Thanks for the review for the previous chapter ^^
Review kalian buat aku semangat nglanjutin ni fanfic ^^
Oke, langsung aja yaaa...
This is the 2nd chapter...
Enjoy ^^
Disclaimer : I don't own Hunter X Hunter except the OC
Chapter II
First Impression
"Masuk, Illumi," kata seorang laki-laki berambut cokelat pendek yang kira-kira berusia sekitar 20 tahunan. Laki-laki itu, duduk membelakangi pintu dengan menghadap jendela, sembari memandang matahari yang mulai terbenam di langit senja. Lalu ia memutar kursi yang didudukinya, yang berada di belakang meja kerjanya ke arah pintu.
Pintu terbuka, memperlihatkan sosok laki-laki, yang dipanggil Illumi. Ia berjalan masuk, dan berhenti di depan meja kerja laki-laki yang menyuruhnya masuk tadi.
"Langsung ke pokok permasalahan. Seperti yang kuberitahukan di telpon kemarin. aku ingin kau membunuh keluarga Nishikawa. Apakah kau sudah mengirim blackmail kepada mereka?" tanya laki-laki berambut cokelat itu.
"Ya, aku mengirimnya kemarin. Kapan kau ingin aku membunuh mereka, Ken?" Tanya Illumi dengan suara datar.
"Lebih cepat lebih baik, ingat, kau tidak boleh membunuh putrinya, Yuriko Nishikama, jika tidak sangat terpaksa."
"Tapi, jika ia menghalangiku untuk membunuh orangtuanya, aku akan membunuhnya," balas Illumi.
"Kurasa, orangtuanya cukup pintar untuk tidak melibatkannya. Apalagi, setelah kau mengirim blackmail kepada mereka kemarin. Aku yakin, mereka akan melindungi putrinya."
"Baik, aku akan melakukannya malam ini juga. Kurasa, kau sudah tahu harga untuk menyewa pembunuh bayaran dari keluarga Zaoldyeck kan?" tanya Illumi.
"Jangan khawatir Illumi, setelah kau menyelesaikan tugasmu, aku akan mengirimnya kepadamu."
"Baiklah, aku pergi sekarang, Ken," kata Illumi sambil berbalik lalu berjalan ke arah pintu, dan menutupnya.
Lalu Ken memutar kursinya lagi ke arah jendela di belakangnya, kembali memandang langit senja, sembari berkata kepada dirinya sendiri, "Kuharap, rencanaku berjalan dengan baik."
Hangat...
Aku merasakan kehangatan menyelimuti tubuhku...
Inikah kematian?
Tapi, kenapa aku masih merasakan sakit pada lukaku?
Aku merasakan berbaring pada sesuatu yang lembut. Dan sepertinya, tubuhku ditutupi oleh selimut. Pelan-pelan aku membuka mataku. Lalu, aku melihat samar-samar atap yang terbuat dari kayu.
Aku memiringkan kepalaku ke kanan. Tampak sebuah ruangan berdinding dan lantai, yang semuanya juga terbuat dari kayu. Ruangan itu sangat sederhana. Hanya ada sebuah lemari dan sepasang meja kursi, di samping pintu, serta tempat tidur, tempatku berbaring, yang menempel dengan dinding. Langit malam yang kelam, dan bintang-bintang, terlihat dari jendela yang berada di sampingku.
Kurasa, surga tidak mungkin seperti ini.
Berarti, aku belum mati.
Lalu, mengapa aku disini?
Ketika aku berusaha mengingatnya, tiba-tiba kelebatan-kelebatan memori, berputar di kepalaku.
Pembunuhan terhadap orangtuaku, laki-laki dari keluarga Zaoldyeck yang sedang kukejar untuk membunuhnya, dan hutan tempatku sekarat...
Dan beberapa saat kemudian, akhirnya aku dapat mengingat semuanya...
Ya, aku harus mengejar dan membunuh laki-laki itu...
Tiba-tiba, aku mendengar suara pintu terbuka. Pikiranku teralih. Aku memiringkan kepalaku ke arah pintu, untuk melihat siapa yang datang. Dan aku melihat seorang laki-laki yang kira-kira seumuran denganku. Kedua tangannya berada di saku celananya. Dengan rambut putih berantakan, dan kulit berwarna krim, yang sama denganku.
"Hei, rupanya kau sudah sadar." Sapanya sambil berjalan menuju tempat tidur tempatku berbaring, dan berhenti disampingnya. Dia memandangku. Matanya berwarna hijau, dengan wajah datar.
