Hey, I'm back...

Author meminta maaf karena baru bisa update sekarang

School is eating my life u,u

Juga, sebentar lagi, saya akan mengikuti SNMPTN, jadi, saya juga sedang melakukan persiapan :D... Doain yaaa ^^

Okay, sebelumnya, saya berterimakasih kepada para reviewers yang telah mereview fanfic saya.

Kiyuichire: Uwaaaaa! Benarkah? *.* #menangisterharu... Arigatou^^

Kay Lusyifniyx : Thanks for reviewing ^^ and, this is the 4 chapter.. Enjoy ^^

Airin Aizawa : Hehe... makasiii^^ O iya, saya minta maaf kalo Killua-nya sedikit OOC. Di next chapter, saya akan berusaha untuk membuatnya se-IC mungkin... hehe. Makasi juga buat requestnya^^

ca99oline : Makasih buat koreksinya ^^ Author sudah membetulkannya di chapter ini ^^ Enjoy this fic :D


Chapter 4

Reality


Killua PoV

"Aku tidak tahu siapa orangnya, tapi yang jelas laki-laki itu berasal dari keluarga Zaoldyeck."

Kenyataan itu menghantamku.

"Apa kau yakin?" aku mencoba memastikannya lagi.

"Ya. Memang kenapa? Apakah kau mengenal keluarga Zaoldyeck?"

"Ti...Tidak... aku tidak mengenal mereka. Aku hanya tahu, jika ada yang bernama keluarga Zaoldyeck."

Aku mendengar diriku sendiri berkata tanpa sempat berpikir. Karena, saat itu yang kuinginkan hanya satu.

Aku tidak ingin dia mengetahuinya.

Sial!

Dari sekian banyak orang di dunia ini, ternyata keluarganya-lah yang terpilih untuk menjadi target keluargaku.

Apakah ini kebetulan?

Hampir...

Harusnya, aku tahu. Hal seperti ini tidak akan bisa dihindari ketika kau terlahir dari keluarga pembunuh.

Aku menghela nafas.

Lahir di keluarga assasin, benar-benar membawa nasib buruk. Masa kecil yang tragis, keluarga psikopat, dan keabnormalan tentunya.

Kurasa, selama nama itu masih melekat pada diriku, aku tidak akan bisa hidup tenang.

Terima kasih kepada keluargaku.

Dan sekarang, aku bersama seseorang di masa kecilku, yang bahkan sama sekali tidak tahu jika orang disampingnya, adalah salah satu dari anggota keluarga assasin yang telah membunuh keluarganya.

Apakah aku bisa dikatakan beruntung karena dia tidak mengingatku?

"Buat apa kau melindungiku?"

"Karena, aku ingin berteman denganmu,"

"Apa kau tidak mendengar apa yang dikatakan anak tadi, bahwa aku seorang pembunuh?"

"Aku tak peduli, seperti yang kukatakan tadi, aku hanya ingin berteman denganmu. Jadi, maukah kau menjadi temanku?"

Aku tersenyum kecil, saat kejadian sebelas tahun lalu kembali merasuki pikiranku.

Dia gadis yang baik, yang bahkan mengajak seorang pembunuh untuk berteman. Tapi, aku meragukan, jika dia tetap ingin berteman denganku seperti sebelas tahun lalu, jika dia mengetahui siapa sebenarnya orang yang ada di sampingnya sekarang.

Dan aku yakin, suatu saat, dia akan tahu yang sebenarnya.

Tapi, tidak sekarang. Aku akan memastikan dia tidak mengetahuinya, sampai waktu yang tepat.


"Killua, Mito-san pasti senang, karena kita berhasil menangkap banyak ikan hari ini," aku mendengar Gon berkata dengan riang.

"Tentu Gon. Berharap saja ikan-ikan yang kita tangkap cukup untuk membuat Mito-san tidak memarahi kita karena pulang sangat terlambat," balasku sambil memandang bulan yang setengah tertutup oleh awan hitam.

"Jangan kuatir Killua, Mito-san tidak akan marah," jawab Gon dengan tenang.

Selalu berpikiran sederhana. Tipikal Gon.

Aku tersenyum kecil.

Kami pun terus berjalan menembus hutan untuk kembali menuju rumah Gon.

Tapi, saat rumah Gon tinggal setengah perjalanan lagi, aku mencium sesuatu yang kelihatannya seperti...

"Killua, tunggu," Gon menghentikan langkahnya. "Apa kau mencium bau darah?"

"Ya. Darah yang masih segar, kurasa," jawabku. Dan entah kenapa aku mendapat firasat buruk tentang ini, "ayo, kita cari sumbernya, Gon."

"Un."

Kami pun berlari melewati pepohonan yang tumbuh rapat. Dan, seiring dengan setiap langkah yang kami ambil, aku merasakan bau darah itu semakin menguat.

Akhirnya, beberapa saat kemudian, kami menemukan sumbernya.

Pada sebatang pohon yang terletak empat meter dari kami, seorang gadis duduk bersandar. Tidak sadarkan diri, dan bersimbah darah.

"Killua..." kudengar Gon berkata dengan suara rendah.

Aku menghampirinya. Dan dengan dibantu cahaya bulan yang saat itu cukup terang, aku bisa melihat wajahnya.

Saat itu, aku merasa seolah jantungku berhenti berdetak.

Sudah tidak terhitung banyaknya aku melihat seseorang sekarat di depan mataku. Dan aku tidak pernah repot-repot menaruh sedikitpun kepedulian kepada mereka. Karena saat itu, sudah pekerjaanku untuk membunuh mereka. Tapi, kali ini berbeda.

Gambaran wajah seorang anak perempuan berambut panjang perlahan muncul di benakku.

Tidak mungkin.

Tidak mungkin gadis itu adalah dia.

