Thanks to : sofi asat, Sabrina Kanzaki, rfauryn, Uchiha Sakura, Akasuna Sakurai, Lilids Lilac, tami-chan, Kumada Chiyu, Ara-chan, hanazono yuri, ongkitang, Luca Marvell, Lhylia Kiryu, dll
Naruto © Masashi Kishimoto
Image Not Mine
Warning : OOC parah, AU, Typo(s), Misstypo(s), GAJE, ANEH, JELEK, LEBAY, EYD berantakan, Tata bahasa payah, Diksi hancur, Ide pasaran, Bikin muntah, dll, dsb, dst *PLAK!*
Dont Like Dont Read
~Happy Reading~
.
.
.
.
.
Hari kedua.
Rayuan.
Ya-ya, rayuan adalah cara yang bisa dibilang ampuh sekaligus efektif untuk menaklukkan hati seorang perempuan. Makhluk ciptaan Tuhan yang satu itu biasanya memang suka sekali dirayu oleh lawan jenisnya, tak peduli rayuannya itu seperti apa, jenis apa, tapi yang jelas, berdasarkan survey para ahli di bidang keasmaraan(?), mereka memang akan besar kepala jika dirayu, mereka akan merasa spesial jika disanjung, dipuji, bahkan dengan rayuan gombal sekalipun.
Ya-ya, oke. Mungkin perempuan itu akan langsung klepek-klepek jika dirayu oleh seorang lelaki, apalagi jika lelaki itu adalah lelaki bergelar bad boy—Sasuke Uchiha. Tapi, bagaimana kalau yang dirayu itu bukan perempuan, melainkan perempuan jadi-jadian(?)—Sakura Haruno?
Apakah mempan jika rayuan itu dijatuhkan pada seorang gadis tergarang, terganas, tersangar, tersayang—eh yang ini bukan, terliar di sekolahnya. Hell, hell, hell, bisa-bisa ia mendapat malu lagi di hadapan gadis itu. Bisa-bisa ia terpaksa membuang jauh-jauh kemaluannya(?). Abaikan.
Hhh... Untuk kesekian kalinya Sasuke menghembuskan nafas berat, mengiringi perjalanannya menuju ke kelasnya. Entah kenapa ia merasa hari-hari di sekolahnya bagaikan di neraka sejak tiga hari yang lalu, hari di mana ia menyanggupi taruhan konyolnya dengan kedua sahabatnya yang tak kalah konyol.
Belum lagi otak cerdasnya yang dipaksa untuk berpikir lebih keras dari biasanya, membuatnya semakin susah tidur, membuat wajahnya tampak makin tirus seperti Orochimaru—si tukang ojek yang konon sempat depresi gara-gara tereliminasi dari ajang pemilihan model iklan shampo.
Hell no, Sasuke mengumpat dalam hati. Wajahnya masih tetap tampan nan jantan walau akhir-akhir ini ia banyak pikiran. Pikirnya narsis. Jadi, mana boleh disamakan dengan siluman ular itu?
Oke, lupakan sejenak musibah yang menimpa pria pecinta reptil itu. Karena bagaimanapun juga, masalah putra bungsu Uchiha jauh lebih penting dari cuciannya yang menumpuk.
Hadeh, apalagi ini. Untuk kesekian kalinya pemuda bergelar bad boy itu menggeleng-gelengkan kepalanya pelan, berusaha mengenyahkan pikiran tidak nyambung yang menyerbu otaknya.
"Oi Teme, bagaimana misinya kemarin?"
'Eh?'
Sasuke menolehkan kepalanya ke samping, iris mata dark onyxnya mendapati sahabatnya yang bernama Naruto alias Domble, eh Dobe yang nyengir lebar seperti biasa. Anehnya, lelaki berambut raven itu sama sekali tidak menyadari chakra sahabatnya. Ups, ini bukan dunia ninja. Maksudnya, Sasuke sama sekali tidak mengetahui kehadiran Naruto. So, sejak kapan?
