Snow of Love 恋の雪

.

Detective School Q belong to Seimaru Amagi-sensei and Fumiya Sato-sensei

.

Chapter 2

When You Held My Hand

.

.

Megumi duduk di meja berlajarnya sambil meletakkan tangan kirinya untuk menyangka kepalanya. Dia kembali berpikir tentang Ryuu. Hari ini dia bisa pulang bersama, suatu hal yang baik. Sebab dia memang ingin menjalin hubungan yang baik dengan Ryuu. Menurutnya itu adalah awalan yang baik. Dia jadi semakin berpikir bagaimana caranya agar dia bisa lebih dekat lagi. Tapi tiba-tiba saja ekspresi wajah Ryuu saat pulang bersamanya tadi, terbayang di benaknya. Mata dengan sorot yang dingin, dan wajahnya yang tak menunjukkan ekspresi yang begitu jelas.

'Benarkah dia sedingin itu?'

Megumi mulai berpikir dan berpikir, misteri itu belum terpecahkan sedikit pun. Tentang sikap dingin Ryuu pada orang lain juga padanya. Semuanya satu pun belum terpecahkan. Bahkan Megumi sempat berpikir itu bukan lagi misteri karena dia rasa Ryuu tak sedingin kelihatannya. Entah kenapa pola pikirnya mendapatkan jawaban seperti itu.

'Tapi jika dia tak sedingin itu, kenapa bersikap begitu? Kenapa?'

Berbagai kemungkinan mulai terpikirkan oleh Megumi. Namun dia kesulitan untuk memikirkannya. Sungguh. Menebak alasan seseorang untuk bersikap berbeda dari yang lainnya, adalah misteri yang besar. Karena dia tak boleh salah dengan hasil akhirnya nanti, sebab jika iya, itu akan bisa merubah pendapatnya tentang Ryuu. Merubah segalanya yang dilihat tentang Ryuu.

Megumi berpikir apa lebih baik dia menyerah saja. Sebelum dia bertindak terlalu jauh, untuk mencari fakta-fakta tentang diri Ryu. Mungkin hal ini tak sopan. Tapi hatinya menolak berhenti. Sangat menolak. Hatinya menyuruh dia agar tetap memecahkan misteri ini. Dia sedikit bingung kenapa perasaannya jadi begini. Susah dikendalikan. Walaupun dia tahu, yang bisa dikendalikan adalah pikiran dan bukan perasaan. Sekali lagi, dia akan memecahkan misteri ini.

'Ryuu adalah misteri terbesar dalam hidupku… Sanggupkah menguraikan semuanya?'

"Hei, kau sedang apa?" teriak kakaknya sambil membuka pintu kamar Megumi dengan sedikit kasar.

Megumi yang asyik melamun, menoleh dengan wajah polos ke arah kakaknya. Dia mengamati kakaknya yang memakai rok berwarna jingga dan baju kerah berwarna putih, dan juga sebuah jaket berwarna sama, sambil menenteng tas kecil. Sedangkan Megumi hanya memakai celana pendek dan kaos oblong berwarna merah, padahal ini awal musim dingin. Berarti kakaknya akan pergi ke suatu tempat, sehingga dia berpakaian rapi.

"Kakak mau pergi ke mana?" tanya Megumi to the point. Dia jadi mulai kebiasaan menganalisa hal-hal kecil.

"Ke toko… Kau mau ikut?" tawar kakaknya seraya melirik jam tangan kecil berwarna jingga pula.

"Baiklah, aku ganti baju dulu…"

Setelah kurang lebih 5 menit berganti baju, Megumi keluar dari kamarnya. Celana pendek dan kaos oblong tadi, sekarang sudah berubah menjadi celana ¾ berwarna putih tulang dan kaos berwarna jingga, dan mantel berwarna putih. Seakan akan dia ingin memakai baju bernuansa sama dengan kakaknya. Kakaknya yang sedikit terkejut dengan penampilan Megumi yang senada dengannya, berdesah pendek, lalu memaklumi dan memberi isyarat agar Megumi segera megikutinya.

