Jika kau berpikir bahwa untuk menjadi seorang atlet professional dibutuhkan kerja keras sejak mereka kecil–bahkan mungkin bayi–maka sebaiknya kau memperbaiki persepsimu itu setelah mengenal seorang pemuda bernama Sasuke Uchiha a.k.a Chickenbutt? What? Chickenbutt? Yah, begitulah julukan 'kesayangannya' ketika berada di lapangan. Bukan tanpa alasan, kalau ada yang ingin disalahkan, salahkan saja rambut raven peliharaannya yang selalu menguncup ke belakang seakan-akan menggambarkan karakter pemiliknya yang tak pernah maju ke depan.

Oh, tidak, semua itu tentu saja tak benar ….

Karena Sasuke atau yang lebih dikenal sebagai Chickenbutt yang akan kita bicarakan saat ini adalah seorang atlet SMA berbakat pro-AF. Dilahirkan di keluarga Uchiha membuatnya menjadi salah satu dari orang-orang beruntung di dunia ini. Bagaimana tidak? Sejak kecil ia sudah mendapatkan apa pun yang ia inginkan–bahkan terkadang yang tak ia inginkan juga ia dapatkan.

Berkedudukan sebagai anak kedua dari salah satu keluarga terkaya di Jepang membuatnya menjadi sedikit sewenang-wenang dengan teman sepermainannya bahkan sejak ia berumur tiga tahun. Ia tak pernah mau berbagi mainan dengan temannya–walau sebenarnya mainannya tak pernah ia mainkan–namun sebaliknya, ia sering merampas milik kawannya terutama dalam hal makanan. Bukan berarti Sasuke tak pernah diberi makan oleh orang tuanya, melainkan ia sudah sangat bosan dengan makanan sehari-harinya di rumah. Setiap hari chef andalan keluarganya selalu memasakkan makanan yang menurutnya 'aneh' dan diberi hiasan yang menurutnya juga terkesan berlebihan. Padahal, ia tahu betul kalau hiasannya tak pernah dimakan, tapi chef 'bandelnya' ini selalu saja meletakkan hiasan di atas maupun di pinggiran makanannya dengan alasan untuk menambah kesan cantik. Terkadang, Sasuke kecil berpikir jangan-jangan chef-nya juga memberi taburan bedak ibunya di atas makanan agar terlihat semakin cantik.

#

#

#

Summary : Pertengkaran antara dua anak manusia berbeda karakter dan kehidupan. Rival sejati, itulah mereka…/Aku tak pernah dapat menyelesaikannya. Bahkan selalu mengacaukan semuanya/Kami memang tak punya dasar berbicara seperti ini, tapi … kami akan menang/Mulai sekarang akulah … THE TRUE WINNER

Naruto Masashi Kishimoto

Warning : AU, Sangat OOC (terutama untuk main characters), maybe typo,

romance hanya sedikit untuk chapter awal

Don't Like?

Don't Read

Ariya 'no' Miji proudly present:

The Courage on the Field

( Chapter I : The Guy Called Sasuke)

Taiyou High School, Prefektur Tokyo 06:55:01 am

"SASUKEEEEEEEEEEE!"

Suara cempreng khas wanita menggema di sudut-sudut lapangan Taiyou High School. Seorang wanita muda berambut soft pink berumur sekitar 17 tahun tampak sedang berceloteh ria di depan seorang pemuda yang tampak sebaya dengannya. Sedangkan si pemuda, ia tampak tidak perduli sama sekali dengan keberadaan wanita di hadapannya. Pemuda berambut biru dongker dengan sedikit–sangat–acak-acakan di bagian belakang kepalanya ini masih sibuk mengutak-atik tombol iPad miliknya; bermaksud mencari lagu yang tepat untuk didengarkan di saat bising seperti ini.

Kesal karena diacuhkan, si wanita dengan galaknya melepas kabel earphone yang masih tersambung manis di telinga si pemuda. Yang secara otomatis membuat si empunya telinga mendongak ke atas; menatap langsung mata emerald si wanita.

"Sasuke-kun, selesaikan latihanmu sekarang!" perintah si wanita sembari berkacak pinggang. Wanita berkulit putih dan bertubuh proporsional ini sudah merasa sangat jengah dengan ulah pemuda bermata obsidiansatu ini.

"Oh, ayolah, Sakura! Kaukan tahu aku sedang tidak bersemangat hari ini …" ujar Sasuke memelas.

"Tidak ada alasan. Sasuke-kun, kita tidak bisa melatih strategi baru tim jika ace-nya tidak ada," jelas Sakura. Ia berusaha mati-matian untuk menahan amarahnya saat ini agar Sasuke tak berakhir dengan benjolan di kepalanya seperti bulan kemarin.

Sebagai manager tim yang bertugas untuk mengatur jadwal latihan dan pertandingan bagi timnya, Sakura bertanggung jawab penuh atas kesiapan anggota-anggota timnya. Ditambah lagi, dalam jangka waktu kurang dari satu bulan, tim mereka–Taiyou Night Thunder–akan kembali bertanding di kejuaraan nasional Jepang tingkat SMA tahun ini. Memang, tak dapat dipungkiri, tim dari sekolah mereka sudah berhasil mempertahankan gelar sejak berpuluh-puluh tahun yang lalu. Karena itulah, Taiyou High School menjadi tujuan utama para orang tua ataupun anak-anak mereka yang sedari kecil sudah bercita-cita menjadi atlet Amefuto professional.

Tapi, sedetik pun jangan pernah berani bermimpi untuk masuk ke sekolah ini. Catat itu! Sedetik pun jangan pernah! Kecuali … kalau kau sudah yakin seratus persen bahwa kau adalah atlet sejak lahir. Atlet yang bahkan mungkin sebelum dilahirkan pun sudah ditakdirkan untuk memiliki bakat istimewa yang berbeda dari orang lain.

Jadi, ukur baik-baik kemampuanmu sebelum berani bermimpi untuk bersekolah di tempat ini! Apalagi, kalau sampai 'lancang' berharap menjadi atlet Amefuto ….

Karena, sekolah ini tak akan pernah menerima orang yang mendaftar untuk dijadikan atlet. Sebaliknya, merekalah yang akan merekrut atlet yang benar-benar berbakat se-antero Jepang untuk dijadikan ace di tim Taiyou Night Thunder. Tapi, jika kau memang bersikeras untuk masuk, hanya ada satu cara yang tersisa ….