Hhh... Lagi, Sasuke menghembuskan nafas berat. Mungkin ia terlalu asyik (pusing) dengan masalahnya sendiri hingga tak fokus dengan keadaan sekitar yang mendadak penuh dengan kobaran api di mana-mana. Lolongan dan teriakan yang memekakkan telinga terdengar di sana-sini, mereka semua berlarian ke segala arah demi menyelamatkan diri masing-masing. Bahkan kini Sasuke ikut berlarian mencari air terdekat guna memadamkan api. Dan syukurlah ia menemukan air dalam waktu singkat, walau itu hanya air liur Pakkun yang kebetulan lewat. Oke, itu 100% bohong.
"Oi Teme, bagaimana hasilnya? Sukses kan, kan? Iya kan, kan?" seru Naruto lagi sembari menyenggol bahu sahabatnya cukup keras. Membuat lelaki bermarga Uchiha itu nyaris terjungkal kalau saja ia tidak memiliki kesigapan yang tepat, membuat sahabatnya tersadar dari lamunan gajenya.
"Cih! Dobe, jangan mengalihkan pembicaraan,"
Pemuda blonde itu mengernyitkan dahinya. Siapa yang mengalihkan pembicaraan? Perasaan dari tadi yang ia bicarakan hanya satu topik saja. Itupun belum dijawab oleh sahabat ravennya. Ia bertanya apa, sahabatnya menjawab apa. Sepertinya justru sahabat sekelasnya itulah yang mengalihkan pembicaraan. Pikirnya tak mengerti.
"Apa maksudmu Teme?"
Sasuke mendengus. "Kau sengaja merahasiakannya dariku kan?"
Kerutan di dahi lelaki blonde itu semakin menebal. "Rahasia apa?"
"Jangan berlagak bodoh!" semprot pemuda Uchiha itu sedikit pedas.
"Teme, aku tidak berlagak bodoh. Memang sejak dulu aku sudah dianggap bodoh. Yah, walau sebenarnya aku tidak merasa bodoh sih," sahut Naruto dengan polosnya membuat Sasuke kembali menghembuskan berat.
"Kenapa kau tak memberitahuku kalau baka-anikimu mengincar Haruno?"
Baka-aniki? Naruto nampak berpikir keras. Setahunya ia hanya memiliki satu kakak. Tapi setahunya, kakaknya itu tidak baka. Kelewat pintar malah. Saking pintarnya, kakak satu-satunya itu tidak pernah dipungut biaya sepeser pun saat sedang membeli barang-barang yang diinginkannya. Tahu sendirilah, karena wajah sangarnya itu mereka semua ketakutan hingga memberikan barang jualan mereka dengan cuma-cuma alias gratis. Eh, tapi apa benar kakaknya yang gahar itu mengincar Sakura seperti yang dikatakan Sasuke barusan? Sepertinya otak berkapasitas medium Naruto mulai mampu mencerna perkataan sang cassanovel(?).
"Maksudmu Pein?"
Pemuda berambut model bokong ayam itu memutar bola matanya bosan. "Memangnya kakakmu ada berapa?"
Mulut Naruto menganga sepersekian detik, membiarkan lalat dan lebah keluar masuk di sana. Oke, itu bohong.
"E-eh!? Apa!? Nani!? What!? Cosa!? Mueos!?" teriak Naruto berlebihan dalam berbagai macam bahasa. "Berani-beraninya dia menginginkan Sakura-chan, lihat saja... Akan kuhajar nanti," geramnya kesal sembari mengepalkan kedua tangannya yang nyaris patah saking eratnya. Abaikan.
"Memangnya kau berani?" seru seorang lelaki berambut hitam klimis yang tiba-tiba hadir di antara keduanya.
Sepertinya pemilik nama Sai itu memang hobi sekali muncul tiba-tiba. Seperti setan mitos yang biasa dimainkan oleh orang-orang dengan merapalkan mantera 'datang tak diundang, pulang ditendang'. Kira-kira seperti itulah mantera pemanggil setan yang bernama 'Jaelangsing(?)' itu. Oke, itu tidak penting.
