Sebuah kamar yang kental dengan berbagai macam barang berwarna ungu dan putih. Hinata-sang pemilik kamar tersebut- sedang asyik membaca sebuah buku kimia yang ia letakkan di atas meja belajarnya. Sementara posisinya sendiri saat ini adalah terhimpit di antara meja belajar dan sebuah kursi yang berada tepat di depan meja tersebut.

Hening adalah sebuah kata yang tepat untuk menggambarkan suasana di dalam kamar itu. hanya terdengar dentingan detik jarum jam dinding dan suara jari telunjuk gadis itu yang sesekali mengetuk meja belajarnya untuk sedikit meredakan keheningan.

Tok. Tok.

Hinata-gadis itu- dapat mendengar suara pintu kamarnya telah diketuk oleh seseorang. Bersamaan dengan itu, pintu kamarnya terbuka dan menampakkan sebuah kepala bersurai coklat yang sedikit mengintip dari balik pintu.

"…Neechan?" ucap sosok itu perlahan, takut mengusik kekhusyukan kakaknya dalam belajar. "Lagi belajar, ya?" sosok gadis kecil itu segera masuk tanpa menunggu persetujuan empunya kamar. Setelah menutup pintu kamar ruangan tersebut, ia melangkah mendekati sebuah ranjang berwarna ungu bermotif bunga berwarna putih dan segera melompat ke kasur tersebut dengan tidak elitnya. Membuat suara deritan pada kasur yang bergoyang akibat mendapat dorongan dari tubuh gadis itu.

"Hanabi-chan." Panggil Hinata tanpa mengalihkan pandangannya dari buku di atas meja. "Kalau naik kasurnya kasar seperti itu, kasurku jadi berantakan, 'kan?"

Yang dinasihati hanya memamerkan sederetan gigi putihnya dan menggulingkan badannya di kasur tersebut. begitu menemukan sebuah manga di atas ranjang tersebut, ia berusaha menggapainya dan membuka manga itu di sembarang halaman.

"Neechan, aku bosan…" Desah Hanabi sambil terus membaca manga di tangannya.

"Belajar saja, bagaimana?" Hinata berusaha memberi saran kepada Imoutou-nya. Masih dalam posisi sama, yaitu tak menatap Hanabi.

Hanabi menghela nafas dengan keras. "Malas. Lagipula aku baru saja menyelesaikan PR-ku. Aku sedang tidak ingin belajar, Neechan." Hanabi mengambil jeda sejenak.

Setelah percakapan singkat itu, keheningan kembali tercipta.

"Neechan…" Hanabi kembali memanggil Hinata. Ia melemparkan manga-yang sebelumnya berada di kedua tangannya ke sembarang tempat. "Ne, Apa yang terjadi dengan gantungan kunci dariku? Sudah ketemu?" Hanabi kembali berguling di atas ranjang Hinata sehingga posisinya kali ini adalah tengkurap dan wajahnya menghadap pada meja belajar yang berada di sebelah kanan kasur itu. Ia dapat melihat bagian samping wajah kakak perempuannya itu, yang menghadap buku di meja belajar.

Mendengar pertanyaan Hanabi padanya, Hinata menghentikan kegiatan belajarnya dan menutup buku di hadapannya dengan perlahan. Ia menghembuskan nafasnya dengan pelan.

Benar juga.

Bagaimana ia bisa melupakan gantungan kunci kesayangannya itu?

Mungkinkah karena akhir-akhir ini terlalu banyak hal yang menimpanya?

Permata Hinata yang sewarna Amethyst melirik pada sebuah gantungan kunci yang bergelayutan di atas tas sekolahnya. Sebuah gantungan kunci berbentuk cup ramen.

"Neechan, kau mendengarku?" Hanabi membuyarkan lamunan remaja berumur enam belas tahun itu. Karena terkejut, ia hanya tergagap menjawab Hanabi. "Eee-i-a-ap-apa, Hanabi-chan?"

"Ya ampun, Neechan! Neechan melamun?" Hanabi sedikit kesal saat mengetahui bahwa kakaknya –terlihat seakan- tak mendengarkan perkataanya. "Tadi aku tanya tentang gantungan kunciku. Tapi dari reaksi Neechan barusan, sepertinya belum ketemu, ya?"

Wajah Hinata menjadi sendu.

Ia benar-benar menyesal telah menghilangkan gantungan kunci pemberian Hanabi itu. Hal itu menyebabkan Hinata tak berani melayangkan pandangannya pada adiknya dan hanya bisa menunduk sebagai jawaban atas pertanyaan adiknya.

"Su-sudahlah, Neechan…" Hanabi merasa bersalah saat melihat raut wajah cantik milik kakaknya berkerut sedih. "Ba-bagaimana kalau cerita yang lain saja?" Hanabi berusaha mengalihkan pembicaraannya. "Ah, iya? Bagaimana kalau Neechan cerita tentang orang yang Neechan sukai? Itu, tuh, yang pernah Neechan ceritakan. Yang orangnya suka senyum. Siapa namanya? Aku lupa…" Hanabi berbicara panjang lebar, berusaha mencari topik yang sekiranya dapat kembali menceriakan kembali Hinata. Seingatnya, beberapa minggu yang lalu, kakaknya selalu bercerita mengenai orang yang disukainya dengan penuh senyum dan pandangan mata berbinar.

Namun, apa yang dipikirkan gadis kelas tiga SMP itu salah.

Wajah Hinata semakin sendu saat mendengar topik pembicaraan yang disodorkan Hanabi. Hanabi semakin merasa bersalah. Sepertinya ia telah menyentuh titik sensitif di hati kakaknya.

Saat Hanabi kembali mencari topik pembicaraan, Hinata angkat suara.

"Namikaze Naruto. Itu namanya."

Sunyi. Tak ada yang angkat bicara selama beberapa menit.

"Ng… Neechan, apa sedang ada masalah?" Tanya Hanabi perlahan, mencoba melanjutkan pembicaraan mengenai 'orang yang disukai' setelah ia rasa kakaknya tersebut mengijinkannya bertanya lebih lanjut. "… Terutama dengan orang itu?"

Bingo!

Hinata sempat terdiam dan melirik Hanabi sebentar sebelum mengangguk.

"Kenapa? Apa dia jahat padamu, Neechan?"

"…Jahat, tapi dia kemarin baik padaku. Ta-tapi padahal seharusnya dia jahat. Ta-tapi dia sebenarnya nggak jahat. T-tapi…" Hanabi cukup bingung dengan aturan kalimat Hinata ketika menjawab pertanyaannya.

"Tapi?" Tanya Hanabi sekali lagi. Hinata tak menjawab. Ia ragu untuk memutuskan apakah ia harus bercerita atau tetap menjaga masalah tersebut seorang diri.

Hanabi mendesah pelan. Sepertinya, Hinata tak ingin bercerita padanya. 'Apa boleh buat?' Pikirnya.

"Sudahlah, Neechan. Tak perlu cerita kalau kau tidak ingin…"

Hinata tersenyum atas perhatian adiknya. "Terima kasih, Hanabi-chan."

Saat Hinata bangkit dari kursi dan melangkah menuju kasur di mana Hanabi berada, ponsel miliknya yang berada di dalam tas sekolahnya bernyanyi merdu. Dengan mengurungkan niatnya menuju kasurnya, Hinata kembali menghampiri meja belajar di mana tas sekolahnya berada. Ia mengubrak-abrik sedikit isi tas tersebut sebelum tangannya keluar dari dalam tas dengan menggenggam sebuah ponsel ungu.

Pada layar kecil di luar flap handphone-nya, sebuah gambar surat berkedip-kedip.

'Sepertinya ada email.' Batinnya.

Dan apa yang ia pikirkan ternyata benar. Ketika ia membuka flap Handphone-nya, sebuah kotak pemberitahuan kecil-di depan wallpaper layar ponselnya-muncul. Kotak pemberitahuan itu bertuliskan nama 'You've got an email' di dalamnya.

Hinata segera membuka email itu dan membaca isinya.

.

From : Sakura-chan

To : Hinata-chan

Subject : Boleh aku menelponmu?

Konbanwaaa! Hinata-chan, kau sibuk? Boleh aku menelponmu untuk curhat?

.

Bibir Hinata melengkung di kedua sisinya. Hanabi yang melihat itu melontarkan sepotong pertanyaan, "Siapa?"

Hinata menoleh dan menjawab, "Teman Neechan." Yang di sambut Oh kecil dari Hanabi.

Hinata kembali melayangkan pandangannya pada layar ponselnya dan mulai mengetik jawaban untuk Sakura.

.

From : Hinata-chan

To : Sakura-chan

Subject : Re: Boleh aku menelponmu?

Konbanwa… Boleh, Sakura-chan ^^

.

Sedetik setelah Hinata menekan tombol 'Send' di layar handphone-nya, handphone manis itu kembali bergetar dan berdengung, tetapi dengan ringtone yang berbeda dari sebelumnya.

Hinata segera menekan tombol hijau bersimbol gagang telepon, dan meletakkan handphone tersebut di telinga kirinya. Ia memberi salam, "Mo-moshi-moshi,Sakura-chan?"

"Moshi-moshi!" jawab suara dari seberang. "Hinata-chan, boleh aku curhat?" Sakura kembali meminta ijin pada Hinata.

"Mm, Tentu, Boleh saja…"

Untuk beberapa saat, Sakura yang berada di seberang telepon tak berbicara sedikitpun. Sepertinya gadis itu sedang berusaha mencari kata-kata yang tepat untuk memulai ceritanya.

"Ini tentang Sasuke-kun. Kau mau mendengarnya, 'kan?" pada akhirnya, Sakura mulai berbicara.

"Sa-Sasuke-san?" jedanya sebentar "Boleh saja…"

"Kau nggak akan cerita ke Sasuke-kun, kan? Meskipun kau saudara sepupunya, Hinata-chan?" Sakura kembali bertanya dengan penuh keraguan.

Hinata tertawa kecil, "Em!" sahutnya tanda mengiyakan pertanyaan Sakura padanya. "Lagipula… aku dan Sasuke-san jarang mengobrol panjang, Sakura-chan. Tenang saja…"

"Makasih, Hinata-chan." Meski tak bisa melihat ekspresi Sakura saat ini, Hinata yakin bahwa gadis itu sedang tersenyum.

"Emm… begini…" Sepatah kata mengawali cerita Sakura. "Kau ingat hari di mana kita, maksudku Aku, Kau, Sasuke-kun dan Naruto pergi ke Konoha's Land?"

Hinata berdehem mengiyakan. Setelah itu, Sakura kembali melanjutkan ceritanya, "Waktu kita naik kincir putar, kau juga ingat, 'kan? Sebenarnya… waktu itu…" Sakura memotong percakapannya. Nada suaranya terdengar bahwa ia sedang bimbang. Entah bimbang karena ia tidak menemukan kata-kata yang tepat untuk bercerita, atau karena hal yang akan diceritakannya.

"Err.. Aku dan Sasuke-kun berciuman." Aku Sakura akhirnya.

Hinata tidak terlalu terkejut. Tentu saja ia sudah tahu mengenai hal itu. Mengingat kala itu, ia dan Naruto berada di dalam sebuah gerbong Ferish wheel yang berada satu tingkat lebih atas dari gerbong Sasuke dan Sakura. Mengingat saat itu, ia dan Naruto menyaksikan kejadian itu dengan mata kepala mereka sendiri.

"Be-Benarkah?" Hinata yang tidak tahu harus menjawab seperti apa, memutuskan untuk melemparkan pertanyaan sebagai respon dari curahan hati Sakura padanya.

"Ya, Hinata-chan. Dan tidak hanya itu, kau ingat ketika Sasuke-kun pergi dari Konoha's Land karena aku tak sengaja menyakiti hatinya?"

"Saat… Sakura-chan mengejarnya?"

Sakura kembali berdehem membenarkan pertanyaan Hinata. "Saat itu, Sasuke-kun telah sampai di depan rumahnya. Saat aku meminta maaf padanya… lagi-lagi, dia kembali men- kau tahu maksudku, 'kan, Hinata-chan?"

Untuk kedua kalinya, tentu saja Hinata tahu tentang hal itu. Ia melihat kejadian antara Sasuke dan Sakura saat itu karena ia sedang mengikuti Naruto yang mengejar Sakura karena Sakura berlari menyusul Sasuke. Tanpa sepengetahuan Sasuke dan Sakura tentunya.

"Apa … Apa kalian, maksudku Sasuke-san dan Sakura-chan sudah… Pacaran?" Hinata mencoba bertanya dengan hati-hati.

Terdengar desahan nafas berat dari seberang telepon. "Itulah yang nggak ku mengerti." Sakura mengambil jeda sesaat. "Setelah itu, perlakuannya padaku biasa saja. seolah tak terjadi apapun! Kau tahu Hinata-chan? seolah tidak-terjadi-apapun!" Sakura memberi penekanan pada kalimat terakhirnya. Terdengar jelas bahwa ia sedang kesal. "Saat aku pergi ke rumahnya tadi malam karena ibuku memintaku mengantarkan makan malam yang dibuat lebih oleh ibuku, dia yang membuka pintu rumah." Hinata sesekali berdehem seraya mendengarkan Sakura berkisah panjang lebar. "Dan saat itu, aku sudah deg-deg-an setengah mati, kau tahu? Tapi apa yang dia lakukan? Cuma bilang "Thanks."." Nada suara bicara gadis bermarga Haruno itu berusaha meniru nada bicara Sasuke. "Habis itu dia menutup pintu rumah tanpa menyuruhku masuk atau apa…"

Hinata menyunggingkan senyum kecil –yang untungnya- tidak di lihat Sakura. Ia yakin Sakura akan memarahinya jika melihat sahabatnya yang satu ini menahan tawa mendengar cerita 'cinta'-nya.

