Blossom Boy

story by vic

disclaimer:

Kishimoto Masashi

warning:

AU, OOC, Intersexuality, Suggestive Theme, and Possibly Shōnen-ai.

*O*

1st Blossom

~What's wrong with being male, anyway?~


Bokser Pink.


Aku tahu apa itu interseksual—kondisi kelainan gender yang meragukan antara laki-laki dan perempuan secara fisik, anatomi, ataupun genetis. Aku pernah mempelajarinya sedikit di mata pelajaran Biologi—tentang hewan hermafrodit atau berkelamin ganda (semisal siput dan cacing tanah). Bahkan, aku juga pernah membacanya di salah satu manga karangan Tsuda Mikiyo-sensei—bercerita tentang remaja pria yang divonis "interseksual dan secara genetis bergender perempuan". Tapi, aku tidak pernah mengira—sama sekali tidak pernah—jika selama ini aku juga mengidap kelainan gender seperti itu!

Tsunade-shishō mendiagnosis kelainan genderku sebagai 46, interseks XY—atau bisa disebut: Hermafrodit Semu Laki-laki. Artinya, aku sebenarnya terlahir sebagai laki-laki, namun tanpa alat genital luar yang tampak utuh, seperti laki-laki normal. Tapi, aku juga tidak bisa sepenuhnya disebut bergender laki-laki lantaran "terjangkit" Sindrom Ketidakpekaan Androgen, yang menyebabkanku memiliki bentuk fisik langsing, laiknya perempuan. Meskipun begitu, tetap saja secara genetis aku bergender laki-laki.

Dan seolah apa yang menimpaku belum cukup buruk, Tsunade-shishō juga terpaksa mendepakku keluar dari Namekuji Gakuen. Alasannya, fakta genderku laki-laki tidak memungkinkan bagiku untuk meneruskan pendidikan di sana. Hingga akhirnya, aku hanya bisa terlantung pulang ke rumah, untuk meratapi nasib diri seharian.

"Sakura-chan, berhentilah menangis. Ayah mohon padamu."

Kuangkat wajahku dari benaman bantal, memandangi raut wajah Otōsan yang tengah menatapku khawatir. "Otōsan...," aku terisak, parau memanggil.

"Lagi pula, yang namanya laki-laki itu pantang menangis, bukan?" imbuh beliau sambil tersenyum geli.

Keruan saja aku terisak lagi. "Otōsan no Baka!" makiku seraya memukuli sisi kiri tubuh Otōsan dengan bantalku, bertubi-tubi.

Beliau hanya tertawa tanpa menghindari pukulanku. "Uwa, uwa, lihat kekuatan pukulanmu ini ... ckckck. Kamu benar-benar PUTRA Ayah yang kuat ya, Sakura-chan! Ah—ya da, iya da! Mulai sekarang, Ayah harus memanggilmu dengan 'Sakura-KUN' ya."

Dengan penuh kejengkelan, semakin keras kulayangkan pukulan bantalku, menimpuki beliau. "Otōsan bodoh! Bodoh! Siapa yang putra siapa? Siapa yang Otōsan panggil dengan yobisute '-kun' itu? Siapa? Dasar Otōsan bodoooh!"

Sesudahnya, kulempar sekuat tenaga bantalku ke arah dada Otōsan, kubenamkan lagi wajahku ke dalam bantal lainnya, dan kucoba menulikan rungu dari gelak membahana Otōsan yang menertawai agresiku barusan. Sungguh! Memangnya, ada ya seorang ayah yang tega menertawai kemalangan yang menimpa PUTRI-nya? Memangnya, ada ya seorang ayah yang malah bergembira atas kenyataan pahit yang mendera PUTRI-nya? Ukh, sungguh! Memiliki Otōsan yang insensitif sebagai ayahku, rasanya aku ingin tertelan bumi saja! Shānnarō!

"Sakura-kun." Perlahan, kurasakan sentuhan tangan lembut Otōsan yang membelai puncak kepalaku. "Sakura-kun, tidak seburuk itu, bukan?"

Aku menggigit bagian bawah bibirku, namun isakan tangis masih tetap terdengar. Tidak seburuk itu? Setelah mengetahui kenyataan bahwa sebenarnya aku "interseksual dan secara genetis bergender laki-laki", bagaimana bisa Otōsan dengan kalem mengatakan "tidak seburuk itu"?

Tiba-tiba bahuku ditarik pelan, tubuhku bangkit duduk menghadap Otōsan. "Sakura-kun," panggil beliau dengan suara lembut seraya menempelkan dua tangan besarnya di kedua belah pipiku. Wajahku yang basah dan mataku yang sembab pun terangkat, sampai bisa kupandangi paras wajah Otōsan yang kebapakan.

"Sakura-kun," panggil Otōsan lagi sambil mengusap air mataku dengan buku-buku jemari beliau. Kemudian, Otōsan merengkuhku dalam dekapan beliau yang terasa begitu hangat.

"Otōsan," senggukku, teredam dada bidang Otōsan yang tersembunyi di balik kemeja kerja beliau.

"Apa pun kamu—tidak peduli anak perempuan atau anak lelaki—Sakura-kun tetaplah buah hati kami yang sangat berharga. Karena itu, Ayah akan tetap selalu menyayangimu apa adanya. Jadi, jangan menangis lagi, ya? Sebab, meskipun kenyataan ini terasa pahit, bukankah masih ada Ayah di sini untuk ikut merasakannya bersamamu, hm?"

"Otōsan ..." Kudongakkan wajahku, membalas tatapan teduh yang diangsurkan Otōsan padaku. "Lalu ... apa yang harus kulakukan? Apa yang harus kulakukan untuk bisa menghadapi kenyataan mengerikan ini?" tanyaku seraya melepaskan pelukan.

Otōsan memiringkan kepala dan mengerjabkan mata, tampaknya kurang memahami pertanyaanku. "Mengerikan?" ulang beliau dengan jeda pendek sebelum menukas, "Sakura-kun, bukankah Ayah sudah mengatakan bahwa apa yang menimpamu ini tidak seburuk—"

"BURUK, Otōsan! Dan juga mengerikan!" sahutku keras kepala, memotong perkataan Otōsan begitu tajam. "Maksudku, selama 16 tahun ini ... aku terbiasa mengenakan celana"—kulayangkan tatapanku ke bagian tubuh di bawah perutku—"dalam dan menyumpal"—kuangkat kedua tangan yang menunjukkan gerakan menangkup di depan dadaku yang rata—"bagian ini dengan padding...," dan kugantung suaraku lantaran tak sanggup untuk melanjutkannya.

"Sakura-kun ...," Otōsan hendak menanggapi, namun urung kala melihatku menundukkan kepala, dengan kedua tangan yang sekarang beralih menutupi wajah.

"Aku terbiasa mengenakan itu sebagai perempuan ...," ucapku lirih. Buliran air mata merebak lagi di pelupuk mataku. "Tapi ... karena sekarang aku bergender laki-laki, aku ... aku ..."

