Hujan deras mengguyur seluruh Kota Tokyo. Suhu dingin seketika menguar, menggelitik permukaan kulit setiap jiwa di bawahnya. Tak terkecuali kedua anak remaja yang terpaksa bernaung dalam satu mobil yang dikemudikan oleh seorang pemuda berkulit pucat. Mobil sport hitam ini sudah melaju hampir dua puluh menit lamanya melintasi jalanan yang cukup lengang mengingat cuaca yang memang sedang tak bersahabat di luar. Ditambah daerah yang sedang mereka tempuh saat ini memang selalu sepi ketika malam tiba. Kondisi ini cukup menambah suasana seram yang lebih dulu diciptakan oleh deretan pepohonan cemara yang menjulang tinggi di sisi jalanan.

Umumnya, ketika suhu udara menurun atau katakanlah sejuk, orang-orang normal akan berusaha mencari kehangatan untuk menormalkan kembali suhu tubuh mereka. Misalnya, meneguk segelas cokelat hangat di dekat perapian atau … setidaknya saling berbagi kehangatan, mungkin?

Tapi tidak untuk mereka. Entah memang kulit mereka yang setebal baja atau … anggaplah kedua orang 'kurang normal' ini terlalu gengsi untuk mengakui betapa bekunya kulit mereka saat ini.

'Daripada harus berinterkasi dengan makhluk di sebelahku, aku lebih memilih dibekukan di luar!' Begitulah moto hidup mereka.

Jadi, jangan heran kalau kau hanya menemukan keheningan. Karena semenjak 'disatukan' dalam satu mobil, bisa dikatakan tak ada interaksi sama sekali antara kedua insan berbeda gender ini. Si wanita yang sibuk memandangi pemandangan dari luar mobil, sementara si pria sibuk dengan urusan kemudi.

Yah, tapi jangan salahkan mereka juga. Toh, baru ketemu dan kenal hari ini. Itu pun kalau pertemuan di kantor tadi dapat disebut perkenalan. Atau bencana? Anugerah? Entahlah. Yang pasti ….

'Menyusahkan.'

'Menyebalkan.'

Entah siapa yang memulai lebih dahulu, disengaja atau tidak, tiba-tiba saja mata mereka saling terjebak dalam keindahan satu sama lain. Namun tak ada kesan menikmati di dalamnya. Yang ada hanyalah keheningan dan ketidaksenangan yang terpancar jelas dari iris masing-masing. Melalui sudut-sudut mata yang begitu kontras antara keduanya, si pemuda melemparkan tatapan sinis sementara gadis yang duduk di sebelah kursi kemudi membalas tatapannya tenang namun tajam menusuk.

Begitu mencekam.

Hampir seperempat menit berlalu dan tak ada perubahan.

Entah karena bosan atau apa, gadis itu seketika tersenyum hangat untuk sesaat sebelum akhirnya kembali menolehkan kepalanya ke jalanan gelap di hadapannya. Menikmati gelapnya malam yang hanya diterangi oleh lampu dari satu-satunya mobil yang sedang melaju di antara derasnya tetesan air. Menurutnya, itu lebih bermanfaat daripada harus saling menatap dengan pemuda di sebelahnya.

Anggap saja ia sedang mencoba melatih daya ingatnya terhadap lingkungan barunya kelak.

Dan ternyata pendapat demikian juga berlaku bagi pemuda yang menerima senyuman darinya. 'Daripada memerhatikannya, lebih baik memastikan tak ada kucing lewat di jalanan.' Lalu ia pun kembali fokus pada kewajiban awalnya, menyetir.

Yah, mau bagaimana lagi.

Apa yang kau harapkan dari seorang aktris dan atlet keras kepala yang terjebak dalam satu mobil saat hujan tiba? Mengobrol riang bersama? Atau suasana canggung antara mereka?

Yang pasti tidak keduanya. Karena bagi mereka, bicara itu ….

"Tidak penting."

.

.

.

Naruto own Masashi Kishimoto

Warning : AU, Sangat OOC (terutama untuk main characters), some typos, SasuHina

Don't Like

Don't Read

.

.

.

'Jadi, ini rumahnya? Tidak buruk juga.'