"Ya Ampun, Hinata-chan? Dia itu sebenarnya apa, sih? Walaupun sudah lama mengenalnya, aku nggak pernah bisa paham sama tindak-tanduknya!"

"Hinata-chan, kalau menurutmu statusku dan Sasuke-kun itu apa, dong?" Sakura menanyakan pendapat Hinata.

"E-Eh? Aku… Aku tidak tahu juga, Sakura-chan. Kalian… membingungkan…" ujar Hinata pelan. "Apa Sasuke-san bilang kalau dia menyukaimu?"

"" Tak terdengar jawaban apapun dari penelpon di seberang sana.

"Apa Sakura-chan sudah bilang kalau Sakura-chan menyukai Sasuke-san?" Hinata kembali bertanya dan lagi-lagi tak mendapat gubrisan apapun dari yang ditanya.

"Sakura-chan?" Hinata memanggil sahabatnya itu dengan lembut. "Kalau belum dua-duanya, bagaimana mungkin bisa ada hubungan di antara Sakura-chan dan Sasuke-san?"

"Ha-Habisnya…" Sakura terdengar gugup menjawab pertanyaan Hinata. "Di-dia sudah men-menci… um… k… u…" Suara gadis itu semakin lama semakin mengecil hingga Hinata hampir tidak dapat mendengarnya. "Bukankah itu sudah menjelaskan kalau dia suka padaku?" kali ini, Suara Sakura kembali ke volume sebenarnya.

"Me-menurutku belum tentu, Sakura-chan." Kata Hinata kembali berpendapat. "Bagaimana kalau kau memastikannya lagi pada Sasuke-san?"

"Hmm…" Sakura berdengung. "Benar juga. Lebih baik aku tanya sekali lagi padanya. Arigatou, Hinata-chan!"

"Douitteshimashita." Sahut Hinata lembut.

"Ne, Ne, kalau kau sendiri gimana dengan si Naruto?" Sakura mengganti tema pembicaraan.

"E-eh?"

"Kemarin saat aku dan Sasuke-kun sudah pergi, apa yang terjadi denganmu dan Naruto?" Tersirat rasa penasaran dari cara bicara Sakura.

Sontak saja Hinata terdiam dan termenung. Fikirannya melayang pada kejadian sehari yang lalu, saat ia tengah berlari mengejar Naruto yang sakit hati melihat Sasuke dan Sakura –hampir- di depan rumah Sasuke.

~'~"~'~

Tanpa ba-bi-bu, Naruto menarik ujung mantel bercorak stripe ungu-pink milik Hinata sehingga membuat tubuh gadis itu lebih dekat dengannya. Dengan satu gerakan cepat, Naruto mameluk pinggang Hinata dengan tangan kanannya. Sedangkan tangan kirinya hanya memegang ujung mantel Hinata. Lelaki itu menyembunyikan wajahnya pada Hinata. Ia menunduk dalam-dalam.

Hinata terkejut. Debaran jantungnya meningkat. Ia bahkan dapat mendengar suara jantungnya berdetak hebat. Bagaikan sebuah orchestra yang sedang memainkan sebuah lagu merdu bertempo cepat. Tak terhentikan.

"J-Jangan salah sangka!" usik Naruto masih menyandarkan keningnya pada bagian perut Hinata. "Tetaplah begini... sampai aku tenang… seperti katamu tadi…"

Hinata mengangguk mengiyakan perintah Naruto, walaupun ia tahu anggukannya itu tak dapat dilihat Naruto.

Hinata meregangkan tangannya yang memegang payung dan menyandarkannya pada salah satu pundak Naruto. Ia memejamkan matanya. Segaris senyum mengembang diwajahnya. Hatinya membatin,

'Aku berharap waktu dapat berhenti di saat-saat seperti ini…'

~'~"~'~

"…Ta.."

"Hi.. Ta… -cha… n"

"Hinata-chan? Haloo? Apa telponnya masih tersambung?" Suara Sakura yang naik satu oktaf mengejutkan Hinata diiringi runtuhnya lamunan Hinata.

"Eeh, A-Ap- Gomenasai, Sakura-chan…" Hinata meminta maaf karena tak mendengarkan perkataan Sakura.

"Ayo, ayo, ceritakan kejadianmu dengan Naruto! apa yang terjadi saat itu?" Sakura semakin penasaran.

Hinata terdiam untuk kesekian kalinya. Namun, bibr merahnya kembali melengkungkan segaris senyum manis.

"Tidak, kok… Tidak ada apa-apa, Sakura-chan…"

~'~"~'~

Siluet pemuda tampan dengan kaus santai berlengan panjang dan berbahan wol tebal serta sebuah celana panjang hitam, terlihat bertengger dengan posisi berbaring di atas atap rumah-yang telah ia bersihkan dari tumpukkan salju- tepat di atas kamarnya. Kedua lengan kekar miliknya menyangga kepala kuningnya yang terlihat kontras dengan pemandangan malam kala itu.

Wajahnya terlihat rileks menikmati angin malam yang bertiup lembut saat itu. Tak peduli walau suhu yang lumayan rendah saat itu, ia tetap menikmati harumnya angin musim dingin itu. wangi yang mengingatkannya pada aroma tubuh seorang gadis berambut panjang Indigo, bermata secerah bulan purnama.

Gadis pemilik nama Hyuuga Hinata.

Dan saat mengingat sederet nama tersebut, ia mengingat kejadian ketika gadis itu berusaha menghiburnya yang err… patah hati disebabkan ia melihat sosok orang yang sangat ia cintai telah saling menukarkan bibir dengan sahabat yang paling ia sayangi.

Hinata bahkan menerima segala caci-maki dan kata-kata kasar yang keluar dari bibir Naruto. padahal sudah jelas Hinata tak layak mendapatkan itu semua. Mengingat bahwa apa yang terjadi di antara Sasuke dan Sakura saat itu murni keinginan mereka. Bukan atas perintah siapapun terutama Hinata.

Tetapi, Entah mengapa, Ia ingin meluapkan emosinya saat melihat wajah cantik gadis itu. Tidak. Ia rasa lebih tepat jika dikatakan bahwa lelaki itu perlu seseorang untuk mendengarkan ceritanya. Dan gadis itulah yang menawarkannya. Menenangkan dirinya yang sendang kalut malam itu.

'Aku akan berusaha bersikap lebih baik pada Hinata.' Akhirnya, batinnya memberi sebuah perintah untuk dirinya.

'Tentu saja bukan karena aku suka padanya. Aku 'kan, masih menyukai Sakura-chan!'

Mata Sapphire milik Naruto memandang langit kelam di atasnya. Tak satu butir pun pendar bintang terlihat di sana. Mungkin disebabkan oleh gumpalan awan hitam yang berarak di atas sana. Menutupi hampir seluruh langit malam.

Naruto mengangkat salah satu tangannya untuk meraba kantong celananya. Ia memasukkan telapak tangannya ke dalam kantong tersebut dan keluar dengan menggenggam sebuah gantungan kunci dari logam keperakan berbentuk hati dengan lambang huruf 'H' berwarna keunguan di sisi tengahnya. Lima buah titik kecil serupa permata yang berwarna merah muda terlihat mengitari bagian pinggir gantungan itu. ia menyematkan jari telunjuknya pada lubang gantungan kunci tersebut sehingga gantungan itu tergantung di jarinya, tepat di atas wajahnya.

Ia kembali membayangkan wajah Hinata saat melihat gantungan tersebut.

"Yosh!" Ucapnya keras penuh semangat. "Besok akan kukembalikan ini pada Hinata!"

~'~"~'~

.

.

.

~'~"~'~

Naruto Belongs to Masashi Kishimoto

Title :

~Keep My Promise! I Wanna Make You Cry!~

Author : Rurippe no Kimi

Type : AU (Alternative Universe), OOC Tingkat tinggi(Maybe?) terutama character Hanabi, Hinata dan Naruto, Gaje, sahabat saya si Typo(S), Lebay, Alur kelambatan, DLL,

Genre : Romance, Hurt/Comfort, Friendship.

Main Character : Hinata and maybe Naruto

Other Character :Sakura and Sasuke

Warning :

.

"Bla… bla…" : Percakapan biasa.

"Bla… bla…" : percakapan melalui suatu media, missal telepon, TV, radio, dll

'Bla… bla…' : isi hati, bicara dalam hati

(Tau bedanya, 'kan?)

.

.

If you Don't like , Don't read, Don't FLAME

If you Don't like , Don't read, Don't FLAME

If you Don't like , Don't read, Don't FLAME

If you don't like, don't read, don't FLAME

(Sudah Diingatkan 4 kali ya…!)

Enjoy please!^_^

.

.

.

~'~"~'~

.

.

.

Chapitre 4

.

.

.

"Hinata?" Ucap Neji saat melihat adik sepupunya baru saja keluar dari rumah dengan menenteng tas sekolah di lengan kirinya.

"Ah, Neji-niisan." Hinata sedikit terperanjat menemukan kakak sepupunya tengah berada di sampingnya sembari menuntun sepedanya, keluar dari gudang di sebelah rumah mereka. "Mau berangkat juga?"

Neji-yang di tanya- hanya mengangguk sebagai jawaban. Kemudian memanggil Hinata sekali lagi dan berkata, "Ikut denganku saja. Aku akan memboncengmu sampai sekolah."

Hinata memainkan ujung-ujung telunjuk kedua tangannya dan menolak dengan lembut, takut menyakiti hati Neji yang sudah berbaik hati menawarkan bantuan padanya. Walaupun sebenarnya bukan pertama kalinya lelaki itu mengajaknya berangkat bersama. "Ti-tidak usah repot-repot, Neji-niisan. Aku lebih suka jalan kaki dan naik bus…"

Neji yang mendengar penolakan dari gadis itu hanya bisa membuang nafas. "Kalau begitu aku duluan. Berhati-hatilah!" sedetik kemudian, lelaki itu sudah mengayuhkan pedal sepedanya dan melaju meninggalkan Hinata di belakangnya.

Sedangkan Hinata sendiri, segera melangkah meninggalkan rumahnya, menuju halte bus.

~'~"~'~

Kali ini, tak sepagi biasanya, gadis berambut sepinggang itu telah sampai di halte bus tempat ia biasa menunggu datangnya sebuah bus yang akan mengantarkannya ke sekolah. Ia sengaja datang lebih santai hari ini. Tak ada niatan sama sekali untuk datang lebih awal dan menunggu lelaki 'itu' seperti biasa.

Ia tahu bahwa kejadian beberapa hari yang lau, saat Naruto memeluk pinggang rampingnya itu, membuktikan bahwa pemuda yang seumur dengannya tersebut –sepertinya- sudah mulai melunakkan perlakuannya pada Hinata. Namun, Hinata tak berani berharap terlalu jauh. Ia takut jika apa yang terjadi waktu itu hanyalah sebuah mimpi indah di antara ribuan mimpi yang pernah ia alami.

Saat gadis itu tengah asyik menikmati kesendiriannya di bawah halte bus, ia dapat merasa seseorang dari kejauhan telah menatapnya dan berjalan ke arahnya. Hinata segera memalingkan pandangannya yang semula menatap lurus ke depan, menjadi ke kanannya, tepat di arah di mana orang tersebut datang. Dengan memperhatikan ciri fisik orang tersebut, Hinata tahu bahwa yang tengah melangkah menujunya itu adalah…

… Namikaze Naruto.

Tepat saat itu, sebuah bus telah menepi di hadapan halte bus. Membunyikan klaksonnya seolah menawarkan tumpangan bagi siapapun yang berada di halte itu. Hinata yang merasa takut-jika Naruto akan menghindarinya seperti dulu, segera berlari menuju bus tersebut dan menghampiri tempat duduk yang terletak sedikit di belakang. Ia mengambil tempat duduk di sebelah jendela bus yang berhadapan dengan jalan.

Pintu bus itu perlahan mulai menutup diiringi dengan mulai berjalannya bus itu meninggalkan halte.

Hinata memilih menatap kendaraan-kendaraan yang berlalu lalang di tengah jalan raya melalui jendela bus. Tiba-tiba, ia merasa tempat duduk kosong di sebelahnya sedikit bergoyang. Pertanda seseorang telah mendarat di sana untuk duduk. Hinata sedikit memutar kepalanya untuk melihat wajah seseorang yang telah duduk tepat di sebelahnya.

Dan betapa terkejutnya gadis itu saat mengetahui siapa yang duduk di sebelahnya itu.

Seseorang yang selama ini ada dalam pikirannya.

Seseorang yang baru saja ia hindari karena takut insiden yang sama akan terulang lagi.

Namikaze Naruto.

Ya. anak tunggal keluarga Namikaze itu tengah duduk di sebelahnya dan memerhatikannya dengan lekat. Hinata bahkan tak mengerti arti dari tatapan Naruto yang di lemparkan untuknya. Hinata dapat merasakan kaki kirinya-yang tertutup rok seragam sekolah-menyentuh kaki kanan Naruto yang duduk di kirinya.

Berdebar? Tentu saja!

Gadis itu mendengar detak jantungnya berbunyi 'dug-dug' seakan siap meledak kapanpun. seluruh tubuhnya bagai disengat ribuan listrik. Bergetar dari relung hatinya, hingga ke setiap ujung jari tangan dan kaki.

Entah berdebar karena takut lelaki itu akan kembali menyakitinya, atau karena manusia yang ia cintai tengah berada di sampingnya.

Hinata yang gugup, tak tahu harus bertingkah seperti apa. Ia hanya bisa memainkan kedua jari telunjuknya dengan cara mempertemukan kedua ujungnya.

"Ohayou…" Sebuah suara yang begitu di rindukan Hinata menyapa.

"… Hinata…"

Deg.

Sebuah senyuman lima jari yang khas melengkapi salam Naruto kepadanya. Bahkan lelaki itu memanggilnya dengan nama kecilnya.

Sama seperti dulu.