Wajah tanpa ekspresi itu, mengingatkanku pada laki-laki yang membunuh orangtuaku.
Membuatku muak.
Mungkin, karena itulah aku bertanya dengan nada yang agak tinggi, "Siapa kau?"
"Bisakah kau bersikap lebih sopan kepada orang yang menyelamatkan nyawamu?" tanyanya datar.
"Aku tidak, memintamu menyelamatkan nyawaku. Jadi, kenapa aku harus bersikap sopan?" balasku masih dengan nada tinggi.
"Jika kau lebih senang sekarat di tengah hutan, aku bisa membuatmu sekarat dengan mudah sekarang juga, karena kau dalam keadaan tak berdaya sekarang. Lalu, aku akan meninggalkanmu di hutan setelahnya. Bagaimana? Bukankah itu ide yang bagus?" katanya dengan sedikit tersenyum.
Sial! Kenapa ia harus tersenyum?
Entah mengapa, Begitu ia tersenyum, ia tampak lebih manusiawi. Bukan seperti kesan pertamaku padanya setelah melihatnya dengan wajah datar tadi, yang mengingatkanku, pada laki-laki yang membunuh orangtuaku.
Yang jelas, aku menyukai caranya tersenyum.
Kenapa aku jadi memikirkan hal yang bukan-bukan?
Lalu, aku menyadari, jika aku tak punya alasan untuk terus bersikap ketus seperti ini padanya. Meskipun wajah datarnya mengingatkanku dengan orang yang membunuh orangtuaku, tapi, bagaimanapun dia bukan orang yang telah membunuh orangtuaku. Bahkan dia adalah orang yang menyelamatkanku.
Karena itu, aku merendahkan suaraku. "Baiklah, aku minta maaf karena telah bersikap tidak sopan kepadamu."
"Kenapa tiba-tiba nadamu jadi melunak? Kau benar-benar takut aku membuatmu sekarat ya? Kau benar-benar sedang tidak berdaya sekarang." ejeknya, sehingga membuatku menyesal telah meminta maaf kepadanya barusan.
"Kau ingin aku bicara dengan nada tinggi seperti tadi lagi?" balasku.
"Kenapa kau kembali bertanya? Kau seharusnya menjawab pertanyaanku terlebih dulu."
"Bisakah kau tidak membuat segalanya menjadi semakin rumit?" tanyaku putus asa.
"Aku tidak merasa membuatnya rumit. Kau yang memulainya."
Tuhan, berilah hambamu kesabaran untuk menghadapi orang seperti ini.
"Cukup. Aku tidak mau menghabiskan energiku untuk berdebat denganmu." Akhirnya aku berkata.
"Kurasa kau benar, aku juga tidak ingin membuang-buang waktuku, ngomong-ngomong, apa kau tidak ingin tahu dimana kau sekarang?"
Aku tersentak, berbicara dengannya, membuatku melupakan segalanya.
"Dimana aku sekarang?" tanyaku segera.
"Kau berada di rumah Gon, teman baikku."
"Dan bagaimana kau menemukanku di hutan?" tanyaku lagi.
"Aku dan Gon, sedang dalam perjalanan pulang dari memancing di sungai dekat hutan tempatmu berada. Lalu kami menemukanmu, dan membawamu kemari. Yang mengobati lukamu, adalah Leorio, seorang dokter, teman kami. Dia kebetulan, sedang berkunjung kesini saat kami menemukanmu. Lalu yang merawatmu selama tiga hari ini, adalah neneknya, dan Bibi Mito, bibinya Gon." jelasnya dengan suara datar.
"Lalu, di mana mereka sekarang?"
"Leorio sudah kembali ke Yorkshin City kemarin. Bibi Mito, Gon, dan neneknya, kurasa, mereka masih tidur. Kalau kau belum tahu, ini masih pukul satu dini hari."
"Pukul satu dini hari? Lalu, kenapa kau tidak tidur?"
"Aku tidak bisa tidur."
"Mengapa kau kemari, kalau kau tidak bisa tidur?"
"Aku tidak tahu, kakiku yang membawaku kesini. Lagipula, jika aku datang kemari, mungkin kau sudah sadar, dan aku bisa menemukan orang untuk diajak bicara. Paling tidak, aku bisa melakukan sesuatu," jawabnya.
