"Sarapan hari ini, Pasta dengan Teh. Iya kan, Papa Luddie?" ujarku sambil bersiap menyantap Pasta yang ada dihadapanku.
"Sudah kukatakan berkali-kali, Putri. Aku bukanlah Papamu, melainkan pengawalmu, Ludwig Beilschmidt," ujar Pa-ah ya sudahlah, Ludwig menepis kata-kataku lagi.
Yeah, karena semua sudah di jelaskan, akhirnya aku mengetahui bahwa aku adalah seorang Putri dari Kerajaan Vargas. Dan sekarang, ada orang yang mau merebut liontin tanda penerus Kerajaan Vargas yang hanya dimiliki olehku seorang.
Kupandangi liontin berbentuk bintang tersebut. Jika dilihat secara kasat mata, liontin itu tak lebih seperti liontin biasa.
Namun, bila dilihat lebih teliti lagi, liontin tersebut memiliki ukiran yang khas dengan Kerajaan Vargas. Yang aku sendiri tak tahu apa arti ukirannya.
"Putri, jangan melamun terus! Makan dulu Pastamu. Nanti keburu dingin, lho!" perintah Pa-eh Ludwig sambil menepuk kepalaku.
"I-iya Pa-eh maksudku Ludwig!" ujarku panik.
Aku kembali memakan Pastaku. Setelah beberapa saat aku memakan pastaku, kulihat sosok seorang dengan handuk melilit di pinggangnya serta di atas kepala menutupi rambutnya lewat dengan slow motion.
Aku terperangah sesaat. Kurasakan mataku sudah melotot ke arah orang itu dan mulutku sudah menganga karenanya.
Orang itu menatap padaku, sambil mengusap rambutnya yang menggunakan handuk dengan perlahan.
"Selamat pagi, Putri," sapa orang itu yang tak lain adalah Alfred, bodyguardku.
"A-alfred!" teriakku panik memanggil nama orang itu. Su-sungguh, aku tak percaya dengan apa yang kulihat!
Alfred sedang berjalan di depanku dengan dada yang terekspos bebas!
Hold Me, Guard Me!
Disclaimer :
Axis Powers: Hetalia © Hidekaz Himaruya
Hold Me, Guard Me! comic © Iwaoka Meme
Hold Me, Guard Me! fic © Megumi Yoora
Warning:
OOC, School Life, Human Names, Gender bending (fem!N. Italy, fem! /Romano, fem!Japan), Typo (s), Pair Amexfem!Ita.
Don't like, don't read.
Happy reading, minna!
...
Bulir-bulir air menetes dari rambutnya yang basah ke dadanya yang bidang. Sepertinya dia baru selesai mandi dan lupa membawa baju ganti ke kamar mandi, sehingga dia berjalan ke kamarnya dengan perlahan-tentu saja telanjang dada dan hanya menggunakan sehelai handuk yang menutupi bagian bawahnya hingga selutut.
Akhirnya Alfred memasuki kamarnya. Suara pintu kamar ditutup terdengar hingga ruang makan. Aku hanya bisa menaruh garpu yang kupakai untuk memakan pasta dan meminum tehku perlahan.
"Vee … Lu-ludwig, ta-tadi Alfred ..."
"Oh, dia biasa seperti itu setiap hari. Dia selalu lupa membawa baju ganti bila dia mandi. Sebenarnya itu kebiasaan yang sangat buruk dan memalukan," terang Ludwig cepat. Ia langsung menjawab pertanyaan yang belum selesai kuucapkan.
Aku menarik nafas, lalu membuangnya perlahan. Tingkah Alfred ternyata diluar dugaanku.
"Putri yakin hari ini mau pergi ke sekolah?" tanya Ludwig khawatir.
"Iya! Aku mau ke sekolah hari ini, vee! Aku mau bertemu dengan Sakura, vee!" jawabku yakin dan penuh semangat.
"Tapi ... Mengingat kemarin kau sudah diserang 2 orang jahat, sepertinya hari ini..."
"Tidak apa, Ludwig! Jangan khawatir, karena aku sudah tahu semuanya, aku akan lebih berhati-hati mulai saat ini! Juga, sekarang kan aku sudah punya bodyguard. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan lagi, kan?" jawabku cepat memotong perkataan Ludwig.
"Hah ... Terserah Putri saja, deh. Padahal kau bisa belajar di rumah, biar lebih aman," ujar Ludwig mengalah.
Tiba-tiba, ada seseorang yang memelukku dari belakang. Siapa lagi kalau bukan Alfred ...
"Selamat pagi, Putri! Bagaimana dengan sarapannya? Enak, kan?" tanya Alfred ceria.
"Selamat pagi, Alfred. Sarapannya enak, vee. Masakan Pa-eh Ludwig selalu enak!" jawabku tak kalah ceria darinya.
