulang dengan Si Teme?"
Aku mendengarnya semakin merasa tak enak hati. Sasuke memang pacarku, namun untuk sekarang ini melihat perubahan sikap sahabatku semenjak bekerja membuatku betul-betul merasa aneh.
"Ah, i-iya sih. Tapi dia-"
"Sakura?"
Suara itu mengalihkan perhatian kami berdua. Dia tak melanjutkan kalimatnya lagi, dia berbalik berjalan setelah bergumam,
"Tuh, khan. Apa kubilang? Sudah sana! Ini kencan mingguan kalian, khan?" Tangannya melambai, aku dan Sasuke bisa dengan jelas melihatnya dari balik punggung.
Aku tak tahu harus bicara apa lagi,
Kenapa?
Tangan pemuda raven yang baru datang ini meraih milikku, "Ayo."
Kenapa?
Langkah kakiku kini berada di samping lelaki yang paling kucintai, namun aku tak tahu kenapa ada sekian kenapa yang berputar-putar di kepalaku. Terus-menerus hingga sampai putaran gang, membuat sosok itu hilang.
Tanpa kusadari, pemuda itu berhenti sebentar, menyandarkan bahunya pada dinding sebelum menghela nafas berat. Melontarkan sebait kalimat penuh doa di dalamnya,
"Semoga kau bahagia..."
Flashback OFF
Sakura POV
Perlahan, penuh perasaan membuncah kusenandungkan lagu itu. Ck!
Diam-diam aku menyesali butir-butir air mata yang memaksa keluar dari belah mata zamrudku. Kutahan dalam sesak sebentar, ah...
Cinta memang gila.
Dan lebih gila lagi karena aku tak pernah tahu siapa sebenarnya orang yang kucintai.
Boku ga mitsuketa kotaewa hitotsu kowakutatte kizu tsuiatte
Suki na ito ni wasukitte tsutaerun da
.
.
Hanya itu jawaban yang kupunya, meski aku takut akan penderitaan yang akan menyakitiku.
Akan kukatakan "Aku mencintaimu", pada seorang yang kucintai.
.
.
.
Ya, aku memang gila.
Karena aku mengatakan pada seorang yang bahkan tak benar-benar kucintai...
"Sakura?"
Suara manis itu mengusik kupingku, aku tersentak kaget. Nyaris terpeleset jariku saat terkejut mendengar panggilan yang mengejutkanku tanpa sengaja. Shizune-San menatapku heran dari samping, kuhindari tatapan penasarannya itu.
"Kau sudah makan? Sasori-San memanggilmu."
Aku hanya mengangguk tanpa menoleh. Akan sangat lucu kalau seorang pianis tetap di kafe remang-remang macam ini menangis karena memikirkan cinta, toh semua orang yang berkunjung ke sini telah melupakan cinta mereka. Meninggalkan kasur empuk hangat yang nyaman dengan istri tercinta menuju taman bunga gemerlapan dimana kupu-kupu ternoda menghabiskan malam.
Ups, yeah. Kecuali aku.
Hanya aku satu-satunya kupu-kupu yang masih mampu mengepakkan sayap, bertahan di antara tatapan mata ganas yang mengincar sebuah arti keperawanan. Dan aku benar-benar beruntung,
Dan kau tahu apa maksudku berkata seperti di atas tadi. Aku benar-benar beruntung.
Aku menundukkan wajahku pelan, menyembunyikan rupa di balik rambut sewarna cherry yang tertata sebahu. Aku yakin Shizune-San tahu benar bagaimana rupa kacauku sekarang, namun dia lebih memilih tak berkomentar.
"Tolong katakan pada Nii-San, aku akan datang setelah satu lagu."
Perempuan berumur 27 ini menepuk punggungku sekali, lalu meninggalkanku dengan langkah kaki perlahan.
Kimochi wo kotoba ni suru no wa kowai yo demo
Suki na hito ni wa sukitte tsutaerun da
.
.