"Kurasa kau harus berterimakasih padaku, karena aku sadar di waktu yang tepat, untuk bisa menemanimu bicara. Tapi, kupikir, berdebat, adalah kata yang lebih tepat daripada bicara," balasku.
Ia menjawabnya dengan senyum kecil.
Kurasa ia tampak manis.
Hei, apa yang barusan kupikirkan tadi? Apakah aku bilang ia tampak manis? Pasti pikiranku mulai terganggu.
Lalu, aku sadar telah memandanginya sejak tadi. Dan ia juga memandangku dengan mata hijaunya. Aku buru-buru mengalihkan pandanganku ke atap di atasku.
Sesaat, aku merasa canggung. Lalu, untuk menutupinya, aku segera bertanya kepadanya, "Sudah berapa lama aku berada disini?"
"Tiga hari."
"Apa? Tiga hari?" Rasa canggungku telah digantikan dengan rasa terkejut.
"Ya, tiga hari. Dan kau masih harus beristirahat sampai setidaknya 2 minggu lagi, agar lukamu benar-benar sembuh. Begitulah kata Leorio."
"Tidak, tidak bisa. Aku punya urusan yang harus segera kuselesaikan."
'Untuk membunuh laki-laki itu,' tambahku dalam hati.
"Biar kutebak, apa urusan yang kau maksud adalah membunuh seorang laki-laki, karena laki-laki itu telah membunuh orangtuamu?" tanyanya tepat sasaran.
"Bagaimana... Bagaimana... kau bisa tahu? Apakah kau bisa membaca pikiran orang?" tanyaku terkejut sembari memandangnya dengan tatapan tidak percaya.
"Tidak, aku tidak punya kemampuan seperti itu meskipun aku ingin. Tapi bagaimanapun, semua orang yang mendengarmu mengigau, tentang membunuh seorang laki-laki karena dia membunuh orangtuamu, pasti akan tahu."
Sial!
Aku pasti tampak bodoh waktu itu.
"Berarti, seisi rumah ini sudah tahu?"
"Kurasa aku bisa menyimpulkan jika hanya aku yang tahu. Karena, kemarin saat aku kemari untuk melihat kedaanmu, aku kebetulan mendengarmu mengigau, mengatakan kata-kata seperti, 'Aku harus membunuhnya' dan 'Dia telah membunuh orangtuaku'. Jika seisi rumah ini tahu, mereka akan membicarakannya. Tapi, sampai tadi malam, aku tidak mendengar mereka membicarakannya. Jadi, kupikir mereka tidak tahu. Kurasa kau harus bersyukur karena hanya mengigau di depanku." katanya santai.
Baiklah, ini tampak membuatku dua kali lebih bodoh. Apalagi, setelah ia menceritakan detailnya.
"Maukah kau berjanji untuk tidak menceritakannya kepada siapapun?" pintaku.
"Baiklah. Apakah kau benar-benar ingin membunuhnya, sampai kau mengigau tentangnya seperti itu?" tanyanya.
"Tentu saja, aku ingin membunuh laki-laki itu. Dia membunuh orangtuaku. Oleh karena itu, aku harus segera mencarinya besok," kataku bersungguh-sungguh.
"Kau bercanda? Dengan keadaan seperti itu, bahkan kau tidak bisa bangun dari tempat tidur. Yang akan terjadi jika kau masih nekat membunuh laki-laki itu sekarang adalah, kau yang akan mati terlebih dulu karena lukamu akan membuka lagi jika kau terlalu banyak bergerak."
"Siapa bilang?" Aku membantahnya sambil mencoba duduk, dari posisi berbaringku. Tapi, rasa sakit pada lukaku, menghalangiku. Aku meringis menahan sakit.
"Bukankah sudah kubilang tadi? Kurasa, mau tidak mau kau harus menahan keinginan balas dendammu, sampai kau sembuh total. Kau tidak punya pilihan lain."
Meskipun aku benci mengakuinya, tapi, yang ia katakan cukup masuk akal.
"Baiklah, kau benar kali ini," akhirnya aku berkata.
"Sepertinya, aku tidak hanya benar kali ini, kurasa selama kita berbicara dari tadi, aku selalu mengatakan sesuatu yang benar," katanya santai.
Orang ini benar-benar menyebalkan. Aku berusaha memikirkan kalimat untuk membalasnya.
"Tidak, kau salah saat tadi..." Kata-kataku terputus, mencoba mengingat-ingat kapan ia mengatakan sesuatu yang salah. Tapi aku tidak bisa menemukan kapan ia mengatakan sesuatu yang salah.
