Blossom Boy

story by vic

disclaimer:

Kishimoto Masashi

warning:

AU, OOC, Intersexuality, Suggestive Theme, and Possibly Shōnen-ai

*O*

0th Blossom

~Intro~


Aku ... yang berdada rata.


Tanganku gemetaran saat mencengkeram sebuah kaset video film yang barusan diserahkan Yamanaka Ino padaku. Dengan takjub kupandangi judul film itu di kavernya—Takumi-Kun Series: Soshite, Harukaze ni Sasayaite—beserta dua wajah pemerannya: si imut Yanagishita Tomo dan si tampan Kato Keisuke.

"Ta—Takumi-kun ... Takumi-kun Series ...," tergagap bibirku bersuara. "Hontō na no? Takumi-kun Series na no?" Pandanganku beralih pada teman sekamarku itu, meminta konfirmasi.

Jari telunjuk Ino terangkat menunjuk kaset yang masih berada dalam cengkeramanku. Sepasang manik mata biru turkuoisnya balas menatapku dengan remeh. "Judulnya kan tertera di situ."

Aku mengangguk seraya mengembangkan senyum goyah. "Iya,"—tatapanku terfokus lagi pada kaver kaset itu dengan binar afeksi—"benar. Rupanya aku tidak menghayal. Benar-benar Takumi-kun ... kyaaa!" Tak kuasa aku memekik gemas dan melompat girang sambil mendekap kaset itu di dada. "Yatta! Yatta! Takumi-kun akhirnya berhasil kudapatkan juga!"

Sementara aku sibuk bertingkah histeris lantaran diselimuti euforia tak wajar, Ino mengamatiku seraya mendengus geli. "Tampaknya, kamu senang sekali ya."

"Mochiron! Ini kan Takumi-kun Series yang ingin sekali kutonton dari dulu~" selorohku antusias, masih mendekap si "Takumi-kun" erat-erat. Lalu, kupandangi gadis berambut pirang dikuncir itu dengan tatapan lembut. "Arigatō, Ino, sudah mau memberikan Takumi-kun berharga ini untukku. Hontō ni arigatō~" ucapku tulus, ditingkahi aksi menghambur dan memeluk bahunya dari samping.

"Ya, ya. Itu cuma seri pertama yang sudah puas kutonton ulang. Makanya, kuberikan padamu," tanggap Ino ringan di balik bahuku. "Lagi pula, aku pribadi lebih suka Hamao Kyōsuke kok."

"E? Hamao Kyōsuke?" tanyaku, yang kurang familier dengan nama itu, sembari melepas bahunya.

Ino mengembangkan senyuman lebar. "Pemeran Takumi-kun di seri kedua sampai sekarang itu lho~" jawabnya, diiringi desahan gemas dan tatapan menerawang. "Si uke Hamao Kyōsuke~"

Sebelah alisku terangkat tinggi. "Pemeran Takumi-kun seri kedua?" tanyaku lagi, tidak mengerti. Tapi kemudian, kedua manik mataku membeliak. Sebuah asumsi merasuk tiba-tiba ke kepalaku. "Ara! Yanagishita Tomo diganti, ya?"

"Sō desu wa~" jawab Ino dengan anggukan kepala mantap.

Aku mengerang kecewa. Tipe uke begini, mengapa harus diganti aktor lainnya? batinku sendu sembari mengamati wajah imut si Tomo yang terpampang di kaver Takumi-kun Series. E, tapi ... Ino tadi bilang 'si uke Hamao Kyōsuke'—memangnya, dia se-uke itu?

"Hei, cepat simpan kasetmu! Kalau tidak, nanti dirampas Suzune-san saat inspeksi dadakan lho!"

Aku tersentak mendengar peringatan Ino. "Ah, benar! Ini kan termasuk benda terlarang di asrama!" timpalku panik. Buru-buru aku beranjak ke atas tempat tidur, mengangkat kedua tanganku, lalu mendorong salah satu papan langit-langit kamar sampai terbuka.