Melalui jalur akademis, tentu saja. Itu pun kalau kau seorang yang teramat sangat jenius.

"Fuh, kalau tidak salah semalam Obito menelepon dan dia titip salam untuk … untuk? Untuk manager di timku yang rambutnya sewarna dengan bunga sakura. Hemb, aku tak mengerti siapa yang dimaksudnya?" Sasuke berpura-pura memasang tampang serius sambil menekan-nekan tombol ponselnya cepat, seakan-akan sedang mencari nomor penting.

"A-apa kau bilang?" tanya Sakura tergagap. Terlihat di wajahnya mulai muncul rona-rona merah karena gugup. Ia lalu menurunkan pergelangan tangannya, dari yang semula berada di pinggang kini keduanya sudah berada di ujung kaus merah muda bermotif musim semi miliknya; meremas ujung kaus itu perlahan.

Sasuke yang merasa rencana pengalih perhatiannya berhasil lalu menolehkan wajahnya, menatap langsung wajah polos Sakura yang sudah seperti kepiting rebus sekarang. Dengan sekuat tenaga Sasuke menahan perasaan geli yang benar-benar sudah ingin meledak sekarang. Ia tidak menyangka sama sekali kalau manager segalak dia bisa berubah menjadi segugup ini kalau menyangkut orang yang sangat diidolakannya, Obito Uchiha. Padahal, ini bukan kali pertama Sasuke menipu salah satu fangirl dari adik sepupu 'ke-sa-ya-ngan-nya', yang kebetulan adalah seorang aktor muda Jepang yang sedang naik daun akhir-akhir ini. Cara ini pun sudah terbilang kuno, namun tetap saja sifat polos dari si galak Sakura membuatnya terus-menerus jadi sasaran tipu si bandel Sasuke.

"Ta-tadi kau bi–" tanyanya terputus. Tiba-tiba saja ponsel di dalam saku rok hitam selututnya bergetar pelan; menandakan ada seseorang yang menelepon.

Dengan sigap Sakura mengambil ponselnya lalu menekan tombol jawab berwarna hijau di layar touchscreen-nya. Ia kemudian membalikkan badan lalu berjalan sedikit menjauh dari tempat latihan; membelakangi Sasuke yang sedang menumpahkan tawanya yang sudah tertahan sedari tadi.

"Moshi-moshi. Ia, saya sendiri. Oh, ohayou gozaimasu, Uchiha-san …" ucapnya semangat sambil menundukkan kepalanya–seakan-akan ia sedang berhadapan langsung dengan orangnya saat ini.

"Sasuke-kun? Sekarang dia sedang …" Sakura lalu menolehkan kepalanya ke belakang, mencari sosok Sasuke dan memastikan apa yang sedang anak bandel itu lakukan saat ini. "Dia tidak sedang apa-apa Uchiha-san," sambungnya kemudian sembari menghela napas lemah ketika melihat Sasuke yang kembali duduk bersantai di atas bangku kesayangannya yang berada di bawah pohon.

"Apa? Ponselnyatidak aktif?" Gurat-gurat kemarahan mulai muncul di dahi Sakura ketika mendengarkan penuturan yang meluncur dari mulut seorang Uchiha Fugaku, ayah dari Sasuke Uchiha.

"Ia, saya mengerti Uchiha-san ... Baiklah ... Tidak apa-apa, Uchiha-san. Itu memang sudah tugas saya. Ia, do itashimashite …" ucapnya, lalu mengakhiri pembicaraan.

Sakura kemudian berjalan dengan cepat menuju tempat Sasuke berada sekarang. 'Kau akan mati!' batinnya menyumpah-nyumpah. Dengan tidak berperasaan, ia menarik kaus Sasuke ke belakang yang saat itu sedang berbaring menghadap sandaran bangku.

Bruuuk …

"Awww …" jerit Sasuke tertahan saat punggungnya sudah mendarat manis di atas tanah.

"Hey, apa masalahmu?" ucap Sasuke sinis, masih dalam keadaan berbaring meringkuk ke kanan sambil mengelus-elus punggungnya yang sakit.

"Masalahku? Tidak ada. Kau yang bermasalah Sasuke!" jawab Sakura tak kalah sinis. Tampaknya Sakura sudah benar-benar marah sampai-sampai ia memanggil Sasuke tanpa embel-embel –kun di belakangnya. Sasuke yang tak mengerti maksud ucapan Sakura hanya dapat menyipitkan matanya dan menekuk kedua alisnya pertanda bingung.

"Kau berbohong perihal telepon dari Obito-kun, bukan begitu Sa-su-ke-kun?" tanya Sakura sambil memicingkan kedua matanya dan memberikan penekanan pada tiap nama Sasuke.

"Darimana kautahu?" tanya Sasuke dengan wajah innocent-nya.

"Tou-sanmu, Uchiha-san, tadi meneleponku gara-gara ponselmu tidak aktif dari kemarin. Baterai ponselmu pasti sudah drop sejak kemarin, bukan begitu Sasuke-kun?"

"Emb … mengenai itu … aku …" Sasuke hanya menggaruk-garuk bagian tengkuk kepalanya; berusaha mencari alasan yang tepat untuk menjawab pertanyaan Sakura.

"Aku, apa?" tanya Sakura selembut mungkin. Walau nada suaranya justru terdengar semakin menyeramkan.

"Itu … emb … Oh, ya, apa tadi Tou-san tidak menitip pesan untukku?" tanya Sasuke mencoba mengalihkan pembicaraan, walau sebenarnya ia tidak terlalu tertarik dengan isi obrolan Tou-san dan manager timnya ini.

"Uchiha-san tadi memintaku untuk memberi tahumu agar segera pergi ke kantornya sekarang juga. Ada perihal penting yang ingin ia bicarakan denganmu." Ah, lagi-lagi Sakura terbawa arusnya si licik Sasuke.

"Baiklah kalau begitu," sahut Uchiha bungsu ini santai. Ia sengaja untuk secepatnya melarikan diri dari tempat ini. Tentu saja untuk menghindari amukan Sakura ketika ia sadar kelak. Dasar licik!

"Hei, Teme! Kau mau kemana?" teriak salah satu anggota tim berambut blonde yang tampaknya sedang berlatih melempar bola lonjong di tengah lapangan.

"Aku ada urusan sebentar, Dobe!" jawab Sasuke sedikit membalikkan badannya; menatap seluruh rekan-rekan timnya yang juga sedang melihat ke arahnya berdiri.