Megumi yang melihat kakaknya berdesah, tersenyum canggung. Sebenarnya dia sendiri tak tahu kenapa memakai baju ini. Dia hanya asal ambil, dan tak mau menggantinya. Setelah itu, dia berlari mengejar kakaknya yang akan mengunci rumah. Dia siap membantu di toko bunga bibinya.

.

.

"Kak, tadi aku bertemu dengan Ryuu…" kata Megumi memulai pembicaraan sambil berjalan dan merapatkan mantelnya karena merasa kedinginan.

"Lalu, kalian bicara apa saja?" kata kakaknya yang entah kenapa sedang sibuk melihat ke jam tangannya.

"Tidak banyak… Aku hanya memperkenalkan diri… Aku tadi pulang bersamanya, mungkin rumahnya lebih jauh dariku tapi sejalan…" jelas Megumi sambil mengingat-ingat kembali saat-saat dia dan Ryuu berjalan bersama. Entah kenapa Megumi beranggapan bahwa itu adalah saat-saat yang menyenangkan, walaupun dia hanya bicara sendiri dan Ryuu mendiamkannya.

"Dia bagaimana?"

"Diam saja…" jawab Megumi enteng.

"Aduh kau ini… Dia diam saja dan kau berjalan di sampingnya?" kakakya melepaskan pandangannya dari jam tangan dan memasang wajah kesal ke arah Megumi.

"Iya…" Megumi masih menjawab dengan tenang-tenang saja. Dia berpikir apakah hal yang terjadi padanya dan Ryuu tadi adalah hal yang aneh sampai-sampai kakaknya memasang wajah kesal setelah mendengar jawaban darinya.

"Kalau dia diam saja… Berarti dia membencimu, kenapa kau malah tetap berjalan bersama?"

Megumi berpikir sebentar dan menjawab dengan nada pasti, "Kalau dia benci padaku, mestinya dia melangkah meninggalkanku sendirian kan? Tapi dia tidak kok…".

"Oh benar juga… Berarti dia menyukaimu!" seru kakaknya dan tertawa menggoda.

"Eh, kenapa bisa begitu? Aku kan hanya bilang dia mungkin tidak benci, tapi bukan berarti suka kan?" Megumi mencoba protes sedangkan wajahnya sudah berubah merah karena malu.

"Bisa saja dia suka padamu… Eh, berarti cinta pertamamu dong?" goda kakaknya.

"Bukan begitu…!" wajah Megumi semakin memerah saja, saat dia sadar bahwa sebelumnya dia tak pernah merasakan menyukai seseorang.

"Sudahlah… Nanti aku carikan bunga yang bagus untuk kau berikan padanya…"

"Kan aku tidak menyukainya!"

"Tak mungkin… Dia diam saja, kau masih tetap keras kepala berjalan di sampingnya… Apa coba, kalau bukan suka?"

"Aku tidak tahu!" Megumi kehabisan kata-kata untuk mengelak dan hanya bisa memasang wajah cemberut. Dia tak mengerti kenapa dia bisa merasa aneh saat kakaknya menggodanya. Ini baru pertama kalinya, kakaknya berlaku seperti itu. Mungkin itu alasannya. Sebab Megumi tak ingin berpikiran terlalu jauh bahwa dia menyukai Ryuu. Tujuannya kan berteman. Teman. Dia harus ingat itu.

"Haha, wajahmu lucu, Megu-chan!" kakaknya mencubit pipi Megumi sambil tersenyum geli melihat wajah Megumi yang merah merona karena dia goda. Dalam hati, kakaknya yakin sekali bahwa Megumi menyukai Ryuu, hanya saja Megumi belum menyadari itu. Wajar saja, sebab ini pertama kalinya Megumi dekat dengan seorang laki-laki. Mungkin hatinya masih belum tahu bahwa itu adalah rasa suka. Tapi kakaknya sama sekali tak keberatan jika Megumi memang menyukai Ryuu, karena dari cerita Megumi, dia tahu bahwa Ryuu adalah anak yang baik.

"Apa-apaan sih!" Megumi berseru kesakitan karena pipinya dicubit. Dia heran kenapa kakaknya akhir-akhir ini semakin suka menggodanya. Keterlaluan.