"Hoo ... jadi itu masalahnya?" tanggap Otōsan sambil bertepuk tangan. Aku mengangkat wajah dan menoleh pada Otōsan yang tengah tersenyum penuh empati. "Sakura-kun tidak tahu harus mengenakan apa karena sekarang bergender laki-laki, ya?"

Aku hanya mengernyitkan kening, menatap tidak mengerti ke arah Otōsan yang kali ini sedang beranjak mengambil tas shopping berukuran besar, yang baru kusadari eksistensinya di samping tempat tidurku.

"Kalau itu masalahnya, Putraku, tenang saja. Karena Ayah sudah membelikanmu ... ini."

Kedua irisku kontan membulat begitu menangkap benda apa yang ditarik Otōsan keluar dari dalam tas shopping itu: sebuah celana bokser pink bercorak gambar hati kecil-kecil.

"Ayah membelinya dengan ukuran lingkar pinggang yang pas untuk Sakura-kun," kata Otōsan, memamerkan benda itu di depan mukaku. "Dan tidak hanya satu"—tangan beliau dengan cepat kembali menarik keluar beberapa celana bokser lainnya yang juga berwarna pink, namun dengan corak berbeda—"tetapi tujuh untuk tiap harinya. Ah, singletnya juga ada! Lihat, warnanya pink—warna favorit Sakura-kun, bukan?"

Astaga ... demi Kami-sama! Saat kupandangi ketujuh pasang celana bokser dan singlet yang diangsurkan Otōsan ke atas pangkuanku itu, sudah bisa kubayangkan bagaimana gambaran kehidupanku nanti sebagai laki-laki ... sebagai pinky boy.

"Otōsan," agak ragu aku memulai sambil mengalihkan pandangan ke wajah Otōsan, yang masih tak memudarkan senyumannya. "Mana ada laki-laki yang mengenakan pakaian dalam warna pink!"

"Sō desu ka? Tapi, pink adalah warna favorit Sakura-kun, bukan?" tanya Otōsan, mengonfirmasi dengan nada polos—terlalu polos, malah—hingga rasanya, aku ingin sekali membenturkan kepalaku berkali-kali ke dinding.

Namun, nalarku mengingatkan, membenturkan kepala ke dinding sama sekali tidak ada faedahnya—hanya akan mendapat benjolan besar serta gegaran otak saja. Meskipun kulakukan jua lantaran dirundung krisis identitas diri akut, tetap saja tidak akan mengubah fakta bahwa Otōsan telah membeli celana bokser berwarna pink untuk "putra" tersayangnya.

Karena itu, kuputuskan saja untuk menyuarakan kebingunganku—keputusasaanku—atas sikap Otōsan dalam menyingkapi vonis Tsunade-shishō, ketimbang memusingkan bokser-bokser pink tersebut. "Otōsan, mengapa Otōsan bisa sesenang itu kala mengetahui genderku sebenarnya bukan perempuan?" tanyaku sambil menyusut air mata dengan beberapa lembar kertas tisu yang tadi diulurkan Otōsan padaku.

Kulihat sorot mata Otōsan seketika meredup. Namun, bibir beliau tetap mengulas senyum. "Ayah bukannya senang, Sakura-kun. Malahan ... sangat kecewa karena baru sekerang mengetahui identitas gendermu yang sebenarnya."

Aku mengulurkan tanganku, meremas tangan Otōsan. "Apa menurut Otōsan, mendiang Okāsan sudah mengetahui hal ini semenjak melahirkanku ... tapi tetap membesarkanku sebagai perempuan?"

Mendengar spekulasi yang kulontarkan, senyuman Otōsan pun perlahan memudar. "Ayah tidak tahu, Sakura-kun. Saat mengandung, melahirkan, dan kemudian mengasuhmu selama delapan tahun ... tak pernah sekalipun mendiang ibumu menghubungi Ayah untuk ... memberitahu tentang dirimu"—Otōsan mengerutkan dahi, rahang beliau sendiri tampak mengeras—"ataupun kondisinya yang melemah. Baru setelah ibumu tiada, pengacara ibumu-lah yang menghubungi Ayah ... atas dasar keinginan mendiang ibumu yang tertulis dalam surat wasiatnya."

Semakin kuremas tangan Otōsan yang mengepal kuat; berusaha meredakan amarah beliau atas tindakan mendiang Okāsan delapan tahun yang lalu. Aku sadar, tindakan mendiang Okāsan yang dulu pergi meninggalkan Otōsan tanpa alasan jelas, adalah bentuk keegoisan mendiang Okāsan. Begitu pula keputusan mendiang Okāsan yang membesarkanku tanpa memberitahu siapa ayah biologisku. Namun, tetap saja aku tak ingin Otōsan memiliki perasaan antipati pada mendiang Okāsan.

Lambat laun, kurasakan amarah dalam diri Otōsan menyusut sirna. Senyuman kebapakan yang khas juga kulihat kembali menghiasi wajah Otōsan. Dengan binar sarat afeksi, Otōsan memandangiku sembari berkata, "Meskipun demikian, Ayah masih bersyukur karena kita tidak terlalu terlambat mengetahui identitas gender Sakura-kun yang sebenarnya. Coba bayangkan, andai kita mengetahuinya kala kau sudah dewasa dan segera menjadi pengantin ... mungkin akan terasa lebih sulit, bukan?"

Aku hanya diam, tidak bisa menanggapi apa yang diutarakan Otōsan. Tidak ingin. Karena aku sama sekali tidak bersyukur mengetahui kenyataan mengerikan pada identitas genderku ini.


Jalan Maskulinitas.


Karena Otōsan terus merongrongku untuk mencoba semua pakaian dalam yang dibelikan beliau untukku, insiden "pink boxer" itu pun berakhir traumatis—membuatku didera semiparanoia irasional tiap kali memandangi warna yang sering disteriotip sebagai feminitas seorang perempuan tersebut. Dan lantaran genderku kini "berbeda", kuputuskan, pink bukan dan tidak akan lagi menjadi warna favoritku. Coba warna biru langit atau hijau hutan—sepasang warna netral yang tak condong ke gender manapun. Kurasa.

Namun walau aku merasa muak dengan warna pink, bukan berarti aku juga membenci warna arum manis helaian rambutku. Ini adalah genetis. Warisan dari mendiang Okāsan. Tidak akan kucat warna lain hanya karena genderku sekarang bukan lagi perempuan.

"Kau yakin, Putraku? Kalau Sakura-kun berada di sekolah khusus laki-laki tahun depan nanti dengan warna rambut ... seperti ini"—Otōsan sudah kularang keras menyebut nama warna itu di depan mukaku maupun di belakang punggungku—"Sakura-kun hanya akan jadi bulan-bulanan bahan olokan," kata Otōsan, menimpali penolakanku atas tawaran beliau untuk mengecat permanen rambutku dengan warna yang lebih "maskulin"—warna hitam legam.