"Kau tidak berani kan?" ulang Sai lagi seraya tersenyum aneh seperti biasa.
"Hehehe... Tentu saja tidak," sahut Naruto tertawa garing sembari menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal, membuat kedua sahabatnya sweatdrop di tempat.
'Aku masih sayang nyawaku tahu,' batinnya ngeri membayangkan Pein yang melubangi telinganya secara paksa supaya jadi bergemerincing seperti telinga sang kakak yang penuh dengan gondel(?). Lelaki blonde itu memang menyukai kerapian, walau sebenarnya ia jarang mencuci 'cd' dan juga kaos kakinya. Abaikan.
Ketiga sahabat itu akhirnya sampai juga di kelas tujuannya. Ketiganya saling melempar tas di bangku masing-masing. Tapi sepertinya, baik Naruto maupun Sai lebih tertarik dengan bangku Sasuke. Sehingga mereka berdua meninggalkan bangku masing-masing dan ikut bergabung dengan sahabatnya yang kini menopang dagu, mengingat bel masuk belum berdering. Hanya saja keduanya tidak ikut-ikutan menopang dagu melainkan memperhatikan saingan taruhannya dengan tatapan menyelidik.
Sasuke mendengus, tak suka ditatap seperti itu. Ia balik melotot dengan menggunakan mata sharingan-nya. Sekali lagi, ini bukan dunia ninja. Jadi, Sasuke hanya melotot tajam ke arah keduanya.
'Apaan sih mereka lihat-lihat, belum pernah lihat orang keren apa?' batin innernya narsis membuat Sasuke asli sweatdrop.
"Cih! berhentilah menatapku seperti itu!" geramnya kesal. Lama-lama risih juga hingga ia kagak nahan(?).
"Oi Teme, jadi bagaimana?"
"Bagaimana apanya!?" sahutnya ketus.
"Yang kemarin?"
"Kemarin apa!?" satu sudut siku-siku mulai muncul di pojok dahinya.
"Sasori-Sasori... kau berhasil merayunya kan?" lelaki yang terobsesi dengan bintang Bollywood itu ikut menyumbangkan suaranya. Ia memang sangat menyukai gaya berpakaian mereka. Maka tak tanggung-tanggung ia menirunya dengan mengenakan pakaian setengah(?) jadi yang mengekspose pusarnya seperti idolanya. Maaf, ini tidak ada hubungannya.
"Jadi kau benar-benar berhasil Teme?" seru Naruto berbinar-binar.
Sementara Sasuke mendengus untuk kesekian kalinya sembari membatin. 'Berhasil gundulmu(?).'
"Jangan menanyakan hal itu," sahutnya pada akhirnya membuat kedua sahabatnya saling pandang dan mengangkat bahu.
"Baiklah, bagaimana dengan Pein?" tanya Sai masih dengan senyum anehnya.
"..."
Merasa tidak direspon, Sai mengalihkan tatapannya pada Naruto. "Naruto, bagaimana menurutmu?"
"Apanya Sai?" tanya balik Naruto yang tak mengerti.
"Sasuke vs Pein,"
"Oh itu, bagaimana ya?"
"Kau pasang siapa?"
"Aduh, siapa ya? Aku bingung,"
Keduanya asyik berbincang-bincang seolah tidak ada orang lain di antara mereka. Mengabaikan kondisi Sasuke yang kini tengah menahan amarahnya mati-matian—menahan diri agar tidak menelan kedua sahabatnya hidup-hidup, apalagi ia belum sarapan tadi.
Dan perbincangan pun berlanjut.
"Kenapa harus bingung?"
"Masalahnya aku mengenal keduanya,"
"Bukankah itu bagus?"
"Iya, tapi tetap saja aku tidak tahu,"
"Tinggal pilih saja kan, Sasuke atau Pein?"
