Seorang gadis berdiri tepat di depan halte bus. Ia menggosokkan kedua telapak tangannya yang berbalut sarung tangan putih sambil meniup-niupnya. Tampaknya berusaha menciptakan kehangatan untuk dirinya sendiri.
Sebutir salju putih mendarat di atas topi rajut dengan corak belang ungu-putihnya. Ia menepis salju tersebut kemudian menarik topi yang dikenakannya hingga menutupi sebagian telinganya.
Ia memain-mainkan salju yang ada di ujung sepatunya guna mengusir rasa bosan yang mulai menyergapnya. Ia sudah berdiri di sana sejak jarum pendek di jam tangannya menunjukkan angka 6. Beberapa bus sudah berhenti di depan halte bus tempat ia berdiri saat itu, Namun tak sedikitpun ia berpindah dari tempatnya berdiri. Sepertinya tengah menunggu seseorang.
Saat ia mulai merasa lelah berdiri dan memutuskan untuk duduk di bangku halte bus, ia melihat siluet lelaki dari kejauhan. Berjalan santai sambil terkadang menggosok matanya atau menutup mulutnya yang terbuka lebar akibat menguap. Gadis itu menajamkan matanya untuk memastikan apakah lelaki tersebut adalah orang yang tengah ditunggunya sejak tadi. Dan ia tersenyum lebar saat mengetahui bahwa lelaki itu memang lelaki yang ditunggunya.
'Aa…Dia datang…' Batin gadis itu tak sanggup menahan senyumnya saat lelaki itu semakin dekat.
"Yo! Ohayo, Hinata. Nunggu bis?" Tanya lelaki itu sembari mengambil tempat di sebelahnya.
"Ohayo, Naruto-kun…" jawabnya sedikit malu-malu. "Eum… aku sedang nunggu bis…"
Lelaki itu bersandar pada punggung kursi. "Hari ini nggak ada tugas, 'kan?" Ia menguap lebar.
Gadis bernama Hinata itu menggeleng pelan sambil memain-mainkan ujung jari telunjuknya. Kemudian, ia menghadapkan kepalanya pada lelaki yang dipanggilnya Naruto. "S-Sepertinya Naruto-kun ngantuk. Apa yang kau kerjakan semalam?"
"Aku main game semalam. Sama Teme-maksudku Sasuke, Kiba dan Shikamaru." Ia mengeluarkan senyum lima jarinya, membuat Hinata harus bersusah payah menahan blushing-nya. "Aku kesal. Teme terus-terusan menang melawanku. Makanya aku terus menantangnya sampai nggak nyadar kalau sudah jam setengah satu. Terus itu ya…" Akhirnya percakapan panjang terjadi di antara mereka. Tentu saja lelaki berambut Blonde itu yang mendominasi percakapan. Sementara Sang gadis berambut panjang Indigo tersebut hanya menanggapi dengan beberapa kalimat pertanyaan atau tertawa kecil karena cara Naruto membawakan ceritanya.
Sebuah bis akhirnya berhenti di depan halte bus, tempat mereka sekarang. Naruto yang melihatnya berkata, "Bis-nya datang."
Hinata segera mengalihkan pandangannya pada bus yang dimaksud oleh Naruto. Naruto yang berada di sebelahnya sudah berdiri dan membenarkan posisi tas hitamnya. Setelah itu ia menoleh pada Hinata. "Oi, Ayo…" Hinata tersenyum dan mengangguk, kemudian berdiri. Mereka berjalan bersama dengan posisi Naruto yang berada di depannya, memasuki bus dan mengambil tempat bersebelahan. Setelah itu, percakapan di antara mereka kembali terjadi.
~'~"~'~
.
.
.
~'~"~'~
Naruto Belongs to Masashi Kishimoto
Title :
~Keep My Promise! I Wanna Make You Cry!~
Author : Rurippe no Kimi
Type : AU (Alternative Universe), OOC Tingkat tinggi(Maybe?), Gaje, Typo(S) DLL,
Main Character : Hinata and Naruto
Warning :Amateur,
.
If you Don't like , Don't read, Don't FLAME
If you Don't like , Don't read, Don't FLAME
If you Don't like , Don't read, Don't FLAME
If you don't like, don't read, don't FLAME
(Sudah Diingatkan 4 kali ya…!)
Enjoy please!^_^
.
.
~'~"~'~
.
.
Prologue
.
.
.
"Yo… Naruto!" Seseorang memanggil Naruto dan merangkulnya dari belakang. Naruto dan Hinata segera menghadap ke asal suara. "Lagi-lagi berangkat sekolah bareng? Jangan-jangan kalian pa-"
BUAKK!
Naruto meninju perut lelaki bertato segitiga yang tengah merangkulnya itu. lelaki tersebut mengaduh akibat pukulan Naruto yang benar-benar keras."Wooi!" Lelaki itu mengelus-elus perutnya.
"Itu akibatnya kalau ngomong sembarangan, Kiba!" kini balas Naruto yang merangkulnya. "Aku dan Hinata nggak sengaja ketemu di halte bus. Karena itu kami berangkat ke sekolahnya bareng." Jelas Naruto seraya menatap Hinata yang masih berjalan di kirinya. "Benar'kan, Hinata?" Naruto meminta dukungan. Yang ditanyai hanya mengangguk pelan.
"Eng… tapi, Kiba-san… kau tidak apa-apa?" Hinata menatap lelaki bernama Kiba yang masih sibuk mengusap perutnya. Kiba mendengar suara lembut Hinata dan menoleh padanya.
"Aku-"
"Tenang saja, Hinata. Perutnya sekuat baja. Dia sudah terbiasa menerima tinjuan-tinjuan mautku." Naruto mengepalkan tangan kirinya-yang tidak merangkul Kiba- di depan wajahnya. Hinata tertawa kecil.
