AN: OMG!, Masih adakah yang menunggu? Ane harap semuanya masih sudi membaca fict yang saya luangkan ini dengan waktu absen hampir 2 minggu, (^_^). Sebelum update chap, ane mau memberikan terima kasih sedalam-dalamnya untuk, holmes950, abie, Yashina Uzumaki, Hikari Hime, Lily-chan, Wi3nter, Fergie Shappirerald11, Gorilaz46 dan SEMUA silent reader yang sudah meluangkan waktunya untuk membaca, meng-alert, dan fave fict ini. (^_^).
.
.
YOSH! Okay, happy reading!
WARNING :Fantasy, romance, adventure, politic, and many other :DD. Rating bisa BERUBAH sewaktu-waktu.
Terinspirasi dari DEVIL MAY CRY 4, Game XBOX tahun 2009 yang saya tamatkan DENGAN WAKTU 22 JAM (^-^), diramu dengan ide GILA saya diantara sibuknya mahasiswa yang sibuk masuk kantor harian dan juga jualan pulsa :DD
.
.
.
.
V
V
V
DISCLAIMER:
Masashi Kishimoto-1999
AUTHOR:
Alp Arslan no Namikaze-2012
SUMMARY:
Namikaze Naruto, pangeran yang terdampar karena insiden keji yang menghancurkan negaranya. Bersama dua jenderal dan adik perempuannya, Naruto harus bertempur guna merebut kembali kerajaannya,tahta mahkotanya, juga hati gadis impiannya.
-ALP--
"Sudah pukul tujuh, kakak,"
Haruno Sakura menyibakkan sisi rambut hitam kakaknya, memperlihatkan dahi putih seorang Akasuna Shizune. Perempuan muda ini membuka perlahan kelopak yang menutupi iris sewarna gelapnya. Wajah cantik yang belum terhapus itu tersenyum perlahan, lemah namun tetap menerbitkan seuntai bahagia di hati Sakura. Wajah cantik sang kakak kentara semakin terlihat, dipantulkan oleh cahaya mentari yang masuk menyinari lewat jendela yang terbuka. Sakura merasakan hangatnya cahaya sembari menghirup hawanya dalam-dalam. Bau yang tak asing.
Bau musim semi.
Tangan lembut Shizune menyambut lemah telapak Sakura, membiarkannya membelai lembut tulang pipinya. Melihat respon sentuh dari kakaknya, Sakura melebarkan senyumnya,
"Nee-Chan ingin mandi dulu? Sasori-Nii sedang keluar membeli persediaan makanan, sebentar lagi pasti kembali."
Shizune hanya mengangguk mengiyakan. Ia terlalu lemah untuk barang menjawab pertanyaan adik satu-satunya. Sakura beranjak sejenak, berniat mengambilkan alat mandi khusus millik Shizune. Lalu kembali, Sakura membantu kakaknya untuk duduk di ranjang, mengangkat selimut kain yang menghangatkan tubuh tirus kakaknya ini semalam. Sakura membantu Shizune membuka bajunya sendiri, mencelupkan handuk, lalu mulai membasuh perlahan tubuh Shizune.
"Itadaima..."
"Okaeri!"
Sakura mengangkat sedikit suaranya, menyambut siapa yang datang tanpa mengangkat pinggulnya dari ranjang. Tanpa melihat pun, Sakura tahu kalau kakak iparnya baru saja datang.
Sakura usai memandikan kakaknya, mengecup pelan dahi Shizune sebelum berjalan keluar kamar. Shizune tersenyum, yang dirasakan Sakura teramat berbeda dengan senyum yang dia dapati tadi.
Kakak, setelah mandi semakin cantik!
Sakura memutar sempurna knop pintu. Belum berbalik penuh saat hidungnya kembang kempis menangkap aroma harum. Sakura menaruh alat mandi milik Shizune dengan tergesa, lalu berjingkat menuju dapur. Sasori sedang mengaduk adonan di wajan logam, nyala api kecil memberikan hawa membakar dengan sensasi lezat menguar di udara.
"Sakura? Mau bantu aku?"
Gadis berambut merah jambu ini mengiyakan seraya mengambil celemek, mengikatkannya di balik punggung lalu mengambil alih aktivitas tangan kakaknya. Sasori mengapus peluh sejenak, memandang wajah cantik adik iparnya.
