WARNING: Fantasy, romance, adventure, politic, and many other :DD. Rating bisa BERUBAH sewaktu-waktu.
Terinspirasi dari DEVIL MAY CRY 4, Game XBOX tahun 2009 yang saya tamatkan DENGAN WAKTU 22 JAM(^-^), diramu dengan ide GILA saya diantara sibuknya mahasiswa yang panitia lomba, koordinator seminar, sibuk kajian mingguan dan juga jualan pulsa:DD
SUMMARY:
Namikaze Naruto, pangeran yang terdampar karena insiden keji yang menghancurkan negaranya. Bersama dua jenderal dan adik perempuannya, Naruto harus bertempur guna merebut kembali kerajaannya,tahta mahkotanya, juga hati gadis impiannya.
DISCLAIMER:
Masashi Kishimoto-1999
AUTHOR:
Alp Arslan no Namikaze-2012
HAPPY READING!
V
V
V
PREVIOUS CHAPTER:
…..
Jeritan kian muncul di sekian titik, bayang-bayang kilas lesatan tenaga dalam terlihat. Dua bersaudara ini tahu betul cara menafsirkan keadaan genting nan mendadak ini. Celaka...
Naruto dan Nagato mendecih berbarengan, secepat kilat mereka melompat sembarang. Naruto sekejap mata kemudian melancarkan tendangan ke seekor yang baru saja memecahkan kaca, mementalkannya ke meja roti sebelum tertimpa istana gelas. Nagato mencekik habis dua ekor yang terbang melayang, mendorongnya dengan kekuatan banting ke lantai tengah hingga hancur. Nagato memastikan korbannya tak bangkit lagi sebelum akhirnya berdiri, dia menahan geram. Aura tenaga dalam muncul dari tubuhnya seiring dengan hawa pembunuh yang sedemikian santer.
Nagato berteriak dengan suara yang getir becampur murka,
"SERANGAN DEMON! BERTAHAN!"
CHAPTER XII
"LOYALITY"
Naruto memperhatikannya, riak mata air di pupil itu, pandangan dewa pencabut nyawa itu, milik seorang Namikaze Nagato. Naruto menahan nafasnya sejenak tatkala hawa pembunuh itu menyerbu udara, memadatkan oksigen sehingga menyesakkan dada.
Lusinan prajurit yang mendengar teriakan Nagato tanggap mengungsikan bangsawan yang bukan petarung keluar aula, melindungi sebisanya dengan Fuerza-Fuerza mereka. Nagato memusatkan tenaga dalamnya yang kacau di sekitar terfokus ke kedua tangan dan kakinya, giginya bergemelutuk menahan beban yang menjalar gaib, mengikat kekuatan ototnya hingga tegang tanpa ampun,
"RUGIRE IN ARIA..."
Ketegangan itu memuncak, merasuki seluruh inci sel lengan dan kaki Nagato sebelum akhirnya terlepas, meninggalkan pahatan besi baja berupa armor yang menyatu dengan kedua tangan dan kaki Nagato. Logam perak itu berputar, berderik.
"... EZAZ!"
Teriakan itu berakhir dengan tekanan energi yang menderpa angin, Nagato membungkukkan sedikit badannya, lalu melontarkan tubuh dengan sekejap kelangit-langit aula, berputar sekali sebelum menghantarkan kembali sebuah tendangan yang menukik, mematahkan leher seekor demon sebelum melayangkannya ke bawah.
BRAAKK!
Nagato tersenyum puas. Dia meluruskan kembali punggungnya. Berdiri hingga punggungnya kian sejajar dengan jendela istana. Kegelapan malam sekilas dilihatnya, tak ada yang menarik. Ingin kembali sibuk dengan makhluk-makhluk terkutuk ini sebelum disadarinya sebuah cahaya putih muncul di udara. Nagato sekilas memicingkan matanya.
Seekor demon mengintip, mendapati Nagato bergeming. Sayapnya dilipat, lantas dengan berkedut-kedut dia mendaratkan diri bersembunyi balik tiang. Diperhatikannya pelan-pelan, merayap di pilar putih gelap itu sebelum melompat cepat, menyerang dari belakang.
DRAAAAKKK!
Darah hitam terciprat.
Sayang seribu sayang, rencana itu gagal. Demon itu malah mendapatkan remuk di wajah karena Nagato keburu memutar badannya dengan sebuah tinju. Nagato tersenyum remeh sebelum kembali memperhatikan cahaya putih yang muncul di atmosfer, berputar, menciptakan sebuah ruang kosong yang menarik ruang dalam kesan spiral ke bumi. Pupil riak air Nagato menyadari ada yang tidak beres. Ikatan spiral putih itu semakin kental terasa hawa sesatnya, tatkala mengambil kesimpulan, Nagato hanya bisa terbelalak!
"Yang Mulia Pangeran!"
Tahu siapa yang dipanggil, Naruto berdiri dari jongkoknya. Hatinya miris. Diperhatikan betul rupa keji demon bersayap itu sebelum melancarkan sebuah tinju. Benturan keras dari susunan tulang di kepalan tangannya itu sudah cukup untuk membuat wajah demon itu remuk.
Naruto membersihkan sedikit tangannya yang terpercik dengan darah hitam.
"Yang Mulia Pangeran! Kami-"
SET!
Naruto berlalu tanpa ekspresi, meninggalkan detak jantung yang berhenti sesaat di hati sang prajurit. Naruto berpindah kilat, kembali ke mimbar di mana Ayahnya baru saja diserang.
Ino masih membuka kedua tangannya, memperlihatkan aliran tenaga dalam yang mengalir, perlahan merasuki badan Minato. Kushina diam memperhatikan, matanya sendu. Sakura turut sunyi. Naruto memperhatikan, mencerna baik-baik raut muka masing-masing insan itu.
Belum ada setengah menit dari kejadian barusan.
CIH! BRENGSEK! APA-APAAN INI? SERANGAN DEMON MENDADAK-
"Naruto!"
Naruto buyar murkanya, dia reflek menoleh ke belakang. Gumpalan bayangan membuat susasana terkesan gelap sejenak, panas. Naruto memicingkan matanya sedetik seraya menahan sensasi yang mendatanginya sebelum menyadari siapa yang datang.
Sosok itu berputar sekali di udara, mendarat mulus dengan derak sepatu di atas lantai.
"Sasuke?"