"Woi! Hinata nanyanya ke aku!" Kiba berteriak tepat di telinga Naruto, kemudian memberi pukulan pada perut Naruto. Naruto yang terkejut segera melepaskan rangkulannya. Kesempatan itu dipakai Kiba untuk kabur dan segera berlari menuju kelas.
"WOOI, KIBAA…!" Naruto segera mengejar lelaki berambut coklat itu. menyusuri jalan-jalan koridor dan meninggalkan Hinata yang masih melangkah pelan. Hinata tersenyum melihat kejadian itu.
Ia bahkan tak sadar kalau saat ini pipinya sedang memerah.
~'~"~'~
"Baiklah. Cukup sekian pelajaran hari ini." Kakashi-sensei mengakhiri pelajaran hari ini dan segera keluar dari ruang kelas. Hinata segera merapikan buku pelajaran serta alat tulisnya yang berserakan di atas meja. Ia dapat mendengar teman-teman sekelasnya sudah mulai ribut menentukan jenis makanan apa yang akan mereka beli.
Secara berdesakan, mereka berebut ingin keluar lebih dahulu. Hinata menatap sekilas teman-temannya tersebut, lalu mengeluarkan dua buah kotak makan kecil yang dibungkus oleh sapu tangan violet. Ia sengaja membuat dua bento. Tentu saja ia ingin menyerahkannya pada seseorang yang ia sukai. Walaupun selama beberapa bulan ini, ia membawa bekal tersebut, tak sekalipun pernah ia serahkan pada Naruto. Salahkan dirinya yang terlalu takut untuk menyerahkan bento itu.
Gadis itu melihat ke arah bangku Naruto yang berada paling belakang. Ia sedikit tersentak saat dilihatnya Naruto membaringkan kepalanya di atas meja. Lelaki itu memasang wajah mengkerut.
"Naruto! Nggak makan?" Seseorang memasuki kelas Hinata dan segera menghampiri Naruto.
"Nggak. Aku nggak bawa uang. Kecuali kalau kamu mau-"
"Oke, karena kamu nggak bawa uang, aku makan sama yang lain." Lelaki itu berjalan keluar kelas tanpa memperdulikan Naruto yang memandangnya kesal.
"Kiba! Shit!" Ia menggerutu kesal dan memukul dinding di sebelahnya. "Kau mau membiarkanku mati kelaparan, ya?" Naruto setengah berteriak.
"Hanya karena nggak makan sekali atau dua kali, kau nggak akan mati, 'kok." Balas Kiba tanpa membalikkan badannya.
"Cih! Teman macam apa itu?" Naruto bergumam kecil.
Hinata yang melihat kejadian itu, kini menggenggam erat salah satu kotak bento yang memang sengaja ia buat untuk diserahkan pada Naruto. Hinata menatap kotak bento itu sejenak.
'Hinata, ini adalah kesempatan yang diberikan Kami-sama padamu.' Batin gadis beriris Ametyst itu.
Hinata menggeser kursinya sedikit ke belakang, kemudian berdiri dan mengambil langkah kecil. Ia segera menghampiri Naruto yang membaringkan kepalanya di atas kedua tangannya yang ia lipat di atas meja. Jantungnya berdebar seiring langkahnya yang mengikis jarak antara mereka berdua.
Ia menarik nafas panjang sebelum meletakkan bento tersebut di atas meja, di depan wajah Naruto. Naruto segera mengangkat kepalanya. Iris mata sapphire-nya menatap Hinata yang tanpa ia sadari telah berdiri di samping mejanya.
"Eng… Eto, Ini… Ini untukmu, Naruto-kun." Hinata menunduk menghindari tatapan meta Naruto yang menatapnya bingung. "Sepertinya kau tidak bawa uang ataupun bekal. Makanya aku…" Hinata sedikit gugup hingga tak sanggup meneruskan kalimatnya.
"Hontou? Bento ini buatku?" Nada bicara Naruto terdengar gembira. "Tapi, bagaimana denganmu, Hinata? Bukannya ini bentomu? Apa kau nggak makan?" Tanya lelaki itu beruntun.
"Aa… itu, Aku bawa lebih. Itu punyaku ada di atas meja." Hinata sedikit memiringkan tubuhnya, membiarkan Naruto melihat sekotak bento yang dibungkus sapu tangan ungu. Persisi seperti yang ada di hadapannya sekarang ini.
"Souka…" gumam Naruto. "Apa kau selalu membawa dua bekal setiap hari?" Tanya Naruto saat Hinata sudah membalikkan tubuhnya. Hinata yang mendengar pertanyaan Naruto kembali memutar tubuhnya hingga berhadapan dengan lelaki oranye itu.
"Aa… Bukanbukan." Hinata mengibas-ngibaskan tangan kanannya di depan wajahnya."Eng… itu, i-itu bekal yang kubuatkan untuk…untuk Neji-niisan. T-tapi tadi Neji-niisan bilang kalau ia sudah membawa bekal. Karena itu, daripada terbuang, aku memberikannya pada Naruto-kun. Naruto-kun… tidak keberatan, 'kan?" tentu saja semua yang dikatakannya adalah bohong.
Naruto tampak berfikir sejenak, sebelum akhirnya mengangkat bahunya. "Selama gratis, aku tak keberatan." Ujarnya diiringi senyum lima jarinya yang menawan. Membuat Hinata hampir lupa untuk bernafas melihatnya.
"O… eng… kalau begitu, ak-aku kembali ke tempatku dulu…" Hinata segera kembali ke bangkunya dan membuka bungkusan sapu tangannya. Saat ia akan membuka tutup kotak bentonya, seseorang memutar kursi di depannya dan duduk di hadapannya, dengan membawa sekotak bento. Hinata mengangkat kepalanya menatap orang itu. itu… Naruto.