"Aku heran ... bagaimana bisa ya lubang itu tak pernah ketahuan Suzune-san?" Ino bertanya-tanya saat aku berkutat menyelipkan kaset itu di antara dua tankōbon manga karangan Tsuda Mikiyo-sensei, di dalam boks berukuran sedang. "Banyak sampah terlarangmu tersimpan di atas sana, kan?"

"Bukan sampah, Ino ... tapi harta bendaku yang paling berharga," tukasku mengoreksi seraya mengembalikan boks itu ke tempatnya semula, dan lalu menutup papan langit-langit kamar kami.

Ino memutar matanya dengan sikap jemu, tapi aku mengabaikannya. "Dan kalau sampai ketahuan, bisa-bisa malah dirampas dan diserahkan Suzune-san ke Tsunade-shishō! Itu kan mengerikan ...," tambahku sambil bergidik setelah kembali duduk di depan kotatsu.

Ino tergelak. "Tentu saja mengerikan! Apa lagi kalau pekerjaan sampinganmu sebagai dōjinka juga ketahuan Kepala Sekolah! Uwaaa, kamu bisa didepak dari sini, tahu!"

Aku hanya tersenyum masam; dalam hati membenarkan apa yang dikatakan Ino barusan. Namekuji Gakuen—perguruan khusus wanita tempat kami menuntut tidak hanya pendidikan setingkat kōtōgakkō, tetapi juga ilmu medis dan keperawatan—takkan mudah mentolerir segala hal penyimpangan yang dilakukan oleh para siswinya. Terlebih lagi penyimpangan berupa pekerjaan sampingan yang tak ada hubungannya sama sekali dengan pendidikan di sekolah—seperti karier dōjinka yang tengah kulakoni ini. Kalau sampai ketahuan, tentu saja aku akan langsung dikeluarkan! Bahkan sebelum sempat aku menuntaskan tahun pertama pendidikanku sebagai calon paramedis!

Tapi ... selain menjadi paramedis, aku kan juga punya impian menjadi mangaka seperti Tsuda Mikiyo-sensei. Makanya, melakoni pekerjaan sebagai dōjinka merupakan batu loncatanku demi meraih impian tersebut. Lagi pula, sudah hampir dua setengah tahun aku menjadi dōjinka produktif. Bahkan, dōjinshi kreasiku sudah mendapat banyak sorotan para fujoshi dan fudanshi di Comiket. Jadi, mana mau aku melepaskan karierku sebagai dōjinka yang cemerlang ini begitu saja.

"Hei, Dekorīn! Jangan melamun saja dong!" tegur Ino keras, menggugahku paksa dari pikiran yang mengambang.

"Apa, Buta-chan?" sahutku dengan wajah memberengut, tak menyukai panggilan menyebalkan yang tadi sempat kudengar. Padahal, sudah sering aku mengingatkannya untuk berhenti memanggilku begitu. Dahiku yang sekarang kan tidak selebar kala masih kanak-kanak dulu, tapi masih saja Ino-buta memanggilku dengan sebutan "Dekorīn".

Si Butachan ikut memberengut. Dia juga tampak tidak senang mendengar panggilan masa kanak-kanaknya kugunakan. "Kamu harus membayar Takumi-kun yang kuberikan tadi, tahu!"

"Aa-ah, wakatteru wa yo. Orang sepertimu mana suka memberi secara cuma-cuma," timpalku sinis. Yah, sebenarnya, aku memang harus memberi Ino sesuatu, sebagai balasan Takumi-kun Series yang telah dia berikan padaku. Tapi, kalimatku barusan juga tidak salah kok. Dia kan suka mendoktrin bahwa tidak ada yang gratis di dunia ini. "Hmph, memang berapa yang harus kubayar?" tanyaku sambil bersedekap jengkel.

Senyuman Ino kembali merekah di wajahnya. "Iya, okane de jyanai wa, Sakura."

"Lantas?" tanyaku dengan tatapan heran, merasa aneh kalau bukan uang yang diinginkan Ino. Meskipun begitu, aku juga merasa senang karena tak perlu merogoh uang saku bulananku untuk membayari si Buta-chan.

"Cukup kenalkan aku dengan Sai-kun~" jawab Ino dengan mimik merajuk.