Mengungkapkan perasaan ini dalam kalimat sungguhlah membuatku takut namun...
Akan kukatakan "Aku mencintaimu", pada seorang yang kucintai.
.
.
.
Dan titik permata kembali muncul sekali. Aku tahan betul-betul sesenggukanku agar tidak keluar. Berhasil, kulanjutkan tarian jemariku di kembali.
Dan entah angin bau apa yang menarik hidungku ke atas, membuatku mendongak. Aku mengangkat pandanganku hingga menjangkau arah yang membuatku melihat sebuah pemandangan, malaikat dari surga.
Dia...
Aku nyaris berdiri, menghentikan permainanku kalau tangannya tak memberikan isyarat yang berarti 'lanjutkan, aku tak ingin mengganggumu'. Aku mengangguk sekali dan mengatur kembali posisiku guna memainkan piano.
Namun entah kenapa jemariku kini bergetar.
.
.
.
Anata ga boku wo aishiteru ka aishitenai ka?
Nante koto wa mou docchi demo iin da
Kau mencintaiku atau tidak?
Aku tak perduli apa jawabannya, aku hanya ingin tahu!
.
.
.
FLASHBACK ON
SAKURA POV
Dada bidang di depanku basah oleh luapan banjir air mata. Pemuda blondie jabrik ini hanya mendekap diriku, mendengarkan tangisku.
"Hh.. Hiks... Hiks... N-Naru...to... D-Dia..-"
"Sakura-Chan..."
Aku menggeleng-gelengkan kepalaku cepat, memukul dadanya sekian kali sebelum nyaris berteriak sambil sesenggukan,
"D-Dia... S-Sasuke- ...Kun.. ...Di-Dia-"
Sosok ini mendelik tajam,
"Sudah cukup, Sakura-Chan! -Jangan katakan apa-apa lagi!"
Kalimat ketus ini menghentikan tangisku sontak, aku mendongak dan mendapati sepasang bola mata shappire lembut yang menatapku. Tak terasa tangan kekar milik pemuda 18 tahun ini mendekapku semakin erat.
"Tak usah ceritakan lagi, aku tahu apa yang akan kau katakan.
Luapkan tangismu dulu, setelah itu baru kita bicara..."
Dan dia tersenyum.
Ah, entah kenapa...
Entah kenapa setelah senyum itu terbit hatiku semakin tak keruan, wajahku keruh dengan tangis, dan aku sedang berada di sebuah apartamen kumuh di pinggir Kota Konoha meledakkan tangisku kian nyaring. Membuat dada sang empunya baju semakin basah.
Dan di antara kerancuan hatiku yang menjadi-jadi sama sekali tak kusadari adanya kehadiran titik cahaya yang terbit, dan akan menuntun diriku di hari-hari mendatang.
Dan bodohnya, benar-benar tak kusadari.
FLASHBACK OFF
NORMAL POV
.
.
Donna ni negai nozomou ga
Kono sekai ni wa kaerarenu mono ga takusan aru darou
Tak perduli betapa besar rasaku ingin bersamamu,
Ada sekian banyak hal yang tak berubah di dunia ini
.
.
.
Sakura menahan senyum di antara perasaannya tak menentu ini. Dia datang. Pulang.
Dia benar-benar pulang.
Dan dia benar-benar tak berubah sama sekali. Selalu menepati janji, selalu menepati kata-katanya. Selalu ada di sampingnya, selalu sedia untuk curahan hatinya, selalu hadir untuk tangisnya, selalu menjadi pintu keluar bagi setiap detik pelik lika-liku hidup seorang Haruno Sakura.
Dan masa lalu yang rapuh disertai tangan Tuhan telah menampar dirinya kuat-kuat hingga mencapai kata dewasa. Haruno Sakura benar-benar merasa telah jatuh cinta.
.
.
Sou soshite boku ga anata o aishiteru to iu jijitsu dake wa
Dare ni mo kaerarenu shinjitsu dakara
...dan cintaku padamu...
Tak dapat dihentikan oleh siapapun
.
