Title : Beautiful Mistake
:
:
:
Disclaimer : JK Rowling
:
:
:
Just Read :)
Malam semakin lama semakin larut. Udara dingin mungkin akan mendominasi jika saja pemuda itu memadamkan api dalam perapian yang ada di hadapannya. Mata hijaunya menatap datar pada api yang semakin lama semakin membesar. Bosan dengan apa yang ia lihat, pemuda itu meraih sebuah pigura kecil di dekatnya. Kini ekspresi kelam terpajang pada wajah tampannya. Silue api memperjelas gambar yang ada pada figura tersebut.
Foto dirinya bersama keluarganya.
Perlahan senyum sinis mengembang di wajahnya, dengan santai pemuda itu melempar pigura tersebut kedalam kobaran api . Terdengar suara gemericik api mulai membakar pigura tersebut.
"Albus."
Teddy menatap Albus gamang, matanya meneliti apa yang sedang sepupunya itu lakukan.
"Apa-...apa kau menyesal?" Tanya Teddy ragu.
Albus hanya diam, matanya tetap memandang perapian di hadapannya. Tak berapa lama ia duduk di sofa hijau bermanik silver, khas Slytherin.
"Kau pikir bagaimana? Apa aku terlihat menyesal?"
Kali ini Teddy tergelak, dengan cepat dirinya menunduk hormat. "Maafkan aku My Lord, bukan maksudku meragukanmu, tapi-..."
"Kukira kita sudah sepakat, Teddy. Tidak akan pernah ada kata menyesal, bukan?" Potong Albus sambil memainkan sebuah batu hitam dalam genggamannya.
"Benar, My Lord. Aku tidak akan pernah menyesal setelah apa yang telah diperbuat para pureblood menjijikan itu pada Victorie!"Muka Teddy mengeras menahan kemarahan, sementara Albus tersenyum mendengarnya.
"Aku yakin Victorie akan senang dengan apa yang kau lakukan. Bila dia yang ada diposisimu saat ini, aku yakin dia akan melakukan hal yang sama, menghancurkan para pureblood walau ia sendiri merupakan keturunan pureblood."
Ya, Victorie Weasley, sepupu tertua Albus memang telah tiada. Meninggalkan luka mendalam pada kekasihnya, Teddy Lupin.
"Lalu apa rencanamu selanjutnya? Para auror kini tengah dalam perjalanan kemari." Ujar Teddy menatap sepupunya yang tengah menyeringai seram.
"Well, apa lagi yang harus kita lakukan sekarang? Tentu saja bersiap menyambut mereka bukan?"
Teddy melirik agak tajam, seolah tidak percaya dengan apa yang didengarnya.
"Tapi bagaimana dengan paman Harry? Apa kau-..." Teddy tak lagi melanjutkan kalimatnya, agak takut dengan apa yang dipikirkannya.
Tahu apa yang dipikirkan saudaranya, sungguh membuat Albus ingin tertawa. Bukankah sudah jelas gambaran yang diterima sepupunya itu? Apa masih kurang jelas dengan penyerangan mereka malam ini?
Sangat naif.
"Kau pikir aku tengah bermain-main, Brother? Aku tidak mungkin berhenti hanya karena ayahku adalah The Choosen One atau Kepala Auror yang dihormati."
Tidak, Teddy jelas tahu bukan itu alasan Albus yang sesungguhnya. Penyerangan malam ini merupakan pertanda Albus sudah muak dengan segala kepalsuan dalam dirinya.
Segala kepalsuan yang semakin lama mengikat Albus juga dirinya pada kegelapan.
"Katakan pada mereka untuk mengambil masing-masing tongkat sihir para guru. Tahan mereka semua kedalam ruang bawah tanah. Kau boleh pergi."
Teddy mengangguk patuh mendengar perintah Albus. Dengan segera meninggalkan ruang rekreasi Slytherin.
Mata Albus terpejam mendengar suara pintu tertutup setelah Teddy pergi. Digenggamnya erat Hole-Stone sehingga tenggelam masuk kedalam tangannya.
Kalau boleh jujur pertanyaan Teddy agak mengganggunya. Haruskah ia ragu dan menyesal? Hatinya menegaskan kata tidak, tentu saja.
Ia pasti tidak akan pernah ragu dan menyesal. Bukan ia yang memulai semuanya, mereka-lah yang memulainya.
Keluarganya-lah yang memulai permainan menyakitkan ini.
Albus POV
Sepuluh tahun lalu dimana aku bertemu perama kali dengan Rose.
