This is my first fanfic. Settingnya, 5 taun habis Ujian Hunter. So, ini pas Killua umur 17 taun...

Disclaimer : Hunter X Hunter adalah milik Yoshiro Togashi. Tapi, Yuriko Nishikama, dan karakter OC lainnya adalah milik saya... hehe

So, read and review yaaa... :D

Enjoy, Killua/OC...


Chapter 1

A Painful Memory


Sekarat...

Aku sekarat sekarang...

Tapi, aku terus mencoba berlari untuk mengejar orang itu dan membunuhnya.

Lama-kelamaan, rasa nyeri menjalar pada kakiku. Tapi, aku tetap memaksakannya untuk terus berlari. Hanya terdengar suara gesekan sepatuku terhadap daun-daun kering di lantai hutan, selain suara nafasku yang semakin memburu. Pikiran jika aku dapat menemukan orang itu, lalu membunuhnya, membuatku bertahan. Akhirnya, kakiku telah mencapai batas maksimunmya. Menandakan, jika ia sudah tak kuat lagi untuk berlari. Lalu, aku berjalan tertatih-tatih, menembus pepohonan yang semakin lama semakin merapat, tempat dimana orang itu menghilang tadi. Sinar bulanpun mulai menghilang dibalik rimbunnya pepohonan. Sebagian rambut hitam panjangku, menempel diwajahku karena keringat dingin di sekujur tubuhku. Aku terus berjalan dan tidak akan menyerah, sampai dapat menemukan orang itu. Aku akan menunggu, sampai kakiku tidak kuat lagi menopang berat tubuhku.

Sial! Luka tusukan pisau yang berada di bagian atas perutku, terus melebar dan mengeluarkan darah segar yang membasahi pakaianku.

Rasa sakit, kembali menyerangku. Aku berhenti berjalan. Terhuyung. Lalu aku berpegangan pada batang pohon di dekatku untuk menyangga tubuhku. Akhirnya, kakiku tak kuat lagi menopang tubuhku, aku pun roboh dengan posisi duduk bersandar pada batang pohon. Menunggu kematian menjemputku.

'Haruskah aku menyerah sekarang?' tanyaku kepada diriku sendiri.

'Ya,' balas suara lain dalam benakku.

'Tapi aku tidak bisa membiarkannya begitu saja. Aku harus membunuhnya' protesku.

'Kau, tidak bisa berbuat apa-apa lagi sekarang, selain menunggu datangnya kematian,' seru suara lain itu dalam diriku lagi.

'Benar.' Aku mengaku kalah.

Akhirnya aku memutuskan untuk menyerah.

Rasa sakit yang hebat pada lukaku, kembali menyerangku. Aku mengerang kesakitan. Berharap, kematian segera datang untuk mengakhirinya.

Di tengah rasa sakit yang kursakan, dan pikiran yang semakin tidak menentu, tiba-tiba, ingatan itu kembali berputar dalam benakku. Ingatan tentang kejadian tiga jam yang lalu. Kejadian yang menyebabkan aku disini, sekarat, dan dikuasai oleh keinginan membunuh.


"Yuriko, apakah menjadi seorang Hunter, adalah pekerjaan yang benar-benar kau inginkan? Bukankah lebih baik kau meneruskan bisnis ayah dan ibumu saja?" tanya ayahku tiba-tiba, sembari mengunyah makan malam yang sedang kami nikmati bersama, di ruang makan rumah kami, di kediaman keluarga Nishikawa.

"Benar Yuriko, kenapa kau tidak meneruskan bisnis kami, dan berhenti menjadi Hunter?" timpal Ibuku, sembari mengambil gelas, lalu mengisinya dengan air dari teko.

"Tentu saja aku ingin menjadi seorang Hunter, Ayah. Jika tidak, aku tidak akan menghabiskan 3 tahun terakhir untuk menjadi seorang Hunter," jawabku. "Kenapa Ayah dan Ibu tiba-tiba menanyakan hal ini? Bukankah, Ayah dan Ibu telah setuju, ketika aku akan mengikuti ujian Hunter 3 tahun lalu? Lagipula, aku tidak begitu tertarik dengan bisnis. Akan sangat membosankan bagiku. Duduk di kantor setiap hari, dan hanya berhadapan dengan meja yang penuh kertas. Menjadi Hunter jauh lebih menyenangkan dan menantang. Oleh karena itu, aku akan terus menjadi seorang Hunter," jelasku panjang lebar. Lalu, aku mengambil apel, dan mengupasnya dengan pisau.