Aku menggelengkan kepala, sarat determinasi. "Tidak akan. Malah, aku yang akan menjadikan mereka bulan-bulanan samsakku kalau sampai mereka menghina warisan mendiang Okāsan ini," cetusku sambil mengukir seulas senyum kelam di wajah, sementara tangan kananku terus menggerakkan drawing pen guna menebalkan garis-garis sketsa gambar di dalam panel dōjinshi-ku.

Kulihat dari sudut mata, Otōsan mulai membuka mulut, hendak memrotes aktifitas yang sedari tadi kulakukan di atas ranjang kasur putih, tempatku duduk bersandarkan bantal dan berhadapan dengan meja makan kecil yang bisa dilipat. Namun belum sempat suara protes terlontar, aku menyela tandas, "Sama seperti keputusanku untuk tidak mengecat rambutku secara permanen; aku tidak akan berhenti membuat dōjinshi, Otōsan."

Otōsan memandangku dengan tatapan tidak setuju. "Putraku, dalam hitungan hari, kau akan mulai menjalani Operasi Transgender. Operasi yang akan mengubah identitas gendermu seutuhnya menjadi laki-laki. Jadi, tidak seharusnya kau tetap mempertahankan kebiasaan fujoshi-mu itu, Sakura-kun."

Gerakan drawing pen di tanganku terhenti. Dengan kedua sudut bibir tertarik ke bawah, aku mendongak sedikit, membalas tatapan Otōsan, dan mengoreksi defensif, "Ada yang salah dengan teguran Otōsan. Pertama, operasi yang kujalani nanti bukanlah Operasi Transgender, melainkan Operasi Penegasan Kelamin. Operasi yang hanya akan mengubah bentuk luar alat genital-ku saja.

"Kedua, aku tidak sedang mempertahankan kebiasaan fujoshi. Yang sedang dan akan terus kupertahankan adalah karierku sebagai dōjinka. Memang, semua dōjinshi-ku bertema shōnen-ai, tapi aku tidak terlalu suka disebut fujoshi, Otōsan."

"Baik, baik, Ayah mengerti; bukan Operasi Transgender dan bukan fujoshi," timpal Otōsan, buru-buru mengangkat tangannya di depan dada dengan sikap mengalah. "Tetapi, tolong pikirkanlah ini: Apakah tidak aneh jika Sakura-kun masih menggemari romansa shōnen-ai, padahal tahun depan nanti Sakura-kun akan menjadi siswa di Rikudō Sennin Gakuen?"

Sesaat, aku mengerjabkan mata. Kemudian, aku mengatupkan bibirku rapat. Entah mengapa, aku tidak mampu menyuarakan respons atas pertanyaan itu. Malahan, di dalam diriku mulai digelar perdebatan sengit—antara Nalar yang mendukung persepsi Otōsan, versus Ego yang tidak memedulikan apa pun, selain suksesi menjadi mangaka. Namun, Nurani ini belum sanggup memutuskan pihak manakah yang memenangi perdebatan tersebut.

Karena itu, alih-alih menjawab, aku hanya menutup pena drawing pen dan membiarkan lembaran kertas dōjinshi-ku terhampar begitu saja di atas meja-lipat. Kulayangkan tatapanku ke luar kaca jendela kamar, memandangi kemilau serpihan salju yang turun perlahan dari langit sore kelabu di musim dingin. Seiring kemudian, pikiranku mulai mengambang ...

Tak terasa lima bulan telah berlalu semenjak Tsunade-shishō memvonisku interseksual. Aku ingat bagaimana sisa pertengahan musim panas lalu kulewati dengan hanya menelan pil-pil antidepresan. Namun, seiring musim gugur datang dan menyapa dengan semilir anginnya yang bertiup sejuk, kepalaku mulai bisa berpikir positif dan sanggup mempersuasi diriku untuk menerima vonis tersebut.

Yaah, meratap selamanya memang tidak akan mengubah kenyataan; tetap menjadi perempuan sejati juga bukan lagi pilihan. Karenanya, aku menemui Otōsan dan mengemukakan kesediaanku menjadi laki-laki "seutuhnya" lewat jalan operasi.

Otōsan yang begitu senang mendengarnya, langsung memboyongku ke rumah sakit yang berada jauh di luar kota. Di sana, aku kembali menjalani serangkaian tes pemeriksaan ulang dan tes medis lainnya; menjalani Terapi Sulih Hormon guna "menambah" kadar hormon testosteron-ku; serta menjalani bimbingan intensif untuk menjadi laki-laki sejati.

Yang terakhir itu adalah ide "brilian" Otōsan, yang tampaknya sangat antusias ingin memiliki sosok putra yang benar-benar berpenampilan, bertingkah laku, serta berpikir laiknya remaja pria normal. Demi merealisasikan keinginan tersebut, Otōsan pun merekrut kenalan beliau yang bernama Hatake Kakashi sebagai pembimbingku.

Kala mendengar namanya, imaji pertama yang melintas di kepalaku adalah sosok orang-orangan sawah dengan muka henohenomoheji. Lalu, saat Otōsan mempertemukanku dengan seorang pria berambut jabrik keabuan—dengan poni sebelah menjuntai plus masker kebiruan yang menutupi hampir tiga perempat wajahnya—imaji itu pun berubah menjadi suatu asumsi meyakinkan. Raut wajah Hatake Kakashi-san pastilah seperti henohenomoheji! Kalau tidak, mana mungkin Hatake Kakashi-san repot-repot menyembunyikan wajahnya serapat itu di balik masker!

Namun, terlepas dari asumsi konyolku mengenai misteri wajahnya, Hatake Kakashi-san tampaknya memang seorang pembimbing. Tanpa perlu bertanya lebih jauh tentang kondisi ambiguitas genderku pun, dia langsung menyanggupi permintaan Otōsan, dan berjanji akan membimbingku ke jalan maskulinitas dengan benar.

"Nah, Haruno Sakura. Pertama-tama, kita akan mengubah penampilanmu yang manis ini menjadi lebih maskulin," ujarnya santai dari balik masker—serta novel "Icha Icha Paradise" aneh yang mendadak muncul di depan hidungnya—kala memulai bimbingan privat kami di kamar tempatku dirawat-inap.

Sebelah alisku terangkat tinggi. Penampilan fisik yang ... manis? Aku pun mulai menukas, "Maaf, Hatake Kakashi-san—"

"Panggil 'Kakashi-sensei' saja, Sakura," selanya kasual. Satu mata mengantuknya masih tenggelam dalam novel berkaver oranye di tangan kirinya itu. "Walau masih muda begini, aku juga seorang sensei di sekolah khusus laki-laki."

Irisku melebar. "E? Maji de?" tanyaku tidak percaya. "Anda yang kelihatan pemalas ini adalah seorang guru? Usooo!"

Pria muda itu hanya mengangkat wajahnya sedikit, membalas tatapanku sebentar, lalu kembali menekuni novel anehnya. "Rupanya selain penampilanmu, gaya bicara feminin yang kaugunakan itu juga perlu perubahan ya."