Aku mengerahkan seluruh pertikel di cerebri-ku untuk sebisa mungkin menolak realita itu.

Membayangkan jika yang ada di depan mataku adalah gadis yang sama dengan anak perempuan yang kutemui sebelas tahun lalu, benar-benar tidak masuk akal.

Tidak. Dia tidak seharusnya seperti ini.

Aku masih berdiri mematung. Tidak menggerakkan tubuhku barang se-inchi pun. Entah sudah berapa menit yang terbuang sia-sia.

Tapi, akhirnya, bagian rasional dari diriku, mengambil alih pikiranku. Memberitahukan, bahwa penglihatanku mengatakan yang sebenarnya.

Garis wajah itu...

SIAL!

Aku lalu berlutut disampingnya, untuk meihat keadaannya. Dari denyut nadinya, dia masih hidup. Tapi, dilihat dari frekuensinya, jika terus dibiarkan seperti itu, tidak lama lagi dia akan mati. Dan dia kehilangan banyak darah yang disebabkan luka tusukan pisau di perutnya.

Aku tidak bisa membiarkannya mati.

Tanpa membuang waktu lagi, aku menggendongnya. "Gon, kita beruntung Leorio berada di rumahmu."

Kami berlari secepat mungkin.

Di tengah perjalanan, aku merasakan tubuhnya mulai mendingin dan denyut nadinya makin lemah.

Tidak.

Dia tidak boleh mati.

Aku merasakan perasaan yang tidak familiar pada diriku.

Apakah ini yang disebut rasa takut?

Padahal aku tahu, kami, para Zaoldyeck, tidak mengenal apa yang dinamakan rasa takut.

Tapi, kalau itu benar, ini adalah kali kedua aku merasakannya dalam hidupku.

Bagaimanapun, gadis ini harus selamat.

Aku menambah kecepatanku, hingga pohon-pohon di sekelilingku, hanya tampak seperti bayangan kabur.

Sial! Kenapa rumah Gon, belum terlihat?

"Gon, apakah rumahmu masih jauh?" aku merasakan kepanikan memenuhi suaraku. Aku sudah tidak bisa memperkirakan lagi, berapa lama kami berlari. Yang jelas, aku hanya memfokuskan diri untuk berlari secepat mungkin.

"Tidak lama lagi, Killua."