"Tidak, Ayah hanya khawatir jika Ayah dan Ibu telah meninggal nanti. Siapa yang akan menjadi penerus bisnis kami?" balas ayahku sembari memandang mata cokelatku.

"Mengapa kalian harus mencemaskan hal itu sekarang? Bukankah saat kalian meninggal itu masih lama?'' tanyaku dengan heran, lalu kembali menatap ayahku.

"Tidak, tidak apa-apa. Kami hanya berjaga-jaga untuk segala kemungkinan. Tapi, coba pikirkanlah lagi Yuriko," jawab ayahku. Namun, kali ini ia menatapku dengan serius.

Sebelum menjawab, aku berpikir sejenak.

'Kemungkinan? Kemungkinan untuk apa? Mengapa mereka tiba-tiba membicarakan hal ini?' berbagai pertanyaan berkelebat di kepalaku.

Akhirnya, meskipun bingung, aku memutuskan untuk tidak bertanya lebih lanjut. Dan menjawab, "Baiklah, akan kupikirkan lagi."

"Bagus. Terimakasih Yuriko," jawab Ayahku yang sekarang tersenyum kepadaku, begitu juga dengan ibuku.

Meskipun kembali dibingungkan oleh sikap ayah dan ibuku yang tiba-tiba menjadi aneh, aku memaksakan diri untuk tersenyum kepada mereka.

Lalu kami, kembali melanjutkan makan malam.

Aku mulai memakan apel, yang kukupas tadi. Sedangkan, ayahku melanjutkan menyantap ayamnya, begitu juga dengan ibuku. Hanya dentingan pisau dan garpu yang terdengar.

Tiba-tiba aku mendengar suara langkah-langkah kaki dari luar, menuju ke ruang makan tempat kami berada.

Aku mamandang Ayah dan Ibuku, dengan tatapan bertanya. Mereka, juga sama bingungnya denganku. Karena, tidak ada seorangpun yang tinggal di rumah kami, selain kami sendiri.

Langkah kaki itu semakin mendekat, lalu, pintu ruang makan menjeblak terbuka, memperlihatkan sosok tinggi laki-laki berumur sekitar 20 tahunan, dengan rambut hitam panjang dan kulit pucat.

Aku dan kedua orangtuaku terkejut, serentak berdiri dari kursi kami, meninggalkan meja makan, dan berhadapan dengan laki-laki itu.

Lalu laki-laki itu, melangkah masuk, dan berhenti dalam jarak 5 meter dari kami.

"Siapa kau?" seru ayahku kepada laki-laki tadi.

Laki-laki itu, hanya tersenyum samar.

Tiba-tiba Ayahku tersentak, seakan menyadari sesuatu.

"Apakah kau yang mengirim blackmail kepada kami 2 hari yang lalu? Yang isinya kau akan membunuh kami?" tanya Ayahku dengan suara parau.

Tunggu. Blackmail? Membunuh kami? Ada apa ini? Kenapa mereka tidak memberitahuku? Aku 17 tahun sekarang, dan aku bukan anak kecil lagi kan? Lagipula aku sekarang seorang Hunter. Berbagai pertanyaan meledak-ledak dalam kepalaku. Aku memandang ayahku dengan penuh kemarahan. Tapi, satu-satunya fokus ayahku, adalah kepada laki-laki itu. Akhirnya aku memutuskan untuk tetap diam.

"Ya. Tapi, ada sedikit koreksi. Yang akan kubunuh hanyalah kalian berdua. Namun, jika anak itu menghalangi, dia juga akan kubunuh," laki-laki itu menjawab, tanpa ekspresi, di wajahnya yang berkulit pucat.

Aku tersentak. Tiba-tiba pemahaman menjalar pada diriku. Jadi, sebab kenapa tiba-tiba Ayahku membicarakan soal aku yang mereka inginkan menjadi penerus bisnis mereka tadi, karena mereka tahu, jika mereka akan dibunuh.

Tidak.

Itu tidak boleh terjadi.

Hening, yang terdengar hanyalah suara nafas kami yang semakin tegang.

Lalu, keheningan itu, dipecahkan oleh suara ibuku.

"Apakah kau berasal dari Keluarga Zaoldyeck?" tanya ibuku dengan wajah pucat.