Sebelum janji 'bodoh' tercipta di antara mereka.

Hinata tersenyum malu-malu sambil membalas salam Naruto.

"O-Ohayou gozaimasu, Naruto… -kun…"

~'~"~'~

Setibanya Hinata dan Naruto di depan gedung sekolah mereka, sebuah suara menginterupsi suasana di antara mereka.

"Hmm… Mesranya…" Ucap suara itu muncul dari belakang Hinata dan Naruto, menengahi mereka dan dengan santainya meletakkan lengan kanannya di atas pundak bagian kiri Naruto sedangkan lengan kirinya ia letakkan seenaknya di pundak kanan Hinata. "Sudah lama aku nggak lihat kalian barengan ke kelas. Ada apa? Habis cerai dan sekarang sudah rujuk lagi?" Goda lelaki bertato segitiga terbalik di kedua sisi pipinya itu dengan sepasang cengiran.

Hinata terkejut mendengar celetukan lelaki bernama Kiba itu. Bagaimana bisa laki-laki itu mengatakan hal itu dengan santainya?

Bagaimana jika Naruto tidak terima mendengar perkataan Kiba barusan-yang sebenarnya hanya sebuah candaan dan Hinata tahu itu- dan kembali bersikap kasar seperti beberapa saat yang lalu?

Tak tahukah dia bahwa membuat Naruto kembali bersikap hangat kepada Hinata itu memerlukan usaha yang sangat keras?

"A-a-a… tidak seperti itu, kok, Ki… ba… -san…" Hinata berkata dengan logat andalannya yaitu gugup.

"Ya Ampun, Kiba! Candaanmu nggak lucu, tau!" Ujar Naruto menyingkirkan lengan Kiba dari atas pundaknya. "Dasar pecinta 'Guk-guk'!" Celetuk Naruto asal.

"Apa katamu? Dasar mata rubah!" Kiba yang tidak terima ejekan Naruto, balas menghina. Setelah itu, lelaki tersebut mengepalkan tangannya dan mengarahkannya pada Naruto. Tapi sebelum mengenai perutnya, Naruto sempat berkelit sehingga kepalan tangan Kiba hanya meninju ruang kosong di sekitar Naruto.

Kiba yang kesal karena tak dapat menghajar Naruto, kembali berusaha. Melihat hal itu, Naruto segera berlari meninggalkan Kiba. "Wee! Terlalu cepat seribu tahun buatmu untuk memukulku!" Naruto menjulurkan lidahnya di sela-sela ejekannya.

Kiba semakin kesal akibat kelakuan lelaki oranye itu yang tertawa keras sambil berlari meninggalkannya. Sontak Kiba segera berlari mengejar Naruto hingga kedua manusia itu hilang di ujung belokan tangga.

Hinata menghela nafas lega. Syukurlah Naruto tidak berbuat 'buruk' padanya kali ini.

~'~"~'~

"Hinata-chan, Hinata-chan!"

Hinata yang merasa seseorang menghampiri bangkunya dan memanggilnya berkali-kali, segera menoleh dan menghadapkan pandangannya pada sang pemanggil yang ternyata adalah sahabatnya yang baru saja memasuki pintu kelas.

"Ohayou Gozaimasu, Sakura-chan." Ucap Hinata sebagai jawaban atas panggilan Sakura. Sakura yang kini telah sampai di dekat Hinata, mengambil sebuah kursi yang masih kosong dari tempat di sebelah Hinata dan segera menggesernya ke depan meja Hinata.

"Ohayou! Ne, ne, Hinata-chan!" Sakura meletakkan kedua lengannya di atas meja Hinata dan meletakkan dagunya di atas pangkuan lengan tersebut. "Pembicaraan kita kemarin belum selesai, lho!"

Hinata menatap Sakura bingung. "Pembicaraan yang mana?"

Sakura menatap Hinata dengan sedikit melirik ke atas mengingat Hinata yang duduk dengan posisi badan tegak di hadapannya. "Itu, tuh… Sasuke-kun." Jawabnya menyebut sebuah nama. "Bantu aku menyusun strategi yang tepat untuk bertanya padanya."

Hinata menghembuskan nafasnya pelan. "Kan… tinggal bertanya saja padanya…"

"Tapi, 'kan…, nggak semudah itu, Hinata-chan…"

"Hmm… " Hinata terlihat berfikir. "Pergi ke tempat yang sepi saja… Seperti halaman belakang sekolah atau perpustakaan…"

Sakura mengangguk-anggukkan kepalanya pertanda setuju dengan saran dari Hinata. "Benar juga, jika aku berdua saja dengannya, akan lebih mudah menanyakan perasaannya padaku… " Sakura bergumam pada dirinya sendiri.

Dan tepat saat itu, Seorang lelaki dengan rambut raven tengah memasuki kelas. Sebuah kacamata minus membingkai permata Obsidian yang berkilat arogan.

"O-ohayou, Sasuke-san…" Sapa Hinata saat melihat lelaki itu melewati Sakura dan dirinya.

"Hn." Balas Sasuke seadanya.

"Ohayou, Sasu-"

Salam Sakura harus terputus karena orang yang akan ia beri salam sudah melangkah pergi ke bangkunya, meninggalkan dua orang gadis manis terpaku di tempatnya.

"-ke-kun… Tuh kan, Hinata-chan!" Sakura kembali menghadap Hinata setelah sebelumnya mengekori gerak lelaki yang disukainya hingga lelaki itu duduk di bangkunya. "Dia membalas salammu, tapi nggak membalas salamku. Parahnya lagi, dia nggak membiarkan aku menyelesaikan salamku untuknya!" Omel gadis itu frustasi. Tentu saja setengah berbisik agar Sasuke yang notabene duduk tidak jauh di belakang Hinata, tidak mendengarnya.

"Mu-mungkin dia tidak tahu kalau Sakura-chan akan memberinya salam …"

"Dia itu sebenarnya nganggap aku apa si… h!" Kali ini, Sakura telah memelorotkan kepalanya dan membenamkan wajahnya pada lengannya yang bertumpuk di atas meja, seakan tidak mendengar kalimat penghiburan dari Hinata.

"Sakura-chan…" Hinata menatap Sakura dengan iba. Jujur saja, ia sendiri juga tidak mengerti dengan jalan pikiran saudara sepupunya itu. Dengan perlahan, Hinata mengelus puncak kepala merah muda Sakura guna menenangkan sahabatnya itu.

Sekilas, Hinata dapat mendengar Sakura menggerutu kecil,

"Sasuke-kun no… Baka!"

~'~"~'~

"Baiklah, Pelajaran hari ini cukup sampai di sini saja." Perintah seorang guru perempuan seusai berderingnya bel sekolah. "Kalian boleh istirahat. Dan kamus yang telah kalian pinjam tadi, kumpulkan saja di meja guru agar lebih mudah mengembalikannya ke perpustakaan." Sambung guru cantik berambut gelombang panjang tersebut sembari merapikan tumpukkan kamus setebal batu-bata yang ia bawa untuk memudahkannya mengajar.

Isi kelas langsung saja berhamburan ke luar kelas. Beberapa pergi menuju kantin dengan teman satu geng-nya, ada yang memilih mengunjungi kelas lain, ada yang lebih suka bermain bola di lapangan dan bahka ada yang memilih untuk berdiam diri di dalam kelas karena malas melangkahkan kakinya.

Hinata masih berdiam diri di bangkunya sebab gadis berkulit porselen itu belum selesai menyalin catatan yang berada di papan tulis ke dalam buku catatannya. Sebuah kebiasaan gadis Hyuuga itu adalah kemampuan menulisnya yang lama. Walaupun sebagai gantinya, tulisan yang ia hasilkan sangat rapi nan teratur.

Sementara di sudut ruangan, seorang pemuda yang sama sekali tak memerhatikan pelajaran yang diberikan sang guru, terlihat masih mengawangkan pikirannya di dunia lain. Dunia mimpi maksudnya.

"Namikaze-kun! Ya ampun!" Ujar sang guru kesal melihat salah satu muridnya itu masih tertidur di pojokan kelas. Ia menghampiri Naruto dan memukul pelan meja makhluk serba jingga itu. Naruto yang tersentak kaget, segera membuka matanya. Memamerkan sepasang langit biru di sana.

"Ohayou, Kurenai-sensei…" Katanya dengan mata yang masih setengah terbuka.

"Ck." Sang guru yang bernama Kurenai berdecak kesal. "Apa kau sama sekali tidak mendengarkan pelajaranku tadi?" Kali ini ia berkacak pinggang, setengah menahan perutnya yang sedikit membuncit. "Sebagai hukuman, bawakan tumpukkan kamus di atas meja itu…" Kurenai menunjuk puluhan kamus tebal di atas meja dengan telunjuk kanannya. "… Dan bawakan ke perpustakaan."

"Eeh!" Naruto terkesiap melihat tumpukkan kamus yang sudah seperti benteng di atas meja guru. "Banyak banget! Nggak mau!" Protesnya dan mendapat sebuah tatapan tajam dari guru cantik itu.

"Aku juga tak mau membawa itu! tidak baik untuk kandunganku." Ujar Kurenai sembari mengelus-elus perutnya lembut. "Tadi pagi aku menyuruh Aburame-kun dan Nara-kun untuk membawanya kemari. Karena mereka sudah keluar kelas sejak tadi, aku tidak bisa menyuruh mereka lagi."

'Kalau gitu, seharusnya sejak awal nggak usah pake bawa kamus tebal segala!' Batin Naruto kesal.

"Pokoknya, jangan protes dan bawa itu ke Perpustakaan." Perintah Kurenai meninggalkan bangku Naruto dan mengambil tasnya di meja guru. "Oh, Iya, Hyuuga-san." Guru itu berbalik setelah sebelumnya ia berjalan menuju pintu kelas. "Tolong kau bantu Namikaze-kun membawakan kamus-kamus itu ke perpustakaan. Jika aku biarkan dia pergi sendiri, aku takut kamus itu tak akan sampai perpustakaan." Ucapnya santai sebelum melanjutkan langkahnya keluar kelas. Tanpa menunggu persetujuan Hinata sama sekali.

"Ha-Hai'." Hinata yang kebetulan saja baru akan mengeluarkan kotak makannya, terpaksa harus menyimpan kembali bekalnya dan bergegas menghampiri Naruto yang sudah mulai mengangkuti kamus-kamus itu.

Naruto yang melihat Hinata tengah mendatanginya, memerintahkan Hinata untuk mengedepankan kedua tangannya dan meletakkan delapan tumpuk buku di tangan Hinata. sedangkan dirinya sendiri membawa empat belas tumpuk buku hingga wajahnya tertutup tumpukkan kamus itu.

"Na-Naruto-kun… " Naruto melirik saat namanya disebut Hinata. "K-Kenapa aku hanya membawa segini? Ng-nggak adil kalau aku cuma bawa segini…" Hinata merasa tidak enak pada Naruto yang membawa lebih banyak kamus darinya. Terutama dengan jumlah yang tidak seimbang.

"Daijoubu, Daijoubu…" Ujarnya santai. Setelah itu, ia melangkah keluar kelas dengan sesekali menengok ke kanan atau kirinya, mengingat ia tak dapat memandang lurus ke depan karena pandangannya terhalang kamus yang bertumpuk membentuk sebuah dinding kecil.

"Hinata?" Kali ini giliran Naruto yang memanggilnya. Hinata yang terkejut dirinya dipanggil, segera menghampiri Naruto.

"E-eh?"

"Ayo!" Seru lelaki itu menunggu Hinata berjalan beriringan dengannya.

"Ah! H-Ha'i!"

Kemudian, Kedua manusia itu berjalan beriringan meninggalkan ruang kelas mereka. Terus terdengar dumelan Naruto yang masih tak terima harus membawa kamus ke perpustakaan. Ia terus berkata tentang 'bukan dia yang meminjam kamus itu dan kenapa harus ia yang mengembalikan' dan semacamnya. Hinata hanya dapat tersenyum dan terkekeh kecil karena cara Naruto kesal terlihat sangat lucu di matanya.

Gadis itu sungguh sangat bersyukur kepada Kamisama karena sikap Naruto kali ini lebih baik dari sebelumya. Bukan. Sikap Naruto telah kembali seperti semula. Benar-benar kembali seperti semula seakan kejadian-kejadian beberapa hari yang lalu tidak pernah terjadi di antara mereka.

Entah mengapa, semua beban di hati maupun pikirannya mulai menghilang sekarang.

Bagaikan genangan kecil di tepi jalan yang menguap setelah dipanaskan oleh terik matahari.

Dan saat itu, tanpa mereka sadari, sepasang manusia berbeda gender telah memasuki ruang perpustakaan dengan tangan sang gadis menarik pergelangan tangan sang pemuda. Tepat beberapa detik sebelum Naruto dan Hinata memasuki ruang perpustakaan.

~'~"~'~

"Yosh! Kami taruh di sini saja, ya!" Naruto meletakkan kamus-kamus yang dibawanya di salah satu atas meja baca di ruang perpustakaan itu. "Cepat Hinata. Taruh saja di situ, setelah itu kita keluar dari sini!" Ujar lelaki itu pada gadis berambut gelap di kirinya.

"Ehem!" Sebuah suara menyela kegiatan mereka. "Siapa yang mengizinkanmu meletakkannya di sana, Namikaze!" Ketus sang penjaga perpustakaan dari balik mejanya. "Kembalikan ke tempatnya! Rak bagian kamus-kamus ada di bagian sana…" Sang penjaga perpustakaan melayangkan telunjuknya ke sebuah rak yang terletak agak belakang. "Rak yang berada di deretan ketiga dari rak yang paling belakang. Letakkan kamus-kamus itu di rak nomor empat dari atas."

"Apa!?" Naruto bersiap untuk mengajukan keberatan. "Bukan aku yang meminjamnya, kenapa harus aku yang mengembalikannya ke rak?"