"Nah itu dia, kalau kau jadi aku, pilih kakakmu atau sahabatmu?"
"Hm, cukup sulit,"
"Iya, memang su—"
'Brakkk!'
Perdebatan tidak jelas itupun berakhir di gebrakan meja. Bahkan Naruto terpaksa menelan kembali kalimatnya yang belum selesai.
Kalau saja yang menggebrak meja itu adalah sahabatnya yang berambut raven, mungkin keduanya tidak akan begitu terkejut. Namun ternyata, bukan hanya Naruto dan Sai saja yang terkejut, melainkan Sasuke pun juga ikut-ikutan dalam acara kejut-mengejut(?) itu. Bahkan beberapa siswa-siswi yang berada di dalam kelas itu ikut menatap was-was kejadian yang lumayan langka.
Siapa sih yang berani mencari gara-gara dengan Sasuke di pagi yang cerah ini? Siapa sih yang berani menggebrak meja di hadapan Sasuke? Siapa sih yang berani melotot tajam ke arah Sasuke? Siapa sih dia? Siapa lagi kalau bukan—
"Haruno, apa-apaan kau!" ujar Sasuke setengah berteriak. Ia kesal bukan kepalang. Seenaknya saja main gebrak meja. Memangnya dia itu tukang tebang kayu apa, pikirnya tidak jelas.
Tersangka penggebrak meja itu menyeringai. Kedua tangannya ia lipat di depan dadanya. "Uchiha, jangan bilang kau lupa dengan tugas yang diberikan oleh Asuma-sensei," desisnya terdengar mengerikan di telinga semua mata yang menonton, tentunya kecuali Sasuke.
What the f**k! Umpat Sasuke dalam hati.
'Justru yang kulupakan adalah mencincangmu gadis singa liar,' batinnya menyeramkan.
***{+_+}***
Hanya satu kata, 'kesal'. Sasuke Uchiha tak henti-hentinya merutuki sensei biologinya yang brewokan(?) dan berbau asap rokok. Bagaimana tidak? Memang benar sensei killernya itu mau menerima surat pernyataan penyesalannya sepanjang lima ribu kata yang ditulis dengan tulisan tangan bukan dengan ketikan. Harap digaris bawahi, ditulis-dengan-tulisan-tangan.
Bisa dibayangkan bagaimana Uchiha junior itu mengerjakannya? Ya, tentu saja. Ia mengerjakannya semalaman—nyaris tidak tidur, mengingat kemarin sorenya ia harus bernegosiasi dengan Sasori yang justru malah menambah parah keadaan. Dan gara-gara itu ia jadi tidak sempat sarapan lantaran tak mau terlambat, tak mau poinnya dipotong lagi seperti kemarin.
Memang benar Asuma tak menyuruhnya untuk menulis ulang hasil kerjanya sebanyak dua kali lipat. Memang benar Asuma mengaku cukup puas dengan hasil kerjanya. Tapi-tapi... tak harus menambah hukumannya dengan membersihkan gudang bukan?
Yeah, that's right. Sasuke dan Sakura diberi sanksi lain untuk membersihkan gudang sekolah di saat jam pelajaran terakhir. Berani menolak, poin keduanya lah yang menjadi taruhannya. Dan mereka berdua baru diperbolehkan pulang jika sudah mendapat ijin dari sensei biologinya itu.
Sedikit merasa beruntung, karena lagi-lagi Asuma cukup puas dengan kerjasama (terpaksa) di antara muridnya itu, sehingga keduanya diperbolehkan meninggalkan gudang bedebah(?) itu, walau jam berakhirnya pelajaran sudah berdering sekitar 30 menit yang lalu. Sehingga suasana sekolah tak seramai tadi. Hanya ada beberapa murid yang masih tinggal lantaran mengikuti kegiatan ekstrakurikuler.