"Kita sudah sampai!" kata kakaknya yang sudah melepaskan tangannya dari pipi Megumi dan melangkah masuk ke sebuah toko bertuliskan 'Flowers shop – Flaura'. Megumi dengan masih memasang wajah cemberut, ikut masuk juga ke dalam toko.

.

.

"Aku perhatikan, akhir-akhir ini kau sering bersama Ryuu ya?"

"Tidak kok… Aku hanya mengikutinya dari belakang… Kami tidak bersama…"

"Benarkah? Jangan-jangan kau menyukainya?"

"Eh, bukan begitu…" wajah Megumi memerah seketika.

"Lalu?" tanya Akame penuh selidik.

"Sudahlah, kita bahas hal lain saja…" Megumi mencoba mengelak. Dia tak ingin Akame tahu bahwa dia sebenarnya ingin berteman dengan Ryuu. Entah kenapa.

"Kau kan belum jawab pertanyaanku…"

"Pertanyaanmu tak ada jawabannya…"

"Yang benar saja!" Akame mulai tampak kesal. Dia merasa dipermainkan oleh Megumi.

"Sungguh… Tidak ada apa-apa…"

Akame memandang penuh curiga. Di sela-sela pandangannya itu, dia juga memasang tatapan yang tajam ke arah Megumi. Dan dengan kesal, dia menuruti Megumi untuk berganti topik pembicaraan. Tapi di dalam hatinya, terpenuhi oleh rasa curiga atas perlakuan Megumi pada Ryuu.

.

.

'Itu dia…' Megumi tersenyum lega saat melihat Ryuu sedang berjalan sambil memegang tas sekolah. Dia segera berlari menghampiri. Dia sangat senang saat tahu bahwa sekali lagi, mereka bisa pulang bersama.

Sebelum Megumi sampai di samping Ryuu, dia tanpa sengaja bertabrakan dengan seorang perempuan yang sedang berjalan dengan membawa tas karton kecil. Megumi dan perempuan itu sama-sama jatuh dan kesakitan. Perempuan itu dengan sigap segera mengambil isi dari tas kartonnya yang jatuh berantakan. Isinya adalah beberapa cincin dan gelang yang terbuat dari batu. Dia dengan panik memungutnya. Megumi yang sadar, segera membantu memungutnya. Tepat ketika mereka selesai, perempuan itu berdiri dan memeriksa isi dalam tasnya. Tapi dia menegur Megumi.

"Hei, cincinku hilang satu!" serunya dengan terkejut.

"Eh?" Megumi juga terkejut mendegar hal itu.

"Jangan-jangan kau yang ambil!" tuduh perempuan itu sambil menunjuk-nunjuk wajah Megumi.

"Bukan aku… Sejak awal, cincin dan gelang anda memang hanya itu…" kata Megumi membela diri. Sebab dia tadi melihat sekilas dengan jelas barang-barang yang jatuh. Dan memang semuanya sudah dimasukkan. Tak terkecuali. Megumi ingat itu.

"Kau tahu apa! Cepat berikan, itu barang penting!" bentak perempuan itu dengan wajah kesal.

"Sungguh aku tak mengambilnya… Cincin anda tadi ada 5, dan gelangnya 6… Hanya itu barang yang jatuh!"

"Tidak mungkin… Aku ingat kalau aku memasukkan 6 pasang cincin dan gelang di tas ini! Sekarang berkurang!"

"Tapi memang yang jatuh hanya itu… Aku ingat saat anda memungutnya…"

"Omong kosong!" teriak perempuan itu pada Megumi.

Ryuu berjalan menuju Megumi dan menggenggam tangannya. Dengan cepat Ryuu menarik Megumi untuk pergi. Megumi yang terkejut dengan kejadian itu, hanya bisa menurut saja. Sedangkan perempuan tadi semakin marah dan mencoba menghalangi Ryuu yang akan membawa pergi Megumi. Ryuu yang jalannya dihalangi, berhenti dan menatap dingin pada perempuan itu. Lalu dia menunjukkan sesuatu yang sedang digengamnya.

