Sebelumnya, author ingin meminta maaf, untuk update yang lumayan lama... hehe

And thanks to, Kiyui Tsukiyoshi and Kay Inizaki-chan for reviewing the 2nd chapter^^

Review kalian buat aku semangat nglanjutin ni fanfic^^

Disclaimer : Hunter X Hunter is still Yoshihiro Togashi's

Oke, inilah chapter 3 ^^


Chapter 3

Memory


Malam itu, seorang anak perempuan yang berusia kira-kira 16 tahun, terlihat berlari tergesa-gesa, menerobos kerumunan orang.

"Yuriko! Yuriko! Dimana kau?" teriak ibu anak perempuan itu dengan wajah bingung.

'Aku tak mau menghabiskan waktu dengan orang-orang konyol ini. Mereka selalu saja membicarakan bisnis. Kalau saja, tadi ibu tidak memohon-mohon padaku untuk ikut, aku tidak akan mau datang dan memakai gaun mengerikan ini.' Keluh Yuriko dalam hati, sembari terus berlari mencari tempat dimana ia tak harus mendengar segala omong kosong tentang bagaimana cara mengatasi krisis perusahaaan.

'Sial! berlari memakai gaun dan sepatu berhak tinggi seperti ini sungguh merepotkan,' keluh Yuriko lagi.

BRUK! Yuriko menabrak seseorang. Ia yang sejak tadi sibuk dengan pikirannya sendiri, tidak melihat ada seorang laki-laki di depannya. Keduanya pun terjatuh di lantai.

"Aduh!" kata Yuriko sambil mengelus pantatnya yang menghantam lantai.

"Kau tak apa-apa?" Laki-laki yang ditabraknya tadi bertanya khawatir. Ia bangkit dan berlutut di hadapan Yuriko.

"Tidak, aku tak apa-apa." kata Yuriko sembari bangkit berdiri, diikuti laki-laki itu.

'Hari ini benar-benar menyebalkan,' pikir Yuriko.

"Maaf," gerutu Yuriko.

"Tidak apa-apa kok," jawab laki-laki itu tersenyum, sambil memandang wajah Yuriko. Rambut pajangnya yang hitam, digerai begitu saja sehingga jatuh ke pundaknya. Membingkai sebentuk wajah berwarna krim, dengan riasan sederhana.

'Ia sangat cantik,' pikir laki-laki itu kemudian, lalu ia memandang gaun pesta yang dikenakan Yuriko. "Kau salah satu tamu undangan kan? Mengapa tidak menikmati pesta perusahaan bersama tamu lainnya?" tanya laki-laki itu.

"Mmmm... Aku bosan di dalam. Aku sedang mencari udara segar," Yuriko berusaha menemukan alasan yang tepat.

"Sebenarnya aku juga agak bosan sih. Mau kutemani jalan-jalan?" tawarnya.

Sejenak, Yuriko ragu. Tapi ia merasa tidak punya alasan untuk menolaknya. Lagipula, yang diinginkannya sekarang hanyalah berada sejauh mungkin dari tempat pesta.

"Baiklah," akhirnya Yuriko berkata.

Merekapun berjalan menuju taman, menjauhi gedung tempat dimana pesta sedang berlangsung.

"Siapa namamu?" Laki-laki itu bertanya kepada Yuriko.

"Yuriko Nishikama. Kau?"

'Nishikama? Sepertinya aku sering mendengar ayahku membicarakannya,' pikir laki-laki itu.

"Aku Ken Shojirou," akhirnya ia menjawab.

"Mmm. Berapa usiamu?" Yuriko bertanya setelah memandang Ken sejenak. 'Ia terlihat dewasa dengan memakai jas pesta itu, ditambah, dengan perawakan tingginya,' pikir Yuriko

"Sembilan belas tahun," jawab Ken.

"Kukira usiamu di atas dua puluh tahun," balas Yuriko.

"Apakah aku tampak setua itu?" tanya Ken dengan sedikit kaget.

"Kurasa itu karena penampilanmu yang seperti orang-orang dewasa di dalam."

"Itu berguna jika kau ingin membaur bersama mereka. Berapa usiamu?"

"Enam belas tahun," jawab Yuriko.

"Sama seperti kelihatannya" komentar Ken sembari tersenyum, sebelum melanjutkan, "Ngomong-omong kau pasti tidak suka pesta ini."