Sasuke berdiri, mengangguk mengerti. Dia mengangkat sebelah tangannya yang memanas dengan gumpalan lahar api. INFERNO-nya membara. Sasuk mengucap mantra dalam bisik.
Tombak magmanya ditarik kembali kekuatannya. Lenyap dalam bentuk kalung.
"Nagato-dono baru saja meninggalkan aula. Beliau menitipkan salam untukmu."
Naruto mengerutkan kening, lantas tersadar. Yang diketahuinya hanya kakaknya baru saja sibuk, namun belum diketahuinya sama sekali hingga saat itu bahwa hawa kehadiran kakaknya baru saja hilang.
Sasuke menelan ludah, Naruto menyadarinya. Setengah hati dia berbalik. Sunyi kian langkahnya hanya untuk berputar badan, dan itu membuatnya mampu mendengar teriakan perintah Nagato di luar istana. Mata birunya menyisir lingkup sepanjang garis horizon di depannya, pusaran putih itu masih ada, melebar dengan mengizinkan makhluk-makhluk keji itu sembarangan masuk.
KEPARAT! DEMON KEPARAT!
Naruto mengumpat dalam batin, giginya menahan gemelutuk yang teramat dahsyat. Entah siapa yang membuka portal, namun Naruto hanya bisa menyadari sebagaimana yang dia amat yakini bahwa kakaknya juga berpikiran yang sama,
Musuh mereka kali ini tidak sembarangan!
Tanpa sadar mulut Naruto mengeluarkan darah, namun Naruto enggan menggubris nyeri. Terlalu iseng untuk kelas ksatria membuka portal. Terlalu rumit untuk seorang manusia, terlalu riskan juga bagi kasta penyihir, tapi...
Entah siapapun yang membuka portal dan melakukan invasi ini, dia SANGAT berbahaya.
Naruto memperhatikan Sang Ayah, Minato tersengal nafasnya, meski aliran tenaga dalam Ino mampu menyembuhkan, namun melihat keadaan Ayahnya seperti ini...
... Naruto bak merasa di ambang kiamat.
"Ayah?"
Naruto nyaris tersentak kaget! Belum bahkan sejenak dia memikirkan itu tatkala Minato bangun perlahan dari bungkuknya, dengan tangan kanan yang terangkat. Memberi isyarat pada Kotetsu maupun Izumo yang berusaha tanggap membantu untuk diam di tempat. Minato bertahan di atas pijakan kedua kakinya dengan luka di dada yang telah mengering, Minato bangkit. Berdiri tegap. Angin kematian yang entah sejak kapan terhembus mengibarkan jubah Sang Baginda Raja. Minato mendengus, nafasnya berhembus sekali seiring dengan kelopak matanya yang tertutup.
Dan sejurus kemudian, pupil biru lembut itu menggertak garang. Bergemelutuk seluruh gerahamnya, Minato menahan emosi yang nyaris meledak di ubun-ubun dengan tekanan nafas di dada. Menahan oksigen agar tidak menyesakkan ruang rongga paru-parunya.
"-Aku akan membawahi langsung pasukan. Pusatkan pada infantri dan pasukan jarak menengah, kita langsung ke pusat kota." Kakinya melangkah, tangan kanannya meraih ikatan gaun di tangan kanan, memperkuat tali kain di sana.
"Divisi IV?"
Minato melanjutkan, Kotetsu tanggap menjawab,
"Hai! Mereka bertahan di bagian tenggara istana, Jendral Nara yang langsung memimpin."
"Divisi V?" Minato mengejar.
"Hai! Jendral Hyuuga dan Jendral Lee dari divisi VII tengah bergerak, baru saja berkumpul di gerbang utara. Menghalau serangan tahap lanjut."
Minato berkerut dahinya sebelum mengangguk mantap,"Instruksikan pada setiap divisi untuk bertahan dengan kekuatan penuh, semua perintah dalam satu konteks: Siaga Tingkat SATU!"
"HAI!"
Dua ajudah khusus itu lesat meninggalkan altar, bersiap dengan perintah di mulut dan penjagaan instruksi di telinga. Minato mengitari ruangan yang sudah kosong. Dia menoleh kini pada Kushina. Sang Baginda Ratu menahan getir,
"Minato, hati-hati..."
Minato tersenyum, melegakan hati sang istri. "Aku akan baik-baik saja."
Anggukan mantap menutup senyum manis penuh khawatir yang diterbitkan Kushina.
"Jendral Uchiha."
"Hai?"
Safir itu menembus iris obsidian Sang Jendral, "Kau tetap di sini, kawal Tuan Putri dan Baginda Ratu. Bawahi pasukan khusus dari divisi I untuk melakukan penjagaan ketat dan lakukan apapun yang sekiranya perlu untuk mempertahankan istana."
Sasuke mengangguk mantap. "Hai!"
Minato berpaling pada Sang Putra Mahkota. Sejenak hatinya miris, kecewa karena semua yang direncanakannya gagal. Tanpa sadar dia menoleh pada Sakura, gadis itu sedetik kikuk. Minato kembali sibuk pada pikirannya. Malam ini dia ingin Naruto berbahagia, namun toh ternyata pupus sudah. Entah orang gila dari mana yang dengan santai membuka portal, membiarkan demon-demon keji itu dengan mudah melukainya,
Namun sebenarnya bukan itu masalahnya. Yang lebih parah, kepulan asap di kejauhan sudah lebih dari cukup untuk menceritakan apa yang sedang terjadi di Kota.
"Naruto."
Naruto mengangkat kepalanya,
"Hai?"
"Kau ikut aku. Kita bertempur di garis depan. "
Naruto tajam membalas pandangan Sang Ayah.
"Otoo-chan."
Minato menatap heran,
"Ya?"
Helaan nafas panjang, lalu sunyi. Sekian wajah di sana jadi salah tingkah.
Dan menjadi teramat aneh tatkla Naruto tiba-tiba tersenyum lebar.
"Aku terlalu bahagia saat ini, mungkin sebenarnya tidak terlalu penting namun paling tidak aku ingin menyampaikan ini padamu."
Kerut di dahi Minato bertaut,
"Kita gempur sampai mati."
Minato terdiam, sebelum akhirnya tergelak tipis,
"Apapun maumu, nak."
Naruto tersenyum lebar, dia berpaling pada Sakura.
"Sakura-chan."
Dalam suasana runyam macam itu, mendengar panggilan pendek mendadak gadis muda itu nyaris terlonjak.
"Ya? Yang Mulia P-Pangeran?