"Ini cincinmu yang jatuh di bawah pohon di sana…" kata Ryu yang muncul tiba-tiba sambil menyerahkan cincin berbatu merah pada perempuan itu.u

"Eh?" seru Megumi dan perempuan itu bersamaan.

"Kalau kau tak tahu pasti, jangan bersikukuh…" Ryuu berlalu sambil membawa pergi Megumi.

Megumi menoleh pada perempuan yang tadi menuduhnya mencuri, dia melihat perempuan itu terlihat senang sambil memegangi cincinnya. Mungkin barang tadi benar-benar berharga. Megumi bersyukur karenanya. Tapi ada satu hal yang masih membingungkannya. Saat ini dia sedang berjalan bersama Ryuu, dan Ryuu masih menggenggam tangannya.

'Ryuu… Dia…' Megumi memandangi Ryuu yang tatapannya terfokus pada jalan di depan. Sedangkan Megumi salah tingkah karena ini pertama kalinya, dia digandeng oleh seorang pemuda sebayanya.

"Anou… Arigatou, Amakusa-kun…" Megumi terbata mengucapkan kata terima kasih.

"Un…" jawab Ryu singkat.

Megumi masih memandangi tangannya yang sedang digenggam Ryuu sambil berjalan. Entah Ryuu tak sadar atau apa, sebab sudah lima menit mereka berjalan, Ryuu belum melepaskan tangannya. Megumi sedikit bingung, harus senang atau marah.

Akhirnya mereka sampai di rumah Megumi. Butuh sekitar 15 menit dari jalan tadi ke rumah Megumi, tak begitu lama memang, tapi bagi Megumi berjalan dengan tangan yang digandeng oleh pemuda yang baru dikenalnya beberapa hari ini, adalah suatu hal yang memberi sensasi tersendiri dalam hatinya.

'Tu, tunggu… Kenapa aku jadi aneh begini? Kok aku merasa gugup sih…' Megumi berpikir ada yang salah dengan dirinya. Tangan kanannya yang terbebas dari genggaman Ryuu, menempel di dada. Mengecek apakah detaknya mulai bertambah atau menurun. Tapi ternyata bertambah.

"Kita sudah sampai…" kata Ryu dan melepaskan genggaman tangannya dari Megumi dan menatap Megumi tanpa ekspresi.

"Ah, iya…" Megumi tak menyadari kalau mereka sudah sampai. Dia jadi sedikit malu, karena bisa lupa dengan rumah sendiri. Tapi dia sedikit bingung juga saat Ryuu melepaskan tangannya. Entah harus menyesal atau gembira. Megumi tidak tahu.

"Anou… Amakusa-kun… Sekali lagi, arigatou… Kau sudah menolongku dari orang tadi…" Megumi masih ingin mengucapkan terima kasih.

"Kalau kau tak bersalah, cobalah untuk lebih tegas… Orang bisa mempermainkanmu…" kata Ryuu dingin.

"Baiklah…"

Ryuu melanjutkan perjalanannya menuju rumah. Megumi yang belum ingin masuk rumah, melihat Ryu berjalan dari kejauhan. Megumi benar-benar berterima kasih hari ini.

.

.

"Hari ini bertemu dengan Ryuu lagi?" tanya kakak Megumi.

"Iya…"

"Dia masih dingin padamu?"

"Sedikit…"

"Sedikit?" kakaknya berjalan menuju meja makan dengan membawa sup jagung muda untuk makan malam. Dia menaruh sup itu dan segera duduk di seberang Megumi untuk mendengarkan ceritanya. Sedangkan Megumi masih asyik mengunyah roti yang tadi dibelinya di toko dekat toko bibinya setelah selesai membantu.

"Sebenarnya tadi dia membantuku dari seorang perempuan yang menuduhku mencuri…" jelas Megumi sambil mengunyah rotinya pelan.

"Hontou?"kakaknya terkejut.

"Un…"

"Lalu?"

"Sudah, itu saja…" Megumi merasa tak perlu menceritakan soal bergandengan tangan dengan Ryuu, dia takut akan digoda lagi oleh kakaknya.

"Masa'? Jangan bohong kamu… Aku sudah tahu ada yang sembunyikan dariku! Terlihat dari wajahmu!" kakaknya mencoba menginterogasi.