Keningku mengernyit; terusik mendengar Ino menyebut nama familier itu. "Mengenalkanmu dengan ilustrator penipu itu?" ulangku mengonfirmasi.

Ino menggeleng. Dengan kedua lengan bertumpu di atas meja kotatsu, ditingkahi bahu mencondong ke depan, dia menukas, "Uun! Chigau no! Tapi pemuda ramah dan murah senyum—kenalanmu di Comiket waktu itu lho ... Sai-kun~"

Aku menaikkan sebelah alisku sebelum mendengus tak percaya. Ino baru saja menyebut pemuda itu "ramah dan murah senyum"—apanya? Senyum ramah yang selalu menggantung di wajahnya itu cuma TIPUAN. Aslinya, si "Sai-kun" hanyalah ilustrator eksentrik yang selalu blak-blakan saat berkomentar.

"Rupanya, dōjinshi kreasimu jelek juga ya. Sejelek wajahmu." Begitulah salah satu komentar blak-blakan yang dilontarkannya padaku sambil tersenyum "ramah" ketika kali pertama kami bertemu. Dan lantaran tak terima dengan komentarnya, aku pun meninju hidungnya sampai berdarah kala itu.

"Nee, bagaimana, Sakura? Kamu mau mengenalkannya padaku, bukan?" todong Ino urgesif, mengembalikan fokusku padanya.

Aku mengerutkan dahi, menimbang-nimbang sebentar, lalu memberinya jawaban berupa anggukan enggan. "Di Comiket dua minggu mendatang, akan kukenalkan kamu padanya."

Ino langsung melonjak kegirangan. "Kyaaa! Sankyū! Sankyū, Dekorīn~ Dengan begitu, targetku mendapat pacar tahun ini bisa terwujud~" pekiknya senang. Aku sendiri cuma bisa tertawa hambar; tak sanggup membayangkan apa jadinya Buta-chan dan ilustrator penipu itu kalau sampai berpacaran.

"Aa, tatte ... kareshi wa ne?" gumamku lirih sembari merapatkan diri di selimut kotatsu yang hangat. Hmmm ... aku juga ingin punya. Tentunya, pacar berwajah tampan, bermata tajam, seperti seme! Sikapnya memang terasa dingin, laiknya hawa membeku yang diusung badai salju musim lalu. Tetapi, hatinya begitu hangat, bak curahan sinar mentari awal musim panas ini. Walau jarang menyunggingkan senyum, namun ... tatapan teduhnya ... sering muncul kala memandangi sang uke ...

E? Aku mengerjab, baru tersadar dari pikiranku yang melantur. Memandangi ... uke? Sepasang alisku mulai bertautan. Pemuda ... seme? Kedua irisku kontan membeliak.

! Mengapa pikiranku jadi menjurus ke karakter manga BL begini? Cepat-cepat aku memukuli dahiku; berusaha keras mengenyahkan chara seme yang terwujud dalam imajinasiku barusan. Sakura no baka! Sakura no baka! Walau cuma seorang dōjinka penggemar romansa shōnen-ai, bukan berarti aku bisa mengharapkan pacar bertipe seme! Aku kan bukan chara uke, shānnarō!

"Nee, Dekorīn~ Tanpa perlu kaupukuli, dahimu itu sudah terlalu lebar, tahu~" Ino terkikik geli, menertawai tingkah konyolku.

Segera kulempar tatapan tajam ke arah Buta-chan, yang hanya dibalas juluran lidah olehnya. Ukh, dasar gadis menyebalkan!

"Sudahlah. Ayo temani aku ke apotek sekolah sebentar."

Kupandangi Ino yang sudah berdiri dari kotatsu, bertanya heran, "Mau apa?"

"Membeli obat pereda nyeri. Persiapan menyambut datang bulan."

"Oh," tanggapku mengerti seraya bangkit berdiri dan beranjak mengikuti Ino.

"Oh iya, Sakura. Kamu sendiri, kapan?" tanya Ino tiba-tiba setelah kami keluar dari kamar, menyusuri koridor gedung asrama, dan berpapasan dengan beberapa gadis lainnya.

Aku menoleh sambil mengernyitkan kening. "Kapan—apanya?"