Meski kami tidak jujur.
Dan Sasori tersenyum sendiri, pahit.
Sebuah fenomena yang mencabut kemampuan berjalan istrinya telah mengubah kehidupan Sasori 180 derajat. Sasori berani bersumpah, depresi berat yang dijalaninya selama hampir 8 bulan terlalu pahit di umurnya yang bahkan belum menginjak kepala 3. Shizune lumpuh karena kecelakaan, dan itu membuatnya nyaris gila.
Dan hikmah Tuhan terjadi. Sakura dikirim oleh Tuhan.
Calon bidadari masa depan, batin Sasori.
"Hari ini bunga sakura sudah mulai bermekaran, dan cuaca pun sedemikian cerah. Aku punya rencana untuk mengajak kallian berpergian hari ini." Tukas Sasori, senyumnya semakin lebar. "Aku yakin kakakmu pasti sangat senang."
"Ah, tapi kakak, aku kan ker-"
"-Aku sudah bilang pada Tsunade tadi di jalan lewat sms. Hari ini kau boleh libur."
Semburat bahagia lantas menghiasi belah pipi Sakura, "Ah, kakak berlebihan." Dia mengejar "Tapi sepertinya memang harus dibutuhkan sekedar satu hari sebelum Festival Hanami untuk sekedar berkumpul menikmati suasana. Kupikir Nee tak bakal keberatan."
Sasori tertawa ringan, dia menyandarkan tubuh tingginya di dinding. Sakura mengambil sendok, mencomot seujung dari masakannya,
"Eh, Kakak bilang kita akan keluar? Keman-"
"Ya-"
KRIINGG!
Suara telpon memutus arah bicara mereka berdua. Sasori memutar mata, berlalu setelah menepuk bahu Sakura.
Sasori mengangkat telpon,
"Ya, kediaman Akasuna di sini...Oh, Ya. Aku akan segera datang. Kau persiapkan saja arena, akan kubuka portal tepat jam sembilan nanti..."
Suara diseberang memberikan penekanan dengan nada suara dingin. Sasori menggigit bibir bawahnya, gelisah.
"Ya, aku paham. Aku pastikan semuanya akan berjalan sebagaimana rencana, dan aku berharap akan mendapatkan sebagaimana sudah kita sepakatkan."
Sasori mendengar tawa meremehkan dari seberang, jujur dikata gelisah dirinya sudah meningkat ke tahap kesal. Mendengar nada bicara yang merendahkan seperti itu Sasori menggelegak sudah amarahnya. Namun dia tak punya pilihan.
Suara di seberang mengucap pamit.
"Baik, sampai nanti, Kabuto."
Sasori mengembalikan gagang telepon kembali ke tempatnya. Ia menutup matanya, pelan-pelan berusaha dihapus emosi yang mendidih dalam dirinya. Semenit berlalu sebelum ia kembali ke dapur.
"Siapa, Sasori-Nii?"
Sakura bertanya seraya menoleh sedetik, lalu kembali pada wajannya. Sasori beruntung, senyum palsunya tidak kentara terlihat.
"Hanya klien kerja. Soal pembagian tugas."
Sakura mengangkat sebelah alisnya. Dicicipinya sekali lagi adonan telur dan sayur di wajannya, dan kali ini wajahnya berbinar. Pas sekali.
"Oh, ya?" Sakura menanggapi, lalu tangannya berhenti mengaduk. "Ah! Berarti kakak sedang sibuk! Kenapa kita malah bepergian?"
Sasori terhenyak. Aaah... dia jadi melupakan pertanyaan Sakura. Sasori keburu berkelit, "Tidak juga. Kami memang membicarakan bisnis, namun bukan berarti aku sedang ada pekerjaan hari ini."
Sakura membulatkan bibirnya tanda paham. Ia kini kembali ke adonan berikutnya, kali ini roti bawang.
"Jadi... Kakak...
...Kita akan pergi ke mana?"
Sasori mengendikkan bahunya.
"Kau akan tahu nanti."
-ALP--
"Waaah! Sakuraaa!" Ino menjerit riang. Sasuke mengalungkan tas gitar di bahu kanannya, terpukau pula dengan gaya tak jauh beda dengan Shikamaru.
"U-Utsukushiku..."
