Previous Chap :
"Aku ngga selingkuh..." Ia mengerucutkan bibir.
"Lalu kenapa Gaara mau mengajakmu pergi?"
"Aku juga ngga ngerti." Hinata menggeleng lelah. "Mungkin dia hanya bercanda."
"Kalau begitu besok kau menginap di rumahku aja. Biar aman. Besok orangtuaku lagi pergi, jadi kita bisa berduaan sepanjang hari."
Hinata menatapnya datar. Padahal baru saja tadi bete, tapi sekarang Naruto sudah bisa menggodanya lagi. "Ngga mau."
"Oh, ayolah, jangan mau dekat-dekat Gaara. Dia itu pria berbahaya. Lebih baik kau ke rumahku. Aku punya ruangan kedap suara, jadi kalau kau teriak-teriak di sana tak akan ada yang mendengarmu."
Pipi Hinata menggembung.
Dasar Naruto...
Tapi iya. Yang ia yakini, Hinata setuju kalau menganggap Gaara adalah orang yang berbahaya.
.
.
Hinata, aku ke rumahmu ya nanti?
Eh? Kenapa tiba-tiba?
Kan Gaara sempet bilang dia mau ke rumahmu.
Aku yakin itu cuma bercanda, Naruto-kun :(
Ngga, aku tau Gaara. Dia orang yang serius. Kau bisa dalam bahaya kalau Gaara bener-bener datang :(
Jangan seperti itu... lagian hari ini aku pergi. Naruto-kun ngga perlu khawatir.
Bohong deh pasti :(
Beneran...
Ngga mau aku main ke rumah, ya? Segitu jijiknya ya sama aku? :(
Naruto... bukan begitu :(
Yaudah, jadi boleh kan aku ke rumahmu?
...
Pleaseeee?
Naru...
Please...
Please...
Please...
Please...
Please...
Please...
Please...
Please...
Please...
Please...
Hinata menghela nafas.
Layar ponsel yang sedang menampilkan chat-nya dengan Naruto terus bergerak turun. Balon-balon dialog berisi tulisan 'please' terus bermunculan. Bunyi nyaring dari notifikasi ponselnya pun terdengar tanpa henti sampai-sampai Hinata terpaksa mengubah setting-an menjadi silent dan mengetik sebuah kalimat balasan dengan susah payah.
Baiklah. Kamu boleh ke rumahku tapi tolong jangan hari ini. Besok aja, bagaimana? Soalnya aku benar-benar akan pulang malam. Ada acara keluarga.
YATTA. Makasih ya, Sayang. Muah :*
"Lagi chat sama siapa?"
Suara mengejutkan dari arah samping membuat Hinata yang dari tadi fokus memegang ponsel terlonjak kaget. Dia seolah baru sadar kalau dirinya sedang berada di dalam mobil, dan cuma berdua dengan kakak kembarnya, Sasuke Uchiha, yang kini tengah menyetir. Hinata mengerjapkan mata. Pasti Sasuke bertanya karena tadi ada bunyi 'cting' berkali-kali dari ponselnya—pesan Naruto barusan. Oleh sebab itu bersamaan dengan menutup ponsel, Hinata menjawab pelan. Agak ragu sebenarnya.
"Ng... kata Naruto dia mau main ke rumah. Tapi aku juga ngga tau dia maunya datang hari ini atau besok."
Sasuke menatapnya heran. Langsung mengernyit.
Oh, iya. Hinata lupa minta izin.
"Mm, boleh... kan, Sasuke-nii?"
Dan Sasuke menjawabnya. Tegas.
"Ngga."
.
.
.
TWINS ALERT!
"Twins Alert!" punya zo
Naruto by Masashi Kishimoto
[SasuHina—SasuSaku & NaruHina]
Romance, Friendship, Drama
AU, OOC, Typos, Multipair, etc.
.
.
NINETEENTH. Menginap
.
.
Jelas Sasuke tidak setuju.
Selama ada dirinya di rumah dan dirinya tau, tak ada satu lelaki pun yang boleh memasuki rumahnya hanya untuk menghampiri Hinata. Apalagi setelah ia tau sifat Naruto. Pria itu dapat ia yakini akan modus habis-habisan ke adiknya, seperti mengajak Hinata ke tempat di rumah yang bisa dipakai untuk berduaan. Seperti kamar, misalnya. Dan Hinata, adiknya yang polos, tak pernah pacaran sebelumnya dan juga lugu, pasti akan mengiyakan permintaan Naruto tanpa tau bahaya untuk kedepannya sama sekali. Untuk itu Sasuke masih tak bisa terima. Oke, sekarang dia sudah merelakan hubungan Naruto dengan Hinata, tapi tetap saja Hinata adalah adik semata wayangnya yang harus ia jaga.
Hinata tak punya pengalaman apa-apa di dekat lelaki. Dan yang jelas dia mungkin tipe yang pasrah kalau Naruto berbuat hal-hal aneh kepadanya. Sasuke geram sendiri saat membayangkan wajah mengesalkan Naruto Uzumaki yang tersenyum licik penuh kemenangan sambil memeluk adiknya yang kebingungan.
"Bilang padanya, siang ini kita baru aja mengantar Ibu ke bandara, dan kita juga ngga akan langsung pulang. Ada acara keluarga Uchiha yang harus kita datangi. Jadi kemungkinan besar kita akan pulang sangat malam." Sasuke menatap Hinata yang dengan lesu mengetik balasan untuk Naruto. "Kalau dia mau datang besok, bilang juga kita akan mendatangi paman Shisui yang sedang sakit. Kita ngga berbohong, kan? Ini jelas kenyataan."
"Ah, iya... besok kita juga ada acara."
Hinata mengiyakan. Perkataan kakaknya benar. Lagi pula selain Sasuke menolak keras, Hinata juga akan gugup setengah mati kalau ada Naruto di rumah.
"Sudah kau kirim chat-nya ke dia?"
"Iya, ini baru saja mau ku-send." Katanya. Lalu ia menekan tombol enter lewat ibu jari di layar touch screen ponselnya. "Sudah."
Keadaan kabin mobil diam selama beberapa saat, tak ada lagu audio atau AUX yang menyertai, lalu mendadak Naruto menelfon Hinata. Mungkin karena ia membatalkannya secara dadakan kali ya, jadinya Naruto tak percaya—dari dulu kan saat Naruto ingin ke rumahnya Hinata selalu punya banyak alasan untuk menolak. Tapi sebelum Hinata mengangkat panggilannya, ia menatap cemas Sasuke. "Niisan, Naruto-kun telfon."
Sasuke menyambar ponsel itu dan segera mengangkatnya.
'Hinata! Oh ayolah, jangan jadi penghancur mood! Aku akan tetap ke rumahmu—kalau perlu hari ini juga!'
"Dan kami tak akan membukakan pintu gerbang untukmu."
Diam lima detik. Dapat ditebak Naruto di seberang sana sedang mengernyit dan melirik layar ponsel yang ia pegang. Nama yang ia tuju tetap Hinata kok, tapi kenapa cowok yang menjawab? Oh, apa kakaknya? 'Sasuke? Mana Hinata? Apa jangan-jangan dari tadi aku malah chat-an denganmu?'
Sasuke mendengus remeh. "Dia di sebelahku. Dan seperti yang kau ketahui, kita lagi banyak acara hari ini."
'Tsch, adikmu lagi di masa-masa membahayakan, Bodoh. Pasti Hinata ngga cerita kan kalau Gaara sempat bilang dia akan mendatanginya hari ini?'
Sasuke menjauhkan ponsel dan melirik Hinata, sengit. "Ada apa dengan Gaara? Kau sempat berbicara dengannya?"
"Na-Nanti kuceritakan..." Jawab Hinata cemas, masih memikirkan nasib Naruto. Dan karenanya Sasuke kembali fokus ke suara di ponsel.
"Mau apapun alasannya, aku dan Hinata sedang pergi. Meski Gaara datang dia ngga akan menemui siapa pun di rumah."