"Terserah kau sajalah! Eh, Teme, jangan lupa nanti sore pukul tiga kita kumpul-kumpul … di tempat biasa."

Mendengar kata-kata Naruto, Sasuke hanya meresponnya dengan mengangkat tangan kanannya dan mengacungkan jari jempolnya–pertanda ia setuju dengan ajakan sahabat sekaligus rekan timnya tersebut. Dengan langkah yang terbilang pendek, Sasuke terus berjalan ke area parkir kendaraan yang berada di sisi kanan sekolah.

Sebetulnya ia sangat amat tidak semangat untuk menemui Tou-sannya hari ini. Sungguh. Bukan karena ia membenci Tou-sannya, melainkan ia benar-benar malas untuk mengerjakan tugas yang 'mungkin' akan diberikan Tou-sannya.

Hidup bersama Tou-sannya selama hampir tujuh belas tahun membuat Sasuke hapal betul dengan adat istiadat Tou-sannya jika ia sampai repot-repot menelpon–pasti kalau bukan untuk meminta Sasuke memberi makan Ichi (anjing kesayangan Tou-sannya) … yah, meminta Sasuke menyeleksi dokumen-dokumen penting kantor yang tumpukannya saja sampai menjulang ke plafon ruang kerja Tou-sannya.

'Huft, kali ini apa lagi?' batinnya cemas.

:0:

:0:

Dhulles Airport, Washington D.C 04:55:01 pm

Seorang gadis remaja berumur sekitar enam belas tahun terlihat sedang berdiri di ruang pemeriksaan bandara sambil menggandeng tas kopernya yang terlihat sangat ringan–untuk ukuran jarak terbang belasan kilometer yang sebentar lagi akan ia tempuh. Ia sedang berdiri bersama penumpang-penumpang lainnya di barisan nomer penerbangan UA 742 yang akan berangkat menuju Tokyo sekitar lima belas menit lagi. Gadis beriris lavender tersebut terus-menerus mengedarkan pandangannya ke penjuru bandara yang terlihat sangat penuh sesak sore ini. Sesekali ia menghela napas lelah ketika membayangkan waktu tempuh perjalanannya yang akan menyita waktu selama hampir sebelas jam.

"Aku kembali," bisiknya perlahan.

:0: TCoTF :0:

Prefektur Tokyo, Kantor Pusat Uchiha Corp. 08:00:15 am

"NANI?" teriaknya tidak percaya dengan keterangan yang baru saja ditangkap oleh kedua gendang telinganya.

Pemuda berambut raven ini seakan sudah tidak perduli lagi jika suara teriakannya akan menarik perhatian para pegawai yang saat ini sedang bekerja di luar ruangan Tou-sannya. Ia terlalu kaget dengan permintaan lelaki yang saat ini sedang duduk manis di atas kursi kayu ukir yang diletakkan di tengah ruangan kerjanya yang memang berukuran cukup luas. Sedangkan pemuda satu ini, ia lebih memilih berdiri di ujung barisan kursi yang terletak berseberangan dengan kursi yang sedang diduduki oleh Tou-sannya.

" Kau paham, Sasuke?" tanya Fugaku Uchiha sekali lagi.

"Tapi, kenapa mendadak sekali Tou-san memberitahuku?" protes Sasuke masih dengan wajah apa-kau-bercanda pada Tou-sannya.

"Sebelas jam dari sekarang menurutku bukanlah waktu yang dapat dikatakan mendadak. Lagipula, Tou-san sudah berusaha menghubungimu dari kemarin, tapi ponselmu tidak aktif."

"Tapi … Tou-san, Tou-sankan tahu sebentar lagi aku akan ada pertandingan penting. Pelatih menambah jadwal latihan untuk kami, jadi ..."

"Kau pikir sebagai orangtua, Tou-sanmu ini tidak tahu apa-apa mengenai jadwal latihanmu, Sasuke?" potong Fugaku cepat dengan wajah yang terkesan mengintimidasi.

"Itu …"

"Tou-san tahu tidak ada penambahan jam latihan di timmu, Sasuke," ujar Fugaku.

'Pasti Sakura yang memberitahu.'

"Jangan salahkan Sakura. Bukan dia yang memberitahu Tou-san." Sasuke menelan ludahnya dengan susah payah. Tou-sannya ini bagaikan dapat membaca pikiran orang lain.

'Lain kali aku harus lebih berhati-hati,' pikirnya.

"Lagi pula … kalau pun ada penambahan jam latihan, kau pasti tidak akan mau datang. Tou-san tahu kau hanya mau datang paling banyak satu kali dalam sehari. Itu saja sudah ajaib sekali," tambah Fugaku sambil tersenyum mengejek.

Oh, tidak, Sasuke …. Menyerah sajalah. Kau tidak akan pernah menang perang argumen dengan 'seniormu' yang satu ini.

"Tapi, Tou-san …" Tampaknya atlet kita satu ini belum kehabisan akalnya.

"Kenapa Tou-san tidak mengutus salah satu bodyguard Tou-san untuk menjemputnya?" tanyanya–bujuknya– lagi.

"Tou-san tidak bisa seenaknya mengutus bodyguard-bodyguard Tou-sanuntuk menjemput seorang superstar seperti dia. Entah kenapa, rasanya Tou-san takut terjadi apa-apa padanya," jelas Fugaku dengan wajah penuh kekhawatiran.

"Apalagi, ini kali pertama ia berkunjung ke Tokyo," tambahnya.

"Kalau begitu, kenapa tidak Aniki saja? Diakan lebih berpengalaman dalam hal ini daripada aku," rayu Sasuke.

"Sebenarnya … Tou-san juga ingin Anikimu saja yang melaksanakan tugas ini," ujar Fugaku sambil memasang wajah tidak nyaman. Mendengar pernyataan Tou-sannya, Sasuke tidak dapat menahan diri untuk menyeringai licik penuh kemenangan. Dia merasa bujukannya kali ini berhasil.

"Anikimu itu lebih dewasa, bertanggung jawab, dapat dipercaya …" lanjut Fugaku.

'NANI!' batin Sasukeberteriak histeris. Lagi-lagi Tou-sannya memuji baka Anikinya di depan-depan wajahnya.

Mendengar pujian Tou-sannya yang bertubi-tubi ini membuat wajah tampannya langsung berubah 180⁰. Masam, tertekuk, memerah (karena marah lho, ya), penuh keriput(?) dan hal-hal lainnya yang membuat wajah Sasuke sangat amat tidak enak dilihat saat ini.