"Ya," laki-laki itu kembali menjawab. Tetap masih tanpa ekspresi di wajahnya.

Aku bisa merasakan ayah dan ibuku menegang, dan serentak berdiri didepanku. Melindungiku.

"Sungguh mengharukan. Orangtua melindungi anaknya." kata laki-laki itu dengan senyum mengejek, sembari berjalan perlahan ke arah kami.

"Tapi, bukankah sudah kubilang, kalau targetku adalah kalian berdua. Jika anak itu tidak ikut campur, dia tidak perlu mati," lanjut laki-laki itu, semakin mendekat ke arah kami.

Tidak ikut campur? Bagaimana bisa? Mereka orangtuaku. Aku akan melindungi mereka.

"Yuriko, lari! Jangan pedulikan kami! Targetnya adalah kami, bukan kau. Jadi, pergilah sejauh mungkin dari sini!" ayahku berteriak kepadaku.

"Benar Yuriko, dengarkan ayahmu. Jangan pedulikan kami!" seru ibuku.

Aku berdiri mematung, tidak beranjak dari tempatku.

Menatap kedua orangtuaku, yang masih berada di depanku, untuk melindungiku.

Tidak.

Aku tidak akan meninggalkan mereka. Aku yang akan melindungi mereka. Walau harus mati.

"Yuriko, tunggu apa lagi? Cepat lari!" teriak ayahku kembali, sambil mengambil sebilah pisau dari meja makan dan melemparkannya ke laki-laki tadi yang semakin mendekat.

Dengan mudah, laki-laki itu menangkapnya dengan sebelah tangan, lalu menjatuhkannya ke lantai, sembari berkata, "Terlalu lambat."

Lalu ia menerjang ke arah ayahku. Dengan segera aku melompat diantara mereka dan mencoba menghentikan laki-laki itu. Tapi, pemuda itu terlalu cepat. Ia melemparku ke dinding dengan kekuatan nen yang luar biasa. Akupun terkapar di lantai, dengan rasa sakit di sekujur tubuhku.

Baru kali ini aku berhadapan dengan orang yang memiliki nen sekuat itu.

"Yuriko!" kedua orangtuaku berteriak.

Lalu mereka berdua menerjang laki-laki tersebut. Dan dengan mudah, laki-laki itu memegang kedua orangtuaku pada leher mereka di kedua tangannya masing-masing. Lalu dengan perlahan mengangkat mereka.

Wajah orangtuaku mulai membiru, nafas mereka, tersengal-sengal.

Sedikit lagi ia menekankan jarinya ke leher kedua orangtuaku, mereka akan mati.

"Hentikan!" teriakku kepada laki-laki itu. Tidak. Dia tidak boleh membunuh orangtuaku. Aku mencoba bangkit. Tapi gagal. Sial! Apa yang harus kulakukan?

"Baiklah, aku berubah pikiran. Karena kau ikut campur, kau akan kubunuh juga nanti. Tenang saja, sebentar lagi giliranmu akan tiba." Kata laki-laki itu, memandangku.

"Yuriko... Lari..." Pinta ayahku dengan nafas yang semakin tersengal-sengal.

Bersamaan dengan itu, laki-laki itu menekankan jarinya ke leher orangtuaku. Dan dalam sekejap, suara nafas mereka sudah tak terdengar lagi. Mereka menggantung lemas di kedua tangan laki-laki itu. Lalu, dengan wajah tanpa ekspresi, ia menjatuhkan mayat kedua orangtuaku ke lantai.

"TIDAK! AYAH! IBU!" teriakku.

Aku masih mencoba mengingkari kenyataan bahwa mereka sudah tak bernyawa.

Tapi, aku melihatnya.

Mereka terbaring di lantai.

Tak bergerak.

Lalu aku menyadari, jika aku tak bisa mengelak lagi dari kenyataan.

Mereka telah tiada.

Dan aku, tidak akan pernah lagi bertemu dengan mereka.

Air mata mulai mengalir dari kedua mata cokelatku.

"Anak bodoh, tidak ada gunanya menangis. Mereka tidak akan kembali. Toh, kau juga akan segera menyusul mereka." ejek laki-laki itu.

Lalu, dengan dikuasai oleh kemarahan, aku bangkit melawan rasa sakit di tubuhku. Dan menerjang laki-laki itu. Namun aku membeku ketika merasakan sebilah pisau menusuk perutku. Aku menunduk, dan melihat jika ia menusukku dengan pisau yang digunakan Ayahku, untuk menyerangnya tadi.