"Tidak ada, kak…" Megumi berbohong.

"Ya sudah… Tapi itu suatu kemajuan, Megu! Aku rasa dia mulai tertarik denganmu…" kakaknya tersenyum senang.

"Tidak mungkin… Tadi dia hanya merasa kasian padaku…" Megumi terkejut dengan kalimat yang baru diucapkannya sendiri. Entah kenapa, kalimat yang tak diinginkan justru malah dia ucapkan. Tapi dengan cepat dia mengubah ekspresinya, agar kakaknya tak curiga.

"Jangan memasang wajah lucu seperti itu dong Megu-chan…!" kakaknya mencubit pipi Megumi sambil tertawa.

Megumi mengaduh dan marah pada kakaknya. Memangnya dia sedang memasang wajah aneh? Dasar kakak yang sulit dimengerti.

.

.

Masih dalam bulan Desember yang dihiasi salju pada musim dingin, kegiatan sehari-hari di sekolah tidaklah berubah. Semua masih berjalan lancar, selancar salju yang masih turun dari langit. Ya, hampir tidak berubah. Karena sikap Megumi berubah drastis.

Setelah kejadian digenggam Ryuu, Megumi sering sekali mendekati Ryuu, dengan segala cara. Mulai dari berjalan di belakangnya, makan di sampingnya, duduk bersebelahan dengannya, bahkan mengobrol dengannya. Namun, hasilnya masih tetap sama. Ryuu tak berubah sama sekali. Tetap dingin dan tak peduli. Saat Megumi mengikutinya, dirinya bahkan sama sekali tak protes. Bukan tak protes karena tak keberatan, tetapi tak protes karena tak peduli. Seakan Megumi tak ada di sampingnya, Ryuu berjalan tanpa memandang sedikitpun.

Begitu juga saat Megumi mengajak berbicara, Ryuu seakan tak mendengar dan terus melakukan kegiatannya, ketika Megumi sudah selesai atau masih bicara, Ryuu melangkah pergi begitu saja. Megumi duduk di sampingnya, dia juga melangkah pergi. Tanpa berkata apa pun dan melihat sedikit pun. Sikapnya sangat dingin. Sedingin boneka salju yang berdiri di tengah badai.

Namun, Megumi bukanlah tipe orang yang suka menyerah begitu saja. Walaupun sudah tak terhitung berapa kali Ryuu mencampakkannya, dia masih tersenyum dan mendekati Ryuu. Bahkan hampir semua teman di kelasnya bertanya kenapa dia masih bersikukuh mendekati Ryuu yang jelas-jelas tak pernah melihatnya sama sekali. Dan Megumi hanya tersenyum menanggapi pertanyaan teman-temannya. Jika harus berbicara, dia hanya berkata, "Tidak apa-apa… Aku tak keberatan dengan sikapnya itu…". Tentu saja jawaban Megumi itu membuat temannya berpikiran apakah Megumi pernah bertemu orang yang lebih dingin dari Ryuu. Tetapi nyatanya, hanya Ryuu lah yang Megumi temui dalam keadaan seperti itu.

Kali ini Megumi kembali duduk di samping Ryuu yang sedang asyik membaca di bawah pohon di taman sekolah. Semua teman-temannya lebih memilih berada di dalam kelas karena udara semakin dingin, namun tidak dengan Megumi. Walaupun dia kedinginan, dia tetap menemani Ryuu yang membaca dengan santainya seolah tak merasa kedinginan sama sekali. Megumi hanya diam dan sesekali melirik ke wajah Ryuu untuk melihat keadaan. Dan seperti biasa, Ryuu masih dengan ekspresi dinginnya.

"Amakusa-kun, apa kau tak merasa kedinginan?" tanya Megumi yang melingkarkan tangannya untuk mengusap lengannya agar tak merasa kedinginan.

Ryuu hanya diam sambil membalik halaman bukunya. Entah telinganya tak menangkap pertanyaan Megumi atau malah sengaja tak menangkap.