" … dan tidak banyak alasan ketika dimintai tolong oleh Tou-sannya. Huft, sayang sekali, saat ini Anikimu sedang–"

"Baiklah, Tou-san. Aku akan menjemputnya nanti sore," sahut Sasuke cepat. Ia sudah tidak tahan lagi mendengar keluh kesah Tou-sannya akibat ditinggal Anikinya study di luar negeri.

Oh, selamat, Sasuke! Akhirnya kau mengakui kekalahanmu.

"Aku minta fotonya. Sekedar untuk berjaga-jaga."

:0: TCoTF :0:

Sasuke terus melangkahkan kedua kakinya menuju area parkir yang berada di lantai paling dasar. Setelah memastikan urusan dengan Tou-sannya selesai dan meyakinkan Tou-sannya bahwa ia akan benar-benar menjemput Hinata Hartwin–aktris berkewarganegaraan Amerika– yang sedang dikontrak oleh perusahaan keluarganya, ia pun memutuskan untuk segera pergi ke tempat 'perjanjiannya' dengan Naruto dan beberapa rekan timnya di salah satu daerah pusat permainan Tokyo.

Meyakinkan dirinya bahwa ia tidak akan terlambat menjemput aktris Amerika yang akan tiba di bandara Narita pukul enam sore, dengan semangat Sasuke kemudian melajukan mobil sport hitam yang ia parkir di dekat pintu keluar. Ia merasa sangat lelah dan ia butuh hiburan–untuk saat ini.

'Masih ada waktu tiga jam lagi,' pikirnya.

Jalanan Tokyo terlihat cukup lengang sore ini. Hanya ada beberapa pengendara mobil dan sepeda yang melintas di jalanan. Sedangkan para pejalan kaki tampaknya lebih memilih untuk bersantai-santai sejenak di pinggiran jalan; menikmati makanan, minuman ataupun hanya sekedar duduk melepas lelah. Melihat tak ada kemacetan yang berarti, Sasuke berkesimpulan ia tidak perlu terburu-buru untuk menjemput aktrisnya kelak, karena pasti tidak akan ada kemacetan yang akan mengganggu perjalanannya seperti hari-hari biasanya.

Tapi, sebaiknya kau jangan terlalu cepat mengambil kesimpulan, Sasuke ….

Melihat papan plang berwarna merah bata bertuliskan 'Futo World' yang dipajang di atas pintu masuk salah satu toko di pusat permainan Tokyo, Sasuke kemudian menurunkan laju mobilnya dan memarkirkannya di tempat parkir yang sudah disediakan oleh toko tersebut. Setelah memarkirkan mobilnya dengan benar, Sasuke lalu berjalan memasuki toko bernuansa gaming dengan hiasan-hiasan berupa gambar bola berbentuk lonjong dan gambar-gambar atlet Amefuto dunia.

Toko yang terletak di Jalan Akarashi ini memang terlihat paling mencolok. Selain dikarenakan ukuran toko yang tergolong cukup luas jika dibandingkan dengan toko-toko lain yang mengelilinginya, Toko Futo World ini memasang banyak sekali pernak-pernik yang berhubungan dengan dunia Amefuto atau yang lebih dikenal sebagai olahraga American Football; baik di bagian depan toko maupun di dalam.

Seperti bola berbentuk bulat lonjong yang dipakai dalam olahraga American Football dengan ukuran panjang sekitar 28 cm (11 inci) dan ukuran lingkar tengah sekitar 56 cm (22 inci) yang banyak digantung di dinding-dinding toko, serta alat pengaman berupa helm yang diletakkan di atas meja-meja pengunjung–dengan ukuran miniatur tentunya–dan padding. Lantai toko ini dicat berwarna hijau dan diberi garis-garis berwarna putih sebagai penanda zona terjadinya gol–saat pertandingan–yang dimulai dari pintu masuk dan berakhir di meja pemesanan yang terletak di seberangnya. Tak lupa, pintu masuk dan meja pemesanan juga didesain sedemikian rupa sehingga menyerupai tiang gawang dengan dua tiang vertikal beserta palang yang menghubungkan mereka.

Benar-benar serasa berada di lapangan American Football Tuan-Tuan!

Dengan pengunjung toko atau lebih tepat disebut cafe yang selalu berganti-ganti setiap menitnya, dapat dipastikan cafe yang menyediakan segala macam makanan ringan, minuman dan juga game-game menarik–yang pastinya tidak akan jauh-jauh dari Amefuto–ini tidak pernah , tidak dapat dipungkiri, cafe ini memang tempat tongkrongan paling asyik bagi para pecinta Amefuto di Tokyo; termasuk Sasuke dan rekan-rekan timnya yang rata-rata sudah menjadi atlet pro-AF.

"Yo, Teme! Cepat sekali kau datang," sambut Naruto ketika manik shappirenya menemukan sosok Sasuke yang sedang berjalan ke arah meja mereka–Naruto, Sasori, Deidara, Gaara, Pein, Kabuto dan Suigetsu.

Sasuke hanya menautkan kedua alisnya ketika mendengar 'sambutan' Naruto untuknya. Ia merasa bingung dengan ucapan pria berambut blonde yang sedang mengenakan jaket orange-hitam, t-shirt hitam dan celana jeans kedodoran ini. Padahal saat ini jam tangannya sudah menunjukkan pukul setengah empat–lewat setengah jam dari waktu perjanjian.

"Biasanyakan kau datang lewat dua jam dari waktu perjanjian, Sasuke," sahut Sasori tiba-tiba. Pemuda berwajah babyface dengan kemeja lengan panjang bermotif kotak-kotak yang duduk di samping Naruto itu seakan dapat menjawab kebingungan Sasuke.

"Hn," ucap Sasuke ketus. Ia paling tidak suka jika dirinya disinggung-singgung masalah kedatangannya yang (selalu) molor. Padahal memang begitu kenyataannya.

"Hari ini aku sedang tidak mood. Jadi, aku secepatnya kemari," imbuhnya.

"Apa karena tugas sebagai 'anak berbakti' yang diberikan oleh Tou-sanmu barusan?" tanya Kabuto tepat sasaran sambil memegangi botolnya yang berisi air mineral yang dibelinya dari mesin 'unik' berbentuk padding di depan café. Lelaki bermata empat ini memang selalu dapat membaca perasaan orang lain, baik sedih, senang maupun yang tidak jelas sekali pun. Posisinya sebagai quarterback mengharuskannya untuk dapat membaca setiap gerakan permainan lawan dengan tepat dan itu berarti membaca gerak wajah lawannya juga.