"Kau kembali ke desa mengikuti jalur aman. Barisan infantri akan mengawal. Kembali ke kedai, bersikap seperti pelayan dan katakan pada mereka, Ibukota baik-baik saja."
"C-Chotto, Onii-chan!"
Ino memberanikan diri untuk bicara, membbuat semuanya menoleh ke arah serempak.
"Sakura di sini saja, bukankah di sihni lebih aman dari-"
"-Aku tahu apa itu konsekuensinya," Naruto menyergap argumen adiknya di tengah, tajam dan tegas, "Namun harus ada yang bermain dalam konspirasi. Ibukota boleh hangus terbakar, namun rakyat tetap harus merasa aman."
Kalimat Naruto berhenti di sana, lantas menoleh kepada Minato. Sang Ayah mengangguk pasti. Memberikan sebuah izin,
"A-Aku tahu itu, kakak..." Ino meneguk ludahnya, rautnya khawatir. " t-tapi..."
Naruto mendekati adik perempuannya, mengelus pipi putih itu. "Tenang saja, duduk manis di sini dan tunggu bersama Ibu," katanya. Ino kaget, namun tatkala mendongak dan mendapati warna pupil sewarna dirinya itu menatap langsung pada dirinya membuat jantungnya bak akan melompat.
"Kakak akan melindungi Ino-chan." Naruto cengir sempurna, "Janji."
Pandangan mata itu sudah terlampau jauh menghipnotis sang adik. Mau dibilang tak mengakui pun toh nyatanya terjadi juga, Ino mau tak mau mengangguk malu sambil menahan panas di wajah.
"Sakura-chan, salam untuk semuanya nanti ya?"
Sakura heran, namun ia tak berani bertanya. Dia menunduk, sebelum akhirnya menganguk patuh. Naruto tersenyum senang melihatnya. Dia melangkah mendekat,
Dan dengan sebuah gerakan, Naruto mengecup dahi lebar gadisnya. Sakura terkejut, namun diam sunyi. Rambut pendeknya hanya bergoyang sekali sebelum kembali mematung. Terkekang di bawah hiasan rambut yang menjepit helaian merah jambu. Naruto menarik wajahnya, dan mendapati wajah merah hangat itu dia sangat menyukainya.
Naruto tanpa sadar tersenyum lembut, Kushina dan Ino pun memperhatikan kejadian itu dengan kehangatan tersendiri. Bibir Sasuke tertarik sesenti ke atas, Minato pun dengan sendirinya berusaha menghayati kehangatan itu,
"Ore wa ittekuru, Hime."
Panas wajah Sakura tak tertahankan. Minato tetap tersenyum manis memperhatikan hingga akhirnya dilihatnya Sang Putra Mahkota tengah berbalik badan menghadapnya.
Sepasang safir biru itu berusaha mendalami arti sosok di depannya, Dalam kesepahaman makna yang hanya bisa dipahami oleh keduanya, Naruto mengikuti gerak langkah Sang Ayah, melesat meninggalkan aula.
Naruto menapakkan kakinya di tanah, barisan utama infantri tengah menunggu.
"Baginda Raja! Yang Mulia Pang!-"
"-Terlalu banyak urusan untuk sekedar mengucapkan hormat prajurit." Sergah Minato. "lagipula mestinya raksasa ini yang lebih tahu sopan santun."
Pajurit NERV yang baru saja menyambut itu berbalik patuh, kembali pada pemandangan yang sembarangan tadi ditinggalkannya. Demon raksasa setinggi menara air itu berjalan lamat-lamat, punggung tempurungnya bak menekan gravitasi hingga sepuluh kali lipat langkah kakinya terlihat lebih berat. Dengan bentuk kepala tumpul dan ekor panjang yang menyatu dengan badan bertempurung kerasnya, ukuran sebesar ini cukup bagi Naruto untuk sekedar memastikannya,
"RAPHAEL, ya?"
Naruto menyeletuk, prajurit barusan kaget. Minato menggeser sesenti kepalanya tanpa menjawab.
Naruto mengerti, tanpa dijawabpun jawabannya sudah tahu.
"Aku yang maju, Ayah."
Minato sekilas mengerutkan dahi.
"Tidak."
Pendek, tanpa tekanan di akhir. Naruto heran, prasangka terbit. Dia berteriak jengit.
"Kenap?-"
"-Raphael bukanlah masalah, ia hanya akan berbahaya saat duduk dan membuka mulutnya. Dua ratus pasukan di sini sudah lebih dari cukup, aku akan menghadang Raphael dari sini."
Minato menjelaskan dengan nada tenang bukan main, membuat Naruto tersadar akan sesuatu. Minato menoleh, Naruto mengikuti gerak kepala Ayahnya.
"...Kau urus yang di sana, Naruto."
Kalimat Minato nyatanya lanjut. Naruto mereka-reka dalam bayang awan gelap sosok hitam raksasa yang angkuh di udara. Kakinya panjang, hampir 4 kali banding tubuhnya. Berbeda dengan RAPHAEL yang berjalan lambat, Demon raksasa ini melompat, berakrobat dengan keempat tangannya dengan dentuman yang menggilas habis ibukota.
BRAAAAKK!
Dan juga brutal, Naruto melihat jelas kaki telanjang itu menginjak santai gedung parlemen. Kubah bangunan mewah itu remuk bak selai kering yang jatuh dari meja, hancur sebelum habis tak bersisa.
DRAAAAAKK!
Suara benturan terakhir barusan membuat Naruto tak punya pilihan. Dia menggeleng-gelengkan kepalanya saat dinding lapis gedung parlemen itu benar-benar hilang setengah bagian, melayang sebentar sebelum mendarat sembarangan di tanah.
Jertan kematian terdengr. Dia sekali menapak jalan maju, lalu berhenti
Naruto menoleh, "Akan kuhajar MIKAEL dalam kurang dari lima menit, Ayah tunggu saja di sini."
Minato mengerling,
"Kau benar-benar tahu, kan, mana yang harus dihajar?"
Naruto belum mengembalikan lehernya ke garis lurus,
"Kalau perlu kuhancurkan portalnya sekalian."
Minato menahan cengir, sejenak irisnya berputar ke arah MIKAEL berada. Putaran cahaya putih itu masih terus membentuk pola spiral, menjadi gerbang masuk bagi demon-demon dengan jumlah tanpa batas. Minato berpaling pada RAPHAEL, lalu beranjak.