"Kirei na..."
Naruto sadar benar kalau safir bundarnya semakin kentara membulat. Dia tak pernah menyadari kalau taman bunga Sakura di Jepang akan seindah ini. Luar biasa. Ia nyaris tak berkedip. Ratusan kelopak yang yang berseliweran di hadapannya bukan main terlihat sangat ayu.
Cantik.
Ino menyenggol pinggang sang kakak, "Cantik sekali ya, kak?"
Naruto merasakan tangan mungil Ino kini mulai mengamit lengan kekarnya yang terbungkus jaket.
Cantik?
Naruto tak menjawab dengan lisannya, namun wajahnya jelas menunjukkan tanda tanya. Dan Ino menangkapnya.
"Ya, cantik sekali ya?"
Naruto seakan membaca kalimat lama yang terulang,
.
.
"Sakura-Chan, kau cantik sekali!"
"Hontou ka? A-Aku tersanjung sekali, Yang Mulia Pangeran!"
"Sakura-Chan cantik! Cantik sekali!"
"...Cantik...!
...Cantik...!
...Cantik...!"
"Kakak?"
Naruto menahan nafas. Dia mendongak secara reflek, dan tak didapati lagi Ino sedang mengamit lengannya. Adik pirangnya tengah berdiri diapit Shikamaru dan Sasuke. 5 Langkah di depannya.
"Apa yang terjadi, Naruto?" Shikamaru bertanya,
Ah, ya. Dia baru saja melamun.
"T-Tidak apa-apa."
"Apa yang kau pikirkan, Dobe?"
Kali ini Sasuke yang turut andil. Ok, Mereka mungkin tidak menuding. Namun dengan dua tatapan serius dari dua orang mantan Jendral udah teramat cukup untuk membuat mantan Pangeran kita nervous.
"Hei, jangan memanggil kakakku seperti itu, Sasuke-Kun!" Ino mendongak pada Sasuke. Tangannya berkacak di pinggang, "Kakak sedang lelah, di baru saja begadang semalam di kantor makanya seperti ini." Ino melangkah bak kijang, berdiri tepat di depan Naruto sebelum menariknya paksa hingga goyang.
"A-Eh-.. Pelan-pelan saja, Ino..."
Naruto memprotes, namun Ino malah memasang tampang manisnya, menjulurkan sedikit lidahnya hingga membuat Naruto mengelus dada dalam batin.
"Iya...Iya...Aku jalan." Naruto bergumam... Ia menarik tangannya dari genggaman Ino, lalu memasukkannya ke saku celana. "Aku tak apa, Shikamaru, Sasuke. Terima kasih sudah mengkhawatirkanku."
Sasuke membiarkan tangan Naruto yang mendarat sejenak di bahu kirinya sebelum terlepas, lalu mengangkat bahu. Shikamaru menguap malas.
"Ck, ayo! Kita cari tempat duduk yang bagus!"
"YO!"
Tak sampai lima menit sebelum mereka mendapat tempat kosong strategis di bawah pohon. Mereka berempat memulai senang-senang mereka, duduk dengan bertanding catur 3 langkah, mendengarkan musik dari gitar yang dimainkan bergantian, hingga menikmati bekal yang dibawa.
"Eng?"
Shikamaru merasakan ledakan sensasi pada sosis panggang yang baru saja digigitnya. Ino memandang cemas,
"K-Kenapa Shikamaru? A-Apa sosisnya kurang enak?"
Shikamaru mengunyah perlahan daging sapi merah yang baru saja masuk ke mulutnya.
"L-...
...-Lezat sekali..."
Sasuke mengunyah lebih cepat. Dia menelan sosis,
"Enak sekali."
Dan wajah Ino berseri-seri luar biasa. Dia berpaling pada Naruto yang memandang dengan sebelah mata tertutup pada sepotong sosis yang tertusuk dengan garpu miliknya.
"Kurang garam, Ino-Chan." Tukasnya pendek, menusukkan garpu sekali pada sosis kedua, "yang ini kurang matang."
Berikutnya, "yang ini agak terlalu pedas."
Lagi, "Menteganya terlalu basah. "
Kemudian," Yang ini kur-"
"-Kalau tidak enak kenapa dihabiskan cepat sekali, Kakak?" Ino men-deathglare Naruto. Naruto nyengir kuda.