"Menstruasi." Ino menjawab kalem. "Katamu, belum pernah sama sekali, kan?"

Aku mendesah pelan sembari menekuri sepasang selop polos warna pink di kakiku, yang beradu dengan lantai papan koridor. "."

"Ya ampun, Dekorīn!" Ino mengeluarkan pekikan lucu. "Kamu itu perempuan atau bukan? Sudah hampir 16 tahun begini, masa' belum juga menstruasi sih? Uso!"

Dahiku mengerut dalam. "Mau bagaimana lagi? Memang belum kok!"

Ino tertawa, menatapku jenaka. "Masa prapuber-mu lelet sekali ya, kalau begitu."

Aku balas menatapnya jengkel, namun tak bisa membantah. Kuakui, apa yang diucapkan Ino benar; aku memang sedikit lelet mencapai masa pubertas. Meski aku tahu masa pubertas remaja wanita berakhir di usia 16 tahun—usiaku kini—tapi aku tidak terlalu memusingkannya. Toh kalau sudah saatnya tiba, aku juga akan mengalaminya sendiri.

Kudengar tawa Ino mulai mereda. Namun, kedua matanya kini memincing, memandangiku dengan sikap hati-hati.

"Apa?" semburku bertanya, merasa tidak nyaman dengan cara Ino menatapku.

"Jangan-jangan ...," Ino menggantung ucapannya sambil menoleh ke kiri-kanan koridor sebentar sebelum berbisik pelan, seolah akan mengumbar suatu rahasia kelam, "... kamu, sebenarnya bukan perempuan, Dekorīn."

Sontak aku mendelik. "! Apa maksudmu, Buta-chan? Jelas-jelas aku ini perempuan!"

"Jelas-jelas?" Ino membeo remeh, makin membuat kupingku panas. "Nee, Dekorīn, kuberitahu saja ya! Selain rambut pink dan dahi lebarmu ini,"—Ino mengangkat dua jarinya dan menyentil dahiku dengan kasar—"secara fisik kamu lebih maskulin lho~"

"Ino ...," aku menggeram sambil mengelus bekas sentilan Ino dengan telapak tangan. Tatapanku sendiri semakin menajam, memeringatkan penjelasannya yang mulai terdengar melantur.

"Kiite, kiite! Mana ada perempuan yang menggeram begitu?" cela Ino bandel. Bibirnya yang tersaput lipbalm melengkungkan senyuman mengejek. "Ara, mite, mite! Ekspresimu sekarang tampak garang lho~" Lalu tanpa sempat kucegah, Ino menepuk-nepuk dada, pinggul, dan bokongku sambil bersenandung riang, "Rata, rata! Semuanya rata~"

"Buta-chan! Kaupikir apa yang kaulakukan, haah?" raungku frontal sambil menjauhkan diri dari Ino. Beberapa gadis yang melewati kami memandangiku aneh, tapi aku tidak peduli. Si Ino sialan itu pasti akan kubunuh! Teman sekamar atau bukan, tidak boleh seenaknya menyentuh area sensitif yang tidak ingin kuekspos ini, shānnarō!

Namun, si Buta-chan hanya berkacak pinggang. Alih-alih memedulikan tatapan membunuh yang kulayangkan, Ino malah menyunggingkan senyuman miring memuakkan. "Sakura, Sakura ... ckckck. Apa masih bisa kamu sebut dirimu perempuan dengan tubuh tak berbentuk begitu? Fuh, meragukan."

Ukh. Urat-urat jengkel seketika muncul di pelipisku. Namun, aku tidak meledak marah. Sebaliknya, entah mengapa, manik mataku terasa memanas dan berair—

Cepat-cepat aku mengerjabkan mata beberapa kali, mencoba membendung air mata yang kuyakini akan merembes turun kalau tidak segera kucegah tadi.

"Sakura?" Nada suara Ino berubah cemas; aku hanya memalingkan muka dan melangkah cepat mendahuluinya.

"Hei." Derap kaki berselop Ino terdengar nyaring saat dia mengejarku. "Sakura, hei! Matte!"

Aku berhenti seiring merasakan cekalan kuat di lenganku.

"Gomen."