"Lakukan sesukamu, Naruto."
Naruto memamerkan cengirnya, dia kini berpaling ke depan. Sebaris besar infantri tengah mengelinginya, bersiaga dengan Fuerza masing-masing di belah tangan. Seorang dari mereka maju, Naruto mengenalinya. Si Panglima Tangan Iblis, Sora.
"Seorang Pangeran lebih merasa aman jika ditakuti daripada dicintai." Sora membungkukkan badan, berlutut diikuti segenap ratus pasukan yang tengah dibawahinya.
"Berikan perintah pada kami, Yang Mulia Pangeran."
Naruto mematahkan sekali lehernya ke kanan dan ke kiri, dia tetap berdiri santai seraya melemaskan buku-buku jarinya.
"Ck! Kalian ini menyusahkan saja!" Naruto menggerutu, bunyi KREK dari antara jemarinya diikuti dengan kuap malas. "Ayo bangun,"
Lima ratus pasukan itu spontan mengangkat kepalanya bersamaan dengan Sang Panglima. Sora mendongak, dan seketika itu dibuat bingung dengan tingkah Naruto yang berjalan santai begitu saja,
"Bunuh semuanya, dan serahkan MIKAEL padaku." Naruto berseloroh sambil menapaki jalan, acuh dengan ekspresi bingung para infantri. "Aku serahkan cecunguk-cecunguk itu pada kalian."
Naruto menoleh pada Sora,
"Jangan beri ampun setetespun, Panglima."
"Hai!"
Sedetik berlalu, dan mereka semua tengah berlari. Naruto mengayunkan langkahnya dengan semangat bukan main. Darahnya sudah serta merta mendidih, dan itu membuat ototnya semakin ringan. Naruto mempererat kepalan tangannya, melejitkan diri dengan penuh kekuatan yang tersirat dalam aliran tenaga dalam.
Naruto sadar betul, kepalan tangan ini sebentar lagi akan basah dengan genangan darah hitam berbau busuk.
"HEAA!"
BRAAAAAKK!
Nagato menuntasukan tinjunya, menarik kedua tangannya kembali mendekati tubuh. Demon berbadan keras bak dinding batu ini melolong sebentar sebelum menunduk, lantas menyaksikan butir-butir tubuhnya sendiri runtuh, perlahan, lalu tuntas seketika menjadi debu hitam. Nagato melemaskan otot-otot tubuhnya lagi, niscaya dia merasa pegal. Dia mungkin belum sempat menghitung, namun dia paham betul sudah menghabisi 46 EKOR, dalam waktu kurang dari 10 menit.
Nagato memperhatikan sekelilingnya, tiap-tiap prajurit istana pun disibukkan dengan seekor demon. Nagato menajamkan pandangannya, untuk barisan kroco macam ini tak butuh tambahan tenaga lagi.
Namun ketika dia mendongak ke atas, Nagato merasakan tangannya gatal.
Demon berbentuk paus biru yang melayang itu sedari tadi belum melakukan apapun. Namun Nagato tahu kalau raksasa bejad macam ini sudah didatangkan bukan untuk menjadi seorang penganggur. Dari bawah kolong langit ini Nagato bisa melihat hadirnya demon ini sudah lebih dari cukup untuk membuat suasana mendung di hari panas.
"EZAZ,"
"Ya, Master."
Perempuan berbadan berlian berjalan perlahan, lantas berhenti di samping Masternya. Langkah kakinya disertai derik, menimbulkan kesan berisik. Jalanan yang dilewati laksana hancur bak terseret bobot besi beton. Nagato menyadari spiritnya sudah hadir, dengan dandanan berlapis gaun perak yang selaras dengan porsi tubuh yang termulsi dengan tubuh berlian.
Nagato menghampiri sosok Spiritnya ini,
"Aku kira tahu apa yang jadi titik lemahnya, kau siap, EZAZ?"
Spirit itu mengerlingkan mata, "Aku akan siap menemanimu, Master."
"Hai, so ka."
Nagato menarik nafasnya sekali panjang, menyerap energi gaibdi sekeliingnya. Letupan panas tenaga dalam menyergap sanubari hingga lapisan terluar ototnya. Nagato mengumpulkan aura ledakan berbentuk energi gaib yang memanas, lantas terkumpul mutlak di seluruh tubuhnya.
DRAAAAAAKKKK!
Ledakan itu menyentuh tanah, melontarkan Nagato tepat ke atas. Sekilas melayang di oksigen bumi, Nagato menarik tangan kanannya melewati kepala, ancang-ancang untuk tinjunya.
"VIADRA!"
Kepalan itu memanas, dalam bayangan manusia biasa hanya terlihat aura tenaga dalam yang membentuk kepalan tangan melebihi tubuhnya. Nagato melesakkan langsung sebuah ledakan lewat tinju itu,
BLAAARRRR!
Letupan tinju berbenturan, dan tenaga dalam yang membungkus tinju Nagato berhenti. Nagato memicingkan matanya, kulit bawah perut Demon raksasa ini terasa bak dinding beton. Bergeming, Nagato menarik nafasnya, sekali, dihembuskannya berat,
Titik-titik tenaga dalam secara gaib berkumpul di bagian siku, hanya dua jeda sebelum ledakan energi berikutnya terjadi,
BLAAAARRR!
Tenaga dalam yang menjadi kunci tinjunya meledakkan diri di pangkal, melejitkan energi dorong yang menambah tekanan pukulan. Segenap tenaga Nagato mengerahkan tinjunya, lebih dalam, dan-
"AKH!"
Namun nahas, Nagato terpental. Menjauhi tubuh paus raksasa itu ke bawah. Tenaga dalam yang mengitari tubuhnya lenyap, dan badannya pun terlempar menjauh, ke bawah, ke tanah,
DRAAAAKKKK!
Gema seret suara yang timbul antara sepatu baja dan aspal itu menyayat kuping, namun hilang dengan remuknya jalan hingga meter-meter ke belakang. Nagato terlempar di udara, terseret setelah mendarat di aspal dengan posisi nyaris membungkuk. EZAZ muncul dalam bentuk fisik, sang Spirit berjalan terpopgoh, khawatir pada keadaan tuannya.
"MASTER-!"
"-Jangan ada jeda untuk sekedar prihatin, EZAZ!" Nagato berteriak, membuat Spirit berkilau itu berhenti berlari. Nagato menggertakkan giginya sebelum bangkit lagi berdiri.
