...

"Maafkan saya, Putri Feliciana. Saya bukanlah Papa anda. Sebenarnya saya adalah Ludwig Beilschmidt, seorang yang dititahkan sang Raja untuk menjadi pengurus anda, Putri Feliciana Vargas dari Kerajaan Vargas,"

Vee? Apa kata Papa Luddie? Dia bukan Papaku yang sebenarnya? Lalu aku adalah Putri dari Kerajaan Vargas?

Apa maksudnya, vee?

...

Hold Me, Guard Me!

Disclaimer :

Axis Powers: Hetalia © Hidekaz Himaruya

Hold Me, Guard Me! comic © Iwaoka Meme

Hold Me, Guard Me! fic © Megumi Yoora

Warning:

OOC, School Life, Human Names, Gender bending (fem!N. Italy, fem!/Romano, fem!Japan), Typo (s), Pair Amexfem!Ita.

Don't like, don't read.

Happy reading, minna!

...

Mendengar perkataan Papa Luddie, aku sangat kaget. Siapa sih yang tidak kaget saat sepulang sekolah langsung disambut dengan berita seheboh ini?

"E-eh ... Pu-putri? Hahaha, candaan Papa garing, vee," ujarku menepis kata-kata yang diucapkan Papa Luddie. Papa Luddie malah mengernyitkan dahinya begitu mendengar perkataanku.

"Ini bukan candaan, Putri. Saya mengemban tugas dari sang Raja untuk mengurusmu serta melindungimu dari musuh kerajaan. Selama ini saya memang sering mengajakmu berpindah-pindah tempat tinggal, namun itu semata-mata untuk melindungimu dari jangkauan musuh," terang Papa Luddie panjang lebar.

Apa? Alasan kami pindah-pindah tempat tinggal karena itu, vee? Tu-tunggu, aku masih bingung tentang hal ini, vee!

Aku tak tahu apa arti semua ini! Ini kan, bukan hari ulang tahunku. Hari ini kan tanggal 1 April ...

.

.

1 April?

.

.

April Mop, vee!

Aha! Pasti ini lelucon April Mop yang dibuat Papa Luddie dan Alfred untuk menipuku! Oke, lelucon yang bagus, vee. Kalau begitu, aku tinggal berpura-pura menjadi seorang Putri saja.

"Jadi, apa kau mengerti, Putri Feliciana?" tanya Papa Luddie setelah berkata panjang-lebar. Aku hanya menganggukkan kepalaku pelan, mengiyakan pertanyaan Papa Luddie. Akting yang bagus, Papa. Tapi aku tak akan tertipu, karena hari ini adalah April Mop.

"Alfred F. Jones adalah bodyguard yang tangguh dari kerajaan kita. Dia akan mengawalmu 24 jam, dan di mana pun kau berada," tambah Papa Luddie lagi. Aku hanya mengangukkan kepalaku lagi. Serta berkata, "Baiklah, aku mengerti,"

"Ternyata kau mengerti juga, Putri!" ujar Papa Luddie aka Ludwig.

Tiba-tiba, Alfred menggendongku ala bridal style, lalu berlari ke suatu tempat.

"Kalau begitu, saatnya ganti baju!" ujar Alfred sambil menggendongku dan berlari.

"Tu-tunggu! Kenapa aku harus ganti baju, vee!" tanyaku panik.

"Kau harus pakai gaun!" jawab Alfred setengah berteriak.

"Tapi baju ini bagus kok, vee!" seruku pada Alfred.

"Gak boleh! Kau Putri, jadi harus memakai gaun!" seru Alfred membantah perkataanku.

"Vee!"

"Soalnya, Putri lebih manis kalau pakai gaun!" seru Alfred. Aku hanya bisa facepalm begitu mendengar ucapannya. Rona merah menyelimuti pipinya setelah Ia mengucapkan kata-kata tersebut. Melihat wajahnya merona seperti itu, membuat wajahku merona juga. Astaga, Alfred manis sekali kalau seperti ini, vee.

...

"Nah, gaun ini lebih cocok untuk Putri!" ujar Alfred senang setelah memilihkan gaun untukku. Ia memilihkanku gaun selutut berwarna merah dengan motif kotak-kotak bergaris hitam dan renda di ujung gaunnya. Lengan gaun tersebut panjang, dan terdapat renda juga diujung lengannya. Ia juga meriasku dan menata rambutku. Ia menggeraikan rambutku dan memakaikanku bando dengan motif yang senada dengan gaunku.

He-hei, ini termasuk akting juga, yah?