'Ngga, Sasuke, aku harus menjaganya.'
"Ada aku yang masih hidup di sini yang lebih bisa menjaganya. Selain itu justru kau yang berbahaya—memaksa datang ke rumah. Apa kau ngga mikir aku lebih mencurigaimu?"
'Aku pacarnya!'
"Aku kakaknya." Katanya. "Karena itu lebih baik kau tak perlu datang ke rumah."
Pip.
Sasuke tak tanggung-tanggung mematikan sambungan. Hinata yang melihatnya menghela nafas.
"Bagaimana...?"
"Dia keras kepala."
"Jadi...?"
"Kalau dia datang, dia ngga tau aturan." Ucapan Sasuke membuat Hinata menunduk ke bawah. Beberapa jarinya di atas pangkuan paha sudah saling meremas resah. Punggungnya yang tegang dia coba sandarkan ke jok belakang, merilekskan diri meski masih cemberut.
"Kenapa? Kau ingin Naruto datang?"
"Mm, ingin, tapi n-ngga juga sih. Soalnya aku pasti ngga tau harus bagaimana kalau dia ada di rumah. Bingung juga harus ngebicarain apa. Kedatangan teman sekelas buat tugas saat SMP aja sudah kebingungan sendiri, bagaimana pacar?" Lirihnya. "Tapi daripada itu aku juga kasihan. Sudah dari bulan lalu Naruto ingin datang ke rumah."
"Dibanding kalimat 'ingin datang ke rumah' aku lebih melihatnya sebagai pemaksa." Sambil menyetir Sasuke meletakkan ponsel Hinata di pahanya. "Tadi aku sempat membuka sekilas isi chat kalian yang cuma berisi 'please' banyak-banyak."
"I-Iya, tapi dia ngga sering begitu kok..."
"Kau hanya membelanya. Orang pemaksa tetaplah pemaksa."
Hinata cemberut.
Sasuke menggeleng malas. "Kalau seperti ini terus, kau akan rela jika dipaksa apa-apa olehnya. Kau jadi penurut, dan dia akan berubah jadi seenaknya. Kau bisa disemena-menakan." Katanya. "Kau dengar aku, Hinata?"
"Mm, Sasuke-nii."
Sasuke menatap wajah Hinata yang sudah tertekuk di jok samping. Hinata biasanya cuma memasang ekspresi sedih kalau dinasihati, tapi mungkin karena Naruto yang ia salahkan, gadis itu jadi merengut sendiri. Mengangguk saja dia terpaksa.
Bersamaan dengan rem tangan yang ia tarik karena kebetulan lagi lampu merah di perempatan jalan, Sasuke menatap Hinata yang tak lagi melihatnya. "Aku bicara seperti ini agar kau bisa menjaga diri saat aku lagi tak ada. Kau tau sendiri kan Naruto suka mengajakmu pergi sepulang sekolah ke mana-mana?"
"Iya..."
"Jangan keseringan menerima ajakan dia. Terutama kalau ke tempat asing sampai malam."
"Tempat asing?"
"Kalau kau mendadak diajak ke hotel bagaimana, hn?"
"M-Ma-Mana mungkin..." Wajahnya terkejut. Ingin berseru tapi tak bisa. Dia terlebih dulu menutup wajah dengan tangan. Malu.
Sasuke mendesah kesal. Karena ia rasa Hinata semacam masih terlalu polos untuk mengerti, ia menambahkan. "Coba sekarang kutanya, sudah berapa kali kau ciuman dengannya?"
Mata lavender Hinata sontak terbelalak dan pipinya makin memerah drastis. "K-Ke-Kenapa Niisan tanya seperti itu?"
"Aku cuma ingin tau. Aku yakin Naruto sering memaksamu melakukannya." Kata Sasuke, agak sedikit tak tau diri. "Iya, kan?"
"D-D-Dia..." Hinata bingung setengah mati. Kalau tidak salah ingat memang ada satu kali ciuman yang Naruto memaksanya. Satu kali. Iya, satu kali. Mana mungkin dia bisa bilang tidak pernah? Di saat-saat seperti ini berbohong pun sulit. "D-Dia—"
"Oke, kuanggap dia pernah."
"Sasuke-nii... a-aku belum selesai menjawab..."
"Kau terlalu gampang ditebak. Karena itu, lebih baik kau tanamkan omonganku tadi di benakmu—"
"Tapi Naruto-kun sudah minta maaf dan aku telah memaafkannya."
Terus terang saja Sasuke terkejut. "Oh, kau memaafkannya? Kau memaafkan dia yang mencium paksamu?"
"D-Dia kan minta maaf..."
"Semudah itu? Lalu kalau kau dihamili olehnya dan dia cuma bilang maaf, bagaimana?"
Dan obrolan Sasuke dan Hinata berhenti. Hening. Sampai klaksonan mobil belakang menyadarkan Sasuke bahwa lampu lalu lintas sudah kembali hijau. Dia turunkan rem mobil dan kembali melanjutkan perjalanannya. Kepala Sasuke berdenyut. Tak ia sangka adiknya sudah semakin besar dan semakin tak bisa diatur dengan mudah. Karenanya ia mencoba memberikan saran terakhir.
"Kalau begitu, terserah. Kau sudah dewasa dan aku yakin kau bisa membedakan perilaku baik dan buru. Tapi asal kau tau, laki-laki adalah manusia yang berbahaya. Dia bisa menyerangmu kapan saja, Apalagi kalau yang memancing sepertimu."
"Aku? Memancing?"
"Terlalu polos dan terlalu percaya dengan Naruto. Itu sama saja defenseless—memancing orang untuk menjahatimu."
Hinata masih diam.
"Mengerti, Hinata Uchiha?"
Hinata mengangkat kepala, lalu dirinya mencoba mengeluarkan pendapat dengan bergumam. "Tapi... kalau seandainya Sakura memancing Sasuke-nii, apa Niisan juga akan menyerangnya?"
Nyaris saja pedal rem ia injak kencang saat Sasuke mendengar pertanyaan itu dari Hinata.
Sakura.
Kalau Hinata adalah tipe perempuan yang polos-polos lugu, Sakura kan sebaliknya. Dia tipe memancing. Apapun bisa ia lakukan jika anak itu mau. Membuka baju di depannya langsung pun pastinya bisa kalau Sakura nekat. Lalu bagaimana dengan dirinya? Apa terpancing?
Sasuke melirik Hinata yang masih menunggu jawaban. "Jadi Niisan benar-benar akan menyerangnya?"
Ingin bilang tidak, tapi—hh, sudahlah, tak usah munafik.
"Aku akan menahannya."
"Menahan?"
Sasuke memijit pelipisnya yang berdenyut, membayangkan momen demi momen yang pernah dia dapatkan dengan Sakura. Seperti tidur seranjang di kamar outing dengan pakaian sisa pantai seadanya, ruangan lab tempat Sakura berani menciumnya, dan juga hal-hal penuh kesempatan lain yang pernah mereka lalui. Semua peluang dimana dirinya nyaris kelepasan jika bersama gadis pink satu itu. Sasuke menahan nafas sesaat. Memberi jeda. "Ya, karena selama ini aku menahannya."
Mulut Hinata membentuk senyum kecil—dalam hati dia percaya juga Naruto akan menahannya—dan karena tak ada pertanyaan susulan, Sasuke menghela nafas sambil memalingkan wajah.
Iya, menahan sih menahan. Mati-matian tapi.
.
.
~zo : twins alert~
.
.