"Ayah baru saja diserang secara rahasia tanpa kita ketahui dan NERV dalam keadaan genting, kita tidak bisa lemah-lemah sekarang, EZAZ."
Suara Nagato melembut, namun itu teramat cukup untuk menohok sanubari sang Spirit. Sejenak EZAZ menundukkan kepalanya malu, sebelum dirasakannya tangan kekar Nagato mengusap sudah atas kepalanya.
"Ayo kita bertarung lagi, EZAZ!"
Senyum Nagato bersinar, menerbitkan rona merah di pipi sang spirit.
"Hai!"
Nagato berdiri, tanpa goyah dilihatnya sengaja kedua tangannya yang terlapis EZAZ.
Paus itu masih melayang angkuh tanpa dosa. Terbang perlahan,
"Baik, Jurus pertama tidak mempan, jangan salahkan aku langsung ke menu berikutnya." Nagato menepuk-nepukkan tangannya, mengibaskan debu dengan beberapa kali suara derik besi tak beraturan.
Nagato membungkukan badannya, diliriknya sesenti sang Spirit,
"Kau siap, EZAZ?"
"Kapanpun kau siap, MASTER."
Nagato menyembunyikan senyumnya,
"Ikuze."
DRAAAKK!
Nagato menghentakkan dirinya dari aspal. Bunyi itu jelas simbol audio yang secara gaib menarik perhatian infantri yang sedang sibuk,
Seorang prajurit menoleh,
"A-Apa itu?"
"Jangan bodoh! Itu Yang Mulia Nagato!"
Prajurit berkulit hitam yang barusan bertanya itu menoleh spontan pada rekannya yang menjawab. Seekor demon cecunguk berkedut melihatnya, demon itu menggeram marah namun sunyi. Diam-diam didekatinya prajurit yang barusan memukulnya itu, perlahan-perlahan dan,
"AWAS DIBELAKANGMU!"
Si hitam tersadar dari benak, ia lantas menoleh dan mendapati sebuah sabit sebesar badan tengah terayun tepat ke padanya!
CRAAAASSHH!
"Hiii?"
Prajurit hitam dan rekannya itu membatu. Rambut putih itu sedetik berkibar, bergoyang tajam di antara bercak darah hitam yang terciprat. Dengan wajah yang tertutup tudung dan baju tanpa simbol keprajuritan, sosok itu menahan beban di kakinya hingga menekuk sebelum melesat.
Dan hilang.
Si hitam dan rekannya terpaku, badan demon yang lemas itu terjatuh, lalu hancur menjadi debu anyir nan busuk. Saat bau tak sedap itu hilang dari jangkauan indera pendengarannya, dua prajurit itu bak baru sadar akan apa yang terjadi.
"Eto... Hatafu,"
Si hitam bertanya pada sahabatnya yang juga bergeming, dengan panggilan barusan sunyi yang menyergap mereka hilang.
"Kau kenal dia?"
Sasuke berdiri dalam diam, mata hitam kelamnya waspada menyisir situasi. Sekian puluh meter di balik punggungnya, Ino dan Kushina bersembunyi di dalam kamar khusus kerajaan. Sasuke melemaskan tangannya, siaga dengan FUERZA yang siap dicabut kapan saja.
Seorang prajurit datang mendekat. Datang sehalus angin lantas membungkuk hormat di depan Sasuke. Sang Jendral memicingkan pandangannya tanpa menunduk,
"Laporkan,"
"Siap! Semua staff dan ajudan istana sudah berlindung di gudang utama. Siap menunggu perintah selanjutnya."
"Siaga satu hingga batas waktu yang tidak ditentukan. Lakukan apapun yang sekiranya diperlukan untuk menjaga keselamatan semua ajudan. Laksanakan!"
Sang prajurit mengangguk mantap,
"Hai!"
Selanjutnya, lantai marmer di depan Sasuke hanya berimbaskan asap putih tipis. Prajurit tadi sudah meninggalkannya. Sasuke masih berdiri tegap, insting pembunuhnya sebagai jendral dipertaruhkan di sini.
Di sini, berkeliling dari mulai aula utama yang ringsek dan halaman dalam istana, pasukan khusus dari divisi I menjaga ketat. Sasuke melangkah kini, memastikan perisai tenaga dalam yang melingkupi luar istana. Sasuke diam memandang, ledakan panas sudah beberapa kali tadi terdengar dan terlihat meski samar-samar. Asap yang melayang di atmosfer EGARTH sudah dangat cukup menjelaskan bagi Sasuke.
GLAAAAAAARRRR!
Ledakan lagi.
Kali ini di kejauhan dia melihat paus biru raksasa jatuh dari udara, badannya terbelah dua, mulai dari sayap sebelah kanan hingga tubuh sebelah kiri sebelum akhirnya terpisah dan hancur menjadi debu hitam. Tangan Sasuke gatal, jujur Demi Tuhan ingin sekali dia melompat dan membakar hangus demon-demon najis ini dengan tombak magmanya, membantai makhluk-makhluk bejad ini adalah kesenangan tersendiri baginya.
Hawa Pembunuh.
Sasuke hanya bisa menahan kuat-kuat hawa pembunuhnya. Menekannya sebisa mungkin dengan aliran tenaga dalam dan tarikan nafas sekitarnya. Toh bagaimana lagi, perintah sudah mutlak turun dan esensinya kian absolut. Sasuke tidak bisa menolak perintah Baginda Raja NERV, meskipun iitu berarti dia harus menjalani tugas dengan ganjal yang bercokol di hati.
Ganjal? Sungguhkah?
Sepertinya Sasuke harus mencoba koreksi sendiri kalimat itu, apa yang kurang dari kelezatan dunia menjaga seorang Namikaze Ino? Eh?
Sasuke menggelengkan kepalanya. Cukup. Jangan pernah berpikir seperti itu, Sasuke. Sasuke kembali menghela nafasnya tatkala kesadarannya kembali, sejenak ingin meringankan pikirannya dari tugas berat yang diemban.