Sial! Kapan ia mengambilnya dari lantai? Dia benar-benar sangat cepat. Kenapa aku begitu ceroboh untuk tidak memperhatikannya?

Lalu, aku roboh, bersandar pada dinding ruang makan.

"Itu sudah cukup untuk membunuhmu. Tinggal menunggu, hingga kau kehabisan darah. Nikmatilah sisa hidupmu dan berterimakasihlah kepadaku, karena aku tidak membiarkanmu mati terlalu cepat." laki-laki itu tersenyum dan berbalik pergi meninggalkanku, bersama mayat kedua orangtuaku.

"Kau! Akan Kubunuh kau! Jangan lari!" teriakku. Aku terhuyung, sambil menahan sakit, aku mencabut pisau yang tertancap di perutku. Seketika itu juga, darah segar mengalir dari luka itu.

Dengan sisa kekuatan yang kumiliki, aku bangkit, dan berusaha mengejarnya.

Tanpa memerdulikan rasa sakit yang menusuk-nusuk pada lukaku, aku berlari keluar dari rumahku, dan mengejarnya. Dimana ia berjalan menuju ke hutan, di dekat rumahku.

Bagaimanapun, aku harus membunuh laki-laki itu.


Disadarkan kembali oleh rasa sakit yang semakin parah pada lukaku, aku kembali ke masa kini. Rasa sakit ini, tidak ada apa-apanya dibanding perasaan sedih, marah, kehilangan, dan keinginan untuk balas dendam yang bercampur jadi satu dalam diriku.

Andai kejadian itu tidak pernah terjadi, aku masih akan berkumpul dengan ayah dan ibuku sekarang. Menikmati makan malam, sambil bercengkerama dan bercanda. Akan ada ibu yang akan selalu tersenyum padaku. Dan akan ada ayah yang selalu memperhatikanku.

Sekarang, tidak akan ada lagi orang yang akan melindungiku, dan tidak akan ada lagi orang yang menyayangiku, seperti yang telah kedua orangtuaku lakukan kepadaku.

Air mata mulai mengalir lagi dari kedua mataku.

Semua, karena orang itu. Orang yang berasal dari keluarga Zaoldyeck itu, telah merampas semua yang berharga dariku: orang tuaku, dan kini hidupku, yang sebentar lagi akan berakhir.

Benar...

Berakhir...

Lalu aku akan bertemu dengan orangtuaku lagi.

Sebentuk senyum kecil merekah di bibirku.

Kini aku hanya harus menunggu, sampai kematian datang menjemputku.

Pepohonan lebat dan langit malam, akan jadi hal terakhir yang akan kulihat.

Dinginnya angin yang berhembus dan sakit pada lukaku, akan jadi hal terakhir yang kurasakan.

Begitu juga dengan suara dedaunan yang bergemerisik dihembus angin, dan suara detak jantungku yang semakin melemah, akan jadi hal terakhir yang akan kudengar.

Semua itu akan segera meninggalkanku.

Andai aku hidup, aku akan terus mengejar orang itu dan membunuhnya, seperti ia membunuh kedua orangtuaku. Namun, aku tidak bisa melakukan apa-apa, karena sebentar lagi nyawaku akan meninggalkan tubuhku.

Lalu tiba-tiba semuanya menjadi gelap.

Inilah saatnya...

Akhirnya, kematian telah datang menjemputku, untuk mengantarkanku bertemu dengan orangtuaku...


End Of Chapter 1


Akhirnya selese juga, abis 2 hari melototin laptop buat nulis fanfic chapter 1 ini... :D

Gimana?

Bagus gak?

Kepanjangan gak?

hehe

Emang sih, tokoh utama yang satu lagi belum muncul, di chapter 1 ini...

Tapi, paling nggak kan, kakaknya ud muncul... hehe

Ya, benar, Illumi Zaoldyeck-lah yang membunuh kedua orangtua Yuriko...

Don't worry, Killua Zaoldyeck, bakal muncul di chapter selanjutnya...

Di chapter 2, bakal nyeritain pertama kali Yuriko Nishikama ketemu Killua Zaoldyeck...

So, wait for the 2nd chapter : First Impression

Tolong di Review yaaaaa... :D

Karena, saya membutuhkan kritik dan saran di fanfic saya yang pertama ini, juga untuk nglanjutin chapter 2nya... hehe

Thx