Sang penjaga perpustakaan seolah tak mendengar suara penuh protes milik Naruto, memalingkan tatapannya pada Hinata yang berdiri di sebelah Naruto dan berkata, "Tolong, ya, Hyuuga…" dengan senyum penuh makna. Tentu saja ia tahu bahwa gadis yang terkenal dengan kelemah-lembutannya itu, tak akan menolak permohonan orang lain.

Dan apa yang di duga si penjaga perpustakaan itu memang benar. Hinata menaik turunkan kepalanya pertanda mengiyakan permintaan-perintah- itu.

"Hei, Hin-"

"Dan kau harus membantunya, Namikaze!"

"Tapi-"

"Ssst! Dilarang ribut di perpustakaan!" Sang penjaga perpustakaan mengakhiri perdebatan antara dirinya dengan Naruto dengan kata-kata yang tidak dapat dibalas Naruto.

Naruto yang melihat Hinata sudah berjalan mendahuluinya, terpaksa mengekor dengan kembali menggendong empat belas tumpuk kamus yang sebelumnya ia letakkan di atas meja.

"Su-sudahlah, Naruto-kun… k-kalau Naruto-kun tidak mau mengerjakannya, biar aku saja yang melakukannya. Aku nggak keberatan, kok…" Hinata berusaha menenangkan Naruto agar lelaki itu tidak memasang wajah kesalnya. Dengan penuh senyum, ia –berusaha- memandang Naruto yang berjalan beberapa langkah di belakangnya, dengan cara Hinata diam sejenak dan sedikit memutar tubuhnya. Lalu, ia kembali menghadapkan tubuhnya ke depan dan kembali berjalan menuju sebuah rak yang bertuliskan 'Dictionary' di bagian atasnya.

"Huft…" Naruto menghembuskan nafas berat. "Nggak apa… Akan kubantu. Lagipula yang sebenarnya disuruh, 'kan, aku…"

~'~"~'~

"Yak! Sedikit lagi…" Hinata bergumam pelan kepada dirinya sendiri. Namun, gumamannya itu cukup jelas di telinga Naruto yang berdiri tepat di samping kirinya. Bahkan, lengan Hinata dan Naruto sesekali bersentuhan seiringan dengan mereka meletakkan kamus-kamus di tangan mereka ke rak-rak dan mengaturnya hingga rapi. Kini, tiga perempatnya sudah berada di rak yang sesuai sementara seperempat lainnya masih ada di dalam dekapan mereka.

Naruto melirik Hinata yang berada di sebelahnya dengan pelan-pelan. Ia tak ingin tertangkap basah tengah memerhatikan Hinata. Tangannya-pun masih sibuk mengatur beberapa kamus di rak yang benar.

Naruto dapat melihat Hinata memasang wajah serius saat menyusun kamus itu. Sesekali, keningnya berkerut saat buku kamus yang ia susun bergerak ke arahnya dan hampir jatuh ke lantai. Sesekali pula, gadis itu menyisipkan beberapa anak rambutnya yang jatuh, ke sela-sela telinganya. Hingga Naruto dapat melihat wajah menyamping Hinata dengan semakin jelas.

Lelaki itu tertegun sejenak.

Wajah gadis itu, setiap lekuknya terlihat begitu tajam. Tanpa noda ataupun jerawat. Bulu matanya yang lentik, memanjang dan melengkung ke atas. Tatapan matanya yang sayu nan lembut serta kelopak matanya yang sesekali berkedip membuat matanya terlihat semakin menarik di Sapphire-nya. Hidungnya yang mancung, pipinya yang terlihat kemerahan, bibirnya yang pink alami membuat lelaki itu merasa ingin mengecupnya. Benar-benar hasil karya tuhan yang sempurna di matanya.

Cantik.

Sebuah kata yang tepat untuk mendeskripsikan Hyuuga Hinata.

Tu-Tunggu!

Barusan ia mengatakan apa?

Cantik?

Tidak. Tidak. Naruto rasa, ia sudah mulai tidak waras. Satu-satunya gadis yang akan ia sebut cantik adalah Sakura. Haruno Sakura. Bukan gadis lain.

Bukan Hyuuga Hinata.

Naruto yang sempat mengalihkan tatapannya dari Hinata, sekarang kembali melirik gadis di sebelahnya itu lagi. Sekali lagi, ia ingin melihat sosok Hinata yang masih sibuk mengatur buku dan tidak sadar bahwa dirinya sedang diperhatikan.

Dan… Apa itu?

Saat itu, ia melihat sesuatu berjalan pelan dari bagian samping dahi Hinata, berjalan pelan, mengalir pelan hingga akhirnya bergelantungan di ujung dagu Hinata dan menetes jatuh ke lantai.

Naruto segera menggelengkan kepalanya cepat, meneguk salivanya dengan segera. Ia berharap, pikiran-pikiran anehnya barusan segera hilang.

Bagaimana bisa setetes keringat yang mengalir di kening Hyuuga Hinata bisa membuat gadis itu terlihat err… menggoda di matanya?

Pada Sakura yang ia sukapun, Dia tidak pernah berpikiran seperti itu.

Ia rasa, ia benar-benar sudah hampir gila.

"Na-Naruto-kun?"

Suara itu mengejutkan Naruto. Dengan segera, ia memutar kepalanya dan menghadap pada sang pemilik suara yang telah memanggilnya. Ia kembali terkejut.

Wajah Hinata kini berada di depan wajahnya.

Tepat di depannya. Entah berapa sentimeter jarak yang terpaut antara wajahnya dengan wajah gadis itu.

Dan Naruto kembali berdecak kagum dalam hati.

Wajah gadis itu bahkan terlihat lebih cantik saat berhadapan dengannya. Lebih cantik dari sebelumnya ketika gadis itu berdiri menyamping hingga Naruto hanya dapat melihat sebagian wajahnya saja.

Mengapa ia tidak pernah sadar bahwa gadis yang selama ini megejarnya bisa secantik ini?

"A-Apa, Hi-Hi-Hi-Hinata?" Untuk pertama kalinya, ia merasa lidahnya sulit untuk berkata-kata. Naruto segera memalingkan wajahnya agar tak perlu terlalu lama menatap Hinata. ia segera memutar tubuhnya hingga membelakangi Hinata. Ia tidak ingin Hinata melihat wajahnya yang memerah hanya karena gadis itu berdiri dekat dengannya.

"N-Naruto-kun, Daijoubu desuka?" Hinata menatap punggung Naruto dengan khawatir. Ia ingin menyentuh punggung tersebut, namun tak memiliki keberanian sama sekali. "Da-dari tadi terdiam begitu saja ta-tanpa mengatur kamus. A-Apa Naruto-kun sakit?"

"Ti-Ng-Nggak, k-kok!" Ya Ampun! Ia bersumpah akan menghantamkan kepalanya ke dinding hingga dinding itu berubah menjadi merah oleh darahnya. Bagaimana bisa seorang Namikaze Naruto yang selalu berbicara seenaknya sendiri tanpa pikir panjang, bisa kehilangan kepercayaan dirinya dan berubah menjadi manusia gagap seperti itu?

Akhirnya Naruto kembali menghadapkan tubuhnya ke arah rak buku dan mengambil sebuah buku di genggamannya lalu meletakkannya di rak.

Tangan Hinata bergerak pelan untuk menyentuh dahi Naruto. Naruto tak dapat menghindari tangan mungil itu karena kini tangan tersebut sudah menempel di dahinya.

"Na-Naruto-kun demam!" Ucap Hinata cemas sebelum menarik kembali tangannya ke dekapannya.

"Eh? Benarkah?" Naruto ikut menyentuh keningnya sendiri. "Tidak, kok..."

"Kalau demam, seseorang nggak akan bisa merasakan suhu tubuhnya sendiri, 'k-kan?"

Naruto mengangguk-angguk. "Ah! Benar juga… mungkin karena aku ketiduran di atap rumah semalam, dan sekarang aku kena flu. Hehe…"

'Benar juga, mungkin perasaan anehku saat melihat Hinata adalah karena aku sedang demam…' Batin lelaki itu mencari alasan untuk dirinya sendiri.

Lelaki itu melemparkan senyum lima jarinya pada Hinata. Tanpa sepengetahuannya, hal itu membuat Hinata memompa jantungnya delapan kali lipat.

"E-eh? Di-di atas atap? Mu-musim dingin begini? Pantas saja…" Hinata mengambil sebuah buku dari tangan Naruto dan menyisakan sebuah kamus terakhir di tangan Naruto. "A-Aku akan membantu Naruto-kun agar cepat selesai. Se-setelah itu, kita pergi ke UKS dan mencari obat untuk Naruto-kun…"

Naruto berdehem mengiyakan ajakan Hinata. Ia melihat Hinata entah untuk keberapa kalinya. Padahal tumpukkan kamus yang dipegang gadis itu sendiri masih ada dua, ia justru menambahnya dengan mengurangi kamus yang ada pada Naruto.

Naruto tiba-tiba teringat akan sesuatu yang masih bersemayam di saku celana seragamnya. Ia memasukkan salah satu tangannya yang tidak memegang kamus ke dalam saku tersebut dan menggenggam sesuatu itu dengan erat.

Sebuah gantungan kunci berbentuk hati milik Hinata.

Benda yang sudah ia rencanakan akan ia kembalikan pada Hinata hari ini juga.

Pemuda berambut secerah mentari itu kembali menatap Hinata dari samping. Bibirnya menyunggingkan senyum. Ia membayangkan wajah cantik itu dalam senyuman bahagia saat menerima gantungan kunci dari dirinya. Senyuman manis saat tahu bahwa gantungan kunci yang selama ini gadis itu cari ternyata telah ketemu. Ia tak sabar menantikan saat itu.

Akhirnya, Naruto-pun meletakkan kamus terakhir itu di tempatnya. "Yosh! Akhirnya selesai juga!" Serunya sambil mengepalkan satu tangannya ke udara, Sahking senangnya. Hinata tersenyum saat melihat tingkah Naruto.

Ketika Hinata akan meletakkan kamus terakhir dalam genggamannya, tiba-tiba saja pandangan gadis itu berubah. Sesuatu di antara celah buku itu mengalihkan perhatiannya, mengalihkan segalanya. Ia memandang dengan tatapan terkejut dan tak dapat diartikan oleh siapapun.

Naruto yang melihat perubahan raut wajah Hinata segera menghampirinya dan memberinya sebuah pertanyaan, "Ada apa, Hinata?"

Hinata dengan cepat menutup celah antar buku –tempatnya melihat pemandangan yang 'menakutinya' itu- dengan kamus terakhir yang ia pegang. Meski ia tahu, bahwa kamus itu seharusnya tidak berada di bagian itu.

"Kau ini kenapa, sih, Hinata?" Naruto menggeser tubuh Hinata dengan perlahan dan kini ia telah memposisikan dirinya di belakang Hinata berdiri. Karena ia lebih tinggi dari Hinata, ia masih dapat melihat kamus yang letaknya salah akibat ulah Hinata tersebut dan Ia berusaha meraih kamus itu. "Kamus ini seharusnya tidak di sini…"

"Ja-Jangan, Naruto-kun!" Hinata melarang Naruto dengan cara memutar tubuhnya sendiri hingga menghadap Naruto dan mendorong dada bidang Naruto di depannya dengan kedua tangannya. Karena tubuhnya yang lebih kecil dan tenaganya yang lemah, Naruto mengabaikannya.

"Seharusnya, Kamus ini di-"

Naruto menghentikan kalimatnya sendiri tepat setelah kamus yang salah tempat itu ia tarik dari tempat asalnya. Karena dari celah yang tercipta akibat berkurangnya sebuah buku di deretan buku itu, Naruto dapat melihat pemadangan yang sebelumnya dilihat oleh Hinata.

Dan apa yang dilihat oleh sepasang mata Sapphire-nya saat itu benar-benar membuatnya terbelalak kaget.

~'~"~'~

Beberapa saat yang lalu

Seorang gadis berambut sewarna dengan gulali segera bangkit dari duduknya sesaat setelah ia mendengar bel pertanda istirahat berdering. Setelah menarik nafas dan menghembuskannya sebanyak satu kali, ia membalikkan tubuhnya dan berjalan perlahan menghampiri lelaki yang duduk tepat di belakang bangkunya. Lelaki bernama Sasuke itu tengah sibuk mengusap lensa kacamatanya agar tampak lebih bersih.

"Sasuke-kun." Panggilnya setelah berdiri di sisi Sasuke.

"Hn." Yang dipanggil sama sekali tidak menatap gadis yang memanggilnya. Ia masih berkutat pada kacamata minus di tangannya.

"Bisa ikut aku sebentar?" Sakura meletakkan salah satu tangannya di atas meja Sasuke.

Tak ada jawaban.

Lelaki itu tidak berbicara sepatah-dua patah katapun. Membuat Sakura kesal dibuatnya.

"Sasuke-kun!" Sakura kini sedikit membungkukkan tubuhnya hingga condong ke arah Sasuke. Dan disebabkan masih tidak menerima jawaban apapun, Sakura memutuskan untuk menarik lengan lelaki yang memiliki kulit lebih putih darinya itu. Menarik lengan Sasuke dengan kedua tangannya agar lelaki itu berdiri dan pergi mengikutinya.

"Sakura. Aku malas." Ucap Sasuke tanpa memberi perlawanan pada tingkah Sakura.

"Please! Ada yang mau aku bicarakan denganmu…" Pinta Sakura dengan pandangan mata yang ia buat sememelas mungkin. "Penting!"

Sasuke terdiam sejenak memandang gadis yang kini tengah menarik-narik tangannya itu. Ia yakin seragam yang ia kenakan bisa robek cempang-camping seketika itu juga jika ia tidak menuruti keinginan teman masa kecilnya yang satu ini.