Ah, namun ternyata akalnya tak bisa diajak kompromi. Wajah Sang Putri menari kembali di benaknya, kali ini dengan tubuh molek dan parasnya yang jelita. Sasuke tanpa sadar sudah kembali mengkhayal, bagaimana dia sendiri terhipnotis dengan penciptaan sang Putri. Dahulu, ketika Sasuke dan Naruto belum genap berumur 3 tahun, Fugaku ayahnya sering bilang kalau adik perempuan Naruto yang baru lahir sangatlah cantik dan ingin Sasuke punya adik juga yang seperti itu. Sasuke dan Naruto yang tengah bermain di lapangan istana buru-buru berlari masuk ke dalam. Sasuke ingat sekali, Naruto berlari-lari di lorong mendahuluinya, diikuti oleh pengasuh pribadinya, Rin. Naruto membulatkan mulutnya saat itu, menaruh kedua tangannya di depan mulut seakan menciptakan megafon.
"Bhuopp! Bhuooooppp! "
Sasuke mengikuti perilaku sahabatnya itu. Begitu mereka berteriak-teriak di lorong kerajaan. Sampai di ruang bersalin istana, Nagato yang baru 6 tahun mencegat mereka. Menjitaki satu-satu karena berisik. Mereka berdua hanya bisa meringis menahan nyeri saat itu sementara Itachi yang berusia 7 tahun menikmati pembantaian itu dengan tertawa lebar.
Teringat sebuah nama itu, membuat redup sedetik mata Sasuke. Entah ada di mana kakaknya itu sekarang.
Mereka kemudian masuk ke dalam. Di sana Kushina tengah terbaring, Tsunade tengah membasahi sesuatu dengan air hangat di sana, Naruto melihatnya., mengendap lalu mengikuti. Mata Sasuke mengekor gerak sahabatnya itu. Dan tatkala malaikat mungil tanpa sayap itu sampai dari tangan Tsunade ke pangkuan Kushina, mata hitam Sasuke melebar dengan rona yang manis sekali si wajahnya.
"Hei, kau jolok!" Seru Naruto cedal. Sasuke menoleh, lalu menautkan kedua alisnya.
"Jorok? Apanya?"
Naruto melompat ke samping, lalu mengangkat telunjuknya, "Kau! Belpikilan jolok saat MELIHAT adikku!"
Sasuke bertambah merah rona pipinya,"T-Tidak! Aku hanya 'suka' melihatnya!"
Naruto meringis, "Hihihi... Kau suka? Enak saja! Tidak akan kubelikan adikku padamu, Teme!"
Telunjuk bocah pirang itu bergoyang-goyang di depan Sasuke. Sasuke menggertakkan giginya menahan marah, dia maju melangkah,
"Awas kau,PENGECUT LIDAH PELO!"
"Belisik kau JOLOK TEME!"
DUAGH! DAK!
Dua benjolan mendarat tepat di kepala keduanya, Nagato berdiri dengan sedekap di dada.
"Ck, kalian ini tahu tidak artinya 'berisik', eh?"
Dua batita itu meringis, kali ini dengan aliran air mata tipis-tipis di pojok pupil. Itachi mendekati Nagato, menepuk bahu kirinya.
"Sudah-sudah, hobi sekali kau jitakin mereka."
"Benar, Nagato. Ada kalanya mereka itu berselisih paham." Tukas Minato, ditepuknya kali ini rambut merah anak sulungnya.
"Tapi kalau aku boleh sekedar jujur, memang anakmu ini cantik sekali, Minato." Suara berat itu terdengar. Fugaku bicara dengan punggunya menyandar di tembok. " Kau harus sangat bersyukur."
"A-ah, kau ini bisa saja, Fugaku." Minato menggaruk kepalanya yang tak gatal. "Aku kira itu biasa saja,lagipul-"
"Tidak. Dia memang cantik sekali."
Mikoto yang berdiri mengangguk, lantas berjalan ke samping ranjang Kushina. Minato entah kenapa tiba-tiba kaku. Itu jelas suara istrinya, masih dengan terengah dan helaan nafas yang mengejar. Mikoto menaruh karangan bunga di atas meja. Menundukkan kepala sebelum mengelus rambut kuning si malaikat mungil. Minato jadi penasaran. Dia mendekat, lantas merekam istrinya tengah menyusui sang malaikat mungil dengan wajah teramat bahagia.
Melihat rona manis yang terpancar antara dua mutiara hidupnya itu, Minato benar-benar memilih diam. Mikoto mengambil alih bicara.
"Namanya siapa, Kushina?"
Kushina berdehem sekali, tangannya merapikan baju yan sedikit terbuka karena sedang menyusui,
"Ino, "Ujarnya. "Namikaze Ino."
"Ino..." Naruto mengeja. Sasuke beku. Tatkala itu dalam dimensi 3 tahun dia hanya melihat sang bayi saja. Semua jasad fisik lantas hilang selama beberapa hitungan detik, hingga akhirnya dia tersenyum. Mata hitamnya melebar gembira dan mulutnya terbuka berkata,
"Ino."
.
.
.
Entah apapun yang tengah menimpa Sasuke hingga melankolis seperti ini, bukan karena hukum karma akibat meledek Naruto tadi, tapi memang Sasuke yang tidak mau tahu.
Sasuke menarik pandangannya dari bayangan gaib bekas si paus biru, dia memutar tubuhnya selangkah ke kanan,
DEEEEEGGGGGHHH!
"SIAPA?"
Sasuke berbalik, teriakannya memcah hening ricuh istana. Sunyi.
Sasuke terperangah, pasukan khusus di sekelilingnya justru malah melihatnya dengan bingung. Sasuke jadi kikuk, namun dengan tegangnya dia karena menahan malu, keringat dingin lantas merembes di punggungnya.
HAWA PEMBUNUH!
Sasuke jelas sekali merasakan getaran itu. Bukan manusia! Bukan pula demon! Tapi-
"SIAPA?"
Kali ini Sasuke berbalik badan, penuh. Lalu celingukan. Mata kelamnya memicing bak obsidian, memburu. Namun tak didapati satu sosok pun yang kentara memiliki hawa pembunuh itu.
Seorang prajurit mendekati,
"A-Ada apa jendral?"
Dua butir keringat mengalir dari dahi Sasuke. Dia terperangah, lantas mendecih.
"Ada penyusup di Istana! Semuanya siaga!"
Sasuke mengayunkan tangannya, teriakannya menggema dan menyentak langsung emosi drastis para prajurit khusus divisi satu. Tanda tanya besar muncul di benak masing-masing, Penyusup apa? Siapa? Kenapa kita tidak merasakannya? Bagaimana bisa menembus perisai tenaga dalam?
Dikejar dengan setumpuk misteri yang mencekik leher, untungnya mereka bisa memahami bahwa jendral mereka pastinya tengah menanggung beban yang lebih berat.