"Makan sendirian itu nggak enak. Kita makan barengan saja." Kata Naruto mulai membuka bentonya. Hinata memperhatikannya.
Naruto mulai mengambil sumpitnya setelah berkata, "Itadakimasu.". Ia mulai menyumpit nasi dan mencuil omelet yang ada di dalam kotak bento itu. Tiba-tiba saja wajahnya menjadi cerah.
"Waa… Oishi! Enak sekali, Hinata." Celetuknya sambil terus menyumpit makanan di kotak bento itu dengan lahap. Hinata ikut ceria mendengarnya.
"Hontou ni? Hontou desuka?" Tanya Hinata begitu antusias. Ia tak pernah menyangka makanan buatannya akan dipuji oleh orang yang disukainya. Bahkan orang tersebut memujinya terang-terangan, secara langsung, tepat di depan wajahnya.
Naruto mengangguk cepat. "Bhon-tro-u(Hontou)!"
Hinata tertawa kecil. "Telan dulu makananmu sebelum bicara, Naruto-kun…" kini Hinata ikut menyantap makanan yang dibuatnya. Mau tak mau ia mengakui bahwa omelet yang dibuatnya itu memang lezat.
"Aku harap bisa memakannya setiap hari." Tuturnya setelah menelan makanan yang ada di mulutnya. Hinata tersentak malu mendengarnya.
"Aa… kalau Naruto-kun mau, besok aku akan membuatkannya lagi…" Hinata memain-mainkan sumpitnya.
"Eee? Hontou? Baiklah kalau begitu, buatkan aku yang nggak kalah enaknya dari omelet buatanmu hari ini, Hinata." Ucapnya dengan semangat. Setelah itu, mereka memakan bekal buatan Hinata diiringi beberapa percakapan kecil. Sesekali Hinata tertawa oleh tingkah Naruto. Mereka terus berbicara walaupun makanan mereka sudah kandas tak tersisa. Terus hingga bel masuk berdentang.
~'~"~'~
Tanpa terasa, bel pulang sudah berbunyi. Sorak-sorai para murid terdengar keras. Waktu yang paling mereka nanti telah tiba. Mereka segera membereskan barang mereka dan berlari keluar kelas. Para sensei hanya bisa menggelengkan kepala mereka, melihat tingkah laku para muridnya.
"Jaa, Minna…"
"Jaa…" Kalimat seperti itu terus bergema di seluruh penjuru sekolah.
Dalam hitungan detik saja, kelas sudah mulai kosong. Hanya tampak beberapa orang yang tengah sibuk dengan urusannya masing-masing. Termasuk Naruto yang masih sibuk di dunia mimpinya.
Hinata yang melihat lelaki itu hanya tersenyum geli. Biasanya, Narutolah yang paling bersemangat dalam hal pulang dan kawannya. Ia memutuskan untuk membangunkan lelaki itu setelah ia membenahi barang-barangnya.
Hinata mengambil alat tulisnya dan memasukkannya ke dalam kotak pensilnya yang berwarna serupa dengan tasnya. Ketika ia akan memasukkan kotak pensilnya ke dalam tas, gadis berkulit porselen itu tersentak kaget. Sesuatu yang biasanya tergantung di tas nilanya telah hilang. Ia segera memasukkan kotak pensilnya, dan berlutut di samping bangkunya, mencari benda yang hilang itu.
"Di mana? Ada di mana?" Gadis itu berbisik kecil sambil terus mengitari tempat duduknya. Ia terus menghambur-hamburkan isi tasnya, lalu beralih mengaduk-aduk sini laci mejanya. Namun, hasilnya nihil. Apa yang ia lakukan tak menghasilkan apapun selain kegaduhan yang menyebabkan Naruto terpaksa bangun dari tidurnya.
"Hua-hm…" Lelaki itu menguap cukup lebar. Ia merentangkan kedua tangannya ke atas."Lho, sudah pulangan? Cih, kenapa nggak ada yang membangunkanku?" desisnya kesal. Kemudian, ia melirik gadis yang berada beberapa meja di depannya itu dengan pandangan ingin tahu. "Cari apa, Hinata?" lelaki itu tak beranjak dari tempat duduknya.
Hinata menggeleng pelan tanpa menatap Naruto. Ia masih menelusuri setiap inci mejanya dengan seksama. Berharap apa yang di carinya segera dapat ia temukan.
"Katakan saja. aku akan membantu." Naruto kini berlutut di sebelah Hinata. Hinata menatap Naruto dengan mata basah. Membuat Naruto terkesiap.
"G-gantungan y-yang ada di tasku hilang." Hinata berbicara sedikit terisak. "Bentuknya hati berwarna perak dengan lambang huruf 'H' berwarna ungu di tengahnya. Ada lima titik kecil berwarna pink di pinggirnya." Hinata kembali menelusuri setiap sudut lantai kelasnya. "I-itu… benda dari adikku saat aku ulang tahun ke tiga belas, tiga tahun yang lalu… Adikku pasti sedih kalau aku menghilangkannya…"
"Kapan terakhir kali kau melihatnya?" Naruto kembali bertanya.
"Eng…S-setelah aku memberikan bento padamu."
"Bentuk hati… baiklah. Aku akan membantumu mencarinya." Naruto berjalan ke sisi lain kelas, dan membungkuk untuk mencari benda yang dimaksud Hinata. Hinata menatap Naruto penuh arti. Kebaikan hati Naruto merupakan salah satu alasan mengapa ia menyukainya.
~'~"~'~
"Naruto-kun…" Hinata menghampiri Naruto yang masih menundukkan kepalanya di bawah meja di pojok kelas. Ia tampak serius memerhatikan lantai di bawah meja tersebut. wajah yang jarang ia tunjukkan.
"Na-Naruto-kun…" Panggil Hinata sekali lagi. kini ia mengambil langkah selankah lebih dekat. "Sudah hampir senja. Ayo kita pulang…" Ajak Hinata.