Akhirnya, setelah beberapa saat, yang terasa berjam-jam bagiku, kami melihat cahaya yang berasal dari rumah pohon Gon.

~~~~~~~#~~~~~~~

Dua jam kemudian

"Dia kehilangan banyak darah. Jadi, dia membutuhkan donor darah. Aku sudah mencoba menghubungi rumah sakit di sekitar sini, tapi, mereka juga sedang kehabisan golongan darah A," aku mendengar Leorio berkata, sembari menutup pintu di belakangnya.

Sial!

"Lalu apa yang akan terjadi jika dia tidak mendapat donor?" tanya Gon dengan panik.

"Dia akan..."

"Ambil darahku," aku memotongnya.

"Killua..."

"Golongan darahku A," aku menambahkan.

"Kau yakin?"

"Tentu."

Kalau itu bisa menyelamatkannya, akan kulakukan.

Akan kulakukan apapun agar dia selamat.


Suara nafas teratur di sampingku, menarikku kembali ke masa kini.

Aku memandangnya.

Wajahnya terlihat damai saat ia tidur.

Dia masih sama seperti dulu. Hanya saja, dia lebih tinggi dan kuat.

Setelah sebelas tahun menghilang, dia kembali muncul dihadapanku.

Tapi, aku tidak mengharapkannya muncul dengan keadaan yatim piatu maupun sekarat.

Dan yang lebih buruk, penyebanya adalah keluargaku.

Karena itu, sekarang, aku hanya ingin melindunginya.


"Tuan Killua, makanannya telah siap," seru seorang wanita yang kira-kira berumur dua puluh tahunan sembari berjalan masuk ke sebuah ruangan, dengan membawa nampan berisi makanan.

Ruangan itu berpenerangan redup. Di dalamnya, seorang anak laki-laki berambut putih yang berumur sekitar enam tahun, duduk di tempat tidur besar, sambil memandang keluar jendela yang berada di samping tempat tidurnya. Memperlihatkan pepohonan, yang dilatarbelakangi langit malam, dengan bintang-bintang yang menghiasinya.

"Ah, letakkan saja di meja samping tempat tidurku, Yuna. Ngomong-ngomong, bukankah sudah kubilang, jangan memanggilku dengan sebutan Tuan? Killua saja sudah cukup," kata Killua untuk yang kesekian kalinya kepada wanita tersebut.

"Maafkan aku, Tuan Killua, aku tidak bisa. Aku akan mendapat masalah jika tidak mematuhi peraturan," balas Yuna dengan lembut, sembari berjalan ke meja, dan meletakkan makanan tadi di atasnya.

"Ah, selalu saja begitu," gerutu Killua.

Yuna hanya tersenyum, untuk menanggapinya.

"Baiklah, Tuan, saya pergi dulu. Saya telah menyiapkan cokelat panas kesukaan Tuan juga di situ. Jangan lupa dimakan ya. Apalagi sehabis berlatih tadi, pasti Tuan lelah sekali," kata Yuna yang kemudian berbalik menuju pintu keluar.

"Tunggu, Yuna," panggil Killua tiba-tiba.

"Ada apa Tuan? Apa ada yang Tuan butuhkan lagi?" pelayan itu bertanya.

Tiba-tiba, Killua ingin menceritakan soal anak perempuan bernama Yuriko, yang ditemuinya di taman tadi kepada Yuna. Toh, selama ini, ia hanya Yuna yang benar-benar peduli padanya. Dan jelas tidak mungkin ia menceritakannya kepada keluarganya.

"Maukah kau menemaniku sebentar? Aku ingin menceritakan sesuatu padamu," pinta Killua.

Sejenak Yuna bimbang, peraturan di rumah keluarga Zaoldyeck, mengatakan bahwa, tugasnya hanya mengurus keperluan sehari-hari Killua, dan menjadi teman bicara Tuannya tersebut, jelas tidak termasuk.

"Tapi Tuan, Nyonya pasti akan melarangnya," Yuna mencoba menjelaskan.

"Ibu tidak akan tahu. Ayolah Yuna, hanya kali ini saja. Kau selalu saja memanggilku Tuan Killua, meskipun aku sudah melarangnya. Masa, sekarang kau juga tidak mau menemaniku sebentar?" balas Killua kecil dengan nada memohon.

Yuna merasa tidak bisa menolaknya lagi, "Baiklah, Tuan. Tapi hanya sebentar saja ya," Yuna menyanggupinya.

"Yes!" Seru Killua senang.

Yuna tersenyum. Ia lalu mengambil kursi di depan meja terdekat dan meletakkannya di samping tempat tidur Killua, kemudian duduk di sana.

"Baiklah Tuan, sekarang, apa yang mau Tuan ceritakan?" tanya Yuna sembari memandang Tuannya tersebut.

"Begini, hari ini aku bertemu seorang anak perempuan yang aneh, tapi ia sangat menyenangkan," Killua memulai, "kau tahu? Ia tidak mengenalku, tapi ia melindungiku, dari anak-anak yang melempariku dengan batu. Ia sampai terluka karenanya. Dan bahkan ia mengajakku berteman dengannya. Padahal teman-temannya telah mengatakan bahwa aku seorang pembunuh. Tapi, ia tidak peduli, ia tetap ingin mengajakku berteman. Bukankah dia aneh, Yuna?"

"Kurasa dia tidak aneh, Tuan, malah dia anak yang baik. Karena, sudah seharusnya kita berteman tanpa membeda-bedakan," jawab Yuna dengan nada ringan.

"Benarkah? Berarti aku juga boleh mempunyai teman?" tanya Killua dengan tatapan tidak percaya. Selama ini Killua berpikir bahwa apa yang dikatakan keluarganya benar, jika ia tidak boleh mempunyai teman. Karena itu, Killua lega ketika mendengar Yuna mengatakannya. Itu membuktikan jika keluarganya tidak sepenuhnya benar.

"Tentu saja, Tuan. Siapapun, berhak memiliki teman," Yuna berkata dengan tulus.

"Kau benar, aku benar-benar ingin mempunyai teman," Killua mengutarakan apa yang dipikirkannya selama ini.

"Kalau begitu Tuan Killua tidak perlu khawatir, karena, bukankah Yuriko yang Tuan ceritakan barusan, sudah menjadi teman Tuan?"

"Ya, kau benar, Yuna, aku telah mempunyai teman sekarang," kata Killua kecil dengan riang. Lalu ia melanjutkan, "dan maukah kau menjadi temanku juga, Yuna?" tanyanya penuh harap.