Sudut bibirku otomatis tertarik ke bawah, menukas datar, "Tapi, Kakashi-sensei, penampilan-ku sudah tampak lebih maskulin daripada sebelumnya."

"Hmm?" gumam Kakashi-sensei sambil membalik halaman novelnya. "Rambut berwarna merah muda, pundak yang kurang lebar, kedua lengan yang tidak menonjolkan otot biseps, perut yang tampak tidak kencang di balik kemeja rumah sakit itu, serta pinggang yang kecil. Yaah, menurutku sama sekali tidak maskulin, Sakura."

Komentar panjang dengan nada monoton yang tertuang dari balik masker hitamnya itu, kontan menohokku. Tapi saat aku akan membuka mulut untuk menukas kembali, Kakashi-sensei menambahkan detail lainnya, "Bibir dan dagumu terlalu kecil untuk ukuran maskulinitas. Begitu juga sudut mata tsurime, serta iris hijau zamrudnya"—terdengar dengusan geli dari balik maskernya—"yang mengingatkanku pada karakter kunoichi tertentu di anime Shippūden."

Sesaat, aku hanya memandanginya aneh. Kemudian, aku menimpal ragu, "Wakarimashita wa; secara keseluruhan, penampilan fisikku ... mungkin tidak semaskulin itu." Tapi, aku heran ... mengapa Ino dulu bersikeras kalau aku terlampau maskulin untuk seorang perempuan, ya?

"Yaah, aku bisa saja menyebutmu bishōnen saat mengamati raut wajahmu sekilas dari samping. Tetapi, tetap saja penampilan fisikmu terlalu manis untuk bisa kusebut 'laki-laki'," imbuhnya ringan, yang hanya kurespons dengan anggukan kaku—enggan membantah.

Hari pertama bimbingan diisi dengan sesi perbaikan gaya rambutku oleh tangan Kakashi-sensei sendiri. Di sela-sela ketekunannya mengguntingi helai demi helai rambutku, Kakashi-sensei juga memberikan bimbingan kilat mengenai otoko kotoba—atau gaya bicara laki-laki (yang sebenarnya sudah kupelajari dari dulu sebelum aku memulai membuat dōjinshi bertema shōnen-ai), serta memintaku untuk berlatih merendahkan suara lantaran suaraku jauh dari kata "maskulin" (tapi wajar saja, aku kan masih belum puber).

Seminggu berikutnya, Kakashi-sensei mengajariku bagaimana para lelaki umumnya bertingkah laku (frontal, karena "otot lebih cepat bereaksi daripada otak"). Seminggu berikutnya lagi, Kakashi-sensei mulai memberiku menu latihan fisik guna membentuk, setidaknya, otot biseps di lenganku. Seminggu berikutnya lagi dan lagi, Kakashi-sensei selalu hadir (walau sering terlambat) untuk terus menggembleng fisik serta mentalku agar bisa menyamai sosok laki-laki sejati.

Tatkala musim dingin yang menjengut iga mulai menyelimuti kota, bimbingan privat kami pun menemui batas waktunya. Di hari terakhir itu, Kakashi-sensei menilai penampilanku sudah cukup maskulin untuk bisa membaur dengan para siswa di Rikudō Sennin Gakuen—sekolah khusus laki-laki tempat dia mengajar. Untuk itu, Kakashi-sensei menghadiahkan setelan gakuran dari sekolah itu kepadaku, memberitahu serta bahwa aku bisa bersekolah di sana mulai musim semi tahun depan.

Dan setelah Kakashi-sensei pulang, di sinilah aku sekarang: masih menempati kamarku di rumah sakit, dan tengah menunggu jadwal Operasi Penegasan Kelamin yang akan kujalani beberapa hari lagi. Sambil menunggu, aku pun memutuskan untuk kembali menggerakkan drawing pen di atas lembaran kertas dōjinshi-ku yang belum rampung—diliputi kerinduan tidak wajar karena ... oh, sudah berbulan-bulan aku tidak menggambar dōjinshi, apa lagi bersua dengan harta benda bermerek "shōnen-ai" milikku—sebelum Otōsan tahu-tahu menegur dan memintaku untuk memikirkan hal yang malah membuatku termenung selama ini.

"Apakah tidak aneh jika Sakura-kun masih menggemari romansa shōnen-ai, padahal tahun depan nanti Sakura-kun akan menjadi siswa di Rikudō Sennin Gakuen?"

Nalarku mengatakan, "Ya, tentu saja akan terasa abnormal sekali jika kau yang bukan lagi bergender perempuan ini, masih menggemari romansa shōnen-ai! Otakmu akan dipenuhi imajinasi terlarang lantaran yang kaulihat di perguruan nanti, hanyalah interaksi para homososial bergender laki-laki! Lambat laun, kau akan menjadi fudanshi ... atau menjadi penonton setia dorama romansa terselubung antarsiswa ... atau malah tergoda menjaring tipe seme untuk menjadi kekasihmu sendiri ... atau lalu menjadi homoseksual."

Aku menggigil. Entah mengapa, mendengarkan sang Nalar malah membuatku ketakutan akan implikasinya pada orientasi seksualku nanti. Homoseksual ... astaga, tidak! Aku memang selalu membaca dan menggambar manga bertema shōnen-ai, tapi... kalau membayangkannya terjadi pada diriku sendiri ... yang sebentar lagi menjadi laki-laki sejati ...

Tanpa mendengarkan sang Ego yang mengecamku kelewat paranoid, segera kualihkan pandanganku dari hujan salju di luar sana, ke arah Otōsan yang rupanya masih setia menunggu responsku. "Baiklah, Otōsan. Setelah operasi nanti, aku akan mencoba menghentikan semua kegemaranku pada romansa shōnen-ai," kataku, berusaha memperdengarkan nada kalem dalam suaraku. "Tapi sekarang, tolong biarkan aku merampungkan dōjinshi-ku ini sampai selesai. Karena, Otōsan tahu, aku tidak bisa membiarkan apa yang sedang kukerjakan ... terbengkalai begitu saja."

Otōsan hanya mendesah pendek, lalu mengangsurkan senyuman pengertiannya padaku. "Hanya sampai operasimu dijalankan."

Aku mengangguk tanpa bersuara lagi. Berpaling aku pada lembaran kertas dōjinshi yang terhampar di hadapanku, seraya diam-diam mengulum senyuman getir. Setelah itu, aku memungut drawing pen, membuka penutupnya, dan mulai menebalkan garis wajah karakter seme—yang kugambar tengah menatap rindu ke arah uke-nya—dengan perasaan sendu.

Benar ... bagaimanapun, aku memang harus mengucapkan "sayōnara" pada semua hal yang berkaitan dengan kehidupanku dulu, setelah operasi nanti. Walau ini terasa berat, tapi harus kulakukan demi menyambut identitas baruku ... sebagai Haruno Sakura-kun.


Sang Bishōnen.