Saat itu Lily tertidur dalam pelukan ibuku, sedangkan aku tengah menghentikan James mencubiti pipiku. Kami berpiknik dekat rumah bersama ayah yang tengah sibuk mencoba membenarkan letak panggangan dengan tongkat sihirnya.
Suasana begitu nyaman dan hangat, walau aku agak jengkel dengan senyum James yang sukses membuat pipiku memerah karena ulah jahilnya.
Kegiatan kami terhenti ketika ayah berseru antusias melihat seorang lelaki gagah berambut merah dan seorang wanita cantik berambut cokelat menghampiri kami. Lelaki tersebut memeluk ayah sementara wanita cantik berambut cokelat itu menyapa ibuku. Aku baru menyadari ternyata ada sesosok gadis kecil menatap kami –aku dan James- penasaran. Gadis tersebut berlindung dibelakang wanita cantik tersebut sambil memegang ujung rok sang wanita.
Wanita itu tersenyum lembut kemudian menarik gadis kecil di belakangnya perlahan.
Aku terpaku memandang gadis kecil itu, begitu manis dan menggemaskan. Mata cokelatnya yang berbinar serta rona merah di pipinya menambah pesonanya. Rasa hangat menjalari kulitku ketika tangan mungilnya menggenggam tanganku. Kurasakan angin berhembus kencang,membuat rambut merahnya yang halus melambai bebas.
Rose Weasley, begitulah ia menyebut namanya.
Kami bermain bersama, bercerita satu sama lain, kemudian menjadi lebih dekat. Darinya aku tahu bahwa sebelumnya mereka tinggal dengan muggle hingga akhirnya paman Ron memutuskan untuk kembali ke Wizarding Worlds.
Beberapa lama aku menyadari kehadiran Rose membuatku menjauh dari James. Tapi aku mengabaikannya, berpikir lebih baik bermain bersama Rose ketimbang menjadi sasaran keusilan James. James sendiri-pun mulai dekat dengan salah satu kerabatku, Fred Weasley. Ia dan Fred memiliki hobi yang sama yaitu menjahili aku dan Rose. Tiap kali ada pertemuan keluarga, James dan Fred selalu mengusili kami, entah meletakan cream kue di sepatu kami atau menyembunyikan mantel Rose. Tentu keusilan mereka membuat kami kesal, namun aku tidak bisa membenci mereka. Karena aku tahu James dan Fred hanya ingin bermain bersama kami.
Suatu hari keusilan James dan Fred membuat Rose menangis. Aku ingat Rose terisak melihat buku pemberian Bibi Hermonie basah kuyup karena ulah James dan Fred. Tak tahukah mereka betapa berharganya buku itu bagi Rose? Aku ingin menerjang mereka namun kuurungkan niatku saat James dan Fred dengan wajah bersalah meminta maaf pada Rose. Tapi tak bisa kupungkiri bahwa aku marah besar pada mereka. Tanpa mempedulikan permintaan maaf mereka, aku menarik Rose menjauh.
Mungkin di saat itulah hubunganku dengan James tidak pernah benar-benar damai.
Mereka berdua tidak lagi mengusili kami. Rose-pun memaafkan mereka dan mulai dekat dengan saudara-saudara kami yang lain. Akupun demikian, mencoba untuk akrab dengan mereka. Tapi sayangnya mereka terlihat enggan dekat denganku. Ada rasa sakit menggerogotiku tiap kali mereka menatapku takut. Hanya Rose, Victorie, dan Teddy yang bersikap biasa padaku, dan aku sangat menghargai sikap mereka.
Aku mengira semua akan baik-baik saja. Terkadang dengan sengaja aku mengerjai James dan yang lainnya dengan kelakuanku yang licik seperti Slytherin, untuk mencari perhatian mereka.
Aku beranggapan bahwa selama mereka tidak terang-terangan membenciku, tak ada yang perlu ku khawatirkan.
Namun semuanya berubah buruk dari yang kuperkirakan. Sortir Hat memasukanku kedalam Asrama Slytherin. Jujur saja aku tidak pernah berharap. Tapi nasi telah menjadi bubur. Kukira mereka dapat memakluminya.
Salah, aku salah besar. Mereka semakin menjauhiku, bahkan ibuku sendiri takut padaku.
Yeah, mungkin kalian bertanya darimana aku mengetahuinya? Ini bukan prasangka burukku, tapi kenyataan yang aku dengar saat kembali dari Hogwarts.
Malam itu tanpa sengaja aku mendengar pembicaraan ibuku dengan ayah. Saat itu aku tidak bisa tidur dan berencana membuat segelas cokelat panas. Niatku terhenti melihat mereka berdua terlihat berbicara serius di dapur.