"Tentu saja Tuan," jawab Yuna lembut.

"Wah, kalau begitu, kau adalah teman pertamaku di rumah ini," Killua merasa senang, karena Yuna tidak menjawabnya dengan jawaban yang dulu pernah diberikan Kanaria kepadanya. Kanaria, adalah penjaga gerbang bagian dalam, di kediaman Zaoldyeck. Dan masih segar dalam ingatan Killua, ketika Kanaria menolak untuk bermain dengannya, karena perbedaan status sosialnya, dengan Killua.

"Begitu juga dengan Tuan," balas Yuna. Ia tidak menyangka jika Tuannya akan mengajaknya berteman. Hal itulah yang membuat Killua berbeda dari keluarganya.

"O iya, tadi Yuriko juga mengatakan jika kita harus melindungi seorang teman. Ia mengatakannya saat aku bertanya kenapa ia melindungiku. Kenapa kita harus melindungi seorang teman, Yuna?" tanya Killua penasaran.

"Tuan, kita harus melindungi teman, karena teman adalah seseorang yang berarti. Orang yang bisa membuat kita nyaman dan senang saat kita berada bersamanya, seseorang yang bisa mengerti kita dan sebaliknya, kita juga harus bisa mengerti mereka. Teman juga adalah salah satu orang yang berharga bagi kita," jelas Yuna.

"Orang yang berharga?" Tanya Killua dengan heran. Selama enam tahun hidup bersama keluarganya, ia tidak pernah sekalipun mendengarnya, dan kata-kata itu terasa asing baginya.

"Ya, orang yang berharga. Orang yang penting, dan berarti bagi kita," Yuna kembali menjelaskan, kepada Tuan Muda kecil didepannya.

"Mmmm... Kurasa aku mengerti. Kau bilang tadi, teman adalah salah satu orang yang berharga. Apakah ada orang yang berharga bagi kita selain teman?" Killua kembali bertanya.

"Tentu saja ada Tuan. Keluarga dan kekasih misalnya," Yuna tersenyum.

"Keluargaku jelas tidak termasuk orang yang berharga bagiku. Mereka semua gila. Mereka melatihku, atau lebih tepatnya menyiksaku, dengan semua racun, listrik, dan rantai itu," kata Killua dengan muram." Lalu, apa itu kekasih, Yuna?" kata tersebut, juga beru pertama kali didengarnya.

"Emm... Kurasa Tuan harus lebih besar untuk memahaminya,"

"Apakah kekasih itu seperti teman?"

"Tidak Tuan, agak berbeda. Kekasih adalah orang yang berharga, penting, juga orang yang kita cintai. Tuan akan mengerti setelah Tuan besar nanti."

"Mmm... Baiklah. Berarti, karena Yuriko adalah temanku sekarang, jadi, dia termasuk orang yang berharga bagiku. Begitu juga denganmu, Yuna."

Perkataan Killua kecil di depannya, membuat Yuna tersenyum.

"Lalu, apakah kau juga mempunyai orang yang berharga bagimu, Yuna?" tanya Killua kembali.

"Tentu saja,"

"Wah, siapa orang itu, Yuna?"

"Mmm... Orang itu ada di hadapanku sekarang, Tuan," Jawab Yuna dengan lembut.

"Apakah berarti orang itu aku, Yuna?" tanya Killua dengan tatapan tidak percaya.

"Tentu saja, Tuan. Tuan adalah salah satu orang yang berharga bagiku. Bahkan, Tuan Killua sudah kuanggap seperti anakku sendiri," balas Yuna terseyum, ketulusan yang nyata terpancar jelas dari wajahnya.

"Ah, seandainya saja kau benar-benar ibuku, Yuna. Aku pasti akan menjadi anak normal, seperti Yuriko," kata Killua. Kekecewaan jelas tampak pada wajahnya.

Yuna menatap Killua dengan sedih. Dengan semua latihan kejam yang diberikan keluarganya untuk membuat Killua menjadi seorang assasin handal, Killua memang tidak bisa disebut sebagai anak yang normal.

"Aku akan senang jika itu terjadi, Tuan. Tapi, Tuan tidak boleh bicara seperti itu. Bagaimanapun, mereka tetaplah Keluarga Tuan Killua," jelas Yuna, mencoba memberikan pengertian kepada Tuannya.

"Huh, kau selau saja membela mereka," kata Killua cemberut.

Yuna hanya tersenyum untuk menjawabnya.

"Baiklah, kurasa sekarang waktunya Tuan untuk tidur. Tapi sebelum itu, Tuan harus makan terlebih dahulu ya," akhirnya Yuna berkata sembari mengambil nampan berisi makanan dari meja, dan meletakkannya di hadapan Killua.

"Haruskah aku memakannya?" tanya Killua muram.

"Tentu saja Tuan, aku membuatkan cokelat panas kesukaan Tuan Killua. Apa Tuan tidak mau memakannya?" tanya Yuna heran. Karena, tidak biasanya Killua menolak cokelat panas favoritnya.

"Aku ingin, tapi aku tidak bisa memakannya. Kurasa, aku akan memutahkannya lagi jika aku memakannya." jawab Killua.

Sejenak Yuna bingung, namun pemahaman mulai menjalar di dalam dirinya.

"Apakah latihan hari ini adalah racun?" tanya Yuna pelan.

Killua mengangguk.

Yuna tersenyum sedih. Salah satu bagian dari latihan Zaoldyeck, adalah racun. Dimana saat latihan, racun akan dimasukkan ke dalam tubuh mereka secara bertahap. Dimulai dari dosis kecil, lalu dosis yang lebih besar. Sehingga, lama-kelamaan, tubuh mereka akan kebal terhadap racun tersebut.

"Baiklah Tuan, saya mengerti. Kurasa yang sekarang Tuan butuhkan adalah istirahat," Yuna berkata dengan lembut. Lalu Yuna menarik selimut sampai ke leher Killua, yang telah berbaring.

"Terimakasih Yuna, karena telah menemaniku," kata Killua.

"Tidak masalah, Tuan. Saya senang, bisa mengobrol dengan Tuan. Selamat malam," kata Yuna. Ia tersenyum, dan bangkit dari kursi, lalu berjalan menuju pintu.

"Selamat malam, Yuna," Killua menjawab, sebelum akhirnya Yuna menutup pintu kamarnya.