"Sasuke-kun…"

"Hei, Sasuke-kun…"

"Sasukee… -kun…" Sementara Sasuke sibuk menimbang-nimbang antara menuruti keinginan Sakura atau tidak, Sakura –sesungguhnya- sendiri sibuk menata hatinya sekuat tenaga. Bagaimana tidak? Sasuke yang ia sukai sedang memandangnya dengan tatapan mata yang tak dapat Sakura tangkap artinya. Sakura yakin, jantungnya bisa meledak saat itu juga jika tatapan intens Sasuke tak berhenti.

"Sasuke-kun..." Sudah lebih dari dua belas kali kali Sakura memanggilnya. Sasuke meletakkan kacamata dengan frame berwarna biru dongker miliknya di atas meja. Dan dengan salah satu tangannya, ia memijit keningnya pelan. Walau tak ia tunjukkan, jauh di dalam hatinya, ia merasa lelah dengan Sakura. Ia heran dengan manusia berkekuatan super seperti Sakura atau Naruto. Sasuke berpikir, tak lelahkah gadis dihadapannya ini memanggil namanya dengan jeda kurang dari tiga detik? Bahkan ia tak dapat berfikir matang-matang untuk mengambil keputusan yang benar.

"Sasuke-k-"

"Hn. Baiklah. Aku akan ikut kau." Sasuke akhirnya berdiri dari tempat duduknya. "Karena itu, berhentilah memanggilku setiap dua detik sekali. Kau membuatku pusing." Sang raven menggeser Sakura agar sakura tidak menghalangi langkahnya.

Sakura tersenyum sumringah. Walaupun kata-kata yang dilontarkan Sasuke cukup menusuk hati, tapi, tak apalah. Daripada lelaki itu tidak mau menuruti permohonannya.

"Baiklah. Ikut aku!" Sakura menggenggam pergelangan tangan Sasuke. Berjalan melalui Hinata yang sedang asyik menyalin catatan di papan tulis yang belum selesai di tulisnya. Berjalan meninggalkan kelas yang sudah mulai sepi karena siswa-siswinya sudah mulai menikmati jam istirahat hari itu.

~'~"~'~

Sasuke membiarkan dirinya diseret-seret Sakura melalui koridor kelas, berjalan menuruni tangga hingga akhirnya sampai tepat di depan pintu sebuah ruangan. Sebelum gadis itu membuka pintu ruangan tersebut, Sasuke sempat melirik papan nama yang tergantung tepat di atas pintu ruangan itu.

Tertulis dengan jelas kata 'Perpustakaan' di atas sana. Membuat dahi Sasuke kembali berkerut.

Setelah Sakura berhasil membuka pintu ruangan itu, ia masih menarik Sasuke masuk lebih dalam bagian perpustakaan, menuju bagian rak-rak buku terdalam. Tempat sepi yang tak ada satu orang pun melangkah kesana.

Setibanya di sela-sela antara sebuah rak besar dengan rak lainnya, Sasuke dapat merasakan genggaman tangan mungil Sakura padanya mengendur. Sasuke menarik tangannya dan kemudian mengelus-elus pergelangan tangannya itu pelan. Tak ia sangka tenaga Sakura cukup kuat untuk membuat pergelangan tangannya memerah hanya karena di genggam oleh gadis itu.

Sakura menarik nafas pelan sebelum memutar badannya menghadap Sasuke. Ia mulai mengatur nafas dan merangkai kata-kata yang tepat untuk ia ucapkan kepada Sasuke.

Hening.

Senyap.

Kesunyian memeluk mereka dengan mesra.

Sakura yang merasa suasana di antara mereka sudah semakin canggung, mulai memikirkan cara untuk mencairkan suasana tersebut.

"Ng… Sasuke-kun, bagaimana makanan yang aku antar kemarin malam?" Sakura mengalihkan matanya menatap lantai perpustakaan karena tak sanggup menatap lurus ke mata jelaga Sasuke.

"To the point, Sakura." Kata Sasuke dengan nada bicara datar saat ia sadar bahwa Sakura sedang berusaha menghangatkan suasana.

Sakura menatap Sasuke kesal. 'Basa-basi dulu napa, sih? Aku kan berusaha menghilangkan kegugupanku!' sayangnya, kalimat itu hanya ia ucapkan dalam hatinya.

"Ng…"

Sasuke diam menanti kelanjutan kalimat Sakura.

"… Begini…"

Sakura mulai menggaruk pipinya gugup.

"… Sasuke-kun…"

Kali ini, gadis itu memain-mainkan ujung bajunya dengan kedua tangannya.

"… Aku…"

Sasuke mulai kesal dengan cara bicara gadis di hadapannya itu. Tanpa mengeluarkan ekspresi jengkelnya, Sasuke kini berkata, "Aku pergi."

"...Mau … a-EH? A-apa?" Sakura terkejut saat mendengar dua patah kata yang keluar dari mulut Sasuke. Dan dengan santainya, lelaki itu kini telah berjalan meninggalkannya.

"Kalau kau bicara satu kata-satu kata begitu, tak akan selesai sampai kiamat."

Urat-urat wajah Sakura kini berkedut kesal. Lelaki di hadapannya itu begitu mengesalkan. Memangnya, dia tidak pernah berbicara sepatah kata-sepatah kata dalam hidupnya?

"Sasuke-kun!" Akhirnya Sakura kembali menyebut nama Sasuke dan menghentikan langkah Sasuke dengan cara menggenggam salah satu lengan lelaki itu. "Aku belum selesai bicara, tahu!"

"Hn. Kalau begitu selesaikan segera." Sasuke –yang sebelumnya membelakangi Sakura, kini memiringkan wajahnya dan memandang Sakura dari sela bahu kanannya. Ia tak berniat menatap Sakura secara menyeluruh.

"Aku hanya ingin bertanya… dan kau harus menjawabnya dengan jujur!"

Sasuke tak dapat melihat wajah Sakura karena gadis itu berkata dengan sedikit menunduk.

"Apa maksud ci-cium-" Sakura meneguk ludahnya sebelum kembali berbicara. "-an-mu kemarin?" Sakura masih berbicara dengan menundukkan kepala dan mengaitkan kedua tangannya pada lengan besar Sasuke.

Namun, tak sepatah katapun ia dengar sebagai jawaban.

Hal itu membuatnya harus mengangkat wajah dan menatap Sasuke. Walaupun ia yakin wajahnya saat ini sedang merona merah bagaikan tomat.

"Hubungan kita ini, sebenarnya hubungan kita apa setelah malam kita ke Konoha's Land waktu itu?" Sakura yang tidak mendapat jawaban dari Sasuke, mencoba mengganti pertanyaannya.

Dan tetap tak dapat mendapat jawaban dari lelaki yang ia beri pertanyaan.

Lelaki itu hanya memandangnya dengan tatapan datar dari sela bahunya. Tak ada apapun yang dapat diterjemahkan Sakura di sana.

"Apa kau…" Sakura kembali menelan ludahnya, berharap kegugupannya bisa ikut tertelan.

"… menyukaiku?"

Detik itu, Sakura dapat melihat Sasuke memalingkan wajahnya kembali ke depan. Sehingga Sakura yang merapat pada punggung Sasuke, hanya dapat melihat punggung dan rambut Sasuke saja.

Dan lelaki itu tetap tidak menjawab.

"Berarti, kamu nggak menyukaiku?" Masih, dan masih tidak di jawab oleh lelaki itu.

Sakura merasa ribuan jarum menohok jantungnya. Mengapa dari ribuan pertanyaan yang dia tanyakan, tak satupun Sasuke mau memberi jawaban. Sesusah itukah pertayaan darinya? Apa lebih susah dibanding mencari suatu pertidak samaan logaritma atau lebih susahkah dari mencari perbandingan antara grafitasi dua planet yang harus menggunakan rumus-rumus aneh?

Sakura melonggarkan pegangan tangannya pada lengan Sasuke. Ia mulai menyerah. "Kalau begitu… kenapa kau menciumku…" Sakura melirih kecil. Ia merasa matanya mulai membasah.

Dan tetap sama. Lelaki itu tak menjawab sama sekali. Membuka mulutnya pun tidak.

Sakura yang mulai kesal, mengepalkan kedua tangannya degan erat, dan memukul-mukulkannya di punggung Sasuke yang membelakanginya.

"Aku benci Sasuke-kun!" umpatnya di antara tangisnya yang semakin jelas terdengar. "Aku benci penipu sepertimu!"

"Mati saja Sasuke-kun jelek!"

"Pencuri ciuman pertama!"

"Benci… benci… Aku-"

Dan semua hinaan yang sudah siap Sakura muntahkan untuk Sasuke, terpaksa harus ia telan kembali. Semua itu karena lelaki itu telah merubah posisi berdirinya yang awalnya membelakangi, menjadi menghadap Sakura. Lelaki itu kini telah melingkarkan kedua lengannya di seluruh tubuh Sakura. menghentikan gerakan Sakura yang sebelumnya memukulinya dengan liar.

Sakura merasa pipinya memanas saat hidungnya menyentuh dada bidang Sasuke yang berbalut seragam sekolah. Ia dapat menghirup aroma maskulin dari tubuh lelaki itu. Sebuah zat yang dapat mempercepat laju debaran jantungnya.

"Sasu-"

"Sama." Sebuah kata pertama yang setelah sekian menit tidak keluar dari bibir sang Uchiha.

"Eh? A-apanya?" tanya sakura tidak megerti arti sepotong kata itu. ia sangat ingin mengangkat kepala cherry-nya untuk menatap Sasuke. Tetapi, kedua tangan Sasuke yang melingkarinya, membuat kepalanya tertahan dan tak dapat mendangan menatap Sasuke.

"Perasaanku."

"Maksudnya?" Sakura kembali bertanya. Ia tidak berani berharap lebih dari kata-kata Sasuke.

Dan setelah akhirnya Sakura bisa mendengar suara Sasuke, kini pemuda itu kembali membisu. Hal itu digunakan Sakura untuk kembali bertanya tentang perasaannya.

"Jadi, kamu suka aku atau benci aku?"

"Hn." Sasuke menjawab dengan nada bicara kesukaannya.

"Sas-"

"Suka." Potong Sasuke sebelum ia mendengar Sakura menceramahinya panjang lebar. Ia tidak bohong. Perasaannya pada Sakura itu benar seperti yang di ucapkannya.

"Jadi, apa sekarang Sasuke-kun sudah jadi pacarku?" Sakura berusaha memastikan.

"Kata siapa." Ketus Sasuke dengan datar tanpa menatap Sakura. kata-kata yang begitu menusuk hati Sakura.

"Kau adalah pacarku dan milikku. Jangan kau putar fakta itu."

Mendengar perkataan Sasuke, Sakura merasa suhu tubuhnya memanas. Terutama pada bagian tulang pipinya. Ia merasa ingin terus tersenyum sebagai perwakilan perasaan bahagianya.

Dan detik itu juga, Sasuke melonggarkan dekapannya untuk melihat wajah gadis bubble gum di hadapannya itu. dengan perlahan, ia mendekatkan wajahnya pada wajah Sakura. Sakura yang mengerti gelagat itu, segera memejamkan matanya dan mendongakkan kepalanya agar Sasuke tidak perlu membungkuk saat akan melakukannya.

Dengan lembut, Sasuke dan Sakura saling menyentuhkan bibir mereka. kali ini sebagai bukti awal hubungan mereka yang sempat tergantung tidak jelas.

~'~"~'~

Naruto melihat kedua Sasuke dan Sakura saling berhadapan dengan kondisi tubuh berpelukan. "Jadi, kamu suka aku atau benci aku?" Ia dapat mendengar kalimat Sakura yang terdengar kecil karena jarak antara Naruto dan Hinata dengan Sasuke dan Sakura terpaut sedikit jauh.

"Hn." Naruto mendengar Sasuke menjawab seadanya.

"Sas-"

"Suka."

"Jadi, apa sekarang Sasuke-kun sudah jadi pacarku?" Naruto dapat mendengar Sakura berusaha memastikan.

"Kata siapa." Ketus Sasuke dengan datar.

"Kau adalah pacarku dan milikku. Jangan kau putar fakta itu."

Sebuah claim dari seorang Uchiha Sasuke telah mewarnai wajah seorang Haruno Sakura hingga berubah menjadi merah. Bagaikan kepiting rebus. Dan saat itu juga, dengan kedua matanya sendiri, Naruto dapat melihat Sasuke dan Sakura menempelkan bibir mereka.

Deg.

Tiba-tiba, sebuah perasaan aneh menyambarnya. Rasa sakit dan perih tidak tertahankan tepat di hatinya. Seolah-olah, jantungnya tengah dihantam oleh ribuan meteor raksasa kasat mata. Dan pemuda berambut blonde itu dapat merasakan seluruh tubuhnya memanas. Bagai terbakar di atas kuali besar dengan api besar di bawahnya.

Ia mengepalkan tangannya dengan kuat. Sekuat yang ia bisa. Tidak peduli rasa nyeri membaluri tangannya akibat kuku-kukunya sendiri yang menancap di sana.

Hinata yang berada tepat di sisi kanan Naruto, dapat melihat sapphire Naruto berkilat penuh amarah. Bukan hanya marah. Ada sesuatu yang lain di sana. Sedih dan…

Cemburu.

Sebuah fakta menyakitkan untuk Hinata. Walau Naruto sudah mulai melunakkan kelakuannya pada dirinya, Namun perasaan sesungguhnya milik Naruto masih belum berubah. Sekuat apapun Hinata mencoba, Hinata merasa yang ada di mata Naruto hanyalah Sakura.

Hanya sahabatnya yang satu itu.

Bukan dirinya.

"Na-Naruto-kun…" Hinata berbisik pada Naruto bersamaan dengan gerakan tangan gadis itu menarik lengan kanan Naruto. "A-Ayo kita pergi… Kita harus mencari obat flu untuk Naruto-kun…" ucap Hinata mencari alasan agar Naruto mau pergi dari tempat itu.

