Halo...hehe, maaf banget nih, beneran saya mau minta maaf baru update sekian lama#ditendangparaauthor
Sebenernya saya ingin sekali update, tapi karena liburan panjang, saya lebih memilih sering keluar (pasti tidak bawa laptop).
Sekali lagi mohon maafkan saya, dan saya sangat berterima kasih karena ada beberapa orang yang masih setia menunggu cerita saya :D
Title: Malaikat Jatuh
:
:
Disclaimer: CS Lewis
:
:
If you dont like, dont read :)
Normal POV
Seorang wanita cantik berjalan dengan cepat menarik seorang gadis berambut pirang kecoklatan, mereka berjalan mengendap-endap, mencoba untuk tidak menarik perhatian. Wanita cantik itu dengan gadis berambut pirang kecoklatan menaiki tangga menuju menara tertinggi. Sampai di atas menara, wanita cantik tersebut tidak tahan untuk tidak tersenyum melihat seorang pemuda yang lebih tinggi darinya berada tepat di hadapannya. Si pemuda membalas dengan tersenyum sedangkan gadis berambut pirang kecoklatan hanya diam memandang pemuda tersebut.
"Caspian, perkenalkan, dia adik perempuanku, Lucy." Ujar Susan memperkenalkan mereka berdua.
Caspian tersenyum ramah lalu menganggukkan kepala sopan. "Senang bertemu denganmu, ma'am..."
Lucy mengangguk kaku, "Ya, kakakku sudah bercerita banyak tentangmu."
Susan merasakan kecanggungan antara mereka berdua, berusaha untuk mencairkan suasana. "Lu, aku mengajakmu ke sini untuk memperjelas rencana Caspian. Ku harap kau mulai percaya padanya."
Lucy menatap Caspian tenang sebelum akhirnya tersenyum, senyuman yang bahkan Caspian tau adalah sebuah kebohongan dan keterpaksaan.
"Baiklah, aku akan menjelaskan rencanaku. Kita akan melarikan diri malam ini. Nanti malam akan ada pesta perayaan sebelum pengangkatan Pangeran Edmund menjadi Raja. Kalian harus melayani para tamu dalam acara pesta dansa malam nanti-..."
"Pesta dansa? Aku tidak tahu akan ada pesta dansa nanti malam?" Tanya Lucy memotong kata-kata Caspian.
Susan melirik Lucy menyesal, "Maaf Lu, aku tidak memberitahumu sebelumnya. Aku tahu kau membenci pesta apalagi tarian..."
Caspian berdehem kecil sebelum akhirnya melanjutkan penjelasan, "Kita beruntung karena pesta tersebut merupakan pesta Topeng, pesta yang sudah menjadi tradisi dari kerajaan kita tidak perlu bersusah payah pergi dari sana tanpa harus di curigai. Hanya saja yang perlu kita khawatirkan bagaimana mencari cela untuk melewati gerbang istana. Pangeran Edmund memerintahkan untuk menjaga ketat setiap orang yang masuk dan keluar."
Susan tersenyum licik, "Untuk hal itu, aku bisa mengaturnya."
Caspian dan Lucy mengerutkan kening, "Bagaimana caranya?" Tanya Caspian responsif.
"Tenang saja, kau hanya cukup membawa kuda ke dekat gerbang, untuk urusan penjaga, sisanya serahkan padaku..." Suara Susan begitu percaya diri membuat Lucy takut. Memang Susan adalah orang yang sangat logis, tapi Lucy sangat mengenal kakaknya. Bila Susan ingin, dia bisa melakukan hal yang diluar dugaan.
Sementara Caspian pamit untuk mengecek kuda mereka, Lucy segera menginterogasi Susan. "Apa yang akan kau lakukan? Jangan melakukan hal yang berbahaya Su..."
"Tidak Lu, aku tidak akan membahayakan diriku sendiri. Tidak untuk saat ini..."
Lucy POV
"Kau tau Su, aku masih belum bisa mempercayai Caspian..."