.
.
Sakura menahan ludah. Mungkin lagu ini memang lebih membuatnya sedih dari pada gembira, namun lagu ini pula yang mengingatkannya pada sebuah kesalahan besar yang harus ditebusnya dengan sebuah penyesalan. Dan Sakura siap menanggung beban apa saja yang menimpa punggungnya hingga bahkan berjalan bungkuk seumur hidup sekalipun sebagai hukuman atas ego dan kebutuhannya.
Rasa cinta yang lahir tulus murni itu tidak akan pernah berubah. Sekalipun tidak.
Namun, ya. Tuhan memang berhak menghukumnya. Tidak dengan sesuatu apapun kecuali hanya dengan sepasang pertanyaan,
"Masih pantaskah aku mencintaimu?
Masih sudikah aku mendapatkan cintanya?"
.
.
Dan suara langkah yang menapak di sampingnya membuatnya menoleh, tertarik dari dunia khayal. Pemuda ini duduk, menempati sebuah kursi busa mungil yang mungkin memang tersedia untuk bintang tamu. Sakura memang tak cukup heran kenapa orang ini bisa duduk di sini karena panggung tempatnya bermain piano hanya berjarak satu langkah dari permukaan lantai. Sakura menoleh, Sang pemuda menunggingkan senyum.
Senyum itu lagi.
Senyum dari seorang lelaki muda yang datang jam setengah dua belas malam hanya dengan jaket bahan polyester warna biru gelap dan celana hitam santai, Sakura memalingkan wajahnya kembali berkonsentrasi pada piano.
Sen no yuru wo koeto anata ni tsutaetai
Tsutaenakya naranai kota ga aru
Aisaretai demo aisou to shinai
Sono kurikaeshi no naka wo samayotte
Boku ga mitsuketa kotae wa hitotsu kowakutatte kizu tsuitatte
Suki na ito ni wa sukitte tsutaerunda
.
.
.
Sepanjang 1000 malam terlewati sepanjang itu pula untuk mengatakannya...
Aku harus membuatmu tahu.
Aku ingin kau mencintaiku, namun aku tak berpikir kalau kau akan mencintaiku.
Kuberjalan sekeliling berulang kali sebagaimana kuulangi kalimat ini untuk diriku sendiri.
Hanya itu jawaban yang kupunya, meski aku takut akan penderitaan yang akan menyakitiku.
Akan kukatakan "Aku mencintaimu", pada seorang yang kucintai.
.
.
.
Sakura menghentikan alunan pianonya, mengendikkan pada pemain biola agar melanjutkan musik dalam alunan . Membiarkan dirinya menoleh pada lelaki pirang seraya menaruh tangan di dagu.
"Kenapa kau naik ke atas?" Sergah Sakura, membuat sang pemuda mendongak padanya. " Kau tahu kalau kerjaku belum sel-"
Jari tan itu mengarah ke depan, memancing Sakura untuk mengikuti arah. Mata emeraldnya membulat karena menyadari sudah tak ada lagi orang bangun di depan mereka. Tersisa hanya 4 orang mabuk dan yang lain sudah berangkat menuju kamar. Sakura ber-ooh ria, lalu kembali berpaling pada si pemuda dengan cengiran tanpa rasa dosa. Si pemuda pirang membalas cengiran itu,
" Jangan pikir aku lupa aturan main di 2nd Home." Tukasnya lalu tertawa. " Bagaimanapun ini adalah rumahku yang kedua dan aku tak akan pernah melupakan aturan yang kubuat sendiri."
"Heh, ya..." Sakura memainkan ujung rambutnya perlahan, memancing senyum lagi dari dia.
"...Jadi...
... Kapan kau pulang?"
"Baru tadi siang." Tukasnya santai. Ia duduk, tangannya teranyam dan ditaruh di atas lutut, membungkuk.
Sakura mengerutkan dahinya.
"Kau tidak capek?"