Aku tidak membalas tatapan iris biru turkuoisnya yang memantulkan sorot penyesalan.

"Gomen ne, Sakura, aku—" suara Ino terputus. Lalu, terdengar helaan napas berat darinya. "Aku hanya menggodamu saja ... tidak serius." Kurasakan kedua lengannya bergerak canggung merangkul bahuku. "Gomen ne, Sakura. Aku memang keterlaluan."

Aku masih terdiam; enggan merespons, enggan membalas rangkulannya—kecuali berusaha keras agar buliran air mataku ini tidak mengalir jatuh ke bahu kanannya. Cengeng, memang. Namun jika teman dekatmu sendiri meragukan identitas gendermu, rasanya itu cukup menyakitkan.


Aku ... yang ber-kromosom XY.


Atas inisiatif yang tidak kudiskusikan dengan Ino—aku masih melancarkan agresi perang dingin sepihak padanya—aku pun menemui Tsunade-shishō untuk berkonsultasi tentang spekulasi keabnormalan fisik serta kelambatan masa prapubertas-ku. Beliau yang mengerti kebingunganku, memintaku menjalani serangkaian tes pemeriksaan medis di rumah sakit perguruan. Beberapa hari setelahnya, Tsunade-shishō memanggilku datang ke ruangannya untuk memberitahu hasil dari tes pemeriksaan tersebut. Dan hasil tes itulah yang membuat jantungku kini berdegup keras dan cepat begitu aku tiba di depan pintu ruangan sang Kepala Sekolah Namekuji Gakuen.

"Tenang sajalah, Putriku. Tidak perlu segugup ini, bukan?" ujar Otōsan yang berdiri di sebelahku. Beliau juga datang ke Namekuji Gakuen atas panggilan Tsunade-shishō.

Aku menoleh pada Otōsan, yang mengangsurkan senyuman menenangkannya padaku. Tangan beliau yang besar dan hangat terulur ke puncak kepala, mengusap-usap sayang rambutku. "Meskipun Ayah tidak tahu bagaimana hasil tes pemeriksaanmu nanti, tetapi semuanya pasti akan baik-baik saja. Percayalah."

Aku tersenyum goyah; sedikit merasa lebih tenang usai mendengar kata-kata Otōsan.

"Nah, ayo kita masuk sekarang," ajak Otōsan kemudian, membukakan pintu untukku.

Perlahan aku beranjak masuk ke dalam, diikuti Otōsan yang menutup pintu pelan. Kutemukan Tsunade-shishō tengah duduk di belakang meja kantornya, menyambut kami dengan ramah, "Terima kasih Anda sudah bersedia datang, Haruno-san. Kau juga, Sakura. Silakan duduk."

Aku menelan ludah seraya melangkah mendekati sepasang kursi di depan meja Tsunade-shishō. Entah mengapa, tanganku terasa begitu dingin saat menyentuh sandaran kursi yang terbuat dari kayu berpelitur tersebut. Setelah mengambil napas panjang guna menunjang ketenangan jiwa yang amat kubutuhkan, aku pun beranjak duduk, mengangkat wajah, dan memandang sejurus ke arah sang Kepala Sekolah. Namun, betapa terkejutnya aku begitu mendapati ekspresi empati tergurat di wajah cantik Tsunade-shishō.

"Bagaimana hasil tes pemeriksaan putri saya, Senju-kōchō?" terdengar suara bariton Otōsan yang duduk di sampingku, bertanya tanpa berbasa-basi dulu.

Tsunade-shishō, yang kali ini berpaling pada Otōsan, merespons tanpa pula berbasa-basi, "Sangat mengejutkan. Ternyata Sakura memiliki kromosom XY dalam susunan kromosom-nya."

Aku mengerutkan dahi. Kromosom XYkromosom penanda seksual laki-laki?

"Selain itu, Sakura juga diketahui mengidap Androgen Insensitivity Syndrom, atau Sindrom Ketidakpekaan Androgen."

Apa? Aku menegakkan badan, merasa tegang. Aku mengidap sindrom—apa?

Otōsan menyuarakan keteganganku, "Apa maksud Anda, Senju-kōchō?"