"Diberita, katanya salju akan turun lebih banyak bulan ini… Mungkin Tokyo akan sedingin Hokkaido ya?" Megumi tertawa pelan, namun wajahnya berubah sedikit muram ketika Ryuu tak kunjung bereaksi. Megumi mengintip buku apa yang sedang dibaca oleh Ryuu. Bercover hitam dengan sedikit corak petir, judulnya berwarna putih dan bertuliskan 'Down to Hell'. Megumi berpikir itu mungkin sebuah novel misteri.

"Benar, kau tak kedinginan? Salju mulai turun…" Megumi berdesah.

Megumi menadahkan telapak tangannya saat salju turun di atas mereka. Megumi memang menyukai musim dingin. Mungkin itulah sebabnya dia tak keberatan dengan orang sedingin Ryuu.

"Hei, angin mulai bertiup…" seru Megumi ketika angin mulai menghempaskan salju ke wajah dan seragamnya. Dia mulai menutupi wajahnya agar salju tak masuk ke mata. Begitu juga menghangatkan tubuhnya dengan mendekap dirinya sendiri.

Ryuu melirik ke arah Megumi yang sebenarnya masih sibuk bermain dengan salju yang turun. Dia menutup bukunya dan berdiri lalu menatap Megumi. Megumi yang sadar bahwa Ryuu berdiri, melihat ke wajah Ryuu. Tatapan mata Ryuu dan Megumi bertabrakan.

"Nan desu ka? Amakusa-kun…" tanya Megumi.

Ryuu lalu melangkah masuk ke dalam kelas. Sontak Megumi mengikuti Ryuu yang pergi. Megumi tak mengerti kenapa Ryuu menatap matanya dan masuk ke dalam kelas begitu saja.

'Mungkin dia bosan denganku ya?' pikir Megumi.

Sedangkan Ryuu yang sudah duduk di bangku dalam kelasnya, berdesah pendek. Dan melihat ke arah Megumi yang sedang dikerumini siswa perempuan. Banyak dari mereka yang bertanya pada Megumi.

"Kau ini… Di luar salju dan angin bercampur jadi satu… Tapi kenapa tak masuk?" kata Mitsumi, siswa yang duduk di depan Megumi.

"Nanti kau sakit, kau kan hanya pakai seragam…" tambah Ritsuu, yang duduk di samping Megumi.

"Megu…" desah Akame.

"Tenang… Atashi wa genki desu…" Megumi tersenyum.

.

"Aku selalu berpikir, kenapa salju harus mencair?" kata Megumi sambil memandangi salju yang terus jatuh dari atas pohon ginko tempat dia dan Ryuu sekarang berdiri.

Seperti hari-hari yang lainnya, Megumi masih setia mengikuti kemana saja Ryuu pergi. Entah itu di taman sekolah, kantin sekolah, gerbang sekolah, bahkan jalan pulang. Dan masih seperti biasanya juga, Ryuu sama sekali tak beraksi dengan tingkah Megumi yang bisa dibilang menjengkelkan. Mengusir tidak, membiarkan juga tidak. Itulah yang dilakukan Ryuu pada Megumi. Ajaibnya Megumi sama sekali tak bosan dan protes. Dia masih betah diperlakukan seperti itu. Dan masih bisa memberikan senyuman saat Ryuu pergi meninggalkannya ketika sedang berbicara. Megumi memang keras kepala.

"Padahal salju kan hal yang sangat menyenangkan ketika musim dingin…" sambung Megumi mulai menikmati salju yang menempel di wajahnya, namun lekas mencair.

Ryuu mendongakkan kepalanya untuk melihat salju yang turun dari atas pohon yang diteduhinya ini. Kebiasaannya memasukkan kedua tangan atau salah satunya ke dalam saku celana, membuat kesan dingin semakin muncul dari diri Ryuu. Ryuu diam saja tak mendengarkan kata-kata Megumi. Dia memperhatikan dengan pandangan heran ke batang pohon. Wajahnya tampak meragukan sesuatu.

"Yuki…" kata Ryuu lirih, nyaris tak terdengar. Tanpa sadar dia mengucapkan kata itu. Mungkin dia sedikit terbawa suasana musim dingin.

