Aloha, ketemu lagi nih #plakk

Maaf ya baru bisa publish sekarang, saya anak sekolah yg sibuk#digampar

Oke, daripada dengerin ocehan saia yg ngelantur mending langsung aja

Title: Malaikat jatuh

:

:

Disclaimer: CS Lewis Forever

:

:

:

If you don't like, don't read, just leave...

Normal POV

Seorang gadis bermata biru laut berlari sangat kencang di antara pepohonan. Rambut pirang kecoklatannya tergerai tertiup angin. Mata birunya masih meneteskan air mata, menangisi apa yang terjadi padanya. Hatinya terasa hancur mendengar apa yang baru saja ia dengar.

Peter? Kakak tirinya adalah tunangannya?

Kakinya terhenti saat merasakan paru-parunya membutuhkan oksigen.

Matanya terlihat lelah dan terpukul, terlebih lagi saat Susan mengatakan ia membenci dirinya.

Ya, dia memang pantas dibenci. Dirinya yang menyebabkan Peter dan Susan masuk ke dalam dunia yang mengerikan ini, dunia Narnia.

Seandainya saja ia bisa memutar waktu, seandainya dia bisa menyelamatkan Peter.

Bayangan Peter tersenyum kepadanya, kedua orang tuanya, Susan...

Beribu maaf ingin sekali ia ucapkan kepada keluarga Pevensie.

Kini matanya teralih melihat benda kecil berkilauan indah melingkar di jari manisnya. Sedikit terkejut karena ia tidak menyadari sejak kapan cincin berbatu rubi merah itu melingkari jarinya.

Kepalanya mengingat kejadian semalam saat dirinya dan Susan pergi dari Istana. Saat dimana Edmund menahan lengannya. Matanya membulat seketika, apakah saat itu Edmund memasangkan cincin tersebut?

Dilanda kemarahan luar biasa, Lucy berusaha melepaskan cincin itu. Namun cincin itu tak mau lepas, seperti menempel di jarinya. Gerakannya terhenti saat terdengar suara gemerisik dari arah belakangnya.

Lucy menoleh dan mendapati hal yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya.

Kakinya mundur selangkah, tubuhnya bergetar hebat. Dihadapannya kini terdapat seekor singa besar.

Singa yang gagah dengan surai emas mengelilingi tubuhnya.

Singa tersebut mendekatinya secara perlahan, seolah siap memangsanya. Namun ternyata dugaannya salah. Singa tersebut berhenti di dekatnya, menatap dalam mata Lucy.

"Lucy Pevensie."

Lucy tersentak saat sang singa menyebutkan namanya, lebih tepatnya terkejut karena sang singa bisa berbicara.

"Tidak perlu takut padaku, dear. Dalam hatimu kau mengetahui siapa aku."Ucapnya tenang dan bijaksana.

"A.. k..kau Aslan?"Tanya Lucy terbata-bata.

Sang singa tersenyum, menampakan gigi taringnya yang panjang. "Ya, sayang. Aku adalah Aslan."

Lucy masih terpaku tidak percaya, Aslan adalah seekor singa?

"Maaf bila aku tidak seperti yang kau bayangkan. Banyak hal yang tidak terbayangkan dalam Narnia, tanah ciptaanku."

"Bila kau Aslan..." Tangan Lucy mengepal, "Mengapa kau tidak pernah muncul di hadapan kami?"

Aslan memandang Lucy sendu, seakan mengerti apa yang dialami Lucy. "Aku sungguh menyesal dengan segala peristiwa yang terjadi denganmu. Ini semua takdir yang harus kau jalani, Lucy..."

Hati Lucy kecewa mendengar segala kata-kata Aslan, Takdirnya? Bagaimana bisa ini menjadi takdirnya?

Perlahan Aslan menempatkan cakar besarnya di bahu Lucy, membuat Lucy agak terkejut. "Kau merupakan anak yang baik Lucy, kematian selalu datang pada setiap manusia. Jangan menyalahkan siapapun, termasuk dirimu."

