Aku hanyalah sekumpulan logam-logam tak bernyawa. Yang keberadaanku pun masih diragukan kegunaannya. Yah, itulah yang sempat aku pikirkan dulu, dulu … sekali. Sebelum aku mengenal seorang gadis cilik yang sekarang telah tumbuh menjadi gadis remaja yang 'hampir' sempurna.

Hampir?

Ya ….

Ia hampir saja sempurna jika saja tubuhnya tidak ….

Ah, kurasa ini bukan saat yang tepat untuk membicarakannya.

Selain itu, makhluk-makhluk bernyawa yang telah hidup dan tinggal bersamaku selama lebih dari sepuluh tahun ini–sebut saja aku menumpang dengan mereka–mengatakan bahwa kesempurnaan hanyalah milik sang pencipta. Aku sendiri tidak tahu siapa sang pencipta yang dimaksud oleh mereka. Bagaimana rupanya, wujudnya dan apa-apa saja kebaikannya untuk makhluk yang telah diciptakannya aku pun tak tahu.

Selama ini, aku hanya dapat menemukan sosok pria dewasa yang hampir tua di memori chipku sebagai sosok yang telah menciptakanku. Dengan tubuh yang tidak terlalu tinggi serta kumis dan jenggot hitam yang menjuntai di sekitar dagunya, dia merancang bentuk tubuhku serta keseluruhan mesin yang menunjang 'kehidupanku' selama ini.

Ya, jika saja semua itu dapat dikatakan sebagai kehidupan ….

Aku tidak bernapas. Bukannya aku tidak bisa bernapas, namun aku memang tidak perlu bernapas. Aku tak memerlukan oksigen, makanan dan minuman untuk hidup. Karena tubuhku hanya memiliki satu organ vital berupa chip kecil di bagian dadaku. Walau bukan sebagai sumber energi, namun benda yang hanya sebesar memori card ponsel tersebut merupakan otak dari segala aktivitasku selama ini. Dia pusat dari sistem koordinasi tubuhku dan juga pusat dari … tentu saja, memoriku.

Ah, ya, aku lupa. Sebagai mesin rancangan manusia, tentunya aku membutuhkan listrik, charger serta baterai yang tersimpan di bagian belakang tubuhku sebagai sumber energi utama. Jika energiku telah habis, maka gadis baik hati itulah yang akan memasangkan charger ke sumber listrik lalu menghubungkannya ke baterai untuk mengisi ulang tubuhku. Ya, terus menerus begitu selama bertahun-tahun.

Sampai akhirnya … aku tak perlu diisi ulang lagi

.

.

Ariya 'no' miji proudly present:

Memory

Dedicated For:

Eyeshield 21 April-Mei Last Moment

Disclaimer: Selamanya Riichiro Inagaki dan Yusuke Murata

Warning: maybe OOC(tapi semoga IC), typos(sudah saya usahakan agar sesedikit mungkin), AU, bersettingkan masa depan, SenaMamo ^^

Don't like?

.

.

Don't Read

Awalnya, mereka membeliku untuk menemani serta melindungi anak perempuan semata wayang mereka, yang waktu itu baru berumur sekitar lima tahun. Aku sendiri heran, kenapa tidak mereka sendiri saja yang menjaga anak mereka. Toh, anak mereka hanya satu dan masih kecil–masih sangat membutuhkan kasih sayang dari kedua orangtuanya. Mungkin. Aku juga kurang tahu. Aku tak punya orangtua, selain itu, ketika diciptakan aku sudah seperti ini. Jadi, aku tidak tahu apa itu kasih sayang orangtua.

Namun, lama-kelamaan akhirnya aku mengerti apa alasan mereka.

Yah, mereka memang sangat jarang berada di rumah; aku akui itu. Berprofesi dalam bidang yang sama–penerbangan–membuat Mami Anezaki, ibu dari anak perempuan berambut auburn yang merupakan pramugari di salah satu maskapai penerbangan Jepang dan suaminya, Anezaki Tateo, yang juga seorang pilot di maskapai penerbangan yang sama, dapat dengan mudah untuk bertemu setiap hari; namun hal ini tidak berlaku untuk anak perempuan mereka, Mamori Anezaki. Karena itulah, mereka menugaskan aku untuk menjadi pelindung serta teman bermain bagi anak mereka ketika mereka tidak berada di rumah.

Tugas yang mudah bukan?

Hanya sekedar menjaga dan bermain dengan anak kecil. Apa susahnya?