Begitulah tanggapan pertama dari seorang Hinata ketika mobil yang membawanya memasuki halaman luas sebuah rumah yang berukuran lebih kecil dari halaman depannya. Minimalis. Setidaknya rumah ini cukup luas untuk ditempati seorang diri olehnya.

Model rumah ini bisa dibilang hampir serupa dengan rumah-rumah lain di sekitarnya. Dengan atap bergaya semi-modern serta lima buah anak tangga menuju teras rumah dari batu kerikil menimbulkan kesan klasik bagi siapa saja yang baru pertama kali melihat perumahan di area Surugadai ini. Termasuk Hinata. Yang memang belum pernah melihat tatanan rumah seperti ini sebelumnya di Amerika, khususnya Washington tempat tinggalnya.

Rumah yang berdiri kokoh di depannya ini terbuat dari kayu-kayu yang disusun secara vertikal. Satu-satunya hal yang membedakan rumah ini dengan rumah lainnya adalah warna dasar catnya yang terkesan 'misterius'. Jika perumahan di sekelilingnya berwarna putih terang, maka rumah yang terletak di ujung kompleks ini berwarna keabuan sehingga menimbulkan kesan gelap namun tetap elegan. Setidaknya, rumah ini tidaklah seburuk seperti yang ia pikirkan sebelumnya tentang betapa angkernya perumahan di Jepang. Yah, itulah imajinasi yang didapatnya ketika terlalu sering mengkonsumsi film hantu Jepang.

Dengan ukuran serta tatanan yang dapat dibilang sederhana, Hinata justru merasa sangat aman berada di sini. Karena jujur saja, ia paling tidak suka tinggal di tempat yang kelebihan luas dalam arti minim penduduknya. Itu seperti … kosong. Dan membuatnya sedikit cemas. Mungkin.

Wajar saja bukan? Walau bagaimana pun juga, dia tetap wanita yang terkadang bisa merasa sangat takut ketika harus sendirian dalam rumahnya sendiri. Bisa saja ia tidak menyadari kehadiran penyusup di dalam rumahnya kalau rumahnya kelebihan luas.

Sementara Hinata mengawasi setiap sudut bagian luar rumah yang semakin menakjubkan saja tampaknya, Sasuke masih terlalu sibuk berurusan dengan koper hitam yang barusan diambilnya dari bagasi mobil.

"Apa itu berat?" tanya Hinata polos.

"Menurutmu?"

"Seingatku tidak juga," jawabnya santai lalu menghampiri Sasuke yang masih berada di anak tangga serambi pertama. "Berikan kuncinya. Biar aku saja yang buka," perintahnya tak sabar.

Sasuke mendengus kecil sambil menyerahkan kunci yang dirogohnya dari dalam saku celana. Hinata menerima kunci berwarna perak tersebut lalu melangkah menuju pintu depan dengan sebelumnya meninggalkan pesan kepada 'asistennya'. "Kau sendiri yang memaksa ingin membawakannya. Jadi, jangan salahkan aku kalau ternyata tenagamu selemah itu".

Mata Sasuke melebar. Apa-apaan gadis ini, pikirnya.

Lagipula, ini 'kan juga bukan kemauannya untuk terlihat selemah ini apa lagi di depan perempuan asing sepertinya. Yah, mungkin satu-satunya kesalahannya adalah berpura-pura sok kuat dan memaksa Hinata menyerahkan kopernya yang sebenarnya ingin dibawa sendiri oleh empunya. Tapi apa boleh buat? Sasuke tak mau berurusan lagi dengan Tousan-nya hanya gara-gara tak membawakan koper sang bintang.

Sekuat tenaga atau katakanlah memaksakan tenaga, secepat kilat Sasuke menarik koper tersebut ke atas teras dan menyambar gagang pintu yang sudah akan ditarik oleh Hinata. Ia tersenyum bangga sambil berkata, "Jangan remehkan aku, nona." Lalu membuka pintu berwarna coklat keemasan itu dengan sebelumnya membungkukkan badan layaknya sang pangeran yang menyambut kedatangan puterinya dan mempersilahkan Hinata untuk melangkah masuk terlebih dahulu.