"Hehehe...bercanda kok. Masakan ini lezat sekali!"
Ino jadi salah tingkah, rona merah praktis sudah timbul di pipinya. Naruto mengangguk meyakinkan, diambilnya mie gulung dari kotak bekal.
"...Amat sangat lezat."
Naruto mengunyah mie gulung, lalu merangkul adiknya. Ino tak melawan, dibiarkan lengan kekar itu melingkari punggungnya hingga bahu sebelah kanan. Membuatnya bersandar pada bahu bidang Naruto. Naruto berusaha menutup matanya, ada kehangatan tersendiri yang dapat dirasakannya jika berduaan dengan Ino.
Keluarga.
Ya, Ino sudah menjadi gadis 21 tahun yang sempurna. Adiknya kini bukanlah lagi Ino kecil yang hobinya berlarian di korong kerajaan, mencoba-coba lipstik ibunya, memakai bedak terlalu tebal hingga lebih mirip badut daripada dandan. Ino sekarang sudah menjadi gadis muda yang cantik.
Calon permaisuri kerajaan tetangga.
Naruto dalam benaknya mengulang-ulang kalimat Ayahnya.
Heh, dirinya jadi tersenyum sendiri.
Naruto membuka matanya, Ino masih belum mau memisahkan diri daripadanya. Naruto mengedarkan safirnya ke sekeliling. Di sana ada seorang balita yang bermain bola dengan ayah dan ibunya. Di sebuah sudut lain pasangan renta sedang berbincang, berjalan. Nenek dengan tongkat, membungkuk sementara sang Kakek mendampinginya. Di sebuah sudut lagi ada sekelompok remaja sekolah menengah yang baru saja melakukan sebagaimana mereka lakukan juga, bernyanyi. Memakan bekal. Bergembira.
Melihat raut-raut kebahagiaan yang tergambar tepat di sini, Naruto sungguh merasa bahagia. Hatinya hangat bukan main.
Naruto penasaran kali ini, dia menghirup oksigen dalam-dalam, mencoba menggali lebih dalam suasana hangat yang baru saja dirasakan.
Bau musim semi, cantik sekali.
Dihembuskannya udara.
Luar biasa cantik.
Naruto mengendurkan rangkulannya pada Ino, membiarkan adiknya menarik diri sebelum membuka mulut.
"Arigatou...
...Untuk semuanya, terima kasih..."
Ketiga manusia yang duduk mengitarinya serempak mengerutkan kening,
"Onii-Chan?"
Naruto terkekeh, "Aku tak pernah menyangka kita akan mampu tinggal di tempat yang bahkan tidak kita ketahui bernama Tokyo ini selama nyaris setahun. Tidak.Kalau aku benar menghitungnya, kita sudah berada di bulan kedua belas tinggal di bumi. " Naruto membuka suara. Dia menggigit sosis, wajahnya cerah. Dia berhenti sebentar untuk mengunyah dan memberikan jeda bagi pendengarnya untuk dapat sekedar mencerna kata-katanya.
"...Kita sudah berjanji, pada Baginda Raja, pada NERV, pada kita sendiri untuk dapat kembali. Bagaimanapun kita bayangkan sulitnya untuk mencari celah portal untuk kembali ke dimensi dimana NERV berada, yang pasti kita sudah berjanji..."
Naruto menyerahkan gelas kosong ke Ino, membiarkannya mengisi tiga perempatnya dengan coke.
"... ...Untuk kembali ke Nerv, jika sudah saatnya nanti." Naruto mengangkat gelas coke-nya. "Maka dari itu, hari ini. Dimana kita semua sebagai keluarga kerajaan Nerv sedang berkumpul di tempat bernama Taman Sakura, di waktu musim semi, dengan minuman bernama Coke Cola..."
Mereka berempat tertawa lepas, Naruto menahan cekikikiknya. Shikamaru, Sasuke, dan Ino turut mengangkat gelas, menyatukannya di udara.
"... Aku harap kita semua mampu berjanji sekali lagi...
...Untuk kembali ke Nerv!"
"... Kembali ke Nerv!" Ketiganya mengikuti,
"... Mengalahkan Orochimaru!" Seru Naruto.
"... Mengalahkan Orochimaru!"
"...Merebut kembali Baginda Ratu!"