"Ya, pesta perusahaan ini membuatku muak. Aku sudah bosan mendengar mereka membicarakan soal bisnis," jawab Yuriko.

Ken terkekeh, sebelum berkata, "Kau benar, mereka para orangtua selalu memaksa kita untuk melakukan apa yang tidak kita inginkan."

"Kau juga dipaksa mengikuti pesta ini?"

"Tidak sih. Tapi awalnya aku memang kurang setuju, orangtuaku melibatkanku dalam urusan perusahaan. Tapi, setelah kucoba menjalaninya, ternyata tidak terlalu buruk kok. Meskipun agak membosankan."

"Agak membosankan? Bagiku, itu amat sangat membosankan. Karena itu akhirnya aku memutuskan untuk menjadi seorang Hunter. Itu jauh lebih menantang."

"Kau seorang Hunter?" tanya Ken dengan kagum. 'Aku tidak menyangka gadis secantik ini adalah seorang Hunter. Kurasa juga tidak banyak gadis seusianya yang akan memilih untuk menjadi seorang Hunter,' pikir Ken.

"Ya. Aku mengikuti ujian Hunter saat berumur 14 tahun," jawab Yuriko.

"Apakah orangtuamu mengizinkanmu untuk menjadi seorang Hunter?"

"Awalnya tidak. Tapi aku terus memaksa mereka. Akhirnya, mereka tidak bisa berbuat apa-apa. Meskipun setiap aku pulang kerumah sehabis menyelesaikan misi, mereka selalu mencoba membujukku untuk meneruskan perusahaan mereka. Jadi, disinilah aku sekarang. Ada di pesta ini dengan orang-orang konyol di dalam gedung, atas paksaan orangtuaku. Padahal aku baru saja menyelesaikan misi, kemarin. Dan itu sangat melelahkan," jelas Yuriko panjang lebar.

'Gadis yang sangat menarik,' pikir Ken.

Tiba-tiba, terdengar suara panik seorang wanita, diikuti sosok seorang wanita paruh baya yang mendekat.

"Yuriko! Darimana saja kau? Kami cemas melihatmu tidak ada didalam," seru wanita itu.

"Mmm... Ken, sudah dulu ya. Kurasa Ibuku menemukanku dan akan menyeretku ke dalam lagi."

Ken tersenyum sebelum berkata, "Baiklah. Apakah aku bisa bertemu denganmu lagi?"

"Mmmm... Kita lihat saja nanti," jawab Yuriko, sembari berjalan ke arah wanita itu, lalu berkata, "Baik Bu, aku kesana sekarang."

'Kurasa, aku harus mengenalnya lebih jauh lagi,' kata Ken dalam hati sembari memandang punggung Yuriko yang semakin menjauh.


Kapan aku bisa turun dari tempat tidur ini? Keluhku sembari duduk di atas tempat tidur dan memandang ke luar jendela. Langit bersih tak berawan, pepohonan rindang dan pegunungan yang tampak, seolah memanggilku untuk keluar dari kamar tidur tempatku berada selama empat hari ini.

Mungkin akan sangat menyenangkan bila bisa berjalan-jalan diluar dan menikmati sinar matahari. Lagipula, aku sudah bosan hanya duduk di tempat tidur saja selama beberapa jam ini.

Lalu aku mencoba menurunkan kakiku dari tempat tidur.

"Kurasa aku benar-benar tidak bisa meninggalkanmu walau hanya sebentar tanpa kau melakukan sesuatu yang membahayakan dirimu," aku menoleh, lalu melihat Killua muncul dari balik pintu kamar yang terbuka.

"Apakah turun dari tempat tidur adalah sesuatu yang membahayakan?" balasku.

"Bagi orang sehat tidak. Tapi bagimu iya," katanya santai.

"Bisakah kau berhenti menggangguku? Lagipula aku sudah tidak apa-apa dan aku bosan berada di tempat tidur. Aku hanya ingin menghirup udara segar di luar," kataku sembari bangkit dari tempat tidur. Kurasa lukaku sudah membaik dan tidak terlalu sakit lagi. Akhirnya, aku bisa berdiri menggunakan kedua kakiku. Tapi, karena aku tidak menggunakan kakiku selama empat hari ini untuk berdiri, aku sedikit terhuyung.