"Sebentar lagi pasti ketemu." Lelaki itu tak menjawab ajakan Hinata.
"Sudahlah… tak apa-apa. Aku akan menjelaskan pada adikku. Dia tak akan marah…" Hinata berusaha membujuk Naruto. Namun, yang dibujuk tak menggubris sama sekali.
"Naruto-kun…" Hinata memanggilnya dengan suara pelan.
"Bagaimana mungkin bisa kubiarkan begitu saja? kau bahkan menangis saat tahu benda itu hilang. Pasti itu benda kesayanganmu, 'kan?" Naruto berkata setengah berteriak. Membuat Hinata terkejut. Naruto menghentikan pencariannya. Kini ia menatap Hinata yang matanya mulai basah.
"…" Hinata membisu. Tak dapat membalas kalimat Naruto. "Tapi…Tapi…Waktunya…. Senja…" Hinata meracau tak jelas. Naruto mendengar ceracauannya itu.
"Haa? Apa yang kau katakan? Aku tak mengerti." Naruto memandangnya heran.
"Ayo, Naruto-kun. Kita pulang. O-orang tuamu pasti khawatir…" Hinata ternyata sudah memegang tas Naruto. Ia membawa tas tersebut di tangan kanannya sedangkan tasnya sendiri ia pakai. Gadis itu bahkan sudah mengenakan mantel ungunya. Sarung tangan putihnya, Serta topi rajutnya. Ia benar-benar siap untuk pulang.
Naruto menghela nafas panjang sebelum menatap Hinata untuk yang kesekian kalinya. "Baiklah. Dengan satu Syarat." Naruto mengangkat telunjuknya membentuk angka satu. "Kau tak boleh menangis." Ujarnya.
Hinata mengusahakan senyum manis dan mengangguk. Tapi, di sapphire lelaki itu, senyuman Hinata adalah senyum kecut.
Naruto segera meraih tasnya dan mengutak-atik tasnya. Hinata yang tak mengerti apa yang sedang dilakukan lelaki itu, hanya memperhatikan Naruto dengan seksama.
"Nih…" Ujar Naruto menyerahkan sesuatu pada Hinata. Hinata menatap benda itu dengan penuh tanda Tanya. "Walaupun nggak sebanding dengan apa yang adikmu berikan padamu tiga tahun yang lalu, tapi aku harap, ini bisa sedikit menghiburmu." Lanjut lelaki itu lagi.
Hinata menatap benda yang diberi Naruto padanya tersebut. sebuah gantungan kunci berbentuk cup mie ramen dengan beberapa tulisan kanji di sekitarnya. Di bagian atas cup mie ramen itu, terdapat sepasang sumpit. Replica mie ramen. Benar-benar menggambarkan ciri khas lelaki jingga tersebut.
Hinata tersenyum. Kali ini senyum bahagia. "Naruto-kun, benar-benar suka ramen, ya?" Hinata memulai pembicaraan saat mereka berjalan di koridor, sudah meninggalkan kelas. cahaya senja tampak tipis akibat langit kelabu. Salju mulai turun perlahan-lahan dari langit.
"Tentu saja! rasanya benar-benar enak!" Naruto mulai cerita dengan antusias. Membuat Hinata tak dapat menghentikan senyumnya sedetikpun. Membuat Hinata dapat melupakan kesedihannya beberapa jam yang lalu.
"Oh iya, kau gantung di mana gantungan ramenku, Hinata?" Tanya Naruto memperhatikan tas Hinata yang disandang gadis itu di bagian kiri pundaknya.
"Di sini." Hinata menunjukkan bagian tasnya yang tergantungi gantungan kunci pemberian Naruto. "Gantunganmu? Em… bukannya tadi Naruto-kun bilang…. Naruto-kun memberikannya… padaku?"
"Tentu tidak!" Kalimat Naruto yang cukup menjatuhkan harapan kecil di hati gadis Indigo tersebut. "Aku meminjamkannya padamu. Sampai gantungan itu ketemu, kau harus menjaganya dengan baik. Kalau hilang, kau harus menraktirku ramen selama…" Naruto menghitung jari tangannya. "Segini." Tangan Naruto membuka dua jarinya membentuk tanda peace.
"Eng… Dua?" Hinata memerhatikan jari Naruto yang diacungkan lelaki itu tepat di depan wajah manisnya. "D-dua… Hari?" Hinata bertanya untuk memastikan perkiraannya.
"Bukan, bukan. Maksudku dua bulan." Naruto melancarkan senyuman mautnya.
"Ee?" Hinata berteriak kecil karena terkejut. 'Dua…bulan?'
"Iya. Dua bulan setiap pulang sekolah, terhitung sejak kau menghilangkannya. Makanya, jangan dihilangkan, ya!" Kata Naruto yang terdengar seperti perintah. Tentu saja dihiasi dengan cengiran khasnya.
"Baiklah…" Hinata mau tak mau menyetujuinya. Lagipula, ia merasa tidak dirugikan. Jika ia menyimpannya, ia dapat terus memandangi gantungan kunci tersebut. jika ia menghilangkannya malah lebih baik lagi. selama dua bulan, ia bisa memandang wajah tampan lelaki itu sedang makan mie ramen. Duduk di sebelahnya, pula! Benar-benar kondisi yang menguntungkan.
"Jangan ceritakan pada orang lain!" Perintah Naruto. Hinata mengernyitkan dahinya, tak mengerti. "Rahasia kita berdua saja. jangan ceritakan pada siapapun. Terutama… Sakura-chan." Suara lelaki itu mengecil saat ia mengatakan 'Sakura-chan.'
Nama yang selalu membuat hati Hinata terluka saat Naruto menyebutnya.