"Baguslah! Jadi, sudah siap untuk berangkat ke sekolah?" tanya Alfred memastikan.
Tunggu, aku baru memperhatikan pakaian yang dikenakan Alfred.
Dia memakai seragam sekolahku! Be-berarti ...
"Hmm? Iya, mulai hari ini aku akan bersekolah di sekolah yang sama dengan Putri. Kan aku harus melindungi Putri 24 jam," ujar Alfred menjelaskan.
"Seriusan nih? Ta-tapi ... Kalau Alfred masuk sekolah itu ..." gumamku yang sepertinya terdengar olehku.
"Kalau aku masuk sekolah Putri, kenapa?" tanyanya bingung.
"Alfred kan keren, takutnya ... Kau terus dikerubungi banyak cewek-cewek di sekolahku ..." ujarku pelan.
.
.
.
"Eh?" tanya Alfred sambil facepalm.
"Tidak jadi. Ayo, kita ke sekolah. Nanti telat, lho!" ujarku sambil berlari duluan ke arah pintu rumah.
.
.
KRESS ...
.
.
Suara irisan terdengar bersamaan saat aku tiba tak jauh di depan pintu rumahku, tepatnya di sebelah rak sepatu. Kulihat ke kiri, tasku yang semula kugendong di bahu kiri sudah tergeletak tak berdaya di sebelah kakiku. Seketika itu juga aku panik, dan merasakan hawa membunuh ada di dekatku.
"Veeeeeee!" teriakku panik.
Alfred dan Ludwig datang begitu mendengar teriakanku. Alfred langsung memelukku sambil memegang benda yang mengiris tali tasku.
"Heh? Kartu? Jadi kartu ini yang mengiris tali tas Putri. Kartu ini sepertinya terbuat dari besi, bukan kertas seperti biasa," jelas Alfred sambil mengamati benda yang berhasil membuatku berteriak panik.
"Sial, sepertinya itu kerjaan orang-orang 'dia'," ujar Ludwig kesal.
Alfred menatap kesal kartu besi yang dipegangnya.
"Sepertinya ini kartu si tomato freak," ujarnya kesal.
"Kalau sudah begini, lebih baik Putri belajar privat di rumah saja," ujar Ludwig.
"Apa? Kok begitu!? Aku mau ketemu Sakura di sekolah! Juga, belajar di sekolah lebih enak dan lebih rame, vee!" ujarku tegas menentang perkataan Ludwig.
"Tapi mau bagaimana lagi, Putri. Kau sudah diburu banyak orang, hingga hari ini. Kartu besi yang mengiris tali tasmu buktinya. Syukur hanya mengenai tali tasmu saja," terang Ludwig.
"Ya sudah, Putri benar-benar mau ke sekolah kan? Ayo!" ujar Alfred sambil berjongkok dan menyuruhku naik di atas punggungnya.
Eh? Aku. Digendong. Di punggungnya. Gitu?
Aku hanya menurut apa yang disuruhnya. Lalu, ia berlari keluar dari rumah dengan cepat. Kudengar teriakan Ludwig meneriakkan hati-hati pada kami.
"Pegangan yang erat, yah," bisik Alfred. Aku menuruti apa perintahnya.
Begitu ia membisikkan kata-kata itu, beratus kartu besi datang siap menghujam ke arah kami. Dengan sigap, Alfred menghindar dari 'hujan kartu besi' tersebut.
"Sial ... Dia tak tanggung-tanggung!" desis Alfred merutuki lawan yang dihadapinya.
"Dia itu siapa, vee!?" tanyaku bingung.
Namun Alfred tidak menjawab pertanyaanku. Ia mengambil sesuatu di saku celana sebelah kanannya. Sepertinya itu granat. Ia membuka kunci granat tersebut menggunakan mulutnya, lalu menariknya dan melempar granat yang sudah terbuka tersebut ke arah datangnya kartu besi tadi.
.
DUARRRR ...
.
Suara ledakan yang dihasilkan granat yang meledak tersebut terdengar sangat memekik telinga. Asap tebal hasil ledakan mengepul di mana saja. Alfred menggunakan kesempatan itu untuk kabur secepatnya dari lawan kami.
Sepertinya lawan kami itu ... Cukup kuat!
"Fusosososo~ Mereka kabur, deh ..." gumam seseorang yang bergelantungan di dahan pohon dengan baju yang robek-robek dan kotor. "Ternyata Alfred cerdik juga, jauh dari yang aku bayangkan," gumam orang itu lagi.
...
"Putri, kita sudah sampai di sekolah," ujar Alfred menyadarkanku.
Kubuka mataku perlahan. Betapa kagetnya aku, begitu buka mata tahu-tahu sudah berada di dalam kelas.
Kulihat seisi kelas, mulai dari Pak Guru hingga teman-teman sekelasku –termasuk Sakura- tercengang melihatku dan Alfred.