"...Merebut kembali Baginda Ratu!"
"...Kita akan kembali..."
"...Kita akan kembali..."
Naruto berhenti sejenak, dia mengambil nafas dalam. Hatinya bergetar, titik air mata haru mencuat tipis dari safirnya.
"...Pada orang-orang yang kita cintai!"
"...Pada orang-orang yang kita cintai!"
Yang terakhir ini nyaris mereka mengangkat suara, kelompok yang duduk di samping mereka mulai melilrik-lirik. Naruto memamerkan senyum tipisnya lagi sebelum melanjutkan,
"Atas nama Yang MuIia Pangeran Nerv, Namikaze Naruto, " Dia melirik ke arah adiknya, "Putri Mahkota, Namikaze Ino, " tanpa merubah senyum pada Sasuke, " Jendral divisi I, Uchiha Sasuke,"
Dan liriknya pada Shikamaru, "Jendral divisi IV, Nara Shikamaru..."
"... Kami berjanji!"
"... Kami BERJANJI!"
Dan suara gelas yang ditubrukkan di udara menjadi tanda sebuah janji, tawa mereka turut meledak meramaikan. Safir biru naruto turut bersinar optimis, meski tak tahu reka adegan apa yang telah dikonsep dalam teks drama Ketuhanan, Naruto entah kenapa yakin benar kalau tawa mereka kali ini adalah fase terakhir dari perjalanan mereka.
Entah kenapa Naruto amat yakin kalau sebentar lagi mereka akan pulang.
Mereka berempat sungguh tertawa, dalam sekian juta makna tafsir rasio yang hanya mampu dipahami mereka.
Namun tanpa Naruto sadari, di dalam saku jaket yang gelap, empat batu delima yang sedari tadi membisu itu menyala, berpendar dalam kelam. Dia tertawa.
Dan dengan tawa yang bisu itu, kotak itu juga turut berjanji.
-ALP--
"Waaah... Indah sekali, Saso-Nii!"
Sasori tersenyum lebar , "Aku harap kalian suka." Gumamnya. Sakura mengangguk mantap, dirapikannya topi berwarna krem yang disangkutkan di topinya.
"So ne, totemo... utusukushiku da yo ne!" Sakura melirik pada Shizune yang juga mewakilkan rasa takjub lewat pupil hitamnya, "So ka ne? Nee-Chan?"
Sasori menggerakkan jarinya. Memberikan isyarat pada Sakura untuk menyetop perlahan kursi rodanya. Sasori yang selama tadi menyejajarkan langkahnya dengan kursi roda kini melompat sekali ke hadapan Shizune, berlutut sebelum mengamit telapak tangan istri tercintanya.
Sasori menimbang-nimbang apa yangakan dikatakannya, menarik nafas sekali. "Aku tak tahu apa yang harus kukatakan Shizune, tapi aku...
...Aku mencintaimu."
Sasori mengecup dengan mesra ujung jemari istrinya, lalu menengadah. Ditatapnya pupil gelap itu dengah berjuta rasa. Sakura kian menahan haru tatkala lengan Sasori meraih punggung Shizune yang terbatasi kursi roda, memeluknya lembut. Sasori bisa merasakan halus helai rambut Shizune dengan sekali sentuh,
"A-Aku juga cinta kamu..."
Dan Sasori terkejut. Ditarik sudah badannya yang barusan mendekap Shizune, matanya berputar ke atas, menatap Sakura yang juga terkejut bahagia. Sebelum benar-benar menyadari apa yang terjadi, Sasori merasakan kuku lembut istrinya sudah menyentuh pipinya, menghapus bagian basah di sana.
"Yokatta.. hontou ni yokatta..."
Dan Sasori pun tersenyum manis, digantikannya posisi Sakura mendorong kursi roda.
Sasori bersumpah hari ini akan dijadikannya hari yang paling indah seumur hidup.
Paling indah.
Karena Sasori tahu, jika ponselnya berbunyi maka tak akan ada hari esok lagi selain hari ini.
Tak AKAN ada lagi.
Dia tersenyum simpul, kedua pasang tangannya mulai mendorong kursi roda. Matanya menari di antara angin, lalu berhenti di suatu lokasi.
"Di sana sepertinya bagus untuk sekedar duduk-duduk, ayo kita kesana!"