Tapi, ternyata semua itu tidak semudah perkiraanku …. Tentu saja, karena manusia–dia–pasti akan tumbuh dewasa.

Saat 'kami'–yah, umurku disamaratakan dengan anak mereka–berumur enam tahun, aku dan Mamori-chan disekolahkan di salah satu sekolah dasar yang berada tak jauh dari kediaman kami–tentu saja untuk meminimalisir bahaya yang mungkin akan menimpa kami berdua, seperti penculikan. Kami berdua? Yah, aku tidak tahu mengapa. Tapi, yang jelas, aku tahu pasti mereka menyayangiku juga.

Aku dirancang memiliki postur tubuh sedikit lebih tinggi dari anak berusia lima tahun pada umumnya. Sekitar 21 cm lebih tinggi. Itulah yang membuatku berpenampilan sedikit berbeda saat kami pertama kali masuk ke kelas 1-4. Saat itu tidak ada yang tahu mengenai identitasku sebagai seorang manusia android.

Aku sendiri tidak mempermasalahkan diriku yang hanya seorang manusia bertubuh besi. Tapi, kedua orangtua Mamori-chan selalu berpesan agar aku tidak memberitahukan identitasku yang sebenarnya. Mereka juga terlihat sangat cemas saat mengatakan hal itu padaku.

Sebagai seorang 'anak', tentu saja aku patuh terhadap nasihat mereka. Sampai pada suatu hari … entah bagaimana caranya dan darimana asalnya, teman-temanku mengetahui identitas asliku sebagai robot android.

Saat itulah aku paham mengapa mereka melarangku untuk membongkar identitasku ….

"Anak besi … anak besi … anak besi," teriak mereka bersama-sama. Tak lupa juga dengan batu-batu kerikil tajam yang mereka lemparkan langsung ke arahku. Mereka terus-menerus berputar-putar mengelilingiku sambil tak ada habis-habisnya melontarkan kata-kata kasar padaku.

Aku hanya pasrah dan tidak berbuat apa-apa saat mereka mengejekku dan melempariku dengan kerikil. Saat inilah aku baru tahu kalau ternyata manusia android sepertiku sama sekali tidak berharga di mata para manusia.

Keberadaan kami tak lebih dari seorang pelayan yang harus selalu patuh terhadap perintah tuannya. Karena itulah aku sama sekali tidak menemukan android lain di tempat kami bersekolah. Dulunya, aku berpikir mungkin karena memang tak ada android lain di lingkungan rumah kami.

Tapi, anggapanku itu salah besar!

Hampir di semua rumah tetangga kami memiliki setidaknya satu buah android. Jika ditanya kenapa aku tidak menemukan android lain di sekolah? Tentu saja karena 'majikannya' berpikir android hanyalah pelayan yang tidak perlu disekolahkan. Yah, hanya pelayan atau biasanya aku mendengar manusia menyebutnya sebagai 'budak'. Kalau pun kami rusak, mereka akan membuang kami sebagai barang rongsokan tak berguna dan akan mengganti dengan yang baru.

Kami benar-benar tidak ada harganya di mata mereka–kecuali … dia.

Sambil terduduk di tanah dan menutupi kepalaku dengan kedua tangan, aku hanya menundukkan wajahku dalam diam. Tak sakit memang. Bayangkan saja! Aku dari besi. Tak mungkinkan aku yang dari logam ini kalah melawan kerikil-kerikil kecil yang dilemparkan dengan tenaga siswa kelas 3 SD yang tidak seberapa ke arahku.

Namun, tetap saja, aku merasa ciut di hadapan mereka. Rasanya takut sekali. Aku bahkan tak berani menatap teman-teman sekelasku yang masih setia mengejekku dan melempariku dengan batuan kerikil yang semakin lama ukurannya terasa semakin membesar di kepalaku.

Oh, aku memang pengecut ….

Aku hanya berdoa agar semua ini cepat selesai.

"Hei, kalian jangan ganggu Sena!"

Suara itu …. Mamori-chan?

Perlahan aku berusaha mendongak ke atas–memastikan suara perempuan yang terdengar sangat marah itu bukanlah suara Mamori. Sumpah. Aku benar-benar berharap itu bukan dia. Aku tidak mau melihat dia terluka hanya karena berusaha untuk melindungiku.