Susan menatapku tidak percaya, aku sudah tahu ekspresinya akan seperti itu. "Lu, aku tidak ingin mendengar kalimat seperti itu lagi."
"Su, sebaiknya kita batalkan saja rencana ini sebelum terlambat. Aku yakin Edmund tidak mungkin membiarkan kita begitu saja." Bujukku memegang tangannya.
"Lucy, kita tidak punya pilihan lain. Mulailah percaya pada Caspian, dia itu anak Drinian. Lagipula Edmund-brengsek-sial tidak akan mengetahui rencana kita."
"Ta..tapi..-"
Susan menghela napas, "Kalau kau tidak percaya pada Caspian, tolong percayalah padaku. Bisakah?"
Aku hanya bisa terdiam mendengar penuturannya, aku tahu Susan akan sangat keras kepala. Dan itu artinya aku tidak mungkin bisa membantahnya lagi. Aku heran pada Susan, mengapa dia begitu percaya pada Caspian? Walau cerita Caspian sangat masuk akal, hatiku masih belum bisa percaya sepenuhnya.
Tidak lama kemudian, Caspian kembali dan memberitahu kami semua persiapan sudah siap, tinggal kami menjalankan rencana. Kami kembali satu-persatu, meminimalisir kecurigaan yang akan ditimbulkan bila kami bersama-sama. Caspian mengintruksikan aku dan Susan pergi ke kamar kami. Kami berhasil masuk ke dalam kamar kami tanpa di ketahui dan dicurigai penghuni Istana. Namun dugaanku salah saat aku masuk ke dalam kamar dan menemukan sebuah gaun hijau keemasan tergantung rapih di dekat jendela. Ada seseorang yang telah memasuki kamarku. Aku medekati gaun tersebut, berbeda dengan gaun yang aku kenakan saat pengumuman Miraz, gaun ini agak terbuka di bagian belakang, disana juga terdapat topeng hijau keemasan. Aku yakin pengirimnya adalah Edmund, sebenarnya apa lagi yang dia rencanakan?
Aku mencoba mencari catatan kecil namun hasilnya nihil, membuatku menghela napas kecewa.
Normal POV
Malam di Kerajaan Telmar begitu meriah, banyak warga kalangan atas dan pejabat sekitar datang menghadiri acara Pesta Dansa mempersiapkan penobatan Pangeran Edmund sebagai Raja. Semuanya menggunakan pakaian yang cantik dan terbilang mewah, dengan wajah mereka tertutupi topeng berbagai bentuk yang menawan.
Seorang pemuda bertopeng merah dengan baju abad pertengahan yang sangat mewah berjalan tenang ke atas podium. Mata cokelatnya menatap para undangan tajam, membuat suasana yang tadinya ramai mendadak hening.
"Para undangan yang terhormat, aku sebagai calon dari Raja Telmar akan memberikan pengumuman yang penting sebelum penobatanku besok."Suaranya terdengar tenang dan menakutkan.
Semua undangan masih terdiam, mendengarkan dengan seksama. Sementara itu Susan dan Lucy berpegangan erat satu sama lain di antara kerumunan, mencoba bersikap biasa. Mereka tidak menyadari ada seorang pemuda yang mengawasi mereka dari belakang. Pemuda itu tampil sederhana namun tetap menawan. Topeng hijau silvernya menutup sebagian wajahnya, namun siapapun yang melihatnya pasti mengetahui dibalik topengnya terdapat wajah yang tampan dan mempesona.
"Esok adalah hari yang bersejarah bagi Narnia dan juga Telmar. Dan esok adalah hari dimana Telmar akan mendapatkan seorang Ratu." Ucapnya percaya diri.
Lucy bergerak gelisah, sementara Susan masih bersikap waspada. Mereka tidak menyadari seorang pria bertopeng hitam mendekat.
"Kita harus segera pergi." Bisik pria yang ternyata adalah Caspian.
Susan menarik tangan Lucy erat, "Pergilah dengan Caspian, aku akan menangani para penjaga."