Pakaian keduanya tampak lusuh akibat terkena debu-debu yang berhamburan di gudang lembab itu. Belum lagi keringat yang masih membasahi tubuh mereka, semakin membuat wajah keduanya tampak seperti pakaian kusut yang dipakai bergantian oleh 101 orang tanpa disetrika.
'Sialan!' batin Sasuke kesal.
Seharusnya ia bisa memanfaatkan kesempatan saat ia hanya berdua saja dengan Sakura tadi. Namun naas, yang ia rasakan justru kesempitan tiada tara. Maklum saja, gudang apek itu penuh dengan barang-barang tak berguna, walau ia pikir tak ada gunanya juga membersihkannya. Gudang tetaplah gudang, sebuah ruangan luas yang mendadak menjadi sempit lantaran terlalu banyak barang rongsokan yang menetap di dalamnya. Yang namanya gudang pastilah kotor, kalau ingin bersih ya jangan dinamakan gudang dong. Batinnya masih kesal.
"Huh! Dasar sensei menyebalkan. Apa-apaan dia itu, seenaknya saja menyuruh ini-itu. Dia pikir dia itu siapa? Baru jadi sensei saja belagunya minta ampun, apalagi kalau jadi lurah," gerutu Sakura sebal sembari menghentak-hentakkan kakinya kasar hingga bumi pun ikut bergoyang karenanya. Oke, itu berlebihan.
"Dasar... Dia itu memang sensei yang minta dihajar,"
"..."
"Huh! Apa-apaan sensei killer itu... bla... bla... bla..."
"..."
Gadis berambut soft pink itu terus-menerus mengoceh riang sementara Sasuke yang berjalan tak jauh darinya hanya bisa bergeming sembari memutar bola matanya bosan. Entah sudah berapa kali gadis itu mengatakan itu-itu saja. Inti dari kalimatnya sama, yaitu tidak terima dan ingin menghajar Asuma-sensei. Namun Sasuke berani bertaruh demi model potongan rambutnya yang keren, gadis garang itu takkan berani melakukan apa yang dikatakannya.
Sial, sial, dan sial. Kini giliran Sasuke yang merutuk. Entah sudah berapa kali kata itu berbicara di dalam otaknya. Sebentar lagi ia akan meninggalkan sekolahnya, namun hari ini ia sama sekali belum memperjuangkan cintanya—ehem, maksudnya belum melancarkan serangan apapun untuk menaklukkan targetnya.
Berpikir, berpikir, dan berpikir. Otak pintarnya dipaksa berpikir keras, sementara Sakura masih setia dengan gerutuannya yang sama sekali tak dianggap olehnya. Iris dark onyxnya melirik ke arah gadis buruannya.
Entah kenapa ia teringat pria penjual bakpao yang kebetulan berpapasan dengannya saat ia berangkat ke sekolah tadi pagi. Dan lebih kebetulan lagi ia tak sengaja mendengar apa yang dibicarakan oleh penjual bakpao itu pada pembelinya yang bergender wanita.
"Aku sengaja membelikanmu kacamata hitam, agar tatapanmu tak menghantuiku setiap saat."
Kurang lebih seperti itulah kata-kata yang dilontarkan oleh si penjual bakpao tadi pagi. Ya, harus Sasuke akui, sedikit banyak ia bersyukur telah dipertemukan dengan orang itu tadi pagi. Karena orang itu secara tak langsung memberinya inspirasi. Bagaimana mungkin Sasuke bisa melupakan rencana serangannya hari ini, padahal ia sudah menatanya secara apik sejak tadi pagi. Ck, dasar.
Sekarang tinggal memikirkan kata-kata yang pas untuk merayu gadis beriris ijo lumut itu. Tidak mungkin kan ia akan meniru kata-kata dari si penjual bakpao? Ia tidak membawa kacamata hitam, dan kalaupun ia membawanya, ia tidak akan memberikannya pada Sakura. Bisa-bisa gadis itu akan tersinggung karena dikira menghina keindahan matanya. Terlebih lagi, Sasuke Uchiha itu adalah orang yang kreatif. Maka dari itu ia akan menciptakan dunianya sendiri. Pikirnya setengah melenceng.