~'~"~'~
"Tadaima." Hinata menutup pintu setelah mengucapkan salam. Ia melepas sepatunya dan merapikannya. Melonggarkan syal violet yang melingkar di leher mulusnya. Dan segera melangkah menuju kamar. Namun, langkahnya terhenti saat Hanabi-adik satu-satunya- menghadangnya.
"Neechan, Kenapa baru pulang?" Gadis yang memiliki tinggi sedikit lebih pendek dari kakaknya itu berkacak pinggang. Ia memandang kakaknya dengan pandangan kesal. Walau tanpa ia sadari, dari pandangannya tersirat sedikit kekhawatiran. "Kau beruntung Tou-san hari ini lembur, Neechan. Dan Neji-niisan masih di rumah temannya untuk tugas kelompok. Kau beruntung karena tidak akan ada yang memarahimu hari ini selain aku, neechan. Aku lapar. Cepat bu-"
Hinata yang melihat adiknya sedang berbicara panjang lebar itu segera melepaskan tasnya dan membungkukkan badannya 90 derajat seraya berkata, "Gomenasai!"
Hanabi memandang kakaknya tak mengerti.
"Gomen, ne… Hanabi-chan. Neechan menghilangkan… gantungan kunci darimu…" Ucapnya pelan. hampir berbisik. Kini air matanya telah meleleh. Ia benar-benar menyesal telah menghilangkan barang itu.
Hanabi mendekati kakaknya dan memeluk kakaknya yang beberapa senti lebih tinggi darinya. Membuat ia setengah menjinjitkan jari kakinya. "Taka pa-apa, Neechan." Hanabi mengelus punggung kakaknya. "Apa ini yang membuat Neechan terlambat pulang? Neechan mencari gantungan kunci itu dulu?" Tanya Hanabi yang hanya dibalas oleh anggukan kepala sang kakak.
"Yokatta. Aku kira, ada sesuatu yang buruk terjadi padamu, Neechan. Sehingga kau pulang larut begini." Hanabi melepaskan pelukannya. ia tersenyum sejenak. Setelah itu memasang tampang cemberut.
"Kenapa bisa hilang?" Tanyanya lagi. Hinata menggelengkan kepalanya lemah.
"Neechan… tidak tahu…"
"Huft…" Hanabi mendesah. "Sudahlah, Hinata-Neechan. Aku bisa membelikanmu yang baru, 'kok." Cetusnya santai. Hinata menggeleng cepat.
"Maknanya akan berbeda. Neechan nggak mau!"
"Ya sudahlah, Neechan. Pasti besok ketemu. Tanya saja pada teman-teman Neechan. Mungkin, di antara mereka ada yang menemukannya lalu menyimpannya." Hibur Hanabi. Hinata mulai berhenti menangis.
"Neechan masih seperti biasa, ya? Cengeng." Ejek Hanabi. Yang diejek menatap adik semata wayangnya dengan tatapan kesal.
~'~"~'~
Akhirnya pagi kembali datang. Langit kala itu masih sama dengan langit kemarin. Kelabu, kelam.
Hinata menelusuri jalan bersalju tebal dengan senyum cerah di wajahnya. Sesekali menendang gumpalan salju yang menghalangi langkahnya. Jam tangan mungil yang melilit di pergelangan tangannya masih menunjukkan pukul 6.15 pagi. Masih terlalu dini untuk berangkat sekolah memang. Tapi, ia tak mempermasalahkannya. Karena, berada di halte bus jam segitu memang sudah menjadi rutinitasnya sehari-hari.
Hinata sampai di halte bus tepat saat sebuah bus berhenti. Bukannya melangkah masuk ke dalam bus tersebut, ia justru duduk di bangku panjang halte bus. Dan mengeratkan syal yang melingkar di lehernya. Seolah tak menyadari kehadiran bus tersebut.
Ia terus mengacuhkan beberapa bus yang datang.
"Hinata!" Seseorang memanggilnya dari kejauhan. Hinata menoleh ke asal suara dan mendapati seseorang tengah berlari menujunya. Naruto.
"Hah, hah, hah…" Lelaki itu bernafas terengah-engah. Ia membungkukkan badannya dengan tangan kanannya menahan lututnya. Sedang tangan kiri berpegangan pada tiang halte bus. "Apah yhang kauh laku-khan? Kitah sudah hampir… terlambat masuk." Ujarnya di tengah engahannya.
"Benarkah?" Hinata memerhatikan jam mungilnya. 7.15 ….7.15?
"Aah, Bagaimana ini?" Hinata akhirnya ikut panic. Ia berdiri dari duduknya, memperhatikan jalan yang sudah mulai ramai. Namun, tak satupun di antara puluhan kendaraan tersebut adalah bus. Hinata semakin gelisah.
"Apa kau sudah menunggu di sini dari tadi? Apa sejak tadi tak ada bis satupun?" Naruto memperhatikan Hinata yang terus menatap jalan.
"E…Tidak. Aku juga baru sampai di sini… lima eh, iya. Lima menit yang lalu." Gadis itu berbohong. Tentu saja. ia tak ingin Naruto tahu bahwa setiap hari ia menunggu kedatangan Naruto di halte agar ia bisa bersama lelaki itu dalam perjalanan menuju sekolah. Ia tak peduli walaupun sebagai ganjarannya, ia harus sering datang terlambat ke sekolah disebabkan kebiasaan lelaki itu yang sangat susah bangun pagi.
"Aaa!" Naruto berteriak sembari menunjuk bus yang berjalan dari kejauhan. Senyumnya merekah.
"Hinata, Ayo!"
~'~"~'~
"Yosh! O…Ohay-o, Minna!" Ujar Naruto dengan nafas satu-satu akibat berlari di sepanjang koridor kelas.
"Yoo! Untung sekali. kau Save, Naruto! Kakashi sensei belum datang." Lee mengacungkan jempolnya ke arah Naruto. "Aku suka semangatmu!"