"'Tuh kan! Sesuai dugaanku, Putri jadi terlihat lebih manis bila memakai gaun," ujar Alfred sambil membanggakan 'hasil' pilihan gaun serta riasannya. Aku hanya bisa facepalm dengan situasi saat ini.

Tiba-tiba, Ia menarikku dari belakang hingga kurasa kami terduduk bersama di atas ranjang.

"Waktunya menyantap cemilan. Putri, silahkan pilih yang mana. Mau hamburger atau cake?" tanya Alfred sambil menyodorkan dua piring yang masing-masing berisi hamburger dan cake.

'Hamburger? Cake?' pikirku dalam hati sambil facepalm.

Kalau aku mau jujur, aku lebih memilih Pasta daripada kedua makanan itu, vee.

Mungkin aku bisa memilih cake ketimbang hamburger.

"E-eh, cake saja, deh," ujarku sambil mengambil sepotong cake dari piring berisi potongan cake yang disodorkannya. Lalu, aku menyantap cake itu dalam diam. Ia pun diam, sambil menyantap hamburger buatannya.

"Anu, kok bisa sih, bodyguard yang memilihkan baju dan bikin kudapan untuk cemilan, vee?" tanyaku memecah keheningan. Ia berhenti sejenak menyantap hamburgernya yang sudah tinggal setengah. Lalu bergeser lebih dekat padaku dan berhadapan denganku sehingga jarak antara dia dan aku tinggal beberapa senti saja.

"Kenapa tidak?" tanya Alfred sambil menyeka krim cake yang berada di sekitar bibirku menggunakan jari telunjukknya, lalu menjilatinya. Wajahku terasa panas dan memerah karena tingkahnya ini. Su-sungguh, hal ini tidak terduga olehku sama sekali. Setelah menyeka krim tersebut, Ia kembali duduk pada posisinya dan memakan kembali hamburger yang sudah tinggal setengah.

"Nyawa Putri dalam bahaya. Saat mandi dan tidurpun, aku tidak akan meninggalkan Putri meski sedetikpun," ujar Alfred sambil memakan hamburgernya.

Aku hanya bisa terdiam begitu mendengar jawabannya. Karena jawabannya pun sama sekali tidak terduga olehku.

Alfred mengambil secangkir teh yang ditaruh di atas meja kecil. Lalu memberikannya padaku.

"Saatnya mandi lho, Putri. Setelah itu, langsung tidur," ujarnya dengan nada rendah dan memandangiku dengan tatapan intens.

Kembali rona merah menyelimuti wajahku. Kurasa, wajahku saat ini sudah memerah layaknya kepiting rebus.

Aku pun mengangkat tangan kananku tinggi-tinggi, tanda menyerah. Menyerah, ya menyerah!

"Aku menyerah! Aku gak mau ikutan lagi, vee!" seruku sambil mengangkat tangan kananku dan memegang bendera putih yang-entah-kudapat-dari-mana di tangan kiriku. "Le-lebih baik kita hentikan aktingnya sampai di sini saja, oke?" tambahku lagi sambil merentangkan kain putih kecil serta mengibar-kibarkan bendera putih di tangan kiriku.

Oke, akting mereka terlalu mendewa! Aku tidak bisa mengikuti akting mereka yang sudah kelewat serius!

Kulihat Alfred menatapku bingung melihat tingkahku ini. Heh, kok dia menatapku begitu, sih?

"Oh, begitu, yah ..." ujar Alfred setelah memandangiku. Tiba-tiba, Ia memelukku lagi sambil mengucek rambutku hingga berantakan.

"Aih~ Putri malu-malu ... Imut sekali~!" serunya sambil terus memeluk dan mengucek rambutku.

"Siapa yang malu-malu, hah!" seruku kesal sambil menendangnya keluar dari kamarku.

"Cukup aktingnya, aku kan sudah bilang menyerah!" teriakku sambil membanting pintu kamarku dengan kesal. Peduli amat dia masih bingung dengan tindakanku yang tiba-tiba menendangnya keluar dari kamarku dan mengerang kesakitan karena kutendang barusan.

Aku pun beranjak naik ke kasurku sambil mendumel kesal.

"Apaan sih, Putri dan Bodyguard segala! Skenariomu berlebihan!" seruku kesal sambil memeluk bantal dan meremasnya.

Angin hari ini bertiup agak kencang. Jendela di kamarku terbuka, sehingga tirai-tirai yang menutupi jendela bergerak mengikuti tiupan angin.