Sial! Apa yang dia katakan benar.
"Kau lihat, bahkan kau tak bisa menyangkalnya." katanya dengan senyum mengejek.
"Baiklah, kau selalu benar. Senang? Dan tolong, jangan mulai lagi." ujarku putus asa.
Bibirnya, membentuk senyum kecil, sebelum berkata, "Kurasa aku sudah mengantuk sekarang. Dan kurasa kau juga perlu istirahat. Aku pergi sekarang."
"Tunggu, siapa namamu? Aku tak tahu harus memanggilmu apa saat kita sedang berdebat," tanyaku sebelum ia berbalik.
"Killua."
"Hanya Killua? Kau tidak punya nama keluarga?"
"Punya. Tapi, apa kau akan memanggilku dengan nama keluargaku? Lagipula aku membencinya." ia menjawab dengan dingin.
"Kenapa?" tanyaku kaget.
"Aku tidak mau membicarakannya sekarang." jawabnya masih dengan nada dingin.
Kurasa, dia benar-benar tidak suka, membicarakan keluarganya.
"Baiklah, aku tidak akan memaksamu," akhirnya aku berkata pelan.
Hening sejenak, sampai ia berbicara.
"Kurasa aku harus mengetahui namamu juga."
Syukurlah nadanya telah kembali normal.
"Aku Yuriko Nishikama. Kau bisa memanggilku Yuriko."
"Baiklah Yuriko, seperti kataku sebelumnya, aku sudah mulai mengantuk, dan kau perlu istirahat. Aku pergi sekarang." katanya sambil berbalik, lalu berjalan menuju pintu.
"Killua..." panggilku.
"Mmmm?" ia menghentikan langkahnya, dengan kedua tangannya tetap berada di saku celananya dan menolehkan kepala ke arahku.
Sejenak, aku ragu mengatakannya. Tapi, meskipun dia orang yang menyebalkan, dia telah menyelamatkan nyawaku. Aku masih diam dan berpikir.
Ia memandangku, menungguku mengatakan sesuatu.
Baiklah, aku harus mengatakannya bagaimanapun juga.
"Terima kasih," akhirnya aku mengatakannya.
Sejenak ia menatapku dengan rasa ingin tahu, sebelum menjawab, "Sama-sama." Lalu, ia tersenyum. Senyum itu bukan senyum ejekan, seperti yang kebanyakan dilakukannya tadi. Tapi, senyum tulus yang tidak pernah kulihat sebelumnya.
Dan aku pun membalas senyumnya, sebelum ia kembali berbalik, dan berjalan menuju pintu, lalu menutupnya.
Setelah itu, aku tenggelam dalam pikiranku sendiri.
Killua...
Orang yang menarik, meskipun agak menyebalkan. Tapi, sebenarnya dia menyenangkan dengan caranya sendiri. Setidaknya, begitulah kesan pertamaku padanya.
Tapi, kenapa dia membenci keluarganya? Dia juga benar-benar tidak suka membicarakan mereka. Aku benar-benar ingin tahu kenapa. Kurasa aku harus mencaritahunya besok.
Aku tetap terjaga, sampai rasa kantuk menyerangku, dan tak lama kemudian aku terlelap.
"Mereka sudah mati, Ken," kata sebuah suara.
"Bagus, Illumi. Kau melaksanakan tugasmu dengan baik," balas seorang laki-laki yang duduk di depan meja kerjanya. Ia tersenyum dan wajahnya terlihat puas. Lalu, ia menutup telponnya.
Akhirnya, saingan perusahaannya yang selama ini berbuat curang kepadanya, hilang.
Akhirnya, ia bisa memiliki Yuriko Nishikama. Ini seperti sekali mendayung, dua pulau terlampaui.
Yuriko... Gadis yang selama ini memenuhi pikirannya.
Sementara itu, 50 kilometer dari tempat Ken berada, Illumi menutup telponnya, sembari berkata dalam hati, 'kurasa aku tidak memberikan laporan secara lengkap kepada Ken, tapi biarlah. Lebih baik aku tidak memberitahunya, sampai ia mengetahuinya sendiri, jika Yuriko Nishikama telah mati.'
Aku terbangun paginya, saat secercah sinar matahari menembus masuk melalui jendela kaca di sampingku.
Aku mencoba untuk duduk, meskipun rasa sakit pada lukaku belum sepenuhnya hilang. Akhirnya, setelah berusaha keras, aku berhasil duduk, meluruskan kakiku di atas tempat tidur, dan bersandar pada kepala tempat tidur.