Bicara soal Sakura Haruno, saat ini gadis yang tadi mereka bicarakan sedang berada di dalam rumah mewahnya. Di atas kerangka ranjang kayu bercatkan putih, kasur pink pudar yang empuk, bantal bulu angsa, dan juga pendingin ruangan yang sedang dinyalakan. Terciptalah kenyamanan maksimal bagi ia yang lagi terbaring vertikal dengan rambut yang sengaja dicepol ke atas. Saat ini ia sedang menikmati istirahat siangnya dengan mempercantik diri. Masker muka yang berwarna hitam licin melapisi wajah mulusnya, tak lupa irisan bundar dari mentimun yang menutupi kedua kelopak matanya yang tertutup. Damai sekali hari ini. Apalagi lagu yang dia dengarkan lewat earphone-nya sekarang sedang menyanyikan lagu slow yang mendukung suasana. Hari libur yang lumayan perfect lah pokoknya.
Lama terdiam membuat Sakura tertidur nyenyak, namun tak ia sangka tiba-tiba saja ada seorang pria pirang yang memasuki kamarnya dengan gegabah. Tak peduli Sakura cuma mengenakan pakaian kesehariannya—tanktop dan celana pendek—masker dan juga posisi tidur yang asal-asalan, ia guncang bahu gadis itu sampai potongan timunnya terombang-ambing dan terlepas.
"Apa-apaan sih, Naruto!?" Sakura menggeram kesal. Dengan masker yang berkerut di bagian dahi langsung ia buka paksa matanya dan mendorong jauh pria yang sudah menjeritkan namanya agar terbangun.
Well, Sakura adalah anak tunggal keluarga Haruno. Ia tidak memiliki pembantu lelaki dan suara ayahnya pun tidak semenyebalkan ini. Jadi saat ia buka mata, ternyata tebakannya benar, pria itu adalah Naruto Uzumaki. Si jabrik dengan tiga garis halus di masing-masing pipinya.
"Ayo, cepat bangun, Sakura! Siap-siap! Kita harus pergi sekarang!" Naruto geregetan.
Dengan mata menyipit karena masih sebal ia bertanya. "Ke mana dulu?"
"Ke rumah orang!" Desaknya. Dia paksa Sakura berjalan ke kamar mandi dan langsung mencipratkan air wastafel ke mukanya. Sakura menjerit lalu balas merecoki wajah Naruto dengan tamparan air keran. Mereka rusuh sebentar dan akhirnya Sakura mengalah. Ia basuh maskernya dan menyuruh Naruto menunggu di kamar.
Semenit kemudian Sakura datang dengan handuk kecil yang melingkari leher. Rambut terikatnya sudah terurai kembali. Inginnya sih langsung bertanya ke Naruto—apa alasan pria itu datang mendadak ke sini—namun sebelum sepatah kata keluar, dia sudah terlebih dulu dibuat bingung oleh Naruto yang kini mengemas dua potong baju dan ponselnya ke dalam tas tote berukuran sedang milik Sakura.
"Eh, buat apa kau masukin barang-barangku ke sana?"
"Kan sudah kubilang kita mau pergi."
"Tapi baju-baju itu buat apa? Dan juga memangnya kita mau ke mana? Aku malas rapi-rapi."
"Ke rumah Sasuke dan Hinata."
Detik itu mata malas Sakura membulat. Garis miring bibirnya pun lenyap. "Apa katamu?"
Naruto mengangguk mantap. "Iya. Kita akan ke rumah Sasuke dan Hinata. Lalu kita menginap di sana."
Sakura semakin menganga. "Hah? Menginap?"
.
.
~zo : twins alert~
.
.
Di dalam mobil yang tengah melaju, ada dua orang beserta tas besar berwarna pink—Sakura mengganti tasnya ke yang lebih besar agar perlengkapan menginapnya muat—yang mengisi jok dalam kabin. Mereka adalah dua sahabat karib Naruto Uzumaki dan Sakura Haruno. Sakura sedang sibuk mendadani wajahnya dengan gaya senatural mungkin di kaca depan. Sedangkan Naruto sendiri masih saja menggumamkan lagu kesenangannya sambil terus menyetir.
"Oke, aku sudah selesai." Sakura memasukkan lipbalm-nya ke tas sesudah merasa penampilannya hari ini sempurna. Ia sandarkan punggungnya ke jok. "Lebih baik sekarang kau jelaskan apa rencanamu hari ini?"
"Rencana sih belum ada. Tapi berhubung ada kesempatan untuk menginap, ya kenapa ngga?" Naruto terkekeh dan Sakura mengernyit.
"Kesempatan dari mana? Memangnya Hinata mengundangmu menginap?"
"Ngga. Tapi Gaara mau datang, katanya. Aku cemas—cemas beneran. Dan kayaknya ini waktu yang tepat untuk menjaga Hinata selama 24 jam ke depan di rumahnya."
"Tapi sebelum masuk ke mobil kau bilang Hinata lagi pergi dengan Sasuke dan akan pulang malam, kan?"
"Iya, memang. Karena mereka pulang malam kesempatan menginap jadi lebih terbuka lebar. Kan aku memang mau menjaganya pas malam. Sekamar berdua."
Selagi pria jabrik itu tertawa licik Sakura malah geleng kepala. Benar-benar alasan bodoh untuk menginap. Apa Naruto lupa kalau Hinata memiliki kakak super protektif bernama Sasuke? Mau kena damprat? "Paling ujung-ujungnya Sasuke menyuruhmu tidur di kamarnya. Sama aja, kan?"
"Iya, dan aku sudah menebaknya. Karena itu aku membawamu, Sakura."
"Hah? Kenapa?"
"Kalau aku membawamu ke acara menginap ini, posisi tidur kita kan mau ngga mau: kau di kamar Hinata dan aku di kamar Sasuke... nah, karena itulah pas malam, tanpa mereka tau, nanti kita gantian posisi."
"Naruto..." Sakura nyaris memekik dalam keheranannya. "Jadi kamu seriusan mau tidur sama Hinata? Harus banget tidur berdua di kamar yang sama?"
"Ya iyalah!" Ia melanjutkan. "Jadi kalau Sasuke sadar aku ada di kamar Hinata, kau lah yang menahannya."
"Hah..." Sakura mengusap lemas wajahnya, tak habis pikir. "Kamu mau begituan ya sama dia—"
"Ngga." Naruto memotongnya cepat. Walau dalam hati agak deg-degan juga, takut niat awalnya kebongkar. "Ngga mungkin sampai tahap 'itu'. Hinata bisa aja mutusin hubungan kami kalau aku berbuat yang aneh-aneh—padahal baru beberapa bulan pacaran. Tapi kalau dia yang mau sih aku fine aja."
Sakura memutar mata, dan berucap dengan penuh penekanan. "Dasar cowok."
"Karena itu... aku minta tolong, ya? Biarin aku bahagia dong. Kan aku cuma ingin meluk Hinata sampai ketiduran. Kau sama Sasuke kan sudah pernah, masa aku ngga?"
Muka Sakura memerah saat ia mengingat kejadian di outing lalu, saat Sasuke selesai menyelamatkannya yang tenggelam dan tidur sebentar dengannya—kalau tidak salah dia memang sempat cerita ke Naruto. Ah, Sakura jadi kelupaan sesuatu. Kalau nanti Naruto sama Hinata tidur di satu kamar, seperti apa yang dikatakan Naruto, dia akan bersama kamar Sasuke di sebelahnya dong?
Sakura antara mau tersenyum nakal dan meringis cemas.
Kira-kira apa yang akan terjadi nantinya?
.
.
~zo : twins alert~
.
.
Hari telah menyentuh malam dan mobil keluarga Uchiha baru sampai di depan gerbang rumah—tepat pukul 18.00, seperti yang memang sudah diperkirakan. Sebenarnya saat tau Naruto berniat datang, Sasuke sempat ingin melama-lamakan jam kepulangan mereka, tapi apa daya kalau tenaga keduanya sudah habis akibat mengikuti acara besar walaupun cuma duduk, diam, makan dan menanggapi obrolan sanak keluarga? Jadilah setelah menghela nafas lega sudah di depan rumah—sebentar lagi dirinya akan bertemu kasur—Sasuke menekan tombol klakson dua kali. Muncul seorang wanita paruh baya yang membukakan pintu dan memberikan salam ke Sasuke.