Pagi ini, matahari bersinar cerah. Langit biru yang menggantung rendah di atas sana, tampak jernih tanpa gumpalan awan menodai. Semilir angin berembus lembut, membawa serta kelopak-kelopak sakura yang berguguran dari ranting pohonnya. Aku yang baru saja melangkah keluar dari peron stasiun lokal, mengangkat sebelah tanganku dan menengadahkan telapaknya guna meraih beberapa kelopak bunga kebanggaan negeri tersebut. Namun, kelopak-kelopak sakura itu hanya terlewat begitu saja, hingga yang ada dalam kepalan tanganku hanyalah udara kosong belaka.

Aku menyunggingkan senyum tipis sembari mengalihkan tatapanku ke pepohonan sakura muda yang tumbuh di seberang stasiun; merasa agak kecewa lantaran tak bisa meraih sekelopak sakura pun, yang konon akan memberikan keberuntungan bagi siapa saja yang berhasil meraihnya. Ah, tapi masih sempat melihat sakura bermekaran di bulan Mei jugalah suatu keberuntungan, bukan?

Di tengah renunganku mengagumi keindahan pohon sakura di seberang sana, kurasakan sesuatu menarik-narik lengan atasan gakuran yang kukenakan. Serta merta aku menengok ke bawah dan menemukan seraut wajah gadis kecil berambut biru dikepang-dua, yang menatapku lekat-lekat dengan sepasang iris lebarnya. Setelah berhasil mendapat atensi dariku, gadis kecil tersebut membuka mulutnya, bertanya, "Anata futanari na no?"

Pertanyaan polos sarat nada penasaran yang merasuk ke telingaku barusan, keruan saja membuat kedua irisku terbeliak lebar. Namun belum sempat aku menyuarakan keterkejutanku, mendadak gadis kecil itu melepaskan lengan atasan gakuran-ku seraya menoleh ke balik bahunya dan menyahut nyaring, "Tōchan, Tōchan! Mite, mite!"—telunjuknya terangkat ke atas, menunjuk tepat ke wajahku—"Orang ini futanari lho!"

Sontak wajahku memerah. Gadis kecil itu dengan seenaknya menyebutku "futanari" di tengah para pejalan kaki yang berlalu-lalang melewati peron stasiun lokal. Kulihat beberapa orang yang mendengar sahutannya, mulai memutar kepala dan memandangiku dengan tatapan aneh. Bahkan, ada yang terang-terangan mengamati penampilanku dari ujung rambut sampai ujung kaki segala! Ukh. Lantaran tak ingin menjadi bahan tontonan dadakan, buru-buru aku menyingkir dari peron stasiun; bergegas menjauhi si gadis kecil, yang masih saja mengecapku "futanari" dengan telunjuk tangannya.

Tch, anak itu terlalu keranjingan menonton anime yang bukan-bukan, ya? Memangnya, siapa yang dia sebut "futanari"? Aku memang divonis interseksual, tapi bukan berarti aku juga "futanari"—atau karakter shōjo berkelamin ganda dalam ero anime, shānnarō!

Bodohnya, karena terlalu fokus mengumpat dalam hati sambil mempercepat langkah tanpa melihat ke depan, aku menubruk seseorang hingga membuatnya jatuh terjengkang. Aku tersentak begitu mendengar orang yang kutubruk—yang rupanya seorang wanita muda berambut kecokelatan, berbandana kain putih, dan berpakaian warna senada di balik apron biru—mengaduh kesakitan.

"Gomen!" sahutku panik, dengan sigap membantunya berdiri. "Aku tidak melihat arahku berjalan. Kau tidak apa-apa, kan?"

"Uh, kurasa begitu," jawab wanita muda itu meringis seraya menerima uluran tanganku. Saat kami berdiri berhadapan, kedua iris kecokelatan miliknya mulai bergerak menelusuri wajahku, rambutku, serta setelan gakuran-ku sebelum bibirnya bersuara tidak yakin, "Kamu ... siswa Rikudō Sennin Gakuen?"

Aku balik bertanya cepat, "Kau tahu Rikudō Sennin Gakuen?"

Wanita muda itu mengangguk. "Kukira, sekolah tersebut hanya menerima siswa laki-laki saja." Dia memincingkan mata, memandangiku selidik. "Apa gadis manis sepertimu diizinkan bersekolah di sana?"

Sebersit rona menjalar di pipiku. Lagi-lagi, ada yang salah kira genderku masih perempuan meski penampilanku sudah tampak lebih maskulin. Aku lalu menukas jengah, "Sebenarnya aku ini—"

"Futanari! Tōchan, itu dia futanari-nya!"

Kami berdua terlonjak begitu mendengar teriakan nyaring dari balik ransel yang kupanggul. Saat aku menoleh, aku melihat sesosok gadis kecil berambut biru familier, yang sedang menghampiriku sambil menarik-narik pergelangan tangan seorang pria di sampingnya. "Tōchan, mite, mite! Rambutnya pink, wajahnya bishōjo, tapi seragamnya gakuran! Dia futanari, kan, Tōchan? Iya, kan?"

Tch, anak itu lagi! Dengan segera aku memalingkan muka dan melangkahkan kaki melewati si wanita muda berbandana kain, tanpa memedulikan sahutan anak itu di belakangku. Namun, suara nyaringnya terus terngiang di dalam kepalaku. Hingga akhirnya, tungkaiku memutuskan untuk berlari menerobos para pejalan kaki—meski ransel dan tas kargo bawaanku sedikit menghambat derap sepatu kets-ku yang beradu dengan beton trotoar.

Belum cukup jauh aku meninggalkan stasiun lokal, tiba-tiba aku mendengar suara klakson memekik nyaring dari balik punggungku. Sambil melambatkan kecepatan lari, aku berpaling ke arah mobil pick-up tua berwarna merah pudar yang melipir mengiringiku. Dari seberang kaca jendela mobil, aku bertatapan dengan si wanita muda berbandana kain yang tengah mengemudikannya.

"Sumimasen! Letak Rikudō Sennin Gakuen berada di arah sebaliknya!" sahut wanita muda tersebut dari balik kemudi, membuatku sepenuhnya berhenti berlari. "Kalau kamu mau, aku bisa memberimu tumpangan," tawarnya sopan seraya menghentikan laju kendaraannya. "Tempat tinggalku juga searah. Bagaimana?"

Aku menggigit bagian dalam pipiku sambil berpikir. Tapi, menimbang kemungkinan diriku akan tersesat lantaran baru kali pertama berada di daerah ini, aku putuskan untuk menerima tawaran tersebut.

"Hajimemashite. Aku Ayame, putri pemilik kedai ramen Ichiraku. Dōzo yoroshiku." kata wanita muda itu memperkenalkan diri saat mobil pick-up tua yang dikemudikannya berputar ke arah sebaliknya, lalu mulai melaju dengan kecepatan rata-rata di atas jalanan berlalu-lintas jarang.