Sasuke bersiap dengan tenaga dalam yang menjalar sekitar tubuhnya, perlahan, kemudian sejenak terpancar santer kemudian memadat hingga terkumpul pekat di tubuh. Sasuke sadar FUERZA-nya kasar, lantai berlubang karena magma adalah tingkat rusak parah dan contoh itu membuatnya enggan untuk terbiasa menggunakannya di dalam ruangan. Namu tenaga dalam yang terkumpul ini mampu dia manipulasi, sehingga untuk pertarungan tangan kosong Sasuke pun berani.
Sasuke beruapaya tenang, dia mengambil kuda-kuda,
Ada sesuatu yang aneh.
Sasuke merasakannya, sedetik itu dia meraskan adanya setitiki biji sawi kemiripan dengan hawa seseorang, namun terlampau tipis untuk dilacak. Saat pertama Sasuke tidak terlalu menggubris sebiji itu, namun untuk yang kedua kalinya itu, Sasuke tidak akan lengah lagi.
SIAPA?
"Sasuke-kun..."
DEGH!
Sasuke bak nyaris melompat. Jantungnya bergetar bukan main.
Perlahan, takut-takut sang Jendral divisi satu berbalik badan.
"O..."
Lidahnya tercekat,
"Ojou-sama?"
Getaran tenaga dalam Sasuke mengecil, lantas hilang. Sasuke - seraya tergagap- melangkah ke arah Ino yang entah sejak kapan tengah berdiri di lorong.
"Tuan putri, maaf. Tapi bukankah Minato-Dono sudah-"
"-Sampai kapan?"
Eh?
"Sampai kapan Sasuke-kun akan menahan perasaan itu?"
Ino cepat kembali menyambung kalimatnya, sedangkan Sasuke mematung dengan dada tertohok. Gumaman pelan yang sama sekali tidak mengangkat suara itu bak terdengar sebuah fatwa baginya.
Ino semakin mendekat. Jarak antara Sang Jendral dan Tuan Putri Kerajaan pun perlahan, namun secara pasti terhapus. Langkah itu semakin cepat, hingga akhirnya Ino telah sampai di depan Sasuke. Mereka berdua berdiri berhadapan.
Atau mungkin lebih tepatnya, Sasuke dihadapkan dengan Sang Putri.
Sasuke terpana, dalam jarak sedekat ini dia bisa melihat dengan jelas betapa jelita sang Namikaze Ino. Rambut pirang poninya itu berkilau, dengan gelung rambut berhiaskan intan kebiruan di permukaan. Gaun pestanya, Sasuke tak tahu harus lagi bilang apa. Sasuke hanya tahu pedang dan darah, tidak ahli dalam desain pakaian apalagi esensi keindahan. Namun untuk ini jelas pengecualian. Kecantikan di depan matanya ini ambigu, abstrak namun menghipnotis. Tanpa deskripsi, Sasuke hanya mengakui benar adanya kenikmatan tersendiri saat melihatnya.
Ino terdiam, Sasuke jadi kikuk. Siaganya lenyap.
Sasuke membuka mulutnya,
"Ojou-sama, saya-"
JLEB!
Sasuke tak jadi melanjutkan kalimatnya, tiba-tiba saja dia beku.
Sasuke beku.
Ya, beku. Dia sungguh bak membeku tak mampu bergerak dan berkata. Sedetik berlalu, dan pupilnya menjadi organ tubuh pertama yang bergerak, melebar.
Mata hitam Sasuke melebar dahsyat tatkala tetesan merah itu jatuh, merembes pelan dari perut dan dada Tuan Putri NERV. Tombak tenaga dalam itu menembus jauh dari punggung ke depan tubuhnya, dan hasil mudah, ceceran darah timbul terbit. Mengalir di lantai marmer kerajaan.
"OJOU-SAMA!"
Detik berikutnya Sasuke tanpa ampun berteriak, melompat lalu membopong langsung Ino yang semakin banyak memuntahkan darah.
"OJOU-SAMA! OJOU-SAMA!" Sasuke menjerit, "PANGGIL BANTUAN!"
Salah seorang ajudan reflek berteriak, "Panggil tabib kerajaan! LINDUNGI JENDRAL DAN TUAN PUTRI!"
Pasukan khusus yang segenap orang itu tanggap menyebar, ke posisi masing-masing dengan ketegangan emosi yang memuncak dahsyat bukan main. Sasuke mengumpulkan tenaga dalam, dipotongnya tombak tenaga dalam itu hingga hancur dengan telapaknya.
"Ojou-sama... onegai..." Lalu Ia hanya bisa termangu, ia tak punya teknis medis yang berarti. Jubahnya basah karena darah yang tak berhenti mengucur dari mulut dan badan Ino.
AAARRGGHH! AAAAAKKKHH! AAAAKH!
Teriakan beruntun, di setiap tempat di dalam aula ini serasa lebih mengerikan dari sebuah makam. Sasuke yang masih memunggungi pasukannya mendadak tercekat nafasnya, keringat dinginnya yang tadi berhenti kini kembali membasahi punggung.
Sasuke bergetar, diberanikan dirinya untuk menoleh ke belakang,
TEP! SRET!
Suara langkah kaki, dengan suatu yang berat terseret. Pelan, santai, tanpa wibawa.
TEP! SRET!
Namun dingin, bernafaskan iblis, dengan hawa pembunuh yang mencekik santer.
"... Hh, bukannya Jendral divisi satu itu mestinya lebih waspada dan hati-hati pada setiap kemungkinan? Ternyata itu hanya spekulasi biasa..."
Sasuke tercekat benar tenggorokannya, kekuatan lisannya kabur entah ke mana.
"...Jendral Uchiha?"
Sosok itu berhenti, tangan kirinya yang basah darah menjatuhkan mayat seorang pasukan khusus divisi I yang tergorok lehernya, tewas. Tangan kanannya yang tak kalah anyir dengan nyawa merogoh saku, meraih secarik sapu tangan dari sana.
Kain putih bersih itu langsung terpercak merah darah, lantas dibuang ke lantai. Iblis itu berjalan, dengan kedua tangannya yang bersih dia merapikan sudut kacamatanya di atas hidung.
Sasuke berani bersumpah dengan sejumlah sifat Sang Pencipta, dia kini sadar kenapa merasakan hawa pembunuh yang bak pernah dirasakannya.