"Doushite? Amakusa-kun… Apa kau juga menyukai salju?" senyum Megumi menghiasi pertanyaannya. Dia merasa sangat senang Ryuu akhirnya berbicara. Sudah lebih dari dua minggu dia selalu ada di samping Ryuu, tapi sekalipun Ryuu tak pernah mengatakan sesuatu. Megumi merasa ini awal dari hal yang baik.

Ryuu sedikit terkejut. Dia berbicara sangat lirih seperti berbisik. Kenapa Megumi masih bisa mendegarkannya? Tapi Ryuu yang sendirinya tak berniat berbicara, akhirnya meneruskan kata-katanya. Sebab dia juga sedikit merasa bersalah pada Megumi yang selalu dia biarkan begitu saja.

"Tidak… Aku membencinya…" kata Ryuu dingin. Begitu dingin.

Megumi yang tadinya tersenyum, sekarang berubah menjadi kecewa. Dia sangat kecewa dengan kata-kata Ryuu. Raut wajahnya berubah total, melukiskan kesedihan. Karena Megumi sangat menyukai salju dan musim dingin, jika Ryuu membencinya berarti Ryuu berbeda dengan yang dipikirkannya.

"Sou desu ka..." nada bicara Megumi berubah drastic. Menjadi sangat lirih dan tak ceria.

Ryuu melirik ke arah Megumi yang sekarang menundukkan kepalanya. Namun masih dengan ekspresi dinginnya, dia kembali diam tanpa reaksi.

"Ja, aku pulang dulu… Mata ashita…" seru Megumi sambil berlari menjauhi Ryuu. Dia sempat memberikan senyum yang dipaksakan. Dan berlari dengan cepat. Meninggalkan Ryuu di bawah pohon ginko yang diselimuti salju.

.

Megumi membaca buku yang baru dibelinya kemarin bersama kakaknya. Sebuah novel berjudul 'Winter at the Snow'. Judul yang sangat menarik untuk dibaca, itu sebabnya Megumi membelinya. Sebelumnya dia tak terlalu suka membaca, tapi buku ini menceritakan tentang hal yang disukainya. Salju dan musim dingin.

Dengan serius dia mencermati kalimat demi kalimat yang dibacanya. Matanya hanya terfokus pada paragraf-paragrafyang tertera di sana. Dia sudah begitu larut dalam dunia membacanya. Karena novel itu memang member sensasi tersendiri pada Megumi. Sudah hampir ¾ dia membaca isi novel. Itu berarti dia menjalani sebuah klimaks dalam cerita.

Akame duduk di depan Megumi. Dia memerhatikan Megumi yang entah sejak kapan mulai menyukai membaca sebuah buku di sekolah. Tanpa bermaksud menganggu, Akame berniat mengajak Megumi berbicara. Namun sedikit urung, ketika Megumi tak menyadari kedatangannya.

"Sedang membaca apa, Megu?" sapa Akame ramah. Dia berharap Megumi tak marah dengannya.

"Oh, Akame… Gomen, aku tak melihatmu…" Megumi menutup bukunya dan memandang ke arah Akame sambil tersenyum. Dia berharap Akame tak kecewa karena Megumi benar-benar tak sadar Akame ada di depannya. Dia terlalu asyik membaca novel barunya.

"Daijoubu desu… Memangnya kau sedang membaca apa?" ulang Akame.

"Novel… Aku baru membelinya kemarin…" Megumi menunjukkan cover novel itu di depan wajah Akame.

Akame melihat novel yang bercover biru muda dan dihiasi salju-salju kecil, di sana bertuliskan 'Winter at the Snow'. Judul yang cukup aneh bagi Akame.

"Aku tak tahu kau suka membaca…".

"Tidak… Aku tertarik dengan judulnya, makanya aku membelinya... Padahal dulunya aku jarang membaca buku seperti ini…" jelas Megumi.

"Apa bukan karena kau dekat dengan Ryuu jadinya malah suka membaca?".

"Amakusa-kun? Tidak kok…" Megumi menjadi terpikirkan Ryuu yang biasanya membaca di bawah pohon sendirian.

"Demo… Akhir-akhir ini kau jadi jauh darinya ya? Apa sudah bosan didiamkan olehnya?" tanya Akame.