"Hajimemashite. Namaku Haruno Sakura, siswa baru Rikudō Sennin Gakuen. Dōzo yoroshiku," responsku sopan seraya menundukkan kepala sekilas.

"E? Haruno Sakura bukannya nama perempuan, ya?" komentarnya ragu. "Apa kamu ... benar-benar lelaki tulen? Atau jangan-jangan ... kamu memang ... um, futanari?"

Aku yang sedang memperbaiki posisi sandaran punggungku di bantalan kursi penumpang yang bulukan, menoleh ke arahnya yang tak melepaskan pandangan dari jalanan di depan. "Ayame-san, boku wa otoko nanda," tukasku dengan suara sekalem mungkin—meski dalam hati, aku ingin sekali meneriakkannya, tepat di telinga wanita muda itu. "Kalau tidak, mana mungkin aku mengenakan setelan gakuran dan menjadi siswa di sekolah khusus laki-laki tersebut."

Ayame-san tampak terdiam sejenak, mencerna kata-kataku. "Ahahaha, benar juga," timpalnya kemudian, diawali tawa canggung. Setelah itu, dia mulai mengganti topik percakapan kami. "Um ... Haruno-kun tadi bilang, Haruno-kun siswa baru di Rikudō Sennin Gakuen, bukan?" ujarnya, menyebut yobisute '-kun' di belakang nama keluargaku dengan hati-hati.

"Ya. Baru kelas satu."

Ayame-san tampak tercengang. "Jangan-jangan, Haruno-kun salah satu siswa penerimaan baru, ya?" Ketika mendapati responsku yang berupa anggukan kepala singkat, dia bertanya lagi, "Mengapa baru datang setelah liburan Golden Week?"

Sesuai dugaan, ada juga yang bertanya mengapa aku baru muncul sebagai siswa penerimaan baru pada bulan Mei setelah liburan Golden Week. Untuk itu, aku sudah menyiapkan jawaban, "Aku baru diizinkan pulang dari rumah sakit, tepat dua hari sebelum liburan Golden Week usai." Dan itu bukan jawaban palsu. Aku memang baru saja diizinkan pulang oleh pihak rumah sakit setelah lama direhab pascaoperasi. Operasi Penegasan Kelamin yang kujalani musim dingin lalu itu sendiri berlangsung dengan sukses—meski sebelumnya, Dokter mewanti akan ada sedikit kendala dalam merekonstruksi morfologi genital luarku. Tapi, aku tidak mengira akan membutuhkan waktu sampai tiga bulan rehabilitasi, hanya untuk beradaptasi dengan alat genital luarku yang baru. Untunglah, pihak sekolah masih berbaik hati menerimaku sebagai siswa baru mereka begitu masa rehabilitasi panjangku berakhir.

"Diizinkan pulang dari rumah sakit?" kudengar Ayame-san merepetisi sebagian jawabanku dengan nada khawatir. "Ara, Haruno-kun baru sembuh dari suatu penyakit kronis, ya?"

Melihat ekspresi prihatin teraut di paras Ayame-san yang manis, aku jadi tak tega untuk membohonginya. Tapi, aku tetap tidak bisa menceritakan padanya tentang apa yang kualami selama hampir sembilan bulan belakangan ini. Jadi, aku hanya menyunggingkan senyum tipis sebagai responsnya.

Ayame-san mendesah berat sebelum mengangsurkan senyuman sarat empati padaku. "Tetapi, Haruno-kun kini baik-baik saja, bukan?"

"Sō da," jawabku sambil mengangguk mantap. Untuk sekarang, aku memang merasa baik-baik saja dengan identitas genderku yang baru.

Beberapa menit berlalu dalam keheningan; Ayame-san terus berkonsentrasi mengemudikan mobil pick-up tuanya, sementara aku memandangi langit biru dari balik kaca buram jendela mobil yang sedikit terbuka. Tak berapa lama, aku mengerjab kaget seiring menyadari kendaraan yang kutumpangi tengah memasuki kawasan hutan. Namun belum sempat aku menggerakkan bibir untuk bertanya, Ayame-san sudah menghentikan laju kendaraannya di seberang halte bus sepi, memberitahu bahwa kami sudah sampai di Rikudō Sennin Gakuen.

Keningku mengernyit samar kala memandangi halte bus, pepohonan rapat di latar belakangnya, serta jalanan setapak menembus hutan yang muncul di samping kanan halte bus itu dengan tatapan sangsi. Lalu, atensiku beralih ke Ayame-san saat telingaku mendengar arahan darinya. "Gerbang Rikudō Sennin Gakuen berada tepat di ujung sana. Haruno-kun hanya tinggal telusuri saja jalanan setapak di situ."

"Begitu, ya?" tanggapku agak ragu sambil melepas sabuk pengaman dan menarik handle pintu mobil di sisi kiri kursi penumpang. Sebelum beranjak turun, aku berpaling dulu ke Ayame-san untuk berterimakasih atas tumpangannya.

Ayame-san tersenyum lebar. "Ah, tidak perlu sungkan. Aku senang bisa memberi Haruno-kun tumpangan." Lalu, kedua iris cokelatnya melebar, seolah baru menyadari sesuatu. "Oh iya! Karena Haruno-kun siswa baru di kelas satu, Haruno-kun pasti akan sekelas dengan Naruto-kun ya!"

Aku yang sudah beranjak turun bersama ransel dan tas kargo bawaanku, bertanya tidak mengerti, "Naruto-kun?"

"Hai. Namanya Uzumaki Naruto. Tahun ini, anak itu terpaksa tinggal kelas. Jadi, Haruno-kun harus berteman baik dengannya ya," pesannya persuasif sembari menghidupkan kembali mesin mobilnya.

Aku tercenung. "Uzumaki Naruto, ya?" gumamku mengulang-ulang nama itu di kepala; nama yang mengingatkanku pada irisan Narutomaki di atas semangkuk ramen. "Rasanya, aku jadi ingin mampir ke kedai ramen Ayame-san."

"Berdua Naruto-kun, ya? Baiklah! Kami pasti akan menunggu kedatangan kalian!" sambar Ayame-san dengan ceria. "Kalau begitu, aku duluan ya, Haruno-kun! Semoga hari pertamamu di Rikudō Sennin Gakuen menyenangkan. Sampai jumpa!"

Kupandangi bumper belakang mobil pick-up tua yang melaju meninggalkanku itu dengan masih tercenung. "Berdua Uzumaki Naruto ke kedai ramen Ayame-san?" gumamku sambil mengernyitkan kening. "Artinya, aku harus berteman dengan si Naruto-gaki dulu agar bisa ke kedai ramen Ayame-san, ya?"

Sejenak, bibirku mengulas senyum simpul sembari mengendur-endurkan tali ransel di pundakku dengan satu tangan. "Baiklah! Itu bisa kulakukan nanti setelah sampai di sekolah," kataku memutuskan sambil beranjak menghampiri mulut jalanan setapak yang menembus hutan di samping kanan halte bus. "Sekarang, yang harus kulakukan terlebih dulu adalah menelusuri jalanan ini," imbuhku seiring melangkahkan kaki, memasuki jalanan tersebut.