"Lagi-lagi berangkat sekolah bareng?" ucap Kiba yang tiba-tiba muncul di belakang Naruto.
Naruto melirik seorang gadis berambut pinkish yang duduk di depan seorang lelaki berambut raven. Gadis itu tengah memperhatikannya. Naruto segera membantah kalimat Kiba. Sengaja dengan suara keras agar didengar oleh gadis itu. "Kami nggak sengaja ketemu di Halte dan-"
"Sekalian berangkat bareng?" Lanjut kiba setengah meledek. "Aku sudah tau lanjutan kalimatmu. Kalau begitu, aku mau ke kelas dulu. Sepertinya Sensei sudah masuk." Kiba pergi dengan wajah tanpa rasa bersalah.
Hinata memutuskan segera menuju bangkunya dan duduk. Ia tak mau terlalu lama mematung di bibir pintu kelas.
Naruto akhirnya menggerutu kesal karena tak dapat membalas perkataan lelaki yang sudah hilang ke dalam kelasnya itu. ia segera berjalan menuju bangkunya yang berada di belakang kursi lelaki berambut raven. Naruto menatap lelaki itu yang sedang sibuk menulis sesuatu, sedangkan seorang gadis pink yang duduk di hadapannya, mengamati lelaki raven yang sibuk menulis itu.
Naruto tak suka saat gadis pink itu menatap lelaki raven tersebut dengan pandangan lembut seperti itu. tak suka. Sangat tidak suka.
"Hei, Teme-maksudku Sasuke, Apa yang kau tulis?" Naruto sengaja meletakkan tangannya di antara kedua manusia itu. membuat lamunan gadis berambut pink itu buyar.
"Apa-apaan kau, Naruto!" Gadis itu menggeser tangan Naruto dengan kasar.
"Aku Tanya sekali lagi, kau mengerjakan apa, Teme?" Tanya Naruto pada lelaki raven yang masih asyik menulis. Ia tak memperdulikan gadis pink yang berusaha keras menyingkirkan tangannya.
"Tugas." Jawab lelaki itu apa adanya.
"Ee? Ada tugas? Naruto merampas buku Sasuke dengan kasar.
"Dobe. Kembalikan." Ujar lelaki yang dipanggil 'Teme' oleh Naruto, tanpa ekspresi apapun.
"Woo, Chotto matte, yo! Biarkan aku menyalinnya dulu." Naruto,-masih dalam keadaan memegang buku catatan milik lelaki itu, ia segera mengeluarkan buku miliknya. Tapi, belum sempat ia mengeluarkan pensil mekaniknya, Sasuke merampas kembali bukunya.
"TEME! Apa yang kau lakukan!" Bentaknya keras. Namun, tak digubris sedikitpun oleh Sasuke.
"Ah! Sudahlah!" Teriaknya frustasi dengan tingkah sahabatnya itu. "Sakura-chan, apa kau sudah mengerjakan tugas? Aku-"
"." Ucap gadis bernama Sakura itu sambil menyilangkan kedua tangannya di depan mukanya.
"Sakura-chan. Kumohon…" Naruto menelungkupkan kedua tangannya di depan wajahnya. Ia terus memohon tapi diabaikan oleh Sakura.
Tiba-tiba, sebuah buku catatan bersampul ungu tersodor di hadapan Naruto. Naruto menatap pemilik buku tersebut.
"Eng…N-Naruto-kun boleh melihat punyaku." Ujar gadis yang tak lain adalah Hinata.
Naruto sempat terdiam sejenak. Sebelum akhirnya ia menerima sodoran buku tersebut dan berujar, "Sankyuu." Ia sedikit kesal karena Hinata, tak sempat menganggu Sakura.
~'~"~'~
"Hei, Naruto. Apa pendapatmu tentang Hinata?" Tanya Sakura yang sedang duduk di seberang Naruto. Sampai detik-detik terakhir, Kakashi-sensei tak kunjung datang. Akhirnya kelas ini menjadi ricuh tak karuan. Termasuk Naruto, Sasuke dan Sakura yang masih sibuk sendiri dengan percakapan mereka.
"Em… dia gadis yang baik." Jawab lelaki jingga itu seadanya. Tak terlalu memikirkan kalimat gadis bermata Emerald di hadapannya itu dengan serius.
"Bagaimana kalau ternyata Hinata menyukaimu?" Tanyanya lagi. Naruto berhenti menyalin tugasnya dan menatap Sakura sejenak sebelum berkata, "Nggak mungkin."
"Aku yakin, dia suka padamu. Walaupun aku nggak pernah punya teman perempuan, tapi aku bisa mengerti mereka dari cara mereka menatap seseorang. Dan aku yakin, Hinata menyukaimu. Aku membaca gerak-geriknya selama ini." Sakura kembali melanjutkan opininya.
"Lalu? Apa yang harus kulakukan? Kan dia yang suka padaku. Aku tidak." Naruto berkata santai.
"Jangan begitu. Kalian cocok, 'kok. Kalian pacaran saja." Usul Sakura menahan cekikikannya. "Kau tidak perlu mengejarku lagi, 'kan?" lanjut gadis itu dengan senyum merekah. "Karena sekuat apapun kau berusaha, kau tahu kalau aku tak akan bisa membalas perasaanmu padaku." Kali ini pembicaraan mereka menjadi serius. "Pacaran saja dengan orang yang mau menerimamu, Naruto."
Perkataan Sakura tersebut membuat Naruto geram sendiri. Ia tak suka diperlakukan seperti itu. terutama oleh orang yang disukainya. Seolah-olah, Sakura sudah membuangnya, sebelum ia sempat mengatakan perasaannya.