Megumi berpikir sebentar. Memang Akame benar, ini sudah hampir dua minggu dia menjauhi Ryuu. Bukannya berniat menjauh, tapi ketika akan mendekat, Megumi teringat tentang Ryuu yang mengatakan bahwa dia benci salju. Entah kenapa Megumi jadi ragu. Dia terpaksa menjauh. Walaupun sebenarnya tidak ingin seperti itu.

'Apa benar, aku bosan didiamkan?' pikir Megumi.

Hal seperti itu bisa saja terjadi padanya. Hampir semua orang mungkin akan bosan jika didiamkan begitu saja. Megumi juga membantah kenyataan itu. Tapi yang dia rasakan apada Ryuu sekarang sebenarnya bukanlah rasa bosan. Rasanya seperti sebuah ketakutan. Megumi merasa takut untuk mendekat lagi. Ryuu membenci salju, sedangkan Megumi sangat suka salju. Hal seperti itu entah kenapa malah menjadi sebuah tembok yang memisahkan dia dengan keinginannya untuk berteman dengan Ryuu.

'Tapi kanapa hanya karena hal seperti itu?'

"Hei, bagaimana? Kenapa malah diam saja…" seru Akame.

"Entahlah… Mungkin seperti itu…" Megumi bicara dengan nada tak jelas.

"Nani? Doushite?" Akame terkejut. Raut wajahnya tampak marah.

"Eh?" Megumi heran dengan reaksi Akame. Dia bingung kenapa Akame bisa semarah itu.

"Nan desu ka? Aka-chan…" tanya Megumi.

Akame menghela napas sambil menutup mata. Lalu memandang tepat ke mata Megumi. Dengan tegas dia berkata, "Ini bukan seperti pikiranmu, Minami-san…".

Megumi terkejut, biasanya Akame memanggilnya Me-chan, atau hanya Megu saja. Tapi kenapa tiba-tiba memanggil seformal itu? Megumi sedikit khawatir dia menyinggung perasaan Akame atau semacamnya. Dia jadi takut dengan perubahan Akame yang seperti ini. Sepanjang di SMU ini belum pernah Megumi melihat Akame berbicara seperti itu padanya atau pada orang lain. Megumi benar-benar takut sekarang. Dia hanya bisa diam menunggu kata-kata selanjutnya dari Akame.

"Kalau kau sejak awal tak berniat berteman dengannya, jangan lakukan itu padanya!" bentak Akame.

"Apa ini tentang Amakusa-kun?" tanya Megumi lirih.

"Ya, lalu siapa lagi?"

"Kau kira, bisa seenaknya mendekat lalu menjauhi dia? Aku keberatan dengan tingkahmu itu!" kata Akame kasar.

"Kau pikir dengan begitu kau bisa mempermainkan perasaanya? Apa karena dia anak yang pendiam lalu kau memanfaatkannya? Dia bukan mainan! Kalau memang sekarang sudah tak berniat mendekat, tak perlu mendekat! Jangan harap aku akan melepaskanmu jika kau melakukan hal seperti itu lagi padanya!" Akame pergi meninggalkan Megumi dengan perasaan marah. Banyak anak yang melihat hal itu menjadi bingung sendiri.

Akame tak biasanya semarah itu. Dia dikenal sebagia anak yang santai dan banyak tersenyum. Hanya karena Ryuu dan Megumi, dia berubah drastis.

Megumi masih tercengang dengan kata-kata Akame tadi. Dia lemas seketika. Akame bisa berubah menjadi sekasar itu padanya karena Ryuu. Hal itu membuat perasaan Megumi tak karuan. Dia sedih dan bingung. Apa dia begitu salah sehingga Akame semarah itu? Tapi kenapa Akame begitu? Akame bahkan tak pernah berbicara dengan Ryuu, lalu kenapa dia menjadi marah saat Megumi menjauhi Ryuu? Apa alasannya?

"Akame…" panggil Megumi lirih.

Ryuu yang melihat kejadian itu dari balik jendela kelas ketika akan masuk, juga melihat Akame yang keluar dengan wajah kesal dan marah, memandang dingin ke arah Akame.