Mendapat perlakuan seperti itu, mau tidak mau membuat Hinata menyambutnya dengan ikut membungkukkan kepala sambil memegangi ujung kaosnya sebelah kanan. Memperlakukannya layaknya gaun puteri raja. "Terimakasih." Lalu melangkah anggun ke dalam diikuti Sasuke yang masih berjalan tergopoh karena koper di sisinya.

Sasuke meletakkan koper hitam tersebut di samping sofa ruang tamu. Ia berbalik dan menemukan Hinata sedang meneliti sudut-sudut rumah dengan seksama. Matanya memindai keseluruhan tata ruang seakan mengagumi arsitektur di dalamnya.

Kaca-kaca jendela berukuran cukup raksasa berjejer rapi bagaikan dinding yang membatasi rumah dengan taman di bagian luar. Ruang tamu yang langsung terhubung dengan ruang makan di belakang, membuatnya terasa lebih luas. Tanpa bergerak seinci pun, lehernya bagaikan burung hantu yang begitu lentur berputar ke segala arah—tentunya tak sampai berputar 180 derajat ke belakang.

"Aniki-ku yang mendesain interior rumah ini," jelasnya tanpa diminta.

Tersadar. Hinata seketika menoleh ke arah pemuda yang tengah berjalan menghampirinya. "Apa dia seorang arsitek?"

"Calon." Ralat Sasuke. "Rumah ini adalah hasil uji coba pertamanya." Kakinya berhenti sekitar dua langkah di depan Hinata. Tangan kanannya terulur ke arah si gadis. Perlahan. Punggungnya sedikit membungkuk bersamaan dengan kepalanya. Sepersekian detik kemudian terdengar—

Krieeeekkk

—tanda gorden yang ditarik.

"Bisa berbahaya jika ini terus terbuka semalaman." Ia bergumam pelan masih dalam posisi kepala tepat di samping Hinata. Suaranya begitu pelan hingga terdengar seperti bisikan di telinganya. "Kau tahu, banyak pencuri berkeliaran di sini."

Untuk sesaat gadis ini terdiam. Mencerna hal yang baru saja terjadi. Matanya menatap lurus siluet tubuh Sasuke yang sedang berjalan membelakanginya. Untuk sesaat ia dapat menarik kesimpulan bahwa pemuda di depannya ini tidaklah seburuk yang ia pikirkan. Setidaknya, pemuda ini telah mengingatkannya agar lebih waspada.

Tanpa disadari olehnya, bibirnya menyunggingkan sebuah senyuman.

.


.

"Kau yakin bisa membawanya sendiri?"

"Sangat yakin."

"Hn …." Pemuda itu terlihat menimbang-nimbang.

"Lagipula ini tidak berat." Secepat kilat gadis bersurai indigo itu menambahkan. Tentunya dengan maksud agar pemuda yang sudah terlihat sangat kusut di depannya ini membiarkannya melakukan hal 'itu' sendirian.

Dan berhasil.

Sasuke terdiam. Wajahnya entah mengapa sedikit bertambah kusut dari sebelumnya setelah mendengar kalimat yang terlontar dari bibir gadis yang tengah berdiri tegak di kaki tangga sembari memegangi kopernya. Mungkin, malu? Mengingat ia sempat bersusah payah hanya untuk menarik koper hitam tersebut dari bagasi mobil.

Mengangkat kecil kedua bahunya. Sasuke kemudian memilih berbaring di sofa ruang tamu—membelakangi Hinata yang masih memerhatikannya dari atas tangga batu lebar yang menuju ke lantai dua. "Baiklah. Terserah kau."

Mendengar kalimat yang lebih terdengar seperti persetujuan di kedua gendang telinganya, Hinata memutuskan untuk segera mendaki kaki tangga lebih lanjut. Benar saja. Koper ini memang tidak berat sama sekali. Terbukti dengan begitu cepat dan lancarnya ia tiba di lantai dua. Padahal ada cukup banyak sekali anak tangga di bawahnya.

Hinata memandang berkeliling.

Ujung tangga itu berakhir pada dua koridor yang bercabang. Untunglah tak perlu waktu lama baginya mendapati di mana ruangan kamarnya. Mengingat hanya ada satu pintu kayu di koridor sebelah kanan. Sementara di ujung sebelah kiri, Hinata dapat melihat balkon kecil dari balik kaca jendela. Ow, sepertinya itu tempat yang dirancang khusus untuk bersantai menikmati alam.