"Hinata, bangun, kita sudah sampai."
Sosok gadis berponi rata di jok sebelahnya segera terbangun. Dia—yang tertidur lelap selama perjalanan pulang—akhirnya membuka mata dan kemudian mengusap kelopaknya perlahan. Dia mengiyakan pelan. Bersamaan dengan itu gerbang depan dibuka dan Sasuke memarkirkan mobilnya dengan mudah. Ia tunggu Hinata keluar, mengunci pintu mobil, lalu ia berbalik menuju pintu masuk. Tapi ia juga mendapati seorang yang berprofesi sebagai pembantu rumahnya memasang wajah cemas di dekatnya. "Sasuke-san, ada teman-teman Anda di dalam—maaf baru memberitahu."
Sasuke diam dulu, kaget, tapi akhirnya dia berdecak. Dan kemudian pria yang masih memakai kacamata besar itu dengan langkah tegas memasuki rumah, meninggalkan Hinata yang mengikutinya dengan langkah pelan. Pertama-tama Sasuke memeriksa ruang tamu. Beberapa camilan di stoples memang berkurang—meninggalkan beberapa remehan biskuit di bagian taplak—tapi tak ada orang. Ia pun beralih ke atas, ke kamar Hinata, hasilnya sama. Tak ada siapa pun. Sasuke sempat menghela nafas lega tapi saat ia memeriksa kamarnya sendiri... ada Naruto dan Sakura yang sedang main game playstation 3 lamanya.
Naruto sumringah. "Hei, kami datang untuk menginap! Boleh, kan?"
Sasuke mengatupkan kedua belah bibirnya dan berdesis nyeri. Rombongan ini ternyata benar-benar datang. Awalnya ia pikir orang yang datang adalah Gaara. Tapi taunya Naruto, dengan bonus Sakura pula. Sakura memberikan cengiran seadanya.
"Maaf ya datang tiba-tiba. Aku ditarik paksa Naruto ke sini." Ucap gadis itu.
"Eh?" Terdengar suara kecil dari balik punggung Sasuke yang masih berdiri di depan pintu. "N-Naruto-kun... dan Sakura?"
"Hinata-chan! Okaerii!"
Naruto berseru senang.
.
.
~zo : twins alert~
.
.
Setelah mereka berempat mengisi rumah keluarga yang luas ini, banyak hal yang terjadi saat itu. Jam-jam berharga yang sudah dijadwalkan oleh si kembar Uchiha untuk beristirahat mendadak dihancurkan oleh dua tamu barunya. Pasalnya Naruto bersikeras tak mau pulang sekalipun Sasuke sudah mengusir mereka secara telak. Bahkan dua cowok berambut kontras itu sampai cekcok dan adu mulut sebentar, membicarakan Naruto dan Sakura yang berniat menginap di saat orangtua Sasuke dan Hinata sedang tak ada di rumah—sang ayah lagi di luar negeri dan ibunya baru saja keluar kota. Naruto ngotot tak mempermasalahkan hal itu. Alasan yang paling sering keluar dari mulutnya: toh, mereka berempat sudah besar, tak apalah sekali-sekali mengizinkan pacar menginap asal tak melanggar batas-batas norma. Dia bahkan sampai janji jika Sasuke bersedia menampung mereka semalam di sini, maka mereka akan pulang saat pagi tiba. Itu saja.
Karenanya Hinata meminta Sasuke untuk mengalah dan lebih baik menyambut Naruto dan Sakura mereka dengan hati lapang. Akhirnya dengan persetujuan yang terpaksa, Sasuke memutuskan untuk mandi untuk menghilangkan rasa penat. Jadi masih dengan wajah bete Sakura dia minta ke kamar adiknya sebentar, sedangkan saat Naruto juga akan ikut pindah ke kamar Hinata, dengan tatapan tajam di balik kacamata tebalnya Sasuke menarik Naruto. "Jangan pernah kau coba-coba ke sana."
Naruto cuma meringis jahil.
Beberapa menit berselang, kepulan asap hangat keluar saat Sasuke membuka pintu kamar mandi. Pria yang sudah memakai celana itu mengusap rambutnya yang basah dengan handuk, dan kemudian mengambil pakaian di lemari yang terletak di depan kasur agar bisa menutupi tubuh telanjang dadanya.
"Sasuke..."
"Hn?"
"Kalau kau sudah selesai, boleh kupanggil Sakura dan Hinata ke sini lagi, kan? Kebetulan kau punya game yang bisa dimainkan banyak orang." Naruto yang masih lanjut main PS melirik. Inginnya sekilas, tapi begitu dia melihat wajah Sasuke yang tak berkacamata, pria itu menatapnya lama. Terdiam sebentar, Naruto pun mem-pause game-nya.
"Terserah." Jawaban jutek terdengar. Tapi karena Naruto masih tetap diam dan memperhatikannya, Sasuke terheran sendiri. "Apa?"
"Wow, baru kali ini aku melihatmu ngga pake kacamata."
Sasuke memasang tatapan ala Uchiha; stoik. Ia ambil kacamata bulatnya di meja dan segera mengenakannya lagi. Naruto memiringkan kepala, heran.
"Kenapa kau masih memasangnya? Hinata aja lepas."
"Kami berdua memiliki penglihatan yang buruk sejak kecil. Hinata bisa lepas kacamata karena dia pakai kontak lens."
"Lalu kenapa kau ngga?"
"Dulu pernah, sekarang malas. Lebih enak kacamata."
"Ngga apalah repot sedikit. Kau ngga mau Sakura menjerit kesenangan melihat wajahmu? Dia belum melihat pernah wajahmu, kan?"
"Buat apa juga?"
"Fanservice."
Sasuke memutar bola mata, tak acuh. Naruto tertawa sedikit lalu meletakkan joy stick-nya dan beranjak turun dari ranjang. Dia berniat keluar dan memanggil para perempuan di kamar sebelah. Tapi belum sempat Naruto keluar, Sasuke memanggil. "Naruto.."
Naruto menatapnya sejenak. "Apa?"
Ada hening sebentar. "Sejak kapan kau melihat wajah Hinata?"
"Aku?" Naruto sedikit menelan ludah dalam diam. Tau bahwa melihat Hinata tanpa kacamata adalah momen dimana ia membuka paksa benda itu dari wajah cantiknya dan membiarkannya menangis. Sasuke bisa membunuhnya kalau tau ceritanya versi lengkap. "Lupa. Sudah lama sih—sebelum outing."
"Kau menyukainya sejak saat itu?"
"Ngga juga. Justru itulah awal permasalahan kami." Dia terkekeh pelan dan meneruskan. "Aku lupa sejak kapan aku mulai menyukainya, tapi yang jelas aku ingat sekali ada gadis berkacamata besar, berkepang dua, yang kutemui di depan etalase toko mall. Dia memandangi sebuah boneka dengan bibir manis yang menganga. Ternyata itu dia, Hinata Uchiha si anak baru, kembaranmu." Naruto angkat bahu. "Aku belum menyukainya saat pandangan pertama, tapi aku tau, dia menarik. Dan ternyata benar. Mata bulat dan wajah manisnya adalah bonus, kurasa."
Sasuke terdiam mengamati.
"Bagaimana? Sudah merestui hubunganku dengan adikmu, Aniki?"
Sasuke menjawab dengan helaan nafas dan duduk di ranjang, melanjutkan game balapan mobil yang tadi di-pause Naruto. Pria pirang itu tersenyum kecil dan lanjut memanggil Sakura dan Hinata, tak lupa mengetuk dulu. Obrolan Sakura dan Hinata—yang juga baru selesai mandi—dia interupsi dan ia suruh mereka ke kamar Sasuke.