Sasuke menarik nafasnya, menghembuskannya perlahan sebelum menaruh badan Ino yang lemah dengan sangat hati-hati ke atas lantai marmer. Sang Putri tersengal-sengal nafasnya, tersumbat karena luka parah yang diderita.
Sasuke berdiri membelakangi Kabuto.
"Apa tujuanmu?"
"Apa urusanmu?"
Jawaban yang singkat dan tajam, Sasuke masih membuang muka.
"Aku adalah Jendral Divisi I kerajaan NERV, dan kau baru saja menyusup, membunuh semua prajuritku dan melukai Tuan Putri Kerajaan. " Sahutnya. "Lantas apa tujuanmu, penyusup?"
Kabuto mengangkat bahunya, terhitung dua detik sebelum bahu itu luruh kembali ke saming badan.
"Sebenarnya pertanyaanmu salah, Jendral." Gumam Kabuto.
"Aku semenjak lama lalu menyusup, bahkan sebelum Ojou-sama lahir."
Sasuke menahan amarah yang hampir meledak di dadanya, "Kalau begitu mungkin kali ini pertanyaannya tidak akan salah, " Tukasnya gerah.
"Di mana Baginda Ratu?"
Kabuto mendelikkan matanya dari balik kaca mata bundarnya,
"Aku tak akan beritahu."
Sasuke tak kuasa lagi menahan marahnya, darahnya yang sudah mendidih bak semakin menggelegak.
BUNUH!
.
.
.
Perintah itu secara gaib menjalari otaknya, matanya tak perlu menyisiri pojok-pojok aula untuk sekedar mengetahui ratusan bawahannya telah tewas. Sasuke mengangkat tangannya ke atas,
Dia tak perduli lagi kalau sampai seluruh istana meleleh lebur.
"Argive... INFERNO-!"
.
.
.
CRAAAASSSSHHHH!
.
.
.
Sepertinya istana NERV tidak akan rusak sama sekali.
Belum sempat sang Jendral membangkitkan FUERZA-nya,sebuah tebasan terlampau cepat melintasi badan Sasuke. Tubuh kekar itu sejenak merasakan adanya tekanan yang melewati kulit dan dagingnya sebelum seliter darah terciprat dari tubuhnya.
Sasuke roboh, lututnya menahan laju jatuh tubuhnya sebelum seluruhnya ambruk.
Kabuto mengibaskan tangannya yang merah,
"Cih, tanganku kotor lagi."
Dilihatnya di arah lain Ino tengah menghela nafasnya berkali-kali. Ah, sebentar lagi juga mati. Begitu benaknya.
Kabuto menjauh selangkah dari tempat itu, kemudian lanjut. Misinya sudah selesai.
.
.
DEEEEEEEEEGGGH!
Atau BELUM?
Tekanan tenaga dalam itu membuat Kabuto terdiam langkahnya, dia berbalik setengah badan. Sosok Sasuke tengah berdiri dari baring, dengan luapan tenaga dalam yang menggelegar dengan hawa panas magma. Sasuke berdiri sempurna, dan tatkala berbalik badan, FUERZA-nya tengah digenggam kuat di tangan.
"Kau akan mati di ruangan ini, Kabuto." Ketus Sasuke, "Aku akan menjadikanmu kepala sajian kuburan masal prajuritku, KAU SILUMAN LAKNAT GILA!"
Kabuto tertantang, "Oh, baiklah. Kita uji kemampuan seorang Jendral divisi I. Apakah sama saja dengan prajuritnya, atau mungkin sedikit lebih baik?" Kabuto menekankan kata baik sambil berjalan mendekat. Sasuke terkekeh tipis,
"Chamos Inferno..."
Bisikan itu diucapkan benar-benar lirih agar tidak terdengar, namun ternyata Kabuto sukses mendengarnya dan dia terbelalak!
Sasuke tak berkenan memberikan sedikitpun nafas bagi sang penghianat, seiring dengan selsainya dua kata barusan, tenaga dalam pun semakin santer memadat ke seluruh badannya.
"...ZEN-KAI!"
-(TBC)-
VOCAB'S:
Ore wa ittekuru: Aku pergi (dengan pengucapan yang tidak resmi).
POJOK REVIEW:
Ryuu: Okay, terima kasih saran dan dukungannya masbro! ^^b Kalau dengan 6000 kata full fight gini, cukup nggak? XDDD
nona fergie: Hehehe... ane nggak pernah main RE, sih. Jujur. Tapi kayaknya nanti kalau dia ngerilis yang baru lagi, I Allah bakal masuk dalam daftar wajib install :DD
ikki: Okay, makasih sudah mampir dan menyempatkan diri untuk mereview, Ikki! ^^b
Anonim: Ya Allah, masih ada yang terngiang dengan THE HUNTING, maka renyuh pula hariku. T_T
"The Hunting" I Allah masih lanjut, namun lihat sikon, XD. Thank banget, nih permintaan langsung yang bakal ane simpan buat tetap jadi motivasi! ARIGATOU!:DD
deltaranger over revolution: Oalah gan, gan... Ya wes, nih nambah satu lagi utang nte XDDD Tak tunggu youw! XD
gui gui M.I.T: Ya Allah, jujur ane terharu banget. Mkasih banyak buat Gui-Gui yang sudah menyempatkan dirinya untuk membaca fict ane d(^_^)b BTW, SasuIno-nya kurang nggak? :DD
xXx: Okay, bro! Nih sudah update dan terima kasih buat supportnya! :DD
Wi3nter : Hihihi... ni dia orang yang ditunggu-tunggu. Udah update nih, Neng :DD
AN:
Well. Saya akan konsen ke UAS minggu depan, dan akan ada banyak laporan yang harus saya fokuskan. Maka dari itu saya mau mohon izin untuk tidak update dulu 3 minggu ke depan. Konfirmasi CHAP selanjutnya akan hadir lewat facebook saya, Masbro en Mbasis. (^_^)
.
By the way,ni chap memang sengaja saya genapkan jadi 6600 WORD, sebagai ganti minggu kemarin yang absen. Wkwkwk... semoga dengan ini naskahnya jadi nggak nggantung sebagaimana yang kita harapkan(?) XDD. ANe juga nggak bisa banyak buca FFN di kantor. maka dari itu maklumi saja, ya? Khekhekhekhe...
So, anyway, sampai jumpa 3 minggu lagi dan...
Mind to leave your comment here?
I always waiting,
Alp Arslan
V
V
V