Lucy menggangguk lalu mengikuti Caspian dari belakang, menembus para undangan yang tetap fokus memperhatikan –Calon Raja- mereka. Lucy terus mengikuti Caspian dari belakang, membuatnya menyadari ada yang aneh dengan keadaannya saat ini. Bukankah Caspian mengatakan penjagaan akan sangat ketat? Lalu mengapa mereka berdua bisa dengan mudahnya melangkah ke arah kandang kuda? Kecurigaan Lucy semakin bertambah saat dirinya tidak mendapati satu orangpun penjaga di sekitar kandang.
"Mengapa tidak ada satupun penjaga di sini Caspian?"
Terlihat sudut mata Caspian menegang tetapi dengan cepat diubahnya.
"Aku juga tidak tau, tapi akan lebih bijaksana kita tetap menjalankan rencana."
Cukup sudah! Lucy memang tidak bisa mempercayai Caspian! Dengan cepat Lucy berlari meninggalkan kandang. Caspian yang melihat hal tersebut sontak kaget dan segera mengejar. Caspian berhasil mencapai Lucy, dirinya terkejut mendapati sebilah belati berada tepat di dadanya, menahan gerakannya.
"Lucy! Apa yang kau lakukan?" Tanya Caspian tidak percaya dengan apa yang dilakukan Lucy.
"Biarkan aku pergi! Kuperintahkan kau untuk mundur, Caspian..."
Caspian menuruti permintaan Lucy, dengan perlahan tangannya melepaskan tangan yakin jarak mereka cukup jauh, Lucy berbalik lalu kembali berlari menuju Istana.
Langkah kaki Lucy terdengar bergema di lorong-lorong Istana, malam semakin pekat namun dirinya tidak perduli dengan udara dingin yang menembus kulitnya. Kakinya terus berlari, berharap tuhan berbaik hati mempertemukannya dengan Susan. Namun langkah Lucy terhenti saat tiba di taman Istana yang terlihat lengang. Matanya menyipit ketika melihat sesosok pemuda muncul dari pekatnya malam. Wajahnya tertutupi dengan topeng hijau yang dikenakannya. Mata Lucy membulat ketika topeng yang melekat pada pemuda itu terlepas."Kau memang seseorang yang cerdas Lucy, untuk gadis seukuran dirimu."
"Edmund..." Ucap Lucy lirih
Edmund menyeringai licik seperti biasa, "Mengapa begitu terkejut melihatku, Putri?"
Lucy berjengit ketika Edmund memanggilnya dengan sebutan Putri. Ia membenci panggilan barunya.
"Katakan padaku dimana Susan?" Geram Lucy marah, mengabaikan pertanyaan Edmund.
Edmund mengangkat satu alisnya, mengalihkan perhatian pada gaun yang dikenakan –Calon Ratunya-"Sudah kuduga baju itu cocok untukmu. Kau memang pantas menjadi pendampingku." Sanjungnya tenang sambil melangkah perlahan mendekati Lucy.
Kali ini Lucy tetap terdiam ditempatnya, tidak memundurkan langkahnya ketika dirinya semakin dekat dengan Edmund. Dia tidak ingin Edmund mempermainkannya lagi. Kini mata mereka saling berpandangan. Hazel bertemu dengan Biru Laut. Perlahan namun pasti tangan Edmund terulur,melepaskan topeng Lucy. Matanya berkilat nakal melihat wajah Lucy penuh ekspresi kemarahan.
"Kau sangat cantik malam ini Putri, selalu membuatku terpesona." Rayu Edmund kemudian mendekatkan wajahnya pada Lucy,mencium bibir Lucy dengan lembut. Lucy yang tidak menyangka Edmund akan menciumnya kemudian berusaha menjauh. Usahanya berhasil karena Edmund melepas ciumannya.
"Berhenti mengalihkan pembicaraan Edmund! Sekarang katakan padaku dimana Susan!" Jerit Lucy benar-benar marah. Edmund mendecak kesal, tapi dengan cepat kekesalannya digantikan dengan ekspresi prihatin. Entah mengapa Lucy merasaksan firasat buruk.
"Kakakmu yang malang, meringkuk di penjara yang dingin saat aku akan menjadi raja." Ujar Edmund dingin.