Dengan gamblangnya ibuku mengungkapkan ketakutannya, mengatakan bagaimana jika aku menjadi penjahat seperti death-eather yang telah membunuh teman serta kakaknya. Dan kata-katanya yang paling aku ingat adalah bagaimana rasa malunya menghadapi saudara-saudaranya mengenai salah satu anaknya masuk ke dalam asrama musuh mereka. Karena tidak ada satupun anggota Potter dan Weasley yang masuk ke dalam Slytherin. Hanya aku, Albus Severus Potter, anaknya.
Sedih dan kecewa, dua perasaan itu mulai menyeruak. Karena tidak tahan mendengar pembicaraan mereka, aku kembali masuk ke dalam kamar.
Dengan berat hati kukatakan bahwa aku menangis malam itu.
Menyedihkan.
Malam itulah aku menyadari semuanya. Sifatku terlalu naif, menganggap dunia seindah cerita dongeng. Bahkan keluarga yang kau anggap bisa mengerti dirimu hanyalah omong kosong belaka.
Berpikir,berpikir, dan berpikir. Dalam kegelapan, aku berpikir hingga tak menyadari suara desisan menyapa gendang telingaku.
Aku tertegun melihat seekor ular merayap mendekatiku. Mata merahnya menyalang di tengah kegelapan, menatap langsung iris hijauku. Dia mendesis pelan dan lambat.
Ketakutan, aku sontak berdiri, mencoba meraih sesuatu untuk mengusir ular itu. Namun sia-sia, tidak ada yang bisa kutemukan.
Mataku terbelalak lebar saat sebuah suara memanggil namaku. Memanggil nama lengkapku.
Kepalaku menoleh perlahan, menata horor pada mata merah sang ular.
"Albus Severus Potter-..."
Dugaanku tidak salah, aku mengerti apa yang ular itu katakan. Parseltounge?
"Ke-kenapa-...?"
Bukan menjawab pertanyaanku, ular itu semakin mendekatiku. "Menjadi kuatlah, dengan begitu mereka akan tunduk padamu. Aku bisa memberikan kekuatan padamu." Ujarnya dingin.
Entah mengapa tanganku perlahan mendekatinya, membelai kepalanya lembut. Awalnya sang ular hanya menggeliat, namun perkiraanku salah.
Dia mengigit tanganku, dengan taringnya yang tajam ular itu mulai merobek pergelangan tanganku. Kurasakan sakit tak terkira, perutku mual, kepalaku serasa berputar.
Menjerit, berusaha agar siapapun yang mendengar jeritanku segera menolongku.
Heh=...apa kau lupa Albus? Siapa yang peduli padamu? Semua membencimu!
Pandanganku mulai menggelap dan kemudian hitam.
Ketika aku tersadar, tubuhku berada di atas tempat tidur. Tergesa-gesa aku memeriksa tanganku, sama sekali tak nampak bekas luka, semuanya baik-baik saja. Hatiku bertanya-tanya, apa aku hanya bermimpi? Tapi mengapa terasa nyata?
Belum sempat pertanyaanku terjawab, tiba-tiba saja aku ingin tertawa. Kurasakan euforia dan kesenangan memenuhi hatiku. Entah apa yang terjadi padaku, tapi semuanya terasa menakjubkan.
Mengabaikan segala keanehan itu, aku turun untuk sarapan pagi. Kulihat ayah membaca koran seperti biasa, James mengunyah roti panggangnya perlahan, Lily mengoceh tak karuan, dan ibu tersenyum ganjil padaku.
"Kau baik-baik saja, Albus?" Tanya ibu memberikan sepiring roti panggang yang masih hangat padaku.
Aku menyeringai senang melihat tangan ibuku gemetar saat memberikan piring padaku, "Yeah, aku baik-baik saja." Jawabku mantap.
Ayah melipat korannya kemudian tersenyum lembut, "Sepertinya kau begitu senang hari ini, apa karena Rose akan berkunjung?"
"Oh, betapa manisnya, Albus." Tukas James mengejek.
Aku tertawa kecil menanggapi ejekannya, membuat James mengerutkan kening heran, "Memang manis, James. Rose begitu manis sampai aku melupakan kakakku tersayang."
Kerutan James semakin bertambah, "Ada apa denganmu, Al? Kau-...terlihat aneh."
Tatapan James jelas mengintimidasiku, meminta penjelasan atas sikapku. Tapi tidak semudah itu bukan? Aku saja tidak mengerti dengan apa yang terjadi padaku.