Ruangan besar yang dihiasi oleh cat cokelat pudar dan ornamen-ornamen lain berwarna putih diisi oleh empat manusia. Kasur yang cukup besar mereka tempati buat tempat duduk. Awalnya memang main game, tapi lama-lama game malah di-pause dan masing-masing dari mereka mengobrol lama. Sasuke bersandar dengan mendengarkan curhatan keseharian Sakura yang menjadi lebih bawel dua kali lipat dari biasa. Dan Hinata juga sedang diajak ngobrol Naruto yang berada di tepi kasur.
Obrolan yang tak begitu lancar di awal sadar tak sadar berlangsung seru saat mulai memasuki jam 21.00 malam. Sesi curhat kegiatan mereka selama di sekolah, di keluarga dan di lingkungan pergaulan mereka share tanpa pamrih. Karena itu Sasuke sedikit tau bahwa Sakura adalah anak mama; dia manja dan selalu diberikan apapun yang dia mau. Tapi salutnya gadis itu lumayan sering mengikuti acara kebaktian. Dia luangkan satu hari dalam seminggu untuk berdoa dan bersyukur kepada Tuhan atas segala pemberian-Nya. Naruto juga. Ibunya sudah meninggal sejak ia dilahirkan—Hinata sampai terkejut mendengarnya—tapi dia bersama ayahnya masih hidup bahagia tanpa keluhan hingga sekarang.
Sedikit demi sedikit acara curhat berakhir dan mereka lebih memilih bermain truth or dare karena Sasuke menolak bercerita saat ditanya-tanya. Dan akhirnya setelah perjuangan yang cukup lama, akhirnya Sasuke dan Hinata mau bercerita banyak. Terutama soal latar belakang si kembar ini yang mendadak pindah ke Konoha International High School—yang adalah karena masalah-masalah yang jaman dulu mereka perbuat.
Inti cerita, saat jarum panjang di jam dinding menyentuh angka 02.00 malam, Naruto menguap dan mata sipitnya menunjukan dengan jelas bahwa ia sudah tak punya tenaga lagi untuk berbicara.
"Kau sudah mengantuk, Naruto?" Dengan mata yang nyaris sama Sakura bertanya, dan Sasuke mengusap kepala merah mudanya sekilas.
"Sakura, tidur sama Hinata di kamar sebelah."
"Eh, tapi..."
"Kau butuh istirahat, Bodoh." Ia melirik Hinata. "Sana."
Hinata yang sudah 5 watt mengangguk. Ia membawa Sakura yang cemberut ke kamarnya. Dan akhirnya Naruto lah yang tersisa di sana. Pria itu sudah berbaring dengan gaya bebasnya di kasur.
Sasuke geleng kepala dan kemudian tidur di sebelah pria itu. Tak lupa setelah menaruh kacamatanya di atas lemari sebelah ranjang.
.
.
~zo : twins alert~
.
.
Jam 03.15 pagi menjelang dan keadaan di rumah keluarga Uchiha masih sepi senyap. Tak ada yang masih aktif karena kini semuanya telah bergelung nyaman dengan selimut mereka masing-masing. Menikmati detik demi detik yang terlewat untuk beristirahat. Namun tiba-tiba saja mata Naruto Uzumaki yang awalnya terpejam jadi terbuka lebar. Dia yang saat itu tersentak lantas melihat jam dinding di kamar Sasuke dan berdesis. Dia mendadak teringat rencana awalnya menginap di rumah ini; bertukar posisi tidur bersama Sakura. Oleh karna itu tanpa suara ia buka selimut, memastikan Sasuke di sebelahnya—yang tidak sudi memakai selimut bersamanya—tak terbangun, dan akhirnya keluar kamar.
Walau sebenarnya ada sepasang mata hitam yang terbuka saat ia Naruto baru saja menutup pintu. Matanya menyipit sebentar. Tapi karena buram, dia memakai kacamata terlebih dulu dan melihat ke arah Naruto pergi. Anak itu mau ke mana coba? Kalau mau pipis kan di kamar ini tersedia kamar mandi. Apa dia cuma mau ambil minum? Tapi karena malas berpikir lebih jauh, masih dengan kacamata ber-frame hitam ini Sasuke kembali menidurkan kepalanya. Buat apa juga memikirkan bocah pirang itu?
Dan Naruto sendiri, tanpa mengetuk ia membuka pintu kamar Hinata yang tak terkunci. Dia lirik Sakura Haruno yang terlelap di sebelah Hinata. Tersenyum, dia tekan gemas dulu pipi Hinata dengan ujung jari, kemudian barulah beralih menyenggol Sakura dengan agak keras—jauh beda memang perlakuannya ke pacar dan ke sahabat. Awalnya gadis itu menolak untuk bangun tapi tiba-tiba ia membuka mata saat Naruto membisikkan sesuatu di telinganya.
Dengan lesu ia menatap Sakura yang terpaksa bangun dan kemudian berdiri setelah menuruni ranjang. Tangan mereka high-five pelan tanpa suara—cuma Naruto yang semangat—dan pria jabrik itu mengedip.
"Sukses ya di kamar sebelah."
"Dasar..." Gerutu Sakura, bete. Mana ada pantulan cermin di dinding yang memuat rambut merah muda pendeknya yang mengembang dan acak-acakan pula. Bad hair day bangetlah hari ini. Ah, tapi biarlah. Dia sudah terlalu mengantuk gara-gara bergadang tadi. Mungkin segala rencana 'agak nakal' yang sempat dia pikirkan untuk dilakukan sekarang akan dia tunda kapan-kapan.
Sakura masuk dengan gontai ke kamar Sasuke. Biarlah jika nanti pria itu kaget pas bangun—tinggal akting aja, bilang kalau Naruto yang memindahkannya ke sana. Toh, dia juga sudah terlalu mengantuk. Berpikir pun susah. Karenanya setelah Sakura sampai ke depan ranjang Sasuke, ia amati pria itu yang sedang memunggunginya—Sasuke tidur di pojok kiri. Dia sempatkan diri mengintip wajah anak itu. Dan jujur agak kecewa saat Sasuke masih mengenakan kacamata besarnya di saat tidur seperti ini.
Eh, tapi... kenapa dia tidur masih dengan kacamata? Bukannya orang selalu tidur tanpa mengenakan kacamata? Seingatnya di outing dulu Sasuke begitu kok.
Sakura mengusap wajah. Ya sudah lah, ya. Masa bodo. Sakura menjatuhkan badannya di kasur dan kemudian memeluk guling. Karena status mereka yang kini pacaran, mungkin dia tak lagi gengsi untuk menggeser tubuh dan membiarkan dirinya berbaring di sebelah Sasuke—membiarkan punggung Sasuke dan bahunya bertemu. Kemudian Sakura terdiam. Sempat memejamkan mata agar cepat tidur. Tapi sayang dia malah membuka mata dengan cemas dan melirik Sasuke. Tampaknya tidur disamping pria raven ini tak bisa membuatnya terlelap dengan tenang. Yang ada hanyalah dia yang membuka mata dan memandang lurus ke plafon atas atau tembok di sampingnya. Tidak seru.
Dia miringkan badannya dan menoleh sedikit ke punggung Sasuke yang sekarang berada di depannya.
"Ne… Sasuke…" Sakura berbisik. "Apa kamu masih bangun?"
Tak ada jawaban.
"Kamu ngga lagi pura-pura tidur, kan?"
Tetap sama; hening.
"Naruto bilang padaku, dia mau melakukan sesuatu pada Hinata loh. Beneran ngga mau bertindak nih?"
Dan kenyataannya ada kedua mata Sasuke yang terbelalak mendengar omongannya—pria itu sudah sadar bahkan dari Sakura menjatuhkan diri ke kasur.
"Dan kata Naruto sih... di sini aku juga harus melakukan sesuatu denganmu." Terdengar suara gumaman panjang Sakura dan dia menghela nafas. "Tapi mana mungkin. Kamu kan cowok, dan aku cewek. Masa aku yang menyerangmu? Di sekolah saja kamu hampir ngga pernah datang ke kelasku, mana mungkin kamu akan berinisiatif duluan untuk menyentuhku?" Ia mengeluh sambil memajukan bibirnya. "Kadang aku iri loh sama Hinata. Di cintai sebegitu dalam oleh Naruto. Bukan hanya omongan tapi juga tindakan. Sedangkan kita... di saat-saat seperti apapun hanya aku lah yang paling kelihatan mencintaimu, tapi dari kamunya ngga. Implisit sekali perasaanmu, Sasuke. Atau malah kamu yang sudah bosan denganku?"