"Kau benar-benar keras kepala," Killua berkata. Ia berjalan ke arahku yang masih berjuang untuk mempertahankan keseimbangan tubuhku, tanpa peringatan, ia meletakkan satu tangannya di punggungku, dan tangan satunya lagi di belakang lututku lalu mengangkatku. Atau lebih tepatnya, menggendongku.

"Killua, apa yang kau lakukan?" bentakku.

"Untuk menghentikanmu melakukan sesuatu yang bisa membuat lukamu terbuka lagi. Karena itu akan menyusahkanku dan yang lain nantinya. Lagipula, kau juga ingin keluar kan?" Katanya sambil berjalan menuju jendela.

Dia benar-benar menyebalkan.

Tunggu, apakah dia berjalan menuju jendela? Tiba-tiba pemahaman menjalar pada diriku.

"Jangan katakan kalau kau ingin membawaku keluar dengan meloncat dari jendela dengan ketinggian lima meter dari permukaan tanah. Itu sama saja kau ingin membunuhku."

Killua tersenyum mengejek.

"Kau takut, aku benar-benar akan melompat dari jendela?" katanya sembari menghentikan langkahnya, seolah-olah dia hanya mempermainkanku.

"Kau tidak akan serius melakukannya kan?" tanyaku penuh harap.

"Sayangnya aku memang akan melakukannya," katanya santai, sembari tersenyum seakan menikmati melihatku ketakutan seperti ini. "Cara itu efisien, daripada harus menuruni tangga terlebih dulu... dan tenang saja, kau tidak akan mati," Killua melanjutkan, sambil kembali meneruskan langkah kakinya menuju jendela.

Sial! Dia serius.

"Killua, turunkan aku!" bentakku sambil berusaha melepaskan diri darinya. Tapi, sia-sia.

"Tidak ada gunanya kau terus meronta-ronta seperti itu. Lagipula, kita hanya akan melompat dari jendela lantai dua rumah ini kan? Kenapa kau begitu takut? Aku jadi sangsi, apakah kau benar-benar seorang Hunter," katanya sembari kembali tersenyum mengejek.

"Kau benar-benar..." sebelum aku menyelesaikan kalimatku, dia memotong, "Kau siap?" lalu aku sadar kami telah berada di ambang jendela, dan tanpa menunggu jawabanku, dia melompat ke bawah.

Sial! Dia benar-benar melakukannya. Aku hanya bisa berteriak dan memejamkan mataku, sambil merasakan angin menerpa wajahku.

Setelah aku merasa dia telah mendarat di tanah aku membuka mataku.

"Kau benar-benar gila!" bentakku, belum sepenuhnya pulih dari keterkejutanku.

"Kau seharusnya berterimakasih padaku, karena telah membawamu keluar. Lagipula, aku tidak membunuhmu kan?" katanya santai.

"Ya ya ya," jawabku enggan. Aku sedang tidak mau berdebat dengannya sekarang.

Setelah itu, ia berjalan dengan membawaku menuju pohon besar dekat rumah Gon.

Meskipun dia menyebalkan, tapi, aku senang dia membawaku seperti ini. Berada di pelukannya sangat nyaman.

Tunggu...

Kenapa sejak kemarin aku terus-menerus memikirkan yang bukan-bukan tentangnya?

Perasaan apa ini?

Sebelum aku sempat memikirkannya lebih jauh, aku merasa ia meletakkanku dengan lembut di rumput dan menyandarkanku di batang pohon. Lalu ia ikut duduk disampingku.

Aku memandang ke sekelilingku. Pemandangan yang menakjubkan menyambutku. Rumah Gon, yang tadinya kukira seperti rumah biasa pada umumnya, ternyata dibangun pada pohon. Akar-akar pohon terlihat seperti mencengkram rumah itu. lalu semakin ke atas, batang pohon besar menjulang tinggi dan dedaunan rimbun, muncul dari cabang-cabangnya, menaungi atap rumah Gon.

"Aku tidak menyangka, dari luar, rumah Gon tampak menakjubkan seperti ini," kataku dengan kagum.

"Aku juga terkejut, saat pertama kali datang ke sini."

"Kapan kau pertama kali datang ke sini?"

"Saat aku berumur dua belas tahun, setelah Gon menjemputku di rumahku, sehabis ujian Hunter."

"Gon pernah ke rumahmu? Seperti apa rumahmu?" tanyaku penasaran.