Suasana suram menyelimuti jalanan bertanah dan berkerikil yang tengah kutelusuri ini. Di kedua sisi jalan, berderet pepohonan rindang yang menjulang tinggi, seolah ingin menantang langit biru yang menaunginya. Tidak ada suara kicauan burung yang terdengar—ataupun dengungan serangga hutan—kecuali suara gesekan dedaunan yang tertiup angin musim semi. Jalanannya sendiri berkelok-kelok tak menentu, seakan-akan ingin menyesatkan orang yang melaluinya ...

... yaitu diriku, yang mulai merasa tidak nyaman berjalan seorang diri di tengah hutan, seperti sekarang. Bukannya aku paranoid, tapi aku mulai membayangkan sepasang mata di balik pepohonan tengah bergerak mengawasiku—

Langkahku terhenti. Kepalaku berputar cepat. Kedua irisku melempar tatapan waspada ke balik pepohonan di sebelah kananku. Walau tidak merasakan hawa kehadirannya, namun instingku mengatakan ada seseorang—atau sesuatu—yang memang tengah mengawasiku tajam. Tapi, aku hanya mendapati bayang-bayang pepohonan ... serta siluet aneh berbentuk tanaman venus fly-trap setinggi manusia dewasa.

Aku mengerjabkan mata; merasa ragu dengan apa yang kulihat barusan. Tapi, siluet aneh tersebut masih bertahan di sana ... sebelum akhirnya melebur dengan bayang-bayang pepohonan.

Belum sempat pikiranku terkontaminasi paranoia, cuping telingaku menegak seiring menangkap suara putaran roda yang beradu jalanan tanah berkerikil dari arah belakang. Serta merta aku membalikkan badan dan menemukan sesosok pemuda berambut merah di atas sepeda, yang melaju perlahan ke arahku.

Aku pun mengembuskan napas lega. Akhirnya, ada juga manusia lain yang melewati jalanan ini, selain diriku sendiri. Dengan semangat aku mengangkat tangan dan melambai ke arahnya. Namun, pemuda bersepeda itu hanya menolehkan kepala, memandangiku sekilas, lalu melewatiku begitu saja.

"E?" Aku tercengang. Tak kusangka dia hanya akan melewatiku, tanpa niat menghentikan laju sepedanya. Padahal, dia melihat-ku berdiri di sini, kan?

Buru-buru aku memutar tungkai, memutuskan untuk mengejarnya. "Chotto yameta, omae!" seruku, menyuruhnya berhenti. Dengan kepayahan aku berlari sambil memeluk tas kargo berat di dadaku. Ransel di punggungku sendiri malah hampir menghambat derap kakiku. Untung saja pemuda itu mengayuh sepedanya dengan kecepatan yang mampu kuimbangi. "Chotto yameta datte ba!" seruku lagi sambil menjulurkan satu tangan ke depan, merenggut bagian belakang kaus putih yang dikenakannya.

Roda sepedanya berdecit nyaring—pemuda itu hampir jatuh terjungkal andai kakinya tidak sigap menjejak tanah. Aku tak mengira tanganku kelewat bertenaga saat merenggut kausnya. Tapi setidaknya, hal itu sukses membuat pemuda itu berhenti dan berpaling padaku.

"Apa maumu?" tanyanya dengan suara monoton, namun kedua iris cokelat hazelnya yang besar nan terang tampak menatapku tajam.

Aku membuka mulut, tapi urung bersuara. Hanya desahan napas singkat yang terdengar saat irisku terpaku menatap seraut wajah di depanku. Seraut wajah manekin imut ... bak bishōnen berkarakter uke yang keluar langsung dari manga BL.

" ... kecil sepertimu mengenakan gakuran?"

Aku mengerjabkan mata, tersadar dari keterpakuan begitu mendengar sayup-sayup suara maskulin yang mengentaskanku dari hanyutan imaji terlarang. "Ya?"

Si uke—maksudku, sang bishōnen—tampak sedang memandangiku lekat-lekat, lama ... sampai aku merasa canggung sendiri. "Mengapa kau mengenakan gakuran?" tanyanya tanpa mengalihkan pandangan.

Aku berdeham sebentar untuk mengaburkan kecanggunganku di bawah sorot matanya. "Gakuran kan seragam yang dikenakan siswa Rikudō Sennin Gakuen," jawabku mengonfirmasi. Ketika tidak mendapat tanggapan darinya, aku putuskan untuk memperkenalkan identitas diri. "Omong-omong, aku Haruno Sakura. Siswa baru di kelas satu. Yoroshiku."

Kali ini, sang bishōnen menanggapinya dengan gumaman. "Haruno Sakura,"—matanya mengerling sekilas ke helaian rambutku yang berwarna merah jambu—"siswa baru?"

"Sō nanda." Aku berdeham lagi sebelum memintanya untuk mengantarku ke Rikudō Sennin Gakuen. "Mungkin kau bisa memboncengku ...," suaraku menggantung seiring menyadari sepeda yang ditungganginya adalah sepeda gunung. "Atau ... kita bisa jalan sama-sama?"

"Kubonceng saja," putusnya kalem, langsung mengejutkanku.

"Tapi ... sepedamu kan ... tidak ada boncengannya," kataku memrotes dengan ragu-ragu.

Sudut bibir sang bishōnen tertarik sedikit ke atas. "Aku bisa memboncengmu di depan," tawarnya kasual.

Kedua irisku terbeliak. "Memboncengku ... di depan?" ulangku tidak yakin seraya mengamati top tube pada frame sepedanya; membayangkan diriku sendiri duduk membonceng di depannya. "Kurasa ... itu tidak perlu—"

Sang bishōnen menyela dingin, "Jangan menolak. Kau yang sudah memaksaku berhenti, jadi terima saja tawaranku." Lalu, tangannya terjulur ke pundakku, menarik lepas tali ransel yang kupanggul, dan menyelubungkannya sendiri ke pundaknya.

Aku hanya bisa melongo melihat tindakan spontannya barusan. "Cepat naik. Jangan buat aku menunggu." Sang bishōnen memerintahku dengan suara datar, ditingkahi gerakan tangan meraih lenganku, menarik tubuhku mendekat hingga pinggulku membentur top tube sepedanya.

Tak punya kesempatan untuk menolak—dia juga kelihatannya bukan tipe orang yang menerima penolakan—terpaksa aku menempatkan panggulku di atas top tube, duduk membonceng dengan posisi setengah badan menghadap stang kemudi. Sementara itu, sang bishōnen menjulurkan kedua tangannya, mencengkeram pegangan stang kemudi, seolah memenjarakanku dengan kedua lengannya. Dan karena tas kargo dalam dekapanku berukuran cukup besar, mau tak mau aku harus merapat ke dada sang bishōnen agar bisa memuatnya serta. Kemudian, setelah mengecek posisiku cukup aman untuk duduk membonceng di depannya, sang bishōnen mulai mengayuh pedal dan melajukan roda sepedanya di jalanan setapak menuju sekolah kami.