Lelaki itu diam. Bergeming saat Hinata mengajaknya pergi. Hinata semakin cemas dibuatnya.

Ketika itu, Hinata melihat Sasuke dan Sakura telah beranjak dari posisi awal mereka. Terlihat sepertinya pasangan remaja itu akan bergerak keluar dari perpustakaan. Hinata menarik paksa Naruto ke balik rak untuk bersembunyi kala ia melihat Sasuke dan Sakura bergerak melalui rak di mana ia dan Naruto sedang berada.

Sasuke dan Sakura berjalan dengan saling menautkan jemari mereka. Melihat dengan jelas bahwa Sakura yang berjalan di belakang Sasuke tersenyum manis dan sedang tersipu malu, Hinata yakin bahwa hubungan di antara sahabatnya dengan saudara sepupunya itu baik. Sangat baik malah. Hinata yakin, kini Sasuke dan Sakura telah berpacaran.

Kini Hinata kembali menatap Naruto yang hanya menatap lantai marmer perpustakaan dengan tatapan kosong. Hinata tidak tahu harus bersikap seperti apa. Di satu sisi, ia sangat bersyukur akan perasaan Sakura yang akhirnya terbalas. Namun di sisi lain, Ia tidak suka melihat Naruto yang sedih melihat orang yang ia sukai telah menjadi milik sahabatnya sendiri.

"Na-Naru-Kya!"

Secara mendadak, Naruto menarik lengan Hinata keras dan membuat gadis itu terkejut. Lelaki itu menghadapkan tubuhnya dan tubuh Hinata, kemudian meniadakan jarak antara tubuhnya dan tubuh Hinata. Ia merapat pada Hinata. Tangan kanan Naruto ia gunakan untuk memegangi bagian belakang kepala ungu Hinata. Sementara tangan kirinya ia gunakan untuk menggenggam pergelangan tangan kanan Hinata membuat gadis itu tidak dapat bergerak mundur ke belakang.

Hinata berusaha mendongak mencari mata Naruto. ia ingin menatap lelaki itu. tak mengerti dengan tingkah laku lelaki itu yang secara mendadak memegangi kepala dan tangannya. Sungguh kelakuan Naruto menciptakan getaran aneh di sekujur tubuh Hinata.

Saat ia berhasil menemukan mata biru langit di wajah Naruto, gadis itu terpana. Naruto masih menatapnya dengan pandangan kosong. Dan seiring dengan berjalannya waktu, Lelaki itu menggerakkan wajahnya mendekati wajah Hinata. Hinata terkejut bukan main. Ia takut Naruto melakukan sesuatu yang aneh padanya.

Benar saja. Apa yang sempat ditakutkan oleh Hinata terjadi. Belum sempat ia mengedipkan matanya, sesuatu yang hangat menyentuh ujung bibirnya dengan kasar.

Naruto mencium Hinata.

Hinata sungguh sangat terkejut saat ia menemukan kenyataan bahwa bibirnya telah dikunci rapat oleh Naruto.

"Ngh! Ngh!" Ia meronta. Berusaha menarik tangannya agar terlepas dari genggaman Naruto. Tidak bisa. Naruto adalah laki-laki dan hal itu menyebabkan Kekuatan Naruto lebih besar darinya. Hinata berusaha memundurkan kepalanya agar bisa melepaskan bibir Naruto dari miliknya. Juga tidak bisa. Telapak tangan besar milik Naruto menekan belakang kepalanya dengan kuat.

Bukan berarti Hinata tidak suka dirinya dikecup oleh Naruto. Hanya saja, ia merasa ini tidak benar. Hinata yakin Naruto tidak memiliki perasaan apapun untuknya. Setahunya, Naruto tidak pernah menyukainya dan lelaki itu… bukankah lelaki itu masih menyimpan perasaan khusus untuk Sakura?

Lalu mengapa lelaki itu mengecupnya?

Mengapa Naruto melakukan hal ini padanya?

Mengapa tanpa persetujuan darinya?

Apakah ini hanya salah satu taktik Naruto untuk membuatnya membenci Naruto?

Ribuan pertanyaan tanpa jawaban mengapung di seluruh benak Hinata. Sungguh, ia ingin mencari jawaban atas pertanyaan tersebut dengan cara menanyakannya pada Naruto, lelaki yang berdiri di depannya tanpa jarak ini.

Tidak tahukah lelaki itu?

Tidak tahukah bahwa apa yang dia ambil sekarang adalah First kiss Hinata yang selalu ia simpan untuk orang yang sangat ia cintai dan juga mencintainya?

Bukan kepada seorang lelaki yang ia cintai tetapi tidak balik mencintainya.

Apalagi dengan sentuhan kasar Naruto padanya itu. Gadis itu merasa Naruto sangat kejam kepadanya. Lelaki itu menekan bibir Hinata dengan keras dan sangat keras. Dengan sesekali lelaki itu menggigit bibir bagian bawah Hinata dengan kasar. Hinata ingin mengaduh jika saja bibirnya tidak terkunci oleh apapun. Dan ia berani bertaruh bahwa bibir bawahnya saat ini sudah penuh luka dan goresan.

Ia takut.

Sangat takut.

Naruto seolah sedang marah padanya.

Hinata terus berjuang. Ia tidak menghentikan perlawanannya karena tidak terima dengan kelakuan kasar Naruto padanya. Ia tetap berusaha meronta agar dapat terlepas dari Naruto. Tangannya yang tidak digenggam Naruto, berusaha memukul dada bidang Naruto dan berusaha mendorongnya sekuat tenaga. Tapi justru sebuah cengkeraman kasar pada kerah bajunya yang ia dapat ketika ia terus berusaha melawan.

Saat Hinata merasa seluruh pasokan udara dalam paru-parunya telah habis,saat itu pula lelaki di hadapannya meleepaskan tautan bibir mereka sebentar. Lelaki jingga itu rupanya juga telah kehabisan nafas dan sedang menghirup nafas sebanyak-banyaknya.

Sejujurnya, itu adalah sebuah kesempatan besar bagi Hinata untuk lolos dari Naruto. Jika saja Naruto tidak berusaha kembali menciumnya dan mengatakan sepatah kata itu.

"Na-"

"Sakura-chan."

Deg.

Sebuah nama meluncur dari bibir Naruto.

Dan nama itu bukanlah milik gadis yang sedang dicium oleh lelaki itu.

Hinata benar-benar terpukul oleh perbuatan Naruto. Lelaki itu menyebut nama gadis lain saat melakukan itu padanya? Saat menciumnya lelaki itu menyebut nama gadis lain? Apakah Naruto membayangkan Sakura saat sedang menciumnya?

Semua sakit di sekujur tubuhnya termasuk pada bagian bibirnya yang telah digigit oleh lelaki itu, kini tak ada rasanya lagi. Sebuah rasa sakit yang diterima oleh hatinya karena kenyataan bahwa 'Naruto membayangkan orang lain saat mengecupnya' lebih parah dari sakit yang diterima fisiknya.

Dengan sekali menyentak dada Naruto, gadis itu mendorong Naruto dengan sekuat tenaga hingga lelaki itu terdorong dengan amat keras dan menyebabkan punggung Naruto menabrak sebuah rak buku di belakangnya.

Hinata bergerak mundur dengan cepat dan penuh ketakutan. Karena terlalu terburu-buru, gadis itu tanpa sengaja menyandung salah satu kakinya sendiri menyebabkan ia terjatuh dan punggung kecilnya menabrak sebuah rak buku lain-tepat diseberang rak buku yang ditabrak Naruto- yang berada di belakang gadis itu. Tubuh mungil Hinata merosot perlahan hingga ia terduduk di atas marmer lantai perpustakaan.

Badan Hinata gemetar hebat hingga ia harus memeluk tubuhnya sendiri dengan kedua tangannya. Matanya terbelalak besar sampai-sampai terlihat akan terlepas dari tempatnya. Ia terguncang. Hinata benar-benar terguncang.

Setetes Kristal bening menetes dari ujung mata kirinya.

Hinata menangis.

"Kenapa selalu begini saat aku bersikap baik padamu?" Naruto yang tak melihat Hinata sedikitpun, mulai berbicara. Nada bicaranya terdengar bergetar. Entah menahan amarah atau rasa sedihnya.

"Sakura-chan selalu diambil jika aku berbuat baik padamu!"

Naruto masih tak menatap Hinata yang terduduk di hadapannya dengan kondisi menundukkan kepala violetnya.

"Kenapa dia selalu berciuman dengan Sasuke-Teme?"

"Aku juga bisa menci-"

Ketika akhirnya Naruto menengokkan kepalanya menghadap Hinata, dengan terpaksa ia memutus kalimatnya sendiri.

Iris biru lautnya menangkap gambar seorang gadis di hadapannya terlihat menyedihkan. Seragam Hinata terlihat berantakan dengan kancing teratasnya telah terbuka. Ikatan dasi yang sebelumnya memeluk rapi lehernya, kini telah longgar dan hampir terlepas. Mahkota indigonya yang menjuntai panjang seakan ingin menggapai bumi, kini telah terhambur berantakan dengan beberapa helai anak rambutnya telah menutupi salah satu mata amethystnya. Namun, bagian mata lainnya yang tak tertutupi oleh rambutnya, terlihat membesar dan berbinar shock. Bibirnya, terutama bagian bibir bawahnya terlihat sedikit berdarah karena ciuman beringas Naruto barusan. Saliva –yang entah milik siapa- membasahi kedua ujung bibir yang sebenarnya berwarna merah itu.

Hinata terlihat tak mendengar kata-kata Naruto sama sekali.

Hati nurani Naruto terenyuh melihat Hinata. Seakan tersadar, ia sedikit menyesal melihat kondisi Hinata menjadi seperti itu. Ia sadar bahwa penyebab Hinata menjadi seperti itu adalah dirinya. Karena perbuatannya barusan yang melampiaskan kecemburuannya pada Hinata.

Kini Naruto berjongkok dan bergerak mendekati Hinata. Ia serius ingin meminta maaf pada Hinata. Namun, reaksi yang diberikan gadis itu saat Naruto mendekatinya sangat tak terduga.

Ia melihat Hinata terlonjak kaget. Gadis itu membiarkan Amethyst miliknya bersilang pandang dengan Sapphire di mata Naruto. Dari mata Hinata yang basah dan berkaca-kaca, terpantul ketakutan yang begitu jelas. Hinata menatap Naruto penuh ketakutan dan entah mengapa, tatapan mata itu mengilukan sudut hati Naruto terutama ketika ia tahu bahwa ketakutan itu ditujukan pada dirinya.

Tak ada lagi kehangatan yang tersisa di permata itu.

Hinata menyilangkan tangan kanan-kirinya tepat di depan tubuhnya guna menghindari sentuhan Naruto. Akibat memundurkan tubuhnya dengan tergesa, punggung Hinata kembali menabrak rak buku di belakangnya menyebabkan terguncangnya rak buku berukuran besar tersebut dan menjatuhkan beberapa tumpuk buku di rak bagian atas. Buku-buku itu ada yang jatuh mengenai Naruto dan beberapa juga mengenai Hinata yang berada tepat di bawah rak.

"Ittai!" Naruto mengaduh kesakitan begitu beberapa buku menghantamnya dari atas. Tetapi tidak dengan Hinata. Gadis itu terlihat mengabaikan dirinya sendiri. Ia tidak peduli tubuhnya terkena tinjuan buku-buku tebal itu.

Naruto dapat melihat tubuh rapuh itu terus dan terus gemetar dengan hebat. Bahkan getaran tubuh kecil Hinata tak kunjung menyurut. Justru semakin cepat frekuensi getarannya. Dengan sesekali diiringi sesenggukan yang termuntahkan dari bibir Hinata.

"Hinat-"

Bruk!

Hinata melempar sebuah buku yang dapat dijangkau salah satu tangannya kepada Naruto. seolah memberi peringatan pada lelaki itu untuk tidak mendekatinya.

Bruk!

Hinata melempar Naruto dengan buku kedua yang dapat ia gapai.

Bruk! Bruk! Bruk!

Hinata terus melontarkan lemparan buku-buku berbeda tebal dan ukuran, kepada Naruto. membuat pemuda itu harus melindungi badannya dengan lengannya.

Saat sudah tak ada lagi buku yang dapat Hinata gunakan untuk melempari Naruto, Gadis itu terdiam dan hanya menundukkan kepalanya. Sebuah permata bening bernama air mata mengalir, menganak sungai di pipi merahnya dan menetes tepat di atas rok seragam Hinata. Naruto –yang tak tahu harus sedih dan menyesal atau harus marah- memilih untuk menggeram kesal. Ia tidak mengerti akan situasi yang sedang ia hadapi.

Ia tidak mengerti, mengapa Hinata mendadak bertingkah seperti itu?

Seolah tidak ingin melihat kehadiran Naruto di hadapannya.

Memangnya apa salahnya?

Apakah dia telah bertindak keterlaluan?

"Hinata! Kau kenapa?" Naruto kembali mencoba bersuara. "Kau marah karena aku menciummu?"

Tak ada jawaban dari manusia yang ia ajak bicara, membuat Naruto menaikkan nada bicaranya sebanyak satu oktaf. "Memangnya kenapa? Itu hanya sebuah ciuman!"

Hinata merasa luka di hatinya semakin melebar. Kata-kata Naruto benar-benar keterlaluan menurutnya. Namun, ia tak dapat membalas kalimat Naruto. lidahnya terlalu kelu untuk berbicara. Otaknya tidak membiarkan otot-otot tubuhnya bergerak sesuai keinginannya.