"Rumahku berada di sebuah gunung. Kau tidak akan bisa memasukinya kecuali kau bisa membuka pintu gerbang seberat empat ton."

Aku tercengang.

"Kau bercanda? Rumah macam apa itu? Berarti kau juga bisa membukanya?"

"Tentu saja. Terakhir, aku membukanya saat aku berumur dua belas tahun. Saat itu aku bisa membuka sampai pintu ketiga. Karena, ada tujuh tingkat pintu gerbang. Pintu pertama beratnya empat ton, dan setiap pintu selanjutnya beratnya bertambah dua kalinya," katanya dengan nada ringan seakan-akan itu hal yang biasa bagi semua orang.

"Dengan kata lain, kau bisa membuka pintu seberat enam belas ton pada usia dua belas tahun?" tanyaku dengan mata melebar.

Aku benar-benar harus berhati-hati terhadap orang ini.

"Ya. Tapi setelah itu, aku tidak pernah kembali ke rumahku. Kalau aku mencobanya, mungkin aku bisa membuka sampai pintu ketujuh sekarang," jawabnya santai.

"Kenapa kau tidak pernah kembali kerumahmu? Apa kau tidak merindukan keluargamu?" aku mencoba bertanya padanya untuk mengetahui tentang keluarganya.

"Aku? merindukan mereka? Kau pasti bercanda."

"Memangnya kenapa? Setiap aku meninggalkan rumah karena harus menjalankan suatu misi, aku pasti merindukan orangtuaku."

"Orangtuaku bukan orangtuamu. Jika kau tahu seperti apa orangtuaku, aku yakin, kau tidak akan pernah bertanya padaku, apakah aku merindukan mereka," jawabnya dengan nada dingin.

Kurasa, ia benar-benar tidak ingin membicarakannya, sama seperti malam tadi. Akhirnya, aku memutuskan untuk mengubah topik pembicaraan.

"Gon bilang padaku kemarin, jika kau juga seorang hunter. Kenapa kau memilih menjadi seorang hunter?" tanyaku.

"Aku mengikuti ujian hunter saat aku berumur 12 tahun, karena aku bosan dengan pekerjaanku sebelumnya. Sampai sekarang, aku tidak bisa menemukan alasan yang pasti kanapa aku menjadi hunter. Tapi, setalah bertemu Gon, aku memutuskan akan membantunya mencari ayahnya."

"Mmm... kurasa alasanku menjadi seorang hunter juga hampir sama denganmu."

"Memang, kenapa kau ingin menjadi seorang Hunter?" tanyanya.

"Untuk menghindari orangtuaku menyuruhku menjadi pewaris perusahaannya. Aku tidak suka bekerja di kantor. Itu pekerjaan yang sangat membosankan. Karena itu, aku mencari pekerjaan yang lebih menantang."

"Alasan yang masuk akal," jawabnya, sebelum ia melanjutkan, "Ngomong-omong tentang orangtuamu, apa kau tahu siapa yang membunuh mereka?"

"Aku tidak tahu namanya, tapi yang pasti, laki-laki itu berasal dari keluarga Zaoldyeck," jawabku

Aku tidak tahu kenapa, tapi, setelah aku mengatakan hal itu, aku melihat untuk pertama kalinya, ia terkejut.

"Kau yakin?" tanyanya.

"Ya. Memang kenapa? Apakah kau mengenal keluarga Zaoldyeck?" tanyaku bersemangat, karena aku membutuhkan informasi tentang keluarga Zaoldyeck untuk mencari laki-laki itu.

"Ti...Tidak... aku tidak mengenal mereka. Aku hanya tahu, jika ada yang bernama keluarga Zaoldyeck."

Setelah itu, dia seperti tenggelam dalam pikirannya sendiri. Lalu aku memutuskan untuk tidak mengganggunya.

Entah, sudah berapa lama aku duduk dalam keheningan bersamanya saat itu. Hanya terdengar suara angin yang berhembus. Lalu, tanpa kusadari, aku tertidur.


Suatu sore, di sebuah taman bermain, terlihat seorang anak laki-laki berambut putih yang kira-kira berumur 6 tahun, duduk sendirian di tepi taman. Mata hijaunya, memandangi anak-anak lain yang sedang bermain dengan riangnya.

'Andai aku bisa bermain bersama mereka,' katanya dalam hati, sambil membayangkan bagaimana rasanya bermain bersama mereka.