Killua berbaring, sambil memikirkan semua ucapan Yuna tadi. 'Ya, aku mengerti apa yang dikatakan Yuna. Yuriko dan Yuna adalah temanku, dan orang yang berharga bagiku, karena itu, aku akan melindungi mereka,' kata Killua kecil dalam hati.


Aku pernah berjanji akan melindungi Yuna dan Yuriko.

Dan aku telah gagal melindungi Yuna.

Tiba-tiba rasa penyesalan itu kembali menyusup masuk ke dalam diriku.

Penyesalan yang telah menghantuiku selama sepuluh tahun terakhir.

Sejenak, aku membiarkan rasa penyesalan itu, mengalir dalam nadi-nadiku dan meresap ke setiap inchi bagian tubuhku. Sebagai pengingat, jika aku pernah satu kali, kehilangan orang yang berharga.

Dan aku tidak akan mengulangi kesalahan yang sama.

...

...

...

Aku menatap matahari yang semakin lama, semakin tenggelam.

Kurasa ini sudah waktunya kembali ke rumah Gon.

Lalu aku menoleh ke arah gadis yang tertidur di sebelahku.

Dia masih tidur.

Apakah aku harus membangunkannya?

Wajahnya terlihat damai.

Baiklah, aku akan membawanya seperti tadi.

Aku bangkit dan menghadap ke arah Yuriko. Berusaha sepelan mungkin, meletakkan tangan di punggungnya, dan tangan satunya di belakang lututnya, lalu mengangkatnya dengan hati-hati, sambil berharap hal itu tidak akan membangunkannya. Lalu, aku membawanya menuju rumah Gon.

Kurasa sejauh ini aku melakukannya dengan baik, karena dia tidak terbangun. Namun, saat setengah perjalanan menuju rumah Gon, aku mendengarnya menggumam.

"Killua..."

"Kupikir kau sudah tidur."

"Kau tidak akan meloncat dari tanah ke jendela untuk membawaku masuk kan?" tanya Yuriko dengan mata yang masih setengah terpejam.

Aku tersenyum kecil mendengar sedikit nada khawatir pada suaranya.

"Apakah itu masih menjadi masalah buatmu? Padahal kau tidur kan?"

"Bisakah kau membawaku naik melalui tangga saja?" ia bertanya dengan nada memohon.

Sejenak, aku ingin berkata, jika membawanya melalui tangga, akan lebih menyita energi. Tapi, begitu melihat wajahnya, aku mengurungkan niatku.

"Baiklah, jika kau bersikeras."

"Terimakasih Killua," kata Yuriko, masih dengan suara mengantuk. Lalu beberapa saat kemudian ia melanjutkan, "Killua, apakah kau tahu?"

"Kenapa?"

"Kau terasa sangat nyaman," jawab Yuriko sembari menenggelamkan wajahnya ke dadaku.

Aku tersenyum kecil.

"Kalau kau merasa seperti itu, kurasa kau memang membutuhkan tempat tidur sekarang," balasku, sebelum ia kembali terlelap.

Akhirnya, aku berjalan menuju pintu rumah Gon, alih-alih meloncat ke jendela.

"Killua, ada apa dengan Yuriko? Apakah terjadi sesuatu padanya?" suara khawatir Gon, menyambutku begitu aku melewati ambang pintu.

"Tidak Gon, dia hanya tidur. Dan bisakah kau memelankan suaramu?"

"Oh, maaf Killua, sebaiknya kau membawanya ke atas," balas Gon sambil buru-buru memelankan suaranya."

"Memang itu yang akan kulakukan, Gon," aku menjawab, sambil menaiki tangga.

Beberapa saat kemudian, aku tiba di depan pintu kamar Yuriko. Pelan-pelan, aku membuka pintu, dan membawanya ke tempat tidur.

Lalu, dengan hati-hati, aku meletakkannya di tempat tidur, kemudian menarik selimut menutupi tubuhnya.

Sejenak, aku memandang wajahnya, sebelum berjalan keluar kamar.

"Selamat malam, Killua," Kata Yuriko dengan suara yang hampir tak terdengar.

"Malam."


Yuriko PoV

Aku terbangun. Mimpi itu, masih terpatri dengan jelas di benakku.

Di dalam mimpiku, aku bermain bersama seorang anak laki-laki kecil di sebuah taman. Kalau tidak salah, anak laki-laki kecil itu juga mengatakan bahwa dia adalah seorang pembunuh. Tapi, aku tidak peduli jika ia adalah pembunuh. Aku malah mengajaknya berteman.

Kenapa tiba-tiba aku bermimpi seperti ini?

Meskipun samar-samar, aku juga bisa mengingat, bahwa mimpi itu adalah pengalaman masa kecilku.

Tapi, siapa anak laki-laki kecil itu? Kenapa aku tidak bisa ingat siapa dia?

Kenapa aku merasa mengenalnya?

Aku berusaha mengingat-ingatnya lagi, tapi, aku tetap tidak bisa menemukan, siapa anak laki-laki kecil itu.

Akhirnya, aku memutuskan untuk tidak memikirkannya lebih lanjut lagi. Kurasa, masih banyak masalah dalam hidupku tanpa harus ditambah dengan anak laki-laki kecil dalam mimpiku tadi.

Misalnya tentang laki-laki Zaoldyeck yang telah membunuh kedua orangtuaku.

Baiklah, aku memang telah kehilangan jejaknya. Tapi, entah apakah itu membutuhkan waktu berminggu-minggu, berbulan-bulan, atau bahkan sampai berpuluh-puluh tahun, aku berjanji, aku akan menemukannya, lalu membunuhnya.

Seiring aku memikirkannya, aku bisa merasakan tanganku mengepal kuat, dan seluruh otot tubuhku menegang.

Seumur hidup, aku tidak pernah membayangkan, akan membenci seseorang sampai seperti ini.

Dan perasaan itu menghampiriku lagi.

Dendam.

Dulu, aku selalu menelan bulat-bulat akan apa yang dikatakan oleh orang bijak. Jika, balas dendam yang terbaik, adalah dengan memaafkan. Namun, sekarang aku yakin, jika orang yang menciptakan statement itu, sama sekali tidak pernah merasakan apa yang kurasakan sekarang. Karena, aku sama sekali tidak melihat alasan apapun, untuk memaafkan laki-laki itu.

Yang jelas, nyawa harus dibayar dengan nyawa.

Hanya tinggal menunggu waktu yang tepat.