Sakura menghela nafas.
"Ah, sudahlah. Abaikan kalimat ngga pentingku tadi." Ia sentuhkan dahi lebarnya ke punggung Sasuke. Diam cukup lama sampai rasa kantuk sudah memanggil. Sakura pun sadar sudah saatnya ia menutup mata dan kemudian mencoba tidur. Tapi sebelum itu dia mengerahkan tenaga terakhirnya untuk mengangkat badan untuk mencium kening Sasuke sebelum tidur. "Oyasumina—"
"Baka."
Itu bukan suaranya. Mata emerald Sakura terbuka lebar dan melihat seolah-olah ada dua manik hitam di balik kacamata tebal itu yang sedang memperhatikannya. Sakura memperhatikan mulut Sasuke. Mulut yang tadi sempat mengeluarkan satu kata yang jelas—bukan gumaman; dia tidak mengigau; Sasuke terbangun.
"Jadi itu tujuan awal kalian ke sini?" Meninggalkan tubuh Sakura yang masih di posisi kaku, Sasuke mengubah posisinya menjadi terduduk. Kepalanya menggeleng pasrah. "Bodoh..."
Sakura sempat tak tau harus menjelaskan dengan cara apa. Yang jelas saat ini rasa ngantuk yang sempat menyelimutinya seolah pecah—buyar seketika. Yang ada hanya wajah yang memerah drastis, tegang, dan rasanya ada yang mengganjal di ujung kerongkongannya. Ia sama sekali tak bisa bersuara. Terlalu kaget namanya jika mengetahui bahwa Sasuke—entah sejak kapan—mendengar segala omongannya. Malu, malu, dan malu. Lagian buat apa juga sih dia bermonolog? Kalau Sasuke tau Naruto mau beraksi di kamar sebelah, bisa-bisa pria itu merecokinya dalam sekejap. Belum lagi kabar dirinya yang sempat mengatakan harus melakukan apa-apa dengan Sasuke di sini.
Urat malu Sakura serasa putus berhamburan jadinya.
Sasuke beranjak dari kasur tapi buru-buru sakura menahan tangannya. "M-Ma-Mau ke mana?" senyum paksa Sakura keluarkan.
"Menarik temanmu itu ke sini, dan menaruhmu kembali ke kamar Hinata."
"Jangan!" Sakura menaikkan intonasi suaranya. Dan baru sadar kalau Sasuke bisa semakin curiga karenanya. "Ng... lebih baik kamu di sini aja."
"Kenapa?" tanya pria itu agak heran.
"Mu-Mungkin kita bisa ngobrol sebentar?" Sakura menunjuk kantung plastik beliannya yang berisi kalengan soda dan bir—pilihan Naruto—yang masih tersisa di sudut kamar. "Please?"
"Adikku lagi di ambang bahaya, kau tau?"
"Naruto ngga berbahaya. Percaya sama aku."
"Ngga bisa."
"Sasuke!" Sakura semakin kencang mengeratkan pegangannya sebelum ia ditepis dan Sasuke meninggalkannya. "Ada pacarmu di kamar dan kau malah bertingkah seperti ini? Urusin aku dulu bisa? Kau pastinya juga mendengar curhatanku tadi tentang kita berdua, kan?"
Dengan garis bibir datar Sasuke menoleh. Dia menghela nafas panjang terlebih dulu. "Memangnya kau mau diurusi apa?"
"Ma-Maksudku... biarkan saja Naruto di kamar Hinata. Kau sendiri ngga mau ya menghabiskan malam denganku? Aku kesepian tau! Sebagai permintaan maaf karena kau selalu nyuekin aku di sekolah, mungkin?"
Oh, demi apa aku bilang begitu? Sakura gila—batinnya frustasi. Lalu dia langsung menggeleng deras, melepaskan tangan Sasuke dan menutupi wajahnya. Jantungnya mau pecah rasanya karena degup jantung yang sudah membeludak ini. Ia gigit bibirnya sendiri dan mencoba berucap lantang. "Ngga, bukan begitu! Ngga jadi! Ah! Siapa juga yang mau melakukan hal seperti itu dengan pria cupu sepertimu! Pergi sana!"
"Hn." Sasuke berniat berbalik dan lanjut lagi meninggalkannya. Tapi kali ini Sakura sampai repot-repot bergerak cepat dan melompat untuk meraih ujung kaus pria itu. Sakura berusaha keras sekali menghalangi Sasuke yang berniat keluar kamar. Baru Sasuke akan sedikit memarahi Sakura, tau-tau gadis itu sedang di posisi kedua lutut kaki di lantai, dengan kepala terangkat dan tangan yang menarik bajunya. Pandangan memelas yang jarang Sakura tunjukan semasa ia bersama Sasuke membuat pria itu terdiam sesaat. Ia perhatikan penampilan sakura yang sempat ia abaikan.
Rambut merah muda acak-acakan karena kelamaan menempel di bantal, mata bulat yang menampilkan keresahan, kaus longgar tanpa lengan, dan celana pendek setengah paha yang tak lagi tertutupi oleh selimut. Kulitnya juga terlihat putih walau suasana kamar sedang remang-remang seperti ini. Dia juga... wangi.
"Sasuke, jangan..." Dia sampai memohon untuk mencegahnya pergi ke kamar Hinata, tapi di pola pikir Sasuke yang lain kalimat dan suara itu terasa berbeda. Terasa menggoda. "Please..."
'Tapi...kalau seandainya Sakura memancing Sasuke-nii, apa Niisan juga akan menyerangnya?'
Pertanyaan Hinata yang belum lama terucap kembali terngiang di dalam tempurung kepala Sasuke. Juga jawaban yang menyertainya.
'Aku akan menahannya.'
Ya, dia yang mengatakannya. Tapi... dia ragu. Sudah dari awal dia ragu mengatakannya.
Rahang Sasuke makin terkatup kuat. Ia merendahkan tubuhnya dan menatap Sakura semakin intens. "Jadi sekarang apa?" Tangan Sakura dia balas tahan dan dia mendekatkan kepalanya dan mengendus pelan pundak Sakura. Gadis itu menjerit kecil, kaget, malu—bercampur. "Begitu maumu?" Tanyanya, lalu Sakura terlebih dulu mendorong tubuhnya.
"Ma-Maksudku sih... ngg... b-bukan—eh!?"
Sakura shock setengah mati. Sasuke mendadak membuka baju. Lingkar kerah yang lumayan sempit itu membuat rambutnya berantakan saat kain itu telah sempurna ia lepaskan dan diletakkan olehnya begitu saja di lantai. Lantas dia memandang Sakura yang masih terduduk membisu, dengan wajah merah dan tubuh gemetar.
Oke, hebat. Dia sudah menabur bensin ke api.
"Sa-Sasuke, aku... tadi hanya bercanda. Ki-kita kembali tidur-tiduran biasa aja ya di kasur—hwa!" Pelukan dari Sasuke membuat bulu kuduk Sakura meremang. Lantas ia melepaskan tangan Sasuke seolah dia adalah ulat bulu menggelikan dan ia segera berdiri dan berlari memutari Sasuke, ia berdiri jauh di hadapan punggung pria itu. "Sasuke! Ja-Jangan! Jangan macam-macam!" Jari telunjuk Sakura sudah dia acungkan tapi Sasuke tak memedulikan. Hal yang Sakura lihat di depannya hanyalah rupa bidang dari punggung Sasuke Uchiha yang lebar dan bidang—persis dengan foto yang pernah dia dapatkan saat outing lalu. Lalu tiba-tiba, hal yang terjadi selanjutnya ialah...