Tsunade-shishō melanjutkan, "Dari hasil tes pemeriksaan yang dijalani Sakura beberapa hari yang lalu, menunjukkan bahwa secara genetis Sakura bukanlah perempuan."

Aku mengerjab; tidak yakin dengan frase akhir yang barusan masuk ke gendang telingaku. "Maaf?"

"Bukan perempuan?" dengan sangat heran, Otōsan mengulang. Dari sudut mata, kutangkap air muka Otōsan yang biasanya tampak kalem, mulai bergejolak.

"Putri saya bukan perempuan?" Otōsan mulai mengalihkan tatapannya padaku. "Sakura-chan kecilku bukan ... tunggu! Tunggu dulu!" Otōsan kembali berpaling ke Tsunade-shishō sambil terbahak pelan. "Walaupun dada putri saya tidak menyembul dengan semestinya, tetapi dia selalu memakai celana dalam berpita dan berenda, Senju-kōchō!"

"Otōsan!" sahutku antara masih bingung, tegang, dan kini dicampur rasa malu sekaligus kesal. Bagaimana bisa Otōsan mengungkapkan hal itu dengan mudahnya di depan Kepala Sekolahku sendiri?

Namun, Otōsan tetap melanjutkan, "Dan Anda pasti tahu, bukan, bentuk kelamin di balik celana—"

"Tepat sekali," potong Tsunade-shishō tajam sebelum sempat tanganku bereaksi untuk membungkam mulut Otōsan yang hampir melontarkan istilah "jū hachi kin"—untuk 18 tahun ke atas. "Morfologi genital luar Sakura memang tampak hampir sama dengan yang dimiliki oleh perempuan kebanyakan—"

"Maaf, tampak hampir sama?" sela Otōsan tidak percaya.

Tsunade-shishō mengabaikan beliau. "Namun dalam pemeriksaan medis lainnya, diketahui bahwa Sakura juga tidak memiliki rahim, ovarium, ataupun sel telur yang semestinya dia miliki jika dia bergender perempuan." Raut wajah Tsunade-shishō begitu serius saat menerangkan penjelasannya kepada Otōsan, yang mulai membelalakkan mata.

"Itu artinya ... putriku Sakura tidak bisa memberiku cucu?" tanya Otōsan dengan suara ketakutan. Aku sendiri semakin tegang dan dilanda paranoia oleh apa yang sudah diterangkan Tsunade-shishō barusan. Aku bukan perempuan ... tes itu menunjukkan bahwa genderku bukan perempuan ... bukan perempuan—tapi, bagaimana mungkin?

"Sakura bukannya tidak bisa memberi Anda cucu, Haruno-san,"—tangan Tsunade-shishō terangkat bersamaan dengan bibir Otōsan yang akan bergerak kembali—"melainkan tidak bisa mengandung ... karena yang dia miliki adalah organ reproduksi laki-laki normal."

Aku terkesiap menangkap penjelasan tambahan itu. "Apa? Saya memiliki—apa?" tanyaku tergagap. Badai bening paranoia memang sudah menyelubungiku, namun nalar ini masih belum mampu menguraikannya.

Otōsan-lah yang merepetisi pernyataan Tsunade-shishō untuk didengar lebih jelas oleh indera runguku. "Gadis kecilku ... Sakura-chan ... memiliki organ reproduksi laki-laki—itu artinya ...?"

"Artinya, putri Anda interseksual," sambung Tsunade-shishō datar, menatapku lekat-lekat, "secara genetis bergender laki-laki."

Dan klausa terakhir itulah yang membuat duniaku serasa berhenti berputar seketika.

~tsuzuku


Author's Note:

Konnichiwa, ini fanfic pertama vic di FNI. Yoroshiku!

Cerita fanfic-nya memang agak menyimpang, tentang seorang interseks+mantan fujoshi yang terlibat romansa BL. Idenya sendiri berasal dari manga Kakumei no Hi/The Day of Revolution © Tsuda Mikiyo-sensei, dalam konteks terbalik.

Memang masih intro, tapi vic akan berusaha untuk 1st Blossom-nya. Jadi, mohon dukungannya ya! Arigatō goza! ^ ^


History:

08/04/2012 : first published