...

...

Aku mulai menarik nafas, lalu menghembuskannya, untuk menenangkan diriku. Tidak terlalu berhasil. Tapi, paling tidak, ini sedikit membantu.

Akhirnya, aku mencoba mengalihkan perhatianku, dengan memandang ke luar jendela di yang berada di sampingku, dan pemandangan malam langsung menyambutku. Pepohonan yang dilatarbelakangi langit malam, dan angin malam yang berhembus, menerpa wajahku, dari sela-sela tirai jendela. Semua itu, cukup untuk membuatku kembali rileks.

Tiba-tiba aku ingin tahu jam berapa sekarang. Aku pun menengok ke arah jam dinding di seberang ruangan.

Ternyata masih pukul setengah satu malam.

Lalu, aku mencoba untuk tidur kembali. Namun, ternyata tidak bisa.

Akhirnya, aku kembali memandang keluar jendela. Pandanganku tertuju pada pohon besar yang terletak tidak terlalu jauh dari rumah Gon.

Kemudian aku ingat, jika tadi siang aku duduk dibawah pohon itu bersama Killua. Tentunya, juga Killua, yang membawaku kembali kesini.

Berada di pelukannya, sangatlah nyaman. Aku bisa mengingat aroma musk dan vanilla, dari Killua.

Tunggu...

Kenapa aku memikirkannya lagi?

Apakah itu berarti aku menyukainya?

Tidak...

Aku tidak tahu...

...

...

...

Tiba-tiba aku merasa lapar. Setelah kuingat-ingat lagi, ternyata aku memang belum mengisi perutku malam ini.

Akhirnya, aku memutuskan untuk turun ke bawah. Siapa tahu Mito-san menyimpan sesuatu untuk dimakan.

Aku bangkit dari tempat tidurku dan mencoba berdiri, sambil berharap jika kakiku mau diajak kompromi. Karena kalau tidak, kejadian pagi tadi, kurasa akan terulang. Bedanya, tidak ada Killua yang akan menolongku jika aku jatuh nanti, ditambah, aku juga akan membangunkan yang lain dengan suara jatuhku. Lagipula, aku hampir tidak merasakan sakit lagi pada lukaku. Jadi harusnya semuanya akan baik-baik saja.

Aku berdiri, dan mulai berjalan. Baiklah, sejauh ini aku berhasil, meskipun sedikit terhuyung. Tapi, syukurlah ada meja tepat di sampingku, yang bisa kujadikan tumpuan.

Kurasa yang kuperlukan hanyalah membiasakan kakiku untuk berfungsi lagi sebagaimana mestinya, setelah empat hari tergeletak di tempat tidur. Pelan-pelan aku mencoba berjalan, masih menggunakan meja sebagai tumpuan. Lama-kelamaan, aku melepas peganganku, dan mulai berjalan mengitari ruangan dengan perlahan.

Huh, rasanya seperti anak berumur dua tahun yang sedang belajar berjalan.

Akhirnya, setelah beberapa saat, aku bisa berjalan dengan normal lagi. Sambil besorak dalam hati, aku berjalan kearah pintu dan berusaha membukanya sepelan mungkin.

Setelah berada di luar kamar, kegelapan menyambutku. Akibatnya aku harus meraba-raba sekitarku untuk menemukan tangga yang menuju ke bawah. Syukurlah, aku menemukannya. Masih dengan langkah pelan, aku berjalan menuruni tangga. Sementara itu, perutku kembali mengeluarkan bunyi.

Begitu sampai di bawah, aku baru menyadari, jika aku tidak tahu dimana letak dapur di rumah Gon. Aku belum pernah turun ke bawah sebelumnya, karena aku menghabiskan waktuku dengan terbaring di tempat tidur.

Sial!

Akhirnya aku memutuskan untuk mencoba memasuki salah satu ruangan yang kuperkirakan sebagai dapur, sambil berharap jika ruangan itu benar-benar dapur dan terdapat makanan di dalamnya.

Aku membuka pintu ruangan itu. Dan kegelapan, kembali menyambutku. Baru saja aku berpikir akan menyalakan lampu, tiba-tiba ruangan itu menjadi terang benderang. Sambil mengerjapkan mataku, karena perubahan cahaya yang mendadak, aku memandang ke sekelilingku. Dan ternyata benar ruangan itu adalah dapur.

"Mau mengadakan pesta tengah malam rupanya," sebuah suara familiar menyapaku.

Aku tidak perlu melihat pemilik suara itu untuk mengetahui siapa orang itu.

Sial!

Kenapa dia selalu muncul di saat yang tidak terduga?

Dan kenapa aku tidak merasakan kehadirannya?

"Killua... Sedang apa dan kenapa kau disini?" akhirnya aku bertanya.

"Insomnia. Mungkin, sedikit makanan bisa membuatnya lebih baik," kata Killua santai. "Dan, biar kutebak, alasanmu berada di sini, kurasa karena kau lapar."

Huh, apakah dia pernah keliru dalam menebak sesuatu?

"Kau benar. Aku lapar. Apakah ada makanan di sini?"

"Kurasa tidak, karena Mito-san mengira kau baru bangun besok," jawabnya sembari berjalan ke kursi meja makan di depanku, kemudian duduk di sana.

Sial!

Sia-sia aku mengendap-endap turun kemari.

Akhirnya, aku duduk pada kursi meja makan di samping Killua.

Dan saat itu, perutku berbunyi cukup keras, sehingga aku yakin, kalau Killua mendengarnya.

Lalu, tiba-tiba Killua bangkit, dan berjalan menuju lemari dapur. Ia membukanya, lalu memeriksanya.

"Apakah kau suka sushi?" tanya Killua kemudian.

Sushi memang salah satu makanan favoritku, dan aku mengenal jenis-jenisnya dengan baik.

"Ya aku suka. Tapi, bukankah kau bilang jika tidak ada makanan?" balasku.

"Memang tidak ada. Tapi kurasa ada bahan-bahan untuk membuat sushi."

Apa? Apakah dia menyuruhku untuk memasaknya? Kurasa dia belum tahu, jika memasak adalah hal yang paling kubenci di dunia ini, setelah laki-laki Zaoldyeck yang membunuh orangtuaku. Dan sekarang, aku sudah terlalu lapar untuk berdiri. Apalagi memasak.