Berusaha memberanikan diri, aku pun mengedarkan manik hazelku ke sekeliling. Teman-temanku sudah tidak ada. Yang ada hanya sosok seorang gadis cilik berambut auburn sebahu yang sedang berdiri membelakangiku. Tangan kanannya mengepal tinggi. Sampai-sampai uratnya menyembul keluar. Gadis cilik ini terus menatap ke arah jalanan sepi yang sudah semakin gelap karena matahari sebentar lagi akan terbenam sepenuhnya.

Penasaran, aku ikuti arah pandangnya. Tak kusangka ternyata di ujung jalan sana, tiga orang temanku yang tadi berada di lapangan ini bersamaku, sekarang sedang berlari tunggang langgang sambil memegangi kepalanya yang tampak benjol. Tampaknya, gadis ini yang telah memukul kepala mereka satu persatu. Kuat sekali!

Tapi, entah mengapa aku merasa sangat mengenal gadis ini. Jangan bilang kalau dia ….

"Ehm, ano, arigatou," ucapku ragu sambil berusaha berdiri dari tempatku.

"Dou itashimashite … Sena," balasnya. Gadis ini kemudian membalikkan badan dan menatapku yang juga tengah menatapnya. Manik hazel bertemu safir. Aku sukses ternganga lebar melihat sosok di hadapanku yang tengah melemparkan senyum termanisnya. Senyum sang malaikat. Senyum yang selalu dapat membuatku merasa begitu beruntung dilahirkan sebagai seorang manusia logam.

"Ma–Mamori-chan?" ucapku terbata-bata. Bola mataku membulat sempurna saat ini.

"Kau baik-baik saja, Sena?" tanyanya lembut. Ia kemudian mengusap-usap wajahku yang memang sedikit kotor karena terkena lemparan kerikil tadi.

"A–aku baik-baik saja Ma–Mamori-chan," jawabku gugup. Aku merasa sangat gugup saat Mamori menyentuh wajahku. Aku bersyukur aku bukan manusia. Karena kalau aku manusia, wajahku pasti sudah memerah saat ini.

"Baiklah. Ayo, Sena, kita harus segera pulang sekarang." Setelah mengucapkan itu, tiba-tiba saja Mamori berjongkok di depanku.

"Ah, Ma–Mamori-chan ti–tidak per–"

"Tidak apa-apa, Sena. Ayo, naik ke punggungku!"

"Aku bisa berjalan sendiri, Mamori-chan," ujarku.

"Tidak. Kau terluka, Sena!" sahutnya cepat.

Luka? Tidak mungkin aku terluka, Mamori. Aku dari besi. Besi tidak akan pernah terluka. Yah, tidak akan pernah ….

Beberapa menit berlalu dan Mamori masih setia pada posisinya–berjongkok menungguku untuk naik ke punggungnya. Lama-kelamaan, aku merasa tidak enak jika harus menolak kebaikannya yang sangat tulus ia berikan padaku. Aku tahu dia pasti sangat mengkhawatirkanku.

Akhirnya, aku menyerah. Perlahan aku meletakkan kedua kakiku ke tangannya yang sudah siap sedia menopang kakiku. Setelah dirasa posisiku nyaman, ia lalu berdiri dan berjalan meninggalkan lapangan.

Sepanjang perjalanan, aku hanya terdiam mendengarkan ocehan Mamori dan menyandarkan kepalaku di bahu kirinya. Aku merasa semakin tidak berguna saat ini. Seharusnya, sebagai kakak, aku yang menggendong Mamori di pungungku. Aku sendiri bahkan belum pernah menggendongnya. Seharusnya, sebagai android, aku yang melindungi Mamori, bukan sebaliknya.

Tanpa sadar, aku terisak di sela-sela ucapannya. Walaupun tak ada air mata yang keluar–karena android memang tak bisa mengeluarkan air mata–namun suara isakanku terdengar cukup jelas di telinganya yang berada di dekat kepalaku.

"Sena, ka–kau menangis?" tanyanya cemas.

"Tidak, aku tidak menangis Mamori-chan," jawabku sambil berusaha mengatur suaraku agar tidak membuatnya semakin cemas.

"Sena, tidak perlu cemas! Aku akan selalu ada di sampingmu. Selalu …." Mamori lalu menolehkan kepalanya sedikit ke belakang. Walau ia tak menatapku langsung. Namun, aku tahu ia tengah tersenyum lembut saat ini.

"Jadi … jangan menangis lagi, ya, Sena," ujarnya kemudian.