"Kau suka aku, 'kan? Kau seharusnya senang aku menciummu-"

"Hhh… AAAH!" Sekuat tenaga Hinata berteriak histeris seraya memperderas aliran air mata di wajahnya. Melampiaskan seluruh sakit di hatinya. Cukup sudah ia dipermainkan Naruto seenaknya seperti ini! Cukup dan cukup! Ia tidak akan membiarkan Naruto semakin memperdalam lubang di hatinya.

"ARGH!" Naruto berteriak frustasi akibat kelakuan Hinata yang tidak ia mengerti. Ia bangkit dari jongkoknya dan kini ia telah berdiri, mengambil langkah seribu meninggalkan Hinata begitu saja dan pergi keluar perpustakaan.

Sepeninggal pemuda itu, Hinata masih terduduk di situ dan masih terus menangis. Pertahanan yang selama ini ia bangun sekuat tenaga pupus sudah. Bagai sebuah bendungan air yang hancur sebab tak sanggup menahan beban air yang begitu banyak. Sekuat apapun Hinata mencoba, tetap saja hujan di matanya tak mau berhenti.

Tak lama berselang, sebuah bel pertanda berakhirnya waktu istirahat berdentang. Hinata yang mendengar bel tersebut, berusaha bangkit dari duduknya.

Saat ia melangkahkan satu kakinya untuk membantunya berdiri, ia terjatuh. Lututnya terlalu hebat bergetar sehingga tak sanggup menopang berat tubuhnya sendiri. Ia berusaha bangkit dengan mencari-cari pegangan di sekitar situ. Namun, sekuat apapun ia mencoba, kakinya tetap tidak bisa digerakkan dan hal itu selalu membuat tubuhnya tertarik kembali ke tanah, mengikuti gaya gravitasi yang mengajaknya ke pusat bumi. Menyerahlah Hinata. Ia putuskan untuk tetap duduk di tempat itu dengan tubuh yang tek pernah pause dalam bergetar.

"Aku mendengar teriakkan tad- Hei! Kau kenapa?" Seorang gadis dengan rambut yang ia gulung tinggi di kanan-kiri kepalanya, mendatangi Hinata. gadis itu terkejut setengah mati saat ia melihat wajah Hinata yang bersimbah air mata dan darah di –hampir-sekujur bibirnya. Terutama melihat seragam Hinata yang berantakan.

"Hei, kamu sepupunya Neji, 'kan? Aku teman satu kelasnya." Ucap gadis itu lagi seraya menyentuh pundak Hinata. rupanya gadis itu adalah kakak kelas Hinata.

"Kau nggak apa-apa, Hyuuga?" Gadis tersebut membantu Hinata berdiri. Hinata hampir terjatuh jika saja tubuhnya tidak di tahan oleh senpai-nya itu. "Kamu kenapa?" entah sudah keberapa kalinya gadis itu bertanya pada Hinata dan entah sudah keberapa kalinya pula, ia tidak mendapat jawaban dari Hinata.

Hinata memutuskan untuk menggeleng lemah daripada tidak menjawab. Ia tak ingin menceritakan kejadian yang baru saja ia alami pada siapapun.

Gadis itu menghembuskan nafas pelan, memaklumi Hinata yang tidak berniat membagi masalah dengannya. Tentu saja ia tidak akan memaksa. Gadis itu hanya orang asing bagi seorang Hyuuga Hinata. "Aku akan mengantarmu ke ruang kesehatan. Beristirahatlah di sana. Biar aku yang memintakan ijin pada guru yang akan masuk ke kelasmu setelah ini. Akan kukatakan bahwa kau sedang sakit." Ujarnya panjang lebar.

Hinata mengangguk untuk kesekian kalinya. Ia sungguh-sungguh berterima kasih kepada gadis itu di dalam hatinya.

~'~"~'~

"Permisi, sensei?" Sebuah suara menginterupsi kegiatan belajar mengajar yang tengah berlangsung di sebuah kelas. Sang guru yang sedang berdiri di depan papan tulis, mengalihkan perhatiannya menuju seorang gadis yang kini tengah berdiri di ambang pintu kelas.

"Ah, kau. Ada apa?" Ucap guru itu santai.

Sang gadis bercepol dua itu menghampiri sang guru dan berkata, "Sensei, saya memohonkan ijin siswa bernama Hyuuga Hinata." Sakura mendengar nama sahabatnya di sebut, segera memandangi gadis yang sedang berbicara dengan gurunya itu. "Hyuuga sedang sakit dan tidak bisa mengikuti pelajaran. Ia berada di ruang UKS…"

Akhirnya, gadis itu bergerak keluar kelas setelah melihat guru tersebut mengiyakan berita darinya.

'Hinata-chan… Sakit?'

~'~"~'~

Sebuah cahaya jingga menerpa kelopak matanya yang tertutup rapat, seolah memaksa masuk ke dalamnya. Dengan sangat terpaksa, Hinata mengumpulkan kembali seluruh kesadarannya dan membuka kedua matanya perlahan. Sesekali, ia mengerjap-ngerjapkan matanya agar matanya segera beradaptasi dengan cahaya di ruangan itu.

Ia menatap lingkungan di sekitarnya dengan seksama. Dinding putih, beberapa tempat tidur terbalut selimut putih, dua buah rak obat di sudut ruangan, Gadis manis itu yakin sekali bahwa ia tengah berada di ruang kesehatan.

Hinata berusaha bangkit dari posisi tidurnya dan merubahnya menjadi posisi duduk dengan kakinya masih terbungkus selimut. Hinata melihat kakak sepupunya, Neji, duduk di sebuah kursi tepat di sebelah pintu masuk sambil membaca buku.

"Sudah bangun? Ayo pulang." Ajak neji seraya berdiri usai menutup buku yang dibacanya. Ia menghampiri Hinata yang mengangguk setelah menerima ajakan pulang dari Neji.

"Tadi seorang gadis berambut merah muda datang untuk melihatmu." Ujar Neji sekedar memberi info pada Hinata. Hinata hanya mengangguk lemah. Ia tak mau menyebut nama gadis itu untuk sementara waktu.

"Kau kenapa, Hinata?" tanya Neji langsung ke inti. Ia mengusap pelan puncak kepala Hinata. lelaki itu dapat melihat Amethyst Hinata terbingkai oleh garis mata yang membengkak dan memerah. Terlihat jelas bahwa Hinata baru saja selesai menangis.

"J-jatuh…" Jawab Hinata berbohong.

Neji tidak ingin bertanya lebih jauh lagi. Ia menyadari kebohongan Hinata. Tapi, ia putuskan untuk membiarkan Hinata memiliki privasi sendiri. Walaupun ia berharap, Hinata mau berbicara baik dengan dirinya, atau dengan Hanabi. "Aku akan kembali ke kelasku untuk mengambil barang yang ketinggalan. Kau juga ambil dulu tasmu di kelas."

~'~"~'~

Hinata melangkah gontai menelusuri koridor kelas yang berwarna keemasan akibat cahaya mentari senja. Ia berusaha tidak menikmati pemandangan berwarna oranye di sepanjang jalannya menuju kelas. Warna jingga hanya mengingatkannya pada lelaki yang menyakitinya.

Hinata memejamkan matanya sebentar sebelum kembali membukanya. Seakan dengan menutup matanya, ia dapat membuang pikiran-pikiran negatifnya sejauh mungkin.

Dengan tertatih-tatih, sampailah Hinata di depan pintu kelasnya yang telah tertutup. Sambil berharap pintu kelas tersebut belum dikunci oleh penjaga sekolah, Hinata berusaha membuka pintu.

Cklek.

'Syukurlah, belum dikunci.' Lirih hatinya sedikit gembira setelah berhasil membuka pintu.

Didapatinya kelas telah kosong tanpa seorangpun di kelas. Untuk kedua kalinya, ia bersyukur. Dengan tidak adanya siapapun di kelas, ia tak perlu menjawab pertanyaan-pertanyaan yang akan di lontarkan teman-temannya-terutama Sahabatnya- apabila melihatnya masuk kelas dalam keadaan mata sembab seperti itu.

Sesegera mungkin Hinata menghampiri mejanya dan mengemasi peralatan sekolahnya yang masih tergeletak di atas meja. Hinata memasukkan barang-barang itu ke dalam tasnya dan segera membawa tasnya di kedua tangannya.

Greek.

Sebuah deritan kursi yang bergesekkan dengan lantai tertangkap oleh telinga Hinata. Membuatnya mengalihkan pandangannya menuju arah suara tersebut berasal.

'A-ada orang?' ujarnya dalam hati, penuh ketakutan.

Seorang manusia yang sebelumnya tertidur di lantai kelas, tepat di balik bangku terbelakang, kini telah bangun. Ia tampak cukup-sangat- terkejut melihat Hinata berdiri tak jauh di hadapannya.

"Hyu-" Ia meralat kata-katanya. "Hinata."

Dan panggilan Naruto itu mengusik Hinata. Cara Hinata memandang Naruto kini telah berubah. Hinata kembali melihat Naruto dengan tatapan penuh ketakutan. Seakan gadis itu baru saja melihat hal mengerikan. Tanpa sadar, Hinata melangkahkan satu kakinya mundur. Kegiatan Hinata yang tertangkap pupil Naruto itu, membuat hati lelaki itu sakit.

Naruto bangkit perlahan dan segera berjalan mendekati Hinata. Namun Hinata tidak membiarkan dirinya didekati pemuda itu. Setiap Naruto melangkahkan satu kakinya menuju Hinata, saat itu pula Hinata melangkahkan satu kakinya mundur ke belakang.

Hinata terus mundur dan ketika tengannya menyentuh sebuah meja di sampingnya, dengan sekuat tenaga ia membanting keras meja tersebut ke depannya. Menciptakan sebuah benteng kecil agar dapat menghalangi Naruto yang berjalan mendekatinya. Tentu saja cara yang dilakukan Hinata sukses membuat lelaki itu menghentikan langkahnya berhubung jalannya menuju Hinata telah terblokade oleh sebuah meja yang telah terguling di depannya.

"Hinata! Kau ini kenapa, sih?" Naruto mulai geram dengan tingkah laku Hinata yang menghindarinya. "Memangnya apa salahku?"

Sudut mata Hinata meluncurkan setetes air mata. Bagaimana bisa Naruto tidak tahu apa yang terjadi padanya? Bagaimana bisa Naruto tidak sadar bahwa lelaki itu telah melakukan kesalahan pada Hinata? Ah, Benar juga. Sepertinya Hinata sempat lupa kenyataan bahwa Naruto adalah lelaki yang tidak peka terutama pada hal-hal yang berhubungan dengan perasaan wanita.

Ini akhir bagi Hinata. Cukup sudah! Ia terlalu lelah mengikuti permainan Naruto.

"Ah-Aku menyerah…" Hinata mengucapkan sebuah kalimat dengan bibirnya yang penuh luka. Ia yang pada awalnya tidak menatap Naruto, kini berusaha melihatnya, tepat di mata biru langit lelaki itu.

Naruto mengernyitkan dahinya tanda tak mengerti maksud Hinata berkata seperti itu.

"Aku menyerah."Hinata yang menangkap arti pandangan Naruto, mengulangi kalimatnya.

"Aku mengaku kalah. Aku tak bisa membuat Naruto-kun menyukaiku." Bening di mata Hinata semakin deras mengalir. Nada bicara Hinata terdengar bergetar.

"Kau menang, Naruto-kun. Aku akui Naruto-kun Brengsek karena membuatku menangis hingga seperti ini… La-laki-laki yang membuat perempuan menangis adalah lelaki brengsek." Hinata mengusap air matanya dengan punggung tangan kanannya. Namun usaha yang ia lakukan jadi percuma karena air matanya kembali meleleh setiap kali ia mengusapnya.

"Hinat-"

"Kh-kau men-menciumku tapi yang kau bayangkan adalah… Gadis lain…" Hinata tak mau mendengar perkataan Naruto. ia terus saja berbicara sendiri. Memaksa Naruto mendengarkan pernyataannya sampai selesai.

"… It-itu lebih menyakitkan daripada perlakuan kasarmu selama ini…"

"…" Naruto membisu. Ia tak tahu harus berkata apa.

"Kau tidak menghargai apa yang ku anggap berharga. Ka-karena itu…" Hinata kembali mundur satu langkah kebelakang.

"Aku menyerah dan mengaku kalah."

Entah mengapa, Naruto tidak senang mendengar kata-kata Hinata. Belum sempat Naruto membalas pernyataan dari Hinata, gadis manis itu telah memutar badannya dan telah melangkah-setengah berlari- menuju pintu keluar kelas.

"Aku tidak akan mengganggumu lagi, Naruto-kun…" Ucap Hinata ketika gadis itu berada tepat di bibir pintu, ia menengokkan kepalanya sekilas pada Naruto. Naruto melihat kesungguhan terpancar dari cara mata basah itu menatapnya.

"Aku berjanji akan berhenti mencintaimu, Naruto-kun."

.

.

.

.

.

.

.

.

.To be Continue.

.

.

.

.

.


Special thanks :

Riyuni-san alias 'Alarm'-san yang setia banget ngingetin Rippe, Ngubrek-ngubrek Facebook-Rippe buat ngingetin Rippe update fict… pokoknya makasih deh^^. Reader yang lain juga harus berterima kasih padanya… karena kalau dia nggak ngubrek-ngubrek Rippe dan kalau Rippe nggak janji ke dia buat update antara hari Sabtu - malam senin, Rippe pasti bakal update lebih lama lagi dari hari ini… hahahay!