"Ayo!" Sakura melangkah riang. Sasori dan Shizune mengiringi, kursi roda berhenti beberapa langkah dari pinggir danau, di bawah pohon sakura yang sedang bersemi. Keluarga kecil ini lantas menarik penuh senyum mereka.
Dan ponsel di kantong baju Sasori bergetar.
Sasori berjalan mundur, tanpa suara. Lalu diangkatnya telepon selular itu.
"Baik, aku buka sekarang."
Hanya dengan satu kalimat, Sasori menutup kembali ponselnya. Dia celingukan ke sekitar, lantas mendekati sebuah pohon Sakura yang sepi. Lelaki ini merapal mantra dalam rentetan kalimat aneh dalam bisikan yang bahkan nyaris tak terdengar oleh dirinya sendiri. Sasori usai merapal mantranya.
Lantas seuntai cahaya datang menyergap, mengitari sebuah titik di langit sebagai bentuk simbol tak terlihat. Sasori tahu betul bahwa itu tanda kiamat. Lelaki itu mengintip dari balik pohon kedua sosok gadis yang teramat dicintainya, dia mengeluarkan sebilah pisau lipat dari dalam sakunya, melirik kanan kiri memastikan tak ada yang menjadi saksi mata nanti. Ditempelkannya mata pisau itu ke urat yang menegang di pergelangan tangan kirinya.
"Sayonara..."
Dan saat pisau itu menari, yang ada hanya cipratan darah tipis nan bisu.
-ALP--
"Kalian mendengarnya?"
Shikamaru meneguk gelas coke-nya. "Nande?"
Sasuke mengerutkan tipis dahinya melihat gelagat Ino yang tiba-tiba terkesan kalut. Selanjutnya, Ino sontak menjatuhkan gelas, mendongak lalu menatap ketakutan iris biru langit kakaknya.
Gelas plastik itu berguling, menumpahkan minuman soda itu mengalir begitu saja ke karpet.
Naruto mendelik heran, "Ada apa, Ino-Chan?"
Mendapatkan sufiks kesayangan itu, Ino tanpa sadar menggetarkan suaranya. "K-Kakak... Kakak tidak mendengarnya? "
Naruto mulai merasa ada yang tidak beres.
"Ada apa? Kenapa?"
"Aku mendengarnya...
....Dia ada di sini..."
Naruto menatap Sasuke dan Shikamaru bergantian, kedua lelaki itu telah berdiri kini itu hanya memandang dengan wajah penuh tanda tanya.
"Ino, tenang dan tarik nafas." Naruto menaruh kedua tangannya di bahu adiknya, suaranya tercekat tanpa sengaja. "Sekarang, kami sama sekali tidak mengerti apa maksudmu, tenang dan ceritakan pelan-pelan!"
Badan Ino bergetar hebat. Kedua tangannya terangkat pelan, menuju kedua lengan Naruto yang tengah menggenggam bahunya. Ino sadar benar kalau tangan kakaknya sedemikian lembut, namun yang dirasakan indera perabanya bukan maik bertolak belakang.
Dadanya bergejolak luar biasa, iris biru langit itu semakin memucat.
Naruto mulai cemas, dia mendecih bingung. Satu hal yang dapat dia simpulkan adalah; adiknya sedang ketakutan.
Mulut Ino terbuka, terengah-engah. Keringatnya merembes.
"... Datang..."
"Ha?" Naruto reflek mendekatkan sebelah kupingnya ke bibir Ino, "Apa tadi?"
"...Datang..."
Naruto mendelik lagi.
Datang?
Apa yang terjad-
Di antara sibuk kerja otak Naruto mencerna kejadian di depannya ini, Ino sudah menjerit, melengking luar biasa,
"...DIA DATANG, KAKAK!"
.
.
.
(TBC)
Fuuh, finally it's completed. Akhirnya update juga chap II ini. Mohon maaf dan maklumnya saja karena saya sedang dikejar banyak ehem-KERJA-ehem sebagaimana di pengantar di atas. Hahaha... Mungkin terdengar beralasan, namun ane harap sekali lagi maklumnya. (^_^)v
.
.
Anyway, ane harapkan kritik, ungkapan, dan saran membangunnya, kawan. Akan ane tunggu.
.
.
Regards,
Alp Arslan
-REVIEW-