Aku tertegun mendengarnya. Rasanya aku … entah mengapa aku merasa sangat bergantung padanya. Dan juga … tidak berguna, karena tidak mampu melaksanakan tugasku untuk melindunginya.

"Ba–baik Mamori-chan." Setengah berbisik aku semakin menenggelamkan kepalaku di bahu kirinya.

Suatu saat nanti …. Yah, suatu saat nanti. Aku akan memastikan diriku berguna untukmu, Mamori-chan.

.

.

"Eh, besi! Belikan kami roti!" perintah tiga orang siswa berandalan padaku. Sedangkan aku hanya menunduk patuh seperti pelayan di hadapan mereka.

"Ba–baik." Aku segera berlari secepat mungkin ke kantin sekolah untuk menunaikan perintah mereka. Tak sampai setengah menit, aku telah kembali ke tempat awal kami berkumpul–di belakang gedung sekolah.

"Wah, cepat sekali," puji salah satu di antara mereka yang berambut pirang. Dua puluh satu detik untuk berlari bolak-balik melintasi gedung sekolah yang luasnya melebihi lapangan sepakbola ini memang dapat dikatakan sebuah rekor yang 'WAH'.

"Ro–ro–rotinya ha–habis," laporku takut-takut. Tiba-tiba saja aku merasakan aura-aura tidak nyaman di sekelilingku. Ah, pasti sebentar lagi mereka akan menyiksaku, seperti sebelum-sebelumnya selama hampir sembilan tahun ini. Dan, selama sembilan tahun itulah aku semakin bergantung padanya ….

Pada gadis baik hati yang selalu me-recharge bateraiku tepat waktu. Pada gadis yang selalu tersenyum bak malaikat padaku. Pada gadis cilik yang sekarang telah bertumbuh menjadi gadis remaja yang hampir sempurna. Pada gadis manis yang sekarang menjadi primadona di sekolah kami–Deimon High School–karena kebaikan hatinya, kelembutannya, kejeniusannya, dan tentu saja, kecantikan wajahnya. Yah, ia benar-benar telah berubah sekarang.

Tapi … dia tetaplah Mamori yang kukenal. Yang benar-benar menepati janjinya untuk selalu bersamaku. Yang membuatku sangat ingin melindunginya. Walau yang terjadi justru sebaliknya. Sampai umur kami telah menginjak lima belas tahun pun akulah yang justru terus-menerus dilindungi olehnya.

"Hei, kalian!" Tiba-tiba terdengar suara seorang gadis dari kejauhan, yang sepertinya sedang menuju ke tempat kami berada saat ini.

Aku menoleh ke sumber suara. Di ujung sana terlihat seorang gadis cantik berambut auburn yang sedang berlari ke arah kami sambil membawa … sapu? Ya, ampun. Sepertinya peralatan satu itu tak pernah tertinggal dari tangannya.

"Cih, dia lagi!" ucap salah satu siswa berandalan berambut coklat.

"Urusan kita belum selesai, eh?" ucap yang lainnya. Tak lupa ia lemparkan tatapan tajam menusuknya terhadapku yang masih terbaring di tanah akibat dorongan mereka yang sangat kasar. Masih dengan tatapan tidak suka, mereka bertiga berlalu pergi meninggalkanku.

"Kau terluka, Sena?" tanya Mamori khawatir melihat keadaanku. Dengan telaten ia membopong tubuhku dan membantuku berdiri. Dengan sebelumnya, tentu saja, berkata–mengancam–berandalan itu terlebih dahulu dengan kalimat, "Jika kalian memukuli Sena lagi, aku tidak akan segan-segan melaporkan kalian ke komite kedisiplinan!"

Yah, kebetulan Mamori adalah anggota komite disiplin sekolah.

"Aku ti–tidak mungkin terluka, Mamori-neechan." Entah sejak kapan–aku pun tidak ingat–aku mulai memanggilnya dengan sebutan neechan.

"Lagi-lagi berandalan itu! Kenapa kau selalu melarangku untuk melaporkan mereka, sih … hmb, Sena?" tanyanya heran padaku saat kami berdua berjalan menuju ke–tentu saja–UKS. Padahal, android sepertiku tidak mungkin sembuh dengan obat merah.

"A–aku tidak ingin membuatmu dalam masalah. Mamori-neechan," jelasku seraya tersenyum getir menatap tanah di bawah kakiku.