Sasuke yang melepaskan kacamata dan menjatuhkannya begitu saja ke lantai.
Sakura sungguh luar biasa terkejut.
Jantungnya...
Jantungnya semakin tak bisa terkendalikan.
Sakura berniat keluar kamar, tapi omongan Sasuke menghentikannya. "Kenapa lari, hn? Bukannya ini kau yang minta?"
Pukulan telak. Dia tutup kembali pintu kamar Sasuke dan merosot terduduk di depan kamar sambil mencengkram kain bajunya yang tepat di dada—di mana organ dalamnya nyaris bekerja seperti mesin pompa berkekuatan super. Tatapannya dengan panik ia fokuskan ke kuku-kuku jari kakinya yang terpoles warna merah. Dia cuma menunduk dan meringkuk. Berdoa sebanyak-banyaknya saat Sasuke sudah berbalik dan berjalan ke arahnya. Tak hanya itu, saat jarak mereka hanya terpaut dua jengkal, Sasuke berjongkok di depannya, mendekatkan wajah dan bahkan sampai menyentuhkan dahi berponi mereka yang berwarna cukup kontras.
Berita penting: Sasuke sedang tidak mengenakan kacamata.
Sosok yang sudah kau tunggu-tunggu itu tersedia di depanmu.
Kau tinggal angkat wajahmu, Sakura Haruno, dan lihatlah dia!—inner Sakura membatin seru. Tapi apa daya kalau hal sesepele itu tak bisa dia lakukan? Terutama kalau Sasuke memperlihatkan wajahnya di situasi seperti ini. Ah, gila. Matanya sendiri saja sudah terasa seperti ada spiral yang berputar.
Sasuke makin mendekat, Sakura semakin menekan bagian belakang kepalanya ke papan pintu. Pupil matanya mondar mandir ke kiri bawah dan kanan bawah—tak beraturan—yang jelas dia tak mampu melihat wajah Sasuke yang tak lagi terlapisi kacamata. Pilihan terakhir paling terpejam.
Dan kini hembusan nafas Sasuke bahkan sudah sampai terasa ke tulang hidungnya. Dia sudah dekat. Terlampau dekat, malah. Sakura semakin menunduk hingga dagunya menyentuh leher. Telapak tangannya pun dia gunakan untuk menahan badan Sasuke agar tak lagi mendekat.
Bagaimana?
Bagaimana ini?
Hingga akhirnya ada dua jari Sasuke yang menyentuh kening Sakura, sekilas dan cukup keras sampai Sakura mengaduh, lalu dia berbisik. "Payah. Memandang mataku aja ngga bisa."
Sasuke mengangkat wajah Sakura dengan sekali gerak, tapi kali ini Sakura telah memejamkan matanya rapat-rapat. Sasuke menyeringai lembut dan kemudian mengecupnya pelan. Debaran di dada Sakura mencelus. Tak ada ciuman yang biasa mereka lakukan, memang. Hanya bibir yang menempel. Tapi tidak tau kenapa—mungkin faktor tempat, cahaya dan juga pakaian yang mereka kenakan—tubuh Sakura berangsur-angsur lebih panas. Dia yang tadinya membentangkan tangan untuk pertahanan, kini ia meletakkan tangannya di leher Sasuke, memeluknya kemudian.
Sakura yang hanyut mulai membalas. Dengan berlangsung ciuman mereka yang kini sampai ke tahap melumat, Sasuke mengangkat tubuh Sakura dengan mudah dan kemudian berdiri. Pria itu membawanya ke kasur. Lalu ketika sampai dia lepaskan ciuman dan membaringkan Sakura dengan lembut ke permukaan ranjang. Dia menyusul tiduran ke sebelah, lanjut memeluknya. Pundak kecil Sakura direngkuh dan lehernya pun dikecup pelan.
Sakura awalnya berniat pasrah dengan apa yang dilakukan Sasuke padanya, tapi karena tiba-tiba sentuhan Sasuke tak lagi terasa, gadis itu membuka mata dan melihat guratan tegas di leher dan juga tulang selangka Sasuke. Nihil aksi, Sakura bingung. Ditambah Sasuke yang berkata pelan, menambahkan kebingungannya.
"Selamat tidur." Ucapnya begitu saja.
"E-Eh?" Sakura terkesiap. "Ngga jadi?"
Tak ada jawaban Sakura memanyunkan bibir. Ia cubit bahu Sasuke dan kemudian balas memeluknya. Diam-diam ada yang pria yang mengeluarkan senyuman gelinya.
"Untuk temanmu itu, aku akan memukulnya nanti pagi."
Ya. Karena Sasuke percaya, jika kau mencintai seorang perempuan semakin berat juga kau akan menyentuhnya lebih dalam.
.
.
~zo : twins alert~
.
.
Sedangkan di waktu yang kurang lebih sama, Naruto yang sebelumnya baru masuk ke kamar Hinata cuma berdiri tegap setelah menutup pintu. Dia tersenyum saat mata sapphire-nya menemukan sesosok gadis yang sedang tidur menghadap ke arahnya di atas ranjang kasur. Naruto menggosok dagu dengan jari lalu menyipitkan mata. Ia menimbang-nimbang sebentar lalu kemudian mendekati Hinata yang masih belum sadar dengan kehadirannya di kamar ini.
Tepat di sebelah kasur, Naruto mengadahkan wajahnya terlebih dulu dan memejamkan mata. Dia tarik nafas dan kemudian meluruskan pandangan. Pria jabrik itu bahkan harus menelan ludah karena kini lututnya sudah menaiki tepi ranjang, dan kemudian membuat suara decitan kecil sampai akhirnya ia benar-benar berada di atas tubuh Hinata.
Merendahkan badan, Naruto menekuk kedua sikunya, mendekatkan wajah. Sulit menahan senyum apabila melihat wajah Hinata yang tengah menyamping, menarik ulur nafas lembutnya yang menenangkan. Naruto mengamatinya lama-lama dan mencium pipi Hinata di peluang waktu yang tersedia. Agak lama, dan kemudian mengecupnya. Dia lanjutkan menciumi pipinya dan beralih sekali ke bibir. Menciumnya lima kali. Tak lama juga ia beralih ke leher. Di saat itu Hinata agak merasa terganggu dan kemudian mendorong wajahnya dengan tangan.
Naruto agak kaget awalnya—kirain Hinata sudah sadar, tapi kemudian dia kembali memastikan diri. Keputusannya sudah bulat. Dia harus 'melakukannya' dengan Hinata... malam ini. Ah, bukan. Maksudnya tidur aja berdua. Gitu. Tapi ya boleh lah menciumi pacarnya dulu? Siapa tau Hinata mau diajak—ng, bukan. Maksud Naruto juga paling mengobrol kecil saja sampai nanti terlelap bersama.
Dia melirik tembok sebelah. Mungkin Sasuke sama Sakura sudah melakukan banyak hal di sana. Karena itu Naruto sedikit menarik kerah bajunya—yang entah kenapa terasa sempit—lalu mulai memandangi selimut Hinata yang menutupi setengah tubuhnya. Naruto menahan nafas sebentar, lalu dengan gerak cepat ia lempar lembaran kain tebal itu terjatuh sempurna di lantai. "Aduh, ngga sengaja." Ucapnya sendiri, cengengesan.
Dengan senyum ia alihkan pandangnya ke Hinata yang kini sedang memakai celana pendek. Paha dan juga betis jenjangnya yang memukai terlihat. Begitu indah, putih, mulus dan tampak bersinar. Naruto langsung membuka mulutnya dan menggeser tubuhnya ke arah tembok—menjauh. Telapak tangannya yang lebar ia jadikan penutup dari matanya yang menyipit kaget.
"Anjir putih..."