"Hmm….Pasangan unik. Lelaki ribut dan Gadis pendiam. Bagaimana menurutmu, Sasuke-kun?" Sakura menatap teman masa kecilnya yang lain, yang sejak tadi sibuk dengan dunianya sendiri. Buku.
"Hn…" Jawabnya dingin seperti biasa. Ia membenarkan letak kacamatanya setelah menjawab pertanyaan Sakura.
"Sasuke-kun. Kau baca buku terus, sih. Makanya penglihatanmu memburuk begitu." Sakura menggembungkan pipinya melihat Sasuke membenarkan letak kacamatanya. IA menatap Sasuke dengan kesal. "Ayo, kita ngobrol saja. Kemarin…" Sakura mulai bercerita panjang lebar. Tak peduli walaupun yang diajak cerita hanya menjawab 'Hn.' Atau anggukan saja.
Sementara Naruto, Lelaki itu ternyata masih kepikiran dengan kalimat Sakura.
~'~"~'~
"Bagaimana kalau ternyata Hinata menyukaimu?"
Kalimat Sakura terus berputar di kepala kuning lelaki itu.
"Jangan begitu. Kalian cocok, 'kok. Kalian pacaran saja."
"Kau tidak perlu mengejarku lagi, 'kan? Karena sekuat apapun kau berusaha, kau tahu kalau aku tak akan bisa membalas perasaanmu padaku."
Bagus. Ia merasa kepalanya terserang sakit yang tak terkalahkan. Ia mengepalkan tengannya yang ia letakkan di atas meja.
"Pacaran saja dengan orang yang mau menerimamu, Naruto."
BRAAK
Tak tahan lagi, Naruto memukulkan kedua tangannya dengan kasar. Seisi kelas yang baru saja berniat keluar menuju kantin, terpaksa harus terkejut akibat gebrakan itu.
"N-Naruto-kun…" Sebuah suara lembut menyapanya. Suara dari orang yang paling tidak ingin dilihatnya saat ini. "Ada ap-"
"Tidak." Potong Naruto cepat. "Tidak ada apa-apa. Kau, ada apa mendatangiku?"
'Cih. Apa yang terjadi denganku?' batin Naruto tak mengerti kenapa ia berbicara sekasar itu.
"Ng… ini, bento yang kemarin aku janjikan. Kali ini aku membuat-" belum sempat Hinata melanjutkan kalimatnya, Naruto memotongnya.
"Tidak. Terima kasih. Aku tak butuh." Hinata terkejut mendengar jawaban Naruto. Naruto segera bangkit dari duduknya. Menggeser tubuh mungil Hinata dengan tangannya dan berjalan menuju pintu keluar. Tapi, Hinata menahannya.
"T-tapi, Naruto-kun. Aku sudah berjanji akan membawakanmu bento lagi. Terimalah." Hinata kembali menyodorkan sekotak bento dengan bungkusan yang sama seperti yang di bawanya kemarin. Beberapa murid yang masih berada di situ memperhatikan kejadian tersebut. membuat Naruto menjadi tak nyaman dengan situasi tersebut.
"Sudah kubilang ak-" Naruto menghempaskan tangannya dan…
Duk. Prak.
Bento yang semula berada di tangan Hinata, kini beralih menuju tanah. Bento tersebut jatuh. Isinya menyeruak keluar. Beberapa onigiri sudah tak berbentuk bulat lagi. beberapa butir nasi terserak di lantai. Bento itu sudah tak dapat di makan lagi.
Hinata hanya dapat menatap bento dan Naruto bergantian. Ia tak mengerti apa yang terjadi pada Naruto? Biasanya, ia tersenyum ramah dan memperlakukannya dengan baik. Tapi kali ini…
Naruto sendiri tak mengerti apa yang terjadi dengan dirinya. Sejak mendengar kata-kata Sakura tentang Hinata, ia merasa tidak menjadi Naruto yang dulu lagi. Ia selalu ingin marah. Terutama jika menatap gadis di hadapannya itu.
Dan kejadian barusan, Naruto tahu, ia tak sengaja menepis bento tersebut hingga jatuh. Ia benar-benar tak ada niat menjatuhkannya. Apalagi, saat ia melihat isi bento yang berantakan itu begitu banyak. Ia yakin, Hinata sudah berjuang keras memasakkan itu semua untuknya.
"A-aa… Go-gomen. T-tang-ngan-ku…. Lic-in…" Hinata menunduk dan berlutut untuk membereskan kekacauan yang terjadi. Sekuat tenaga ia menahan tangisnya, tapi tidak bisa. Air mata itu mengalir begitu saja tanpa izinnya.
"Cih." Naruto mendecih dan segera melangkah keluar kelas. Ia memelototi siapapun yang memperhatikan kejadian barusan. Namun, tepat di depan pintu kelas, Ia berhenti sejenak dan membalikkan badannya. Kembali berjalan menuju Hinata dan menarik tangan gadis itu dengan kasar.
"Ikut aku!" Perintah Naruto. Hinata menatap dengan matanya yang basah. Ia benar-benar berharap seseorang akan memberinya penjelasan mengenai hal ini.
~'~"~'~
"N-Naruto-kun…Saki-t… lepaskan…" Hinata bergumam kecil, terus berusaha menarik tangan kirinya yang dicengkeram begitu kuat oleh atlit basket itu. Ia meronta-ronta minta dilepaskan, namun tak sekalipun permintaannya dikabulkan. Air matanya semakin deras mengalir.
"Kita… mau ke mana, N-Naruto-kun?" Hinata bergidik tak berani menatap lelaki yang menariknya itu. sedari tadi, yang mereka lakukan hanyalah menaiki tangga. Hingga akhirnya mereka berada di puncak tangga. Sebuah pintu kecil menuju atap sekolah.
Sesampainya di atap sekolah, Naruto akhirnya melepaskan tangan Hinata. Hinata mengelus-elus tangannya yang terasa nyeri itu.