Tiba-tiba, muncul sekelebat bayangan. Begitu kutatap lurus ke arah jendela yang berhadapan dengan tempat tidurku, telah berdiri seorang berjubah abu-abu sedang menyeringai ke arahku. Lelaki itu sama seperti lelaki yang menggangguku saat di turunan bukit dalam perjalanan ke sekolah.

Sejak kapan dia datang? Rasanya baru tadi Alfred kutendang keluar kamar, lelaki ini sudah datang ke kamarku.

A-aha, pasti ini masih bagian dari akting mereka, vee ...

"Hei, kali ini peranmu sebagai a ..." belum sempat aku melanjutkan perkataanku, ia sudah menerjang dan mencengkram bahuku serta mendorongku ke dinding.

"Khukhukhu, tadi pagi kau sudah merepotkanku, Putri Feliciana," ujarnya sambil terus mencengkram bahuku. Namun, kali ini tangannya bergerak ke leherku lalu mencekik leherku.

Sesak! Dia terus mencekik leherku. Ja-jadi masalah Putri itu beneran?

Aku ... Sudah tidak tahan lagi ... Dia terus mencekikku hingga aku lemas dan hampir tidak bisa bernafas lagi.

"Serahkan liontin tersebut, atau kau akan kucekik hingga mati!" perintah orang itu sambil terus mencekikku.

Aku tidak mengerti apa maksudnya, tapi ... Seseorang, tolong aku!

Alfred, tolong aku!

.

.

DORR ...

Bunyi letupan pistol terdengar. Bau mesiu menyebar dalam kamarku. Lelaki yang tadi mencekikku, kini melepaskan cekikannya dan mengerang kesakitan sambil memegang lengan kirinya yang mengucurkan darah. Aku langsung menghirup oksigen sebanyak-banyaknya begitu ia melepaskan cekikannya untuk memenuhi kebutuhanku akan oksigen. Sepertinya, lengannya ditembak oleh ...

"Putri!" seru Alfred sambil memegang pistolnya.

... Alfred!

"Sial!" seru orang berjubah abu-abu tersebut sambil mengeluarkan pistol yang disimpan di dalam jubahnya. Ia menembaki Alfred secara membabi-buta.

"Alfred!" seruku panik.

Kulihat di area tembakan orang berjubah abu-abu tersebut. Tidak ada Alfred sama sekali! Di-di mana dia ...

DUAKK ...

Tiba-tiba, orang berjubah abu-abu tersebut ambruk seketika beriringan dengan suara benturan keras. Kulihat darah merembes keluar dari pelipis kanannya. Kabut asap bekas tembakan mengepul sehingga menghalangiku untuk melihat sosok tegap yang sedang memasukkan pistolnya lalu merapikan bajunya.

"Alfred!" seruku panik. Aku berlari ke arah sosok tegap tersebut. Benar saja dugaanku, sosok itu adalah Alfred yang telah menghantam kepala orang berjubah abu-abu tersebut dengan menggunakan punggung pistol hingga orang tersebut pingsan.

"Pu-putri! Kau baik-baik saja!" tanyanya sambil memelukku erat.

"Justru aku yang harus bertanya seperti itu padamu, Alfred!" ujarku sambil memeluk Alfred ketakutan. Tanganku gemetaran, karena takut. Baru kali ini aku dicekik dan melihat adegan baku tembak seperti tadi.

Bulir-bulir di pelupuk mataku menurun tanpa kusadari. Aku menangis sejadi-jadinya.

Aku sangat takut tadi. Kalau saja tidak ada Alfred yang datang menolongku ...

... Mungkin aku sudah meninggal karena kehabisan oksigen ...

Juga, aku takut kalau Alfred meninggal karena tembakan membabi-buta orang berjubah abu-abu tadi ...

"Tak apa, Putri ... Sudah tugasku sebagai Bodyguard untuk melindungimu di mana saja dan kapan saja, Putri," ujarnya menenangkanku sambil mengelus kepalaku dengan lembut.

Aku menyeka air mata yang mengalir dari pelupuk mataku. Lalu menjauhkan diri dari pelukan Alfred.

"Maaf yah, tadi aku sudah curiga terhadapmu," ujarku.

"Susah juga, yah ..." ujarnya.

Kulihat, raut wajahnya berubah. Lalu dia memegang bahuku.

"Padahal gaunmu sudah rapi! Aargh, dasar orang berjubah abu-abu sialan!" serunya kesal.

"Hah?" ujarku sambil facepalm dan sweatdrop.

Ia pun menggendongku dan berlari ke suatu tempat.

"Ki-kita mau ke mana, vee?" tanyaku panik.