Sepertinya, Hinata akan betah tinggal di sini!

Ditariknya gagang pintu keemasan itu pelan hingga terbuka. Menampilkan ruangan sebuah kamar yang terlihat samar-samar—dikarenakan kurangnya penerangan. Hinata menekan sakelar dan lampu putih cukup terang menyala di langit-langit.

Tidak buruk, pikirnya. Kamar itu cukup terawat dan tertata sangat rapi. Banyak ruang terbuka di dalamnya mengingat hanya ada satu buah tempat tidur berukuran sedang, lemari berukir di sudut ruangan, dua buah meja kecil di samping ranjang tempat meletakkan lampu tidur, serta satu set meja rias. Ahh, Hinata baru ingat. Mungkin sebaiknya ia memindahkan meja rias itu lain kali. Ia tidak memerlukan tempat yang cukup luas untuk meletakkan peralatan riasnya yang hanya berupa bedak, parfum serta sebotol pembersih wajah.

Hinata melemparkan kopernya ke sembarang tempat. Tidak cukup keras hingga menimbulkan suara berdebum. Namun cukup membuktikan betapa lelahnya ia hari ini.

Ia mendudukkan dirinya di atas ranjang. Berbaring. Lalu menatap plafon di atasnya. "Fiuuuh," desahnya. Cukup keras.

Menarik napas dalam. Hinata bermaksud turun ke lantai satu. Namun langkahnya terhenti ketika kakinya hampir tersandung oleh kopernya sendiri yang tergeletak tak berdaya di atas lantai. Menyebabkan satu buah figura foto terlempar keluar dari dalam koper. Aneh, ia ingat kopernya belum ia buka sama sekali. Tapi kenapa ….

Gadis bermata keunguan itu berjalan meraih figura foto di dekat pintu. Seketika matanya membulat mendapati gambar yang tersaji di dalam foto yang terbilang sudah cukup lama tersebut.

Itu foto dirinya.

Bersama rekan-rekannya dulu ….

Dengan seragam merah yang mereka kenakan semuanya terlihat begitu bahagia ketika berpose di depan kamera. Tak terkecuali Hinata. Ia yang saat itu berdiri di barisan bagian depan tengah menyunggingkan senyuman termanisnya yang sudah tak pernah lagi terlihat dari bibir cerahnya. Di tangannya tergenggam erat kertas bertuliskan 'KEMENANGAN PERTAMA KAMI' dengan huruf yang tercetak begitu tebal.

Hinata terkekeh kecil mengingat dulu, segalanya terasa begitu mudah baginya. Namun, sepersekian detik kemudian alisnya sedikit terangkat naik. Bingung, heran, semuanya tercampur aduk di benaknya.

Bagaimana bisa foto ini terselip di dalam koper?

Ia ingat sudah membakar habis semua foto-foto tersebut. Membakar semuanya hingga tak bersisa. Membakar semuanya agar tak lagi menghantuinya setiap malam. Bersama kenangan serta memori yang sudah dikuburnya begitu dalam. Sangat dalam. Hingga Hinata sudah tak ingat lagi mengapa ia ingin sekali melupakan segalanya ….

Namun sekarang, ia sudah ingat. Sangat jelas.

Dan ia tak menyukainya.

Ia ingat betapa impian-impian itu membuatnya begitu bersemangat. Membuatnya kuat—setidaknya menurutnya.

Ia sadar telah dibuang. Bukan. Bahkan kata 'dibuang' terlalu tinggi untuknya. Ia sudah dianggap tak pernah ada. Dilupakan. Seperti ia yang melupakan segalanya.

Karena ketidakmampuannya. Kelemahannya. Karena segalanya yang membuat ia tak berguna dan dianggap benalu bagi rekannya yang lain.

Ia tersenyum hampa. Kemudian mendekap figura foto tersebut erat di dada. Begitu erat sampai rasanya sesak.

"Memang lebih baik seperti ini."

.


.

Tap, tap, tap

Gadis bersurai indigo itu melangkah cepat menuruni setiap anak tangga. Tangan kanannya terkepal erat di sisi tubuhnya. Dari balik ruas-ruas jarinya terlihat selembar kertas yang sudah tak jelas lagi bentuknya—karena terlalu kuat diremas.