Tapi, belum selesai ia membayangkannya, tiba-tiba ucapan kakaknya kembali terngiang di telinganya, 'Killua, seorang assasin tidak membutuhkan teman.' Kata-kata itu, lalu membuatnya mengusir pikirannya tadi jauh-jauh.

'Tapi, pasti menyenangkan, bermain bersama mereka,' ia mencoba membantahnya.

Akhirnya, setelah cukup lama berpikir, ia mencoba untuk mendekati anak-anak yang sedang bermain tadi.

"Hei, bolehkah aku ikut bermain bersama kalian?" tanyanya kepada mereka.

Anak-anak tadi menoleh. Lalu, salah satu anak perempuan berambut hitam panjang, menjawabnya dengan riang. "Boleh, ayo, kita bermain bersama."

"Benarkah? kalau begitu mari kita berma..." belum selesai ia mengungkapkan perasaan senangnya, seorang anak laki-laki memotongnya, "Hei, Yuriko, apa yang barusan kau katakan? Tak tahukah kau dia seorang pembunuh?"

"Tapi, aku hanya ingin bermain dengan kalian," balasnya sembari berusaha menenangkan dirinya sendiri.

"Tidak! Sampai kapanpun aku tidak akan pernah mau bermain dengan seorang pembunuh!" teriak anak laki-laki tadi.

"Ya, benar, pergi kau pembunuh!" timpal anak yang lain.

Lalu semuanya menjadi gelap, baginya. Matanya yang tadinya berwarna hijau, mendadak berubah menjadi hitam, tidak ada yang terlihat, selain kebencian dan keinginan untuk membunuh.

'Ternyata kakakku benar, seorang assasin tidak membutuhkan teman,' pikirnya.

'Karena aku tidak membutuhkan teman, aku akan membunuh mereka semua.'

Tapi, sebelum ia sempat melaksanakan niatnya, ia mendengar sebuah suara.

"Jangan berkata seperti itu padanya! Dia tidak melakukan sesuatu yang salah pada kita!" seru anak perempuan yang dipanggil Yuriko tadi.

Pikirannya pun teralih. 'Anak itu... kenapa dia tidak seperti anak lainnya?' tanyanya dalam hati.

Tetapi anak-anak lain mengabaikan ucapan Yuriko, dan kembali berteriak, "Kenapa kau masih berada di situ, Pembunuh? Cepat pergi!"

Seorang anak bahkan hendak mengambil batu dan melemparkannya kepadanya.

Ia tetap tidak beranjak dari tempatnya.

'Dasar bodoh, apakah dia pikir batu seperti itu bisa melukaiku?' ejeknya dalam hati.

Lalu, semuanya terjadi begitu cepat. Ia melihat anak tadi mengangkat tangannya untuk melemparkan batu itu kepadannya. Tapi, batu itu tidak pernah mengenainya, karena sesosok anak perempuan kecil dengan rambut hitam panjang, kini berdiri didepannya, dengan memunggunginya, menghalangi batu tersebut mengenainya. Bersamaan dengan itu, ia mendengar suara 'tuk' yang menandakan batu itu telah mengenai bagian tubuh dari anak perempuan tersebut.

'Kenapa... dia... melindungiku?'

"Yuriko! Apa yang kau lakukan? Kenapa kau melindunginya?" teriak anak yang melempar batu padanya tadi.

"Kalian tidak punya alasan untuk berbuat seperti itu padanya. Dia tidak mengganggu kita!" seru Yuriko.

"Baiklah, terserah kau, silahkan membela pembunuh itu, tapi, jangan pernah bermain dengan kami lagi! teriak seorang anak laki-laki, lalu berbalik pergi dengan diikuti anak lainnya. Meninggalkannya dan Yuriko di taman.

"Kau tidak apa-apa?" tanya Yuriko sambil berbalik menghadapnya.

Sekarang, ia bisa melihat aliran darah segar keluar dari luka bekas lemparan batu di dahi anak perempuan itu.

Dia, tidak memperdulikan lukanya, tapi malah mengkhawatirkanku?

Ada apa dengan anak ini?

"Buat apa kau melindungiku?"

"Karena, aku ingin berteman denganmu," jawab Yuriko.

"Teman?" tanyanya heran.