Selama berada dalam "penjara" lengan sang bishōnen yang terbuka di bawah gulungan lengan kausnya, kecanggungan menyelimutiku kembali. Andai aku masih perempuan, pengalaman dibonceng dengan posisi ini akan cukup mendebarkan hati karena bisa berada begitu dekat dengan si pemuda yang membonceng. Tapi sayangnya, genderku sekarang laki-laki, dan hal ini sama sekali tidak mendebarkan hati! Meskipun aku duduk bersandar begitu rapat di dadanya—hingga puncak kepalaku membentur dagunya, telingaku menangkap suara desahan napasnya, dan hidungku menghirup wewangian kayu manis yang menguar dari tubuhnya—tapi hal itu malah membuatku merasa aneh dan tidak nyaman.

"Se—sebaiknya, kauturunkan aku sekarang," pintaku agak tergagap seraya menengadah sedikit ke arahnya.

Sang bishōnen menengok ke bawah, beradu mata denganku. "Kita memang sudah sampai," ujarnya monoton sembari menarik rem roda sepedanya tiba-tiba; bahuku tersentak sedikit ke depan dibuatnya.

Aku terpana, tak mengira bahwa kami sudah berada tepat di depan sebuah pintu gerbang sekolah yang setengah terbuka. Di balik pintu gerbang berjeruji besi kelabu tersebut, kulihat hamparan pelataran luas yang dihiasi barisan pepohonan ginko dan pinus di kanan-kirinya. Sementara di seberang sana, sebuah bangunan sekolah berstruktur standar menjulang kukuh dengan latar belakang langit biru. Aku tersenyum lebar. Antusiasme bergulung memenuhi benakku. Akhirnya, aku sampai di Rikudō Sennin Gakuen; sekolah baruku.

Usai merosot turun dari atas top tube dengan masih mendekap tas kargoku, aku bergegas menghampiri pintu gerbang sekolah, ingin cepat-cepat menjejakkan kakiku di sana. Namun belum sampai tiga langkah, kudengar sang bishōnen menyuruhku berhenti. Aku menoleh dan melihatnya menenteng ranselku.

"Arigatō," ucapku meringis seraya mengambil ransel yang diangsurkannya padaku. "Untuk bocengannya juga," imbuhku dengan senyuman terulas di bibir. Setelah itu, aku memutar tumit, bergerak akan menghampiri gerbang pintu sekolah itu kembali saat tangan sang bishōnen tiba-tiba mencekal sikuku.

"Kau harus membayar dulu," kata sang bishōnen datar begitu aku menengok ke arahnya.

"Membayar?" aku membeo heran.

Dia mengangguk mantap. "Untuk jasa pengantaran."

"Untuk jasa—" suaraku terputus seiring doktrin favorit Ino mendadak terngiang di kepalaku. Tidak ada yang gratis di dunia ini. Dan rupanya, hal itu berlaku juga untuk "jasa pengantaran" yang disebut sang bishōnen barusan. Kutatap wajah manekin imut tanpa emosi di depanku itu sebentar—menyayangkan matrealisme yang menodainya—sebelum menimpal, "Berapa yang harus kubayar?"

"Sepantasnya," jawabnya singkat.

Aku menaikkan sebelah alisku sejenak sebelum tanganku beralih merogoh saku celana gakuran-ku. Tapi, dompet yang kucari itu tidak ada. Apa mungkin aku menyimpannya di dalam tas ransel? Dengan segera kupindahkan posisi tas ranselku ke depan dada. Kubuka ritsleting kantongnya, mulai memasukkan tanganku ke dalamnya, dan meraba-raba keberadaan dompetku sembari meminta sang bishōnen untuk menunggu sebentar.

"Aku tidak suka menunggu."

Kudengar sang bishōnen menukas tegas. Lalu tanpa sempat kusadari, dengan cepat dia merenggut kerah tegak gakuran-ku, menariknya ke depan, hingga yang kusadari pada detik berikutnya adalah ... bibirnya menempel tepat di bibirku.

Kontan aku melebarkan mata, terkejut dengan tindakan frontalnya. Namun, sang bishōnen hanya menatap dingin ke dalam mataku sembari menelengkan kepalanya sedikit hingga membuat bibir kami semakin menyatu rapat.

Tentu saja aku berontak keras—berusaha mendorong dadanya mundur dengan satu tanganku yang bebas—tapi entah bagaimana, mendadak tubuhku limbung ke belakang, dan jatuh terduduk di hadapannya. Mataku mengerjab bingung, tangan kananku bergerak menyentuh bibirku yang berdenyut-denyut aneh ...

... kemudian wajahku memanas, sekaligus memucat begitu menyadari apa yang barusan terjadi: sang bishōnen menciumku—menciumku yang bergender laki-laki ini—dan menjatuhkanku sesudahnya.

Aku mendongak dan menerima kilatan intimidasif dari iris cokelat sang bishōnen yang menatapku dari atas sadel sepeda. Seketika tubuhku gemetar. Dengan suara tergagap, aku bertanya, "Me—mengapa kau ... mencium-ku?"

Senyuman kelam terulas di bibirnya. "Aku hanya mengambil bayaranku."

"Nannandato?" tanyaku, merasa syok dan tidak percaya. "Mengambil ... bayaran?"

Alih-alih menghiraukanku, dia malah bergumam sendiri sembari mengusap pelan permukaan bibirnya dengan jari telunjuk. Lalu, dia menengok ke bawah, memandangiku yang masih terduduk di jalanan, dan menyeringai. "Rikudō Sennin Gakuen ni yōkoso," katanya dengan nada suara rendah dan parau.

"Hah?"—hanya itu yang bisa kulontarkan. Aku masih syok dengan apa yang kualami barusan.

Setelah berkata begitu, sang bishōnen mengayuh sepedanya ke jalur jalanan setapak lain, yang melintang di depan pagar pembatas sekolah. Aku sendiri yang tengah memandang jauh punggungnya, mulai merasa paranoid kalau-kalau baru saja mengalami sekuhara—atau semacam pelecehan dari seorang uke ...

... di hari pertamaku menginjakkan kaki sebagai siswa laki-laki.

~tsuzuku.


Author's Note:

Konnichiwa! 1st Blossom akhirnya ter-publish juga~

Meski rasanya sisi feminin Sakura-kun masih kelihatan di chapter ini, namun vic akan berusaha membuat maskulinitas Sakura-kun mendominasi di chapter berikutnya nanti~ Just wait and read ya!

Omong-omong, bisakah reader menebak identitas sang bishōnen? (Walau sebenarnya, tidak perlu ditebak juga sudah jelas siapa orangnya ... hehe.)

Okeee, arigatō goza untuk reader yang sudi baca dan review fanfic menyimpang ini~

Next blossom, ja ne!


History:

09/O4/2012 : first published

29/04/2012 : clean the formating