Baru saja kakinya akan melangkah menuju dapur ketika deru napas seseorang seakan menginterupsi kegiatannya. Hinata berbalik dan tersadar bahwa ia telah melupakan sesuatu atau lebih tepatnya seseorang yang mengantarnya kemari. Sedikit menggelengkan kepala dan menghela napas lelah saat melihat ternyata pemuda itu masih dalam posisi terakhir kali Hinata melihatnya—berbaring miring menghadap sandaran sofa. Hanya saja kali ini tubuhnya sedikit meringkuk kedinginan. Tampaknya udara dingin dari luar merembes masuk melalui celah-celah rumah.

Walau berat dan malas rasanya, akhirnya Hinata memutuskan untuk menegur pemuda dengan rambut raven mencuat itu. Melupakan rencana awalnya turun ke lantai satu—membakar satu-satunya foto kenangan yang tersisa. Ia kini lebih mengkhawatirkan gosip yang mungkin saja akan beredar luas jika ada yang sampai mengetahui bahwa ada seorang pria yang tidur di 'rumahnya'. Setidaknya begitulah status rumah itu untuk saat ini.

Hinata berjongkok, memerhatikan bagian belakang punggung lelaki itu dengan seksama. Tangannya terulur, bermaksud untuk membangunkan lelaki yang sedang terlelap dalam mimpi.

"Uchiha-san?" panggilnya seraya menggoncang kecil bahu Sasuke.

"…" Tak ada jawaban.

"Uchiha-san?" Hinata sedikit menaikkan nada suaranya. Tangannya masih setia menggoncang bahu pemuda itu namun dengan frekuensi yang lebih cepat.

Ya ampun, dia tidur atau mati, sih!

Grabbbb

Hinata hampir memekik saat merasakan cengkraman lembut di tangannya. Sasuke berbalik dan menatap gadis di depannya dengan mata kelamnya yang begitu gelap namun sedikit sayu.

"Kau …" gumamnya. Hinata masih terdiam menunggu kelanjutan ucapannya. Sebelah tangannya menyangga berat tubuhnya yang hampir saja terjungkal gara-gara pergerakan mendadak Sasuke.

Tiba-tiba sepasang lengan melingkar di bahunya, menarik tubuhnya perlahan hingga hanya tersisa jarak beberapa senti saja di antara mereka. "Aku tidak akan kalah darimu." Sasuke berbisik di telinganya.

Saat itulah Hinata menyadari bahwa lelaki di depannya ini ternyata sedang mengigau. Ia tersenyum kecil. Lalu mendorong dada Sasuke lembut untuk melepaskan diri. Sasuke yang saat itu masih berada di alam bawah sadarnya hanya menurut saja ketika Hinata membetulkan posisi tidurnya.

Hinata berbalik bermaksud mengambil beberapa helai selimut dari ranjang tidurnya di lantai dua. Kelihatannya lelaki ini lebih membutuhkan selimut-selimut tersebut dibandingkan dirinya.

.


.

Pukul 07.00 a.m

Bukan waktu yang terbilang awal untuk bangun pagi. Apalagi berolahraga. Yah, begitulah Sasuke. Atlet American Football satu ini memang terbilang santai dalam mengolah tubuhnya. Ia beranggapan latihan tidak perlu terlalu berlebihan. Saat kau sedang mood ya lakukan. Jika tidak ya sudah. Toh ia memang sudah terlahir untuk menjadi seorang atlet professional.

"Ugh …." Ia mengerang kesakitan memegangi punggungnya yang terasa ngilu akibat tidur tak tentu arah.

Matanya mengedar ke penjuru rumah. Sesaat kemudian Sasuke tersadar ternyata ia tidak sedang berada di kamarnya. Melainkan … di tempat tinggal gadis itu?

"Oh, sial!"

Kenapa ia bisa sampai ketiduran!

Bergegas ia menyingkap selimut keabuan yang menutupi kaki hingga lehernya lalu bangkit dari sofa yang menjadi tempat tidurnya. Terdiam sesaat, ia memutuskan untuk berjalan menuju ruangan terdekat—dapur—di mana ia mendengar suara-suara gesekan logam sejak tadi.