Lalu, aku mendengar suara pintu terbuka.
"Hai Yuriko, selamat pagi. Bagaimana keadaanmu?" sapa seorang anak laki-laki berambut hitam jabrik yang kelihatannya juga seumuran denganku, dengan ceria.
"Pagi... Kurasa sudah membaik. Eh, Bagaimana kau tahu namaku?" tanyaku.
"Killua yang memberitahuku kemarin. O iya, kenalkan, aku Gon," katanya sambil nyengir.
"Berarti, kau teman Killua kan? Killua juga sudah memberitahuku kemarin."
"Benar. Dia teman dekatku," katanya riang.
"Mmm... Ngomong-omong, terimakasih ya, Gon, sudah menolongku."
"Sama-sama. Tapi sebenarnya Killua lah yang menyelamatkan nyawamu. Dia tidak hanya membawamu keluar dari hutan, dia juga mendonorkan darahnya untukmu. Karena kau membutuhkan banyak darah saat itu, dan di antara kami tidak ada yang mempunyai golongan darah yang sama denganmu, setelah Leorio memeriksa golongan darahmu. Hanya Killua yang mempunyai golongan darah B, seperti golongan darahmu."
Aku tersentak. Apakah spesies orang seperti Killua mungkin melakukannya? Sulit membayangkan orang dengan wajah dingin dan tanpa ekspresi sepertinya, memberikan darahnya pada orang lain. Meskipun dia kadang menyenangkan. Tapi perbandingan antara menyebalkan dan menyenangkan pada dirinya, adalah 10:1.
"Kenapa dia tidak memberitahuku?" tanyaku kemudian, masih terkejut.
"Kurasa dia tidak menganggapnya terlalu penting," jawab Gon apa adanya.
"Dimana dia sekarang?"
"Mungkin, sedang jalan-jalan diluar."
Sial! Cukup sulit untukku mengatakan terimakasih kepadanya tadi malam, dan sekarang, kurasa aku harus berterimakasih lagi padanya. Darahnya, mengalir di pembuluh darahku sekarang dan ia menyelamatkanku dua kali. Kurasa aku harus menemuinya sekarang.
Aku mencoba turun dari tempat tidur, dan berdiri. Tapi rasa sakit pada lukaku yang belum sembuh, kembali menyerangku. Akhirnya aku menyerah. Kupikir aku bisa menemuinya nanti.
"Kurasa kau harus tetap berada di tempat tidur. Begitulah kata Leorio. Ngomong-omong, tadi Kurapika berkata, jika kau tidak usah mengkhawatirkan tentang tugas yang diberikannya untukmu beberapa waktu lalu. Sekarang, tugasmu, hanya harus sembuh," jelas Gon.
"Baiklah, sampaikan terimakasihku pada Kurapika ya. Tapi, tunggu, kau juga mengenal Kurapika?"
"Iya, Kurapika juga teman baikku," katanya cerah.
"Berarti, kau juga seorang Hunter?"
"Benar. aku, Killua, Kurapika dan Leorio bersama-sama mengikuti ujian Hunter lima tahun yang lalu," kata Gon. "Kau tahu, meskipun ujian Hunter itu sulit, tapi, saat menjalaninya bersama mereka, itu benar-benar menyenangkan," tambahnya dengan tersenyum.
Mmmm.. Ternyata Killua juga seorang Hunter.
"Ngomong-ngomong, kapan Kurapika kemari?"
"Tadi, pagi-pagi sekali, sekitar 2 jam yang lalu. Tadinya, ia kemari untuk berkunjung, tapi begitu dia melihatmu, dia langsung kembali ke Yorkshin City, untuk mencari Hunter lain guna menggantikanmu melakukan tugasmu kurasa," jelasnya.
"Sepertinya aku harus minta maaf pada Kurapika, karena, gara-gara aku, ia jadi repot sekarang," aku merasa bersalah.
"Jangan khawatir. Seperti kata Kurapika, kau hanya harus sembuh sekarang," kata Gon menenangkan.
"Baiklah," aku tersenyum. "Eh, kau tidak kembali ke Yorkshin City juga?"
"Tidak, aku dan Killua sedang berlibur di sini, setelah melakukan misi berat beberapa waktu lalu," jawab Gon.
Entah kenapa, aku senang Killua tetap disini dan tidak cepat-cepat kembali ke Yorkshin City.