"Heh, jelas tidak. Kau tahu diriku dan lagipula tak ada alasan bahkan untukku sendiri mengatakan lelah hanya untuk bilang 'aku capek' untuk sekedar pulang ke rumah kedua."
Sakura memandang shappire lembut di depannya ini, mengizinkannya untuk menghipnotis balik emerald. Mereka lalu tertawa bareng, Si pemuda menepuk lututnya sendiri lalu menaruh telunjuk di samping dahinya. Membuat kesan berpikir.
"Heem... Mungkin aku boleh request lagu?"
Sakura membenarkan posisi duduknya, kembali menghadap piano lalu memainkan intro.
"Boleh." Katanya, "kau mau minta lagu apa?"
"Hmm... Apa ya...? Wah aku malah juga bingung." Si pemuda terkekeh tipis sambil menggaruk belakang kepalanya yang tak gatal. Sakura menjulurkan lidah padanya, meledek.
"Dasar baka! " Sergahnya.
"ALONE?"
"Eto... jangan deh. Itu terlalu sedih."
Sakura tersentak kaget. Mengingat lagu itu juga mungkin akan lebih parah dari dia mengingat lagu yang dia mainkan tadi,
"Ah-ehe-ehm... M-Maaf.
Kalau VELONICA?"
"Heh, yang itu juga jangan."
"MAYONAKA NO ORCHESTRA?"
"Wah, kalau itu sih membuatku ingat pada...-"
"Ah-eh m-maaf."
Lebih parah lagi, malah kali ini dia mengingatkannya pada Sasuke. Keduanya...
Sama sama kesepian, meringkuk pada bekunya musim dingin, terdiam memandang langit penuh bintang seakan bertanya, 'kapan semua ini akan berakhir?' Menahan dua takdir yang juga membuat mereka menderita. Mereka berdua sama.
Dan Sakura sadar kalau dia hanya sekedar pemeran pendamping yang tak pernah menahan beban derita mereka sedikitpun, sekali pun tidak.
"Aah...
Tapi kalau kau menolak semua lagu kenapa kau bilang kau suka Aqua TIMEZ?" Sakura bertanya. Si pemuda menoleh padanya, lalu memasang lagu berpikir.
"Kau ingin tahu?"
Sakura mengangguk.
"Karena sebetulnya sih yang membuatku ngefans, ya lagu yang kamu mainkan tadi."
Sakura sekali lagi ber-ooh ria, lalu tersenyum. Jemarinya berniat tanggap menuju tuts piano, namun dibalik senyum manis itu dia sungguh ragu.
Lagu ini mungkin tak bermasalah bagi dia,namun bagi Sakura ini adalah masalah bagi dirinya. Jelas, perkara batin adalah sesuatu yang tak bisa diremehkan.
Sakura mengela nafas,
Tak apa...
Asal ini bisa membuatnya tak menjauh lagi dariku, tak apa-apa.
.
.
.
Kono hiroi sekai de meguriau yorokobi wo kotoba ja iiarawasenai ne
Kebahagiaan yang terlewati seumur hidup kita tak tapat diungkapkan dengan kata-kata
Dakara bokutachi wa hohoemi
Maka karena itulah kita selalu bisa tersenyum
Iro azayuka ni sugiru aki wo "do re mi" de utatte
Karena itulah kita bisa bernyanyi "do re mi" di antara merah semangatnya warna musim gugur
Fuyu o se ni haru no komorebi wo machi
Dengan musim dingin di belakang kita, dan sinar matahari musim semi mengintip di antara dedaunan
Atarashiku umarekawaru dareka wo mamoreru you ni to
Seperti ingin melindungi seseorang yang baru saja lahir.
.
.
.
Flashback ON
Sakura POV
"Naruto!"
Sosok yang kupanggil menoleh, di tangannya ada selembar daun maple kering. Dia melakukan hobi hariannya tepat saat dia menoleh, nyengir.
"Hoi, Sakura-Chan!"