"Err … Beilschmidt-san ... Anda telat 20 menit. Dan siapa anak berkacamata yang menggendongmu itu?" ujar Pak Eduard –wali kelasku sekaligus pengajar TIK- sambil melotot pada Alfred.
"Maaf pak, mulai hari ini saya bersekolah di sini, tepatnya di kelas ini. Silahkan tanya kepala sekolah jika ada tidak percaya kepada saya," setelah mengucapkan hal itu, Alfred langsung mencari tempat duduk di sebelahku yang kebetulan kosong.
Pak Eduard hanya bisa facepalm mendengar perkataan Alfred. Akhirnya ia pun melanjutkan menerangkan materi hari ini.
...
"Putri, kok lemas sekali hari ini?" tanya Alfred dalam perjalanan pulang kami dari sekolah.
Aku mendengus, lalu melotot pada Alfred. "Siapa yang tidak lemas bila kau mau dibunuh seseorang saat sedang berjalan menuju sekolah, hah? Bayangkan saja deh, sejak aku mengetahui aku seorang putri, aku sering diintai dan diserang terus menerus, vee!" racauku sambil menghentakkan kaki, kesal tentunya.
Alfred melongo melihatku kesal. Lalu, ia tertawa geli. Aku tidak dapat mengerti mengapa ia bersikap seperti itu.
"Ada yang lucu?" tanyaku ketus.
"Wajahmu saat sedang kesal itu ... Lucu sekali," jawab Alfred sambil mencubit kedua pipiku.
Dapat kurasakan kali ini wajahku memerah sempurna akibat ucapan Alfred. Lucu katanya?
Kami sudah tiba di depan rumahku. Baru saja aku melangkahkan kaki memasuki pekarangan rumah, Papa-ehem, maksudku Ludwig-datang dengan wajah memucat.
"Ada apa, Ludwig?" tanya aku dan Alfred bersamaan.
"Putri, cepat masuk ke rumah. Alfred, cepatlah bersembunyi! Dia da ..."
Belum selesai Ludwig menyelesaikan perkataannya, tiba-tiba sebuah tamparan mendarat di pipi Alfred. Alfred pun terlempar sejauh 2 meter dari tempatnya berdiri akibat tamparan tersebut.
"Auww, cukup sakit," geram Alfred.
"Bodoh! Kenapa kau biarkan putri keluar rumah tanpa pengawasan ketat seperti ini, Alfred?" seru seseorang-yang ternyata seorang wanita-yang menampar Alfred tadi dengan suara melengking.
"Jangan marahi Alfred, itu semua keinginanku untuk pergi ke sekolah kok, vee!" kucoba untuk membela Alfred dari amarah wanita tersebut.
"Putri ... Sudahlah, jangan bela aku ..." ujar Alfred lirih.
Wanita tersebut menatap tajam padaku. Tiba-tiba saja, ia duduk bersimpuh-layaknya seorang ksatria yang sedang menghadap pada Paduka Raja-nya- lalu memperkenalkan dirinya.
"Maafkan kelancangan hamba. Hamba adalah guru privatmu, Elizavetha Héderváry, yang mulai sekarang akan mengajarimu tata krama, bahasa asing, fashion, dan lain-lain yang biasanya diajarkan pada seorang putri mahkota seperti anda,"
Setelah memperkenalkan dirinya, ia menarik tanganku dan memaksaku masuk ke dalam rumah. "Mulai saat ini, anda akan belajar privat di rumah saja, sehingga anda tidak perlu repot-repot keluar rumah untuk bersekolah," ujarnya sambil memaksaku masuk ke dalam rumah.
Aku mau meneriakkan nama Alfred untuk meminta pertolongan, tapi Alfred menyuruhku diam-dengan menaruh jari telunjuk kanannya di depan bibirnya.
Ukkh, kenapa aku kena sial terus hari ini, vee?
...
.
.
.
A/N:
HOLAAAAAAAAAAAAA~! Apa kabar, saudara-saudari sekalian? Jumpa lagi dengan saya, Megumi Yoora dan kelanjutan fic ini OwO/
Sebelumnya, saya mau minta maaf atas keterlambatan saya untuk melanjutkan fic ini. Dikarenakan banyak hal yang sudah terjadi dalam hidup saya selama 1 tahun ini, sehingga saya pun hiatus (benar-benar hiatus) selama 1 tahun. Padahal, niat saya hiatus cuma 3 bulan setelah saya masuk di sebuah sekolah berasrama di Magelang sana.
Arrgh saya kangen berat sama FHI o
Btw, makasi banget buat yang mau baca bahkan ripiu, apalagi buat mama Ry-chan yang udah mau bantuin kasih koreksi ke saya. Makasi banget lho, ma 3)
Sekian sepatah kata dari saya, bila ada yang kurang mengenakkan hati, mohon dimaafkan -_-"
PS: D-F8, thanks reviewnya yah! ^^