"Kau tahu, Sena. Aku … aku–"

Mamori tidak melanjutkan kata-katanya lagi. Tiba-tiba aku merasakan tubuh Mamori terhuyung ke depan. Dengan sigap aku menangkap tubuhnya yang hampir menyentuh tanah.

"Ma–Mamori-neechan? Ka–kau kenapa?"

Tak ada jawaban dari Mamori ….

"Ma–Mamori-neechan, bertahanlah!" Dengan sisa energi yang kumiliki, aku menggendong tubuhnya yang ternyata sangat ringan di punggungku. Agak sulit, memang. Karena Mamori yang sekarang lebih tinggi 21 cm dariku.

Aku pendek sekali darinya ….

Yah, tentu saja.

Bukan karena pertumbuhanku yang lambat. Tapi karena aku memang tidak akan dan tidak akan pernah bertumbuh seperti manusia pada umumnya. Jangan tanya mengapa, karena aku memang bukan manusia. Tubuhku terbuat dari logam dan tidak akan pernah memanjang seperti tulang pada manusia. Jika dari awal tinggiku hanya 155 cm, maka sampai saat ini pun tinggiku akan tetap berada pada angka 155 cm. Anggap saja aku logam yang beruntung karena sampai sekarang aku belum berkarat.

Dengan sedikit terseok, aku membawanya sambil berlari menuju UKS. Namun, pintunya tertutup rapat bahkan digembok? Ada apa ini?

Aku menggedor-gedor pintu berlapis cat putih itu dengan sekuat tenaga. Tanpa perduli apakah pintu ini akan terbuka atau pun tidak. Aku benar-benar bingung saat ini. Aku tidak punya waktu untuk berpikir realistis. Yang kuinginkan hanya satu; Mamori cepat tersadar ….

"Hei, hei, jangan menggedor-gedor pintu seperti itu, Sena!" tegur salah satu guru berambut merah ketika tanpa sengaja ia menangkap basah diriku yang tengah menggedor-gedor pintu UKS dengan kasar. Aku sama sekali tidak menanggapi tegurannya. Saat ini aku butuh pertolongan untuk malaikatku, bukan teguran.

Dahi Akaba-sensei sedikit berkerut ketika melihat Mamori yang berada di atas punggungku.

"Apa yang terjadi dengan Mamori, Sena?" tanya Akaba-sensei seraya berjalan menghampiri kami.

"Sensei, pintunya! Dimana petugas UKS yang berjaga hari ini?" Sekali lagi tak kutanggapi pertanyaannya dan justru melemparkan pertanyaan balik pada sensei musikku ini.

"Hari ini petugasnya sedang izin karena demam. Sebentar lagi akan ada petugas pengganti yang–"

"He-hei Sena!" panggilnya.

Aku langsung berlari begitu mendengar penjelasannya. Tidak mungkin aku membiarkan Mamori menunggu, sedangkan aku hanya berdiam diri tanpa bisa melakukan apa pun.

Kuturuni tangga sekolah tingkat dua untuk menuju ke lantai paling bawah. Lalu, tanpa meminta izin terlebih dahulu dari guru piket, aku segera berlari keluar lingkungan sekolah secepat yang kubisa. Bukan untuk melarikan diri dari sekolah. Lebih tepatnya, aku ingin melindunginya.

Saat ini tujuanku hanya satu … rumah sakit.

'Mamori-neechan, bertahanlah!'

Aku hanyalah sekumpulan besi

Yang tak mampu melindungi

Namun kupunya sepasang kaki

Yang kan terus membawamu berlari

Sampai ku tak mampu berdiri lagi ….

To Be Continued

.

.

My first fic di FESI …

Mungkin kalian memang belum mengenal saya. Karena selama ini saya hanya berprofesi sebagai reviewer dan reader di sini…

Syukurlah akhirnya melalui fic ini saya resmi jadi author di sini. Semoga fic ini memenuhi syarat untuk event April-Mei dan dapat diterima dengan baik oleh para reader sekalian /

Ucapkan SELAMAT DATANG padaku #plak

Oke, hentikan..

Fic ini akan menjadi 2 chapter. Yah, semoga aja ceritanya gak semakin panjang. Awalnya ini akan menjadi oneshot, tapi karena kepanjangan-menurut saya-jadinya saya bagi dua. Takutnya entar reader jenuh bacanya kalau panjang-panjang

Please give me u'r review, saran, kesan, pesan, besan#nahlho?, kritik yang membangun dsb

Oke, see ya in the next chapie ..