Ia merasa tidak memiliki apapun yang pantas untuk diberikan pada targetnya saat ini. Jadi, mungkin cukup merayunya dengan kata-kata saja.
Ia menatap Sakura lekat-lekat, sementara yang ditatap masih setia dengan cerocosannya yang tidak jelas. Itu bibir apa bubur(?), batin Sasuke setengah heran. Padahal acara bersih-bersih gudang sudah beres, tapi masih saja dibahas. Ck, dasar cerewet.
Tiba-tiba saja seperti ada bohlam menyala di atas kepalanya. Jidat lebar Sakura yang nampak berkilauan oleh keringat memberinya sebuah ide brilliant. Ia berdehem kecil, guna membersihkan tenggorokannya agar suaranya yang keluar berikut terdengar jantan dan menarik. Eits, tapi tunggu dulu. Bagaimana kalau sasarannya meleset? Bagaimana kalau gadis itu justru menertawakannya? Bagaimana kalau—just shut up. Setidaknya Sasuke harus mencoba, mau tidak mau—harus.
"Haruno?" panggilnya tiba-tiba, membuat gadis yang sedari tadi mengomel-ngomel langsung terdiam dan menghentikan langkahnya.
"Apa?" sahut Sakura setengah ketus sembari memperhatikan lawan bicaranya.
Sasuke melangkah perlahan mendekati Sakura, membuat gadis itu menautkan alis. Ia menghentikan langkahnya tepat di depan gadis itu. Kini kedua insan itu saling bertatapan.
Ia menarik nafas sebentar lalu menghembuskannya perlahan. Walau hatinya masih ragu, namun akhirnya ia membuka mulutnya. "Dahi lebarmu itu... bagaikan landasan. Dan jika aku yang menjadi pesawatnya... maka aku akan mendarat di situ," ujarnya sembari menghela nafas lega karena bisa menyelesaikan kalimatnya tanpa hambatan sedikit pun. Untung ia selalu sedia permen hexos(?) yang katanya biar lebih enak didengar. Abaikan.
Sakura terbengong sepersekian detik sebelum kemudian wajahnya mendadak menjadi merah, antara marah dan murka(?). "Memangnya kenapa kalau dahiku errr—lebar?" ucapnya setengah tak rela walau ia mengakui kelebarannya(?). "Ini masih lebih baik daripada model rambutmu yang mirip babon ayam bertelur. Kau itu benar-benar menyebalkan Uchiha... Sama menyebalkannya dengan sensei killer itu...!" lanjutnya menggeram marah sebelum kemudian berlalu begitu saja, meninggalkan Sasuke yang termangu menatap kepergiannya.
Oh no, pupus sudah harapannya. Serangannya di hari kedua ini masih bisa dibilang belum ada perkembangan sama sekali, bahkan mungkin lebih parah dari hari pertama.
What the hell! umpatnya dalam hati. Seenaknya saja mengatai rambut kerennya itu lebih buruk daripada jidat lapangannya? Dan lagi, bagaimana mungkin dia menyamakan wajah tampannya yang penuh kharisma dengan wajah sensei biologinya yang pas-pas-an nan menyeramkan? Sepertinya penglihatan gadis itu memang bermasalah hingga tak bisa membedakan mana yang buruk dan mana yang rupa(?).
Oh shit, kalau diingat-ingat lagi memang mengesalkan. Sebenarnya Sakura itu perempuan atau bukan sih? Jika dia memang perempuan normal, sudah pasti dia akan terjerat dalam pesonanya. Tapi apa yang terjadi justru sebaliknya. Apalagi jika teringat kejadian di dalam gudang tadi. Kejadian di mana ia dengan sengaja melempar kecoak ke arah targetnya. Niatnya sih, agar gadis itu ketakutan dan meminta bantuannya, mengingat kaum hawa biasanya jijik dengan binatang jorok tersebut. Dengan begitu ia akan tampak seperti seorang 'hero' di matanya.