Pertahanan Lucy runtuh seketika, air matanya mengalir pelan dari mata tidak ada harapan lagi, Susan sudah tertangkap.
Perlahan Edmund mendekati Lucy kembali, menangkupkan wajah Lucy dengan kedua tangannya. Matanya menatap mata Lucy lembut –entah sudah berapa kali-, berharap –Calon Ratunya- menyadari betapa ia sangat mencintainya."Jadilah Ratuku, putri. Dengan begitu akan kuberikan semua yang kau inginkan."
Jarinya menghapus air mata Lucy dipipinya, membuat Lucy segera menundukan wajahnya. Keheningan malam mulai menyelimuti mereka, namun mereka berdua hanya terdiam. Lucy tahu Edmund tengah menunggu jawabannya.
Sedetik kemudian keputusannya sudah bulat.
Dia tidak ingin kehilangan lagi.
Susan... sangat berharga baginya.
Kepala Lucy terangkat, memandang penuh kesungguhan dan keyakinan. Kali ini dia yang akan melindungi Susan, tidak perduli Susan akan sangat membencinya setelah ini.
Ketika Lucy akan menjawab tawaran dari Edmund, sebuah panah melesat kencang melewati mereka berdua. Keduanya terkejut lalu mengalihkan pandangan mereka.
Kini terlihat seorang wanita cantik berdiri tegap dengan gaun merah tengah menarik busurnya. Rambut hitamnya tergerai indah diterpa angin malam.
"Menjauh dari adikku, brengsek!" Seru Susan membidik busurnya tepat pada kepala Edmund, mencoba mengancamnya.
Mata Lucy berbinar cerah melihat Susan, masih tidak percaya kakaknya selamat. Sementara itu wajah Edmund mengutuk prajuritnya yang tidak becus menangani wanita –sialan- yang berdiri dengan angkuhnya. Dia tau dirinya tidak bisa berbuat banyak sekarang. Bukan tidak mungkin Susan akan memanah kepalanya.
"Kemari Lucy! Kita tidak punya banyak waktu!" Setengah berteriak, Susan memerintahkan Lucy untuk menjauh. Dengan langkah ragu, kakinya mendekati Susan. Namun belum sempat dirinya melangkah lebih jauh, Edmund menahan lengannya. Mata mereka saling menatap, mencoba mengartikan satu sama lain,sebelum akhirnya Lucy melepaskan lengannya dari Edmund. Lucy tidak menyadari seringaian Edmund semakin melebar saat dirinya dan Susan pergi di tengah kegelapan malam.
Sebuah benda berkilauan,terlihat saat bulan menampakan sinarnya.
Begitu indah dengan sebuah mata rubi merah menghiasinya.
Terpasang sempurna di jari manis milik sang gadis. Tanpa gadis itu sendiri mengetahuinya, takdir telah menetapkannya terikat dengannya.
Kini dia menunggang kuda bersama tersadar tidak ada Caspian diantara mereka. Belum sempat bertanya apa yang terjadi, Susan mulai memacu kudanya cepat ke arah Selatan, meninggalkan Istana dengan segala pesonanya.
Susan POV
Sang mentari mulai menampakan sinarnya, menggantikan bulan sang penguasa malam. Kurasakan rasa sakit mulai menyerang kepalaku. Kilasan memori malam itu satu persatu berputar bagai film dalam ingatanku. Sedikit menahan sakit, mataku melirik Lucy masih tertidur lelap disampingku.
Nyaris saja.
Aku nyaris kehilangan Lucy. Ku akui aku bodoh karena terlalu percaya diri menangani para Penjaga Istana sendirian. Tidak pernah aku pikirkan bahwa –Si Brengsek- itu telah mengetahui rencana kami.
Tadinya aku berniat memberikan makanan –berisi obat tidur- yang telah aku siapkan. Ketika para penjaga itu akan menyantap makananku, teman-teman mereka datang lalu menyeretku ke dalam penjara.