Baru saja aku akan mengatakan jika aku tidak bisa memasaknya, Killua telah mengeluarkan bahan-bahan dari lemari tersebut. Aku bisa mengenali bahan-bahan itu, sebagai udang, ikan trout dan mustard. Lalu, ia mengambil pisau dan mulai memotong ikan trout yang masih utuh tersebut, seolah-olah, dia biasa melakukannya tiap hari.

Butuh beberapa saat bagiku untuk mencerna pemandangan di depan mataku.

"Apakah kau serius bisa memasaknya?" aku bertanya dengan takjub.

"Kurasa begitu. Lagipula aku bisa menebak jika kau tidak bisa memasak," jawabnya ringan, sembari mengambil udang, dan mulai memotong-motongnya.

Sial!

Bagaimana dia bisa tahu?

Karena dia benar, akhirnya aku memutuskan untuk diam, dan membiarkannya melanjutkan pekerjaannya.

Beberapa saat kemudian, dia meletakkan dua piring sushi di meja makan.

Aku memandang sushi yang dibuat Killua.

Nasi, coktail udang, dan ikan trout yang dilumuri saus mustard.

"Sushi bourgogne style," gumamku pelan.

"Tepat," jawab Killua sembari mulai memakan sushinya.

Sambil bertanya-tanya dalam hati bagaimana rasa sushi-nya, Aku mengambil sumpit, dan mulai memakannya juga.

"Apakah kau tidak akan bertanya padaku bagaimana rasa sushi buatanmu?" tanyaku.

"Kurasa tidak perlu. Karena aku tahu, pasti rasanya sangat enak," kata Killua yakin.

Ya, ini adalah salah satu sushi paling enak yang pernah kumakan.

"Baiklah, kau benar, meskipun aku tidak suka mengakuinya," balasku.

Ia tersenyum mengejek, tapi aku mengabaikannya. Sebenarnya aku lebih suka melihatnya tersenyum dengan tulus. Tapi, senyum itu, jarang diperlihatkannya.

"Pasti kau sudah sering membuat jenis sushi ini," cetusku.

"Tidak, ini kali kedua aku membuatnya. Aku pertama kali membuatnya, saat ujian Hunter, lima tahun yang lalu," jawab Killua dengan ringan.

Apa?

Baiklah, dia memang orang yang penuh dengan kejutan. Baru siang tadi, dia mengatakan, jika dia bisa membuka pintu gerbang rumahnya yang beratnya mencapai enam belas ton, saat dia berumur dua belas tahun.

Sekarang dia bisa membuat sushi seenak ini hanya dengan satu kali percobaan?

Orang macam apa dia?

"Kelihatannya kau begitu terkejut." Killua membaca ekspresi wajahku.

"Mmm... Kurasa, kau memang tipe orang yang bisa mengejutkan orang lain dengan sikapmu," balasku, sambil mengambil sushi dari piringku.

"Benarkah? Bisakah kau berikan salah satu contohnya?"

"Seperti yang baru saja kau lakukan. Kau membuatku terkejut saat kau membuat sushi yang, baiklah, kita sebut saja enak. Padahal, kau mengatakan kalau ini baru kali keduanya kau membuat sushi. Contoh kedua, baru tadi siang kau membawaku keluar dengan meloncat dari jendela lantai dua rumah ini. Kurasa orang normal tidak akan melakukannya. Dan kau sukses membuatku terkejut saat itu," jelasku.

"Apakah dengan kata lain, kau menyebutku sebagai orang abnormal?" Killua menyimpulkan.

"Tidak, menurutku kau tidak abnormal. Tapi, kau juga tidak bisa disebut sebagai orang normal. Mungkin, kata yang lebih tepat adalah berbeda. Kau orang yang berbeda dari orang lain pada umumnya, dengan caramu sendiri," aku menyampaikan pendapatku.

"Mmm... Mungkin kau benar," katanya sembari kembali melahap sisa sushi dari piringnya.

"Bagaimana lukamu?" tanya Killua kemudian.

"Kurasa sudah jauh lebih baik. Aku hampir tidak merasakan sakit lagi, sekarang."

"Tidak heran, karena tadi kau sudah bisa berjalan rupanya," komentar Killua.

"Sebenarnya, hanya butuh membiasakan kakiku, setelah beberapa hari tidak berfungsi. Lagipula, dengan begini, kau tidak perlu menggendongku lagi," jawabku.

"Kau mengatakannya seolah-olah, kau tidak senang. Padahal, baru tadi siang saat aku membawamu ke dalam rumah Gon, kau mengigau, jika berada di pelukanku sangat nyaman," kata Killua santai.

Astaga...

Kenapa aku bisa sampai mengigau seperti itu?

Aku merasakan mukaku memerah.

Dan aku bisa merasakan, dia memandangku.

Sial!

Lalu aku menunduk, menatap sisa sushi di piringku untuk menutupinya.

Paling tidak, aku tidak akan semudah itu mengakuinya.

"Aku tidak ingat saat mengatakannya," aku berusaha membantahnya.

"Karena kau setengah tertidur, saat itu."

"Bisa saja kau berbohong," bantahku kembali.

"Kurasa wajahmu yang memerah itu, sudah merupakan bukti yang cukup," jawab Killua dengan sedikit menyeringai.

Baiklah, dia menunjuk poin yang tepat, dan aku tidak bisa mengelak lagi.

Sial!

Kenapa sulit sekali berdebat dengannya?

"Apakah kau mengakuinya sekarang?"

"Bisakah kau diam?"

"Tidak, sebelum kau menjawab pertanyaanku." Ia terlihat menikmatinya.

Aku heran, kenapa di dunia ini ada orang yang begitu menyebalkan sepertinya.

"Baiklah, aku mengakuinya. Senang?" aku memutuskan untuk mengakhiri perdebatan dengannya.

"Ya," jawab Killua yang puas atas kemenangannya.

Astaga...

Entah ini kali keberapa, aku telah mempermalukan diriku didepannya. Dan kuharap, ini untuk yang terakhir kalinya.

Baiklah, ubah topik.

"Killua, bisakah kau menunjukkan tempat di mana kau menemukanku 3 hari yang lalu?"

"Aku tahu, kau berusaha mengubah topik pembicaraan," kata Killua berusaha menyembunyikan senyumnya.

Orang ini...

"Bisakah kau menjawab pertanyaanku saja?" tanyaku kesal.