Lalu, aku mendengar langkah-langkah kaki mendekat dan seseorang muncul di ambang pintu yang belum ditutup Gon tadi.
"Selamat pagi Yuriko, kurasa kau harus makan sekarang." sapa seorang wanita berambut cokelat pendek, dengan suara ramah. Dia membawa meja kecil yang diatasnya terdapat berbagai macam makanan, lalu meletakannya di hadapanku.
"O iya, ini Mito-san, Yuriko. Bibiku." Gon mengenalkan.
"Terimakasih Mito-san, sepertinya aku merepotkan kalian semua."
"Jangan bicara seperti itu, kami senang membantumu kok. Pokoknya, hanya harus disini sampai kau sembuh," kata Bibi Mito. Lalu ia melanjutkan, "Baiklah, aku pergi dulu ya, aku akan membuka toko terlebih dahulu."
"Iya, terimakasih Mito-san..."
"Sama-sama Yuriko," kata Bibi Mito tersenyum, sambil berbalik meninggalkan kamar.
"Gon, Bibimu baik sekali ya," kataku setelahnya.
"Begitulah Mito-san." Jawab Gon dengan tersenyum.
Tiba-tiba aku teringat sesuatu yang mengganjal pikiranku malam tadi.
Aku benar-benar ingin tahu kenapa. Tapi, haruskah kutanyakan pada Gon?
Jika tidak kepada Gon, lalu kepada siapa lagi aku harus bertanya?
Kurasa, dia satu-satunya orang yang dekat dengan Killua. Setidaknya, begitulah kata Killua tadi malam.
Mmm... Baiklah, aku akan mencobanya.
"Gon, katamu tadi, kau teman dekat Killua 'kan?" akhirnya aku bertanya.
"Iya, benar. kami telah bersahabat sejak lima tahun lalu. Ada apa?" Tanyanya ingin tahu.
Kuharap, Gon tahu alasannya...
"Mmm... Apakah kau tahu, kenapa Killua membenci keluarganya?" tanyaku pelan.
"Kenapa kau tiba-tiba bertanya hal seperti itu?" Gon terlihat sedikit terkejut.
"Sebenarnya tidak apa-apa sih. Tapi kemarin, Killua mengatakan, jika ia membenci keluarganya. Dan setelah kutanya kenapa, dia bilang, jika dia tidak mau membicarakannya," aku menjelaskan.
"Kurasa, kau harus mendengarnya dari Killua sendiri," balas Gon seakan enggan menjawabnya.
"Gon! Tolong kemari sebentar, bantu bibi memindahkan beberapa barang." Tiba-tiba suara Mito-san terdengar.
"Baik Mito-san," balas Gon segera.
"Yuriko, sepertinya aku harus membantu Mito-san. Aku pergi dulu yaa... Kalau kau butuh sesuatu, bilang saja," kata Gon. Sepertinya, ia terlihat lega, karena punya alasan untuk tidak membicarakannya lebih lanjut.
"Iya Gon, terimakasih ya." Akhirnya aku berkata.
Lalu ia menutup pintu, meninggalkanku dengan rasa penasaran.
Kenapa Killua membenci keluarganya?
Bahkan, Gon tidak mau mengatakannya.
Kurasa, aku harus mencari tahunya sendiri. Kataku dalam hati, sembari mulai menyantap makanan yang dibawa Mito-san tadi.
End Of Chapter 2
Fuihhh... Akhirnya selese juga...
Nulis ni chapter, ternyata butuh waktu 2 kali lebih lama dari chapter sebelumnya...
But, it's alright...
Seperti yang kalian baca, di ni chapter, muncul seorang tokoh OC saya, yang bernama Ken. Untuk mengetahui bagaimana Ken bisa mengenal Yuriko, bisa dibaca di chapter selanjutnya^^
Btw, apa pendapat kalian tentang percakapan Yuriko dan Killua?
Apakah aneh? hehe
O iya, mungkin saya ngupdate chapter 3nya agak lamaan dikit, soalnya meskipun saya disini sebagai author yang ingin segera mengupdate, tapi, saya juga berperan sebagai siswa SMA biasa, yang harus menjalani ujian tengah semester T_T huhu.
Tapi saya akan berusaha untuk segera mengupdate sehabis ujian...
So, wait for the 3rd chapter ^^
Oke, seperti sebelumnya, saya masih membutuhkan kritik dan saran buat ni chapter. So, tolong di review yaaaa ^^
Thx