Tak berapa lama Edmund datang menemuiku dengan senyum kemenangan. Dengan lancar dia mengungkap satu persatu rencana matangku. Saat itu pupus sudah harapanku untuk membawa Lucy pergi dari Istana –terkutuk- itu. Setelah Edmund pergi, aku hanya bisa menangisi kebodohanku. Berharap Lucy tetap selamat di tangan Caspian.
Namun betapa kecewanya aku saat melihat seseorang yang aku kenal berdiri dihadapanku.
Dia Caspian.
Orang yang sangat aku percaya.
Dia mengungkapkan semuanya, tentang rencana busuk Edmund untuk perintah Edmund padanya untuk membunuhku.
Sesaat aku hanya bisa terdiam mendengar perkataannya, rasa pedih menyerang hatiku. Orang yang aku percaya dan aku cintai ternyata mengkhianatiku.
Caspian menarik pedangnya, menempatkannya pada leherku. Aku memejamkan mata, merasakan mata pisau yang dingin siap memenggal kepalaku.
Tak lama terdengar suara logam berdenting, memaksaku untuk membuka mata.
Aku melihat Caspian menatapku penuh penyesalan, membuatku tertegun sesaat. Kemudian Caspian memberikan dua buah benda yang sangat ku kenal, busur serta panahku. Dengan cepat aku meraih kedua benda tersebut lalu berlari meninggalkannya. Tanpa mengucapkan satu katapun.
Sedikit aku menghela napas karena mengingat kejadian malam itu. Lalu melihat tanganku yang terluka karena busurku sendiri. Sepertinya aku terlalu kencang menarik talinya.
"Susan.." Suara lembut menyapa telingaku, membuatku agak tersentak kaget. Dengan segera aku menutupi lukaku.
"Kau sudah bangun Lu, bagaimana keadaanmu?"
Lucy tersenyum tipis, "Mungkin lebih tepatnya kau menanyakan pertanyaan itu pada dirimu sendiri Su."
"Maafkan aku Lu, semestinya dari awal aku mendengarkan kata-katamu tentang Caspian." Dengan rasa penyesalan aku memeluk Lucy erat.
"Bukan salahmu Su, semuanya adalah salahku." Jawab Lucy membalas pelukanku.
Tiba-tiba terlintas dipikiranku untuk memberitahukan segalanya, takut sebelum semuanya terlambat.
Aku melepaskan pelukanku perlahan, menatap wajah putih-pucat Lucy dengan lingkaran hitam mengelilingi matanya. Kurang tidur, kami berdua memang tidak bisa tidur lelap di Istana.
"Ada sesuatu yang mesti kau ketahui Lu..." Ucapku bergetar.
Lucy memandangku khawatir, "Kau baik-baik saja Su?"
Kugelengkan kepalaku pelan kemudian melanjutkan pembicaraan, "Aku ingin kau tau bahwa Peter..." Bisa kulihat kilatan kesedihan dari matanya, namun aku tidak boleh berhenti, " Peter...adalah tunanganmu. Dia mencintaimu Lu..."
Cairan hangat mulai berjatuhan, membasahi pipiku. Akhirnya aku mengatakannya, kebenaran yang selama ini aku tutup-tutupi.
"Ti..tidak mungkin.." Kata-kata Lucy seakan menusuk hatiku. Tapi aku mencoba mengerti, semua ini pasti sangat membuatnya terpukul.
"Lucy-.." Ucapanku terputus saat Lucy mendorongku dengan kuat. Dia berdiri menatapku dengan sorot mata kecewa.
"Begitu bencinya kau padaku Susan?" Jeritan Lucy bergema diantara pepohonan.
"Kenapa...kau baru memberitahuku? Kenapa kalian tidak memberitahuku!" Serunya marah sambil menangis. "Peter..." raungnya keras.
Sungguh, aku tidak menyangka dia akan sangat kecewa. Aku hanya bisa menatapnya lemah, menyaksikan adikku dalam keadaan hancur. Tidak pernah sekalipun aku melihatnya seperti ini.
Perlahan aku mendekatinya, meraih bahunya untuk menenangkannya. Namun aku terkejut saat Lucy menepis tanganku.