Mendengar kalimat Aslan –entah mengapa- membuat dirinya tenang, perasaan kecewa dan sedih yang tadi ia rasakan tiba-tiba lenyap.

Sebuah pertanyaan muncul di kepalanya, "Kini aku harus bagaimana Aslan?"

Aslan tersenyum lembut seraya melepaskan cakarnya dari bahu Lucy, "Menjaga Narnia, kau ditakdirkan membawa kedamaian Lucy.."

Lucy mengerutkan keningnya, "Apa itu artinya aku harus menikah dengan Edmund?"

Raut wajah Aslan berubah sedih, membuat Lucy merasa agak bersalah, "Maaf."

"Tidak apa dear, kau berhak untuk tahu.." Aslan menghela napas, "Edmund merupakan anak yang malang. Terlahir dari seorang ibu garis keturunan penyihir dan ayah seorang Panglima tiran dan kejam. Dia tidak pernah mengenal arti kehidupan, sangat berbeda denganmu."

Kaki Aslan mencakar dedaunan di sekitar Lucy, "Tanah ini merupakan tanah ajaib, dimana semua hal yang tidak mungkin menjadi mungkin. Dan White Witch berhasil mendapatkannya dariku. Saat itu aku membuat ramalan 'Ketika satu anak adam dan dua anak hawa masuk ke dalam Narnia, White Witch serta Miraz dan kerajaan mereka hancur dengan nasib mengitarinya'. White Witch lalu melakukan suatu cara agar ramalanku tidak terwujud. Dengan melahirkan seorang putera yaitu Edmund."

Mata Lucy menatap Aslan heran, "Edmund? Jadi kelahirannya membuat ramalanmu hancur?"

Kepala Aslan mengangguk, "Benar. Namun ramalanku tidak sepenuhnya hancur Lucy,karena kau hidup. Kedamaian Narnia ada ditanganmu..."

Aslan berbalik arah membuat surainya bergoyang lembut. Lucy mengalihkan pandanganya melihat cahaya emas berkilau menutupi tubuh Aslan.

"Aku harus kembali, kini aku percayakan semuanya padamu." Ujar Aslan lembut sebelum akhirnya pergi, menghilang dari pandangan Lucy.

Lucy hanya terdiam, memutar kembali kata-kata Aslan di kepalanya.

Dan satu hal yang masih ia tidak mengerti, mengapa harus dia? Bukankah Susan juga salah satu dari anak hawa?

Pikirannya terganggu dengan satu hal, dia tidak mungkin kembali kepada Susan lalu berkata telah bertemu Aslan bukan?

Tidak! Dia tidak perduli apakah Susan membencinya atau tidak, dia harus memberi tahukan semua ini padanya.

Bertemu dengan Aslan membuat semangat baru muncul di hati Lucy, dia percaya Susan akan memaafkannya. Dia percaya semuanya akan lebih baik.

Kakinya melangkah riang di antara pepohonan, senyuman tipis tersungging di bibirnya. Lucy tidak sabar untuk segera meminta maaf pada Susan.

Namun semangatnya luntur ketika melihat seonggok tas dan peralatan mereka tergeletak begitu saja. Tidak ada seorangpun di sana. Lucy mencoba tetap tenang dan mencari Susan.

"Susan..." Ucapnya pelan.

Dia menunggu, namun tak ada yang menjawab.

"Susan, aku ingini bicara!" Lucy menaikan oktaf suaranya, membuat beberapa kelelawar yang bersembunyi berterbangan. Lucy terus mencari hingga tak terasa matahari mulai tenggelam. Bisa Lucy rasakan keheningan mulai menyelimuti hutan, bukan, menyelimuti hatinya juga. Air mata mulai menuruni pipinya, sebenarnya kemana Susan?

Well, saya tahu chapter ini sedikit banget, masih agak bingung mau ngebuat ending gmn...

Bagaimana menurut kalian? Saya sangat membutuhkan ide nih #maksa

Haha, terserah pada kalian sih, review ya :3