Tangannya melambai-lambai, membiarkan dedaunan jatuh ke atas tanah yang turut memerah. Musim gugur akan segera berakhir dan berujung pada dingin salju yang menemani malam-malam kota Konoha. Aku berlari ke arahnya, dengan terengah-engah ku berhenti di depannya. Tanganku tertahan di atas lutut,
"Hei, tak usah sampai-berlari-lari begitu." Katanya.
"M-Maaf, aku terlambat."
Aku mendongak dan kudapati dirinya tersenyum padaku. Di tepuk-tepukkan tangannya beberapa kali, membersihkan sisa debu tanah yang menempel di antara jemarinya. Naruto memandangku.
"Yo, daijobu da."
Celetohnya barusan membuat mataku membulat.
"Daga-"
"Kalau kubilang tak apa ya berarti tidak apa-apa dan kau tak perlu minta maaf." Potongnya cepat. Dia menawarkan tangannya padaku, tetap tersenyum.
"Ayo," Katanya.
" Aku tak ingin kencan perdanaku terlambat. "
Ooh...Tuhan...
Aku –entah kenapa- bisa merasakan mungkin untuk yang keberapa kali, atau mungkin memang karena aku bodoh atau apa sehingga tak menyadari betapa biru shappire itu telah menghipnotis diriku.
Benar-benar telah menghipnotis diriku .
"Hoi, doishta? Sakura-Chan?"
Dia memanggilku, aku tersentak kaget. Nyaris gagap sebelum tangannya menarik tanganku.
"A-Aku-"
"Ayo..."
Kakinya melangkah, mengajakku berlari. Namun janggal, berlawanan dengan kaki kami yang menapak, aku merasa terbang.
Dan ketika dia berpaling kembali padaku, kembali kulihat shappire-nya menghipnotis diriku. Membuatku melayang .
Dan aku benar benar terhipnotis saat itu hingga tak pernah kusadari bahwa kencan itu adalah yang pertama dan terakhir.
Flashback OFF
"Eh, kenapa musiknya jadi pelan?"
Sakura mengangkat kepalanya, tanpa berniat membuat suasana runyam Naruto sudah sukses melihat jatuhnya air mata Sakura kian deras, lalu membanjir. Naruto menggigit bibir bawahnya, sejurus berlalu saat Naruto membuka lebar kedua tangannya, menyambut hangat pelukan Sakura.
"Ukh! Hiks... N-Naruto A-Aku...-"
"Jangan menangis," Naruto membelai lembut rambut pinky gadis ini. "A-ku yang salah. Aku yang tak bisa menolak orang tuaku, mereka..."
Sakura ingin menyabotase kalimat Naruto dengan sebuah sanggahan, namun kerinduan Sakura akan suara maskulin tercintanya ini membuatnya kian terdiam sesenggukan.
"Mereka memaksaku, bahkan lebih dari itu. Aku sudah ingkar janji dan ada satu hal yang membuatku tak bisa jujur waktu itu..."
Sakura hanya terdiam dalam sesak nafas yang mengalirkan air penuh luapan emosi keluar dari titik-titik wajahnya. Naruto mengatur nafasnya berkali-kali sebelum memulai ceritanya.
Flashback ON
Normal POV
Naruto sadar bahwa kedua matanya membulat, shappire bening milik ayahnya kentara benar-benar terasa menembus miliknya. Naruto mendecih,
"Aku menolak!"
Dan kini sosok ayahnya itu naik pitam,
"Harus!"
"Aku menolak!"
Tak mau kalah, Naruto mengulangi lagi kalimatnya barusan. Kali sekarang dengan urat nyaris mengeras di leher. Minato sungguh kesal, dia mendebrak meja hingga berderak.
"Sedizioso*! Dari mana kau belajar untuk berani menentang orang tuamu?"
"Aku tak menentang, Ayah. Aku hanya tak mau bertemu dengan Hinata, aku mencintai Sakura dan tak mau memancing lagi masalah hanya karena bertemu dengan orang yang bertepuk sebelah tangan cintanya padaku!"