"Jangan sentuh aku..." Sahutnya dingin. Mataku melebar tidak percaya, kata-katanya tidak pernah seperti ini sebelumnya.
"Lucy.."
"Jangan bersikap baik padaku, aku tidak pantas mendapatkannya."
Aku mengetahui Lucy hanya dihantui rasa bersalah,tapi entah mengapa malah kurasakan amarah menerpaku, "Kau memang tidak pantas mendapatkannya." Balasku dingin.
Tidak, bukan ini yang ingin ku katakan. Mengapa perkataanku meluncur tanpa bisa kucegah?
"Taukah kau selama ini aku begitu membencimu? Seandainya saja keluargaku tidak mengadopsimu, Peter tidak akan mati..."
"Hentikan!"
"Gara-gara kau! Aku terjebak dalam dunia mengerikan ini! Aku sungguh membencimu!"
"CUKUP!" Jerit Lucy frustasi.
Hatiku kacau balau, ini bukan perkataanku! Bagaimana bisa aku mengatakan hal sekejam ini pada Lucy. Bukan ini yang ada di hatiku. Apa yang terjadi padaku?
Hatiku berteriak, namun suaraku seakan tak mau keluar.
Tanpa bisa kucegah, Lucy pergi dari hadapanku. Aku merasakan firasat buruk, ada yang tidak beres dengan semua ini.
Secara tiba-tiba rasa sakit menerpa kepalaku. Pandanganku mulai kabur, semua terasa berputar-putar, membuat perutku mual. Setengah sadar aku merasakan seseorang berjalan ke masih sama seperti sebelum aku mengarahkan busurku padanya, kejam dan licik.
Tanganku meraba-raba tanah, berusaha mencari busur dan panahku. Gerakanku terhenti mendapati busur serta panahku berada di tangannya.
Dirinya menyeringai senang, seringaian yang sangat aku ingin hapus dari wajahnya.
"Halo, kakak ipar."
Edmund POV
Aku memandang –wanita sial- itu menggeliat menahan sakit sambil mencari senjata kesayangannya. Begitu menggelikan.
Gerakannya terhenti melihat senjatanya berada di tanganku, membuat diriku semakin senang dengan penderitaannya.
"Halo, kakak ipar." Sapaku mengejek.
Matanya dipenuhi dengan aku sama sekali tidak perduli.
Sambil melangkah dengan tenang, aku mendekatinya. Tangannya terulur ke arahku, seperti berusaha mencengkramku, hah...aku tertawa puas dalam hati.
"Aa..apa yang...k..kau l..lakukan pa..daku?" Ujarnya terbata-bata. Aku mendengus menghina, apa yang aku lakukan padanya?
Jawabanku sangat sederhana, "Membunuhmu secara perlahan."
"Kau tau apa yang ada di tali busurmu?" Dari sudut mataku, bisa kulihat kesakitan semakin nampak dari wajahnya. "Kuperintahkan seseorang untuk mengoleskan racun yang sangat kuat. Bisa membuat seseorang kehilangan kesadarannya dan membunuhnya perlahan."
Bisa kupastikan sekarang dia masih mendengarkanku, "Rencanaku sempurna bukan?" Ucapku mengelilinginya, menikmati setiap momen ketika ajal mulai menjemputnya.
"Dengan bangganya kau melesatkan busurmu ke arahku tanpa mengetahui tanganmu terluka karenanya."
"A..pa...?"
Bukankah sangat menarik? Memilki percakapan singkat dengan kedua adik kakak yang sama bodohnya ketika mereka akan mati? Pikirku sarkastis.
Perlahan tangannya mulai berhenti bergerak, matanya menutup perlahan. Aku memutuskan untuk pergi meninggalkan –kakak ipar tersayangku- ketika menghembuskan napas terakhirnya. Kini semuanya penghalang telah aku singkirkan.
Jadi tidak ada alasan mencegahku untuk mendapatkanmu, Lucy.
Yah, saya tahu Edmund semakin lama semakin kejam.
Tapi saya memang lebih suka dia yang seperti itu...
review please