Di sana ia menemukan orang terakhir yang dilihatnya sebelum tertidur pulas semalam. Gadis bersurai indigo itu tampak sibuk menyusun dua buah piring dan roti panggang di atas meja. Dua gelas kaca berisi susu cokelat sudah tersedia di sisi piring masing-masing. Sementara gadis itu sendiri belum menyadari keberadaannya, Sasuke merasa menemukan keganjilan pada penampilannya.

Secara keseluruhan tidak ada yang aneh dengan penampilan Hinata. Hanya saja handuk putih kecil yang menggantung di lehernya membuat Sasuke berspekulasi bahwa gadis ini baru saja melakukan olahraga pagi. Dan jika dilihat dari deru napasnya yang masih memburu, jelas terlihat Hinata berolahraga—mungkin lari pagi—dalam jarak yang dapat dikatakan tidaklah dekat. Apa mungkin dia mengelilingi kompleks ini?

Ah, tidak mungkin! Mengingat Hinata hanya melihat kompleks ini tadi malam, ia pasti akan langsung tersesat jika berani pergi terlalu jauh. Paling-paling ia hanya berlari di sekitar halaman rumah, pikir Sasuke.

Sasuke mengangkat bahunya tanda tak perduli lalu segera mendudukkan dirinya di kursi tanpa permisi atau sekedar menyapa gadis di seberang meja yang terlihat sedikit terkejut atas kemunculannya.

"Sarapan, Uchiha-san?" sapa Hinata basa-basi. Wajahnya mengarah ke meja, tepat di mana roti panggangnya berada. "Aku hanya menemukan beberapa lembar roti di lemari makan."

"Berhenti memanggilku dengan nama keluarga," sahut Sasuke tiba-tiba. Nada suaranya terdengar tidak suka.

Hinata tidak merespons. Namun tatapannya sudah cukup untuk menyampaikan segalanya. Sasuke yang mengerti kemudian menambahkan dengan cepat, "Itu membuatku terdengar seperti orang tua." Lalu memalingkan wajahnya.

Hening.

Kedua bahu Hinata bergetar tertahan. "Pfffftttt …." Segera ia menutup mulutnya dengan sebelah tangannya yang tak memegang roti. Berusaha mencegah agar roti yang sudah berada di mulutnya tidak menyembur keluar.

Sasuke mengerutkan kedua belah alisnya hingga menimbulkan sedikit lipatan di dahinya. Ia menatap Hinata bingung. "Apa ada yang lucu?"

Dengan cepat Hinata menelan roti panggangnya. "Tidak. Tentu tidak. Hmpft—" Dibungkam mulutnya agar tak lagi meledak. "—La-lalu, aku harus memanggilmu apa?" tanyanya polos. Sungguh. Ia sendiri tidak mengerti kenapa tawanya bisa sampai meledak sedemikian rupa hanya karena satu kalimat serius meluncur dari bibir seorang Sasuke. Mungkin karena kata-katanya yang terlalu jujur? Entahlah.

"Sasuke."

"Hmb, baiklah Sasuke—" Ucapannya terhenti ketika sebuah suara elektronik menginterupsi.

Bipp bipp bipp

Ponsel di saku Sasuke bergetar. Menampilkan nama Uzumaki Naruto di layar. Tak bersemangat, Sasuke terpaksa menekan satu tombol jawab untuk meladeni sang rekan.

"Hoi, Teme! Kenapa ponselmu baru aktif? Kau kira sudah berapa kali aku mencoba menghubungimu, hah?" cerosos Naruto.

Sasuke mencoba menjauhkan ponsel dari telinganya. Takut ia akan mengalami ketulian di usia muda jika harus mendengar teriakan-teriakan itu setiap kali Naruto menelponnya. Pemuda beriris onyx itu kemudian bangkit berdiri dan berjalan menuju kaca jendela di sisi kiri ruangan. Menatap pemandangan taman dari kejauhan ia pun mencoba untuk bicara walau nadanya tetap terdengar tak bersemangat.

"Langsung saja. Ada apa kau menelponku, Dobe?"