Minato menepuk dahinya, Kushina mulai merasa cemas. Naruto menahan detak jantungnya yang semakin dipaksa berlari, dia tahu kalau yang dia teriaki barusan adalah sosok agung yang dirinya jelas tahu kalau berkata kasar padanya adalah salah besar, namun Naruto tak perduli. Ia menelan ludah, menahan diri dari rasa penyesalan.
Karena bagaimanapun, mengejar masalah itu bukanlah tipenya.
Minato menghela nafas, "Jadi hanya karena gadis itu kau menolak kuliah di Sorbonne? Kau mestinya tahu kalau kau harus meneruskan di sana karena perusahaan ayah mewajibkan dirimu untuk kuliah di sana!"
"Aku tahu, Ayah." Sambar Naruto. "Tapi Kita sudah 2 tahun pindah dari Jepang dan aku belum pernah bertemu lagi dengan Sakura hingga saat ini, aku mencintainya dan dia menungguku dengan setia di sana. Kalau aku meneruskan di Prancis sedangkan Hinata juga kuliah di sana godaannya terlalu besar, Ayah."
"Godaan apa?" Minato menggertak dengan ketus.
"Aku tak takut dengan godaan gadis manapun bahkan yang melebih kecantikan ibu, aku mencintai Sakura dan hanya tak mau mengejar-ngejar masalah. " Jari Naruto menunjuk tanah, menekankan kata-katanya. "Aku pikir itu sudah cukup bagi Ayah dan Ibu untuk memahami apa alasan yang sebenarnya."
Naruto mengatupkan jemarinya, sunyi. Dia menunduk sebelum mendengar suara ayahnya bangkit dari sofa, kembali menyanggah.
"Waktumu untuk berpikir setengah hari."
Dan usai kalimat itu usai terucap, Naruto mengangkat kepalanya. Matanya beralih pada Ibunya yang merengek pada Minato.
Holy Shit!
Jangan-jang-!
"M-Minato, kau t-tidak serius, khan? Hey, sayang?"
Ayahnya menghempaskan tangan putih ibunya tanpa menoleh hingga terdengar suara pertemuan kulit yang bak tamparan. Kushina terdiam, lantas menurunkan telapaknya seraya menatap takut-takut wajah anak tunggalnya. Minato terdiam dingin meninggalkan tanda tanya besar di atas kepala Naruto, lalu tukasnya tanpa menoleh,
"Waktumu hingga sore ini untuk berkata iya. Dan kalau tidak..."
"Jangan pernah menganggap aku ayahmu!"
Naruto sama sekali tidak merasakan petir menyambar kepalanya, namun perkataan bernada keras dari Ayah tercintanya membuatnya tersontak kaget setengah mati.
Benar-benar setengah mati.
Karena Naruto tahu 4 tahun masa kuliahnya akan benar-benar mempengaruhi seluruh sisa umur hingga kematian sejarah hidupnya.
Hyuuga Hinata.
Flashback OFF
Sakura tahu kalau cairan yang keluar dari mata dan hidungnya akan membuat kesan jijik, namun apa daya. Air mata dan ingus itu kian semakin keluar saja, dia sesenggukan.
"L-Lalu...? Hiks... Ukh! B-Bagaimana?"
Naruto menggeleng, "Aku melarikan diri. Aku memang kuliah di Sorbonne namun tidak dengan sepengetahuan orang tuaku. Aku hanya mengirimkan ijazah sarjanaku pada mereka setelah kuliahku beres, itu sudah cukup bukti pada mereka bahwa aku adalah anak berbakti yang tak akan pernah menggadaikan cintaku padamu, Sakura."
Sakura merasakan ada suasana aneh yang muncul saat Naruto mengatakan kalimat di atas, dua emerald-nya lantas membulat kaget.
"Tak mungkin, berarti kau-!"
Naruto mengangguk, "Aku bekerja,"
" Sendiri?"
Sekali lagi Naruto mengangguk.