"Sudahlah, jangan mencoba bertengkar di meja makan. Habiskan makanan kalian!" Perintah ibu berusaha melerai kami.
Ayah memberi tatapan jangan-bantah-ibu-kalian, membuat James melanjutkan acara makannya. Sementara aku berpura-pura patuh, dengan perlahan menyantap sarapanku.
Hari itu mungkin adalah awal kegelapan mulai menyelimutiku.
Keinginanku pada Rose, kematian Victorie, kemunafikan keluargaku, dan rasa dendamku. Rahasia kelam yang tersimpan rapat dalam kotak pandora kini akan terbuka. Dan akan kubagikan pada kalian semua.
Harry Potter terpaku ditempatnya, menatap bangunan tinggi menjulang dihadapannya dengan tatapan tidak percaya. Sementara para auror sibuk melemparkan mantera untuk bisa menembus sihir-entah-apa yang menghalangi jalan mereka ke dalam kastil. Iris hijaunya menatap Ron dan Draco secara bergantian. Ekspresi Ron-sahabatnya- saat ini sudah menunjukan bahwa ia mulai percaya dengan apa yang dikatakan Draco pada mereka.
"Sihir apa ini sebenarnya? Apa kau mengetahuinya, Malfoy?"
Bukan menjawab, Draco melirik Harry sejenak kemudian matanya teralihkan pada tongkat yang berada dalam genggamannya, "Entah ini akan berhasil atau tidak, aku akan mencobanya."
Kepala Harry mengangguk tanda setuju, sementara Ron mulai menginteruksikan para auror agar berhenti melemparkan mantera.
Tangan pucat Draco terangkat, sambil memejamkan mata ia mengingat mantera yang disarankan Scorpius padanya sebelum ia kembali menuju Malfoy Manor.
"Lockbroke." Sahut Draco pelan. Seberkas sinar biru menabrak sihir yang mengelilingi kastil, membuat gesekan berwarna hitam pekat muncul.
Sayangnya tidak terjadi apapun, mantera Draco tidak bisa mengancurkan sihir tersebut.
Ron mengangkat alisnya, "Mantera yang unik, Malfoy." Ujarnya mengejek.
Draco mendelik tak suka, "Lebih baik kau memikirkan cara agar kita dapat menghancurkan mantera-sial-ini."
"Biarkan aku mencoba." Ujar Harry tiba-tiba sementara Draco mendecih kesal.
"Yeah, coba saja Potter. Akupun baru pertama kali mencobanya."
Harry mengabaikan tanggapan sinis Draco, sambil meraih tongkatnya ia memulai fokus pada mantera di hadapannya.
"Lockbroke!" Seru Harry semangat. Tongkatnya perlahan mengeluarkan sinar biru sama persis seperti Draco kemudian menghantam mantera. Warna gesekan dari mantera Harry tidak berwarna hitam, melainkan berwarna jingga keemasan. Harry terus bertahan memegang tongkatnya dan akhirnya-...
Mantera aneh itu-pun pecah.
"Great! You're the best, mate!" Kekaguman meluncur dari mulut Ron.
"Jangan senang dulu, red head. Kita tidak tau apa yang terjadi di dalam kastil." Tukas Draco memperingatkan.
Sang terpilih mengepalkan tangannya erat, "Yeah, kau benar Malfoy. Entah mengapa aku merasa akan terjadi hal yang buruk di sini." Kemudian mulai berjalan menuju kastil diikuti para auror lainnya.
Sementara seorang pemuda beriris sama dengannya menatap sekelompok auror mulai melangkah ke arah kastil-nya. Matanya tidak lepas memandang ayahnya datar. Sebuah seringaian muncul dari sudut bibirnya, "Jangan khawatir, Dad. Semua jawaban yang kau butuhkan akan aku berikan malam ini. Tapi resikonya tentu tidaklah murah."
Mata Rose kini terbuka sempurna langsung memperlihatkan langit-langit kamarnya. Tubuhnya bangkit, merasakan keheningan yang begitu mencekam. Karena tidak tahan dengan keheningan yang seolah mencekiknya, Rose melangkah menuju pintu kamarnya. Tangannya meraih handle pintu dan mencoba membukanya.
Alisnya berkerut ketika pintu kamarnya tak kunjung terbuka. Mengabaikan keanehan itu, Rose memutuskan mencari tongkatnya. Namun lima menit mencari, ia sama sekali tak menemukan tongkat kesayangannya.
"Apa yang sebenarnya terjadi? Mengapa aku terkunci di sini?" Gumamnya lemah.