"Katakan padaku." Tanya Naruto sambil membalikkan badan, menatap Hinata. "Apa kau suka padaku?" Hinata terhenyak mendengar pertanyaan itu. Ia menundukkan kepalanya, menyembunyikan rona merahnya.
"Cepat katakan yang sebenarnya!" Naruto menaikkan nada bicaranya satu oktaf. Membuat Hinata merasa seperti seorang penjahat yang sedang diInterogasi.
"Kalau aku bilang iya…. Apa Naruto-kun akan semakin marah padaku?" Tanya Hinata tanpa menatap lelaki itu.
"Ya." Jawab Naruto tegas. "Aku akan semakin marah padamu."
Deg.
Hinata merasa jantungnya berhenti berdetak. Ia segera menatap lelaki dihadapannya itu. air mata yang sebelumnya mengering, kini mengalir kembali. "Ke…Kenapa?"
"Karena aku menyukai orang lain." Jawab Naruto sekenanya. "Karena sekuat apapun kau berusaha, kau tahu kalau aku tak akan bisa membalas perasaanmu padaku." Ia meniru ucapan Sakura yang tadi pagi dilontarkan gadis itu untuknya.
Hinata terdiam sebentar. Menyusun kata yang bagus untuk kalimatnya. "Aku… aku tak akan mengganggu hubunganmu dengan orang yang kau suka. Aku hanya berusaha… agar kau mau melihatku…"
"Usahamu yang seperti itu yang mengganggu hubunganku dengan orang yang kusuka."
Hening kembali.
Hinata berkali-kali mengusap air matanya.
"Apa yang kau sukai dariku?" Tanya Naruto memecah keheningan. Hinata menjawab tanpa berani mengangkat kepalanya.
"Kebaikan hati Naruto-kun, Senyum Naruto-kun, Sifat Optimis Naruto-kun, Naruto-kun yang menyukai ramen, Naruto-kun yang menjahili teman-teman, semuanya aku suka…" jawabnya pelan
"Pria yang membuat wanita menangis adalah Pria brengsek." Ucap Naruto lagi. Hinata menatap Naruto tak mengerti.
"Kau lihat air matamu itu?" Naruto kembali berbicara, tapi nada bicaranya sudah mulai tenang. Tak membentak seperti sebelum-sebelumnya. "Aku penyebabnya. Aku bukan 'Naruto-kun yang baik' seperti katamu tadi. Aku membuatmu menangis. Aku Brengsek." Naruto merendahkan dirinya sendiri.
"Tidak." Hinata menggeleng cepat. Ia memberanikan diri menatap Naruto."Naruto-kun tidak brengsek. Naruto-kun bukan orang seperti itu."
Naruto mendecih sebelum menyeringai licik.
"Terserah!" Jawabnya. "Tapi kau harus pegang janjiku. Akan kutunjukkan padamu seberapa brengseknya aku sehingga kau akan menyesal menyukai pria brengsek sepertiku." Tantang Naruto. "Akan kubuat kau menangis dan menderita, lalu menyerah tentang diriku, membenciku dan melepaskanku." Naruto melangkah melewati Hinata, menuju pintu yang menghubungkan atap sekolah dengan tangga dan lorong kelas.
"Tidak!" Untuk pertama kalinya, Naruto mendengar Hinata membentaknya. Gadis itu mengusap air matanya dan memandang punggung Naruto dengan tegas. "Akan kubuktikan kalau Naruto-kun bukan laki-laki brengsek. Naruto-kun tak akan pernah membuatku menangis." Pernyataan Hinata membuat Naruto menghentikan langkahnya. "Akan kubuat Naruto-kun menyesal pernah membentakku, Akan kubuat Naruto-kun… berbalik mencintaiku."
Naruto sedikit memutar kepalanya dan menatap Hinata dengan pandangan mengejek.
"Kita lihat siapa yang akan menang."
.
.
.
.
.
.To be Continue.
.
.
.
.
.
Author's Note :
Ohohohoo….Minna-san. Lama tak jumpa….Hisashiburi…^^ ada yang merindukan Rippe? *Reader : Gak adaaa….!*
Hehehee…. Bukannya melanjutkan 'The Princesses Tales' malah bikin fic baru. Emank saia Author yang tidak bertanggung jawab…*Jedukin kepala ke dinding sampai warna dinding berubah merah.* Ada yang masih ingat fic itu? hohoho, tentu tidak. Itu fic sudah terkubur dalam banget. Terkubur fic-fic lain yang lebih bagus tentunya. Tapi saya nggak akan pernah lupa melanjutkan fic itu, kok. Janji deh…
Em… untuk fic kali ini, kayaknya penggunaan bahasanya agak jelek dan nggak terlalu baku, ya. maklum, dah lama nggak nulis fic. Otak Rippe jadi tumpul… ditambah lagi, jalan ceritanya yang kayaknya kurang menarik ya…. Rippe kasih sedikit penjelasan, deh. Pokoknya, di sini, Hinata menyukai Naruto yang menyukai Sakura yang menyukai Sasuke yang menyukai… buku? *Dilempar bakiak karena nggak serius.* intinya, Naruto nggak suka sama Hinata yang suka n memperlakukan Naruto dengan baik. Fic ini tentang pertarungan Naruto yang berusaha buat Hinata benci dia ngelawan Hinata yang berusaha buat Naruto cinta sama dia. Terus… ah, pokoknya gitu deh. Tunggu kelanjutannya aja ya… itupun kalau emank fic ini layak di lanjutkan. Hehehe….
Nah, bagi yang nggak keberatan, tolong tinggalkan Reviewnya, ya…^^
Harus dilanjutkan atau tidak? Tergantung review….(Ohohoo…)
Yosh! Arigatou, minna-san…
.
.
.
Rurippe no Kimi
.
.
14 February 2012