"Yah, seperti biasa," jawab Sasuke singkat lalu mendudukkan dirinya di kursi satu-satunya yang tersisa di meja tersebut.

"Memangnya kau diberi tugas apalagi, Teme?" tanya Naruto penasaran.

"Menjemput seseorang di bandara nanti sore," jawabnya sembari meminum soft drink yang ada di atas meja.

"Wah, apa dia perempuan? Cantik tidak?" tanya Naruto menggebu-gebu. Manik shappirenya mulai bersinar-sinar. Dasar!

"Dia perempuan, Dobe! Nih, liat saja sendiri fotonya!" jawabnya kesal. Disodorkannya foto berukuran 3R yang diberikan oleh Tou-sannya di kantor tadi siang ke wajah Naruto.

"Wah, beruntungnya …" ujar Naruto sambil memandangi intens sosok yang tercetak di lembar foto tersebut. Sosok tersebut seperti sedang tersenyum manis ke arahnya sambil memegangi kedua pundaknya dengan kedua tangannya yang saling bersilangan. Di belakangnya terlihat daun-daun kering kecoklatan yang berjatuhan dari induknya.

"Maksudmu?" tanya Sasuke bingung dengan ucapan Naruto yang tidak selesai.

"Kau beruntung sekali Teme. Seandainya kita bisa bertukar jiwa." Semua orang yang berada di meja tersebut langsung sweatdrop mendengar ucapan atau lebih tepat disebut 'impian' Naruto yang semakin kelewat tidak wajar.

'NANI? Anak ini mabuk, ya?' pikir Sasuke heran.

"Memangnya seperti apa sih orangnya, Naruto?" Deidara yang pada dasarnya bukanlah tipe orang yang cuek pada lingkungan sekitar langsung berpindah tempat ke kursi dekat Naruto berada sekarang–yang artinya, secara tidak langsung memaksa Sasori menggeser tempat duduknya.

"Ini nih lihat-lihat! Manis banget yah?" ujar Naruto meminta persetujuan rekan sejawatnya yang memiliki kebiasaan sama dengannya–memandangi foto gadis manis nan imut.

"Wah, ini sih bukan hanya manis tapi sudah kayak bidadari," sahut Deidara dengan mata yang juga ikut bersinar-sinar.

"Eh, rasanya aku pernah melihat gadis ini bermain di drama musikal Disney channel Amerika," tambahnya sambil berusaha mengingat-ingat sesuatu.

"Hah, memangnya kamu tahu Bahasa Inggris pakai acara nonton channel asing segala," ejek Naruto.

"Bukan aku yang nonton tapi adik perempuanku!" sungut Deidara kesal.

"Oh, pantas saja," respon Naruto singkat, padat dan tentu saja jika Deidara pintar pasti dia akan langsung menjitak kepala wide receiver timnya yang satu ini–Naruto.

"Nah, begitu dong!" sahut Deidara tidak sadar dan tidak loading dengan maksud ucapan Naruto.

Deidara kemudian kembali memasang wajah berpikirnya–berusaha mencoba mengingat-ingat sesuatu dan mengotak-atik isi kepalanya. Sementara Naruto, dia sedang menutup mulutnya dengan kedua tangannya; berusaha sekuat tenaga menahan tawanya yang sedang meledak-ledak akibat kepolosan rekannya yang juga berambut sewarna dengannya itu.

"Kalau tidak salah namanya Hanta-ta … Hinta … Harwin … Hanta-win …. Uh, sulit sekali!" teriak Deidara frustasi sambil mengacak-acak rambutnya yang diikat ekor kuda; seakan-akan sedang mengerjakan ujian kelulusan yang sangat sulit yang menyangkut hidup dan mati.

Semua rekan-rekannya–coret Sasuke karena ace kita satu ini sedang membaringkan kepalanya di atas meja menghadap ke arah yang berlawanan dari tempat Deidara berada sekarang–yang melihat tingkah aneh receiver berambut gondrong ini hanya dapat memanjatkan doa agar rekannya tak perlu sampai dilarikan ke RSJ terdekat.

"Hinta … Hina–"

"Hinata Hartwin," potong Sasuke tanpa mengangkat kepalanya dari meja berbentuk persegi panjang di hadapannya. Ternyata ia sudah tidak tahan lagi mendengar ocehan tidak jelas dari lelaki berambut pirang panjang ini.

"Nah, itu dia! Bravo, Sasuke! Bravo!" teriak Deidara bahagia sambil menunjuk-nunjuk Sasuke dengan jari telunjuk kanannya. Sungguh memalukan. Sasuke berharap seumur hidupnya ia tidak perlu bertemu kembaran Deidara di tempat yang lain.

"Siapa tadi? Hinata Hartwin?" Pein yang sedari tadi adem ayem tiba-tiba saja terlonjak dari kursinya ketika mendengar nama aktris kesayangannya disebut-sebut.

'Ya ampun. Komandan juga?' heran Sasuke tanpa berpindah dari posisinya.

"Apa? Hinata?" Kali ini giliran Suigetsu yang bertanya-tanya.

'Parah!' Akhirnya, Sasuke memutuskan untuk menutup telinganya yang menghadap ke atas–berusaha untuk mengurangi kebisingan dan mendapatkan ketenangan saat ini juga–dengan sebelah telapak tangannya yang tidak sedang digunakan untuk memegang botol soft drink.

"Tidak ada siaran ulang!" sahut Deidara ketus terhadap komandan dan linebacker timnya.

Tanpa memerdulikan ucapan ketus Deidara, Suigetsu dan Pein langsung berlari menuju tempat Naruto dan Deidara yang saat ini masih asyik berkutat dengan foto pemberian dari Sasuke. Dengan tingkahnya yang kelewat kekanak-kanakan, mereka berempat langsung berebutan foto yang tadinya sedang bertengger manis di tangan Naruto.

"Aku mau lihat!"

"Ini punyaku!"

"Tidak! Minggir kalian! Tangan kalian akan mengotori wajah manis aktrisku!"

"Hei, hei, hentikan! Fotonya nanti ko–"

Krieeeek ….

"–yak."

Oh, tidak …. Foto malang itu terkoyak menjadi empat bagian tak simetris akibat tangan-tangan tak bertanggung jawab dari para pengagum 'setia'.