"Berarti kau bohong waktu itu? "
Kali ini dia terdiam selama dua hitungan sebelum akhirnya mengangguk lagi. Ia menengok keadaan sekitar, memastikan tak ada yang turut campur. Lalu kembali memandang lembut gadisnya,
"Naze...?"
Dalam isaknya Sakura bertanya ,
"K-Kenapa kau tak mau jujur padaku, hiks! Ungh! Ukh! Hik..."
"Aku tahu aku salah, namun kau tenang saja." Sergah Naruto. "Kau pasti tahu kalau aku pulang bukan tanpa persiapan. 24 tahun sudah cukup untuk mendewasakan diriku, Sakura."
Sakura sadar isaknya sudah berhenti.
"A-Apa...? M-Maksudmu-?"
" Menikahimu tanpa persetujuan orang tua bukan berarti tidak ada orang yang bisa dijadikan wali. Temari Nee-Chan siap untuk menggantikan mereka berdua untuk itu. Besok aku akan datang ke rumahmu dan menyatakan pada orang tuamu kalau aku siap."
Naruto membungkuk kini di depan Sakura, diambilnya tangan gadis itu mendekat padanya lalu dikecup. Namun Sakura mencabutnya segera, membuat Naruto mengerutkan dahinya.
Dan gadis itu menggeleng, "Berarti pernikahan ini dusta, Naruto! Ini sama saja dengan membohongi semua orang dan aku tak mau seperti itu!" Sakura nyaris menjerit, kedua tangannya tertumpu di atas lutut. Naruto menghela nafasnya tatkala Sakura kembali menitikkan air matanya, dia menunduk resah sambil menggigit bibir bawahnya guna menahan isak.
"Aku...Aku benci hubungan kita seperti ini..."
SET!
.
.
.
Nyaris tanpa suara.
Sakura sadar dagunya serasa tertarik, membuatnya nyaris mendongak hingga mampu melihat pemandangan yang menarik matanya membulat. Keningnya.
Keningnya baru saja tersentuh sesuatu, lembut dan hangat.
Sakura masih belum menyadari betapa kagetnya dirinya hingga shappire itu menghentikan kalut emerald-nya dengan pancaran penuh kasih sayang. Naruto tersenyum,
Pemuda itu baru saja mengecup dahinya.
"Apa hanya karena kau takut dibicarkan orang, cintaku padamu akan berkurang?"
A-Apa... Itu...
"Apa hanya karena waliku nanti yang hadir bukan ayah dan ibuku hingga kita akan sedemikan mudah berpisah?"
N-Naruto...
"Apa hanya karena kita sudah berpisah dari tatap muka dan sentuh selama hampir 6 tahun kau jadi tak percaya betapa aku akan selalu disampingmu? Bersamamu? Menjadi cinta pertama dan terakhirku? Kita akan menjadi sosok malaikat yang menemani mimpi indah kita satu sama lain hingga di nirwana sana, kita tetap akan bersatu..."
KLEK!
Butir air mata itu kembali mengalir dari emerald Sakura, tak tertahankan seiring dengan tangah Naruto yang dengan lincah merogoh balik jaketnya, mengeluarkan kotak beludru merah terbuka dengan seuntai cincin permata indah di dalamnya.
Naruto...A-Aku...
"Will you marry me...Haruno Sakura?"
Payah...
Yang Empunya Nama hanya sungguh tak mampu menghentikan tangis meskipun pemuda pirang jabrik ini sudah mengeluarkan cengiran khasnya itu. Sakura membiarkan air matanya tetap turun tatkala dia memejamkan matanya sekali, lalu mengangguk.
Ternyata aku memang tak ditakdirkan untuk tidak bisa mencintamu...
"I do.."
Dan kalimat itu selesai dengan menghamburnya dua sosok itu kembali, hangat, mesra, sewarna ceria melebihi indahnya pelangi.
2nd Home.
Yeah, when a second Family born, there wouldn't ever someone to be down.
-(END)-
VOCAB:
Sedizioso: Durhaka (Itali)
Mind to review?
Please Click...
V
V
V
V