Kesal dengan keadaannya, Rose mulai menggedor pintu kamarnya, "HEI! Apa ada orang diluar?!"
Tak ada sahutan.
"Kemana Alvin? Apa dia yang mengurungku di sini? DASAR BRENGSEK!" Dengan kasar Rose mulai menggebrak pintu. "ALVIN ZABINI! KELUARKAN AKU SEKARANG JUGA ATAU KAU AKAN MATI!"
"Diamlah!" Akhirnya sebuah suara menginterupsinya. Bukan, Rose yakin sahutan itu bukanlah suara Alvin. Melainkan suara Scorpius Malfoy.
"MALFOY?! APA YANG KAU LAKUKAN PADAKU?!"
"DIAMLAH ROSE! Sebaiknya kau diam atau aku akan masuk dan membungkam mulutmu dengan mulutku!" Ancam Scorpius dingin.
Terdengar kikikan Alvin pelan membuat Rose semakin naik darah. "Kau?! Sebaiknya kau jelaskan dulu apa yang terjadi padaku!" Ujar Rose menuntut.
"Maafkan kami, Rose. Tapi kau adalah tahanan kami sekarang." Kali ini Alvin berbicara.
"Tahanan? Apa maksud kalian?!"
"..."
"Alvin! Aku tahu kau mendengarku! Jelaskan dengan rinci-..."
"Albus adalah Lord dari para death-eather, Rose." Tukas Scorpius serius.
"A-APA?!" Seketika tubuh Rose menegang, "J-jangan bercanda, Malfoy. Kau tahu? Leluconmu sama sekali tidak lucu."
"Memang sama sekali tidak lucu, sepupu." Mata Rose terbelalak mendengar suara Teddy dari balik pintunya.
Sementara di luar Scorpius dan Alvin mulai waspada. "Teddy Lupin. Tidak ku sangka kau bisa menembus pertahanan kami."
"Heh, memang memakan waktu lama. Tapi terbukti aku bisa masuk sekarang." Teddy mengarahkan tongkatnya pada Scorpius dan Alvin, "Sebaiknya kalian segera menyerahkan sepupu-tersayangku!"
"Tidak akan pernah! Expelliarmus!"
"Protego!"
Scorpius dan Alvin dengan cepat berpisah, memecah konsentrasi Teddy. Namun rupanya sejak awal Teddy hanya mengincar Scorpius.
"Avada Kedav-..."
"Bombarda!" Teriak Alvin nyaring. Teddy berlari menghindar membuat kaca jendela asrama hancur berkeping-keping.
Scorpius mulai melancarkan mantera sectumsempra ke arahnya namun dengan cepat Teddy kembali menghindar.
"Kalian para bocah pure-blood menjijikan! Seharusnya kalian semua mati!" Suara Teddy terdengar semakin menggila. "Crucio!"
"Arrrghh!" Jerit kesakitan Alvin terdengar saat mencoba melindungi sahabatnya.
"ALVIN!"
Belum sempat Scorpius melawan sebuah rapalan mantera 'immobulus' membuat tubuh Teddy diam. Perlahan semua sarafnya terasa kaku dan akhirnya terjatuh.
BRUK
Teriakan Alvin tak lagi terdengar, yang ada hanya erangan lega karena terbebas dari mantera mengerikan.
Scorpius memandang tidak percaya melihat seorang perempuan berambut merah melangkah menuju ke arahnya, "K-kau?"
"Tidak ada waktu untuk menjelaskan. Percayalah, kami berada di pihak kalian." Kali ini seorang pria tampan muncul dari belakang sang gadis.
"Lily Potter-...dan Blizh Wood?" Gumam Scorpius lemah.
Pasti pada heran kenapa Draco tidak bisa memecah mantera Albus? Itu karena Draco merupakan death-eather voldemort, masih ada sihir gelap di dalam dirinya, sementara hanya sihir murni yang bisa memecahnya. Intinya hanya penyihir dengan darah campuran dan juga bisa menggunakan Patronum (khusus) lah yang bisa memecah sihir broken-spell (alias Harry).
Soal bagaimana Scorpius memberitahu Draco itu mudah, seperti mempertahankan status quo, jika Scorpius tidak mengirimkan patronum-nya seharian itu, berarti Hogwarts dalam bahaya. Jadi karena Scorpius sudah tahu kalau Albus akan memakai broken-spell, dia memberitahukan Draco jika seharian itu ia tidak mengirim kabar, berarti Hogwarts dalam bahaya. Begitulah Scorpius memberitahu ayahnya. (Di sini Scorpius bisa menggunakan patronum, sementara Draco tidak).