Refleks, mereka berempat langsung menoleh ke arah lelaki berambut raven yang tampaknya masih setia dengan posisi awalnya–membaringkan kepalanya dan mengarahkan wajahnya ke arah yang berbeda dari tempat mereka berdiri–ditambah dengan sebelah tangan yang berada di atas telinga.

"Ehem …" Pein berpura-pura berdehem untuk menarik perhatian Sasuke.

"Uhuk-uhuk …" Suigetsu berpura-pura batuk.

"…" Deidara diam saja. Saat ini dia bingung mau bicara apa.

"Teme …" Akhirnya hanya Naruto yang berani buka suara terang-terangan. Sambil meneguk ludah dengan susah payah, ia menunggu respon dari Teme-nya ini.

"…" Beberapa detik berlalu, namun tidak ada jawaban dari si Uchiha bungsu tersebut. Naruto sudah mulai keringat dingin gara-gara panggilannya tidak ditanggapi oleh rekannya yang satu ini.

"Emb …. Kapan kau akan menjemput Hi–" ucapan Naruto terhenti. Tiba-tiba saja, botol soft drink yang dipegang Sasuke terjatuh dari tangannya dan berakhir dengan menggelinding di lantai café yang bercorak rerumputan lapangan hijau.

"Tampaknya Sasuke sedang tidur, un," ujar Deidara yang mulai kambuh kebiasaan un-nya.

"Yah, sepertinya sih begitu," tambah Pein.

Sedangkan Suigetsu hanya dapat menghembuskan napas lega tanpa bisa berkata apa-apa lagi. 'Syukurlah aku tidak jadi dibunuhnya,' pikirnya.

Dengan langkah perlahan, Naruto berjalan mendekat ke tempat Sasuke. Diliriknya wajah Sasuke yang hampir sebagian telah ditutup oleh rambut biru dongker miliknya. Merasa tidak yakin, Naruto lalu menggoyang-goyangkan kedua tangannya di depan wajah Sasuke.

'Tidak ada tanggapan,' pikirnya. Setelah berusaha selama hampir 3 menit, akhirnya Naruto menyerah dan membuat sebuah kesimpulan pertama yang pernah ia buat dalam sejarah hidupnya, "Si Teme itu sepertinya sudah tertidur lelap."

Mendengar hal tersebut, seluruh anggota tim (coret Sasori, Kabuto, dan Gaara) langsung menghembuskan napas lega bersama-sama karena ace runningback tim Taiyou Night Thunder sepertinya sedang berada di alam bawah sadarnya.

'Baiklah.'

'Ini saatnya.'

'Mumpung dia sedang tidur.'

'Ayo, kita lakukan!'

Entah takdir, kebetulan, nasib, jodoh ataupun hal-hal lainnya, mereka berempat–Naruto, Deidara, Pein, Suigetsu–seakan dapat membaca pikiran masing-masing. Lalu, dengan satu kali anggukan mantap mereka berempat saling melempar pandangan tajam satu sama lain dan …

:0: TCoTF :0:

Cafe Futo World, Prefektur Tokyo 05:59:59 pm

Seorang pemuda berkulit pucat dengan t-shirt putih, celana training hitam dan sepatu sport hitam-putih yang juga dominan berwarna hitam ini baru saja terbangun dari tidur panjangnya. Tampak dari rambutnya yang acak-acakan dan mata yang hanya terbuka setengahnya. Pemuda raven ini terus-menerus mengerjap-erjapkan kedua matanya; berusaha untuk memperjelas pandangan matanya yang masih kabur akibat tertutup selama hampir dua jam.

"Sudah bangun, eh, Sasuke?" Suara bariton berat menghentikan Sasuke dari kegiatannya dan membuatnya menoleh ke arah si pemilik suara.

"Hn," balasnya singkat ketika mengetahui bahwa si pemilik suara adalah Kabuto yang sedang menatapnya sambil sedikit tersenyum.

Beberapa menit berlalu, akhirnya Sasuke menyadari ada sesuatu yang ganjil di meja bernomor 21st down–serasa lebih longgar dari sebelumnya. Seingatnya, tadi ada sekitar tujuh sampai delapan orang di meja ini–termasuk dirinya. Tapi, saat ini kedua matanya hanya dapat menangkap satu sosok di hadapannya, yaitu si quarterback tim, Kabuto. Sedangkan yang lainnya? Nihil. Bahkan bau-baunya saja sudah tidak keciuman.

"Mencari yang lain?" Lagi-lagi quarterback kita satu ini selalu dapat membaca pikiran orang lain.

Sasuke hanya menatapnya dengan tatapan yang seakan-akan berkata, 'Kalau sudah tahu, kenapa harus tanya lagi?' Sumpah, Sasuke kesal banget sama quarterback timnya ini. Memang, jauh di lubuk hatinya dia sangat mengagumi kemampuan Kabuto dalam membaca pikiran dan gerakan lawan. Karena, tidak dapat dipungkiri bahwa timnya sangat bergantung terhadap bakat langka dari si jenius Kabuto. Di sisi lain, ia sangat membenci kebiasaan buruk Kabuto yang selalu menanyakan hal yang sebenarnya tidak perlu lagi ditanyakan karena paling-paling pertanyaannya hanya perlu dijawab dengan jawaban,

"Ya," jawabnya singkat.

"Mereka sudah pulang dari tadi. Sasori ada janji dengan Kankuro memerbaiki boneka yang rusak. Gaara membantu Tou-sannya mengaduk pasir di rumahnya. Naruto dan Deidara diminta Kaa-san mereka untuk menemani berbelanja. Sedangkan Suigetsu dan Pein … katanya mereka pergi ke toko musik membeli album terbaru Hinata," jelas Kabuto panjang lebar.

Kabuto lalu menatap wajah cengo' Sasuke saat ini. Bagaimana tidak? Pemuda raven ini benar-benar tidak habis pikir kalau rekan-rekan tim terkuatnya sedang melakukan kegiatan yang ehem … ya, begitulah. Di luar nalar seorang Sasuke Uchiha. Hanya ada dua kata yang dapat ia ucapkan sebagai tanggapan.

"Tak kusangka."

"Apanya?" tanya Kabuto heran.

"Ah, ti-tidak," jawab Sasuke gelagapan.

Tunggu sebentar! Suigetsu dan Pein beli album siapa katanya? '… Sedangkan Suigetsu dan Pein … katanya mereka pergi ke toko musik membeli album terbaru Hinata.' Nani? Album terbaru … HINATA?