Tak ada jawaban. Sepertinya si Naruto itu sudah kehilangan pita suaranya. Beberapa detik menunggu, Sasuke pun mulai tak sabaran. "He—"

"KAU MASIH TANYA LAGI? HEH, TEME! KITA ADA JADWAL PERTANDINGAN PAGI INI!"

Sasuke bersumpah ia akan segera menenggelamkan Naruto di kawah gunung jika Naruto ada di sebelahnya.

"Kau harus segera kemari, atau kau ingin kami yang menculikmu?" Ada nada mengancam di sana. Sepertinya Naruto sedang berapi-api.

"Hn. Baiklah. Aku segera ke sana." Sambungan terputus. Tepatnya segera diputus oleh Sasuke. Jelas ia lebih memilih segera mengakhirinya daripada harus mendengar ceramah panjang lebar tak bermutu wide receiver timnya.

Sasuke memutar tubuhnya ke belakang dan mendapati Hinata yang memandanginya sedari tadi, "Kupikir … kau tak akan bisa mengantarku hari ini." Ia mengedikkan bahunya lalu menyangga dagunya dengan sebelah tangan.

Sasuke terlihat berpikir sejenak. Sepersekian detik kemudian ia berujar, "Tidak. Hari ini kita akan ke sana."

.

.

TBC

.

.

Hai, semuanya.. Mungkin dah pada gak ingat dengan fic ini. Mengingat sebulan lebih gak saya update, asli sibuk banget dengan urusan sekolah. Bersyukur dapat liburan jadi bisa lanjut

Saya minta maaf chap ini masih tidak memuaskan dan konflik belum terlihat jelas. Jika anda jeli, sebenarnya konflik utama yang akan saya kembangkan udah disisip di sini #lho? Ini spoiler ==

Romance juga masih sangat kurang dan gak berasa. Saya akan berusaha lebih baik lagi buat chap mendatang.

Pojok balas review (maaf yah gak lewat PM ^^)

Kertas biru: terimakasih udah review ^^ .. Haha, Itu scene teraneh yang sudah saya buat

Suzu Aizawa: Salam kenal juga. Iya tuh, di sini emang OOC berat. Tapi, di chap ini saya ngerasa kedinginannya(?) udah agak berkurang. Untuk sekolah, masih dirahasiakan. Mungkin di chap 6 baru jelas. Iya, terimakasih yah buat dukungannya ^^

sasuhina-caem: Aiiih haha kacang :D Hemb, yah semoga saja momen SH banyakan di chap depan yah. Thanks for review ^^

Akeboshi: Salam kenal Akeboshi-san.. Aduh ampe klepek" hahaha, saya emang lagi suka tokoh utama wanita yang dingin-dingin.. Thanks for review ^^

nona fergie: Wah, saya emang belum terlalu tahu tentang penempatan tanda (;) untung kamu kasih tahu. Oke, akan saya perbaiki penulisannya. Terimakasih buat review dan masukannya ^^

Rosecchi: Hahaha, habis kalo gak dijual ntar dia malah gak bisa akrab dong dengan Hinata #plak.. Udah update. Thanks for review ^^

Mamoka: Ini udah update.. Hmb, untuk sekolahnya Hinata masih belum jelas dia bakal skul dimana.. Haha mereka itu semiabnormal(?) lho.. Terimakasih for review ^^

Nanaka Kinoshita: Wah syukur deh kalo kamu suka… Terimakasih ya ^^

LalaNurrafa GemasangkalaOke: Hai hai iya saya udah tahu akun kamu #plak. Anggap aja saya lagi diberi rejeki berupa flame.. Terimakasih udah review ^^

Me: Gomen gomen #bungkuk".. Terimakasih banget kamu udah bersedia baca fic ini sampai 3 kali, saya seneng banget dengernya.. Ini updatenya, agak telat sih.. Thanks for review ^^

Terakhir. Tebak-tebakan yuk ^^

Yang dimaksud Sasuke 'ke sana' itu ia akan membawa Hinata ke mana yah? #ini sih bukan tebakan namanya. Hahaha abaikan, saya lagi gangguan ..

Kalo ada yang salah dan perlu diperbaiki, masukan, kesan, apapun silahkan beritahu saya. Akan saya terima dengan tangan terbuka

Mohon maaf lahir dan batin, minna….