Tapi memang dasar monster betina. Alih-alih merasa jijik, gadis itu justru memegang kecoak bernasib sial itu, lalu menjatuhkannya dan menginjaknya sadis seraya menatap tajam ke arahnya, disertai dengan seringaian mengerikan yang terpampang di wajahnya, seolah berkata. 'Jangan macam-macam, atau kau akan bernasib sama seperti kecoak ini.'
Hhh... Sasuke menghembuskan nafas berat untuk kesekian kalinya. Belum sempat kekesalannya mereda, mata onyxnya tak sengaja menangkap sosok yang mungkin akan semakin menambah kekesalannya hari ini. Sosok itu berada di dekat gerbang sekolah, seperti menanti seseorang. Tanpa pikir panjang lagi, Sasuke semakin mempercepat langkahnya dan menghampiri sosok itu.
"Pein, mencari Haruno eh?" sapa Sasuke (sok) ramah dengan tampang cool-nya.
Skak mat. Pein nampak salah tingkah mendengar tudingan Sasuke. Namun sebentar kemudian ia bisa menguasai kembali ketenangannya.
"Bukan urusanmu Sasuke," sahut lelaki berambut oranye itu setengah sebal.
"Hn, begitu,"
"Memangnya kenapa?"
"Bukan urusanmu Pein," balas Sasuke mengembalikan perkataan Pein.
Lelaki yang usianya setahun lebih tua dari Sasuke itu mendelik. Ia menatap tajam Sasuke yang juga menatapnya tak kalah tajam. Akhirnya kedua lelaki itu melanjutkan pertarungan mereka yang sempat tertunda kemarin, yaitu saling melotot tajam dengan aliran listrik yang muncul dari mata masing-masing. Untuk sepersekian detik keduanya masih setia di posisi masing-masing, sampai akhirnya datang seorang lelaki blonde yang tiba-tiba memutuskan aliran listrik di mata mereka dengan muncul di tengah-tengah keduanya.
"Kalian itu apa-apaan sih? Daripada melakukan hal yang tak berguna begitu, lebih baik kalian lihat itu," ujar Naruto terdengar bijak untuk pertama kalinya seraya menunjuk pemandangan yang dimaksud dengan menggunakan dagunya.
Dengan gerakan slow motion, kedua pemuda yang berbeda sekolah itu menoleh ke arah yang ditunjuk oleh lelaki beriris blue sky, dan apa yang terjadi sungguh diluar jangkauan mereka.
Sasuke membelalak, Pein menganga, Naruto nyengir, Sai tersenyum, Genma ngeden(?) di toilet. Ehem, abaikan kalimat terakhir.
"Apa ini nyata?" tanya Pein yang sudah berhasil mengatasi keterkejutannya entah pada siapa, tanpa mengalihkan pandangannya.
"Hn," sahut Sasuke khas tanpa mengalihkan pandangannya juga.
Sedangkan Naruto dan Sai mulai berbisik-bisik tetangga(?) lagi.
"Wah, ini jadi semakin seru Sai," bisik Naruto.
"Iya Naruto, bertambah lagi satu orang," sahut Sai pelan.
"Tapi, aku jadi semakin bingung mau pasang siapa,"
"Santai saja. Daripada itu, sebaiknya kau siapkan dulu uang taruhannya," usul Sai seraya melempar senyum andalannya.
Sementara Naruto hanya mengangguk-angguk, entah mengerti atau tidak dengan maksud sahabatnya yang doyan taruhan sama seperti dirinya.
Well, pemandangan Sakura bersama seorang lelaki memang menakjubkan untuk disaksikan. Tapi cowoknya itu lho, ampun deh. Sasuke tak habis pikir, bisa-bisanya gadis cap singa liar itu tertarik dengan siswa kelas XI-B. Bukan apa-apa sih, hanya saja penampilannya itu lho, membuat mata Sasuke sakit. Pikirnya dramatis.