"Kabuto, jam berapa sekarang?" tanya Sasuke mulai panik. Saking paniknya, ia sampai lupa kalau saat ini ada jam tangan yang sedang melilit di pergelangan tangan kirinya. Jadi, untuk apa lagi dia menanyakan jam?

"Sekarang jam …" Kabuto lalu merogoh ponsel yang berada di saku celananya. Sesaat kemudian, ia lalu berkata, "Jam enam lewat lima belas menit."

"NANI?" teriak Sasuke. Matanya melotot ke arah Kabuto bagaikan ingin keluar sedangkan mulutnya masih setia menganga akibat shock yang berlebihan.

"Kau pasti terlambat menjemput aktris Amerika itu, kan?" tanya Kabuto–lagi.

Anak ini memang minta ditonjok, ya. Sudah tahu teman sedang shock berat, masih saja diberi pertanyaan yang sudah jelas-jelas jawabannya 'Ya'. Namun, karena saat ini Sasuke sedang berada dalam situasi mendesak, jadi ia tidak punya waktu lagi untuk meladeni pertanyaan 'kurang kerjaan' dari Kabuto atau pun menonjok wajahnya. Dengan secepat kilat, Sasuke mengambil kunci mobilnya yang sebelumnya ia letakkan di atas meja dan segera berlari keluar kafe–meninggalkan Kabuto yang sedang menatap punggungnya miris.

"Huft, lagi-lagi aku yang bayar," gerutunya tidak jelas.

:0: TCoTF :0:

Sasuke segera memacu pedal gas mobilnya ketika dirinya berhasil keluar dari deretan barisan vertikal mobil-mobil yang entah sejak kapan, menjadi sebanyak ini dan sukses membuatnya kesulitan untuk mengeluarkan mobilnya yang tak sengaja tadi sore ia parkir di barisan tengah. Sungguh hari yang buruk!

Tak sampai di situ saja cobaan yang harus diterima oleh Sasuke. Setelah keluar dari daerah pusat permainan Tokyo yang memang semakin ramai saat menjelang malam hari, sebenarnya dirinya sudah mewanti-wanti kalau-kalau jalanan akan berubah menjadi ramai mengingat saat ini adalah jam sibuk, alias jam pulang warga Tokyo dari aktivitasnya seharian ini.

Dan … benar saja! Jalanan 100% berubah total dibandingkan ketika ia melewatinya tadi sore. Hampir tidak ada celah untuk menyalip kendaraan yang lain. Karena, baik di bagian depan, belakang, kiri maupun kanan sudah tertutup sempurna oleh kendaraan lain yang juga terjebak kemacetan dengannya. Sasuke benar-benar terkunci saat ini.

Badannya mulai tidak bisa diam. Jari-jari tangannya terus-menerus ia jentik-jentikkan ke dashboard mobil, begitu pula dengan kedua kakinya yang terus-menerus dihentakkannya pelan. Bagaimana tidak? Sudah lima belas menit lebih ia berada di sini dan mobilnya hanya berpindah sejauh beberapa meter? Sasuke yang memang bukan tipe penyabar pun sudah mulai kehabisan stok kesabarannya. Dengan kurang kerjaan, ia keluarkan setengah bagian kepalanya dari jendela mobilnya sambil berteriak lantang, "Woy, cepat jalan siput!"

"Siapa yang kamu panggil siput? Heh, bocah!" sahut pengendara di sebelahnya. Pria tua berambut putih panjang dengan mata menyeramkan yang persis seperti ular menatapnya dengan tatapan tidak suka. Ia terus-menerus menatap Sasuke, sampai akhirnya …

"Go-gomen," ucap Sasuke akhirnya sambil memasukkan kembali setengah bagian kepalanya yang tadi sempat menelusup keluar. Pelipisnya sudah mulai basah akibat keringat dingin yang mulai bercucuran. Pria bermata serupa ular ini tak henti-hentinya menatap Sasuke dari dalam mobil silvernya walaupun Sasuke sudah dengan 'berat hati' meminta maaf kepadanya.

Pura-pura tak mengindahkan tatapan membunuh dari pria tua di sebelahnya, Sasuke kembali memfokuskan matanya ke jalanan di depannya yang sama sekali belum menunjukkan pergerakan sedikit pun. Diliriknya sekilas jam tangan biru tua di pergelangan tangan kirinya yang sudah menunjukkan pukul setengah tujuh malam.

"Huft …." Tampaknya ini akan menjadi perjalanan yang melelahkan dan … mencekam, tentu saja. Karena pria tua di sebelahnya ini sepertinya masih menaruh dendam padanya.

:0: TCoTF :0:

Narita Airport, Prefektur Chiba 08:01:21 pm

Sebuah mobil sport hitam tampak memasuki area luar gedung bandara. Tidak perlu seorang jenius untuk mengetahui bahwa saat ini pengemudi mobil tersebut sedang terburu-buru.

Ckiiiiiiiit …..

Ia memberhentikan laju mobilnya secara mendadak sehingga terdengar suara gesekan yang cukup nyaring dari keempat ban mobilnya. Bukan hanya itu, ia juga memarkirkan mobilnya sembarangan. Yah, dia benar-benar harus bergegas saat ini. Tidak ada waktu untuknya memikirkan dimana tempat parkir yang benar.

Dengan tergesa-gesa, Sasuke membuka pintu mobilnya. Lalu membanting pintunya sembarangan tanpa melihat ke arah si pintu mobil. Sambil berlari, ia merogoh saku celananya; bermaksud mencari foto orang yang akan ia jemput di bandara saat ini. Sejujurnya, Sasuke sendiri tidak yakin apakah orang tersebut masih setia menunggunya di bandara setelah hampir dua jam ia molor dari waktu kedatangan pesawat.

Sasuke sendiri tidak bermaksud untuk molor sampai selama ini dari waktu yang telah ditetapkan, namun apa daya, namanya juga manusia. Ia benar-benar lupa kalau letak Bandara Narita itu sekitar 65 Km jauhnya dari Prefektur Tokyo, sehingga dibutuhkan paling tidak satu jam untuk tiba di sana dalam keadaan normal. Namun, sekali lagi, keberuntungan sedang tidak berada di pihaknya. Sayang sekali, saat ini keadaannya sedang amat sangat tidak normal. Kemacetan mendadak yang terjadi hampir di seluruh jalanan Kota Tokyo benar-benar sukses memerlambat laju kendaraannya. Ditambah lagi … teror yang terus-menerus dilancarkan oleh bapak-bapak tua di sebelahnya sempat membuatnya kehilangan konsentrasi dan hampir saja menabrak kucing di jalanan.