"Ya, berteman denganmu. Bukankah seharusnya kita melindungi seorang teman?" kata Yuriko polos.

"Ta... tapi... kau tidak mengenalku kan?" tanyanya kaget. Ia tetap tak mengerti, mengapa anak ini ingin berteman dengannya. Apalagi ia tidak mengenalnya. Lagipula, apa anak ini tidak mendengar apa yang dikatakan temannya tadi, bahwa ia seorang pembunuh?

"Siapa namamu?" Akhirnya Yuriko bertanya.

"Killua."

"Aku Yuriko. Nah, sekarang kita sudah saling mengenal. Tidak ada alasan lagi kan, untuk tidak ingin berteman denganmu?" Kata Yuriko riang.

"Apa kau tidak mendengar apa yang dikatakan anak tadi, bahwa aku seorang pembunuh?"

"Aku tak peduli, seperti yang kukatakan tadi, aku hanya ingin berteman denganmu. Jadi, maukah kau menjadi temanku?"

Entah mengapa ia mengangguk. Mungkin karena ia ingin mempunyai teman.

"Baiklah, mulai sekarang, kita berteman," kata Yuriko riang.

Lalu, untuk pertama kali dalam hidupnya, bibirnya membentuk seulas senyum bahagia. Akhirnya, ia sekarang mempunyai apa yang tidak pernah dipunyainya selama ini.

Teman.

"Lukamu..." katanya sembari kembali memandang luka di dahi Yuriko.

"Ah, tidak apa-apa. Aku bisa meminta ibuku mengobatinya nanti," jawab Yuriko.

"Dasar bodoh, kita harus membersihkannya dulu. Kau mau lukamu terinfeksi?" katanya sembari mengambil sapu tangan putih dari saku celananya lalu menyeka darah dari dahi Yuriko.

Yuriko membiarkannya membersihkan lukanya.

"Terimakasih," kata Yuriko.

Ia menghentikan gerakan tangannya yang sedang menyeka darah dari luka Yuriko.

"A.. Apa yang kau katakan tadi?" tanyanya terkejut.

"Terimakasih. Kenapa kau begitu kaget?"

"Untuk apa kau berterimakasih padaku? Kau mendapat luka ini karena melindungiku. Kau benar-benar orang yang aneh."

"Aku hanya ingin berterimakasih padamu karena telah merawat lukaku. Ibuku mengajarkanku untuk mengucapkan terimakasih kepada seseorang yang telah berbuat baik kepadaku," jawab Yuriko dengan polos.

Ia terdiam.

"Killua, kenapa kau diam?" tanya Yuriko.

"Kau sangat beruntung."

"Kenapa?"

"Karena kau dilahirkan di keluarga yang normal."

"Memangnya kenapa dengan keluargamu?"

"Apa kau tidak mendengarkan kata anak tadi, kalau aku adalah seorang pembunuh? Dan semua keluargaku adalah pembunuh. Aku telah didik untuk menjadi seorang pembunuh sejak kecil. Karena itu aku tidak tahu, bagaimana rasanya menjadi anak normal. Mereka melarangku bermain dan berteman," jawabnya dengan suara pelan. Ini adalah pertama kalinya ia bercerita tentang dirinya dan keluarganya kepada orang lain.

"Aku tidak mengerti, kenapa keluargamu melarangmu untuk bermain dan berteman. Padahal itu sangat menyenangkan. Karena kita telah berteman, jadi yang belum kita lakukan tinggal bermain. Kalau begitu, ayo kita bermain... " kata Yuriko polos.

'Orang seperti ini, baru pertama kali kutemui. Orang yang memandangku sebagai anak laki-laki biasa, bukan sebagai seorang pembunuh,' kata Killua dalam hati.

Akhirnya Killua tersenyum, lalu mengangguk perlahan.

Saat itu, ia merasa seperti anak normal lainnya. Senang untuk pertama kalinya jika dia mempunyai teman, dan bisa bermain bersama mereka.


End of Chapter 3


Oke, mungkin abis kalian baca ni fanfic, aku mau ngejelasin, karena pas Yuriko terakhir ktemu Killua itu ud 11 tahun, makanya Yuriko gak inget, kalo dia dulu pernah ktemu sama Killua.

Di chapter selanjutnya bakal diceritain dari Killua PoV.

Karena saya membutuhkan kritik dan saran, tolong direview yaaa^^

Makasih^^