Bagaimana tidak, make up lelaki yang kini tengah berjalan beriringan dengan targetnya itu terlalu berlebihan menurut Sasuke. Alis yang dipangkas habis, rambut yang dicat merah, mata yang dihias dengan eyeliner hitam super tebal, dan yang paling parah adalah tato yang melekat di keningnya itu.
Entah tato apa yang digunakannya, tapi yang jelas tulisannya itu tampak berubah-ubah. Hari ini bertuliskan 'Abi' yang mungkin berarti dia merindukan ayahnya. Kemarin-kemarin bertuliskan 'Aki' yang mungkin berarti dia merindukan kakeknya. Bahkan Sasuke sempat tak sengaja memergoki tatonya itu bertuliskan 'Asi' yang mungkin berarti dia merindukan air s**u ibunya.
Heran-heran, mereka bilang tatonya itu seni pahat-lah, gahol-lah, macho-lah, dan entah lah-lah(?) apa lagi menurut mereka. Tapi bagi Sasuke, semua itu hanyalah akal-akalan lelaki itu saja agar jidat jenongnya tersamarkan.
For God Sake, iris dark onyxnya melihat pemandangan super langka yang tak jauh di depannya. Targetnya itu terlihat errr—manis saat wajahnya merona. Apa? Manis eh? Oh, shut up. Tapi-tapi, yang membuatnya merona adalah lelaki itu. Lelaki yang merupakan rival terberat Sasuke di bidang olahraga, terutama basket. Lelaki yang ketampanannya sering dibanding-bandingkan dengannya. Lelaki yang kini tengah menyeringai ke arahnya entah apa maksudnya.
What the hell! Urusannya dengan Pein belum selesai, muncul lagi orang baru dalam masalahnya. Tapi sepertinya orang itulah yang patut diwaspadai. Sedangkan Pein, sepertinya ia hanyalah lelaki yang bernasib sama dengannya. Hanya mampu menatap gadis itu dari kejauhan sembari membatin-batin tak jelas. Kalau begitu, tak ada salahnya jika ia dan Pein bekerja sama untuk menghancurkan lelaki yang hobi mengoleksi peralatan tradisional seperti gentong pasir, tungku api, kreweng(?), dan terserah.
Oh tidak-tidak, Sasuke menggeleng-gelengkan kepalanya pelan, kurang setuju dengan ide yang terlintas dalam otaknya. Ia akan melakukannya dengan caranya sendiri. Ia tak peduli hubungan apa yang terjalin antara keduanya. Entah itu sahabat, TTS—eh TTM, atau mungkin pacar sekalipun ia takkan peduli. Apapun akan ia lakukan untuk memenangkan taruhannya. Apapun, termasuk bersaing dengan orang-orang berbeda tiap harinya. Mungkin.
Entah kenapa Sasuke semakin berambisi untuk menaklukkan seorang gadis yang menjadi targetnya. Apapun yang terjadi ia harus menang. Pesonanya takkan tertandingi hanya oleh seseorang yang berhasil membuat gadis itu tersenyum malu-malu. Pesonanya jauh lebih menawan dari orang itu, hanya saja gadis itu belum menyadarinya. Pikirnya percaya diri.
Seringaian tipis terpampang jelas di wajah tampannya. 'Aku takkan kalah oleh jidat jenong sepertimu... Gaara.'
~TBC~
Hahaha... *evil laugh* sepertinya banyak yang tertipu di chap kemarin ya. Tapi chap ini sudah menjelaskannya bukan? Jadi, saingan Sasu yang sebenarnya adalah orang yang disukai Saku, bukan orang yang menyukai Saku. Hahaha... *ditampol*
Yosh! silahkan kirimkan ide kalian untuk membantu Sasu menjinakkan Saku dengan menekan tombol bertuliskan 'REVIEW' di bawah. *ngacir sebelum dihajar massa*
~Thanks For Reading~