"Baiklah, baiklah... Memang kau mau apa?" akhirnya ia mengalah.

"Kurasa aku harus kembali ke rumahku, untuk mengambil barang-barangku. Aku sudah memutuskan untuk tidak akan tinggal di sana. Rumah itu, menjadi semacam kenangan buruk buatku. Kau tahu kenapa," aku berkata pelan.

"Baiklah, aku akan menemanimu besok," usul Killua.

Sebagian dari diriku, ingin menolak tawaran Killua. Karena, dia sudah terlalu banyak melakukan sesuatu untukku, dan aku tidak mau merepotkannya lebih jauh lagi. Tapi, bagian yang lebih dominan dari diriku, menginstruksikanku untuk menerima tawarannya. Karena... Mungkin, akan menyenangkan jika pergi bersamanya.

Astaga, kenapa aku bisa berpikiran seperti itu?

Karena kau menyukainya. Kata salah satu suara dalam diriku.

Apa kau bilang? Tidak. Itu sama sekali tidak benar.

Hei, kita sudah sering berdebat tentang ini.

Berapa kali pun berdebat, jawabanku tetap sama : Tidak.

Kau yakin?

...

Mmmm... Ya.

Kau terlihat ragu.

Sudahlah, bisakah kau di...

"Hei, apakah kau masih berada di disini?"

Suara Killua menarikku kembali ke dunia nyata.

Butuh beberapa saat bagiku, sebelum menyadari bahwa wajah Killua berada cukup dekat dengan wajahku. Mata emerald-nya, menatap ke dalam mata onyk-ku, dengan pandangan ingin tahu.

Aku begitu terkejut, sehingga langsung memalingkan wajahku.

Sial!

Kenapa dia harus menatapku seperti itu?

"Kau sedang memikirkan sesuatu," Killua menyimpulkan. Aku lega dia sudah kembali ke posisinya semula.

"Ummm.. ya."

Aku sedang memikirkanmu.

"Hei, kau melakukannya lagi," tiba-tiba Killua berkata.

"Melakukan apa?" tanyaku bingung.

"Wajahmu memerah lagi," kata Killua sederhana.

"Apa? Tentu saja tidak!" sangkalku.

"Aku melihatnya," kata Killua santai.

Sial!

Sudah cukup malam ini aku mempermalukan diri didepannya.

"Berhenti, mengatakannya," aku berkata kesal

Ia menyeringai.

Akhirnya, untuk mengalihkan pandanganku darinya, aku melihat kearah jam dinding.

Pukul 2 malam.

"Hei, tidakkah kau rasa kita harus kembali ke tempat tidur masing-masing? Aku membutuhkan tenaga untuk perjalanan kembali ke rumahku besok." aku menyarankan, sambil berharap dia melupakan hal barusan.

"Baiklah, kurasa kau benar," jawab Killua ringan. Aku lega dia langsung menyanggupinya, dan bukannya terus mengejekku.

Lalu Killua bangkit dari kursinya, dan aku mengikutinya keluar dari dapur.

"Kau mau kemana?" aku heran melihat Killua menaiki tangga yang sama denganku.

"Ke kamarku tentu saja."

"Tidakkah kamarmu berada di bawah?"

"Siapa yang mengatakannya?"

"Tidak ada, aku hanya menebak. Lalu, kenapa saat turun tadi, aku tidak mendengar langkah kakimu?" tanyaku penasaran.

"Aku punya kemampuan untuk menyembunyikan diriku dengan baik," jawabnya santai.

Huh. Tidak heran, karena dia bukan orang biasa.

Akhirnya, kami sampai di depan kamarku.

"Baiklah, terima kasih atas sushinya, Killua," aku berkata sembari berbalik menuju pintu.

Tapi, ketika aku akan membuka pintu kamarku, ternyata tangan Killua telah lebih dulu melakukannya. Ia berdiri di sisi pintu, untuk menungguku masuk.

Well, aku sama sekali tidak pernah menyangka jika dia bisa menjadi…

Manis?

Aku tersenyum kepadanya, sebelum kemudian berjalan masuk kedalam.

"Tunggu," kata Killua, tepat setelah aku melewatinya. Otomatis, aku menghentikan langkahku, lalu berbalik ke arahnya.

Aku baru saja akan bertanya ada apa, ketika ia memasukkan tangannya ke dalam saku celananya. Lalu, ia mengulurkan sesuatu padaku.

Beberapa permen cokelat.

Baiklah, kadang, dia bisa menjadi menyenangkan.

"Terima kasih," aku menerimanya, dan tersenyum.

Selama beberapa saat, kami hanya berdiri di sana, tanpa mengatakan sepatah kata pun.

Akhirnya aku memutuskan bahwa, sekarang, sudah saatnya untuk masuk ke dalam. "Selamat malam," aku tersenyum kecil.

"Malam," balas Killua, sebelum akhirnya melangkah keluar, dan menutup pintu kamarku.

Aku berjalan ke tempat tidurku, dan duduk di atasnya. Kemudian, aku membuka kemasan permen cokelat, yang diberikan Killua padaku, tadi. Lalu, mulai memakannya.

Manis.

Sama seperti dirinya.

Baiklah…

Aku harus mengakui.

Aku menyukainya.


End of chapter 4


Author's Note :

Sebenernya, author juga mau kok, kalo jadi Yuriko, di chapter ini #plak

Lalu, bagaimana pendapat kalian tentang chapter ini?

Btw, ini adalah chapter yang paling panjang diantara chapter2 yg lainnya.. Tadinya, mau saya bagi jadi dua chapter. Tapi, ternyata gak enak bacanya, kalo chapter ini di bagi dua. Maka, jadilah chapter yang sepanjang ini ^^

Di chapter ini, bagian paling sulit adalah saat membuat Killua PoV. Karena, saya berusaha untuk membuat Killua yang In Character. Tapi, jika hasilnya masih OOC, mohon dimaafkan yaa... hehehe.

Di chapter ini juga, muncul seorang OC saya yang bernama Yuna. Kenapa Killua merasa gagal melindungi Yuna? Dan apa yang terjadi pada Yuna? Jawabannya bisa dilihat di chapter2 mendatang.

So, keep reading Unexpected Decision ^^

Dan review berupa kritik dan saran sangat diterima dengan tangan terbuka... jadi, jangan lupa di review yaaaa ^^

Makasiiiiiiih ^^

Regards,

Nienda Zaoldyeck (닌다 차올디엨)