Naruto menggeleng dan memalingkan wajah. Tapi wajahnya memanas sendiri. Niat aslinya kan dia memang berencana melakukan 'ini dan itu' dengan Hinata. Tapi kenapa giliran dia sudah melihat kaki Hinata saja dirinya langsung deg-degan seperti ini? Apa faktor di sekolah Hinata keseringan pakai rok panjang di bawah lutut? Atau tadi dia baru ingat kalau saat mengobrol di kamar Sasuke, Hinata menutupi simpuhan kakinya dengan selimut, jadi ia belum terbiasa melihat langsung paha ceweknya sendiri?
Tangan Naruto bergerak ragu ke paha itu, membelainya tiga detik, tapi kemudian karena rasa geli yang mungkin di dapatinya, Hinata menggerakkan kakinya dan memutar posisi tidurnya. Naruto yang kaget jadi mengaduh sendiri. Kalimat maaf dia lontarkan dalam hati dan dia cubit-cubit tangannya yang bandel. Rasa ingin memiliki Hinata-nya memang semakin tinggi... tapi ketika dia melihat wajah damai Hinata yang sedang tertidur damai, pria itu jadi lemas sendiri.
Nyalinya ciut dalam hitungan detik. Agak sedih karena keplin-planannya, wajah Hinata ia perhatikan. Dimulai dari bulu mata tipisnya yang lentik. Hidung mancung juga bibir tipisnya yang merah muda. Benar-benar seperti malaikat...
Naruto duduk bersila di atas kasur. Kepalanya ia tundukan dan rambut jabriknya ia acak-acak. Nyaris semenit terlewat, dia terkekeh.
"Jahatnya aku..." Dia belai rambut Hinata dan tersenyum. Dia sentuh pelan kelopak mata Hinata yang tertutup. "Kalau kau tau niat awalku, mungkin mata ini akan menangis."
Naruto menghela nafas—agak keras. "Tapi... ya sudahlah."
Naruto berakhir tidur di sebelah Hinata, masih berpakaian lengkap, lalu jadi bahagia sendiri saat memperhatikan wajah itu tidur saat mereka berhadapan. Dia tarik tubuh Hinata mendekat, dan memeluknya dengan dekapan hangat. Keningnya ia cium dan Naruto menaruh pipinya sendiri ke kepala indigo Hinata. "Oyasumi, Hime. Aku sangat mencintaimu..."
Dua jam lamanya Naruto terjaga untuk memperhatikan Hinata dan menciumi pipi gadis itu sampai puas. Tapi karena tiba-tiba kesadarannya lama-lama menghilang, Naruto lupa berpindah tempat saat pagi, jadi tak heran kala subuh datang Hinata terbangun sambil memekik kencang ada Naruto di sebelahnya.
.
.
TO BE CONTINUED
.
.
Author's Note :
Ini scene bonus sih lebih tepatnya, semacam side story. Aslinya ngga ada di kerangka fict yang kubuat di TA sih haha. Err, tapi sorry kalo kesannya lebih ke SasuHina, SasuNaru dan SasuSaku. Soalnya nanti akan ada waktunya Hinata akan kuperbanyak scene-nya (termasuk NaruHina pastinya). Baiklah, kita mulai konflik terakhirnya di chap depan aja, ok?
.
.
Thankyou for Read & Review!
Special Thanks to :
Harumia Risa, Febri Feven, fariskaaulia-putri, Little Deer Chanie94, Mutiara Fujiwara Uchiha, Lhylia Kiryu, Luluchai10, Baka Gaki, stillewolfie, marcellan, Animea-Khunee-Chan, YukiKaze Shera, test, Haruka smile, m-u-albab, TheRedsLFC, Okita Yumi, Guest, Re UchiHaru Chan, AF Namikaze, uchiha yardi, nada-nada-5059601, dimas-priyadi-524, tata, Kuro Shiina, Rin Carrae, Belindattebayo1, sofi asat, Ikanatsu, imahkakoeni, nadya ulfa, hanafid, 6934soraoi, withachan, Hanachan L, Bluewers, Misti Chan, uchihagremory, Papa Haise The Centipede, OneeKyuuChan, Akasuna Sakurai, sarada, flowers lavender, Henilusiana39, Lullaby Cherry, Durarawr, Ifaharra sasusaku, an username, hana nakamura uchiha, LotuS-Mein319, AnGgi Cherryblossom, nimarmine, Sakurajima no Yama, September 9th, Aira Lovatte, isabella-stefani, VampireDPS, sofia-siquelle, Black-Red Phantom, sincozaa, Ricko, Anka-Chan, Sayaka Akihime, MaelaFarRon II, Mey NeeLight, Guest, Nagi Sa Mikazuki Ananda, hinami hyuga, iya baka-san, AoRizuki, michaela, taca haruno, Name Navy, Arizona Renichi, matsuki-chan, Guest, Mii-Chan, Rin Carrae, kim-hari-315, sasusakulovers, misseleus Femyni, tathaa, Namikaze Yuli, Nia CheeScorpio, Uchiha hinako, rezaamelia-nasyid, harum hyuuga, witawulandari9, zakuro, Ramen panas, Riya-Hime, aalmira, goretty, ssnsxxx, Tachibana Koyuki, xoxo, Cazorla19, ayma uchyga, wijiati UchiHaruno, darren, Lita UchiHaruno, cyanklyla, Guest, nchyntia87gmail-com, Bluewers, Ckh-Kyr, Andinica, Guest, Guest, Neeldyeck, skies, sienik anglita, Guest, metta-c-rini, Guest, NaLu, anisaaurelia25.
.
.
Pojok Balas Review :
Tamatin fictnya, ya. Oke. Adegan NaruHina sweet, SasuSaku bikin melting banget. Terima kasih. Di chap awal aku ketemu banyak typo. Sorry. Iya biasanya lagi buru-buru update. Gomen ne. Doain aja ngga gitu lagi. Btw, kalau ada typo tulis katanya aja ya biar aku bisa edit cepet, hehe. Dua pair ini sampai lupa Gaara saking lovey dovey-nya. Haha, iya tuh. Pengen banget liat Sasuke yang over protektif ke Hinata. Done. Tamat chap berapa? Dua puluhan, mungkin. Tinggal sedikit kok konfliknya. Ada scene GaaIno? Mungkin. Punya Wattpad? Untuk sekarang aku cuma punya akun di FFn aja. Jarang loh ada SasuHina lovers yang buat SasuSaku sampai sebegini. Pairing apa aja aku lahap kok, hehe. Thanks komentarnya. Kapan Sasuke ngga culun lagi? Sikapnya udah ke asli, tinggal penampilannya aja, ya. Hmm. Naruto jadi genit. Biasalah, cowok. Adegan kissu-nya kurang detail. Aku aja ngga pernah ciuman kalian kok minta yang detail haha #alibi. Jangan sampai ada cowok yang deketin Hinata. Kalau Gaara? :) Dulu aku ngga suka SasuSaku tapi gara-gara fict ini jadi suka. Thankyouu. Bikin Sasuke cemburu dong, itu ciri khas di tiap fict SasuSaku. Pengen sih, sama siapa tapi? Bukannya di perpustakaan ada CCTV? Kok ngga dikasih hukuman? Mungkin ngga keliatan pengawasnya. Di SMA-ku gitu. CCTV kalo ngga diawasin yaudah dibiarin (?). Kenapa update-nya lama, ya? Karena aku punya banyak fict in-progress, kerjaan kuliah, dan juga waktu yang sedikit. Maaf. Sakura, Ino dan Tenten kayak remaja ala sinetron. Haha, di dunia nyata banyak yang kayak gitu malah. Maraton 18 chap. Haha, hebatt. Kalau Gaara dendam ke Sasuke aturan Sakura dong yang kena damprat? Soalnya waktu itu SasuSaku belum pacaran, lagian Sakura juga udah sempet ditenggelemin, jadi sekarang Gaara lebih incar Hinata. Boleh minta plot twist di ending? Contohin dulu gimana plot twist-nya.
.
.
Review kalian adalah semangatku :')
Mind to Review?
.
.
THANKYOU