Sasuke terus berusaha merogoh-rogoh kedua sisi saku celananya untuk mencari foto orang tersebut. Jangan heran jika Sasuke sudah tidak ingat dengan wajahnya. Karena, sejak Fugaku memberikan foto tersebut kepadanya, ia bahkan sama sekali belum memerhatikan sosok yang ada di dalamnya.

Sasuke masih sibuk mencari-cari foto yang ia ingat betul telah ia simpan di salah satu saku celananya. Karena sepasang matanya masih sibuk melihat ke bawah–tepatnya di bagian saku celananya–yang artinya ia tidak memerhatikan jalanan di depannya, ditambah dengan kecepatan larinya saat ini, maka kesimpulannya adalah ….

Bruuuuk ….

Oh, jangan salah! Itu bukan suara tubuh Sasuke yang mendarat di lantai marmer bandara akibat tergelincir atau sebagainya. Sebaliknya, justru Sasukelah yang berhasil menjatuhkan seseorang di hadapannya. Dan, lebih hebatnya lagi, yang ditabraknya ternyata adalah seorang gadis remaja. Benar-benar tidak sopan!

Gadis yang sedang mengenakan topi berjenis Baseball berwarna abu-abu polosdengantulisan Macbeth berwarna hitam tebal di bagian crown-nya ini hanya terdiam dan memegangi bagian pinggulnya yang sakit akibat terpelanting ke belakang. Wajahnya tidak dapat terlihat dengan jelas dikarenakan tangan kanannya terus memegangi peak topinya yang cukup panjang dan wajahnya yang tertunduk menghadap lantai di bawahnya–seakan sedang menutupi sesuatu. Sedangkan Sasuke, ia justru kebingunan sendiri dengan apa yang harus ia lakukan dengan gadis yang terus bertahan pada posisinya seperti ini selama beberapa saat tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Ditambah lagi, tindakan cerobohnya tadi sudah mengundang perhatian banyak orang di bandara.

Sasuke pun memutuskan untuk membantu gadis ini berdiri. Yah, walau bagaimanapun jugakan Sasuke yang bersalah karena telah menabraknya. Namun, tiba-tiba keinginannya memudar saat indera pendengarannya mendengar pengumuman keberangkatan pesawat ke Bandara Dhulles, Washington DC.

"Orang itu …" gumamnya lirih.

Saat itulah ia teringat kembali tujuan awalnya kemari. Sudah tidak ada waktu lagi untuk bermain-main di sini. Lalu, dengan tidak berprikemanusiaan, Sasuke justru berkata kepada gadis tersebut, "Makanya, dipakai tuh mata!" Sambil melenggang pergi meninggalkan si gadis yang hanya terdiam menatap punggungnya sambil memasang tampang bingung akibat mendengar ucapan Sasuke barusan.

"Bukannya dia yang tak punya mata?" tanya si gadis entah pada siapa.

To Be Continued

Keterangan :

Crown adalah bagian atas topi yang berfungsi untuk menutupi kepala.

Peak adalah bagian topi yang menjulur keluar dan bertekstur keras.

Model topi baseball itu seperti yang sering dipakai oleh Justin Bieber. Eh, entahlah, saya juga kurang tahu. Tapi kurang lebihnya sih begitu …

Bandara Narita itu letaknya 65 km arah timur dari Tokyo, terletak di Narita City, Chiba. Merupakan salah satu bandara internasional di Jepang. (kalau salah mohon diberi tahu) Dan Bandara Dhulles letaknya di Washington DC. Waktu perjalanan yang dibutuhkan kalau naik pesawat dari Washington ke Tokyo atau sebaliknya sekitar 11 jam.

Perbedaan waktu antara Jepang dan Washington, Amerika, itu sekitar 13 jam.

Oh, ya, untuk istilah-istilah dalam olahraga Amefuto seperti runningback, quarterback, mungkin dari kalian ada yang belum tahu apa maksudnya. Nah, istilahnya baru akan saya jelaskan di chap selanjutnya. Soalnya Saya tidak sempat mengetiknya sekarang… Gomen,

Jadi, menurut kalian bagaimana, minna? Tentang chap yang satu ini, apakah sudah cukup panjang? Makin baik dari yang sebelumnya atau makin jelek atau bagaimana? Berikan saya tanggapan atas fic ini, ya … Soalnya, sebagai author baru saya juga ingin lebih berkembang menjadi lebih baik. Jadi, review minna sangat saya harapkan, hehe …

Pojok balas review:

n: Gomen, gomen banget yah… Saya bukannya sengaja buat yang pendek" kok, soalnya yang kemarin itu hanya prolognya, jadi saya pikir yah pendek-pendek aja namanya juga prolog. Hehe… Tapi, untuk chap yang ini sudah agak mendingan kok, lebih panjang berapa ribu gitulah#plak. Oh, ya, tentang yang ngomong dgn Hinata di chap sebelumnya itu Mister Jiraiya. Sbenarnya namanya sudah saya cantumkan, tapi entah bagaimana kisahnya, namanya hilang sendiri waktu saya publish.

sasuhina-caem: kependekan, ya? Gomen, yang ini saya jamin lebih panjang kok.

Nana-chan: Hehe, iya nih, dia emang saya bikin OOC, tapi gpp kan?#ditimpuk. Wah, mengenai romance di chap berapa saya juga kurang tahu(parah) soalnya jujur saja saya nulisnya emang baru sampai di sini chapnya jadi gak tahu di chap berapa. Pokoknya, yang jelas ketika mereka entar udah ketemu secara 'normal' pasti akan saya berikan adegan romance ^^

lavender hime chan: gomen … yang ini sudah 5x lipat lebih panjang kok ^^

Suhi-18: Ia, dia aktris dari Amerika yang blasteran gitulah. Nama marganya Hartwin, soalnya dia ngikut marga ibunya. Tapi jujur, saya sendiri aneh dengan nama marganya. Soalnya itu nama ciptaan saya sendiri. Dan saya bukan orang Amerika … hehe ^^

uciha athrun: gomen gomen … maaf kalau kependekan. Yang ini udah lebih panjang kok..

So, give me u'r opinion about this fic

PLEASE … ^^