"Kita harus mengganti gaun Putri dengan gaun baru!" seru Alfred kesal sambil terus berlari hingga keluar rumah.

"Tu-tunggu dulu! Tidak usah memperbesar masalah, vee! Pakai gaun ini lagi saja tidak apa kok, vee!" seruku sambil mengangkat kedua tanganku.

"Bukannya memperbesar masalah ..." ujar Alfred pelan.

"Terus?" tanyaku.

"Hanya saja, aku tak ingin kau terluka lagi ..." jawab Alfred.

Bulan ini, bunga Sakura bermekaran dengan indahnya. Kelopak bunga Sakura berterbangan mengikuti pergerakan angin yang bertiup.

Aku tercengang mendengar perkataan Alfred. Apa katanya? Tak ingin aku terluka lagi?

Memangnya, aku pernah terluka di hadapannya? Kapan? Mengapa aku tidak ingat sama sekali tentang masa laluku?

"... Lagi?" ujarku bingung. Mata kami bertemu dan saling bertatapan. Ia menatapku dengan senyum pilu. Lagi, ia menatapku dengan tatapan yang sama saat berbicara yang kurasa mengenai masa laluku.

Lalu, ia kembali memasang senyum lebarnya. Senyum yang biasa ia sunggingkan setiap hari.

"De javu, kok," ujarnya lagi. Heh, kenapa setiap perkataan Alfred selalu membuatku bingung, sih?

"Alfred, sebenarnya kita mau ke mana, sih?" tanyaku.

Alfred terlihat berpikir sejenak.

"Hmm, bunga Sakura sedang bermekaran dengan indahnya. Mau ke taman untuk melihat bunga Sakura?" tanya Alfred balik.

Ke taman? Katanya tadi mau mengganti gaunku ...

"Mau deh, vee. Refreshing dikit, lah," jawabku.

Hari ini aku terlalu capek karena hal-hal yang tak terduga. Jadi, refreshing sedikit tak apa kan, vee?

"Baiklah, Putri." ujarnya sambil menggendongku menuju taman.

...

Ludwig berjalan menuju ruang tamu. Sosok pria berjubah abu-abu yang masih pingsan diletakkan di lantai dengan tubuh yang diikat menggunakan tali tambang.

Ia mengambil ponselnya, lalu menekan beberapa nomor dan meneleponnya.

"Halo, agen pencari rumah? Saya ingin membeli rumah di daerah perumahan yang privat di daerah xxx," ujar Ludwig.

Setelah ia berbincang-bincang dengan agen pencari rumah, ia menekan tombol 'End Call'. Lalu, ia menekan beberapa nomor lagi dan meneleponnya.

"Halo bruder. Ini aku, Ludwig. Ada penyusup 'dia' yang mau merebut liontin Putri dan hampir saja membunuhnya. Apa? Tenang saja, Alfred sudah membereskannya dan saat ini dia masih pingsan. Kurasa kau harus segera mengirimkan 'orang-orang' mu. Ah ya, jangan kebanyakan minum bir." setelah berkata panjang lebar pada brudernya, Ludwig pun menekan 'End Call' dan menyimpan kembali ponselnya di saku kemejanya.

"Haaah, merepotkan saja. Kenapa 'dia' masih membenci Putri, yah?" gumam Ludwig sambil mendesah lelah.

...

.

.

.

Tsuzuku

A/N:

Howaaa! Saya minta maaf karena kelamaan update! Memang UN sudah selesai, tapi saya masih saja sibuk gegara TPA SMA dan berbagai macam ulangan lainnya. Jadi kerja saya belajar terus sampai otak saya benar-benar penuh dan lemot. Padahal, seharusnya bulan Mei-Juni adalah masa-masa liburan bagi 'Pengangguran setelah UN" seperti saya ini.

Maaf kalau charanya pada OOC semua m(_ _)m Itu semua karena tuntutan peran yang harus mereka bawakan =_=a

Oh yah, dalam fic ini, saya lebih menggunaka POV Feliciana, tapi kadang bisa saja POV nya berganti bergantung sikon-situasi dan kondisi-ficnya. Dalam chapter ini menggunakan Feliciana POV, tapi di bagian akhirn chapter ini menggunakan Ludwig POV

Terima kasih atas review yang sudah diberikan sebelumnya. Saya sangat senang membaca reviewnya.

Sekian bacotan A/N saya, maaf jika A/N nya lebih panjang daripada biasanya.

Akhir kata, saya mengatakan: Review, yah. Kritik, saran, flame, concrit dan apa saja saya terima ^u^/