Makasih juga buat :

Cerawitch, Kithara Blue, Dey chan, Haruka Hayashibara, Moi, Tyve-Morta, Near Andra, Na Fourthok'og, Kuro Usagi-chan, Dhekyu, Hina chan, Ning-san, OraRi HinaRa, al-afraa, ElFishy Lee EunHaeMin, Putri Hyuuga Uzumaki, zora'NH'chan, Vita, Diana-chan, Neerval-Li, kuromi retsu, fathiyah, lee sica, NaruHina LavenderOrange, Guest, , Kiriko mahaera, Gdtop, Arakida Kirito, cry, NaruGankster, Ryani Lawliet, MAAF, Nara Kazuki, mendokusai144, Yourin Yo, IconiaSone, Akunrusak, Paris Violette, Naru Vii, Hardly, irfan andrianes, Kaze no Nachi, Hanamiru, Oryko Hyuuzu, makkichaan, Minami Eika

(Maaf kalau ada yang namanya lupa saya tulis)

(Maaf saya ga bisa PM-in satu-satu…)

Author's Note :

Wahahaha! Minna-san, akhirnya Rippe update. Ada yang nunggu? *reader: Nggak ada!* Setahun lebih beberapa hari Rippe baru update. Wahaha… hebatnya diri ini… *Bangga*

Saya sukses update dengan jalan cerita dan cara penulisan yang semakin hancur… *pundung di pojokan*. Padahal sudah berkali-kali di periksa dan baca ulang. Tapi tetep aja Rippe ngerasa ada yang kurang… dan Rippe nggak tahu apa itu… -_-

Oh iya, catatan kecil, nih… di chapter sebelumnya, Hinata manggil Neji dengan sebutan "Neji-nii." Tapi Rippe ubah jadi "Neji-Niisan." Soalnya di anime nya, Hinata manggil Neji kayak gitu. Semoga kalian bisa memakluminya… ^^

Nah, berhubung chapter kali ini banyak adegan kiss nya, apa ratingnya perlu naik jadi semi-M? bagi Rippe, adegan seperti itu tidak layak buat anak kecil... hehe...

Kalian tahu? Chapter ini sepertinya terpanjang, deh… soalnya Cuma cerita aja, sudah sampe 10 ribu lebih kata dan sekitar 35 page. Wohoho…

Nah, sekarang Rippe mau buat Cover buat fict ini dulu… dan…sebelum itu, Yak! Rippe akan rereview~

.Cerawitch : Hei, Sorry karena updatenya telat, and thanks for your review^^… seneng banget begitu tau ada yang nunggu fict ini, bahkan sampe rela nunda tugasnya demi baca fict abal-abalan ini… hiks hiks…
Yes! Naruto mulai anget ke Hinata. tapi kayaknya di chapter kali ini, Naruto kembali jahat, deh. Hehe
Hehe, I think there aren't triangle love for this story. Sorry for make you Disappointed T_T…
This Chapter is longer than before. Please accept it as my regret for my late update… Hope for your another review… Thanks a lot… and Sorry for bad Language… -_-

.Kithara Blue: Wahaha… berapa kali, ya anda mengabsen saia? Diriku sendiri tidak tahu *geplaked*. Tenang saja, sebenarnya Rippe nggak pernah lupa pada fict-fict yang Rippe tulis, kok… Cuma nggak inget aja… *Bacoked*. Yosh, terima kasih dah mau review, nih dah apdet setelah setahun lebih. Wahahaha…

.Dey chan :Thanks you^^

.Haruka Hayashibara : Hehe, terima kasih… feelnya dapet? Beneran, nih? Perasaan Rippe kok malah agak maksa, ya? hehe… semoga aja NaruHina bisa menyatu kembali… Yosh, makasih reviewnya… nih dah update, semoga chapter kali ini bisa menghibur…^^

.Moi :Hehe… begitu, ya? hehe… yaa, sepertinya Sakura memang seperti itu mau gimana lagi? hehe… trima kasih… semoga chapter kali ini bisa menghiburmu…^^

.Tyve-Morta : Beneran? Kau pernah ngalamin apa yang dirasakan Hinata di sini? Pasti sakit, ya… berjuanglah! ^^ . ini sudah update, semoga kau terhibur… ^^

.Hyuna Toki: I-ini sudah U-update… Ma-makasih sudah menunggu ^^

.Near Andra: Wahaha… Naruto kan emank cengeng *Rasengan!*. ini sudah update~ dan tolong jangan panggil Rippe senpai dong…^^ kita semua kan sama-sama masih belajar di sini… panggil nama aja^^

.Na Fourthok'og: Wahaha… cinta segi banyaknya ditiadakan… soalnya Rippe nggak sanggup ngeliat Sasuke ngejar Hinata… entah kenapa Rippe nggak bisa buat Sasuke terasa 'hidup' kalau Rippe buat dia ngejar Hinata. hehe… nggak maksud apa-apa, kok… oke, makasih reviewnya, Neechan… selamat menikmati chapter baru ini…^^

.Kuro Usagi-chan: Hehe, terharu baca reviewmu… pasti berat banget nahan nangis di tengah jalan. Seberat Hinata nahan nangis karena dikasarin Naruto (Ngaco mode: ON). Tapi di sini Hinata nyerah loh… gimana menurutmu, tuh? Oke, makasih dukungannya! Walaupun jengkel karena uan tahun ini mundur untuk wilayah Rippe… yosh… semoga chapter ini menghiburmu^^

.Dhekyu: Hehe… apa kau kecewa karena mereka Cuma sepupuan? Hehe… tenang aja… setelah chapter ini, semuanya akan berbalik buat Naruto. nggak ngerti maksudnya? Tunggu aja lanjutannya. Hehe ^^

.amexki chan: hmmm apa yang kurang? Plis, tolong kasih tahu Rippe supaya bisa lebih memperbaiki Fict ini… hee? Kau juga kelas tiga? Di mana? Apa di tempatmu juga di undur? Yoosh, oke! Semoga kau terhibur dengan adanya chapter ini…^^

.Hina chan: Hehee, ni dah update^^. Semoga terhibur…

.Ning-san: hehe, makasih… semoga aja Naruto dan Hinata bisa jadian. Huhuhu*Ketawa licik*. Oke, nih dah update, kilat, kan?*geplaked**Kilat apanya?*

.OraRi HinaRa : hehe…? 5 chapter lagi, ya? hmmm…. Bisa nggak ya? hehe… mungkin kalau ditambah satu atau dua chapter lagi bisa deh. Hehehe…. Hehe, makasih reviewnya^^… ini dah update lagi… walaupun memakan waktu yang seedikit lama. Hohoho… semoga terhibur^^

.al-afraa: Ya Ampun… kamu baik banget mau ngereview di setiap chapter dan berulang ulang… hehehe… yay! Untung nggak ada love triangle-nya… yay!(?) hahaha… semoga chapter kali ini menghiburmu~ ^^

.ElFishy Lee EunHaeMin: hehe… beneran? Makasih …^^… oke, nih dah apdet. Semoga terhibur^^

.Putri Hyuuga Uzumaki : eh, sepertinya kau salah sangka… Sasuke sebenarnya nggak suka sama Hinata, dia Cuma terbayang-bayang ibunya terus kalau lihat Hinata. makanya dia agak-sangat- sayang sama Hinata. tapi itupun Cuma karena Hinata mirip ibunya. Nggak lebih kok. Hehe… nih dah Rippe jelaskan tentang maksud Sasuke kiss Sakura. gimana? Puas? Oke, semoga terhibur dengan chapter kali ini^^

.zora'NH'chan : whahaha,… tenang saja, nak… kau tidak terlambat kok.. hehe… oke, oke… saya akan mengurangi kekasaran Naruto untuk kedepannya lagi. tapi ijinkan saya membuat Naru jahat di chapter kali ini. Hahaha… ok, semoga terhibuur^^

.Vita: hahaha, Vita-san membingungkan… jadi, Apa yang harus Rippe lakukan untuk membuat Vita 'greget'? membuat Naruto kasar atau membuat Naruto lembut? Hohoho….

.Diana-chan : Oke, semoga saja Rippe bisa membuat Naruto ngemis ngemis cintanya Hinata. hehehe*Ketawa ala penjahat*

.Neerval-Li : hehe, sudah lama, ya? apa anda sudah lupa jalan ceritanya? Semoga belum ya… hehe… yaa, Naruto sepertinya mulai ada perasaan sama Hinata. hehehe… pokoknya tunggu aja chapter selanjutnya, ya… karena Rippe sedang memasuki masa liburan pasca uan, mungkin Rippe bisa update kelanjutannya bulan depan … amin… oke, semoga terhibur dengan chapter kali ini… ^^

.kuromi retsu : salam kenal Kuromi-san… makasih sudah meluangkan waktu buat review… hehe, ni dah update. Moga terhibur, ya^^

.fathiyah: hehe, nggak perlu minta maaf sampe segitunya… dengan sudah mereview di chapter kemarin saja, Rippe sudah senang kok… hehe… moga terhibur dengan chapter kali ini^^

.lee sica: hehe, semoga chapter kali ini juga membuatmu senang ya^^ met membaca^^ sorry telat update-_-

.NaruHina LavenderOrange : hehe, Rippe juga seneng bagian Naru meluk hinata kemaren. Waktu bikin alur ceritanya, Rippe sampe kemimpi-mimpi lho. Serius! Hehe, semoga chapter kali ini menghiburmu…^^

.Guest: hehe, makasih^^

. : oke, nih dah ada kelanjutannya^^

.Kiriko mahaera: haha… iya, ya… ceritanya SasuSaku kok mulus banget sementara NaruHina nya kasar banget? Padahal di manganya justru SasuSaku yang nggak maju-maju. Hahaha… yah, berhubung saya setia kawan, jadi di setiap fict yang ada nggak pernah ninggalin sahabat baik saya yaitu typo. Haha… semoga chapter kali ini bisa menghibur^^

.gdtop: hehe… nih dah apdet. Walaupun nggak ASAP, sih… hehe… ^^

.Arakida Kirito: oke, sudah dilanjutkan^^ thanks for your review^^

. cry: wahaha… Bianne(betul g tulisannya tuh) soalnya Rippe nggak bisa meletakkan Cinta segi banyak di sini. Hehe… susah nyari feelnya kalau harus ada cinta segi banyak nya. Haha… yosh, semoga chapter kali ini menghibur ^^

.NaruGankster : hehe, makasih… semoga chapter kali ini juga bisa membuat perasaanmu teraduk-aduk^^

.Ryani Lawliet: hehe, makasih semangatnya… gimana uanmu? Apa di wilayahmu juga mengalami kemunduran jadwal? Dan yah… sepertinya NaruHina ada perkembangan. Kalo SasuSaku… dengan adanya chapter ini, apa kau mengerti hubungan mereka sekarang?

.MAAF : oke… nih dah lanjut^^.

.Nara Kazuki: hehe…

.mendokusai144: nggak kok… nggak ada kata telat dalam membaca fict atau mereview fict. Oke, nih dah apdet^^ moga terhibur^^.

.Yourin Yo : hehe… ga papa, Rippe senang banget kok karena kau mau ngereview. Makasih banget, ya^^. Oke, nih kelanjutannya. Happy reading^^.

.IconiaSone: hehe… makasiih… nih kelanjutannya… maaf lama-_-

.Akunrusak : hehe,. Makasih… ini dah di lanjutin… moga terhibur^^.

.Runa sanchika: hehe…. Makasih ya… oke, nih dah update. Sorry kelamaan…^^

.Paris Violette: hehe, endingnya NaruHina? Hmmm…. Bisa nggak ya~*Geplaked karena nggak serius* okeh, di tunggu ajah^^.

.Naru Vii: hehe… tamatnya masih lama lho… mungkin 2 ato 3 chap lagi? hehe… nih dah update. Moga terhibu~

.hardley: hehe, sorry lama^^… nih dah update. Moga terhibur^^

.irfan andrianes : hehe, nih kelanjutan fict ini… moga terhibur^^.

.Kaze no Nachi: hahaha… ya tuh, Naruto sok! Nggak mau ngakuin kalo dia nggak suka Hinata…

.Hanamiru: Hee… Sorry ya… Rippe kelamaan updatenya… bener-bener maaf, deh… semoga chapter kali ini nggak mengecewakan… yosh! Happy reding^^.

.Oryko Hyuuzu : Hee? Sakit banget! Ory-san bernasib sama dengan Hinata? ya Ampun! Berjuang, ya… semoga aja orang yang Ory-san suka bisa cepet sadar dan berhenti dinginin Ory-san. Yosh! Dah update… moga menghibur^^

.makkichaan : hehe… makasih mau bersusah payah mereview fict ini^^. Ya…. Naruto sama Sakura temen kecil Sasuke tapi nggak terlalu tahu soal kecelakaan itu. soalnya Sasuke kan orangnya tertutup dan pendiam. Sepertinya sih, Sakura sama Naruto Cuma tahu kalau ibu Sasuke itu meninggal karena kecelakaan. Tapi nggak tahu detail ceritanya sama nggak tahu tempat kejadiannya. Gitu deh…^^. Dan soal update setelah UN… sorry, soalnya di kota Rippe, Un di undur seminggu setelah anak-anak Jawa Un… jadilah fict ini baru bisa update sekarang. Hehe… semoga chapter kali ini bisa menghiburmu ^^…

.Minami Eika: Wahaha~ jangan bilang Rippe cantik dan baik hati kayak gitu *(GR mode: ON)*… yup… mungkin Naruto sudah ada rasa sama Hinata.,.. Cuma nggak nyadar aja kalau dia punya rasa ke Hinata… ehhee… oke, moga chapter kali ini menghibur~ ^^…

.

Maaf kalau ada kesalahan penulisan nama…

~YAK! Berakhirlah sesi Review kali ini! *Ngelap keringet yang udah berceceran di mana-mana.* beneran lho, capek banget nih…

Nah, bagi yang nggak keberatan, tolong tinggalkan Reviewnya, ya…^^

Dan makasih pada para silent reader yang telah menyempatkan waktunya untuk membaca fict ini. Semoga suatu hari hati kalian semua tergerak untuk memberikan review pada Saia…*Lebay mode : ON*

Yosh! Arigatou, minna-san…

.

.

.

Signatured

.

Ririrea

~Rurippe no Kimi~

.

.

6 Mei 2013